Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN : KUSTA DAN ERADIKASI PENYAKIT


KUSTA

OLEH:

1. THERESIA P. TETO (171111079)


2. VERY A. UNU (171111080)
3. VIVI KOROH (171111081)
4. YULIESTER K. DAHI KALE (171111082)
5. YUMI O. NDOLU (171111083)
6. YUNITA R. I SETTE (171111084)

PROGRAM STUDI NERS


UNIVERSITAS CITRA BANGSA
2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmatnya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah Penyakit Tropis dengan judul
“Asuhan Keperawatan Klien dengan Kusta dan Eradikasi Penyakit Kusta”, dengan baik.

Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk
itu saya mengharapkan ada kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi
menyempurnakan makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam
pemahaman tentang kerangka kerja, operasional, populasi, sampel dan sampling

Kupang, 17 September 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Judul

Kata Pengantar.......................................................................................................................... ii

Daftar isi.................................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang.....................................................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah................................................................................................................1

1.3. Tujuan Penulisan .................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Penyakit Kusta .............................................................................................2


2.2 Asuhan Keperawatan ..........................................................................................................6
2.3 Kebijakan Pemerintah terkait eradikasi Kusta ..................................................................10
2.4 Upaya Eradikasi Penyakit .................................................................................................12

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan........................................................................................................................14

3.2. Saran...................................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................15

Lampiran Foto...........................................................................................................................16

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang penyebabnya ialah Mycobacterium leprae
dan bersifat intraseluler obligat.Saraf perifer sebagai afinitaspertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
Masa tunas dari penyakit kusta sangat bervariasi, yaitu antara 40 hari sampai 40 tahun dan
pada umumnya penyakit ini membutuhkan waktu antara tiga hingga lima tahun (Kosasih
dkk., 2007). Pada sebagian besar orang yang telah terinfeksi dapat teridentifikasi dengan
tanpa gejala atau asimptomatik, namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala dan
mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, khususnya pada tangan dan kaki. Penyakit
kusta dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe Multi Basiler dan Pausi Basiler (Amirudin dkk.,
2003).
Penyakit kusta termasuk salah satu dari delapan penyakit terabaikan atau Neglected
Tropical Disease (NTD) yang masih ditemukan keberadaannya di Indonesia. Penyakit kusta
yang tidak segera ditangani menjadikan penyakit ini berkembang kearah yang progresif
menyebabkan kerusakan padakulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata, kemudian lebih
lanjut dapat menimbulkan kecacatan pada penderitanya (Kemenkes RI, 2015).

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas didapatkan beberapa rumusan masalah diantaranya:
1. Bagaimana konsep penyakit kusta?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada penyakit kusta?
3. Bagaimana Kebijakan Pemerintah terkait eradikasi Kusta?
4. Bagaimana upaya eradikasi kusta?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar dapat mengetahui Asuhan Keperawatan Klien dengan Kusta dan Eradikasi
Penyakit Kusta
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Agar dapat mengetahui konsep penyakit kusta, asuhan keperawatan pada
penyakit kusta, kebijakan pemerintah terkait eradikasi kusta, serta upaya
eradikasi kusta
2) Bagi Institusi agar sebagai referensi

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit Kusta


2.1.1 Pengertian

Penyakit infeksi kronis namun dapat disembuhkan, terutama menyebabkan


lesi kulit dan kerusakan saraf. Kusta disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium
leprae. Kondisi ini terutama memengaruhi kulit, mata hidung dan saraf perifer.
Gejalanya termasuk bercak-bercak berwarna terang atau kemerahan di kulit disertai
dengan berkurangnya kemampuan merasa, mati rasa, dan lemas pada tangan dan kaki.
Kusta dapat disembuhkan dengan terapi sejumlah obat selama 6-12 bulan.
Penanganan dini akan menghindarkan dari kecacatan. Penyakit kusta merupakan
penyakit infeksi mikobakterium yang bersifat kronikprogresif, mula-mula menyerang
saraf tepi dan kemudian terdapat manifestasikulit. (Siregar,2004).
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus
Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman. Kusta adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. Kusta menyerang berbagai bagian
tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa
pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah
tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif
menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata. Tidak seperti
mitor yang beredar dimasyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh
sebegitu mudah seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering
disamakan dengan kusta. (Pusdatin,2015).

2.1.2 Epidemiologi
Laporan WHO dalam weekly epidemiological record tahun 2018
menunjukkan bahwa terdapat 210.671 penderita kusta yang dilaporkan dari 38 negara
di semua regional WHO di akhir tahun 2017. Jumlah ini mengalami sedikit penurunan
dibandingkan tahun sebelumnya yaitu tahun 2016 dengan total kasus sebesar 214.783.
Regional Asia Tenggara menjadi regional penyumbang kasus baru kusta paling
banyak yaitu sebesar 153.487, sedangkan Regional Eropa menjadi penyumbang kasus
baru kusta paling sedikit dengan jumlah kasus sebanyak 33 kasus. Jumlah penderita
kusta di seluruh dunia mengalami penurunan dari tahun ketahunnya, meskipun
demikian Indonesia menjadi negara yang konsisten setiap tahunnya sebagai peringkat
ketiga kasus kusta terbanyak setelah India dan Brazil (WHO, 2018).

2
Kasus baru kusta di Indonesia padatahun 2017 terdapat 15.910 kasus. Jumlah
ini mengalami penurunan dibandingkan dua tahun sebelumnya yaitu 16.826 kasus
baru kusta pada tahun 2016 dan 17.202 kasus pada tahun 2015 (WHO, 2018).

2.1.3 Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.


Mycobacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan ciri dari spesies
Mycobacterium. Kuman berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2 – 0,5 micro
biasanya berkelompok dan ada yangtersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA) atau gram positf.

Bakteri kusta banyak terdapat pada kulit tangan, daun telinga, dan daun
mukosa. Bakteri ini mengalami proses pembelahan cukup lama antara 12-21
hari. Kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh, setelah itu menuju sel pada saraf
tepi. Di dalam sel, kuman berkembang biak, sel tersebut pecah dan kemudian
menginfeksi sel yang lain atau ke kulit. Daya tahan hidup kuman kusta
mencapai 9 hari diluar tubuh manusia. Kusta memiliki masa inkubasi 2-5 tahun
bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5tahun.

2.1.4 WOC
Lihat Doc. WOC Kusta

2.1.5 Manifestasi Klinis

Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah, hal ini


bergantung pada beberapa faktor. Mycobacterium leprae memiliki masa
inkubasi penyakit yang sangat lambat yaitu sekitar 5 tahun dan gejala yang
ditimbulkan baru mulai muncul setelah 20 tahun. Gejala kusta yaitu ditemukan
adanya lesi tunggal atau ganda, biasanya kurang berpigmen dari kulit sekitarnya.
Tanda awal berupa bercak keputihan dengan batas yang kadang kurang
jelas dan mulai atau sudah mati rasa pada area bercak. Tanda tersebut masih
belum dapat dipastikan tipenya. Gejala-gejala yang terdapat pada penderita
penyakit kusta yaitu : panas dari derajat rendah sampai menggigil, anoreksia,
nausea, cephalgia, kadang- kadang disertai iritasi, neuritis. Selain itu ada tanda-
tanda dugaan yang belum dapat digunakan sebagai dasar sesorang dinyatakan

3
menderita kusta. Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah bercak kulit yang
merah atau putih, bercak tidak gatal, kulit mengkilap atau kering bersisik,
ditemukan kelainan kulit seperti tidak berkeringat atau tidak berambut, adanya
luka yang sulit sembuh, nyeri tekan pada saraf,kelemahan anggota gerak atau
wajah dan rasa kesemutan, seperti tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggot agerak.
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda- tanda
utama (cardinal sign) yaitu :
a. Kelainan kulit yang matirasa
Kelainan kulit atau lesi dapat berbentuk hipopigmentasi (bercak putih) atau
anestesi (mati rasa) pada kulit.
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan
fungsi saraf ini disebabkan peradangan saraf tepi yang kronis. Gangguan
saraf ini bisa berupa:
1) Gangguan fungsi sensoris merupakan gangguan yang ditandai
dengan matirasa.
2) Gangguan fungsi motoris merupakan gangguan yang ditandai dengan
kelemahan atau kelumpuhanotot.
3) Gangguan fungsi otonom merupakan gangguan yang ditandai dengan
kulit kering dan retak-retak.
c. Hasil pemeriksaan laboratorium dari kerokan jaringan kulit menunjukkan
BTA (basil tahan asam) positif.

2.1.6 Komplikasi
a. Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta akibat
kerusakanfungsi saraf tepi mayupun karena neuritis seawaktu terjadi reaksi
kusta. Reaksi kusta atau reaksi leprae adalah suatu episode akut dalam
perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan /respon
seluler dengan akibat merugikan pasien .
b. Neuropati dapat menginduksi terjadinya trauma, nekrosis ,infeks sekunder
,amputasi jari dan ekstremitas. Pengobatan kotrikosteroid hanya 60%
memperbaiki fungsi saraf. Kontraktur dapat menyebabkan kekakuan , yang
akibatnya dapat terjadi clawing hand and feet . terjadinya kelemahan
hilangnya persarafan pada otot merupakan bukti terjadinya deformitas. Luka
dapat menyebabkan ‘’ Charcots joint’’ yang merupakan penyebab utama
deformitas. Arthritis dapat terjadi kira-kira 10% pada pasien dengan kusta
dengan gejala persendiaan ada hubungannya dengan reaksi , Mandal 2006).

4
c. Komplikasi pada mata yaitu keratitis yang dapat terjadi karena berbagai faktor
termasuk karena mata yang kering . insesinfitas kornea dan lagophtlamus .
keratitis dan lesi pada bilik anterior bola mata , umunya terjadi iritasi dan
menyeebabkan kebutaan . juga dapat terjadi ektropion dan entropion menurut
penelitian resiko komplikasi mata terjadi pada pasien dengan tipe MB setelah
menyelesaikan MDT menjadi 5,6% dengan komplikasi kerusakan mata
sebanyak 3,9% (Syafrudin, dkk,2011).

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik


Diagnose penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis bakterioskopik ,
histopatologis dan serelogis.
1. Pemeriksaan Bakterioskopik / kerokan jaringan kulit
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakan
diagnosis dan pengamatan pengobataan . sendiaan dibuat dari kerokan
jaringan kulit atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan
perwarnaan terhadap basil tahan asap /BTA antara lain dengan ZIEHL –
NEELSEN . bakterioskopik negative pada seseorang penderita bukan berarti
orang tersebut tidak mengandung kuman M. Leprae .
2. Pemeriksaan Histopatologik
Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis kalau ada kuman
M .Leprae masuk tergantung pada sistem kekebalan seluler orang tersebut bila
sistem imunitas selulernya baik maka maktofag akan mampu memfagosit M
leprae. Datangnya histiosit ketempat kuman disebabkan karena proses
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik . kalau datangnya berlebihan
dan tidak ada lagi yang harus di difagosit , makrofag akan berubah menjadi
sel epitelo’id yang tidak dapat berjerak dan kemudian akan berubah menjadi
sel datia Langhans .
3. Pemeriksaan serologik
Pemeriksaan serologic kusta didasarkan atas terbentuknya antibody pada
tubuh seseorang yang terinfeksi M laprae . antibody yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M laprae yaitu antibody anti phenolic glycopilid
[PGL-1] dan antibody antiprotein 16 KD serat 35KD. Sedangkan antibody
yang tidak spefisik adalahj antibody anti-lipoarabinomanan [LAM] yang juga
dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis .
Kegunaan pemeriksaan ini adalah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas .

2.1.8 Penatalaksanaan
a) Terapi medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan kusta dan
mencegah timbul cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien
kusta terutam tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden
penyakit. Program multi drug therapy / MDT dengan kombinasi rifampisin
,klofasimin dan DDS dimulai tahun 1981 . program ini bertujuan untuk

5
mengatasi resistensi dapson yang meningkat , menguranggi ketidaktaatan
pasien , menurunkan angka putus obat dan mengeliminasi presistensi kuman
kusta dalam jaringan .
b) Rejimen pengobatan MDT diindonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai
berikut :
a. Tipe PB / pause basiler
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petuga DDS tablet 100mg/hari
diminum dirumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan
setelah selasai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesi
nya masih aktif . menurut WHO 1995 tidak lagi dinyatakan RFT tetapi
mengunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi
dalam pengawasan .
b. Tipe MB / multi basiler
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas . klofazimin 300mg/bln
diminum didepan petugas , DDS 100mg/hari diminum dirumah .
pengobatan 24 dosis diselesaikan dengan waktu maksimal 36 bulan
sesudah selesai minum 24 dosis dinyatak RFT meskipun secara klinis lesi
masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif . menurut WHO 1998
pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesikan dalam 12-18
bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
c. Dosis untuk anak
Klofazimin : umur dibawah 10 tahun 50mg/2x/minggu . umur 11-14 tahun
100mg/bln .
d. Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru . menurut WHO 1998
pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya satu cukup diberikan dosis tunggal
fifampisin 600mg , oflosasim 400mg ,minosiklin 100mhg dan pasien
langsung dinyatakan RFT .
e. Putus obat
Pada psien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari
seharusnya maka dikatakan DO , sedangkan pasien kusta tipe MB
dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari seharusnya .

2.2 Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang sistematis
memalu pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengindentifikasi status kesehatan klien (Nursalam, 2001). Kegiatan yang
dilaksanakan dalam pengkajian adalah pengumpulan data dan merumuskan prioritas
masalah. Pada pengkajian – pengumpulan data yang cermat tentang klien, keluarga,
didapatkan melalui wawancara, observasi dan pemeriksaan.

6
1) Biodata
Merupakan data subyektif yang didapat dari klien terhadap situasi dan
kejadian, informasi tersebut tidak dapat ditentukan oleh tenaga kesehatan
secara independent tetapi melalui suatu sistem interaksi atau komunikasi
seperti:
Nama :untuk mengenal dan mengetahui pasien sehingga penulisan nama
harus jelas danlengkap, bila perlu nama panggilan sehari-hari agar tidak
keliru dalam memberikan pelayanan.
Umur : dicatat dalam tahun untuk mengetahui adanya resiko dalam
menentuk dosi obat, sikap yang belum matang, mental dan psikisnya belum
siap.
Agama : untuk memberikan motivasi dorongan moril sesuai dengan agama
yang dianut;
Suku : untuk mengetahui faktor bawaan atau ras serta pengaruh adat istiadat
atau kebiasaan sehari-hari.
Pendidikan: Perlu dinyatakan karena tingkat pendidikan berpengaruh pada
tingkat pemahaman pengetahuan, sehingga perawat dapat memberikan
konseling sesuai dengan pendidikannya; Alamat Untuk mengetahui tempat
tinggal serta mempermudah pemantauan bila diperlukan melakukan
kunjungan rumah; Pekerjaan untuk mengetahui status ekonomi keluarga,
karena dapat mempengaruhi pemenuhan gizi pasien tersebut.

2) Riwayat Kesehatan
a. Kesehatan sekarang
Biasanya klien dengan penyakit kusta datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan
adanya komplikasi pada organ tubuh.
b. Kesehatan masa lalu
Pada klien dengan reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah,
stres, sesudah mendapat imunisasi.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Kusta merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan
olehkuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya

7
diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang
mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.
d. Riwayat psikologi
Klien yang menderita penyakit kusta akan malu karena sebagian
besarmasyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan
penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri,
sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena
penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita.
e. Pola aktivitas sehari-hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan
dan kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada
orang lain dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak
memungkinkan

3) Pemeriksaan Fisik
Di awali dengan menilai keadaan umum klien biasanya dalam keadaan
demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus
hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.
a) Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan
lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.Pada morbus hansen tipe II
reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan
mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak
pada alis mata maka alismata akan rontok.
b) Sistem syaraf
Kerusakan fungsi sensorik :Pada kasus kusta biasanya yang terjadi
yaitu mati rasa pada telapak tangan dan kaki, kadang disertai luka,
pada kornea mata mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip.
Kerusakan fungsi motorik :Kekuatan otot tangan dan kaki dapat
menjadi lemah/ lumpuh dan lamalama ototnya mengecil (atropi)
karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok
dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila

8
terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).
Kerusakan fungsi otonom :Terjadi gangguan pada kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi
kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
System Musculoskeletal : Adanya gangguan fungsi saraf tepi
motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan otot tangan dan kaki,
jika dibiarkan akan atropi.
System Integumen: Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi
(seperti panu), bercak eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan
kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi
gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah.
Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak (Judith dkk,
2011).

2.2.2 Diagnosa
Berdasarkan NANDA 2020 Dari data tersebut diatas masalah keperawatan
yang akan muncul antara lain:
1) Nyeri akut/kronik berhubungan dengan agens cedera biologis (infeksi).
2) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kelembapan
3) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan imobilitas.
4) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan persepsi diri.
5) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
6) Defisiensi pengetahuan pengetahuan berhubungan dengan kurang
informasi

2.2.3 Perencanaan

Masalah Keperawatan NOC NIC


Nyeri Akut Kontrol Nyeri Manajemen Nyeri
Kerusakan Integritas Kulit Integritas jaringan: kulit Manajemen tekanan
dan selaput lendir
Intoleransi Aktivitas Konservasi energi Manajemen energi

9
Gangguan Citra Tubuh Koping Mekanisme koping
Ansietas Tingkat kecemasan Pengurangan kecemasan
Defisiensi Pengetahuan Pengetahuan proses Pengajaran proses
penyakit penyakit

2.2.4 Pelaksanaan

Implementasi keperawatan merupakan bagian dari proses keperawatan. Tujuan


implementasi adalah mengatasi masalah yang terjadi pada manusia. Setelah rencana
keperawatan disusun, maka rencana tersebut diharapkan dalam tindakan nyata untuk
mencapai tujuan yang diharapkan, tindakan tersebut harus terperinci sehingga dapat
diharapkan tenaga pelaksanaan keperawatan dengan baik dan sesuai dengan waktu
yang ditentukan Implementasi ini juga dilakukan oleh perawat dan harus menjunjung
tinggi harkat dan martabat sebagai manusia yang unik (Djuanda Adhi, 2010)

2.2.5 Evaluasi dan Dokumentasi

Adalah tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi menyediakan nilai


informasi mengenai pengaruh intervensi yang telah direncanakan dan merupakan
perbandingan dari hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang telah dibuat pada
tahap perencanaan (Djuanda Adhi, 2010).

Menurut Mansjoer Arif (2005), evaluasi keperawatan ada 2 yaitu:

1. Evaluasi proses (formatif) yaitu evaluasi yang dilakukan setiap selesai


tindakan. Berorientasi pada etiologi dan dilakukan secara terus-menerus
sampai tujuan yang telah ditentukan tercapai.
2. Evaluasi hasil (sumatif) yaitu evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan
keperawatan secara paripurna. Berorientasi pada masalah keperawatan dan
menjelaskan keberhasilan atau ketidakberhasilan. Rekapitulasi dan kesimpulan
status kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang ditetapkan.

2.3 Kebijakan Pemerintah terkait Eradikasi Kusta


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta.
1. Dalam rangka Penanggulangan Kusta, Pemerintah Pusat bertanggung jawab:
1) Menetapkan kebijakan Penanggulangan Kusta;
2) Menjamin ketersediaan sumber daya yang diperlukan;
3) Melakukan kerja sama dan membentuk jejaring kerja dengan pemangku
kepentingan terkait;

10
4) Melakukan advokasi dan kerja sama antar lintas porgram dan linas sektor;
5) Menyusun materi dalam media komunikasi, informasi, dan edukasi program
Penanggulangan Kusta dan mendistribusikan ke daerah;
6) Meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia;
7) Melakukan pemantauan dan evaluasi; dan
8) Melakukan penelitian dan pengembangan.

2. Dalam rangka Penanggulangan Kusta, Pemerintah Daerah provinsi bertanggung


jawab:
1) Membuat dan melaksanakan kebijakan Penanggulangan Kusta di wilayah
daerah provinsi sesuai kebijakan nasional;
2) Melakukan kerja sama dan membentuk jejaring kerja dengan pemangku
kepentingan terkait;
3) Melakukan bimbingan teknis dan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
program Penanggulangan Kusta kepada kabupaten/kota melalui Dinas
Kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas, dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya;
4) Menyediakan sumber daya yang diperlukan;
5) Menyediakan dan mengembangkan media komunikasi, informasi, dan edukasi
program Penanggulangan Kusta;
6) Meningkatkan koordinasi lintas program dan lintas sektor di tingkat daerah
provinsi;
7) Melaksanakan advokasi dan sosialisasi program Penanggulangan Kusta
kepada para pemangku kepentingan di daerah kabupaten/kota dan lintas sektor
terkait;
8) Meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia; dan
9) Melakukan penelitian dan pengembangan.

3. Dalam rangka Penanggulangan Kusta, Pemerintah Daerah kabupaten/kota


bertanggung jawab:
1) Membuat dan melaksanakan kebijakan Penanggulangan Kusta di wilayah
daerah kabupaten/kota sesuai kebijakan nasional dan kebijakan daerah
provinsi;
2) Meningkatkan kemampuan tenaga Puskesmas, Rumah Sakit, klinik, dan
kader;
3) Menyediakan sumber daya yang diperlukan;
4) Menyediakan dan mengembangkan media komunikasi, informasi, dan edukasi
program Penanggulangan Kusta;
5) Melaksanakan advokasi dan sosialisasi program Penanggulangan Kusta
kepada para pemangku kepentingan dan lintas sektor terkait; dan
6) Melakukan bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan
Penanggulangan Kusta kepada Puskesmas.

11
Untuk tingkat dunia (global) WHO mencanangkan target Global Strategy for
Further Reducing the Disease Burden Due to Leprosy

2.4 Upaya Eradikasi Kusta


Upaya pencegahan dan pengendalian meliputi kegiatan:
1. Promosi Kesehatan
Kegiatan promosi kesehatan diarahkan untuk memberdayakan masyarakat agar
mampu berperan aktif dalam mendukung perubahan perilaku dan lingkungan serta
menjaga dan meningkatkan kesehatan untuk pencegahan dan pengendalian Kusta.
Kegiatan promosi kesehatan dilaksanakan dalam bentuk:
1) Memberikan informasi kepada masyarakat tentang tanda dan gejala dini
Kusta, serta teknis kegiatan Penanggulangan Kusta; mempengaruhi individu,
keluarga, dan masyarakat untuk penghapusan stigma dan menghilangkan
diskriminasi pada Penderita Kusta dan orang yang pernah mengalami Kusta;
mempengaruhi pemangku kepentingan terkait untuk memperoleh dukungan
kebijakan Penanggulangan Kusta, khususnya penghapusan stigma dan
diskriminasi, serta pembiayaan; dan membantu individu, keluarga, dan
masyarakat untuk berperan aktif dalam penemuan dan tata laksana Penderita
Kusta, pelaksanaan Kemoprofilaksis, dan kegiatan penelitian dan
pengembangan.

2. Surveilans
Kegiatan Surveilans diarahkan untuk penemuan Penderita Kusta dan penanganan
secara dini serta mengetahui besaran masalah di suatu wilayah.
Kegiatan Surveilans dilaksanakan dalam bentuk:
1) Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui penemuan Penderita Kusta secara aktif
dan pasif.
Pengumpulan data melalui penemuan Penderita Kusta secara aktif paling
sedikit dilakukan melalui survei cepat desa, intensifikasi penemuan
Penderita Kusta, pemeriksaan anak sekolah, dan pemeriksaan kontak
serumah, tetangga, dan sosial.
Pengumpulan data melalui penemuan Penderita Kusta secara pasif
dilaksanakan dengan cara menerima data dari fasilitas pelayanan kesehatan,
masyarakat, dan sumber data lainnya.
Pengolahan data dilakukan dengan cara perekaman data, kodifikasi, validasi,
dan/atau pengelompokan berdasarkan tempat, waktu, usia, klasifikasi Kusta,
dan jenis kelamin.
2) Analisis Data
Analisis data dilakukan melalui metode epidemiologi deskriptif dan/atau
analitik untuk menghasilkan informasi yang sesuai dengan tujuan
Surveilans.
3) Diseminasi Informasi

12
Diseminasi informasi dilakukan dengan cara menyampaikan informasi
kepada pengelola program dan unit lain yang membutuhkan serta
memberikan umpan balik sesuai kebutuhan.

3. Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis diarahkan untuk mencegah penularan Kusta pada orang yang
kontak dengan Penderita Kusta. Kemoprofilaksis dilaksanakan dalam bentuk
pemberian obat rifampisin dosis tunggal pada orang yang kontak dengan Penderita
Kusta yang memenuhi kriteria dan persyaratan.
Kriteria dan persyaratan meliputi:
1) Penduduk yang menetap paling singkat 3 (tiga) bulan pada daerah yang
memiliki Penderita Kusta;
2) Berusia lebih dari 2 (dua) tahun;
3) Tidak dalam terapi rifampisin dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir;
4) Tidak sedang dirawat di rumah sakit;
5) Tidak memiliki kelainan fungsi ginjal dan hati;
6) Bukan suspek tuberkulosis;
7) Bukan suspek Kusta atau terdiagnosis Kusta; dan
8) Bukan lanjut usia dengan gangguan kognitif.
9) Obat rifampisin diberikan oleh petugas kesehatan dan wajib diminum
langsung di depan petugas pada saat diberikan.

4. Tata Laksana
Tata laksana Penderita Kusta diarahkan untuk mengobati Penderita Kusta secara
dini dan mencegah disabilitas akibat Kusta. Tata laksana Penderita Kusta dilakukan
dalam bentuk:
1) penegakkan diagnosis;
2) pemberian obat dan pemantauan pengobatan; dan
3) pencegahan dan penanganan disabilitas.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyakit infeksi kronis namun dapat disembuhkan, terutama menyebabkan lesi kulit
dan kerusakan saraf. Kusta disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Kondisi
ini terutama memengaruhi kulit, mata hidung dan saraf perifer. Gejalanya termasuk bercak-
bercak berwarna terang atau kemerahan di kulit disertai dengan berkurangnya kemampuan
merasa, mati rasa, dan lemas pada tangan dan kaki. Kusta dapat disembuhkan dengan terapi
sejumlah obat selama 6-12 bulan. Penanganan dini akan menghindarkan dari kecacatan.

Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari
saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak
ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf,
anggota gerak dan mata. Tidak seperti mitor yang beredar dimasyarakat, kusta tidak
menyebabkan pelepasan anggota tubuh sebegitu mudah seperti pada penyakit tzaraath yang
digambarkan dan sering disamakan dengan kusta.

Dalam upaya penanggulangan atau eradikasi penyakit kusta Kementrian Kesehatan


Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta, baik di tingkat pemerintahan pusat, pemerintah
daerah provinsi sampai pemerintah daerah kota juga bertanggung jawab atas pengurangan
penyakit kusta atau eradikasi penyakit kusta.

3.2 Saran
1. Bagi Mahasiswa agar dapat memahami dan mengaplikasikan konsep dan teori
asuhan keperawatan penyakit kusta dalam perkuliahan
2. Bagi Perawat agar dapat menerapkan asuhan keperawatan yang baik dan benar
terhadap pasien, sekaligus menjadi educator bagi masyarakat dalam memahami
konsep dari penyakit kusta.

14
DAFTAR PUSTAKA

https://journal.unair.ac.id/indeks.php/JBE/ diakses pada Kamis, 17-09-2020

http://repository.unimus.ac.id diakses pada Kamis 17-09-2020

Wilkinson, Judith M. 2018. Diagnosa Keperawatan NANDA (2018-2020) edisi 11. Jakarta:
EGC

Sue, dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi 5. Singapura: Elsevier Inc

Gloria,dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi 5. Singapura: Elsevier Inc

Kemenkes R.I (2019). Penanggulangan Kusta. Kementerian Kesehatan R.I

15
LAMPIRAN FOTO

16

Anda mungkin juga menyukai