Anda di halaman 1dari 9

Meningoensefalitis

1. Pengertian Meningoensefalitis

Meningitis adalah infeksi akut pada selaput meningen (selaput yang menutupi
otak dan medula spinalis) (Nelson, 2010). Encephalitis adalah infeksi virus pada otak
(Elizabeth, 2009). Meningoencephalitis adalah peradangan pada selaput meningen
dan jaringan otak.

2. Epidemiologi

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa varian


hominis dapat terjadi pada segala umur, tersering pada umur 6 bulan - 5 tahun.
Insiden meningoensefalitis mumps lebih banyak pada laki-laki 3-5 kali lebih banyak.
Usia yang tersering ialah tujuh tahun dan 40% berusia diatas 15 tahun.

Di Indonesia, Meningitis/Ensefalitis merupakan penyebab kematian pada semua


umur dengan urutan ke 17 (0,8%) setelah malaria. Meningitis/Ensefalitis merupakan
penyakit menular pada semua umur dengan proporsi 3,2%. Sedangkan proporsi
Meningitis/Ensefalitis merupakan penyebab kematian bayi pada umur 29 hari-11 bulan
dengan urutan ketiga yaitu (9,3%) setelah diare (31,4%) dan pneumoni (23,8%). Proporsi
Meningitis/Ensefalitis penyebab kematian pada umur 1-4 tahun yaitu (8,8%) dan
merupakan urutan ke-4 setelah Necroticans Entero Colitis (NEC) yaitu (10,7%).

3. Etiologi Meningoensefalitis

a. Infeksi virus:

1) Dari orang ke orang morbili, gendong, rubella, kelompok enterovirus,


kelompok herpes, kelompok pox, influenza A dan B (David, 2008).
2) Lewat arthropoda: Eastern equine, Western equine, Dengue, Colorado
tick fever (Muttaqin, 2008).
b. Infeksi non virus:

1) Bakterial: meningitis tuberkulosa dan bakterial sering mempunyai


komponen ensefalitis.
2) Spirocheta: sifilis, leptospirosis.
3) Jamur: kriptococus, histoplasmosis, aspergilosis, mukomikosis,
kandidosis, koksidiodomikosis.
4) Protozoa: plasmodium, tripanosoma, tokoplasma.
5) Staphylococcus aureus
6) Streptococcus
7) E. Colli
8) Mycobacterium
9) T. Palladium (Muttaqin, 2008).

c. Pasca infeksi

1) Campak
2) Rubella
3) Varisela
4) Virus pox
5) Vacinia (David, 2008).

4. Patofisiologi

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh bakteri masuk melalui peredaran


darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus, dan kelainan kardiopulmonal.
Penyebaran melalui peredaran darah dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang
fokal dibagian lain di dekat otak. Penyebaran langsung dapat melalui tromboflebilitis,
osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah, dan sinus paranasales. Mula-mula terjadi
peradangan supuratif pada selaput/jaringan otak. Proses peradangan ini membentuk
eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah dan agregasi leukosit yang
sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan timbul edema, perlunakan, dan
kongesti jaringan otak disertai perdarahan kecil. Bagian tengah kemudian melunak
dan membentuk dinding yang kuat membentuk kapsul yang kosentris. Di sekeliling
abses terjadi infiltrasi leukosit polimorfonuklear, sel-sel plasma dan limfosit. Seluruh
proses ini memakan waktu kurang dari 2 minggu. Abses dapat membesar, kemudian
pecah dan masuk ke dalam ventrikulus atau ruang subaraknoid yang dapat
mengakibatkan meningitis.

Meningoensefalitis yang disebabkan oleh virus terjadi melalui virus-virus


yang melalui parotitis, morbili, varisela, dll masuk ke dalam tubuh manusia melalui
saluran pernapasan. Virus polio dan enterovirus melalui mulut, virus herpes simpleks
melalui mulut dan mukosa kelamin. Virus-virus yang lain masuk ke tubuh melalui
inokulasi seperti gigitan binatang (rabies) atau nyamuk. Bayi dalam kandungan
mendapat infeksi melalui plasenta oleh virus rubella atau cytomegalovirus. Di dalam
tubuh manusia virus memperbanyak diri secara lokal, kemudian terjadi viremia yang
menyerang susunan saraf pusat melalui saraf perifer atau retrograde axoplasmic
spread misalnya oleh virus-virus herpes simpleks, rabies dan herpes zoster. Di dalam
susunan saraf pusat virus menyebar secara langsung atau melalui ruang ekstraseluler.
Infeksi virus dalam otak dapat menyebabkan meningitis aseptik dan ensefalitis
(kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia dimana terjadi
peradangan otak, edema otak, peradangan pembuluh darah kecil, trombosis, dan
mikroglia. ( Quagliorello et al, 2003)

5. Manifestasi Klinis

Gabungan dari gambaran meningitis dan ensefalitis.


Meningitis : Kaku kuduk, sakit kepala, demam, gangguan
penglihatan/fotofobia.

Ensefalitis : Kejang, penurunan kesadaran, peningkatan TIK, defisit


neurologis (gangguan motorik dan sensorik), atau gejala psikiatrik.

Neonatus memiliki gambaran klinik berbeda dengan anak dan orang dewasa.
Meningitis karena bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan panas
tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang,
minum sangat berkurang, konstipasi, diare. Kejang terjadi pada lebih kurang
44% anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25% oleh Streptococcus
pneumonia, 78% oleh streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan
kesadaran berupa apatis, letargi, renjatan, koma. Pada bayi dan anak-anak (usia
3 bulan hingga 2 tahun) yaitu demam, malas makan, muntah, mudah
terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku
kuduk dan tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak-anak dan remaja
terjadi demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti oleh perubahan sensori,
fotofobia, mudah terstimulasi dan teragitasi, halusinasi, perilaku agresif, stupor,
koma, kaku kuduk, tanda Kernig dan Brudzinski positif. Pada anak yang lebih
besar dan orang dewasa permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas,
nyeri kepala yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan
nyeri punggung. Biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafas[an bagian
atas. Selanjutnya terjadi kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan,
hipotensi dan takikardi karena septikimia. (Lugito, 2013)

Meningitis yang disebabkan Mumpsvirus ditandai dengan anoreksia dan


malaise, diikuti pembesaran kelenjar parotid sebelum terjadinya invasi ke
susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus ditandai
dengan keluhan sakit kepala, sakit tenggorok, nyeri otot, dan demam, disertai
dengan timbulnya ruam kulit makulo papular yang tidak disertai gatal terdapat
pada wajah, leher, dada dan badan. (Marjono dan Sidharta, 2009)

Keluhan utama pada penderita ensefalitis yaitu sakit kepala, demam, kejang
disertai penurunan kesadaran. Ensefalitis yang disebabkan oleh infeksi Famili
Togavirus (memiliki gejala yang sangat bervariasi, mulai dari yang tanpa gejala
sampai terjadinya sindrom demam akut disertai demam berdarah dan gejala-
gejala sistem saraf pusat). Western Equine Virus (WEE) pada umumnya
menimbulkan infeksi yang sangat ringan, gejala pada orang dewasa dapat
berupa letargi, kaku kuduk dan punggung, serta mudah bingung dan koma yang
tidak tetap. Gejala berat pada anak berupa konvulsi, muntah dan gelisah, yang
sesudah sembuh akan menimbulkan cacat fisik dan mental yang berat.
(Setyopranoto, 2012).

Gejala yang mungkin tampak dengan penyebab Japanese B enchephalitis


virus adalah panas mendadak, nyeri kepala, kesadaran yang menurun, fotofobi,
gerak tidak terkoordinasi, hiperhidrosis. Pemeriksaan laboratorium berupa uji
serologis misalnya ELISA terhadap bahan atau cairan serebrospinal
menunjukkan adanya IgM. Uji fiksasi komplemen menunjukkan nilai titer yang
meningkat 4 kali lipat.

Pada umumnya terdapat 4 jenis atau bentuk manifestasi klinik, yaitu:

Bentuk asimtomatik

Umumnya gejalanya ringan, vertigo, diplopia. Diagnosis hanya ditegakkan atas


pemeriksaan CSS.

 Bentuk abortif
Gejala berupa nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan kaku kuduk ringan.
Umumnya terdapat gejala-gejala seperti infeksi saluran pernafasan bagian atas
atau gastrointestinal.

 Bentuk fulminan

Bentuk ini berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari yang berakhir
dengan kematian. Pada stadium akut terdapat demam tinggi, nyeri kepala difus
yang hebat, apatis, kaku kuduk, sangat gelisah dan dalam waktu singkat masuk
ke dalam koma yang dalam.

 Bentuk khas ensefalitis

Bentuk ini mulai secara bertahap dengan gejala awal nyeri kepala ringan,
demam, gejala infeksi saluran nafas bagian atas. Kemudian muncul tanda
radang Sistem Saraf Pusat (SSP) seperti kaku kuduk, tanda Kernig positif,
gelisah, lemah, sukar tidur. Selanjutnya kesadaran mulai menurun sampai
koma, dapat terjadi kejang fokal atau umum, hemiparesis, gangguan koordinasi,
gangguan bicara, gangguan mental.

6. Diagnosis Penunjang

 Pemeriksaan laboratorium darah rutin, serologi, PCR

Pada pemeriksaan darah, MB disertai dengan peningkatan leukosit dan


penanda inflamasi, dan kadang disertai hipokalsemia, hiponatremia, serta
gangguan fungsi ginjal dengan asidosis metabolik. Pemeriksaan polymerase
chain reaction (PCR) bersifat sensitif terhadap Streptococcus pneumoniae dan
Neisseria meningitidis.

 Lumbal pungsi Analisi LCS, kultur LCS


Tekanan pembukaan saat pungsi lumbalberkisar antara 20-50
cmH2O.Pencitraan ota harus dilakukan secepatnya untuk mengeksklusi lesi
massa, hidrosefalus, atau edema serebri yang merupakan kontraindikasi relatif
pungsi lumbal. Jika pencitraan tidak dapat dilakukan, pungsi lumbal harus
dihindari pada pasien dengan gangguan kesadaran, keadaan
immunocompromised (AIDS, terapi imunosupresan, pasca-transplantasi),
riwayat penyakit sistem saraf pusat (lesi massa, stroke, infeksi fokal), defisit
neurologik fokal, bangkitan awitan baru, atau papil edema yang
memperlihatkan tanda-tanda ancaman herniasi.

Kontraindikasi relatife lumbal pungsi antara lain:

o Kemungkinan adanya peningkatan tekanan intrakranial

o Trombositopenia atau diatesis perdarahan lainnya (termasuk terapi


antikoagulan yang sedang berlangsung)
o Diduga abses epidural spinal

Perbandingan karakteristik LCS pada meningitis yang berbeda..

o Pemeriksaan radiologi
o Foto polos à untuk mengetahui fokus atau sumber infeksi (ex : paru,
mastoiditis, nasalis, periodontal,dll).
o CT-Scan dengan kontras untuk melihat ada atau tidaknya fokus lesi
fokal pada otak. CT-Scan perlu dilakukan untuk mengeksklusikan
kontraindikasi relatif fungsi lumbal.
o MRI: Menentukan ada atau tidaknya abnormalitas dan fokus lesi pada
tahap awal.
o Pemeriksaan EEG: Diindikasikan pada pasien yang mengalami kejang.
7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien dengan meningoensefalitis yaitu :

a. Antibiotik
b. Pengurangan cahaya ruangan, kebisingan dan tamu
c. Nyeri kepala diatasi dengan istirahat dan analgesik
d. Asetamenofen dianjurkan untuk demam
e. Kodein, morfin dan derivat fenotiazin untuk nyeri dan muntah
f. Perawatan yang baik dan pantau dengan teliti (Nelson, 2010)

Sedangkan menurut Linda (2009), Penatalaksanaan pada kasus


meningoensefalitis yaitu anak ditempatkan dalam ruang isolasi pernapasan sedikitnya
selama 24 jam setelah mendapatkan terapi antibiotic IV yang sensitif terhadap
organisme penyebab, steroid dapat diberikan sebagai tambahan untuk mengurangi
proses inflamasi, terapi hidrasi intravena diberikan untuk mengoreksi ketidak
seimbangan elektrolit dan memberikan hidrasi. Dalam pemberian cairan ini perlu
dilakukan pengkajian yang sering untuk memantau volume cairan yang diinfuskan
untuk mencegah komplikasi kelebihan cairan, seperti edema serebri. Pengobatan
kemudian ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengatasi komplikasi dari proses
penyakit.

8. Prognosis

Prognosis meningoensefalitis bergantung pada kecepatan dan ketepatan pertolongan,


di samping itu perlu dipertimbangkan pula mengenai kemungkinan penyulit seperti
hidrosefalus, gangguan mental, yang dapat muncul selama perawatan. Bila
meningoensefalitis (tuberkulosa) tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat
meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Angka kematian pada umumnya 50%. Prognosisnya
jelek pada bayi dan orang tua. Prognosis juga tergantung pada umur dan penyebab yang
mendasari, antibiotik yang diberikan, hebatnya penyakit pada permulaannya, lamanya gejala
atau sakit sebelum dirawat, serta adanya kondisi patologik lainnya. Tingkat kematian virus
mencakup 40-75% untuk herpes simpleks, 10-20% untuk campak, dan 1% untuk gondok.
(Harsono,2005)

9. Komplikasi

Komplikasi dari meningitis tuberkulosa adalah hidrosefalus, epilepsi, gangguan


jiwa, buta karena atrofi N.II, kelumpuhan otot yang disarafi N.III, N.IV, N.VI,
hemiparesis. Komplikasi dari meningitis purulenta adalah efusi subdural, abses otak,
hidrosefalus, paralisis serebri, epilepsi, ensefalitis, tuli, renjatan septik. (Harsono,
2005)

DAFTAR PUSTAKA

1) Balitbangkes Departement Kesehatan RI 2008, Riset Kesehatan dasar 2007,


laporan nasional 2007, Jakarta.
2) Harsono 2005, Kapita selekta neurologi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
3) Johnson, KS, Sexton DJ 2016, ‘Lumbar puncture: technique, indications,
contraindications, and complications in adults’, Wolter Kluwer Up To Date.
4) Meisadona, G, Soberoto, AD, Estiasari, R 2015, ‘Diagnosis dan tatalaksana
meningitis bakterialis’, CDK-224, vol. 42, no. 1, hlm Muttagin 2008, Asuhan
keperawatan klien dengan gangguan system persarafan, Salemba Medika,
Jakarta.
5) Setyopranoto, I 2012, ‘Penatalaksanaan perdarahan subarakhnoid’, CDK-199,
vol. 39, no. 11, hlm. 807-812
6) Quagliorello, V.J., Schld W.M., 2003. Treatment of Bacterial Meningitis. The
New England Journal of Medicine. 336 (10): 708-714.

Anda mungkin juga menyukai