2.1 Definisi
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi
otak dan medula spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ
jamur(Smeltzer, 2001).
Meningitis merupakan inflamasi akut dalam meningen. Yaitu lapisan
jaringan yang mengelilingi otak dan korda spinal. Ketika organisme menginvasi
meningen, cairan serebrospinal menyebarkan agens infeksius ke otak dan jaringan
sekitar neonatus memiliki prognosis terburuk dan kesempatan terbesar untuk
mengalami sekuela neurologis.
2.2 Klasifikasi
Jenis – jenis meningitis yaitu:
1. Meningitis bakterial
melalui invasi langsung atau invasi tidak langsung dan infeksi pada lokasi
tubuhyang lain (gigi, sinus , paru , tonsil)
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan
medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae
(pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss,
Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
3. Meningitis Virus (Meningitis aseptic)
Meningitis virus adalah infeksi pada meningen; cenderung jinak dan bisa
sembuh sendiri. Virus biasanya bereplikasi sendiri ditempat terjadinya infeksi
awal (misalnya sistem nasofaring dan saluran cerna) dan kemudian menyebar
kesistem saraf pusat melalui sistem vaskuler.
Ini terjadi pada penyakit yang disebabkan oleh virus spt: campak, mumps, herpes
simplek dan herpes zoster. Virus herpes simplek mengganggu metabolisme sel
sehingga sell cepat mengalami nekrosis. Jenis lainnya juga mengganggu produksi
enzim atau neurotransmitter yang dapat menyebabkan disfungsi sel dan gangguan
neurologic.
4. Meningitis Jamur
Meningitis Cryptococcal adalah infeksi jamur yang mempengaruhi sistem
saraf pusat pada klien dengan AIDS. Gejala klinisnya bervariasi tergantung dari
system kekebalan tubuh yang akan berefek pada respon inflamasi Respon
inflamasi yang ditimbulkan pada klien dengan menurunnya sistem imun antara
lain: bisa demam/tidak, sakit kepala, mual, muntah dan menurunnya status mental.
2.3 Etiologi
1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok),
Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus
aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
Peudomonas aeruginosa
2. Faktor predisposisi : jenis kelamin, laki-laki lebih sering dibandingkan dengan
wanita
3. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan
4. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin, anak
yang mendapat obat-obat imunosupresi.
5. Anak dengan kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang
berhubungan dengan sistem persarafan.
2.4 Patofisiologi
Meningitis adalah inflamasi akut pada meninges. Organisme penyebab
meningitis bakterial memasuki areal secara langsung seabgai akibat cedera
traumatik atau secara tidak langsung bila di pindahkan dari tempat lain di dalam
tubuh ke dalam cairan serebrospinal (CSS).Berbagai agens dapat menimbulkan
inflamasi pada meninge termasuk bakteri, virus, jamur, dan zat kimia.
Meningitis terjadi akibat masuknya bakteri ke ruang subaraknoid, baik
melalui penyebaran secara hematogen, perluasan langsung dari fokus yang
berdekatan, atau sebagai akibat kerusakan sawar anatomik normal secara
konginetal, traumatik, atau pembedahan. Bahan-bahan toksik bakteri akan
menimbulkan reaksi radang berupa kemerahan berlebih (hiperemi) dari pembuluh
darah selaput otak disertai infiltrasi sel-sel radang dan pembentukan eksudat.
Perubahan ini terutama terjadi pada infeksi bakteri streptococcus pneumoniae dan
H. Influenzae dapat terjadi pembengkakan jaringan otak, hidrosefalus dan infark
dari jaringan otak.
Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang
dapat menyebabkan obstruksi dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan
peningkatan TIK. Efek patologi dari peradangan tersebut adalah hiperemi pada
meningen. Edem dan eksudasi yang kesemuanya menyebabkan peningkatan
intrakranial. (Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit, ed.2, 2005).
Penyebaran hematogen merupakan penyebab tersering, dan biasa terjadi pada
adanya fokus penyakit lain (misalnya, pneumonia, otitis media, selulitis) atau
akibat bakteremia spontan. Oleh karena patogen-lazim menyebar melalui jalur
pernapasan , peristiwa awalnya adalah kolonisasi traktus respiratorius bagian atas.
Meningitis yang disebabkan oleh penyebaran nonhematogen mencakup
penyebaran infeksi dari daerah infeksi yang berdekatan ( otitis media, mastoiditis,
sinusitis, osteomielitis vertebralis atau tulang kranialis) serta kerusakan anatomi
(fraktur dasar tengkorak, pasca-prosedur bedah saraf, atau sinus dermal konginetal
di sepanjang aksis kraniospinalis). Gambaran lazim setiap penyebab infeksi
adalah masuknya bakteri patogen ke dalam ruang subaraknoid dan perbanyakan
bakteri. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 )
Meningitis biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau terdapat kenaikan
suhu yang ringan saja, jarang terjadi akut dengan panas yang tinggi. Sering
dijumpai anak mudah terangsang atau menjadi apatis dan tidurnya sering
terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala. Anoreksia, obstipasi, dan
muntah juga sering dijumpai.
Stadium ini kemudian disusul dengan stadium transisi dengan kejang. Gejala
di atas menjadi lebih berat dan gejala rangsangan meningeal mulai nyata, kuduk
kaku, seluruh tubuh menjadi kaku dan timbul opistotonus. Refleks tendon menjadi
lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan umumnya juga terdapat kelumpuhan urat
saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus. Sering tuberkel
terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran lebih menurun
hingga timbul stupor.
Stadium terminal berupa kelumpuhan-kelumpuhan, koma menjadi lebih
dalam, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernapasan
menjadi tidak teratur, sering terjadi pernafasan `Cheyne-Stokes`.
Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali.
Tiga stadium tersebut biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu
dengan lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu
sebelum anak meninggal. (Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit, ed.2, 2005
2.7 Komplikasi
1. Tuli , buta
2. Hidrosefalus
3. Edema serebral
4. Gangguan kejang kronis
5.Perkembangan terlambat dan gangguan intelektual
Asuhan Keperawatan Meningitis Pada Anak
3.1 Pengkajian
Pengkajian dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul 10.00 WIB di
Ruang anak RSUD Dr. M. Djamil Padang.
Pengkajian meliputi :
Biodata klien
Nama : By. L
Tempat tanggal lahir : Padang, 17 november 2013
Usia : 22 bln 18 hari / 1 tahun 10 bln 18 hari
Jenis kelamin : Perempuan.
Nama ayah/ ibu : Tn. S/ Ny. S
Pendidikan ayah/ ibu : SMA/ SMP
Agama : Islam
Alamat : Belimbing
Diagnosa 1: Nyeri kepala yang berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan
otak.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam keluhan nyeri berkurang/rasa sakit terkendali.
Kriteria hasil:
klien dapat tidur dengan tenang
wajah rileks
dan klien memverbalisasikan penurunan rasa sakit.
Intervensi
1. Usahakan membuat lingkungan yang aman dan tenang.
R/ Menurunkan reaksi terhadap ransangan eksternal atau kesensitifan terhadap
cahaya dan menganjurkan klien untuk beristirahat.
2. Compress dingin (es) pada kepala.
R/ Dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak.
3. Lakukan penatalaksanaan nyeri dengan metode distraksi dan relaksasi nafas
dalam.
R/ Membantu menurunkan (memutuskan ) stimulassi rasa nyeri.
4. Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai kondisi dengan lembut dan hati
R/ Dapat membantu ralaksasi otot-otot yang tegang dan dapat menurunkan nyeri
atau rasa tidak nyaman.
5. Kolaborasi pemberian analgesic.
R/ Pemberian analgesic dapat menurunkan rasa nyeri.
Intervensi
1. Lakukan Healt Education tentang akibat dan penyebaran infeksi
R : Pasien dapat mengetahui penyebab dan akibat penyebaran infeksi
2. Berikan isolasi sebagai pencegahan
R : Pada fase awal meningitis, isolasi mungkin diperlukan sampai organisme
diketahui/dosis antibiotik yang cocok telah diberikan untuk menurunkan resiko
penyebaran pada orang lain
3. Pertahankan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
R : Menurunkan resiko pasien terkena infeksi sekunder. Mengontrol penyebaran
sumber infeksi
4. Ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nafas dalam
R : Memobilisasi secret dan meningkatkan kelancaran secret yang akan
menurunkan resiko terjadinya komplikasi terhadap pernapasan
5. Observasi TTV pasien
R : TTV pasien dapat terpantau
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi seperti antibiotik iv:
penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin
R : Obat yang dipilih tergantung pada tipe infeksi dan sensitivitas individu
Intervensi
1. Lakukan Healt Education tentang faktor dan penyebab kerusakan mobilitas
fisik
R : pasien dapat mengerti tentang faktor dan penyebab kerusakan mobilitas fisik
2. Bantu latihan rentang gerak.
R : Mempertahankan mobilisasidan fungsi sendi/posisi normal akstremitas dan
menurunkan terjadinya vena yang statis
3. Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
R : Meningkatkan sirkulasi, elastisitas kulit, dan menurunkan resiko terjadinya
ekskoriasi kulit
4. Berikan matras udara atau air, perhatikan kesejajaran tubuh secara
fumgsional.
R : Menyeimbangkan tekanan jaringan, meningkatkan sirkulasi dan membantu
meningkatkan arus balik vena untuk menurunkan resiko terjadinya trauma
jaringan.
5. Observasi mobilisasi pasien
R : Mobilisasi pasien dapat teppantau
6. Lakukan kolaborasi dengan tim medis tetang program latihan dan penggunaan
alat mobiluisasi.
R : Proses penyembuhan yang lambat seringkali menyertai trauma kepala dan
pemulihan secara fisik merupakan bagian yang amat penting dari suatu program
pemulihan tersebut
Intervensi
1. Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut, dan otot-otot muka lainnya.
R/ Gambaran iritabilitas system saraf pusat memerlukan evaluasi yang sesuai
dengan intervensi yang dapat untuk mencegah terjadinya komplikasi.
2. Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan ranjang, papan
pengaman, dan alat suction selalu berada dekat klien.
R/ Melindungi klien bila kejang terjadi.
3. Pertahankan bedrest total selama fase akut.
R/ Mengurangi risiko jatuh/cidera jika terjadi vertigo dan ataksia.
4. Kolaborasi pemberian terapi; diazepam, fenobarbital.
R/ Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
3.4 Evaluasi
Angka motalitas meningitis sangat bervariasi, tergantung pada usia pasien
dan patogen penyebab. Pasien dengan meningitis meningokokus tanpa
meningokoksemia berat mempunyai angka fatalitas sebesar hanya 20%,
sedangkan neonatus dengan meningitis gram negative meninggal dalam 70 kasus.
Angka kematian akibat H. influenzae dan S. pneumoniae masing-masing adalah
sekitar 3% dan 6%.
Gejala sisa penyakit terjadi pada kira-kira 30% penderita yang bertahan hidup,
tetapi juga terdapat predileksi usia serta petogen, dengan insidensi terbesar pada
bayi yang sangat muda serta bayi yang terinfeksi bakteri gram negative dan S.
pneumoniea.
Gejala sisa neurologi tersering adalah tuli, yang terjadi pada 3-25% pasien;
kelumpuhan saraf kranial pada 2-7% pasien; dan cidera berat seperti hemiparesis
atau cidera otaku mum pada 1-2% pasien. Lebih dari 50% pasien dengan gejala
sisa neurologi pada saat pemulangan dari RS akan membaik seiring waktu, dan
keberhasilan dalam implant koklea belum lama ini memberi harapan pada anak
dengan kehilangan pendengaran.
Imunisasi aktiv terhadap H. influenzae telah menghasilkan penguangan dramatis
pada penyakit invasive, dengan pengurangan sebanyak 70-80% pada meningitis
akibat organisme tersebut. Saat ini imunisasi dianjurkan untuk bayi
sebagai rangkain imunisasi tiga dosis pada usia 2,4,6 bulan.
DAFTAR PUSTAKA