Anda di halaman 1dari 7

BAB II

KONSEP MEDIS

2.1 Definisi

Meningitis Meningitis adalah radang pada menings ( membran yang mengelilingi otak
dan medula spinalis ) dan disebabkan oleh virus, bakteri, atau jamur.Meniningitis merupakan
infeksi akut dari meninges, biasanya di timbulkan dari mikroorganisme pneuomonik,
meningokok, stafilokok, stretokok, hemophilus infuenza dan bahan aseptis. (Wijaya, 2013,
hal. 24)

Meningitis bakterialis adalah suatu infeksi purulen lapisan otak yang pada orang
dewasa biasanya hanya terbatas di dalam ruang subraknoid, namun pada bayi cenderng
meluas sampai ke rongga subdural sebagai suatu efusi atau empiema subdural atau bahkan ke
dalam otak. (Nurarif, 2016, hal. 114)

2.2 Etiologi

1. Bakteri : mycbakterium tuberculosa diplococus pneumoniae (pneumokok )


neisseria meningitis (meningokok), streptococus haemolyticuss, staphylococus
aureus.

2. Virus, toxoplasma gondhii dan ricketsia

3. Faktor fredisposisi : jenis kelamin laki-laki lebih sering dari pada wanita

4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infesi maternal pada minggu terakhir
kehamilan

5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobin Kelainan


sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem
persarafan.(Wijaya, 2013, hal. 24)

2.3 Manifestasi klinis

Tanda-tanda meningitis secara khas meliputi:

1. Panas atau demam, mengigil, dan perasaterjaan yanga enak an tidak karena infeksi
serta inflamasi
2. Sakit kepala, muntah, dan kadag-kadang papiledema (inflamasi nerveusflamasi dan
edema pada nervus optikus)

Tanda-tanda iritasi meningen meliputi :

1. Kaku kuduk

2. Tanda Brudzinki dan Kernig yang positif

3. Refleks tendon dalam yang berlebihan dan simetris

4. Opistotonos (keadaan spasme di mana punggung dan ekstremitas melengkung ke


belakang sehingga tubuh bertumpu pada kepala dan kedua tumit

Ciri-ciri meningitis yang lain meliputi :

1. Sinus aritmia akibat iritasi pada serabut-serabut saraf dalam sistem sraf otonom

Iritabilitas akibat kenaikan tekanan intracranial

2. Fotofobia, diplopia, dan permasalahan penglihatan lain akibat iritasi nervus


kranialis

3. Delirium, stupor berat, dan koma akibat kenaikan tekanan intrakranial dan edema
serebri. (Kowalak, 2011, p. 314)

2.4 Klasifikasi

1. Meningitis bakteri / purulenta

2. Disebabkan oleh penyebaran infeksi dari penyakit lain

3. Bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus

4. CSF : warna opalescent s.d keruh, pada stadium dini jernih nonepandi +, sebagian
besar sel

5. PMN, protein meningkat, glukosa turun, glukosa darah menurun

6. Gejala neurologist dibagi dalam tahap :

Fase I : sub febris, lesu, mudah terangsang, anoreksia, mual, sakit kepala ringan

Fase II : tanda rangsang meningen, kelainan N IIIdan IV, kadang hemiparase dan erteritis

Fase III : tanda neurology fokal, konvulsi, kesadaran menurun


Fase IV : tanda fase III disertai koma dan shock

1. Meningitis tuberkolosa

2. Merupakan komplikasi infeksi TBC primer : tuberkel terbentuk diotak permukaan


otak- pecah kedalam rongga aracnoid – meningoencepalitis – eksudat – obstruksi
pada sisterna basalis – hidrosefalus dan kelainan pada syaraf otak, terdapat kelainan p.
darah arteritis dan phlebitis – infark otak

3. CSF : warna jernih, opalescent, santocrom, tekanan meningkat, jumlah sel biasanya
tidak lebih dari 150/mm3 terutama terdiri dari limfosit, kadar protein meningkat,
kadar glukosa dan CL menurun, bila CSF di biarkan akan timbul fibrosis web
(pellicle), glukosa dara bisa naik / turun

Terdiri dari 3 stadium :

- Stadium I : tanpa demam / kelainan, apatis, tidur terganggu, anoreksia, nyeri


kepala, mual, muntah
- Stadium II : kejang, rangsang meningeal, reflek tendon meningkat, TIK,
kelumpuhan saraf III dan IV, kelumpuhan sarah lainnya
- Stadium III : kelumpuhan, koma, pupil midriasis, reaksi pupil, nadi dan RR tidak
teratur, kadang cheyne stokes, hiperpireksia

1. Meningitis virus

2. Disebabkan oleh virus

3. CSF : terdapat pleositosa terutama dari sel monoklear, cairan bebas kuman, protein
sedikit meningkat, jumlah sel sekitar 100-800/mm3, glukosa dalam batas normal

4. Gejala kulit biasanya ringan, jika berat biasanya ditemukan nyeri kepala/kuduk
(Nugroho, 2011, pp. 90-91)

2.5 Patofisiologi

Meningitis umumnya dimulai dalam bentuk inflamasi piaaraknoid, yang dapat


berlanjut dengan timbul kongesti pada jaringan sekitarnya dan kerusakan sebagian sel saraf.
Mikroorganisme secara khas masuk ke dalam sistem saraf pusat (SSP) melalui salah satu dari
empat jalur ini:
1. Darah (yang paling sering)

2. Lubang yang menghubungkan secara langsung cairan serebrospinal dengan lingkungan


sebagai akibat trauma

3. Lintasan di sepanjang nervus kranialis dan saraf perifer

4. Lintasan melalui mulut atau hidung

Mikroorganisme dapat ditularkan kepda bayi melalui lingkungan intrauteri.

Mikroorganisme yang menginvasi akan memicu respons inflamasi pada meningen.


Dalam upaya mengusir invasi tersebut, sel-sel neutrofil akan berkumpul di daerah ini dan
menghasilkan eksudat di dalam ruang subaraknoid sehingga cairan serebrospinal yang
menyebabkan hidrosefalus. Menyebabkan eksaserbasi respons inflamasi yang akan
menaikkan tekanan dalam otak. Dapat meluas hingga mengenai nervus kranialis serta saraf
perifer, dan keadaan ini akan memicu reaksi inflamasi tambahan Menimbulkan iritasi pada
meningen, yang menyebabkan disrupsi membran selnya dan mengakibatkan edema
Konsekuensi semua keadaan di atas adalah kenaikan tekanan intrakanial, penggelembungan
pembuluh darah, gangguan pasikan darah serebral, kemungkinan trombosis atau ruptur, dan
bila tekanan intrakranial tidak turun, hasil akhir yang terjadi adalah infark serebri. Ensafalitis
dapat pula terjadi sebagai infeksi sekunder pada jaringan otak.

Pada meningitis aseptik, sel-sel limfosit akan menginfiltrasi lapisan pia-araknoid


tetapi biasanya infiltrasi ini tidak sehebat pada meningitis bakterialis dan juga tidak
membentuk eksudat. Jadi, tipe meningitis ini bersifat sembuh sendiri.(Kowalak, 2011, pp.
313-314)

2.6 Komplikasi

Komplikasi yang dapat muncul pada meningitis antara lain :

1. Munculnya cairan pada lapisan subdural (efusi subdural). Cairan ini muncul karena adanya
desakan pada intrakarnial yang meningkat sehingga memungkinkan lolosnya cairan dari
lapisan infark kedaerah subdural

2. Peradangan pada daerag ventrikuler otak (ventrikulitis). Abses pada menigen dapat sampai
kejaringan cranial lain baik melalui perembetan langsung maupun hematogen termasuk ke
ventricular
3. Peradangan pada meningen dapat merangsang kenaikan produksi liquor serebro spinal
(LCS). Cairan LCS pada meningitis lebih kental sehingga memungkinkan terjadinya
sumbatan pada saluran LCS yang menuju medulla spinalis. Cairan tersebut akhirnya banyak
tertahan diintrakarnial.

4. Abses otak. Abses otak terjadi apabila infeksi sudah menyebar keotak karena meningitis
tidak mendapat pengobatan dan penatalaksanaan yang tepat

5. Epilepsy

6. Retardasi mental. Retaldasi mental kemungkinan terjadi karena meningitis yang sudah
menyebar ke serebrum sehingga menganggu gyrus otak anak sebagai tempat penyimpanan
memori

7. Serangan meningitis berulang. Kondisi ini terjadi kaarena pengobatan yang tidak tuntas
atau mikroorganisme yang sudah resisten terhadap antibiotic yang digunakan untuk
pengobatan (Ridha, 2014, p. 351)

2.7 Penatalaksanaan

Menurut (Riyadi & Sukarmin, 2009) penatalaksanaan medis yang secara umum yang
dilakukan di rumah sakit antara lain :

a. Pemberian cairan intravena. Pilihan awal yang bersifat isotonik seperti sering atau ringer
laktat dengan dosis yang dipertimbangkan melalui penurunan berat badan anak atau tingkat
degidrasi yang diberikan karena pada anak yang menderita meningitis sering datang dengan
penurunan kesadaran karena kekurangan cairan akibat muntah, pengeluaran cairan melalui
proses evaporasi akibat hipertermia dan intake cairan yang kurang akibat kesadaran yang
menurun.

b. Pemberian diazepam apabila anak mengalami kejang. Dosis awal diberikan diazepam 0,5
mg/Kg BB/kali pemberian melalui intravena. Setelah kejang dapat diatasi maka diberikan
fenobarbital dengan dosis awal pada neonates 30m, anak kurang dari 1 tahun 50 mg
sedangkan anak yang lebih dari 1 tahun 75 mg. Untuk rumatannya diberikan fenobarbital 8-
10 mg/Kg BB/ di bagi dalam dua kali pemberian diberikan selama dua hari. Sedangkan
pemberian fenobarbital dua hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 4-5 mg/Kg BB/ dibagi
dua kali pemberian. Pemberian diazepam selain untuk menurunkan kejangjuga diharapkan
dapat menurunkan suhu tubuh karena selain hasil toksik kumanpeningkatan suhu tubuh
berasal dari kontraksi otot akibat kejang.

c. Pemberian antibiotik yang sesuai dengan mikroorganisme penyebab. Antibiotik yang


sering dipakai adalah ampisilin dengan dosis 300-400 mg/KgBB dibagi dalam enam dosis
pemberian secara intravena dikombinasikan dengan kloramfenikol 50 mg/KgBB dibagi
dalam empat dosis pemberian. Pemberian antibiotik ini yang paling rasional melalui kultur
dari pengambilan cairan serebrospinal melalui pungsi lumbal.

d. Penempatan pada ruang yang minimal rangsangan seperti rangsangan suara, cahaya dan
rangsangan polusi. Rangsangan yang berlebihan dapat membangkitkan kejang pada anak
karena peningkatan rangsang depolarisasi neuron yang dapat berlangsung cepat.

e. Pembebasan jalan napas dengan menghisap lendir melalui suction dan memposisikan anak
pada posisi kepala miring hiperekstensi. Tindakan pembebasan jalan napas dipadu dengan
pemberian oksigen untuk mendukung kebutuhan metabolism yang meningkat selain itu
mungkin juga terjadi depresi pusat pernapasan karena peningkatan tekanan intracranial
sehingga peril diberikan oksigen bertekanan lebih tinggi yang lebih mudah masuk ke saluran
pernapasan. Pemberian oksigen pada anak meningitis dianjurkan konsentrasi yang masuk
bisa tinggi melalui masker oksigen.
DAFTAR PUSTAKA

Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: Katalog Dalam Terbitan.

Nugroho, T. (2011). Asuhan Keperawatan Maternias, Anak, Bedah, Penyakit dalam.


Yogyakarta: Nuha Medika.

Nurarif, A. H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis . Yogyakarta: Mediaction Publising.

Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Yogyakarta-.

Graha Ilmu.

Ridha, N. (2014). Buku Ajar Keperawatan Anal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wijaya, A. S. (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai