2022
3
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
dan rahmat serta Hidayah-Nya, sehingga makalah tentang “Kesehatan
Lingkungan” ini dapat terselesaikan.
Dalam penulisan makalah ini kami berusaha menyajikan bahan dan bahasa
yang sederhana, singkat serta mudah dicerna isinya oleh para pembaca. Kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna serta masih terdapat
kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan makalah ini.
Maka kami berharap adanya masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan
dimasa yang akan mendatang. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua dan dipergunakan dengan layak sebagaimana mestinya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR.............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB 1 Pendahuluan ............................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah ..................................................................................................... 1
1.3 Tujuan ....................................................................................................................... 1
BAB 2 Pembahasan................................................................................................................ 2
2.1 Pengertian Kesehatan Lingkungan............................................................................ 2
2.1.1 Syarat-syarat Lingkungan Yang Sehat.............................................................. 2
2.1.2 Cara-cara Pemeliharaan Kesehatan Lingkungan............................................... 3
2.1.3 Tujuan Pemeliharaan Kesehatan Lingkungan................................................... 3
2.1.4 Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan............................................................ 4
2.1.5 Masalah-masalah Kesehatan Lingkungan......................................................... 5
BAB 3 PENUTUP
...................................................................................................................................................
8
3.1 Kesimpulan............................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................9
iii
BAB 1
KPENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui konsep teori dan asuhan keperawatan pada pasien panderita
syok anafilaktik.
1
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reasi
alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care), Hal.1033 ).
Shock is a multisystem disorder that involves inadequate tissue perfusion and altered
metabolism. Anaphylactic shock is a potentially life-threatening situation. It is the result
of an exaggerated or a hypersensitivity response to an antigen (or allergen).(Pamela L.
Swearingen, Manual of Critical Care Nursing, Hal.624).
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas
generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan peningkatan
permeabilitas vascular.(Robbins & Cotrain (Dasar Patologi Penyakit Edisi 7, hal 144)
2.2 Etiologi
Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE maupun
melalui non-IgE . Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis yang lain seperti
makanan, kegiatan jasmani, serangan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air
yang dingin pada kolam renang dan bahkan sebagian anafilaksis penyebabnya tidak
diketahui.
Mekanisme dan Obat Pencetus Anafilaksis
a. Anafilaksis (melalui IgE)
1) Antibiotik ( penisilin, sefalosporin)
2) Ekstra alergen (bisa tawon, polen)
3) Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin)
4) Protein manusia (insulin, vasopresin, serum)
b. Anafilaktoid (tidak melalui IgE)
Zat pelepas histamin secara langsung :
1) Obat (opiat, vankomisin, kurare)
2) Cairan hipertonik (media radiokontrks, manitol)
3) Obat lain (dekstran, flouresens)
4) Aktivasi komplemen
5) Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya)
6) Bahan dialisis
7) Modulasi metabolisme
8) Asam asetilsalisilat
9) Antiinflamasi nonsteroid
2.3 Patofisiologi
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun yang
menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel mast dapat
terjadi baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) (anafilaktik) maupun yang
tidak dimediasi IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan atau
sengatan serangga, obat-obatan dan makanan; anafilaksis dapat juga bersifat idiopatik.
2
Mediator gadar meliputi histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin. Bila
dilepaskan, mediator menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan tonus otot
polos bronkus, edema saluran napas, penurunan tonus vascular, dan kebocoran kapiler.
Konstelasi mekanisme tersebut menyebabkan gangguan pernapasan dan kolaps
kardiovaskular. ( Michael I. Greenberg, Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24)
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak langsung
melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada reaksi
anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui tusukan /
suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik
(seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag dan
dengan segera akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel precursor
pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE) antibody forming
precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan menghasilkan serta
membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan ini akan diikat oleh
reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil membentuk reseptor baru
yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan pengikat antigen yang sama.
Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses sensitisasi.
3
WOC
4
2.4 Manifestasi klinis
Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:
A. Umum : Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan
a. Prodormal : rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung dan Palatum.
B. Pernapasan :
a. Hidung : hidung gatal, bersin, dan tersumbat
b. Laring : rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema.
c. Lidah : edema
d. Bronkus : batuk, sesak, mengi, spasme.
C. Kardiovaskuler : pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok,
aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar, erbalik, atau tanda-tanda infark miokard
D. Gastrointestinal : disfagia, mual, muntah, kolik,diare yang kadang-kadang disertai
darah, peristaltik usus meninggi.
E. Kulit : urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas.
F. Mata : gatal, lakrimasi
G. Susunan saraf pusat : gelisah, kejang
5
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan RAST. Pada
RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks yang tidak larut
diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik antibodi Ig E ditentukan
dengan inkubasi pada kompleks dan serum dengan ikatan radioaktif 125-labelled anti-
Ig E. ikatan radioaktif ini mencerminkan antigen-spesifik antibodi.
e. Hitung eosinofil darah tepi, menunjukan adanya alergi dengan peningkatan jumlah .
2.6 Komplikasi
Komplikasinya meliputi :
a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.
b. Bronkospasme persisten
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
2.7 Penatalaksanaan
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan
pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mulai penyakit
dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan demikian
sangat masuk akal bila epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai
mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai
3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi
penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskular (IM) dan bahkan
kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak
mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau
sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di
bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang
torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut
dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus
segera di perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu
mengusahakan :
a. Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
b. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi
jaringan memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan kardiovaskular,
tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas ini
berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama disebabkan oleh
tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.
a. Sistem pernapasan
6
a. Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada
anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau
spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai
untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring kadang-kadang
diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan
edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi.
Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila saluran napas tertutup
sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena trakeostomi
hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan
yamg dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran
krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah
sakit.
b. Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan pernapasan
maupun pada kardiovaskular.
c. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian bawah
seperti pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan
larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml
NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang
diencerkan dalam 20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-
lahan sekitar 15 menit.
b. Sistem Kardiovaskular
1. Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasi dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini
membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9
%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L
dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja mengganti
cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul di
jaringan splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali
ke intravaskular.
2. Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem kardiovaskular dan
pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
3. Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan CVP ini selain
untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian cairan, juga
dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan
sekitarnya.
4. Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan cara
melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa ( konsentrasi 4 mg/ml)
diberikan dengan infus 1 – 4 mg/menit atau 15-60 mikrodip/menit (dengan infus
mikridip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.
Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann anafilaksis yang berat,
American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal
dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter
melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:10.000 ). Tindakan diatas kemudian
diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorbsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan :
7
a. Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit reseptor beta
(beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi
lebih buruk karena stimulasi reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam keadaan
demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropine akan memberikan manfaat
disamping pemberian amiofilin dan kortikosteroid secara intravena.
b. Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 dangan AH2 bekerja secara kinergistik
terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit, AH
dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat
diberikan IV. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus
diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien
mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantiya
dipakai ranitidin.
c. Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan
napas maupun gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak bermanfaat
untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah reaksi
anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa diberikan tablet
prednisone tetapi lebih disukai memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB
hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini diberikan setiap 4-6 jam.(Aruh.
W. Sudoyo, IPD, Hal.190-192)
8
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
9
DAFTAR PUSTAKA
10