Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

ASKEP KRITIS PADA PASIEN SYOK ANAFILAKTIK

DISUSUN

OLEH KELOMPOK 3:

RUSLIN A.A KAMUMU ( 16010037 )


ULFIAFEBRIANI ( 16010050 )
RADOVAN HILIKA ( 16010035 )
YUSTIAN WENGKAU ( 16010047 )
ASMI ( 16010007 )

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
HUSADA MANDIRI POSO
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami, sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah ASKEP KRITIS PADA PASIEN SYOK
ANAFILAKTIK tepat pada waktunya. Makalah ini diselesaikan untuk
memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Kritis.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa selama penyusunan makalah ini kami
banyak menemui kesulitan dikarenakan keterbatasan referensi dan keterbatasan
kami sendiri. Dengan adanya kendala dan keterbatasan yang dimiliki maka kami
berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun makalah dengan sebaik-baiknya.
Sebagai manusia kami menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak demi perbaikan yang lebih baik dimasa yang akan
datang.
Selain itu kami mengucapkan terimakasih banyak kepada semua pihak yang
sudah membantu sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua orang.

Poso, 09 Januari 2020

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ ii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELEKANG ..................................................................... 1


B. RUMUSAN MASALAH ................................................................ 2

BAB II TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI. ....................................................................................... 3
B. ETIOLOGI. ..................................................................................... 3
C. PATOFIOLOGI .............................................................................. 4
D. MANIFESTASI KLINIS ............................................................... 6
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ................................................... 7
F. PENATALAKSANAAN ................................................................ 8
G. KOMPLIKASI ................................................................................ 11

BAB III ASKEP TEORI

A. PENGKAJIAN ................................................................................ 12
B. DIAGNOSA .................................................................................... 13
C. INTERVENSI ................................................................................. 13
D. IMPLEMENTASI ........................................................................... 14
E. EVALUASI ..................................................................................... 14

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN ............................................................................... 15
B. SARAN ........................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian dan produksi
obat untuk diagnosis, pengobatan dan pencegahan telah menimbulkan reaksi
obat yang tidak dikehendaki yang disebut sebagai efek samping.
Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru disamping
penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan maut juga.
Hipokalemi, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin dan reaksi anafilaktik
merupakan contoh-contoh efek samping yang potensial bebahaya. Gatal-gatal
karena alergi obat, mengantuk karena pemakaian antihistamin merupakan
contoh lain reaksi efek samping yang ringan. Diperkirakan efek samping
terjadi pada 6 sampai 15% pasien yang dirawat di rumah sakit, sedangkan
alergi obat berkisar antara 6-10% dari efek samping. 40-60% disebabkan oeh
gigitaan serangga, 20-40% disebabkan oleh zat kontrasradiografi, 10-20%
disebabkan oleh penicillin.
Syok anafilaktik merupakan bentuk terberat dari reaksi obat. Anafilaktis
memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak dilaporkan lebih dari 500
kematian terjadi setiap tahunnya karena antibiotik golongan beta laktam,
khususnya penisilin. Penisilin merupakan reaksi yang fatal pada 0,002 %
pemakaian. Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoik yang tersering adalah
pemekaian media kontras untuk pemeriksaan radiologi. Media kontraksi
menyebabkan reaksi yang mengancam nyawa pada 0,1 % dan reaksi yang
fatal terjadi antara 1 : 10.000 dan 1 : 50.000 prosedur intravena. Kasus
kematian berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmolar.
Kematian karena uji kulit dan imunoterapi juga pernah dilaporkan 6
kasus kematian karena uji kulit dan 24 kasus imunoterapi terjadi selama tahun
1959 – 1984. Penelitian lain melaporkan 17 kematian karena imunoterapi
selama periode 1985-1989.
Anafilaktif memang jarang terjadi, tetapi bila terjadi umumnya tiba-tiba,
tidak terduga, dan potensial berbahaya. Oleh karena itu kewaspadaan dan

1
kesiapan menghadapai keadaan tersebut sangat diperlukan. Berangkat dari
insiden tersebut, penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang
syok anafilaktik dengan tujuan agar mahasiswa pun pembaca mengetahui
tentang konsep teori dari anafilaksis dan menerapkan asuhan keperawatan
yang tepat pada pasien syok anafilaktik.
B. Rumusan Masalah
1. Apa konsep teori?
2. Asuhan keperawatan pada pasien penderita syok anafilaktik ?

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan
oleh reasi alergi (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical
Care), Hal.1033 ). Shock is a multisystem disorder that involves inadequate
tissue perfusion and altered metabolism. Anaphylactic shock is a potentially
life-threatening situation. It is the result of an exaggerated or a
hypersensitivity response to an antigen (or allergen).(Pamela L. Swearingen,
Manual of Critical Care Nursing, Hal.624)
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon
hipersensivitas generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan
vasodilatasi sistemik dan peningkatan permeabilitas vascular.(Robbins &
Cotrain (Dasar Patologi Penyakit Edisi 7, hal 144). Syok anafilaktik adalah
suatu risiko pemberian obat, maupun melalui suntikan atau cara lain. ( Arif
Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I, Hal. 622).
B. Etiologi
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE
maupun melalui non-IgE . Tentu saja selain obat ada juga penyebab
anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan jasmani, serangan tawon,
faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin pada kolam renang dan
bahkan sebagian anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.
Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
a. Anafilaksis (melalui IgE)
 Antibiotik ( penisilin, sefalosporin)
 Ekstra alergen (bisa tawon, polen)
 Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
 Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
b. Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung :
 Obat (opiat, vankomisin, kurare)

3
 Cairan hipertonik (media radiokontrks, manitol)
 Obat lain (dekstran, flouresens)
 Aktivasi komplemen
 Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya)
 Bahan dialisis
 Modulasi metabolisme
 Asam asetilsalisilat
 Antiinflamasi nonsteroid
C. Patofisiologi
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun
yang menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel
mast dapat terjadi baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE)
(anafilaktik) maupun yang tidak dimediasi IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok
anafilaktik meliputi gigitan atau sengatan serangga, obat-obatan dan makanan;
anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik. Mediator gadar meliputi histamine,
leukotriene, triptase, dan prostaglandin. Bila dilepaskan, mediator
menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan tonus otot polos
bronkus, edema saluran napas, penurunan tonus vascular, dan kebocoran
kapiler. Konstelasi mekanisme tersebut menyebabkan gangguan pernapasan
dan kolaps kardiovaskular ( Michael I. Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran
Kedaruratan, Hal. 24).
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu
kontak langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan /
suntikan. Pada reaksi anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang paling
sering adalah melalui tusukan / suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang
spesifik (seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding
sel makrofag dan dengan segera akan merangsang membrane sel makrofag
untuk melepaskan sel precursor pembentuk reagen antibody immunoglobulin
E atau reagenic ( IgE) antibody forming precursor cell. Sel-sel precursor ini
lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta membebaskan antibody IgE

4
yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh reseptor spesifik yang
berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru yaitu F ab.
Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama.
Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka
antigen ini akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan
diikat membentuk ikatan IgE – Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding
sel mast dan basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-
mediator endogen seperti histamine, kinin, serotonin, Platelet Activating
Factor (PAF). Mediator-mediator ini selanjutnya menuju dan mempengaruhi
sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses merupakan reaksi hipersensitivitas.
Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dan
karena dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat
diatasi dengan hanya memberikan antihistamin. Pada saat fase akut ini
berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi pula proses yang lain.
Fosfolipid yang terdapat di membrane sel mast dan basofil oleh pengaruh
enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan
menjadi prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting
Substance of Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator endogen
anafilaksis. Karena proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih
lambat, maka disebut dengan fase lambat anafilaksis.
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh
dapat lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan
pembebasan histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan
IgE dan reaksi ikatan IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang
memberikan gejala dan tanda serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis.
Beberapa sistem yang dapat mengaktivasi komplemen yaitu, obat-obatan,
aktivasi kinin, pelepasan histamine secara langsung, narkotika, obat pelemas
otot : d-tubokurarin, atrakurium, antibiotika : vankomisin, polimiksin B.

5
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang
terbebaskan akan mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya.
Akibat yang ditimbulkan dapat berupa:
a. Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
b. Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus
mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan
inkontinensia uri, kontraksi usus menyebabkan diare.
c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema
karena pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan
menyebabkan hipovolemi intravaskuler dan syok. Edema yang dapat
terjadi terutama di kulit, bronkus, epiglottis dan laring.
d. Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi
miokardium.
e. Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila
sangat hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak.
Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat
dapat menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan
yang disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan
bronkokonstriksi juga dapat meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan
pelepasan histamine ini dapat pula disebabkan oleh PAF.
D. Manifestasi klinis
Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:
a. Umum : Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan
Prodormal : rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung dan
Palatum.
b. Pernapasan :
 Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat.
 Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema.
 Lidah : edema.
 Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.

6
c. Kardiovaskuler : pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai
syok, aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar, terbalik, atau
tanda-tanda infark miokard
d. Gastrointestinal : disfagia, mual, muntah, kolik,diare yang kadang-kadang
disertai darah, peristaltik usus meninggi.
e. Kulit : urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas.
f. Mata : gatal, lakrimasi
g. Susunan saraf pusat : gelisah, kejang
E. Pemeriksaan diagnosis
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka
dilakukan beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :
a. Skin tes
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, untuk
mengevaluasi sensitivitas alerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya
hasil positif palsu dan adanya reexposure dengan agen yang akan
mengakibatkan efek samping serius yang akan datang, oleh karena itu
pemberiannya diencerkan 1 : 1.000 sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial.
b. Kadar komplemen dan antibody
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E menurun setelah
reaksi anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi.
Pada tes ini penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra vena,
kemudian diamati kadar Ig E nya, akan tetapi cara ini dapat mengancam
kehidupan.
c. Pelepasan histamin oleh lekosit in vitro
Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti Ig E terpapar oleh
antigen imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat
spesifitas sel yang disensitisasi oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada
beberapa agent yang dapat menimbulkan reaksi langsung ( non
imunologik ) pada pelepasan histamin.

7
d. Radio allergo sorbent test ( RAST )
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan
RAST. Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan
matriks yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah
imunospesifik antibodi Ig E ditentukan dengan inkubasi pada kompleks
dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig E. ikatan
radioaktif ini mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
e. Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan
peningkatan jumlah .
F. Penatalaksanaan
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah
ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena
cepatnya mulai penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat
dengan kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1 :1000
yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml
subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali
seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi
penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM)
dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml
sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi,
penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin
1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi
alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan
dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan
sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera di perhatikan
dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan :
 Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
 Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi
jaringan memadai.

8
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan
kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau
diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis
terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.
a. Sistem pernapasan
1) Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering
kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik
karena edema laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus,
suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut.
Tetapi pada edema laring kadang-kadang diperlukan tindakan
trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan edema
larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi.
Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila saluran napas
tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak.
Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang
berpengalaman maka tindakan yamg dapat dilakukan dengan segera
adalah melakukan punksi membran krikotiroid dengan jarum besar.
Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah sakit.
2) Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan
pernapasan maupun pada kardiovaskular.
3) Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian
bawah seperti pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini
dapat diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc-
0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau
aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam 20 cc deksrosa 5%
atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
b. Sistem Kardiovaskular
1) Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasi dengan pemberian
epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan
intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara cepat
baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9 %) atau koloid (plasma,

9
dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan
sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja
mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh
darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus, tetapi juga dapat
menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke intravaskular.
2) Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem
kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis
metabolik.
3) Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan
CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari
kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat
yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.
4) Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para
ahli sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus
intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250
ml dekstrosa ( konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1 – 4
mg/menit atau 15-60 mikrodip/menit (dengan infus mikridip), bila
diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann anafilaksis
yang berat, American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin
secara endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui
jarum panjang atau kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin
1:10.000 ). Tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk
menjamin absorbsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan :
a. Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit
reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin
atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulasi reseptor adrenergik alfa
tidak terhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau

10
sulfas atropine akan memberikan manfaat disamping pemberian amiofilin
dan kortikosteroid secara intravena.
b. Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 dangan AH2 bekerja secara
kinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung
beratnya penyakit, AH dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan
anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2 seperti
simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml
NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan
terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantiya dipakai
ranitidin.
c. Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami
gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular. Memang
kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat
bermanfaat untuk mencegah reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung
lama. Jika pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih
disukai memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB hidrokortison atau
ekuivalennya. Kortikosteroid ini diberikan setiap 4-6 jam.(Aruh. W.
Sudoyo, IPD, Hal.190-192)
G. Komplikasi
Komplikasinya meliputi :
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan kematian. (Michael I.
Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24).

11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PASIEN DENGAN
SYOK ANAFILAKTIK
A. Pengkajian
1. Identitas
 Umur : pada semua usia
 Jenis kelamin : prevelensi laki-laki sama dengan perempuan
2. Keluhan Utama
Klien dengan syok anafilaktik mempunyai keluhan utama yaitu
terjadi penurunan kesadaran.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien dengan reaksi anafilaksis ditemukan gejala awal dengan
rasa gatal dan panas. Biasanya selalu disertai dengan gejala sistemik misal
dispnea, mual, kulit sianosis, kejang. Anamnesa yang tepat dapat
memperkecil gejala sistemik sebelum berlanjut pada fase yang lebih
parah/gejala sistemik berat.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien mempunyai riwayat alergi terhadap sesuatu. Pernahkah
klien mengalami hal yang sama saat setelah kontak dengan alergen misal,
obat-abatan, makanan, atau kontak dengan hewan tertentu.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah salah satu dari anggota keluarga pernah mengalami alergi.
Punyakah keluarga riwayat penyakit alergi lain misal, asma.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Kardiovaskuler
Pusing, pingsan, takikardia, hipotensi, syok.
b. Sistem Respirasi
Batuk, wheezing, dispnea
c. Sistem neurologi
Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan
darah rendah sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi

12
gelisah sampai tidak sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan
diberikan sampai yakin bahwa gelisahnya pasien memang karena
kesakitan.
d. Sistem Saluran Cerna
Mual dan Muntah, kram, kembung, dan diare
e. Sistem Saluran Kencing
Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien
dewasa adalah 60 ml/jam (1/5–1 ml/kg/jam).
f. Sistem integumen
Eritema, urtikaria, angioedema
B. Diagnosa
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d obstruksi pada jalan napas
2. Ketidakefektifan pola napas b/d spasme otot bronkus.
C. Intervensi
1. - Kaji frekuensi kedalaman upaya bernapas..
R/ untuk mengetahui kemampuan ekspirasi inspirasi pasien.
- Buka jalan napas dengan headtill dan chinlift.
R/ Membantu pembukaan jalan napas
- Lakukan suction.
R/ untuk mengeluarkan faktor penyebab obstruksi.
- broncholitic, pemasangan entotracheal tube.
R/ untuk mengeluarkan secret
2. - Kaji frekuensi napas
R/ untuk mengetahui kelainan pada saluran pernapasan.
- Berikan posisi semifowler
- Berikan tambahan oksigen atau ventilasi manual sesuai kebutuhan
R/ Untuk menurunkan hipoksia cerebral
- Pemberian bronkodilator
R/ Mengatasi bronkospasme.

13
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan
intervensi/perencanaan yang telah ditetapkan.
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan dilakukan sesuai dengan kriteria evaluasi yang
telah ditetapkan.

14
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan
oleh reasi alergi yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik
dan peningkatan permeabilitas vascular. Hal ini dapat disebabkan oleh reaksi
obat, makanan, serta gigitan serangga. Penatalaksaan dari syok anafilaktik
mengacu pemfokusan pada sistem pernapasan dan sistem kardiovaskuler.
Reaksi ini menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah, spasme pada
bronkus, edema pada laring, dan mengenai hampir diseluruh sistem. Hal
inilah yang menyebabkan syok anfilaktik masuk dalam tindakan kegawat
daruratan yang harus cepat ditangani.
B. Saran
Sebab gawat dan darurat adalah kondisi dimana perlu pertolongan secara
cepat dan tepat, maka dari itu penulis mengharapkan melalui makalah ini
akibat fatal dari reaksi hipersensivitas ini dapat menurun.

15
Daftar Pustaka
Prof. Dr. H. Tabrani Rab. 2007. Agenda Gawat Darurat (critical Care) Jilid 3.
Penerbit P.T. Alumni : Bandung.
Sudoyo. W Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I Edisi iv.
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran.
Jakarta.
Swearingen .PL. 1995. Manual of Critical Care Nursing. Mosby Year Book,
Inc: St.Louis Missouri.
Greenberg. Micahael I dkk. Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan Jilid I.
Penerbit Erlangga : Jakarta.

16

Anda mungkin juga menyukai