Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

PADA Tn. C DENGAN GIGITAN ULAR DI IGD RSPAU dr.S.HARDJOLUKITO

Disusun oleh:

MUHSHANAH

203203050

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS ANGKATAN XV

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI YOGYAKARTA

2021
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PADA Tn. C DENGAN GIGITAN ULAR DI IGD RSPAU dr..S.HARDJOLUKITO

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas praktik Profesi Ners

Stase Keperawatan Gawat Darurat

Tekah disetujui pada:

Hari :

Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

(…………………………..) (…………………………..)
Mahasiswa

(Muhshanah)
A. Pengertian
Gigitan ular adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa. Bisa
ular adalah kumpulan dari terutama protein yang mempunyai efek fisiologik yang luas
atau bervariasi. Yang mempengaruhi sistem multiorgan, terutama neurologik,
kardiovaskuler dan pernapasan (Smaltzer dan Bare, 2001).

Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbul
kannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin,
antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu
ular juga merangsang jaringan untuk menghasikan zat – zat peradangan lain seperti kinin,
histamin dan substansi cepat lambat (Sudoyo, 2006).

Racun ular adalah racun hewani yang terdapat pada ular berbisa. Daya toksin bisa
ular tergantung pula pada jenis dan macam ular. Racun binatang adalah merupakan
campuran dari berbagai macam zat yang berbeda yang dapat menimbulkan beberapa
reaksi toksik yang berbeda pada manusia. (Aldo, 2010)

B. Etiologi
Terdapat 3 famili ular yang berbisa, yaitu Elapidae, Hidrophidae, dan
Viperidae. Bisa ular dapat menyebabkan perubahan lokal, seperti edema dan
pendarahan. Banyak bisa yang menimbulkan perubahan lokal, tetapi tetap
dilokasi pada anggota badan yang tergigit. Sedangkan beberapa bisa Elapidae
tidak terdapat lagi dilokasi gigitan dalam waktu 8 jam.
Menurut Deddyrin (2009), daya toksik bisa ular yang telah diketahui ada
beberapa macam :
1. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematoxic)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang
dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan
menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehingga sel
darah menjadi hancur dan larut (hemolysin) dan keluar menembus pembuluh-
pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput tipis
(lender) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
2. Bisa ular yang bersifat saraf (Neurotoxic)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf
sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut
mati dengan tanda-tanda kulit sekitar luka gigitan tampak kebiru-biruan dan
hitam (nekrotis). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi
susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti
saraf pernafasan dan jantung. Penyebaran bisa ular keseluruh tubuh, ialah
melalui pembuluh limfe.
3. Bisa ular yang bersifat Myotoksin
Mengakibatkan rabdomiolisis yang sering berhubungan dengan maemotoksin.
Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat
kerusakan sel-sel otot.
4. Bisa ular yang bersifat kardiotoksin
Merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan otot jantung.
5. Bisa ular yang bersifat cytotoksin
Dengan melepaskan histamin dan zat vasoaktifamin lainnya berakibat
terganggunya kardiovaskuler.
6. Bisa ular yang bersifat cytolitik
Zat ini yang aktif menyebabkan peradangan dan nekrose di jaringan pada
tempat gigitan.
7. Enzim-enzim
Termasuk hyaluronidase sebagai zat aktif pada penyebaran bisa.
C. Manifestasi klinis
Menurut (Sudoyo, 2006), secara umum akan timbul gejala lokal dan gejala
sistemik pada semua gigitan ular.Secara umum, akan timbul gejala lokal dan gejala
sistemik pada semua gigitan ular. Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan,
ekimosis (kulit kegelapan karena darah yang terperangkap di jaringan bawah kulit).
Sindrom kompartemen merupakan salah satu gejala khusus gigitan ular berbisa, yaitu
terjadi oedem(pembengkakan) pada tungkai ditandai dengan
5P: pain (nyeri), pallor (muka pucat), paresthesia (mati rasa), paralysis (kelumpuhan
otot), pulselesness (denyutan).
Tanda dan gejala khusus pada gigitan family ular :

a. Gigitan Elapidae

Misal: ular kobra, ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang, ular cabai,
coral snakes, mambas, kraits), cirinya:
1) Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut,
kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2) Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit yang rusak.
3) 15 menit setelah digigit ular  muncul gejala sistemik. 10 jam muncul paralisis
urat-urat di wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar bicara, susah
menelan, otot lemas, kelopak mata menurun, sakit kepala, kulit dingin,
muntah, pandangan kabur, mati rasa di sekitar mulut dan kematian dapat
terjadi dalam 24 jam.
b. Gigitan Viperidae/Crotalidae

Misal pada ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:
1) Gejala lokal timbul dalam 15 menit, atau setelah beberapa jam berupa bengkak
di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota badan.
2) Gejala sistemik muncul setelah 50 menit atau setelah beberapa jam.
3) Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam
waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
c. Gigitan Hydropiidae

Misalnya, ular laut, cirinya:


1) Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2) Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobulinuria
yang ditandai dengan urin warna coklat gelap (ini penting untuk diagnosis),
ginjal rusak, henti jantung.
d. Gigitan Crotalidae

Misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo, cirinya:


1) Gejala lokal ditemukan tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis, nyeri di
daerah gigitan, semua ini indikasi perlunya pemberian polivalen crotalidae
antivenin.
2) Anemia, hipotensi, trombositopeni.

Tanda dan gejala lain gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori
(Deddyrin. 2009) :

a. Efek lokal, digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa
sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat
berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan
sekitar sisi gigitan luka.
b. Perdarahan, gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat
menyebabkan perdarahan organ internal, seperti otak atau organ-organ abdomen.
Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau
luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau
bahkan kematian.
c. Efek sistem saraf, bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada
sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat
menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat
perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan
bernafas, dan kesemutan.
d. Kematian otot, bisa dari russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa
elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa
area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba
menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.

e. Mata, semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata
korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada
mata.
D. Derajat Gigitan Ular Menurut Parrish
Gigitan ular dapat diklasifikasikan beberapa derajat, antara lain :
a. Derajat 0
Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
Pembengkakan minimal, diameter 1 cm
b. Derajat I
Bekas gigitan 2 taring
Bengkak dengan diameter 1 – 5 cm
Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
c. Derajat II
Sama dengan derajat I
Petechie, echimosis
Nyeri hebat dalam 12 jam
d. Derajat III
Sama dengan derajat I dan II
Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh
e. Derajat IV
Sangat cepat memburuk

E. Patofisiologi
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di
bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya.
Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap
gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman
yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap
emisi panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah
bisa yang dikeluarkan. Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa
menyalurkan bahan-bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester
hidrolase telah diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular
merupakan penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ.
Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat
venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan
cairan interstitial di paru-paru. Mekanisme pulmoner dapat berubah secara
signifikan. Efek akhirnya berupa kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi
asam laktat sekunder terhadap perubahan status volume dan membutuhkan
peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat menyebabkan
perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan
hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal (Daley
dan James, 2010).
F. Pathway

G.

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah :
a. 20 Minute Whole Blood Clotting Test : pemerikasaan sensitif untuk
mendeteksi gangguan koagulasi darah. Darah vena dimasukkan kedalam
botol kaca murni yang belum pernah di gunakan, didiamkan selama 20
menit, jika darah tidak membeku berarti terjadi gangguan koagulasi darah
akibat bisa ular.
b. Pemeriksaan koagulasi darah lainnya: Prothrombin time, Activated Partial
Thromboplastin Time, International Normalized Ratio dapat memanjang.
Produk degradasi fibrinogen seperti D-dimer dapat meningkat.
c. Pemeriksaan darah lainnya meliputi leukosit, trombosit, Hemoglobin,
hematokrit dan hitung jenis leukosit. Faal Hemostasis Cross Match, Serum
elektrolit, Faal ginjal
d. Pemeriksaan Darah Kimia : ureum, kreatinin, serum meningkat pada gagal
ginjal akut.
e. Anlisis Gas Darah : menunjukkan gagal nafas pada neurotosisitas dan
aseidemia akibat asidosis metabolik atau respiratorik.
2. Pemeriksaan Urinalis : untuk mendeteksi myoglubinuria (hematuria,
gilkosuria, proteinuria).
3. Pemeriksaan Radiologi :
a. Rontgen thoraks : mendeteksi edema pulmonal, perdarahan paru, red cell
casts, efusi pleura, pneumonia sekunder.
b. USG : menilai area lokalis ada tidaknya thrombosis vena, mendeteksi efusi
pleura dan pericardial, mendeteksi perdarahan pada rongga-rongga tubuh
(intraabdominal, intratorakal, retroperitoneal).
c. ECG (Electrocardiogram) : perubahan dan abnormalitas EKG termasuk
takiaritmia, bradikardia, perubahan segmen ST, blok AV dan tanda
hiperkalemia.
d. Echokardiografi : mendeteksi penurunan fraksi ejeksi pada pasien dengan
hipotensi dan syok.
H. Penatalaksanaan
a.       Prinsip Pengganan Pada Korban Gigitan Ular
1) Menghalangi atau memperlambat absorbsi bisa ular.
2) Menetralkan bisa ular yang masuk kedalam sirkulasi darah
3) Mengobati atau mengatasi efek lokal dan sistemik (Sudoyo, 2006).
b.      Pertolongan pertama, pastikan dan sekitar aman dan ular telah pergi secara
pertolongan medis jangan tinggalkan korban selanjutnya lakukan prinsip RIGT yaitu:
R (Reassure) : yakinkan kondisi korban, tenangkan dan istrihatkan korban dalam posisi
horizontal terhadap luka gigitan, kepanikan akan menaikan tekanan darah dan nadi
sehingga racun akan lebih cepat menyebar ke tubuh. Terkadang pasien pingsan/ panik
karena kaget.
I (Immobilisation) : jangan menggerakan korban, untuk tidak berjalan atau lari. Jika
dalam waktu 30 menit pertolongan medis tidak datang, lakukan tehnik balut tekan
(pressure immobilisation) pada daerah sekitar gigitan (tanggan atau kaki) lihat prossure
immobilisation (balut tekan), tujuannya adalah untuk menahan aliran limfe, bukan
menahan aliran arteri atau vena.
Prosedur Pressure Immobilization (balut tekan):
1)   Balut tekan pada kaki:
a) Istirahatkan (immobilisasikan) Korban.
b) Keringkan sekitar luka gigitan.
c) Gunakan pembalut elastis.
d) Jaga luka lebih rendah dari jantung.
e) Sesegera mungkin, lakukan pembalutan dari bawah pangkal jari kaki naik ke
atas.
f) Biarkan jari kaki jangan dibalut.
g) Jangan melepas celana atau baju korban.
h) Balut dengan cara melingkar cukup kencang namun jangan sampai menghambat
aliran darah (dapat dilihat dengan warna jari kaki yang tetap pink).
i) Beri papan/pengalas keras sepanjang kaki.
2)   Balut tekan pada tangan:
a) Balut dari telapak tangan naik keatas. ( jari tangan tidak dibalut)
b) Balut siku & lengan dengan posisi ditekuk 90 derajat.
c) Lanjutkan balutan ke lengan sampai pangkal lengan.
d) Pasang papan sebagai fiksasi.
e) Gunakan mitela untuk menggendong tangan.
G (Get) : bawa korban kerumah sakit sesegera dan seaman mungkin.
T (Tell to Doctor)  : informasikan ke dokter tanda dan gejala yang muncul pada korban.
c.       Penatalaksanaan Selanjutnya di Rumah Sakit :
1) Dibawa ke Emergency Room, dan melakukan ABC (penatalaksanaan Airway,
Breathing dan Circulation).
2) Berikan pertolongan pertama pada luka gigitan (verban ketat dan luas di atas
luka, imobilisasi (dengan bidai bila perlu).
3) Insisi luka pada 1 jam pertama setelah digigit akan mengurangi toksin 50%
4) Pada penatalaksanaan sirkulasi, berikan IVFD RL 16-20 tpm.
5) Sampel (5-10 ml) darah untuk pemeriksaan : waktu protrombin, APTT, INR,
fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, BUN, elektrolit (terutama
K). Periksa waktu pembekuan darah, jika > 10 menit, maka menunjukkan
kemungkinan adanya koagulopati.
6) Penisillin prokain (PP) 1 juta unit pagi dan sore
7) Berikan SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dikebalkan), pivalen
1 ml berisi :
10-50LD50 bisa Ankystrodon
25-50LD50 bisa Bungarus
25-51LD50 bisa Nayasputarix .
8) Teknik pemberian : 2 vial @ 5ml intravena dalam 500 ml NaCl 0,9% atau
Dextrose 5% dengan kecapatan 30-40 tetes/menit. SABU maksimal 100 ml
(20 vial). Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan.
9) Heparin 20.000 unit per 24 jam
10) Monitor diathese hemorhagi setelah 2 jam, bila tidak membaik, tambah 2
flacon SABU lagi. SABU maksimal diberikan 300 cc (1 flacon = 10 cc).
11) Bila ada tanda-tanda laryngospasme, bronchospasme, urtikaria atau hipotensi
berikan adrenalin 0,5 mg/IM, hydrocortisone 100 mg IV.
12) Kalau perlu dilakukan hemodialise.
13) Bila diathese hemorhagi membaik, transfusi komponen
14) Observasi pasien minimal 1 x 24 jam.
            Catatan: Jika terjadi syok anafilatik karena SABU, SABU harus dimasukkan
secara cepat sambil diberi adrenalin.
d.      Pemberian SABU (Serum Anti Bisa Ular)
Pedoman Pemberian SABU sesuai derajat parrish, Schwartz dan Way (Depkes, 2001).

Derajat Parrish Pemberian SABU


0-I Tidak perlu
II 5-20cc (1-2 vial)
III 40-10cc (4-10 vial)
I. Komplikasi
a. Syok hipovolemik
b. Edema paru
c. Kematian
d. Gagal napas

Konsep Keperawatan

1. Pengkajian Primer

Data Umum: Identitas Pasien meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan, status pernikahan, agama, no RM, diagnosa medis, tanggal masuk
rumah sakit dan alamat.

Identitas Penanggun Jawab meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan,


hubungan dengan pasien dan alamat.

Keluhan utama : Nyeri di sertai demam, mual, muntah, merah dan oedem pada
daerah gigitan, gatal-gatal, sesak nafas.

a. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas
pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya
sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas
maka jalan nafas pasien terbuka. Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan
bantuan airway dan ventilasi. tulang belakang leher harus dilindungi
selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau
dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar. Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway
pada pasien antara lain :
1. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau
bernafas
dengan bebas tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara
lain:
a) Adanya snoring atau gurgling
b) Stridor atau suara napas tidak normal
c) Agitasi (hipoksia)
d) Penggunaan otot bantu pernafsan /paradoxical chest movements
e) Sianosis
2. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan
potensial penyebab obstruksi :
a) Muntahan
b) Perdarahan
c) Gigi lepas atau hilang
d) Gigi palsu
e) Trauma wajah
3. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
4. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang
berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
5. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai
indikasi
a) Chin lift/jaw thrust
b) Lakukan suction (jika tersedia)
c) Oropharyngeal airway , nasopharyngeal airway, Paryngeal laryngeal
mask Airway
d) Lakukan intubasi.
b. Pengkajian Breathing ( pernafasan )
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan
keadekuatan pernafasan pada pasien. jika pernafasan pada pasien tidak
memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah:
dekompresi dan drainasetension pneumothorax/haemothorax ,closure of open
chest injury dan ventilasi buatan.
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian Breathing pada pasien antara lain:
1. Look, Listen dan feel
a) Inspeksi dari tingkat pernafasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda
sebagai berikut: cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest
wound, dan penggunaan otot bantu pernafasan
b) Palpasi untuk adanya pergeseran trakea, frkatur ruling iga, subcutaneous
emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothora dan
pneumotoraks
c) Auskultasi untuk adanya suara abnormal pada dada
c. Pengkajian Circulation
Syok didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi
jaringan. hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma.
Diagnosis syok didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea,
hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill dan penurunan
produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan
salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi
perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya
menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan
perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac
spinal shock dan anaphylaxis Semua perdarahan eksternal yang nyata harus
diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan
baik langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara
lain :
a) Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan
b) CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
c) Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan
pemberian penekanan secara langsung.
d) Palpasi nadi radial jika diperlukan
e) Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia
(capillary refill)
f) Lakukan treatment terhadap hipoperfus
d. Pengakjian Disabilities
Pada primary survey Disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU:
A : alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan.
V : vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti.
P: responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon).
U : unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri.
e. Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. jika pasien
diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting
untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada
punggung pasien yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada
pasien adalah mengekspose pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah
semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat
dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang. Dalam
situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa,
maka rapid trauma Assessment harus segera dilakukan:
a) Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
b) Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien
luka
dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil
atau kritis
2. Pengkajian sekunder

a. Pemeriksaan fisik
Pengkajian Dasar data pengkajian pasien, yaitu:

a) Aktivitas dan Istirahat


Gejala: Malaise.
b) Sirkulasi
Tanda: Tekanan darah normal/sedikit di bawah jangkauan normal (selama hasil
curah jantung tetap meningkat). Denyut perifer kuat, cepat, (perifer hiperdinamik),
lemah/lembut/mudah hilang, takikardi, ekstrem (syok).
c) Integritas Ego
Gejala: Perubahan status kesehatan.
Tanda: Reaksi emosi yang kuat, ansietas, menangis, ketergantungan, menyangkal,
menarik diri.
d) Eliminasi
Gejala: Diare.
e) Makanan/cairan
Gejala: Anoreksia, mual/muntah.
Tanda: Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot (malnutrisi).
f) Neorosensori
Gejala: Sakit kepala, pusing, pingsan.
Tanda: Gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, delirium/koma.
g) Nyeri/Kenyamanan
Gejala: Kejang abdominal, lokalisasi rasa nyeri, urtikaria/pruritus umum.
h) Pernapasan
Tanda: Takipnea dengan penurunan kedalaman pernapasan.
Gejala: Suhu umunya meningkat (37,95˚C atau lebih) tetapi mungkin normal,
kadang subnormal (dibawah 36,63˚C), menggigil. Luka yang sulit/lama sembuh.
i) Seksualitas
Gejala: Pruritus perianal, baru saja menjalani kelahiran.
j) Integumen
Tanda: Daerah gigitan bengkak, kemerahan, memar, kulit teraba hangat

b. Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan laboratorium :
i. Penghitungan jumlah sel darah
ii. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
iii. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
iv. Tipe dan jenis golongan darah
v. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
vi. Urinalisis untuk myoglobinuria
vii. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
b) Pemeriksaan Penunjang lainnya
i. EKG
ii. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
iii. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal

3. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan reaksi endotoksin
b. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik
c. Ansietas berhubungan dengan ancaman status terkini
4. Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan NOC NIC
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Jalan Napas (3140)
berhubungan dengan reaksi 1x8jam diharapkan masalah keperawatan  Kelola pemberian bronkodilator
endotoksin teratasi dengan kriteria hasil:  Ajarkan pasien menggunakan inhaler
Setelah dilakukan asuhan keperawatan sesuai resep
7x24jam diharapkan masalah keperawatan  Kelola pengobatan aerosol
teratasi dengan kriteria hasil:
 Kelola nebulizer
NOC Label : Status Pernapasan: Kepatenan
 Posisikan untuk meringankan sesak
Jalan Napas (0410)
napas
1. Frekuensi pernapasan (3) devisiasi
sedang dari kisaran normal
 Monitor status pernapasan dan
oksigenasi
2. Kedalaman inspirasi (3) devisiasi
sedang dari kisaran normal
3. Irama pernapasan (3) devisiasi sedang
dari kisaran normal
4. Suara napas tambahan (4) ringan

2. Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen nyeri (1400):
agens cedera fisik 1x8jam diharapkan masalah keperawatan  Lakukan pengkajian nyeri secara
teratasi dengan kriteria hasil: komprehensif termasuk lokasi,
NOC Label: Kontrol nyeri (1605) karakteristik, durasi, frekuensi,
1. Mengenali kapan nyeri terjadi (4) kualitas dan ontro presipitasi.
sering menunjukkan  Observasi  reaksi nonverbal dari
2. Menggambarkan faktor penyebab ketidaknyamanan.
(4) sering menunjukkan  Gunakan teknik komunikasi
3. Menggunakan analgesic yang terapeutik untuk mengetahui
direkomendasikan (5) secara pengalaman nyeri klien sebelumnya.
konsisten menunjukkan  Kontrol ontro lingkungan yang
4. Menggunakan non analgesic ynag mempengaruhi nyeri seperti suhu
direkomendasikan (5) secara ruangan, pencahayaan, kebisingan.
konsisten menunjukkan
5. Melaporkan perubahan gejala nyeri  Kurangi ontro presipitasi nyeri.
pada professional kesehatan (5)  Pilih dan lakukan penanganan nyeri
secara konsisten menunjukkan (farmakologis/non farmakologis)..
 Ajarkan teknik non farmakologis
(relaksasi, distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri..
 Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri.
 Evaluasi tindakan pengurang
nyeri/kontrol nyeri.
 Kolaborasi dengan dokter bila ada
komplain tentang pemberian analgetik
tidak berhasil.
 Monitor penerimaan klien tentang
manajemen nyeri.
Administrasi analgetik (2210) :.
 Cek program pemberian analogetik;
jenis, dosis, dan frekuensi.
 Cek riwayat alergi..
 Tentukan analgetik pilihan, rute
pemberian dan dosis optimal.
 Monitor TTV sebelum dan sesudah
pemberian analgetik.
 Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri muncul.
 Evaluasi efektifitas analgetik, tanda
dan gejala efek samping.

3. Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Pengurangan Kecemasan (5820)
ancaman status terkini 1x8jam diharapkan masalah keperawatan  Gunakan pendekatan yang
teratasi dengan kriteria hasil: menyakinkan dan tenang
NOC Label : Tingkat kecemasan (1211)  Jelaskan semua prosedur termasuk
1. Perasaan gelisah (3) sedang sensasi yang akan dirasakan yang
2. Wajah tegang (3) sedang mungkin dialami klien selama
3. Rasa takut yg disampaikan scr lisan (3) prosedur dilakukan
sedang  Instruksikan teknik relaksasi
4. Peningkatan tekanan darah (3) sedang  Dorong keluarga untuk mendampingi
5. Peningkatan frekuensi nadi (3) sedang pasien dg cara yg tepat
6. Peningkatan frekuensi pernapasan (3)  Kaji tanda verbal non verbal
sedang kecemasan
 Mengidentifikasi perubahan tingkat
kecemasan
Daftar Pustaka

Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite: pathophysiology


https://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104

Deddyrin. 2009. Intoxicasi. (Online), http : // deddyrn. blogspot.Com/2009/09/intoxicasi.html (diakses


24 Mei 2021)

Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM

Retno Aldo. 2010. Askep Gigitan Ular, (Online),http://retnoaldo.blogspot.com/2010/10/askep-gigitan-


ular.html, diakses 24 Mei 2021

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo (dkk), EGC, Jakarta.

Sudoyo, A.W., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

World Health Organization. 2005. Guidelines for the Clinical Management of Snake Bite in the
South-East Asia Region

Anda mungkin juga menyukai