Anda di halaman 1dari 15

Tugas Post test

Syok Anafilaksis

Oleh :

Timotius Gatma B Purba (18010023)

Pembimbing :
dr. Bernard Panggabean, sp.An

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU ANASTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
MEDAN
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rakhmatnya maka Tugas yang berjudul ”Syok Anafilaksis” ini dapat selesai pada
waktunya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini. Laporan Pengalaman
Belajar Lapangan ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan
Klinik Madya di Bagian Ilmu Anastesi di Murni Teguh Memorial Hospital.
Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Medan, 11 Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


Daftar Isi ............................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 2
2.1 Definisi.......................................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi ................................................................................................ 2
2.3 Etiologi ......................................................................................................... 2
2.4 Patofisiologi.................................................................................................. 3
2.5 Tanda dan Gejala ........................................................................................ 4
2.6 Diagnosis ...................................................................................................... 5
2.8 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................. 6
2.9 Diagnosis Banding ....................................................................................... 7
2.10 Penatalaksanaan........................................................................................ 8
2.11 Prognosis .................................................................................................... 9
BAB 3 KESIMPULAN ...................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 12

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Makanan, obat-obatan, gigitan serangga, maupun kondisi ekstrem dapat


menimbulkan reaksi hipersensitifitas. Hipersensitifitas merupakan respon imun
yang berlebihan sehingga dapat merusak jaringan tubuh. Reaksi ini berdasarkan
Gell dan Coombs dibagi menjadi reaksi tipe 1 atau tipe cepat yaitu reaksi yang
muncul segera setelah terpajan alergen, reaksi tipe 2 atau reaski sitotoksik yang
terjadi karena pembentukan IgG dan IgM sehingga dapat mengaktifkan komplemen
dan mengakibatkan lisis, reaksi tipe 3 atau reaksi kompleks imun yang terjadi akibat
pembentukan kompleks antigen antibodi, dan reaksi tipe 4 atau reaksi
hipersensitivitas lambat yang timbul > 24 jam setelah terpajan antigen.1

Anafilaksis secara jelas diperkenalkan pada tahun 1901 oleh Charles Richet
dan Paul Portier. Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitifitas tipe cepat
yang melibatkan lebih dari satu sistem organ. Anafilaksis adalah reaksi alergi yang
dapat menyebabkan kematian. Di amerika serikat, setiap tahunnya diperkirakan
terdapat 150 kematian akibat reaksi alergi terhadap makanan. Sedangkan 400-800
kematian setiap tahunnya karena alergi terhadap antbiotik. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Eka Imbawan,dkk. di RSUP Sanglah pada tahun 2007-2010,
baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko yang sama untuk mengalami
reaksi anafilaksis, dan reaksi terbanyak disebabkan oleh obat sebesar 63,9%.2,3

Pada pelayanan kesahatan, anafilaksis tidak dipertimbangkan sebagai


penyebab kematian. Kematian akibat anafilaksis sering tidak terdiagnosis karena
tidak adanya riwayat yang mendetail dari saksi mata, pemeriksaan laboratorium
yang sedikit, dan pemeriksaan post mortem yang tidak spesifik. Reaksi anafilaktik
dapat terjadi dimana saja, di tempat praktek, di meja operasi, bahkan di rumah
pasien sendiri sehingga edukasi kepada pasien dan keluarga merupakan salah satu
upaya preventif dalam kasus ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
melalui kunjungan ke rumah pasien.4

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Reaksi hipersensitifitas akut yang melibatkan dua organ atau lebih (sistem
kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler,
sistem gastrointestinal).3,5 Reaksi hipersensitivitas sistemik yang serius,
mengancam nyawa dan merupakan reaksi alergi dengan onset cepat.4 Anafilaksis
merupakan reaksi hipersensitifitas sistemik, akut yang dimediasi oleh IgE akibat
pelepasan mediator sel mast, basofil.5

2.2 Epidemiologi
Beberapa sumber menyebutkan, prevalensi reaksi anafilaksis terhadap
gigitan serangga sebesar 1-3%. Sedangkan terhadap penggunaan obat-obatan
berbeda- beda tergantung dari jenis obatnya, seperti penisilin dengan prevalensi
sebesar 2%. Di RSUP Sanglah pada penelitian tahun 2007-2010, pencetus reaksi
hipersensitifitas terbanyak adalah obat sebesar 6,9% yang sebagian besar terjadi
melalui jalur oral, diikuti oleh makanan sebanyak 27,8%.3,6
Berdasarkan World Allergy Organization (WAO) 2013, kelompok infantile,
remaja, wanita hamil dan lanjut usia memiliki peningkatan kerentanan terhadap
anafilaksis. Penyakit concomitant seperti asma berat yang tidak terkontrol,
mastositosis, penyakit kardiovaskuler, dan penggunaan medikasi seperti beta
blocker terbukti meningkatkan risiko anafilaksis fatal.6

2.3 Etiologi
Faktor pemicu timbulnya anafilaktik pada anak-anak, remaja, dan dewasa
muda adalah sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-
obatan menjadi pemicu timbulnya reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan
dewasa tua. Sebagian besar pemicu spesifik terhadap reaksi anafilaksis bersifat
universal, seperti di Amerika Utara, dan beberapa negara di Eropa dan Asia, susu
sapi telur, kacang, ikan, kerang merupakan penyebab tersering. Di beberapa negara
Eropa lainnya, buah peach adalah faktor pemicu tersering. Obat-obatan, seperti
antivirus,

2
antimikroba, anti jamur adalah penyebab paling sering reaksi anafilaksis di dunia.
Reaksi anafilaksis juga dapat dipicu oleh agen kemoterapi, seperti carboplatin,
doxorubicin, cetuximab, infliximab. Agen lain yang dapat menyebabkan reaksi ini
adalah radiocontrast media, latex yang biasa ditemukan di sungkup, endotrakeal
tube, cuff tensimeter, kateter, torniket, udara yang terlalu dingin atau air yang
dingin. Sensitivitas host, dosis, kecepatan, cara, dan waktu paparan dapat
mempengaruhi reaksi anafilaksis, dimana paparan oral lebih jarang menimbulkan
reaksi.4,6,8

2.4 Patofisiologi
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi cepat
dimana reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi ini dibagi
menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor.
Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu
ditangkap oleh sel imun non spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan ke
sel Th2. Sel ini akan merangsang sel B untuk membentuk antibodi sehingga
terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor
IgE yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan kembali dengan
alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu akan diikat oleh IgE dan
memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut dengan fase aktivasi.
Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast dan
basofil dengan antigen spesifik pada paparan kedua sehingga mengakibatkan
perubahan membran sel mast dan basofil akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh
influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun,
menyebabkan granul-granul yang penuh berisikan mediator bergerak kepermukaan
sel. Terjadilah eksositosis dan isi granul yang mengandung mediator dikeluarkan
dari sel mast dan basofil.
Adanya degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan mediator inflamasi,
seperti histamin, trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat meningkatkan
kemampuan degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak klinis
pada organ organ tubuh yang dikenal dengan fase efektor.5,8

3
Gambar 1. Hipersensitivitas tipe I yang mendasari Reaksi Anafilaksis
(Elseviere.com, 2009)

2.5 Tanda dan Gejala4,6


Tanda dan gejala dari anafilaksis dapat berupa:
1. Kulit, subkutan, mukosa (80-90% kasus)
Kemerahan, gatal, urtikaria, angioedema, pilor erection
Gatal di periorbital, eritema dan edema, eritema konjunctiva, mata berair
Gatal pada bibir, lidah, palatum, kanalis auditori eksternus, bengkak di bibir,
lidah, dan uvula.
Gatal di genital, telapak tangan dan kaki.
2. Respirasi (70%)
Gatal di hidung, bersin-bersin, kongesti, rinorea, pilek
Gatal pada tenggorokan, disfonia, suara serak, stridor, batuk kering.dry
staccato cough
Peningkatan laju nafas, susah bernafas, dada terasa terikat, wheezing,
sianosis, gagal nafas.
3. Gastrointestinal (45%)
Nyeri abdomen, mual, muntah, diare, disfagia.
4. Sistem kardiovaskuler (45%)
Nyeri dada, takikardia, bradikardia (jarang), palpitasi, hipotensi, merasa
ingin jatuh, henti jantung.

4
Manifestasi primer pada jantung tampak dari perubahan EKG yaitu T-
mendatar, aritmia supraventrikular, AV block.
5. Sistem saraf pusat (15%)
Perubahan mood mendadak seperti iritabilitas, sakit kepala, perubahan
status mental, kebingungan.
6. Lain-lain
Metallic taste di mulut, kram dan pendarahan karena kontraksi uterus.

2.6 Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis, sangat penting untuk mengetahui riwayat
pajanan sebelum reaksi muncul. Kunci diagnosis adalah adanya gejala yang muncul
dalam menit atau jam setelah terpapar dari pemicu dan diikuti oleh gejala yang
progresif dalam beberapa jam. Adapun kriteria klinis untuk menegakkan diagnosis
anafilaksis dapat dilihat pada tabel berikut.4

Tabel 1. Kriteria Klinis Diagnosis Anafilaksis

2.7 Klasifikasi
Dalam tabel dibawah ini ditunjukkan derajat reaksi anafilaksis berdasarkan
keparahan dari gajala klinis.

5
Tabel 2. Derajat Reaksi Anafilaksis2

Disamping tabel diatas, terdapat juga klasifikasi derajat klinis reaksi


hipersensitifitas/anafilaksis oleh Brown (2004) yaitu.
1. Ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit) seperti: eritema
generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita.
2. Sedang (melibatkan sistem respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal)
seperti : sesak nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing (pre syncope),
rasa tidak enak di tenggorokan dan dada serta nyeri perut.
3. Berat (hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis), seperti:
sianosis (SpO2 ≤ 90%), hipotensi (SBP < 90 mmHg pada dewasa), kolaps,
penurunan kesadaran dan inkontinensia.
Reaksi dengan derajat ringan dikenal sebagai reaksi hipersensitifitas akut,
sedangkan untuk derajat sedang dan berat merupakan gambaran klinis
anafilaksis.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk memperkuat dugaan adanya
reaksi alergi, bukan untuk menetapkan diagnosis.

6
Jumlah leukosit
Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi.
Eosinofilia sering dijumpai tetapi tidak spesifik.

Serum IgE total


Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-80%
pasien.
IgE spesifik
Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen
tertentu secara in vitro dengan cara RAST (Radio Alergo Sorbent Test) atau ELISA
(Enzim Linked Imunnosorbent Assay). Tes ini dapat dipertimbangkan apabila tes
kulit tidak dapat dilakukan.
Serum tryptase
Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi reaksi
anafilaksis yang baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel mast. Triptase
merupakan protease yang berasal dari sel mast.
Tes kulit
Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik dalam
kulit pasien yang secara tidak langsung menunjukkan antibodi yang serupa pada
organ yang sakit. Tes kulit dapat dilakukan dengan tes tusuk (prick test), scratch
test, friction test, tes tempel (patch test), intradermal test. Tes tusuk dilakukan
dengan meneteskan alergen dan kontrol pada tempat yang disediakan kemudian
dengan jarum 26 G dilakukan tusukan dangkal melalui ekstrak yang telah
diteteskan. Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter urtika
dan eritema yang muncul. Tes tempel dilakukan dengan cara menempelkan pada
kulit bahan yang dicurigai sebagai alergen. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam
dan 96 jam.1

Tes provokasi
Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen langsung
kepada pasien sehingga timbul gejala.1

2.9 Diagnosis Banding


Diagnosis banding reaksi anafilaksis adalah asma episode berat, sinkop,
panic attacks, hipoglikemia. Asma episode berat saat serangan dapat menunjukkan
gejala batuk, sulit bernafas, terdengar wheezing sehingga menyerupai reaksi

7
anafilaksis pada sistem respirasi. Namun, gatal, urtikaria, angioedema, nyeri
abdomen jarang ditemukan pada asma. Panic attacks menimbulkan gejala seperti
kesulitan bernafas, kemerahan, takikardia, dan gangguan gastrointestinal. Namun,
adanya urtikaria, angioedema, hipotensi jarang pada panic attacks. Hipotensi dapat
terjadi pada sinkop dan anafilaksis, tetapi pucat dan berkeringat tampak pada
sinkop.2,4

2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan reaksi anafilaksis sebagai berikut.4,5,7
1. Evaluasi ABC
2. Posisikan pasien dengan posisi elevasi ekstremitas atas
3. Beri 02 100% 6-8 L/menit (distress nafas)
4. Adrenalin 1:1000 larutan (1mg/ml) disuntikkan 0,3-0,5 ml IM atau 0,01
mg/kgBB Akses infus (14atau 16 gauge) intravena dengan normal salin
5. Bila tidak ada perbaikan, pemnerian adrenalin dapat diulang 10-15 menit
kemudian dengan dosis maksimum 0,5 mg untuk dewasa dan 0,3 mg untuk
anak-anak
6. Medikasi lini kedua yang dapat digunakan adalah H1 antihistamin seperti
intravena chlorpheniramine (10 mg) atau dipenhidramin (25-50 mg),
cetirizine intra oral; β2 adrenergic agonists, seperti salbutamol inhaler (2,5
mg/3 mL); glukokortikoid seperti hydrocortison 100-500 mg IM atau IV,
metylprednisolon 125-250 mg IV, oral prednisone.
7. Observasi 2-3 kali dalam 24 jam dan hindari agen penyebab.

Adrenalin
Adrenalin atau epinephrine merupakan hormon kerja cepat yang disekresi
oleh kelenjar suprarenal. Adrenalin bersifat simpatomimetik (agonist α adrenergik
dan β adrenergik). Efek samping adrenalin dapat berupa tremor, pucat, palpitasi,
pusing, dan sakit kepala. Tetapi terdapat juga beberapa efek yang menunjukkan
overdosis adrenalin, yaitu ventrikular aritmia, krisis hipertensi, edema pulmonal.
Terapi jangka panjang setelah pemberian terapi terhadap anafilaksis di pelayanan
kesahatan.4

8
1. Edukasi terhadap reaksi anafilaksis
Anafilaksis merupakan kondisi gawat darurat sehingga harus dibawa ke
pelayanan kesehatan terdekat.
2. Mengonfirmasi faktor pemicu reaksi anafilaksis
Waktu yang optimal untuk melakukan tes terhadap pemicu alergi adalah 3-
4 minggu setelah episode akut anafilaksis. Pasien dengan hasil negatif perlu
dites lagi beberapa minggu/bulan kemudian. Faktor yang diketahui melalui
anamnesis dapat menyebabkan reaksi anafilaksis perlu dikonfirmasi lagi
dengan alergen skin test dan/atau mengukur level allergen-spesific IgE pada
serum.
3. Pencegahan berulangnya reaksi anafilaksis
- Terapi terhadap penyakit yang mendasari seperti asma, penyakit
kardiovaskuler, mastocytosis dan penyakit lainnya yang dapat
memeperberat reaksi anafilaksis.
- Menghindari pemicu dan imunomodulasi
Pasien yang alergi terhadap makanan tertentu harus menghindari
makanan yang dapat memicu reaksi. WAO belum merekomendasikan
penggunaan oral immunotherapy food allergen atau imunomodulator
lainnya. Sedangkan, pasien dengan riwayat reaksi anafilaksis terhadap
gigitan serangga dapat menggunakan imunoterapi subkutan untuk 3-5
tahun. Perlindungan yang diberikan yaitu sebesar 80-90%. Pasien
dengan riwayat pemakaian obat-obatan tertentu kemudian menjadi
alergi tidak boleh diberikan obat tersebut sehingga dapat mencegah
timbulnya reaksi anafilaksis. Pasien dengan anafilaksis idiopatik yang
sering muncul yaitu > 6 kali dalam 1 tahun atau >2 kali dalam 2 bulan
dipertimbangkan untuk diberikan terapi profilaksis yaitu glukokortikoid
sistemik dan H1 antihistamin atau injeksi omalizumab untuk 2-3 bulan.

2.11 Prognosis
Kematian pada reaksi anafilaksis seringkali terjadi sebelum penderitanya
mendapat pertolongan kesehatan yang adekuat di rumah sakit, atau bila telah

mendapat pengobatan biasanya kematian terjadi pada 30 menit pertama. Prognosis


pada penderita reaksi anafilaksis biasanya baik bila telah mendapat pengobatan

9
yang adekuat, kecuali pada penderita usia lanjut, penderita dengan penyakit
kardiovaskuler atau infark miokard akut, penderita dengan penyakit pernapasan dan
penderita dengan kerusakan sistem saraf pusat.

10
BAB 3
KESIMPULAN

Reaksi anafilaksis adalah reaksi hipersensitifitas akut yang melibatkan


dua organ atau lebih (sistem kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit, sistem
respirasi, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal). Faktor pemicu timbulnya
anafilaksis pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda adalah sebagian besar oleh
makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-obatan menjadi pemicu timbulnya
reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan dewasa tua. Perjalanan reaksi ini
dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, sedangkan
pemeriksaan penunjang digunakan untuk memperkuat adanya alergi. Reaksi
anafilaksis/hipersensitifitas dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Penanganan
utama anafilaksis adalah dengan mengamankan jalan nafas, pernafasan, dan
sirkulasi serta terapi adrenalin. Pemberian informasi mengenai alergi di masyarakat
sangat jarang sehingga kami menyarankan agar pemberian informasi mengenai
reaksi alergi, penyebab, gejala, dan bahaya reaksi alergi diberikan secara lebih
luas sehingga masyarakat dapat mengenali dan melakukan tindakan yang tepat
serta dapat mencegah timbulnya reaksi anafilaksis melalui penghindaran terhadap
alergen.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Haryanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi Klinik.
Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing:2009:367.
2. Johannes Ring et.all. History and Classification of Anaphylaxis.
anaphylaxis.Wiley, Chichester (Novartis Foundation Symposium
257):2004 p 6-24.
3. Imbawan Eka, Suryana Ketut, Suadarmana Ketut. Asosiasi Cara Pemberian
Obat dengan Onset dan Derajat Klinis Reaksi Hipersensitifitas
Akut/Anafilaksis pada Penderita yang Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar
Bali. J Penyakit Dalam 2010;vol.11:135-139.
4. Estelle et.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of
Anaphylaxis. 2011;4:13-37.
5. Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut:
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.
6. Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013
Update Of The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193–
204.
7. Longmore Murray et.all. Anaphylactic Shock. Oxford Handbook of Clinical
Medicine.2010:8th:806-807.
8. F Estelle. Anaphylaxis: the acute episode and beyond. BMJ 2013; 1–1

12

Anda mungkin juga menyukai