Syok Anafilaksis
Oleh :
Pembimbing :
dr. Bernard Panggabean, sp.An
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rakhmatnya maka Tugas yang berjudul ”Syok Anafilaksis” ini dapat selesai pada
waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini. Laporan Pengalaman
Belajar Lapangan ini disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan
Klinik Madya di Bagian Ilmu Anastesi di Murni Teguh Memorial Hospital.
Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Anafilaksis secara jelas diperkenalkan pada tahun 1901 oleh Charles Richet
dan Paul Portier. Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitifitas tipe cepat
yang melibatkan lebih dari satu sistem organ. Anafilaksis adalah reaksi alergi yang
dapat menyebabkan kematian. Di amerika serikat, setiap tahunnya diperkirakan
terdapat 150 kematian akibat reaksi alergi terhadap makanan. Sedangkan 400-800
kematian setiap tahunnya karena alergi terhadap antbiotik. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Eka Imbawan,dkk. di RSUP Sanglah pada tahun 2007-2010,
baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko yang sama untuk mengalami
reaksi anafilaksis, dan reaksi terbanyak disebabkan oleh obat sebesar 63,9%.2,3
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Reaksi hipersensitifitas akut yang melibatkan dua organ atau lebih (sistem
kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler,
sistem gastrointestinal).3,5 Reaksi hipersensitivitas sistemik yang serius,
mengancam nyawa dan merupakan reaksi alergi dengan onset cepat.4 Anafilaksis
merupakan reaksi hipersensitifitas sistemik, akut yang dimediasi oleh IgE akibat
pelepasan mediator sel mast, basofil.5
2.2 Epidemiologi
Beberapa sumber menyebutkan, prevalensi reaksi anafilaksis terhadap
gigitan serangga sebesar 1-3%. Sedangkan terhadap penggunaan obat-obatan
berbeda- beda tergantung dari jenis obatnya, seperti penisilin dengan prevalensi
sebesar 2%. Di RSUP Sanglah pada penelitian tahun 2007-2010, pencetus reaksi
hipersensitifitas terbanyak adalah obat sebesar 6,9% yang sebagian besar terjadi
melalui jalur oral, diikuti oleh makanan sebanyak 27,8%.3,6
Berdasarkan World Allergy Organization (WAO) 2013, kelompok infantile,
remaja, wanita hamil dan lanjut usia memiliki peningkatan kerentanan terhadap
anafilaksis. Penyakit concomitant seperti asma berat yang tidak terkontrol,
mastositosis, penyakit kardiovaskuler, dan penggunaan medikasi seperti beta
blocker terbukti meningkatkan risiko anafilaksis fatal.6
2.3 Etiologi
Faktor pemicu timbulnya anafilaktik pada anak-anak, remaja, dan dewasa
muda adalah sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-
obatan menjadi pemicu timbulnya reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan
dewasa tua. Sebagian besar pemicu spesifik terhadap reaksi anafilaksis bersifat
universal, seperti di Amerika Utara, dan beberapa negara di Eropa dan Asia, susu
sapi telur, kacang, ikan, kerang merupakan penyebab tersering. Di beberapa negara
Eropa lainnya, buah peach adalah faktor pemicu tersering. Obat-obatan, seperti
antivirus,
2
antimikroba, anti jamur adalah penyebab paling sering reaksi anafilaksis di dunia.
Reaksi anafilaksis juga dapat dipicu oleh agen kemoterapi, seperti carboplatin,
doxorubicin, cetuximab, infliximab. Agen lain yang dapat menyebabkan reaksi ini
adalah radiocontrast media, latex yang biasa ditemukan di sungkup, endotrakeal
tube, cuff tensimeter, kateter, torniket, udara yang terlalu dingin atau air yang
dingin. Sensitivitas host, dosis, kecepatan, cara, dan waktu paparan dapat
mempengaruhi reaksi anafilaksis, dimana paparan oral lebih jarang menimbulkan
reaksi.4,6,8
2.4 Patofisiologi
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi cepat
dimana reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi ini dibagi
menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor.
Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu
ditangkap oleh sel imun non spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan ke
sel Th2. Sel ini akan merangsang sel B untuk membentuk antibodi sehingga
terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor
IgE yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan kembali dengan
alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu akan diikat oleh IgE dan
memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut dengan fase aktivasi.
Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast dan
basofil dengan antigen spesifik pada paparan kedua sehingga mengakibatkan
perubahan membran sel mast dan basofil akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh
influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun,
menyebabkan granul-granul yang penuh berisikan mediator bergerak kepermukaan
sel. Terjadilah eksositosis dan isi granul yang mengandung mediator dikeluarkan
dari sel mast dan basofil.
Adanya degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan mediator inflamasi,
seperti histamin, trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat meningkatkan
kemampuan degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak klinis
pada organ organ tubuh yang dikenal dengan fase efektor.5,8
3
Gambar 1. Hipersensitivitas tipe I yang mendasari Reaksi Anafilaksis
(Elseviere.com, 2009)
4
Manifestasi primer pada jantung tampak dari perubahan EKG yaitu T-
mendatar, aritmia supraventrikular, AV block.
5. Sistem saraf pusat (15%)
Perubahan mood mendadak seperti iritabilitas, sakit kepala, perubahan
status mental, kebingungan.
6. Lain-lain
Metallic taste di mulut, kram dan pendarahan karena kontraksi uterus.
2.6 Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis, sangat penting untuk mengetahui riwayat
pajanan sebelum reaksi muncul. Kunci diagnosis adalah adanya gejala yang muncul
dalam menit atau jam setelah terpapar dari pemicu dan diikuti oleh gejala yang
progresif dalam beberapa jam. Adapun kriteria klinis untuk menegakkan diagnosis
anafilaksis dapat dilihat pada tabel berikut.4
2.7 Klasifikasi
Dalam tabel dibawah ini ditunjukkan derajat reaksi anafilaksis berdasarkan
keparahan dari gajala klinis.
5
Tabel 2. Derajat Reaksi Anafilaksis2
6
Jumlah leukosit
Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi.
Eosinofilia sering dijumpai tetapi tidak spesifik.
Tes provokasi
Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen langsung
kepada pasien sehingga timbul gejala.1
7
anafilaksis pada sistem respirasi. Namun, gatal, urtikaria, angioedema, nyeri
abdomen jarang ditemukan pada asma. Panic attacks menimbulkan gejala seperti
kesulitan bernafas, kemerahan, takikardia, dan gangguan gastrointestinal. Namun,
adanya urtikaria, angioedema, hipotensi jarang pada panic attacks. Hipotensi dapat
terjadi pada sinkop dan anafilaksis, tetapi pucat dan berkeringat tampak pada
sinkop.2,4
2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan reaksi anafilaksis sebagai berikut.4,5,7
1. Evaluasi ABC
2. Posisikan pasien dengan posisi elevasi ekstremitas atas
3. Beri 02 100% 6-8 L/menit (distress nafas)
4. Adrenalin 1:1000 larutan (1mg/ml) disuntikkan 0,3-0,5 ml IM atau 0,01
mg/kgBB Akses infus (14atau 16 gauge) intravena dengan normal salin
5. Bila tidak ada perbaikan, pemnerian adrenalin dapat diulang 10-15 menit
kemudian dengan dosis maksimum 0,5 mg untuk dewasa dan 0,3 mg untuk
anak-anak
6. Medikasi lini kedua yang dapat digunakan adalah H1 antihistamin seperti
intravena chlorpheniramine (10 mg) atau dipenhidramin (25-50 mg),
cetirizine intra oral; β2 adrenergic agonists, seperti salbutamol inhaler (2,5
mg/3 mL); glukokortikoid seperti hydrocortison 100-500 mg IM atau IV,
metylprednisolon 125-250 mg IV, oral prednisone.
7. Observasi 2-3 kali dalam 24 jam dan hindari agen penyebab.
Adrenalin
Adrenalin atau epinephrine merupakan hormon kerja cepat yang disekresi
oleh kelenjar suprarenal. Adrenalin bersifat simpatomimetik (agonist α adrenergik
dan β adrenergik). Efek samping adrenalin dapat berupa tremor, pucat, palpitasi,
pusing, dan sakit kepala. Tetapi terdapat juga beberapa efek yang menunjukkan
overdosis adrenalin, yaitu ventrikular aritmia, krisis hipertensi, edema pulmonal.
Terapi jangka panjang setelah pemberian terapi terhadap anafilaksis di pelayanan
kesahatan.4
8
1. Edukasi terhadap reaksi anafilaksis
Anafilaksis merupakan kondisi gawat darurat sehingga harus dibawa ke
pelayanan kesehatan terdekat.
2. Mengonfirmasi faktor pemicu reaksi anafilaksis
Waktu yang optimal untuk melakukan tes terhadap pemicu alergi adalah 3-
4 minggu setelah episode akut anafilaksis. Pasien dengan hasil negatif perlu
dites lagi beberapa minggu/bulan kemudian. Faktor yang diketahui melalui
anamnesis dapat menyebabkan reaksi anafilaksis perlu dikonfirmasi lagi
dengan alergen skin test dan/atau mengukur level allergen-spesific IgE pada
serum.
3. Pencegahan berulangnya reaksi anafilaksis
- Terapi terhadap penyakit yang mendasari seperti asma, penyakit
kardiovaskuler, mastocytosis dan penyakit lainnya yang dapat
memeperberat reaksi anafilaksis.
- Menghindari pemicu dan imunomodulasi
Pasien yang alergi terhadap makanan tertentu harus menghindari
makanan yang dapat memicu reaksi. WAO belum merekomendasikan
penggunaan oral immunotherapy food allergen atau imunomodulator
lainnya. Sedangkan, pasien dengan riwayat reaksi anafilaksis terhadap
gigitan serangga dapat menggunakan imunoterapi subkutan untuk 3-5
tahun. Perlindungan yang diberikan yaitu sebesar 80-90%. Pasien
dengan riwayat pemakaian obat-obatan tertentu kemudian menjadi
alergi tidak boleh diberikan obat tersebut sehingga dapat mencegah
timbulnya reaksi anafilaksis. Pasien dengan anafilaksis idiopatik yang
sering muncul yaitu > 6 kali dalam 1 tahun atau >2 kali dalam 2 bulan
dipertimbangkan untuk diberikan terapi profilaksis yaitu glukokortikoid
sistemik dan H1 antihistamin atau injeksi omalizumab untuk 2-3 bulan.
2.11 Prognosis
Kematian pada reaksi anafilaksis seringkali terjadi sebelum penderitanya
mendapat pertolongan kesehatan yang adekuat di rumah sakit, atau bila telah
9
yang adekuat, kecuali pada penderita usia lanjut, penderita dengan penyakit
kardiovaskuler atau infark miokard akut, penderita dengan penyakit pernapasan dan
penderita dengan kerusakan sistem saraf pusat.
10
BAB 3
KESIMPULAN
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Haryanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi Klinik.
Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing:2009:367.
2. Johannes Ring et.all. History and Classification of Anaphylaxis.
anaphylaxis.Wiley, Chichester (Novartis Foundation Symposium
257):2004 p 6-24.
3. Imbawan Eka, Suryana Ketut, Suadarmana Ketut. Asosiasi Cara Pemberian
Obat dengan Onset dan Derajat Klinis Reaksi Hipersensitifitas
Akut/Anafilaksis pada Penderita yang Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar
Bali. J Penyakit Dalam 2010;vol.11:135-139.
4. Estelle et.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of
Anaphylaxis. 2011;4:13-37.
5. Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut:
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.
6. Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013
Update Of The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193–
204.
7. Longmore Murray et.all. Anaphylactic Shock. Oxford Handbook of Clinical
Medicine.2010:8th:806-807.
8. F Estelle. Anaphylaxis: the acute episode and beyond. BMJ 2013; 1–1
12