Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

MENINGOENCHEPALITIS DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT RSUD Dr. R.


GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA

Tugas mandiri
Stase Keperawatan Kritis Tahap Profesi
Program Studi Ilmu Keperawatan

Disusun Oleh :
HILDA FEBRIANTI RENASARI
1811040045

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2018/2019
LAPORAN PENDAHULUAN

A. MENINGITIS
1. Definisi
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan
medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer,
2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah
satu dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus
influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan
spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita,
2001).
Meningitis virus dapat mengikuti infeksi virus lainnya, seperti gondok, herpes
simplex atau zoster, enterovirus, dan campak. Viral meningitis sering penyakit self-
limiting. (DiGiulio, 2007)

2. Etiologi
1) Meningitis Bakterial (Meningitis sepsis)
Sering terjadi pada musim dingin, saat terjadi infeksi saluran pernafasan. Jenis
organisme yang sering menyebabkan meningitis bacterial adalah streptokokus pneumonia
dan neisseria meningitis.
Meningococal meningitis adalah tipe dari meningitis bacterial yang sering terjadi
pada daerah penduduk yang padat, spt: asrama, penjara. Klien yang mempunyai kondisi spt:
otitis media, pneumonia, sinusitis akut atau sickle sell anemia yang dapat meningkatkan
kemungkinan terjadi meningitis. Fraktur tulang tengkorak atau pembedahan spinal dapat
juga menyebabkan meningitis . Selain itu juga dapat terjadi pada orang dengan gangguan
sistem imun, spt: AIDS dan defisiensi imunologi baik yang congenital ataupun yang
didapat.
Tubuh akan berespon terhadap bakteri sebagai benda asing dan berespon dengan
terjadinya peradangan dengan adanya neutrofil, monosit dan limfosit. Cairan eksudat yang
terdiri dari bakteri, fibrin dan lekosit terbentuk di ruangan subarahcnoid ini akan terkumpul
di dalam cairan otak sehingga dapat menyebabkan lapisan yang tadinya tipis menjadi tebal.
Dan pengumpulan cairan ini akan menyebabkan peningkatan intrakranial. Hal ini akan
menyebabkan jaringan otak akan mengalami infark.

2) Meningitis Virus (Meningitis aseptic)


Meningitis virus adalah infeksi pada meningen; cenderung jinak dan bisa sembuh
sendiri. Virus biasanya bereplikasi sendiri ditempat terjadinya infeksi awal (misalnya
sistem nasofaring dan saluran cerna) dan kemudian menyebar kesistem saraf pusat melalui
sistem vaskuler.
Ini terjadi pada penyakit yang disebabkan oleh virus spt: campak, mumps, herpes
simplek dan herpes zoster. Virus herpes simplek mengganggu metabolisme sel sehingga
sell cepat mengalami nekrosis. Jenis lainnya juga mengganggu produksi enzim atau
neurotransmitter yang dapat menyebabkan disfungsi sel dan gangguan neurologic.

3) Meningitis Jamur
Meningitis Cryptococcal adalah infeksi jamur yang mempengaruhi sistem saraf
pusat pada klien dengan AIDS. Gejala klinisnya bervariasi tergantung dari system
kekebalan tubuh yang akan berefek pada respon inflamasi Respon inflamasi yang
ditimbulkan pada klien dengan menurunnya sistem imun antara lain: bisa demam/tidak,
sakit kepala, mual, muntah dan menurunnya status mental.
Faktor resiko terjadinya meningitis :
1) Infeksi sistemik
Didapat dari infeksi di organ tubuh lain yang akhirnya menyebar secara hematogen
sampai ke selaput otak, misalnya otitis media kronis, mastoiditis, pneumonia, TBC,
perikarditis, dll.
Pada meningitis bacterial, infeksi yang disebabkan olh bakteri terdiri atas faktor
pencetus sebagai berikut diantaranya adalah :
a) Otitis media
b) Pneumonia
c) Sinusitis
d) Sickle cell anemia
e) Fraktur cranial, trauma otak
f) Operasi spinal
g) Meningitis bakteri juga bisa disebabkan oleh adanya penurunan system
kekebalan tubuh seperti AIDS.
2) Trauma kepala
Bisanya terjadi pada trauma kepala terbuka atau pada fraktur basis cranii yang
memungkinkan terpaparnya CSF dengan lingkungan luar melalui othorrhea dan rhinorrhea.
3) Kelainan anatomis
Terjadi pada pasien seperti post operasi di daerah mastoid, saluran telinga tengah,
operasi cranium
A) Terjadinya peningkatan TIK pada meningitis, mekanismenya adalah sebagai
berikut :
a) Agen penyebab → reaksi local pada meninges → inflamasi meninges → pe ↑
permiabilitas kapiler → kebocoran cairan dari intravaskuler ke interstisial →
pe ↑ volume cairan interstisial → edema → Postulat Kellie Monroe,
kompensasi tidak adekuat → pe ↑ TIK
b) Pada meningitis jarang ditemukan kejang, kecuali jika infeksi sudah menyebar
ke jaringan otak, dimana kejang ini terjadi bila ada kerusakan pada korteks
serebri pada bagian premotor.
B) Hidrosefalus pada meningitis terjadi karena mekanisme sebagai berikut
:Inflamasi local → scar tissue di daerah arahnoid (vili) → gangguan absorbsi
CSF → akumulasi CSF di dalam otak → hodrosefalus
C) Bila gejala yang muncul campuran kemungkinan mengalami Meningo-
ensefalitis.

3. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari meningitis antara lain. (Sholeh S. Naga, 2012)
1) Aktivitas / istirahat
Malaise, ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter, kelemahan, hipotonia.
2) Sirkulasi
TD meningkat, nadi menurun (hipotensi), takikardi dan disritmia.
3) Nyeri/ kenyamanan
Sakit kepala hebat, kaku kuduk, nyeri gerakan involunter,nyeri tenggorokan,
mengeluh/ mengaduh, gelisah.
4) Eliminasi
Adanya inkontinensia urin atau retensi urin, konstipasi atau diare.
5) Makanan atau cairan
Mual, muntah, kesulitan menelan, nafsu makan berkurang, minum sangat
kurang, tugor kuliot jelek, mukosa kering.
6) Higeine
Tidak mampu merawat diri.
7) Integumen
Adanya ruam merupakan ciri mencolok pada meningitis meningokokal
8) Neurosensori
Sakit kepala hebat, kehilangan sensasi, hiperalgesia, kejang, gangguan
penglihatan, diplopia, fotofobia, ketulian, halusinasi penciuman, kehilangan
memori, afasia, hemiparase, hemiplegia, tanda Brudzinski positif, refleks
Babinski positif, kaku kuduk, nyeri gerakan okuler, fotosentitivitas, nyeri
tenggorokan, gelisah, refleks abdominal menurun, refleks kremasterik hilang
pada laki-laki. Adanya perubahan pada tingkat kesadaran yang terjadi letargi,
tidak beresponsif, dan koma.
9) Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikemia, yaitu: demam tinggi tiba-
tiba muncul, lesi purpura yang menyebar, shock, dan tanda koagulopati
intravaskuler diseminata.
10) Pernapasan
Gangguan pernafasan bagian atas seperti infeksi sinus, nafas meningkat.

4. Patofisiologi
Kuman-kuman masuk ke dalam susunan saraf pusat secara hematogen/langsung
menyebar di nasofaring, paru-paru (pneumonia, bronkopneumonia) dan jantung
(endokarditis), selain itu per kontinuitatum di peradangan organ / jaringan di dekat
selaput otak misalnya abses otak, otitis media, martoiditis dan trombosis, sinus
kavernosus. Invasi kuman (meningokok, pneumokok, hemofilus influenza, streptokok) ke
dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS dan
sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi,
dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke
dalam ruang subaraknoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu ke – 2 sel-sel plasma. Eksudat
terbentuk dan terdiri dari dua lapisan, yaitu bagian luar mengandung leukosit,
polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam terdapat makrofag.
Peradangan menyebabkan cairan cerebrospinal meningkat sehingga terjadi
obstruksi, selanjutnya terjadi hydrocephalus dan peningkatan intrakranial. Organisme
masuk melalui sel darah merah, dapat melalui trauma penetrasi, prosedur pembedahan,
atau kelainan sistem saraf pusat. Efek patologis yang terjadi adalah hiperemia meningens,
edema jaringan otak, eksudasi. 
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat
menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-neuron. Dengan
demikian meningitis dapat dianggap sebagai ensefalitis superfisial. Trombosis serta
organisasi eksudat perineural yang fibrino – purulen menyebabkan kelainan nervi
kraniales (N. III, IV, VI, VII, & VIII). Organisasi di ruang subaraknoid superfisial dapat
menghambat aliran dan absorbsi CSS sehingga mengakibatkan hidrosefalus komunikans. 

5. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Lab darah lengkap: HB, HT, LED, Erytrosit, Lekosit
Laju endap darah meninggi. Jumlah sel berkisar antara 200-500/mm3, mula-mula
sel PMN dan limfosit dalam proporsi sama atau kadang-kadang sel PMN lebih banyak,
selanjutnya limfosit yang lebih banyak. Kadang-kadang jumlah sel pada fase akut dapat
mencapai kurang lebih 1000/mm3. Kadar protein meninggi dan glukosa menurun.

b) Kultur darah

c) CT-Scan, X-Ray
Cairan serebrospinal berwarna jernih atau xantokrom, bila dibiarkan mengendap
akan membentuk batang-batang, kadang-kadang dapat ditemukan mikroorganisme
didalamnya. Foto dada biasanya normal, bisa terdapat gambaran milier dan kalsifikasi.

d) Lumbal fungsi
Lumbal fungsi penting sekali untuk pemeriksaan bakteriologik dan laboratorium
lainnya. Likuor serebrospinalis berwarna jernih, opelesen atau kekuning-kuningan
(xantokrom). Tekanan dan jumlah sel meninggi namun umumnya jarang melebihi
1500/3mm dan terdiri dari limfosit terutama. Kadar protein meninggi sedangkan kadar
glukosa dan klorida total menurun. Bila cairan otak didiamkan akan timbul fibrinous web
(pelikel), tempat yang sering ditemukannya basil tuberkulosis. Dugaan bahwa seorang
pasien menderita meningitis tuberkulosa dengan melihat hasil pungsi lumbal berupa
cairan serebrospinalis yang jernih. Juga adanya kelainan radiologis serta adanya sumber
di dalam keluarga.

e) Uji tuberkulin
Uji tuberkulin pada meningitis bakteri dianggap kurang bermakna karena sering
negatif disebabkan adanya anergi 36%. Untuk memberikan pengobatan yang tepat
diperlukan menemukan kuman tuberkulosis yang dapat ditemukan dengan melakukan
biakan dari cairan serebrospinalis.

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara medis pada meningitis dapat dilakukan dengan cara
diberikan:
a) Koreksi gangguan asam basa elektrolit, apabilla terdapat ketidakseimbangan asam
basa dan elektrolit dapat diberikan cairan intravena MARTOS-10. Dosis: 0,3 gr/kg
BB/jam. Mengandung 400 kcal/L.
b) Atasi kejang dapat diatasi dengan, Kortikosteroid golongan deksametason 0,6
mg/kgBB/hari selama 4 hari, 15-20 menit sebelum pemberian antibiotik.
c) Antibiotik. Terdiri 2 fase yaitu empirik dan setelah hasil biakan dan uji resistensi.
Pengobatan empirik pada neonates adalah kombinasi ampisilin dan aminoglikosida
atau ampisilin dan sefotaksin. Pada umur 3 bulan – 10 tahun kombinsasi ampisilin
dan kloramfenikol atau sefuroksim/sefotaksim/sefriakson. Pada usia lebih dari 10
tahun digunakan penislin. Pada neonatus pengobatan selama 21 hari, pada bayi dan
anak 10 – 14 hari.
d) Streptomisin, PAS dan INH. Dapat diberikan diberikan dengan dosis 30-50 mg/kg
BB/ hari selama 3 bulan atau jika perlu diteruskan 2 kali seminggu selama 2-3
bulan lagi, sampai likuor serebrospinalis menjadi normal. PAS dan INH diteruskan
paling sedikit samapi 2 tahun. Umtuk mengatasi dehidrasi akibat masukan
makanan yang kurang atau muntah.

7. Prognosis
Usia anak, kecepatan diagnosa setelah timbulnya terapi yang adekuat penting dalam
prognosis meningitis bakteri. Mortalitas meningitis neonates kira-kira 50 % meskipun
gejala yang timbulterlambat, sedangkan meningitis streptococcus B hemolitikus
menimbulkan 15-20% kasus fatal. Bila penyebabnya hemofilus influensya dan meningitis
meningkokus, angka mortalitas 5-10 % sedangkan meningitis pneumokokus pada bayi
dan anak-anak kira-kira 20%.
Gejala sisa meningitis bakteri paling sering terjadi padaanak usia 2 tahun pertama
dan sangat sedikit pada anak-anak dengan meningitis meningkokus. Gejala sisa pada bayi
terutama disebabkan oleh hidrosefalus komunikasi dan efek-efek yang lebih besar berupa
cerebritis pada otak yang belum matang. Pada anak-anak yang lebih besar gejala sisa
dihubungkan dengan proses peradangan itu sendiri atau akibat dari vaskulitis (radang
pembuluh darah) yang menyertai penyakit ini.
Selain itu penderita meningitis dapat sembuh, baik sembuh dengan cacat mental
atau meninggal tergantung pada :
a) Umur penderita.
b) Jenis kuman penyebab
c) Berat ringan infeksi
d) Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
e) Kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan
f) Adanya dan penanganan penyakit.

8. Pathway Meningitis

Faktor-faktor predisposisi: infeksi jalan napas - Meningitis


bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia bakteri/purulenta
sel sabit, dan hemoglobinopatis, prosedur - Meningitis serosa/
bedah saraf baru, trauma kepala, dan pengaruh tuberculosa

Invasi kuman ke jaringan serebral via saluran vena


nasofaring posterior, telinga bagian tengah, dan mastoid.

Reaksi peradangan jaringan serebral.


Eksudat meningen Gangguan metabolis serebral Hipoperfusi

Trombus darah korteks dan aliran darah


serebral

Kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi,


kerusakan endotel, dan nekrosis

Gangguan perfusi
Infeksi/septicimia jaringan otak
jaringan serebral

Iritasi meningen

Sakit kepala dan


demam Perubahan fisiologis intrakranial

Hipertermi
Edema serebral dan PTIK Peningkatan permeabilitas
(>10 mmHg) darah

Penurunan
kapasitas
adaptif
intrakranial

Penekanan Adesi Perubahan Perubaha Perubahan Bradikardi


area fokal tingkat n GI sistem
kortikal kedasaran. pernapasan
cheyne stoke
Perubahan
Kelumpuh- tingkah laku 1. Perubahan
an saraf disorientasi perfusi
jaringan
Fotopobia otak
2. Risiko
gangguan
Mual dan
Rigiditas muntah
nukal tanda
kernig (+), 1. Ketidakefektif-
tanda Gangguan an pola
brudzinski perkem- pernapasan
bangan Risiko
defisit 2. Ketidakefektif-
anak an bersihan
cairan
jalan napas

Kejang

Risiko Prosedur invasif, Kelemahan ↑ permeabilitas


injuri lumbal fungsi fisik kapiler dan retensi

Gangguan Risiko berlebihnya


ADL volume cairan

B. ENSEPHALITIS
1. Definisi
Ensephalitis adalah peradangan pada jaringan otak, paling sering disebabkan oleh
virus, meskipun juga dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, atau protozoa. Dalam kasus
ensephalitis virus, pasien biasanya akan memiliki gejala virus sebelum penyakit saat ini.
Virus memasuki sistem saraf pusat melalui aliran darah dan mulai berkembang biak.
Peradangan di daerah berikut, menyebabkan kerusakan pada neuron. Demielinasi dari
serabut saraf di daerah yang terkena dan perdarahan, edema, dan nekrosis terjadi, yang
membuat rongga kecil di dalam jaringan otak. Herpes simplex virus 1, cytomegalovirus,
echovirus, virus Coxsackie, dan herpes zoster semua dapat menyebabkan ensephalitis.
Beberapa bentuk ensephalitis dapat ditularkan oleh serangga (seperti nyamuk atau kutu)
bagi manusia, seperti virus West Nile, St. Louis ensephalitis, atau ensephalitis kuda.
(DiGiulio, 2007)
2.Etiologi
Etiologi dari ensefalitis menurut Markam.S (2008) sebagai berikut :
a) Ensefalitis bacterial
Streptokok, stafilokok, meningikok, salmonella typhi, Escherichia coli, proteus,
basillus pyocyaneus di dalam jaringan otak dapat menyebabkan radang yang
membentuk abces. Mycobacterium tuberculosa membentuk tuberculoma.

b) Sistiserkosis (cacing)
Larva taenia solium dapat menyangkut di dalam otak dan tumbuh sementara waktu,
kemudian mati dan kistanya mengalami klasifikasi.
c) Ensefalitis yang disebabkan protozoa :
1) Malaria.
Plasmodium falciparum menyebabkan eritrosit yang terinfeksi lengket. Sel-sel
darah merah yang lengket satu dengan yang lain dapat menyumbat kapiler-
kapiler di dalam otak, akibatnya timbul daerah mikroinfak .
2) Toksoplasmosis.
Pada toksoplasmosis konganital pada bayi, radang terjadi pada piaarachnoid
yang menyebab di dalam jaringan otak.
3) Entamoeba histolytica.
Yang dapat menyebabkan ensefalitis akut adalah naegleria dan achanthamoeba.
4) Ensefalitis yang disebabkan kapang
Cryptococcus neofarmans menimbulkan radang dalam korteks dan meningens.
d) Ricketsiosis
Ricketsiosis dapat menyebabkan radang dinding pembuluh darah diikuti trobosis.
e) Ensefalitis virus
Virus dapat menyebabkan meningitis aseptic atau ensefalitis. Virus yang dapat
menimbulkan ensefalitis akut adalah dengue, rabies, poliomyelitis, herpes simpleks,
herpes zoster, parotitis, morbili, influenza, hepatitis. Sedangkan virus yang
menimbulkan radang kronis disebut virus lambat. Penyakit yang ditimbulkannya
kuru, penyakit Jacob-creutzfeld, panensefalitis sklerosa subakuta.
3. Manifestasi Klinis
Meskipun penyebabnya berbeda, gejala klinis ensephalitis lebih kurang sama dan
khas sehingga dapat digunakan sebagai kriteria diagnostik. Secara umum gejala berupa
ensephalitis yang terdiri dari demam, kejang dan kesadaran menurun. 
Setelah masa inkubasi kurang lebih 5-10 hari akan terjadi kenaikan suhu yang
mendadak, seringkali terjadi hiperpireksia, nyeri kepala pada anak besar, menjerit pada
anak kecil. Ditemukan tanda perangsangan SSP (koma, stupor, letargi), kaku kuduk,
peningkatan reflek tendon, tremor, kelemahan otot dan kadang-kadang kelumpuhan.
Manifestasi klinik ensephalitis bakterial, pada permulaan terdapat gejala yang tidak
khas seperti infeksi umum, kemudian timbul tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial
yaitu nyeri kepala, muntah-muntah, nafsu makan tidak ada, demam, penglihatan kabur,
kejang umum atau fokal dan kesadaran menurun. Gejala defisit nervi kranialis,
hemiparesis, refleks tendon meningkat, kaku kuduk, afasia, hemianopia, nistagmus dan
ataksia.
Penyebab kelainan neurologis (defisit neurologis) adalah invasi dan perusakan
langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang biak; reaksi jaringan
saraf terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi, kerusakan vaskular, dan
paravaskular; dan karena reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten. 
Pada ensephalitis viral gejala-gejala awal nyeri kepala ringan, demam, gejala infeksi
saluran nafas atas atau gastrointestinal selama beberapa hari kemudian muncul tanda-
tanda radang SSP seperti kaku kuduk, tanda kernig positif, gelisah, lemah dan sukar tidur.
Defisit neurologik yang timbul bergantung pada tempat kerusakan. Selanjutnya kesadaran
mulai menurun sampai koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis,
gangguan koordinasi, kelainan kepribadian, disorientasi, gangguan bicara dan gangguan
mental.
Temuan-temuan klinis pada ensephalitis ditentukan oleh:
a) Berat dan lokalisasi anatomis susunan saraf yang terlihat.
b) Patogenesitas agen yang menyerang.
c) Kekebalan dan mekanisme reaktif lain penderita.
4. Patofisiologi dan Pathway
Virus atau agen penyebab lainnya masuk ke susunan saraf pusat melalui peredaran
darah, saraf perifer atau saraf kranial, menetap dan berkembang biak menimbulkan proses
peradangan. Kerusakan pada myelin pada akson dan white matter dapat pula terjadi .
Reaksi peradangan juga mengakibatkan perdarahan , edema, nekrosis yang selanjutnya
dapat terjadi peningkatan tekanan intracranial. Kematian dapat terjadi karena adanya
herniasi dan peningkatan tekanan intracranial. (Tarwoto Wartonah, 2007)
Virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran npas, dan saluran cerna. Setelah
masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan beberapa cara :
a) Lokal : virus alirannya terbatas menginfeksi selaput lender permukaan atau organ
tertentu.
b) Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah, kemudian menyebar
ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.
c) Penyebaran melalui saraf-saraf : virus berkembang biak di perukaan selaput lender
dan menyebar melalui system persarafan.
Setelah terjadi penyebaran ke otak terjadi manifestasi klinis ensefalitis. Masa
prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah
nyeri tenggorokan, malais, nyeri ekstremitas, dan pucat. Suhu badan meningkat,
fotofobia, sakit kepala, muntah-muntah, letargi, kadang disertai kakukuduk apabila
infeksi mengenai meningen. Pada anak, tampak gelisah kadang disertai perubahan
tingkah laku. Dapat disertai gangguan penglihatan, pendengaran, bicara, serta kejang.
Gejala lain berupa gelisah, rewel, perubahan perilaku, gangguan kesaadaran, kejang.
Kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afassia, hemiparesis, hemiplagia,
ataksia, dan paralisis saraf otak.
4. Pemeriksaan Diagnostik
Gambaran cairan serebrospinal dapat dipertimbangkan meskipun tidak begitu
membantu. Biasanya berwarna jernih ,jumlah sel 50-200 dengan dominasi limfasit. Kadar
protein kadang-kadang meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas normal.
Gambaran EEG memperlihatkan proses inflamasi difus (aktifitas lambat
bilateral).Bila terdapat tanda klinis flokal yang ditunjang dengan gambaran EEG atau CT
scan dapat dilakukan biopal otak di daerah yang bersangkutan. Bila tidak ada tanda klinis
flokal, biopsy dapat dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi
predileksi virus Herpes Simplex.

5. Penatalaksanaan
Penderita baru dengan kemungkinan ensephalitis harus dirawat inap sampai
menghilangnya gejala-gejala neurologik. Tujuan penatalaksanaan adalah
mempertahankan fungsi organ dengan mengusahakan jalan nafas tetap terbuka,
pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
dan koreksi gangguan asam basa darah (Arif, 2000). Tata laksana yang dikerjakan sebagai
berikut :
1) Mengatasi kejang adalah tindakan vital, karena kejang pada ensephalitis biasanya
berat. Pemberian Fenobarbital 5-8 mg/kgBB/24 jam. Jika kejang sering terjadi, perlu
diberikan Diazepam (0,1-0,2 mg/kgBB) IV, dalam bentuk infus selama 3 menit.
2) Memperbaiki homeostatis, dengan infus cairan D5 - 1/2 S atau D5 - 1/4 S (tergantung
umur) dan pemberian oksigen.
3) Mengurangi edema serebri serta mengurangi akibat yang ditimbulkan oleh anoksia
serebri dengan Deksametason 0,15-1,0 mg/kgBB/hari i.v dibagi dalam 3 dosis.
4) Menurunkan tekanan intrakranial yang meninggi dengan Manitol diberikan intravena
dengan dosis 1,5-2,0 g/kgBB selama 30-60 menit. Pemberian dapat diulang setiap 8-
12 jam. Dapat juga dengan Gliserol, melalui pipa nasogastrik, 0,5-1,0 ml/kgbb
diencerkan dengan dua bagian sari jeruk. Bahan ini tidak toksik dan dapat diulangi
setiap 6 jam untuk waktu lama.

6. Prognosis
Prognosis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan, juga perlu
dipertimbangkan pula kemungkinan penyulit yang dapat muncul selama perawatan. Pada
ensefalitis HSV yang diterapi dengan asiclovir, 81% pasien bertahan hidup. Gejala sisa
neurologic berlangsung ringan atau tidak terjadi sama sekali pada 46%. Gejala sisa
neurologic berlangsung sedang pada 12% dan berat 42%. (Harrison, 2013)

C. Asuhan Keperawatan
A) Pengkajian

Keluhan Utama

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa
anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kejang disertai penurunan
tingkat kesadaran

Riwayat penyakit Saat Ini

Pada pengkajian klien ensefalitis biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan


dengan akibat dari infeksi peningkat TIK. Keluhan gejala awal yang sering adalah
sakit kepala dan demam. Sakit kepala disebabkan ensefalitis yang berat dan
sebagai akibat iritasi selaput otak. Demam umunya ada dan tetap tinggi selama
perjalanan penyakit.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang menjadi predisposisi


keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami campak, cacar air, herpes,
dan bronkopneumonia.

Pemeriksaan Fisik

TTV: Suhu > 39-41C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses
inflamasi dan supurasi di jaringan otak yang sudah mengganggu pusat pengatur
suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda
peningkatan TIK. Apabila disertai frekuensi napas sering berhubungan dengan
peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi dari sitem pernapasan
sebelum mengalami ensefalitis. Tekanan darah biasanya normal atau meningkat
karena tanda-tanda peningkatan TIK.

B1 (breathing): Palpasi taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi
napas tambahan seperti ronkhi pada klien ensefalitis berhubungan dengan
akumulasi sekret dari penurunan kesadaran.

B2 (Blood): Pengkajian sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok)


hipovolemik yang sering terjadi pada klien ensefalitis.
B3 (Brain): Tingkat kesadaran biasanya berkisar antara letargi, stupor, dan
semikomantosa. Perubahan status mental. Pemeriksaan saraf kranial. Kekuatan
otot menurun.

B4 (bladder): Berkurangnya volume urine berhubungan dengan penurunan


perfusi dan curah jantung ke ginjal.

B5 (Bowel): Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi


asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien menurun karena anoreksia dan
kejang.

B6 (Bone): Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran


menurunkan mobilitas klien secara umum. Klien lebih banyak dibantu orang lain.

B) Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi
secret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran.
2. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan peradangan dan
edema otak dan selaput otak.
3. Resiko tinggi cidera yang berhubungan dengan kejang, perubahan status mental
dan penurunan tingkat kesadaran
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
5. Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan kerusakan penerima
rangsang sensorik, transmisi sensorik, dan intregasi sensorik.
6. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan prognosis penyakit,
perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan actual dalam
struktur dan fungsi, ketidakberdayaan dan merasa tidak ada harapan.
C) Rencana Intervensi
1. Ketidakefektifan janlan napas yang berhubungan dengan akumulasi
secret, kemampuan batuk menurun akibat penurunsn tingkst kesadaran.
Tujuan : Jalan napas kembali efektif

Kriteria hasil : Secara subjektif sesak napas berkurang, frekuensi napas 16-20
x/menit, tidak menggunakan alat bantu napas, retraksi ICS berkurang, ronchi
berkurang, mengi berkurang, dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif.

Intervensi Rasionalisasi

Kaji funsi paru, adanya bunyi napas Memantau dan mengatasi komplikasi
tambahan, perubahan irama dan potensial. Pengkajian fungsi pernapasan
kedalaman, penggunaan otot-otot dengan interval yang teratur adalah
aksesori, warna dan kekentalan sputum. penting karena pernapasan yang tidak
efektif dan adanya kegagalan, akibat
adanya kelemahan atau paralisis pada
otot-otot interkostal dan diafragma
berkembang dengan cepat.

Atur posisi fowler dan semifowler. Peninggian kepala tempat tidur


memudahkan pernapasan,
meningkatkan ekspansi dada dan
meningkatkan batuk lebih efektif.

Ajarkan cara betuk efektif. Klien berada pada resiko tinggi bila
tidak dapat batuk dengan efektif untuk
membersihakn jalan napas dan
mengalami kesulitan dalam menelan,
sehingga menyebabkan aspirasi saliva
dan mencetuskan gagal napas akut.

Lakukan fisioterapi dada, vibrasi dada. Terapi fisik dan membantu


meningkatkan batuk lebih efektif

Penuhi hidrasi cairan via oral seperti Pemenuhan cairan dapat mengencerkan
minum air putih dan pertahanan asupan mucus yang kental dan dapat membantu
cairan 2500ml/hari. pemenuhan cairan yang banyak keluar
dari tubuh.

Lakukan pengisapan lender di jalan Pengisapan mungkin diperlukan untuk


napas. mempertahankan kepatenan jalan napas
menjadi bersih.

2. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan peradangan


dan edema pada otak dan selaput otak.
Tujuan : Perfusi jaringan otak meningkat.

Kriteria hasil : Tingkat kesadaran menjadi meningkat menjadi sadar, disorentasi


negative, konsentrasi baik, perfusi jaringan dan oksigenasi baik, tanda-tanda vital
dalam batas normal, dan syok dapat dihindari.

Intervensi

Monitor klien dengan ketat terutama Untuk mencegah nyeri kepala yang
setelah lumbal fungsi. Anjurkan klien menyertai perubahan tekanan
berbaring minimal 4-6 jam setelah intracranial.
lumbal fungsi.

Monitor tanda-tanda peningkatan Untuk mendeteksi tanda-tanda syok,


tekanan intracranial selama perjalanan yang harus dilaporkan ke dokter untuk
penyakit (nadi lambat, tekanan darah intervensi awal.
meningkat, kesadaran menurun, napas
irregular, repleks pupil menurun,
kelemahan).

Monitor TTV dan neurologis tiap 5-30 Perubahan-perubahan ini menandakan


menit. Catat dan laporkan segera ada perubahan tekanan intracranial dan
perubahan-perubahan tekanan penting untuk intervensi awal.
intracranial ke dokter.

Hinndari posisi tungkai ditekuk atau Untuk mencegah peningkatan tekanan


gerakan-gerakan klien, anjurkan untuk intracranial
tirah baring.

Tinggikan sedikit kepala klien dengan Untuk mengurangi tekanan intracranial.


hati-hati, cegah gerakan yang tiba-tiba
dan tidak perlu dari kepala dan leher,
hindari fleksi leher.

Bantu seluruh aktivitas dan gerakan- Untuk mencegah keregangan otot yang
gerakan klien. Beri petujunjukuntuk dapat menimbulkan peningkatan
BAB (jangan enema). Anjurkan klien tekanan intracranial.
untuk menghembuskan napas dalam
bila miring dan bergerak di tempat
tidur. Cegah posisi pada lutut.

Waktu prosedur perawatan disesuaikan Untuk mencegah eksistensi yang


dan di atur tepat waktu dengan periode merangsang otak yang sudah iritasi dan
relaksasi, hindari rangsangan dapat menimbulkan kejang.
lingkungan yang tidak perlu.

Beri penjelasan kepada keadaan Untuk mengurasi solidaritasi dan untuk


lingkungan klien klarifikasi persepsi sensorik yang
terganggu.

Evaluasi selama masa penyembuhan Untuk merujuk ke rehabilitasi.


terhadap gangguan motorik, sensorik
dan intelektual.

Kolaborasi pemberian steroid osmotic. Untuk menurunkan tekanan intracranial

3. Nyeri kepala yang berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak
Tujuan : Keluahn nyeri berkurang/rasa sakit terkendali

Kriteria hasil : Klien dapat tidur dengan tenang. Wajah rileks, dan klien
menverbalisasikan penurunan rasa sakit.

Intervensi Rasionalisasi

Usahakan membuat lingkungan yang Menurunkan reaksi terhadap


aman dan tenang rangsangan eksternal atau kesensitifan
terhadap cahaya dan menganjurkan
klien untuk beristirahat.

Kompres dingin (es) pada kepala. Dapat menyebabkan vasokonstriksi


pembuluh darah dan otak

Lakukan penatalaksanaan nyeri dengan Membantu menurunkan (memutuskan)


metode distraksidan relaksasi napas stimulasi sensasi nyeri
dalam.

Lakukan latian gerak aktif atau pasif Dapat bmembantu relaksasi otot-otot
sesuai kondisi dengan lembut dan hati- yang tegang dan dapat menurunkan
hati. nyeri/rasa tidak nyaman.

Kolaborasi pemberian analgesic. Mungkin diperlukan untuk menurunkan


rasa sakit.

Catatan : Narkotika merupakan


kontraindikasi karena berdampak pada
status neurologis sehingga sukar untuk
di kaji.

4. Risiko cedera yang berhubungan dengan kejang, perubahan status


mental, dan penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : Klien bebas dari cidera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan
kesadaran.
Kriteria hasil : Klien tidak mengalami cidera apabila ada kejang berulang.

Intervensi Rasionalisasi

Monitor kejang pada tangan, kaki, Gambaran iritabilitas system saraf pusat
mulut dan otot-otot muka lainnya. memerlukan evaluasi yang sesuai
dengan

Persiapkan lingkungan yang aman Melindungi klien bila kejang terjadi.


seperti batasan ranjang, papan
pengaman, dan alat suction selalu
berada dekat klien.

Pertahankan bedrest total selama fase Mengurangi resiko jatuh/cidera terjadi


akut. vertigo dan ataksia

Kolaborasi pemberian terapi : Untuk mencegah dan mengurangi


diazepam, fenobarbital. kejang.

Contoh : fenobarbital dapat


menyebabkan depresi pernapasan dan
sedasi.

5. Gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan


ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi

Kriteria hasil : Turgor baik, asupan dapat masuk sesuai kebutuhan, terdapat
kemampuan menelan, sonde di lepas, berat badan meningkat, Hb dan albumin
dalam batas normal.

Intervensi Rasionalisasi

Observasi tekstur dan turgor kulit Mengetahui status nutrisi klien

Lakukan oral hygiene Kebersihan mulut merangsang nafsu


makan.

Observasi asupan dan keluaran. Mengetahui keseimbangan nutrisi klien.

Observasi posisi dan keberhasilan Untuk menghindari resiko


sonde infeksi/iritasi.

Tentukan kemampuan klien dalam Untuk menetapkan jenis makanan yang


mengunyah, menelan, dan reflex batuk diberikan pada klien.

Kaji kemampuan klien dalam menelan, Dengan mengkaji faktor-faktor tersebut


batuk dan adanya sekret. dapat menentuakan kemampuan
menelan klien dan mencegah risiko
aspirasi.

Auskultasi bising usus, amati Fungsi gastrointestinal bergantung pada


penurunan atau hipersensitivitas bising kerusakan otak. Bising usus
usus menentukan respon pemberian makan
atau terjadinya komplikasi misalnya
pada ileus.

Timbang berat badan sesuai indikasi Untuk mengevaluasi efektivitas dari


asupan makanan

Berikan makanan dengan cara Menurunkan risiko regurgitasi atau


meninggikan kelapa aspirasi

Letakkan posisi kepala lebih tinggi Untuk klien lebih mudah menelan
pada waktu, selama dan sesudah karena gaya gravitasi.
makan.

Stimulasi bibir untuk menututup dan Membantu dalam melatih kembali


membuka mulut secara manual dengan sensori dan meningkatkan control
menekan ringan atas bibir/dibawah muskular.
dagu jika dibutuhkan.

Letakkan makana pada daerah mulut Memberikan stimulasi sensorik


yang tidak terganggu. (termasuk rasa kecap) yang dapat
mencetuskan usaha untuk menelan dan
meningkatkan masukan.

Berikan makan dengan perlahan pada Klien dapat berkonsentrasi pada


lingkungan yang tenang. mekanisme makan tanpa adanya
distraksi dari luar.

Mulailah untuk memberikan makan per Makanan lunak/cair mudah untuk


oral setengah cair dan makanan lunak dikendalikan dalam mulut dan
ketika klien dapat menelan air menurunkan terjadinya aspirasi.

Anjurkan klien menggunakan sedotan Menguatkan otot fasial dan otot


untuk minum menelan dan menurunkan terjadinya
resiko tersendak.

Anjurkan klien untuk berpartisipasi Dapat meningkatkan pelepasan


dalam program latihan/kegiatan. endorphin dalam otak yang
meningkatkan nafsu makan.

Kolaborasi dengan tim dokter untuk Mungkin diperlukan untuk memberikan


memberikan cairan melalui IV atau cairan pengganti dan juga makanan jika
makanan melalui selang klien tidak mampu untuk memasukkan
segala sesuatu melalui mulut.
6. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan prognosis
penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan
actual dalam struktur dan fungsi, ketidakberdayaan dan merasa tidak ada
harapan.
Tujuan : Harga diri klien meningkat

Kriteria hasil : Mampu menyatakan atau mengomunikasikan dengan orang


terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan
pencerminan diri terhadap situasi, mengakui dan menggabungkan perubahan ke
dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negative.

Intervensi Rasionalisasi

Kaji perubahan klien dari gangguan Menentukan bantuan untuk individu


persepsi dan hubungan dengan derajat dalam penyusunan rencana perawatan
ketidakmampuan. atau pemilihan intervensi.

Identifikasi arti dari kehilangan atau Beberapa klien dapat menerima dan
disfungsi pada klien. mengatur perubahan fungsi secara
efektif dengan sedikit penyesuaian dir,
sementara klien yang lain mempunyai
kesulitan mengenal dan mengatur
kekurangan.

Anjurkan klien untuk mengekspresikan Menunjukkan penerimaan, membantu


perasaan termasuk permusuhan dan klien untuk mengenal dan mulai
kemarahan. menyesuaikan dengan perasaan
tersebut.

Catat ketika klien menyatakan Mendukung penolakan terhadap bagian


pernyataan pengakuan terhadap tubuh atau perasaan negative terhadap
penolakan tubuh, seperti sekarat atau gambaran tubuh dan kemampuan yang
mengingkari dan menyatakan ingin menunjukkan kebutuhan dan intervensi
mati. serta dukungan emosional.

Ingatkan kembali fakta kejadian tentang Membantu klien untuk melihat bahwa
realita bahwa masih dapat perawat menerima kedua bagian
menggunakan sisi yang sakit dan sebagai bagian dari seluruh tubuh.
belajar mengontrol sisi yang sehat. Membiarkan klien untuk merasakan
adanya harapan dan mulai menerima
situasi baru.

Bantu dan anjurkan perawatan yang Membantu meningkatkan perasaan


baik dan memperbaiki kebiasaan. harga diri dan mengendalikan lebih dari
satu area kehidupan.

Anjurkan orang yang terdekat untuk Menghidupkan kembali perasaan harga


mengijinkan klien melakukan diri dan membantu perkembangan
sebanyak-banyaknya hal-hal untuk harga diri serta memengaruhi proses
dirinya. rehabilitasi.

Dukung perilaku atau usaha seperti Klien dapat beradaptasi terhadap


peningkatan minat atau partisipasi perubahan dan pengertian tentang peran
dalam aktivitas rehabilitasi. individu masa mendatang

Dukung penggunaan alat-alat yang Meningkatkan kemandirian untuk


dapat membantu adaptasi klien seperti membantu pemenuhan kebutuhan fisik
tongkat, alat bantu jalan, tas panjang dan menunjukkan posisi untuk lebih
untuk kateter. aktif dalam kegiatan social.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 178-183.
Muttaqin, Arif. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta: Salemba Medika. Hal: 93-97.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi 3. EGC: Jakarta
DiGiulio, Mary, at all. 2007. Medical-Surgical Nursing Demystified. USA: McGraw-Hill.
Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. EGC: Jakarta.
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi I. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Long, Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
437-43
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Naga, S. Sholeh. 2012. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Diva Press
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Volume 1
Edisi 6. Jakarta: EGC.
Robert H. A. Haslam. 2004. Brain Abscess. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. USA:
WB Saunders.
Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, edisi 8. Jakarta: EGC.
Tarwoto dan Wartonah. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan .
Jakarta: Sagung Seto.
Wilkinson, Judith M dan Ahern, Nancy R. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan:
Diagnosa NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC, Edisi 9. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai