MENINGITIS
2. Klasifikasi
Menurut Muttaqin (2008), meningitis di klasifikasikan sesuai dengan
faktor penyebabnya antara lain terdiri dari meningitis asepsis, sepsis dan
tuberkulosa.
a. Asepsis
Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus.
Meningitis ini biasanya di sebabkan berbagai jenis penyakit yang di
sebabkan virus seperti gondongan, herpes simpleks dan herpes zooster.
Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi
pada meningitis virus dan tidak di temukan organisme pada kultur
cairan otak. Peradangan terjadi pada seluruh korteks serebri dan
lapisan otak. Mekanisme atau respons dari jaringan otak terhadap virus
bervariasi tergantung pada jenis sel yang terlibat.
b. Sepsis/ Meningitis Purulenta
Meningitis sepsis merupakan meningitis yang di sebabkan oleh
organisme bakteri. Penyebab meningitis bakteri akut yaitu Neisseria
meningitidis (meningitis meningokokus), streptococus pneumoniae
(pada dewasa), dan haemophilus influenzae(pada anak-anak dan
dewasa muda).
c. Tuberkulosa
Meningitis tuberculosa di sebabkan oleh basilus tuberkel.Menurut Rich
& McCoredck, Meningitis tuberkulosa terjadi akibat komplikasi
penyebaran tuberkulosis primer, biasanya dari paru. Meningitis terjadi
bukan karena terinfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran
hematogen, tetapi biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel
pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang
kemudian pecah kedalam rongga arachnoid. Kadang dapat juga terjadi
perkontinuitatum dari mastoiditis atau spondilitis. Pada pemeriksaan
histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan
meningoensefalitis. (Ngastiyah, 2012).
3. Penyebab
Meningitis merupakan akibat dari komplikasi penyakit lain atau kuman
secara hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit
faringotonsilitis, pneumonia, bronkopneumonia, endokarditis dan dapat
pula sebagai perluasan kontinuitatum dari peradangan organ/jaringan di
dekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis media, mastoiditis,
trombosis sinus kavernosus dan lain-lain (Ngastiyah, 2012). Penyebab
meningitis adalah sebagai berikut :
a. Bakteri
Sebagian besar kasus meningitis pada neonatus disebabkan oleh flora
dalam saluran genitalia ibu. Streptokokkus grup B dan Escherichia
collimerupakan patogen yang sangat penting bagi kelompok usia ini.
Pada anak berusia 6 bulan atau lebih haemophilus influenzae dan
streptococcus pneumoniae merupakan penyebab tersering. Selain itu
meningitis juga di sebabkan mycobacterium tuberculosa yang berawal
dari penyakit TBC.
b. Virus: echovirus, coxsackie virus, virus gondongan dan virus
imunodefisiensi manusia (HIV).
c. Faktor maternal: ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu
terakhir kehamilan.
d. Faktor imunologi: defesiensi mekanisme imun, defesiensi imunoglobin
dan anak yang mendapat obat-obatan imunosupresi.
e. Anak dengan kelainan sistem saraf pusat , pembedahan atau injury
yang berhubungan dengan sistem persarafan (Suriadi & Yuliani,
2010).
4. Patofisiologi
Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis
yang dapat menyebabkan obstruksi, selanjutnya terjadi hidrosefalus dan
peningkatan tekanan intra kranial. Efek patologi dari peradangan tersebut
adalah hiperemi pada meningen, edema dan eksudasi yang menyebabkan
peningkatan intrakranial. Organisme masuk melalui sel darah merah pada
blood brain barrier. Masuknya organisme dapat melalui trauma, penetrasi
prosedur pembedahan, pecahnya abses serebral atau kelainan sistem saraf
pusat. Otorrhea atau rhinorhea akibat fraktur dasar tengkorak dapat
menimbulkan meningitis, dimana terjadi hubungan antara Cerebral spinal
fluid (CSF) dan dunia luar. Masuknya mikroorganisme kesusunan saraf
pusat melalui ruang sub arachnoid dan menimbulkan respon peradangan
pada via, arachnoid, CSF dan ventrikel, dari reaksi radang muncul eksudat
dan perkembangan infeksi pada ventrikel, edema dan skar jaringan
sekeliling ventrikel menyebabkan obstruksi pada CSF dan menimbulkan
Hidrosefalus.
Meningitis bakteri; netrofil,monosit, limfosit dan yang lainnya merupakan
sel respon radang. Eksudet terdiri dari bakteri fibrin dan leukosit yang di
bentuk di ruang sub arachnoid. Penumpukan pada CSF akan bertambah
dan mengganggu aliran CSF di sekitar otak dan medula spinalis. Terjadi
vasodilatasi yang cepat dari pembuluh darah dapat menimbulkan ruptur
atau trombosis dinding pembuluh darah dan jaringan otak yang berakibat
menjadi infarctCSF (Suriadi & Yuliani, 2010).
8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
1) Meningitis purulenta
a) Pemberian cairan secara intravena untuk menghindari
kekurangan cairan/elektrolit akibat muntah-muntah atau diare.
b) Bila pasien masuk dalam keadaan status konvulsivus, diberikan
diazepam 0,5 mg/kg BB/ kali intravena, dan dapat di ulang
dengan dosis yang sama 15 menit kemudian. Bila kejang belum
berhenti, ulangan pemberian diazepam berikutnya (yang ketiga
kali) dengan dosis yang sama diberikan secara intramuskular.
c) Setelah kejang dapat di atasi, diberikan fenobarbital dosis awal
untuk neonatus 30 mg, anak kurang dari 1 tahun 50 mg dan di
atas 1 tahun 75 mg. Selanjutnya untuk pengobatan rumat
diberikan fenobarbital dengan dosis 8-9 mg/kg BB/hari di bagi
dalam 2 dosis, diberikan selama 2 hari.
d) Berikan ampisisilin intravena sebanyak 400 mg/kg BB/ hari di
bagi dalam 6 dosis di tambah kloramfenikol 100 mg/ Kg
BB/hari intravena dibagi dalam 4 dosis . Pada hari ke-10
pengobatan di lakukan pungsi lumbal ulangan dan bila ternyata
menunjukkan hasil yang normal pengobatan tersebut di
lanjutkan 2 hari lagi. Tetapi jika masih belum normal
pengobatan di lanjutkan dengan obat yang sama seperti di atas
atau di ganti dengan obat yang sesuai dengan hasil biakan dan
uji resisten kuman.
2) Dasar pengobatan meningitis tuberkulosa ialah pemberian
kombinasi obat antituberkulosis dan di tambahkan dengan
kortikosteroid, pengobatan sitomatik bila terdapat kejang, koreksi
dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau muntah dan
fisioterapi. Umumnya di pakai kombinasi streptomisin, PAS dan
INH. Bila ada resisten terhadap salah satu obat tersebut maka dapat
digantikan dengan reserve drugs. Streptomisin di berikan dengan
dosis 30-50 mg/kg BB/hari selama 3 bulan atau jika perlu di
teruskan 2 kali seminggu selama 2-3 bulan lagi sampai likuor
serebrospinalis menjadi normal. PAS dan INH di teruskan paling
sedikit sampai 2 tahun. Kortikostreoid biasanya di berikan berupa
prednison dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari (dosis minimum 20
mg/hari) dibagi 3 dosis selama 2-4 minggu, kemudian di turunkan
1 mg/kg BB/hari setiap 1-2 minggu. Pemberian kortikosteroid
seluruhnya selama 3 bulan dan dihentikan bertahap untuk
menghindarkan terjadinya rebound phenomenon.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Masalah yang perlu diperhatikan pada pasien dengan meningitis adalah
gangguan kesadaran, resiko terjadi komplikasi, gangguan rasa aman
dan nyaman serta kurangnya pengetahuan orang tua mengenai
penyakit.
1) Gangguan kesadaran
Pasien meningitis yang mengalami koma memerlukan pengawasan
tanda-tanda vital secara cermat karena pernapasannya sering
cheyne-Stokes sehingga terdapat gangguan O2. Untuk membantu
pemasukan O2 perlu diberikan oksigen yaitu 1-2 liter/ menit.
Selain itu pasien koma juga mengalami inkontinensia urine maka
perlu di pasang penampung urine. Kebersihan kulit perlu di
perhatiakn terutama sekitar genitalia dan bagian tubuh yang
tertekan. Oleh karena itu jika akan memasang kateter urine harus
konsultasi dahulu dengan dokter. Buat catatan khusus jika belum
ada catatan perawatan untuk mencatat hasil observasi pasien.
2) Resiko terjadi komplikasi
Dehidrasi asidosis dapat terjadi pada pasien, oleh sebab itu untuk
memenuhi kebutuhan pasien perlu dilakukan pemasangan sonde
tetapi untuk kebutuhan elektroloit tidak akan cukup. Bila terjadi
dehidrasi cairan yang di berikan biasanya glukosa 10 % dan NACl
0,9% dalam perbandingan 3:1. Pengawasan tetesan perlu dilakukan
secara cermat dan setiap mengganti cairan harus dicatat pada pukul
berapa agar mudah diketahui untuk memperhitungkan kecukupan
cairan atau tidak. Pengaturan posisi pada pasien juga perlu di
perhatikan, teutama pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Ubahlah sikap berbaringnya setiap tiga jam, sekali-sekali lakukan
gerakan pada sendi-sendi dengan menekuk/meluruskan kaki –
tangan tetapi usahakan agar kepala tidak ikut terangkat (bergerak).
3) Gangguan rasa aman dan nyaman
Gangguan aman dan nyaman perlu diperhatikan dengan selalu
bersikap lembut (jangan berpikir bahwa pasien koma tidak akan
tahu). Salah satu kesalahan yang sering terjadi ialah membaringkan
pasien tersebut menghadap cahaya matahari, sedangkan pasien
koma matanya selalu terbuka. Untuk menghindarkan silau yang
terus menerus jangan baringkan pasien kearah jendela. Untuk
pasien yang akan melakukan tindakan, ajak lah pasien berbicara
sewaktu melakukan tindakan tersebut walaupun pasien tidak sadar
(Ngastiyah, 2012).
4) Penatalaksanaan kejang
a) Airway
(1) Baringkan pasien ditempat yang rata, kepala dimiringkan
dan pasangkan sudip lidah yang telah dibungkus kasa atau
bila ada guedel lebih baik.
(2) Singkirkan benda-benda yang ada disekitar pasien,
lepaskan pakaian yang mengganggu pernapasan
(3) berikan O2 boleh sampai 4 L/ mnt.
b) Breathing
(1) Isap lendir sampai bersih
c) Circulation
(1) Bila suhu tinggi lakukan kompres hangat secara intensif.
(2) Setelah pasien bangun dan sadar berikan minum hangat
(berbeda dengan pasien tetanus yang jika kejang tetap
sadar).
9. Pencegahan Meningitis
Imunisasi dini dapat mencegah agar anak dalam keluarga tidak mengalami
kematian yang tragis. Perawat memainkan peran yang signifikan dalam
memberikan penyuluhan kepada keluarga mengenai berbagai tindakan
pencegahan seperti vaksinasi. Pemberian vaksinasi yang dapat mencegah
terjadinya meningitis adalah vaksin DPT(difteri, pertusis dan tetanus) Hib
(Haemofilus Influenza Tipe b) untuk mencegah meningitis yang di
sebabkan oleh H. Influenzae, N. Meningitidis dan penyebab meningitis
akibat komplikasi dari pneumonia, di berikan pada usia 2, 3 dan 4 bulan.
Selain itu vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin) diberikan untuk
mencegah penyakit TBC, pemberian dilakukan pada usia 1 bulan
(Pusdiknakes, 2015).
TABEL
2) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan Hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht), Leukosit dan
trombosit, protombin dan tromboplastin parsial. Pemeriksaan
leukosit diperlukan untuk menentukan kemungkinan adanya
infeksi bakteri berat dan leukopenia mungkin merupakan tanda
prognosis yang buruk terutama pada penyakit akibat
meningokokus dan pneumokokus. Sama halnya dengan
memanjangnya waktu protombin dan tromboplastin parsial
yang di sertai trombositopenia menunjukkan koagulasi
intravaskuler deseminata. (leukosit normal : 5000-10000/mm3,
trombosit normal : 150.000-400.000/mm3, Hb normal pada
perempuan: 12-14gr/dl, pada laki-laki : 14-18gr/dl).
b) Pemeriksaan glukosa darah. (Glukosa darah normal < 200
gr/dl).
3) Pemeriksaan cairan dan elektrolit
a) Kadar elektrolit serum, meningkat jika anak dehidrasi, natrium
serum (Na+) naik, kalium serum (K+)turun. (Na+ normal :
136- 145mmol/L, K+ normal : 3,5-5,1 mmol/L).
b) Osmolaritas urine meningkat dengan peningkatan sekresi
ADH.
4) Pemeriksaan kultur
a) Kultur darah berguna untuk mengidentifikasi organisme
penyebab.
b) Kultur urien/urinalisis, untuk mengidentifikasi organisme
penyebab.
c) Kultur nasofaring, untuk mengidentifikasi organisme
penyebab.
5) Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan rontgenografi jarang diperlukan dalam mendiagnosis
meningitis namun pemeriksaan tersebut bisa berguna dalam
mengenali faktor resiko. CT scan dilakukan untuk menentukan
adanya edema serebri atau penyakit saraf lainya (Betz & Sowden,
2009).
3. Intervensi
Risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif b/d proses inflamasi, edema
pada otak.
Manajemen peningkatan tekanan intrakranial (I.06194)
Observasi
- Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis. lesi, gangguan
metabolisme, edema serebral)
- Monitor tanda/gejala peningkatan TIK (mis. tekanan darah meningkat,
tekanan nadi melebar, bradikardia, pola napas ireguler, kesadaran
menurun)
- Monitor MAP (Mean Arterial Pressure)
- Monitor CVP (Central Venous Pressure), jika perlu
- Monitor PAWP, jika perlu
- Monito PAP, jika perlu
- Monitor ICP (Intra Cranial Pressure), jika tersedia
- Monitor CPP (Cerebral Perfusion Pressure)
- Monitor gelombang ICP
- Monitor status pernapasan
- Monitor intake dan output cairan
- Monitor cairan serebro-spinalis (mis. warna, konsistensi)
Terapeutik
- Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang tenang
- Berikan posisi semifowler
- Hindari manuver valsava
- Cegah terjadinya kejang
- Hindari penggunaan PEEP
- Hindari pemberian cairan IV hipotonik
- Atur ventilator agar PaCO2 optimal
- Pertahankan suhu tubuh normal
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian sedasi dan antikonvulsan, jika perlu
- Kolaborasi pemberian diuretik osmosis, jika perlu
- Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Andareto, Obi. 2015. Katalog Dalam Terbitan (KDT) Kesehatan Obi Andareto
Penyakit Menular di Sekitar Anda. Jakarta: Pustaka Ilmu Semesta
Betz, Cecily Lynn & Sowden, Linda A. 2009. Buku Saku keperawatan Pediatri:
Edisi 5. Jakarta: EGC
Brunner & Suddart. 2013, Keperawatan Medikal Bedah: Edisi 12. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A., & Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Poses-
Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada anak/ Sujono
Riyadi & Sukarmin – Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu
Suariadi & Yuliani, Rita. 2010, Asuhan Keperawatan Pada Anak: Edisi 2. Jakarta:
CV Sagung Seto.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
Wong, Donna L., dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik: Volume 2.
Jakarta: EGC