Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Meningitis adaah inflamsi yang terjadi pada meningen otak dan medula spinalis.
Gangguan ini biasanya merupakan komplikasi bakter (infeksi skunder) seperti
sinusitis, otitis media, penumonia, endokarditis, atau osteomielitis. Organisme
yang merupakan penyebab umum meningitis meliputi neisseria meningitidis
(meningitis meningokok), haemophilus influenzae dan streptococus pneumoniae
(organisme ini biasanya terdapat di nasofaring). Organisme penyebab meningitis
yang sering menyerang bayi (sapi usia 3 bulan adalah escherichia coli dan
listeriamonocytogenes). Berdasarkan penyebabnya, meningitis dapat dibagi
menjadi meningitis aseptik (aseptik meningitis) yang disebabkan oleh virus,
meningitis non infeksius yang disebabkan oleh darah diruang subarakhnoid, dan
meningitis bakterial (bacterial meningitis) yang desebabkan oleh berbagai macam
bakteri. (Batticaca, 2010, hal. 140)

Meningitis bakteri merupakan penyakit serius dan pencegahan sangat penin g


dilakukan. Meningitis bakteri ditularkan melalui kontak dekat langsung dengan
droplet pernafasan dari hidung atau tenggorok. Individu yang paling berisiko
adalah mereka yang tinggal bersama anak atau siapapun yang bermain bersama
atau kontak dekat dengan anak tersebut. (Kyle & Carman, 2015, hal. 557)

Tipe meningitis virus disebut sebagai aseptic meningitis. Meningitis ini terjadi
sebagai akibat dari berbagai macam penyakit virus yang meliputi measles,
mumps, herpes simplex, dan herpes zoster. Pembentukan eksudat pada umumnya
terjadi di atas kortex serebral, substansi putih dan meningens. Kerentanan jaringan
otak terhadap berbagai macam virus tergantung pada tipe sel yang di pengaruhi.
Virus herpes simplex merubah metabolisme sel, yang mana secara cepat
menyebabkan neksrosis sel-sel. Virus yang lain menyebabkan perubahan produksi
enzim atau neurotransmiter yang menyebabkan disfungsi dari sel dan
kemungkinan kelainan neurologi. (Widagdo, 2010, hal. 125)

Dari beberapa literatur diatas dapat disimpulkan bahwa meningitis dapat terjadi
oleh virus dan bakteri. Meningitis bakteri ditularkan dari kontak langsung
(droplet) sedangkan meningitis virus sebagai akibat dari berbagai macam penyakit
yang disebebkan oleh virus.

1. Batasan Masalah
Masalah pada khasus ini dibatasi pada konsep asuhan keperawatan pada pasien
yang mengalami penyakit meningitis

1. Rumusan Masalah
2. Apa definisi dari meningitis?
3. Apa etiologi dari meningitis?
4. Apa tanda dan gejala dari meningitis?
5. Bagaimana patofisiologi meningitis?
6. Apa klasifikasi dari meningitis?
7. Apa saja komplikasi yang muncul pada penyakit meningitis?
8. Bagaimana konsep asuhan keperawatan dari meningitis?
9. Tujuan
10. Tujuan Umum
Mengetahui secara umum mengenai nkonsep asuhan keperawatan pada penyekit
meningitis

2. Tujuan Khusus
 Memahami definisi dari penyakit eningitis
 Mengetahui etiologi dari meningitis
 Mengetahui menifestasi klinis dari penyakit meningitis
 Memahami patofisiologi meningitis
 Memahami apa saja klasifikasi meningitis
 Mengetahui apa komplikasi meningitis
 Mengetahui asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa dan
intervensi dalam meningitis
 

BAB II
PEMBAHASAN
1. KONSEP PENYAKIT
2. Definisi
Meningitis adalah radang pada menings ( membran yang mengelilingi otak dan
medula spinalis ) dan disebabkan oleh virus, bakteri, atau jamur.Meniningitis
merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya di timbulkan dari
mikroorganisme pneuomonik, meningokok, stafilokok, stretokok, hemophilus
infuenza dan bahan aseptis. (Wijaya, 2013, hal. 24)

Meningitis bakterialis adalah suatu infeksi purulen lapisan otak yang pada orang
dewasa biasanya hanya terbatas di dalam ruang subraknoid, namun pada bayi
cenderng meluas sampai ke rongga subdural sebagai suatu efusi atau empiema
subdural atau bahkan ke dalam otak. (Nurarif, 2016, hal. 114)

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa meningitis adalah suatu infeksi yang
terjadi pada lapisan otak yang disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur.

2. Etiologi
3. Bakteri : mycbakterium tuberculosa diplococus pneumoniae
(pneumokok ), neisseria meningitis (meningokok), streptococus
haemolyticuss, staphylococus aureus.
4. Virus, toxoplasma gondhii dan ricketsia
5. Faktor fredisposisi : jenis kelamin laki-laki lebih sering dari pada wanita
6. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infesi maternal pada minggu
terakhir kehamilan
7. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobin
8. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan
dengan sistem persarafan.(Wijaya, 2013, hal. 24)
9. Manifestasi Klinis
10. Tanda-tanda meningitis secara khas meliputi:
11. Panas atau demam, mengigil, dan perasaterjaan yanga enak an tidak
karena infeksi serta inflamasi
12. Sakit kepala, muntah, dan kadag-kadang papiledema (inflamasi
nerveusflamasi dan edema pada nervus optikus)
13. Tanda-tanda iritasi meningen meliputi :
14. Kaku kuduk
15. Tanda Brudzinki dan Kernig yang positif
16. Refleks tendon dalam yang berlebihan dan simetris
17. Opistotonos (keadaan spasme di mana punggung dan ekstremitas
melengkung ke belakang sehingga tubuh bertumpu pada kepala dan kedua
tumit
18. Ciri-ciri meningitis yang lain meliputi :
19. Sinus aritmia akibat iritasi pada serabut-serabut saraf dalam sistem sraf
otonom
20. Iritabilitas akibat kenaikan tekanan intracranial
21. Fotofobia, diplopia, dan permasalahan penglihatan lain akibat iritasi
nervus kranialis
22. Delirium, stupor berat, dan koma akibat kenaikan tekanan intrakranial dan
edema serebri. (Kowalak, 2011, p. 314)
23. Patofisiologi
Meningitis umumnya dimulai dalam bentuk inflamasi piaaraknoid, yang dapat
berlanjut dengan timbul kongesti pada jaringan sekitarnya dan kerusakan sebagian
sel saraf.

Mikroorganisme secara khas masuk ke dalam sistem saraf pusat (SSP) melalui
salah satu dari empat jalur ini:

1. Darah (yang paling sering)


2. Lubang yang menghubungkan secara langsung cairan serebrospinal
dengan lingkungan sebagai akibat trauma
3. Lintasan di sepanjang nervus kranialis dan saraf perifer
4. Lintasan melalui mulut atau hidung
Mikroorganisme dapat ditularkan kepda bayi melalui lingkungan intrauteri.

Mikroorganisme yang menginvasi akan memicu  respons inflamasi pada


meningen. Dalam upaya mengusir invasi tersebut, sel-sel neutrofil akan
berkumpul di daerah ini dan menghasilkan eksudat di dalam ruang subaraknoid
sehingga cairan serebrospinal yang menyebabkan hidrosefalus.
1. Menyebabkan eksaserbasi respons inflamasi yang akan menaikkan tekanan
dalam otak.
2. Dapat meluas hingga mengenai nervus kranialis serta saraf perifer, dan
keadaan ini akan memicu reaksi inflamasi tambahan
3. Menimbulkan iritasi pada meningen, yang menyebabkan disrupsi
membran selnya dan mengakibatkan edema
Konsekuensi semua keadaan di atas adalah kenaikan tekanan intrakanial,
penggelembungan pembuluh darah, gangguan pasikan darah serebral,
kemungkinan trombosis atau ruptur, dan bila tekanan intrakranial tidak turun,
hasil akhir yang terjadi adalah infark serebri. Ensafalitis dapat pula terjadi sebagai
infeksi sekunder pada jaringan otak.

Pada meningitis aseptik, sel-sel limfosit akan menginfiltrasi lapisan pia-araknoid


tetapi biasanya infiltrasi ini tidak sehebat pada meningitis bakterialis dan juga
tidak membentuk eksudat. Jadi, tipe meningitis ini bersifat sembuh sendiri.
(Kowalak, 2011, pp. 313-314)

 
 
PATHWAY

(Nugroho, 2011, p. 92)


 
 

5. Klasifikasi
6. Meningitis bakteri / purulenta
7. Disebabkan oleh penyebaran infeksi dari penyakit lain
8. Bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus
9. CSF : warna opalescent s.d keruh, pada stadium dini jernih nonepandi +,
sebagian besar sel PMN, protein meningkat, glukosa turun, glukosa darah
menurun
10. Gejala neurologist dibagi dalam tahap :
 Fase I : sub febris, lesu, mudah terangsang, anoreksia, mual, sakit kepala
ringan
 Fase II : tanda rangsang meningen, kelainan N IIIdan IV, kadang
hemiparase dan erteritis
 Fase III : tanda neurology fokal, konvulsi, kesadaran menurun
 Fase IV : tanda fase III disertai koma dan shock
1. Meningitis tuberkolosa
2. Merupakan komplikasi infeksi TBC primer : tuberkel terbentuk diotak
permukaan otak- pecah kedalam rongga aracnoid – meningoencepalitis –
eksudat – obstruksi pada sisterna basalis – hidrosefalus dan kelainan pada
syaraf otak, terdapat kelainan p. darah arteritis dan phlebitis – infark otak
3. CSF : warna jernih, opalescent, santocrom, tekanan meningkat, jumlah sel
biasanya tidak lebih dari 150/mm3 terutama terdiri dari limfosit, kadar protein
meningkat, kadar glukosa dan CL menurun, bila CSF di biarkan akan timbul
fibrosis web (pellicle), glukosa dara bisa naik / turun
4. Terdiri dari 3 stadium :
 Stadium I : tanpa demam / kelainan, apatis, tidur terganggu, anoreksia,
nyeri kepala, mual, muntah
 Stadium II : kejang, rangsang meningeal, reflek tendon meningkat, TIK,
kelumpuhan saraf III dan IV, kelumpuhan sarah lainnya
 Stadium III : kelumpuhan, koma, pupil midriasis, reaksi pupil, nadi dan
RR tidak teratur, kadang cheyne stokes, hiperpireksia
1. Meningitis virus
2. Disebabkan oleh virus
3. CSF : terdapat pleositosa terutama dari sel monoklear, cairan bebas
kuman, protein sedikit meningkat, jumlah sel sekitar 100-800/mm3, glukosa
dalam batas normal
4. Gejala kulit biasanya ringan, jika berat biasanya ditemukan nyeri
kepala/kuduk (Nugroho, 2011, pp. 90-91)
5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat muncul pada meningitis antara lain :

1. Munculnya cairan pada lapisan subdural (efusi subdural). Cairan ini


muncul karena adanya desakan pada intrakarnial yang meningkat sehingga
memungkinkan lolosnya cairan dari lapisan infark kedaerah subdural
2. Peradangan pada daerag ventrikuler otak (ventrikulitis). Abses pada
menigen dapat sampai kejaringan cranial lain baik melalui perembetan
langsung maupun hematogen termasuk ke ventricular
3. Peradangan pada meningen dapat merangsang kenaikan produksi liquor
serebro spinal (LCS). Cairan LCS pada meningitis lebih kental sehingga
memungkinkan terjadinya sumbatan pada saluran LCS yang menuju medulla
spinalis. Cairan tersebut akhirnya banyak tertahan diintrakarnial.
4. Abses otak. Abses otak terjadi apabila infeksi sudah menyebar keotak
karena meningitis tidak mendapat pengobatan dan penatalaksanaan yang tepat
5. Epilepsy
6. Retardasi mental. Retaldasi mental kemungkinan terjadi karena meningitis
yang sudah menyebar ke serebrum sehingga menganggu gyrus otak anak
sebagai tempat penyimpanan memori
7. Serangan meningitis berulang. Kondisi ini terjadi kaarena pengobatan
yang tidak tuntas atau mikroorganisme yang sudah resisten terhadap antibiotic
yang digunakan untuk pengobatan (Ridha, 2014, p. 351)
 

1. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


2. Pengkajian
3. Identitas
Biasanya meningitis menyerang pada usia muda yaitu 1 bulan hingga 5 tahun,
dengan sebagian besar kasus pada anak kurang dari 1 tahun dan individu dewasa
muda 15 hingga 24 tahun. (Kyle & Carman, 2015, p. 557)

1. Status kesehatan saat ini


 Keluhan utama
Pada pasien meningitis biasanya keluhan utama yang dirasakan yaitu muncul
demam atau menggigil, kernig (+)(Carman, 2014, hal. 138)

 Alasan masuk rumah sakit


Keluhan yang diraskan saat masuk rumah sakit biasanya pasien sakit kepala,
muntah, kejang, ruam pada kulit. (Carman, 2014, hal. 138)

 Riwayat penyakit sekarang


Pengkajian yang didapatkan dengan adanya gejala-gejala yang dirasakan meliputi
sakit kepala, mual muntah, demam, perubahan tingkat kesadaran dan merasa kaku
pada leher (Widagdo, 2010, hal. 125)

1. Riwayat penyakit terdahulu


 Riwayat penyakit sebelumnya
Meningitis dapat terjadi sesudah seseorang megalami trauma atau menjalani
prosedur infasif ang meliputi ftartur tengkorak atau kraniu, luka tembus pada
kepala, pungsi lumbal, pemasangan shunt ventrikulus. (Kowalak, 2011, hal. 314)

 Riwayat penyakit keluarga


1. Pemeriksaan fisik
 Kesadaran umum
1. Kesadaran
Biasanya pasien yang mengalami penyakit meninitis kesadarannya apatis sampai
koma(Wijaya, 2013, hal. 29)

1. Tanda-tanda vital
 Body System
1. Sistem pernafasan
Pernapasan tidak teratur, kadang terjadi chyne stokes, tacgipnea, napas cepat dan
dangkal. (Wijaya, 2013, p. 29)

1. Sistem kardiovaskuler
Pada sistem karidovaskuler terjadi kenaikan tekanan intrakarnial yang dapat
mengakibatkan pasien tidak sadarkan diri (koma) (Kowalak, 2011, p. 314)

1. Sistem persyarafan
Disfungsi pada saraf cranial N III, VI, VIII
Neuron III & VI : biasanya pada pasien meningitis pemeriksaan fungsidan reaksi
pupil pada pasien meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya
tanpa kelainan, pada tahap lanjut meningitis yang menganggu kesadaran, tanda-
tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan
berlebihan terhadap cahaya

Neuron VIII : biasanya pada pasien meningitis dengan stadium lanjut


ditemukannya adanya tuli konduktif dan tuli persepsi (Widagdo, 2010, p. 126)

1. Sistem perkemihan
Tidak terjadi gangguan pada sitem perkemihan (Wijaya, 2013, p. 22)

1. Sistem pencernaan
Pada pasien meningitis biasanya terjadi mual dan muntah (Kowalak, 2011, p. 314)

1. Sistem integument
Pada sistem integument terjadi ruam petekia, vesicular atau ruam mukular juga
dapat terjadi pada pasien meningitis (Carman, 2014, p. 139)

1. Sistem musculoskeletal
Pada sistem musculoskeletal pasien yang mengalami penyakit meningitis biasanya
mengeluh nyeri dan kaku pada leher atau kekakuan pada otot (Kyle & Carman,
2015, p. 557)

1. Sistem reproduksi
Pada pasien meningitis biasanya tidak terjadi gangguan pada sistem reproduksi.
(Wijaya, 2013, p. 23)

1. Sistem endrokrin
Tidak ada gangguan pada sistem endokrin (Wijaya, 2013, p. 22)

1. Sistem imun
Pada sistem imun mengalami penurunan sistem imun pada pasien meningitis
(Wijaya, 2013, p. 22)

 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan cairan dan otak
 Bakteri
Tekanan cairan otak meningkat > 180 mmH20

Warna : keruh sampai purulen

Sel : leukosit meningkat, 95% PMN


Protein : meningkat > 75 mg/100 ml

Gula : menurun  < 40 , normal 2/3 dari glukosa darah

 Virus
Warna : jernih

Sel : jumlah sel meningkat

Protein : normal

Gula : normal

Cl- : normal

1. Pemeriksaan darah tepi, leukosit meningkat


2. Elektrolit, hiponatremia karena pengeluaran ADH
3. LP, tidak untuk pningkatan TIK
4. CT scan, untuk edema serebral
5. Rontgen : radang paru / abses paru sebagai sumber infeksi(Wijaya, 2013,
hal. 29)
 Penatalaksanaan
1. Obat anti inflamasi
 Meningitis tuberkulosa
1. Isoniazid 10-20 mg/kg/24 jam per oral, 2 kali sehari maksimal 500 gr
selama setengah tahun
2. Rifamfisin 10-15 mg/kg/24 jam per oral 1 x selama 1 tahun
3. Streptomisin sulfat 20-40 mg/kg/ 24 jam sampai 1 minggu, 1-2 kali sehali
selama 3 bulan
 Meningitis bakterial < 2 bulan
1. Sepalosforin generasi ke-3
2. Ampisilin 150-200 mg(400 gr)/kg/ jam IV, 4-6 kali sehari
 Meningitis bakterial umur >  2 bulan
1. Ampisilin 150-200 mg(400 gr)/kg/ jam IV, 4-6 kali sehari
2. Sepalosforin generasi ke-3
 Pengembangan simtomatis
1. Diazepam IV 0,2-0,5 mg/kg/dosis atau rectal 0,4-0,5 mg/kg/dosis
kemudian dilanjutkan dengan fentoin 5 mg/kg/24 jam 3x dalam sehari
2. Turunkan demam dengan antipiretik, paracetamol, atau salisilat 10
mg/kg/dosis sambil kompres air
 Pengobatan suportif
1. Cairan intravena
2. Pemberian O2 agar konsentrsi O2 berkisar antara 30-50 %
3. Diagnosa
4. Hipertermia b.d proses terjadinya infeksi (PPNI, 2016, p. 284)
5. Definisi : Suhu tubuh meningkat dibawah rentang normal tubuh
6. Penyebab
 Dehidrasi
 Terpapar lingkungan panas
 Proses penyakit (mis. Infeksi, kanker)
 Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan
 Peningkatan laju metabolisme
 Respon trauma
 Aktivitas berlebih
 Penggunaan inkubator
 Gejala dan Tanda Mayor
1. Tanda dan gejala
 Subjektif
(tidak tersedia)

 Objektif
Suhu tubuh di atas normal

1. Kondisi Klinis Terkait


 Proses infeksi
 Hipertiroid
 Stroke
 Dehidrasi
 Trauma
 prematuritas
1. Resiko Cedera b.d kerusakan fisik yang memnyebabkan seseorang tidak
lagi sepenuhnya sehat (PPNI, 2016, p. 294)
2. Definis : beresiko mengalami bahaya atau kerusakan fisik yang
memnyebabkan seseorang tidak lagi sepenuhnya sehat atau dalam kondisi baik
3. Penyebab
Eksternal

 Terpapar patogen
 Terpapar zat kimia toksik
 Terpapar agen nosokimial
 Ketidakamanan transportasi
Internal

 Keidaknormalan profil darah


 Perubahan orientasi afektif
 Perubahan sensasi
 Disfungsi autoimun
 Disfungsi biokimia
 Hipoksia jaringan
 Kegagalan mekanisme pertahanan tubuh
 Malnutrisi
 Perubahan fungsi psikomotor
 Perubahan fungsi kognitif
1. Kondisi Klinis Terkait
 Kejang
 Sinkop
 Vertigo
 Gangguan penglihatan
 Gangguan pendengaran
 Penyakit parkinsosn
 Hipotensi
 Kelainan nervus vestibularis
 Ratardasi mental
1. Nyeri Akut b.d pengalaman sensori atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional (PPNI, 2016, p. 172)
2. Definisi : pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga beratn yang berlangsung kurang dari 3
bulan
3. Penyebab
 Agen pencedera fisiologis (mis, inflamasi, iskemia, neoplasma)
 Agen pencendera kimiawi (mis, terbakar, terpotong, mengangkat berat,
prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebih)
1. Gejala dan Tanda Mayor
Subjektif

 Mengeluh nyeri
Objektif

 Tampak meringis
 Bersikap protektif (mis, waspada posisi menghindar nyeri)
 Gelisah
 Frekuensi nadi meningkat
 Sulit tidur
1. Kondisi Klinis Terkait
 Kondisi pembedahan
 Cedera traumatis
 Infeksi
 Sindrom koroner akut
 Glaukoma
3. Intervensi
4. Hipertermia
5. Tujuan
Pasien akan menunjukkan termoregulasi, yang dibuktika oleh indicator gangguan
sebagai berikut (gangguan ekstrim, berat, sedang, ringan, atau tidak ada
gangguan).

1. Kriteria hasil
 Menunjukkan metode yang tepat untuk mengukur suhu
 Menjelaskan tindakan untuk mencegah atau meminimalkan peningkatan
suhu tubuh
 Melaporkan tanda dan gejala dini hipertermia
1. Intervensi
Aktifitas keperawatan
 Pantau aktifitas kejang
 Pantau hidrasi (mis. Turgor kulit, kelembapan membrane mukosa)
 Pantau tekanan darah, denyut nadi, dan frekuensi pernapasan
 Kaji ketepatan jenis pakaian yang digunakan, sesuai dengan suhu
lingkungan
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
 Ajarkan pasien/keluarga dalam mengukur suhu untuk mencegah dan
mengenali secara dini hipertermia (mis., stroke bahang dan keletihan akuibat
panas)
 Regulasi suhu (NIC) : Ajarkan indikasi keletihan akibat panas dan
tindakan kedaruratan yang diperlukan, jika perlu
Aktifitas kolaboratif
 Regulasi suhu (NIC) :
Berikan obat antipiretik jika perlu. Gunakan matras dingin dan amndi air hangat
untuk mengatasi gangguan suhu tubuh, jika perlu

Aktifitas lain
1. Lepaskan pakaian yang berlebihan dan tutupi pasien dengan selimut saja
2. Gunakan waslpa dingin (atau kantong es yang dibalut dengan kain) di
aksila, kening, tengkuk, dan lipat paha
3. Anjurkan asupan cairan oral, setidaknya 2 liter sehari, dengan tambahan
cairan selama aktifitas yang berlebihan atau aktifitas sedang dalam cuaca
panas
4. Gunakan kipas yang berputar diruangan pasien
5. Gunakan selimut pendingin(Wilkinson, 2016, pp. 216-217)
6. Resiko Cidera
 Tujuan
Resiko cidera akan menurun yang dibuktikan oleh perilaku keamanan personal,
pengendalian resiko dan lingkungan rumah yang aman

 Criteria hasi
1. Mempersiapkan lingkunya yang aman
2. Mengidentifikasi resiko yang meningkatkan kerentanan terhadap cidera
3. Menghindari cidere fisil
 

 Intervensi NIC
Aktivitas keperawatan
1. Identifikasi faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan, misalnya
perubahan status mental
2. Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan resiko terjatuh
3. Periksa apakah pasien memakai pakaian yang terlalu ketat, mengalami
luka bakar, atau memar
4. Tinjau riwayat obstetric pasien untuk mendapatkan informasi ter
5. Nyeri Akut
 Tujuan
Memperlihatkan pengendalian nyeri, yan dibuktikan oleh indicator sebagai berikut
(sebutkan 1-5: tidak oernah, jarang, kadang-kandang, sering, atau selalu).

Mengenali awitan nyeri

Menggunakan tindakan pencegahan

Melaporkan nyeri yang dapat dikendalikan

 Criteria hasil
1. Memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk
mencapai kenyamanan
2. Mempertahankan tingkat nyeri pada atau kurang (dengan skala 0-10)
3. Melaporkan kesejahteraan fisik dan psikologi
4. Mengenali faktor penyebab dan menggunakan tindakan untuk
memodifikasi faktor tersebut
5. Melaporkan nyeri kepada penyedia layanan kesehatan
6. Menggunakan tindakan meredakan nyeri dengan analgesic dan non
analgesic secara teapat
7. Tidak mengalami gangguan dalam frekuensi pernapasan, denyut jantung,
atau tekanan darah
8. Mempertahankan selera makan yang baik
9. Melaporkan pola tidur yang baik
10. Melaporkan kemampuan untuk mempertahankan performa peran dan
hubungan interpersonal
 Intervensi NIC
Aktivitas keperawatan
1. Gunakan laporan dari pasien sendiri sebagai pilihan pertama untuk
mengumpulkan onformasi pengkajian.
2. Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0
sampai 10 (0= tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10= nyeri berat)
3. Gunakan bagan alir nyeri untuk memantau peredaan nyeri oleh analgesic
dan kemungkinan efek sampingnya
4. Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri
respon pasien
5. Dalam mengkaji pasien, gunakan kata-kata yang sesuai usia dan tingkat
perkembangan pasien
Penyuluhan untuk pasien/keluarga
1. Sertakan dalam intruksi pemulangan pasien obat khusus yang harus
diminum, frekuensi pemberian, kemungkinan efek samping, kemungkinan
interksi obat, kewaspadaan khusus saat mengonsumsi obat tersebut (mis,
pembatasan aktivitas fisik, pembatasan diet)l dan nama orang yang harus
dihubungi bila mengalami nyeri membandel
2. Intruksikan oasien untuk menginformasikan kepada perawat jika peredaan
nyeri tidak dapat dicapai
3. Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan
nyeri dan tawarkan strategi koping yang disarankan
4. Perbaiki kesalahan presepsi tentang analgesic narkotik atau opioid (mis,
risiko ketergantungan atau overdosis)
Aktivitas kolaboratif
1. Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate yang terjadwal
(mis, setiap 4 jam selam 36 jam) atau PCA
2. Manajemen nyeri NIC
Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih berat

Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika keluhan saat ini
merupakan perubahan yang bermakna dari pengalaman nyeri pasien dimasalalu

(Wilkinson J. M., 2016, pp. 297-298)

DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F. B. (2010). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Carman, S. (2014). Buku Praktik Keperawatan Pediatri . Jakarta: EGC.
Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Katalog Dalam Terbitan.
Kyle, T., & Carman, S. (2015). Buku Ajar Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.
Nugroho, T. (2011). Asuhan Keperawatan Maternias, Anak, Bedah, Penyakit
dalam. Yogyakarta: Nuha Medika.

Nurarif, A. H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis . Yogyakarta: Mediaction


Publising.
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Dewan
Pengurus Pusat.
Ridha, N. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widagdo, W. (2010). Asuhan keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan. Yogyakarta: Katalog Dalam Terbitan.
Wijaya, A. S. (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Wilkinson, J. M. (2016). Diagnosa Keperawatan Intervensi Nanda Nic Noc.
Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai