Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN VENTILATOR


ASSOCIATED PNEUMONIA

OLEH :
KELOMPOK 7

B11-A

1. NI PUTU ITA MARTARIANI 183222941


2. NI PUTU NICK TRI DANYATI 183222942
3. NI PUTU RISKI DAMAYANTI 183222943
4. NI PUTU RITA LAKSMI 183222944
5. NI PUTU SRI APRIANTI 183222945
6. NI PUTU YUVI GITAYANI 183222946

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI
2019
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga kami mampu
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun makalah ini merupakan
salah satu tugas dari mata kuliah Keperawatan Kritis.
Dalam menyelesaikan penulisan makalah ini, kami mendapat banyak
bantuan dari berbagai pihak dan sumber. Karena itu kami sangat menghargai
bantuan dari semua pihak yang telah memberi kami bantuan dukungan juga
semangat, buku-buku dan beberapa sumber lainnya sehingga tugas ini bias
terwujud. Oleh karena itu, melalui media ini kami sampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan jauh
dari kesempurnaan karena keterbatasan kemampuan dan ilmu pengetahuan yang
kami miliki. Maka itu kami dari pihak penyusun sangat mengharapkan saran dan
kritik yang dapat memotivasi saya agar dapat lebih baik lagi dimasa yang akan
datang.

Om Santih, Santih, Santih Om

Denpasar, Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 5
1.3 Tujuan .................................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ................................................................................................. 7
2.2 Etiologi ................................................................................................. 7
2.3 Klasifikasi ............................................................................................ 8
2.4 Faktor Resiko ....................................................................................... 9
2.5 Patogenesis ........................................................................................... 10
2.6 Patofisilogi ........................................................................................... 11
2.7 Diagnosis atau Pemeriksaan Penunjang ............................................... 12
2.8 Penatalaksanaan ................................................................................... 13
2.9 Pencengahan ......................................................................................... 17
BAB III WEB OF CAUTION ............................................................................ 20
BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN .............................................................. 21
BAB V PENUTUP
3.1 Simpulan .............................................................................................. 27
3.2 Saran ..................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 28
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang berkembang 48


jam atau lebih. VAP diakibatkan kontaminasi oral oleh mikroorganisme pada
penderitanya. Menurut Fartoukh (2003) VAP merupakan infeksi nosokomial akibat
pemasangan ventilator yang paling sering terjadi di (Intensive Care Unit) ICU yang sampai
sekarang masih menjadi masalah perawatan kesehatan di rumah sakit seluruh dunia.
Menurut Tietjen (2004) juga menyatakan bahwa pneumonia nosokomial menjadi
penyebab kematian tertinggi mencapai 30% angka mortalitasnya. Sedangkan Kollef,
(2005) mengungkapkan pasien dengan terpasang ventilator mekanik mempunyai risiko 6-
21 kali lebih tinggi untuk terjadi pneumonia nosokomial dari pada pasien yang tidak
terpasang ventilator.

VAP memberikan komplikasi sekitar 8-28% pasien yang menggunakan ventilasi


mekanik (MV). Berbeda dengan infeksi organ lain (misalnya pada saluran kemih dan
kulit), yang memiliki angka kematian yang rendah, berkisar antara 1-4%, tingkat kematian
untuk VAP sekitar 24-50% dan mencapai 76% dalam beberapa keadaan tertentu atau
ketika infeksi paru yang disebabkan oleh patogen yang memiliki risiko tinggi.

Faktor risiko yang mempengaruhi VAP seperti usia diatas 60 tahun karena pasien
dengan usia di atas 60 tahun memiliki resiko yang lebih besar untuk menderita pneumonia
pada penggunaan ventilator mekanik di ICU, sedangkan pasien dewasa dengan ventilator
mekanik mudah terjangkit pneumonia. Hal ini terjadi karena pada pasien yang usia lanjut
lebih dari 60 tahun terjadi penurunan fungsi imun tubuh sehingga lebih beresiko dan rentan
untuk terserang penyakit. Jenis kelamin karena, Kadar albumin kurang atau sama 2,2 g/dl
trauma karena pasien kadar albumin yang rendah atau kurang dari 2,2 mg/dl dapat
memperpanjang hari rawatan pasien terpasang ventilator karena hipoalbumin dapat
menyebabkan oedema terutama oedema pada paru, pada pasien yang oedema paru
memerlukan ventilasi mekanik. Pasien yang kadar albumin kurang pemberian obat-obatan
yang diberikan tidak maksimal. Pasien pasca pembedahan memiliki resiko lebih tinggi
terkena VAP. Penelitian Cunnion pada pasien dewasa di ICU menunjukkan bahwa pasien

4
pasca pembedahan di ICU lebih banyak terkena VAP dari pada pasien non bedah. VAP
pada pasien pasca bedah dikaitkan dengan beberapa kondisi seperti penyakit yang
mendasari, kadar albumin preoperatif yang rendah, riwayat merokok, lamanya perawatan
preoperatif dan prosedur operasi yang lama. Tidak semua pasien pasca operasi dengan
ventilator mekanik di ICU memiliki resiko yang sama untuk terkena VAP karena hal ini
di pengaruhi oleh lokasi dan indikasi operasi. Pasien yang mengalami operasi
kardiothoraks dan operasi trauma (biasanya kepala) memiliki resiko lebih besar terkena
VAP dibandingkan operasi pada lokasi tubuh lainnya (Fink, 2005). Pemakaian sedasi
dalam jangka waktu yang lama akan menambah lama rawatan pasien terpasang ventilator
karena dengan pemakaian sedasi akan mengurangi usaha pasien untuk bernafas dan pasien
akan ketergantungan terhadap ventilasi mekanik. Pemakaian sedasi yang lama pada pasien
juga akan mengganggu mobilisasi pasien. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan
lama pemakaian ventilator telah banyak diteliti.
Pada pasien yang diberikan bantuan nafas ventilator lebih mudah mengalami infeksi
nosokomial karena kondisi kesehatan dan daya tahan tubuh yang menurun akibat penyakit
yang dialami. Pemasangan selang endotrakeal menjadikan kolonisasi pathogen dapat
berkembang biak dalam rongga mulut dan orofaring, seperti Staphylococcus aureus,
Streptococcus pneumoniae, pseudomonas atau acinetobacter atau gram negatif.
Mikroorganisme ini pada rongga mulut akan dapat berpindah dan membentuk koloni
patogen di paru. Hal ini dapat terjadi karena koloni patogen pada orofaringeal dan
mikroorganisme yang ada pada sekret di sirkuit endotrakheal tube (ETT) akan teraspirasi
pada pernafasan klien sehingga mengakibatkan pneumonia selama pemasangan ventilator.
Selain itu pasien dengan terpasang selang endotrakeal akan berakibat rusaknya reflek
batuk, melambatnya pergerakan mucociliary escalator dan meningkatnya sekresi mukosa.
Penggunaan alat bantu pernafasan berupa ventilator mekanik yang terlalu lama akan
berdampak pada peningkatan pertumbuhan kuman, disamping paru-paru yang
membutuhkan oksigen. Kuman yang tumbuh ini dapat mengganggu masuknya oksigen
dan hal ini membutuhkan perawatan yang lebih lama.

Pencegahan VAP dapat dilakukan dengan2 cara, yaitu secara non farmakologi dan
memakai farmakologi. Cara non farmakologi merupakan cara rutin dan baku dilakukan di
UPI meliputi kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, intubasi
per oral, posisi kepala lebih tinggi 30 – 45°, dan menghindari volume lambung yang besar.
Pencegahan non farmakologi ini belum mampu menurunkan insiden VAP, maka

5
kemudian ditambahkan dengan pencegahan secara farmakologi yang lebih efektif.
Pencegahan secara farmakologi dilakukan dengan cara dekontaminasi selektif
menggunakan antibiotikpada saluran cerna (selective decontamination of the digestive
tract/ SDD) dan dekontaminasi orofaring (oropharyngeal decontamination/OD)
menggunakan antiseptik. Secara empirik terbukti bahwa SDD cukup efektif dalam
pencegahan VAP, namun karena pemakaian antibiotika dapat meningkatkan risiko
terjadinya resistensi kuman maka SDD tidak dianjurkan secara rutin, sehingga penggunaan
zat anti septik menjadi alternative pilihan. Beberapa jenis antiseptik telah dipakai namun
angka VAP masih tetap tinggi, sampai akhirnya DeRiso menyatakan dalam penelitiannya
bahwa chlorhexidine yang digunakan dalam dekontaminasi orofaring dapat menurunkan
kejadian infeksi nosokomial saluran napas di UPI sampai dengan 69%. Kemudian diikuti
oleh Fourrier yang menyatakan bahwa chlorhexidine dapat menurunkan kolonisasi kuman
penyebab VAP sebesar 53%. Dengan menurunnya kolonisasi kuman di orofaring,
diharapkan bahwa insiden VAP juga menurun, hal ini dibuktikan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Tantipong dan Chan (Fourrier, 2005).

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran umum atau konsep penyakit mengenai VAP ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada penderita VAP ?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui dan memahami gambaran umum atau konsep penyakit mengenai
VAP .
2. Untuk mengetahui dan memahami asuhan keperawatan yang diterapkan pada
penderita VAP .

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
VAP didefinisikan sebagai inflamasi parenkim paru yang muncul 48 jam/lebih
setelah intubasi endotrakeal dan inisiasi ventilasi mekanis. Sedangkan American College
of Chest Physicians mendefinisikan VAP sebagai suatu keadaan dimana terdapat
gambaran infiltrat baru dan menetap pada foto thoraks disertai salah satu tanda yaitu, hasil
biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun
aspirasi trakea, kavitasi pada foto torak, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala
berikut yaitu demam, leukositosis dan sekret purulen (Rozaliyani dkk, 2010).

2.2. Etiologi
VAP ditentukan berdasarkan 3 komponen tanda infeksi sistemik yaitu demam,
takikardi, dan leukositosis disertai gambaran infiltrat baru ataupun perburukan di foto
toraks dan penemuan bakteri penyebab infeksi paru. Beberapa kuman ditengarai sebagai
penyebab VAP (Farthoukh dkk, 2003).
Etiologi VAP meliputi spectrum mikroorganisme yang luas, dapat bersifat
polimikrobial tetapi jarang disebabkan oleh jamur atau virus pada pasien imunokompeten.
Mikroorganisme yang berperan dalam etiologi VAP dapat berbeda antara satu tempat
dengan yang lainnya. Hal itu dipengaruhi oleh populasi pasien di ICU, lama perawatan di
rumah sakit dan ICU, metode diagnostik yang digunakan, pemberian antibiotika
sebelumnya, dan lain-lain. (Rozaliyani dkk, 2010).
Bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah kuman gram negative (Enterobacter
spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp, Serratia marcescens, Haemophilus
influenza, Streptococcus pneumoniae dan Methicillin sensitive staphylococcus aureus
(MSSA). Bakteri penyebab kelompok II adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah
kuman anaerob, Legionella pneumophilia dan Methicillin resistan Staphylococcus aureus
(MRSA). Bakteri penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter
spp dan MRSA (Sirvent, 2003).
P. aeruginosa, bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada kasus VAP,
resisten intrinsik terhadap berbagai antimikroba. Resistensinya terhadap piperasilin,
ceftazidim, cefepim, golongan karbapenem, aminoglikosida dan fluorokuinolon makin
sering dilaporkan di Amerika Serikat. Beberapa isolat bakteri MDR tersebut hanya sensitif
terhadap polymixin-B. Klebsiella spp. memiliki resistensi intrinsik terhadap golongan

7
aminopenisilin misalnya ampisilin dan dapat menjadi resisten terhadap golongan
sefalosporin dan aztreonam dengan memproduksi extended-spectrum Blactamases
(ESBLs). Bakteri lain yang juga memproduksi ESBL hingga resistensinya terhadap
antimikroba juga meningkat adalah golongan E. coli dan Enterobacter spp. (Kollef dkk,
2005).
Acinetobacter spp. patogenisitasnya lebih rendah dibandingkan P. aeruginosa tetapi
infeksinya menjadi masalah karena meningkatnya resistensi terhadap berbagai antibiotik
seperti golongan karbapenem. Antibiotik yang dapat menjadi pilihan pada kondisi tersebut
adalah sulbactam. Bakteri MRSA dapat memproduksi penicillinbinding protein yang
dapat menurunkan afinitasnya terhadap antibiotik golongan B-laktam tetapi masih cukup
sensitif terhadap linezolid. S. pneumoniae dan H. influenzae sering ditemukan pada pasien
VAP awitan dini dan biasanya berasal dari masyarakat (community acquired). Umumnya
S. pneumoniae masih sensitif terhadap golongan kuinolon, vankomisin, linezolid dan
beberapa obat golongan sefalosporin meskipun mulai terdapat peningkatan temuan
resistensi terhadap golongan makrolid, penisilin, sefalosporin, tetrasiklin dan klindamisin.
Laporan resistensi H. influenzae terhadap berbagai antibiotik jarang ditemukan. (Ibrahim
dkk, 2000)

2.3. Klasifikasi
Menurut Rello dkk, 2001 berdasarkan derajat penyakit, faktor risiko dan onsetnya
maka ada klasifikasi untuk mengetahui kuman penyebab VAP, sebagai berikut :
1. Penderita dengan faktor risiko biasa, derajat ringan-sedang dan onset kapan saja
selama perawatan atau derajat berat dengan onset dini. Bakteri penyebab : Kuman
Gram negative (Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp,
Serratia marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae dan
Methicillin sensitive staphylococcus aureus (MSSA).
2. Penderita dengan faktor risiko spesifik dan derajat ringan-sedang yang terjadi kapan
saja selama perawatan. Bakteri penyebab : Semua bakteri penyebab kelompok I
ditambah kuman anaerob, Legionella pneumophilia dan Methicillin resistant
Staphylococcus aureus (MRSA).
3. Penderita derajat berat dan onset dini dengan faktor risiko spesifik atau onset lambat.
Bakteri penyebab : Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter spp dan MRSA.
(Rozaliyani dkk, 2010).

8
2.4. Faktor Risiko

Insiden pneumonia lebih sering terjadi di ICU dibanding tempat rawat biasa dan
risiko mendapat pneumonia meningkat 3- 10 kali pada pasien dengan ventilasi mekanis.
Faktor risiko yang berhubungan adalah usia, jenis kelamin, trauma, PPOK dan lama
pemakaian ventilator telah banyak diteliti. Sebagian besar faktor risiko tersebut merupakan
akibat predisposisi kolonisasi mikroorganisme patogen saluran cerna maupun aspirasi.
Kolonisasi mikroorganisme pada saluran napas bagian atas penting dalam prediksi
pathogen penyebab VAP. Faktor risiko (Tabel 1) memberikan informasi kemungkinan
infeksi paru yang berkembang pada seseorang maupun populasi, yang ternyata berperan
dalam pengambilan strategi pencegahan efektif terhadap VAP.

Tabel 2.1. Faktor Risiko yang Berkaitan dengan VAP pada Beberapa Penelitian

Faktor pejamu Faktor intervensi Faktor lain


Albumin serum < 2,2 Antagonis H2 ± antasid Musim : dingin
g/dl

Usia >_ 60 th Obat paralitik, sedasi intravena


panas

Acute Respiratory Menerima > 4 unit produk


Distress Syndrome darah(ARDS)

PPOK dan atau Penilaian tekanan intrakranial


penyakit paru

Koma atau penurunan Ventilasi mekanis > 2 hari


kesadaran

Luka bakar dan Positiveend-expiratory


trauma pressure

Gagal organ Perubahan sirkuit ventilator

Keparahan penyakit Reintubasi

Aspirasi volume Pipa nasogastric


lambung

Kolonisasi lambung Posisi terlentang


dan pH

Kolonisasi saluran Transpor keluar dari ICU


napas atas

9
Sinusitis Antibiotika sebelumnya atau
tanpa antibiotika
Dikutip dari Kollef

Faktor Resiko
2.5. Patogenesis
VAP

Pejamu Peralatan yang Faktor Petugas


digunakan

Penurunan Tenaga Kesehatan Kurang


Selang Endotrakeal
Kekebalan

Patuh Prosedur Cuci Tangan,


PPOK Sirkuit Ventilator Prosedur Pemasangan Alat,
Prosedur Penghisapan Lendir,
Perawatan Mulut
Gangguan Pernapasan Selang Nasogastrik

Posisi Selang Orofaring


Tubuh

Tingkat Kesadaran

Obat-Obatan

Usia, Nutrisi

Mekanisme Pertahanan Tubuh Terganggu

Kolonisasi Kuman Pathogen Traktus Aerodigestivus (Contohnya Staphyloccoccus Aereus,


Pseudomonas Aeruginosa, Dll) Dan Aspirasi Secret Yang Terkontaminasi Ke Saluran Napas
Bawah

Kuman Dalam Aspirat Tersebut Akan Menghasilkan Biofilm Di 10


Dalam Saluran Napas Bawah Dan Di Parenkim Paru
Biofilm Tersebut Akan Memudahkan Kuman Untuk Menginvasi
Parenkim Paru

Terjadi Reaksi Peradangan Di Parenkim Paru


(Ventilator Associated Pneumonia)

Saluran pernapasan normal memiliki mekanisme pertahanan terhadap infeksi seperti


glotis dan larings, refleks batuk, sekresi trakeobronkial, gerak mukosilier, imunitas
humoral serta sistem fagositik yaitu makrofag alveolar dan neutrofil. Pneumonia terjadi
bila sistem pertahanan tersebut terganggu, terdapat invasi mikroorganisme virulen atau
mikroorganisme dalam jumlah sangat banyak. Sebagian besar VAP disebabkan oleh
mikroaspirasi kolonisasi kuman pada mukosa orofaring. Intubasi mempermudah
masuknya kuman ke dalam paru serta menyebabkan kontaminasi dan kolonisasi di ujung
pipa endotrakeal. Bronkoskopi serat optik, penghisapan lendir sampai trakea maupun
ventilasi manual dapat mendorong kontaminasi kuman patogen ke dalam saluran napas
bawah. Enterobacteriaceae umumnya ditemukan di saluran orofaring sedangkan P.
aeruginosa lebih sering ditemukan di trakea. Koloni kuman gram negatif sering ditemukan
di saluran pernapasan atas saat perawatan lebih dari lima hari. Berbagai peralatan medis
seperti alat nebulisasi, sirkuit ventilator atau humidifier juga dapat menjadi sumber infeksi.
Ventilator-associated pneumonia dapat pula terjadi melalui cara lain diantaranya
akibat makroaspirasi material/isi lambung pada beberapa pasien meskipun peran saluran
cerna sebagai sumber kolonisasi asendens ke daerah orofaring dan trakeal masih menjadi
kontroversi. Penelitian terhadap 130 pasien diintubasi menemukan kuman gram negatif
dalam trakea 58% pasien yang mendapatkan pengobatan antasid dan antagonis H2 serta
30% pasien yang mendapatkan sukralfat. Sumber patogen lain meliputi sinus-sinus
paranasal, plak gigi, daerah subglotis antara pita suara dan endotracheal tube cuff.
(Rozaliyani dkk, 2010)

2.6. Patofisiologi
Patofisiologi dari VAP, adalah melibatkan dua proses utama yaitu kolonisasi pada
saluran pernafasan dan saluran pencernaan serta aspirasi sekret dari jalan nafas atas dan
bawah. Kolonisasi bakteri mengacu pada keberadaan bakteri tanpa adanya gejala.
Kolonisasi bakteri pada paru-paru dapat disebabkan oleh penyebaran organisme dari
berbagai sumber, termasuk orofaring, rongga sinus, nares, plak gigi, saluran pencernaan,
kontak pasien, dan sirkuit ventilator. Inhalasi bakteri dari salah satu sumber ini dapat

11
menyebabkan timbulnya gejala, dan akhirnya terjadi VAP (Wiryana, 2007). Kolonisasi
mikroorganisme patogen dalam sekret akan membentuk biofilm dalam saluran
pernapasan. Mulai pada awal 12 jam setelah intubasi, biofilm mengandung sejumlah besar
bakteri yang dapat disebarluaskan ke dalam paru-paru melalui ventilator. Pada keadaan
seperti ini, biofilm dapat terlepas oleh cairan ke dalam selang endotrakeal, suction, batuk,
atau reposisi dari selang endotrakeal (Niederman, 2005).

Selang endotrakeal menyebabkan gangguan abnormal antara saluran napas bagian


atas dan trakea, melewati struktur dalam saluran napas bagian atas dan memberikan bakteri
jalan langsung ke saluran napas bagian bawah. Karena saluran napas bagian atas
kehilangan fungsi karena terpasang selang endotrakeal, kemampuan tubuh untuk
menyaring dan melembabkan udara mengalami penurunan. Selain itu, refleks batuk sering
mengalami penurunan bahkan hilang akibat pemasangan selang endotrakeal dan
kebersihan mukosasilier bisa terganggu karena cedera mukosa selama intubasi. Selang
endotrakeal menjadi tempat bagi bakteri untuk melekat di trakea, keadaan ini dapat
meningkatkan produksi dan sekresi lender lebih lanjut. Penurunan mekanisme pertahanan
diri alami tersebut meningkatkan kemungkinan kolonisasi bakteri dan aspirasi (Augustyne,
2007).

2.7. Diagnosis atau Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis VAP ditentukan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan radiologi dan
laboratorium. American Thoracic Society Consensus Conference on VAP
merekomendasikan diagnosis VAP berdasar pembentukan infiltrat baru yang progresif
pada foto toraks disertai paling sedikit dua dari tiga gejala: demam >38 0C, leukositosis
atau leukopeni dan secret purulen. Gambaran foto toraks disertai dua dari tiga kriteria
tersebut memberikan sensitivitas 69% dan spesifisitas 75%.(Rozaliyani dkk, 2010)
Diagnosis VAP ditegakkan setelah menyingkirkan adanya pneumonia sebelumnya,
terutama pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumonia). Bila dari awal pasien
masuk ICU sudah menunjukkan gejala klinis pneumonia maka diagnosis VAP
disingkirkan, namun jika gejala klinis dan biakan kuman didapatkan setelah 48 jam dengan
ventilasi mekanik serta nilai total CPIS > atau = 6, maka diagnosis VAP dapat ditegakkan,
jika nilai total CPIS <6 maka diagnosis VAP disingkirkan. (Luna CM,2003). Spesifisitas
diagnosis klinis dapat ditingkatkan dengan menghitung clinical pulmonary infection score
(CPIS) yang menggabungkan data klinis, laboratorium, perbandingan tekanan oksigen
dengan fraksi oksigen (PaO2/FiO2) dan foto toraks (Tabel 2). Skor <6 menyingkirkan

12
diagnosis VAP sedangkan skor lebih tinggi mengindikasikan kecurigaan VAP.
Penghitungan CPIS sederhana tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya bervariasi.
(Rozaliyani dkk, 2010)

Tabel 2.2. Clinical pulmonary infection score (CPIS)

Komponen Nilai Skor


 36,5 dan ≤ 38,4 0
Suhu C0  38,5 dan ≤ 38,9 1
 39,0 dan ≤ 36,0 2
 4000 dan ≤ 11000 0
Leukosit per mm3  4000 dan  11000 1
Sedikit 0
Sedang 1
Sekret tracea Banyak 2
Purulen +1

 240 atau terdapat ARDS 0


Oksigenasi PaO2 / FiO2 ≤ 240 dan tidak terdapat 2
mmHg ARDS
Tidak ada infiltrat 0
Foto toraks Bercak / infiltrat difus 1
Infiltrat terlokalisir 2
2.8. Penatalaksanaan
Tatalaksana VAP menghadapi tantangan yang besar karena luasnya spektrum klinis
pasien, baku emas pemeriksaan yang belum disepakati dan berbagai kendala diagnostik
lain. Pemberian antibiotik yang tepat merupakan salah satu syarat keberhasilan tatalaksana
VAP. Penentuan antibiotik tersebut harus didasarkan atas pengetahuan tentang
mikroorganisme, pola resistensi di lokasi setempat, pemilihan jenis obat berdasarkan
pertimbangan rasional, dll. Pemberian antibiotik adekuat sejak awal dapat meningkatkan
angka ketahanan hidup pasien VAP saat data mikrobiologik belum tersedia. Sebaliknya,
pemberian antibiotik yang inadekuat menyebabkan kegagalan terapi akibat timbulnya
resistensi kuman terhadap obat. Pemberian antibiotik yang direkomendasi beserta dosisnya
berdasarkan data kuman penyebab dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2.3. Pemberian antibiotika yang direkomendasi sesuai dengan etiologi kuman

Mikroba Antibiotika
VAP awitan dini, tanpa faktor
risiko spesifik

13
Kuman gram negatif Sefalosporin generasi II
(nonpseudomonas)

Enterobacter spp Nonpseudomonas generasi III atau


kombinasi ß laktam

Escherichia coli Penghambat ß laktamase

Klebsiella spp

Proteus spp

Serratia marcescens

Haemophilus influenza Fluorokuinolon atau

MSSA Klindamisin + aztreonam

Streptococcus
pneumoniae

VAP awitan lambat


Pseudomonas aeruginosa Aminoglikosida atau
siprofloksasin

Acinetobacter baumanii ditambah :

Penisilin antipseudomonas

Kombinasi ß laktam -

penghambat ß laktamase

Ceftazidim / cefoperazon

Imipenem

Aztreonam

MRSA Linezolid atau vankomisin

Dikutip dari Kollef MH,2005

Pasien VAP yang mendapatkan pengobatan awal penisilin antipseudomonas


ditambah penghambat ß-laktamase serta aminoglikosida menunjukkan angka kematian
lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapat antibiotik tersebut.
Piperasilin-tazobaktam merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan (63%) diikuti
golongan fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan
aminoglikosida (25%).
Fernandes A, 2002 menyatakan bahwa siprofloksasin sangat efektif pada sebagian

14
besar kuman Enterobacteriaceae, H. influenza dan S. aureus. Pemberian antibiotik dapat
dihentikan setelah tiga hari pada pasien dengan kecenderungan VAP rendah (CPIS<6).
Pemberian antibiotik intravena secara empiris pada pasien VAP awitan lambat atau
memiliki faktor risiko patogen MDR dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 2.4. Dosis Antibiotika Intravena Pasien VAP Dewasa Awitan Lambat atau Memilki
Faktor Risiko MDR

Antibiotik Dosis

Sefalosporin antipseudomonas
Cefepim 1 – 2 g tiap 8 – 12 jam

Ceftazidim 2 g tiap 8 jam

Karbapenem
Imipenem 500 mg tiap 6 jam atau 1g
tiap 8 jam

Meropenem 1 g tiap 8 jam

Kombinasi ß laktam -
penghambat ß laktamase
Piperasilin-tazobaktam 4,5 g tiap 6 jam

Aminoglikosida
Gentamisin 7 mg/kg/hari

Tobramisin 7 mg/kg/hari

Amikasin 20 mg/kg/hari

Kuinolon antipseudomonas
Levofloksasin 750 mg tiap hari

Siprofloksasin 400 mg tiap 8 jam

Vankomisin 15 mg/kg tiap 12 jam

Linezolid 600 mg tiap 12 jam

Dikutip dari Ewig et al.2002

Prinsip penatalaksanaan VAP berdasarkan panduan ATS / IDSA tahun 2004 adalah:
tidak menunda terapi yang adekuat tetapi mengoptimalkannya. Pemilihan antimikroba

15
empiris yaitu satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan beberapa kuman
patogen sekaligus, baik bakteri maupun jamur (memiliki daya penetrasi yang baik terhadap
sumber infeksi, mengacu pada pola kepekaan kuman yang ada di rumah sakit ataupun
masyarakat, melanjutkan pemberian obat antimikroba berspektrum luas sampai diketahui
pasti mikroorganisme penyebab dan kepekaannya terhadap antimikroba tersebut),
mempersingkat terapi menjadi masa terapi efektif minimal untuk memperkecil kejadian
resistensi serta menerapkan strategi pencegahan (preventif) dengan mengetahui faktor
risiko yang ada.
Awalnya penatalaksanaan VAP dilakukan berdasarkan prinsip terapi eskalasi
(escalation therapy) yaitu memulai terapi dengan satu jenis antibiotik misalnya
sefalosporin generasi ketiga selanjutnya meningkatkan terapi dengan pemberian antibiotik
lain yang memiliki spektrum lebih luas misalnya golongan fluorokuinolon atau
karbapenem bila pemeriksaan mikrobiologi menunjukkan resistensi kuman terhadap
antibiotik sebelumnya atau bila kondisi klinis pasien memburuk.
Saat ini dikenal prinsip terapi de-eskalasi yaitu strategi pemberian antibiotik adekuat
(poten) sejak awal terapi kepada pasien yang memiliki faktor risiko tinggi, dengan
menghindari penggunaan antibiotik kurang tepat yang dapat memicu timbulnya resistensi.
Strategi tersebut dilakukan dengan memberikan terapi inisial tidak lebih dari empat jam
sejak pasien dirawat di ICU dengan antibiotik berspektrum luas dan dosis tinggi untuk
menurunkan mortalitas, mencegah disfungsi organ dan mempersingkat lama perawatan di
rumah sakit serta mengoptimalkan terapi de-eskalasi untuk meminimalkan resistensi dan
meningkatkan cost-effectiveness.
Penilaian respons terapi harus dilakukan dengan hati-hati. Respons klinis
dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya faktor pasien (usia, penyakit komorbid),
faktor bakteri (pola virulensi dan resistensi kuman terhadap antimikroba) dan faktor lain
yang mungkin terjadi selama episode VAP. Perbaikan klinis biasanya baru terjadi setelah
48-72 jam terapi sehingga antibiotik yang diberikan tidak boleh diganti dalam waktu
tersebut kecuali bila terdapat perburukan progresif atau hasil pemeriksaan mikrobiologi
menunjukkan hasil yang tidak sesuai. Penilaian respons terapi juga dapat dilakukan dengan
melihat parameter lain misalnya pemeriksaan hasil laboratorium darah serial (hitung sel
darah putih, oksigenasi, dll), foto toraks serial, pemeriksaan mikrobiologi spesimen
saluran napas serial, CPIS serial, dll.
Terapi antibiotik empirik dapat dimodifikasi berdasarkan penilaian berbagai
parameter tersebut. Modifikasi perlu dilakukan bila ditemukan kuman resisten/tidak

16
diharapkan pada pasien yang menunjukkan respons terapi kurang baik. Terapi de-eskalasi
dapat dilakukan pada pasien yang menunjukkan respons baik dan lebih difokuskan pada
antibiotik tertentu bila mikroorganisme yang dikhawatirkan (P. aeruginosa atau
Acinetobacter spp.) tidak ditemukan pada pemeriksaan mikrobiologi atau mikroorganisme
masih sensitif terhadap antibiotik golongan lebih rendah. Pasien yang tidak menunjukkan
respons baik perlu dievaluasi untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi lain yang
menyerupai pneumonia (atelektasis, gagal jantung kongestif, emboli paru,
kontusio/trauma paru), mikroorganisme yang resisten terhadap obat, infeksi organ
lain/ekstraparu serta komplikasi pneumonia dan terapinya (empiema torasis, abses paru,
kolitis, dll). (Rozaliyani dkk, 2010)

2.9. Pencegahan
Pencegahan VAP merupakan upaya penting yang harus dilakukan secara optimal.
Ventilasi mekanis non-invasif (tanpa intubasi) dilaporkan dapat menurunkan kejadian
VAP secara bermakna. Pembatasan penggunaan antibiotik secara berlebihan di ICU juga
dapat menurunkan insidens pneumonia nosokomial akibat resistensi obat. Koenig dan
Truwit menyatakan strategi pencegahan VAP yang dikelompokkan berdasarkan waktu
terkait dengan proses intubasi (sebelum intubasi, saat intubasi dan setelah intubasi).
Strategi yang dilakukan sebelum intubasi meliputi melakukan ventilasi mekanis non-
invasif bila memungkinkan serta memperkirakan kemungkinan berbagai penyebab gagal
napas (bronkospasme, pemberian analgesi dan sedasi dan gangguan keseimbangan
elektrolit). Strategi saat proses intubasi dilakukan diantaranya menghindari overdistensi
lambung dan mengupayakan intubasi melalui oroendotrakeal. Strategi setelah intubasi
dilakukan misalnya pemasangan pipa lambung melalui mulut, menjaga kebersihan tangan
terutama petugas kesehatan dengan sebaik-baiknya, elevasi tempat tidur pasien 30-45
derajat, mengganti sirkuit respirasi bila diperlukan, pengisapan subglotis secara kontinu,
rotasi tempat tidur pasien, menjaga kebersihan mulut pasien dengan obat kumur antiseptik,
mengurangi penggunaan sedatif untuk mengurangi lama pemberian ventilasi mekanis, dll.
Strategi pencegahan VAP yang lain dapat dilihat pada Tabel 5. Strategi tersebut
dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu strategi farmakologi yang bertujuan untuk
menurunkan kolonisasi saluran cerna terhadap kuman patogen serta strategi
nonfarmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kejadian aspirasi. Strategi secara
umum yang tidak boleh dilupakan adalah melalukan pengontrolan infeksi lokal di rumah

17
sakit (surveilans rutin), kebijakan penggunaan antibiotika secara rasional serta penerapan
strategi pencegahan secara efektif. (Rozaliyani dkk, 2010)

18
Intervensi Pencegahan VAP
a. Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi
1. Menghentikan penggunaan pipa nasogastric atau pipa endotrakeal segera mungkin.
2. Posisi pasien semirecumbent atau setengah duduk.
3. Menghindari distensi lambung berlebihan.
4. Intubasi oral atau nonnasal.
5. Penyaliran subglotik.
6. Penyaliran sirkuit ventilator.
7. Menghindari reintubasi dan pemindahan pasien jika tidak diperlukan.
8. Ventilasi masker noninvasif untuk mencegah intubasi trakea.
9. Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan.
b. Intervensi dengan tujuan mencegah kolonisasi saluran cerna
1. Mencegah penggunaan antibiotikaa yang tidak perlu.
2. Membatasi profilaksis tukak lambung pada pasien risiko tinggi.
3. Menggunakan sukralfat sebagai profilaksis tukak lambung.
4. Menggunakan antibiotikaa untuk dekontaminasi saluran cerna secara selektif.
5. Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut.
6. Menggunakan antibiotikaa yang sesuai pada pasien risiko tinggi.
7. Selalu mencuci tangan sebelum kontak dengan pasien.
8. Mengisolasi pasien risiko tinggi dengan kasus mdr.
Dikutip dari Fowler et.,at

19
BAB III
WEB OF CAUTION

VAP (Ventilator Associated


Pneumonia)

Kuman Yang Masuk Ke Parenkim


Paru Menyebabkan Peradangan

Infeksi Peningkatan Suhu Eksudat Dan Serous Pleura


Masuk Alveoli Meradang

Nyeri
Kerja Sel Goblet
Pleuriti
Meningkat Leukosit PMN
Metabolisme Banyak k
Mengisi
Naik Keringat
Alveoli
Nyeri
Produksi Sputum Akut
Meningkat Konsolidasi
Defisiensi Volume Di Paru
Cairan

Akumulasi Sputum
Di Jalan Napas Risiko Infeksi Compliance Paru
Menurun

Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Nafas Suplai Oksigen Menurun

Risiko Syok
Tertelan Ke Lambung

Akumulasi Sputum
(Basa Di
Lambung) Mual,
muntah
Meningkatkan Keasaman
Di Lambung Ketidakseimbangan Nutrisi 20
Kurang Dari Kebutuhan Tubuh
BAB IV

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien yang mendapat nafas buatan dengan
ventilator adalah:
1) Biodata
Meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, agama, alamt, dll.
Pengkajian ini penting dilakukan untuk mengetahui latar belakang status
sosial ekonomi, adat kebudayaan dan keyakinan spritual pasien, sehingga
mempermudah dalam berkomunikasi dan menentukan tindakan keperawatan
yang sesuai.
2) Riwayat penyakit/riwayat keperawatan
Informasi mengenai latar belakang dan riwayat penyakit yang sekarang
dapat diperoleh melalui oranglain (keluarga, tim medis lain) karena kondisi
pasien yang dapat bentuan ventilator tidak mungkin untuk memberikan data
secara detail. Pengkajian ini ditujukan untuk mengetahui kemungkinan
penyebab atau faktor pencetus terjadinya gagal nafas/dipasangnya
ventilator.
3) Keluhan
Untuk mengkaji keluhan pasien dalam keadaan sadar baik, bisa dilakukan
dengan cara pasien diberi alat tulis untuk menyampaikan keluhannya.
Keluhan pasien yang perlu dikaji adalah rasa sesak nafas, nafas terasa berat,
kelelahan dan ketidaknyamanan.
2. Pengkajian per system
1. Sistem pernafasan
a) Setting ventilator meliputi:
1) Mode ventilator
a. CR/CMV/IPPV (Controlled Respiration/Controlled Mandatory
Ventilation/Intermitten Positive Pressure Ventilation)
b. SIMV (Syncronized Intermitten Mandatory Ventilation)
c. ASB/PS (Assisted Spontaneus Breathing/Pressure Suport)
d. CPAP (Continous Possitive Air Presure)
2) FiO2: Prosentase oksigen yang diberikan

21
3) PEEP: Positive End Expiratory Pressure
4) Frekwensi nafas
b) Gerakan nafas apakah sesuai dengan irama ventilator
c) Expansi dada kanan dan kiri apakah simetris atau tidak
d) Suara nafas: adalah ronkhi, whezing, penurunan suara nafas
e) Adakah gerakan cuping hidung dan penggunaan otot bantu tambahan
f) Sekret: jumlah, konsistensi, warna dan bau
g) Humidifier: kehangatan dan batas aqua
h) Tubing/circuit ventilator: adakah kebocoran tertekuk atau terlepas
i) Hasil analisa gas darah terakhir/saturasi oksigen
j) Hasil foto thorax terakhir.
2. Sistem kardiovaskuler
Pengkajian kardiovaskuler dilakukan untuk mengetahui adanmya
gangguan hemodinamik yang diakibatkan setting ventilator (PEEP terlalu
tinggi) atau disebabkan karena hipoksia. Pengkajian meliputi tekanan
darah, nadi, irama jantung, perfusi, adakah sianosis dan banyak
mengeluarkan keringat.
3. Sistem neurologi
Pengkajian meliputi tingkat kesadaran, adalah nyeri kepala, rasa ngantuk,
gelisah dan kekacauan mental.
4. Sistem urogenital
Adakah penurunan produksi urine (berkurangnya produksi urine
menunjukkan adanya gangguan perfusi ginjal)
5. Status cairan dan nutrisi
Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan status
nutrisi dan cairan akan memperberat keadaan. Seperti cairan yang
berlebihan dan albumin yang rendah akan memperberat oedema paru.
6. Status psycososial
Pasien yang dirawat di ICU dan dipasang ventilator sering mengalami
depresi mental yang dimanifestasikan berupa kebingungan, gangguan
orientasi, merasa terisolasi, kecemasan dan ketakutan akan kematian.
B. Diagnosa
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan spasme jalan nafas.

22
2) Ketidakefektifan pola nafas b.d suplayO2tidak adekuat
3) Gangguan pertukaran gas b.d sekresi tertahan danproses penyakit.
4) Nyeri akut b.d pemasangan pipa endotrakeal, prosedur suction dan proses infeksi
5) Resiko infeksi berhubungan dengan pemanajnan terhadap patogen meningkat:
pemasangan selang endotracheal dan gangguan ventilator.

C. RENCANAAUSHAN KEPERAWATAN
Diagnosa Rencana keperawatan RasionalTindakan
Tujuan Rencana Tindakan
Keperawatan
Ketidak efektifan Setelah
Keperawatan diberikan 1. Posisikan pasien untuk 1.Posisi semifowler
bersihan jalan asuhan keperawatan memaksimalkan ventilasi mencegah refluks dan
nafas berhubungan selama 1 x 24jam aspirasi bakteri dari
dengan jalan nafas dapat 2.Auskultasi suara nafas. lambung kedalam
peningkatan kembali efektif Catat adanya suara nafas saluran napas
produksi secret dengan kriteriahasil: tambahan
2. Suara nafas tambahan
Rentang nafas 3. Lakukan fisioterapi menunjukkan jalan
normal Dada bila perlu nafas yang tidak paten

Tidak terjadi 4. Lakukan suction pada 3. Fisioterapi dada


aspirasi pipa trakeostomi membantu mengalirkan

Tidak ada dispnea 5. Kolaborasi pemberian secret


terapi untuk membantu 4. Untuk mempertahan
mengencerkan sekret patensi jalankan napas,
memudahkan
penghilangan sekret
jalan napas

5. Membantu
pengenceran sekresi
agar mudah
dikeluarkan

23
Ketidakefekti fan Setelah diberikan 1.Monitor vital sign 1. Mengobservasi data
pola nafas b.d asuhan keperawatan dasar
suplay O2 tidak selama 1 x 24jam 2.Keluarkan secret
pasien tidak dengan suction 2. Untuk
adekuat
Mengalami gangguan mempertahankan
3.Monitor respirasi dan patensi jalan
pola napas dengan stastus O2
kriteria hasil: nafas
4.Observasi adanya 3. Respirasi dan status
1. Menunjukkan tanda-tanda hipoventilasi O2 menunjukkan
jalan nafas yang
paten (klien tidak 5. Monitor selang/ keefektifan pola
merasa tercekik, cubbing ventilator ari nafas
RR dalam batas terlepas,terlipat, bocor 4. Mencegah
normal, tidak ada atau tersumbat. terjadi
suara nafas hipoventilasi
abnormal)
5. Menjaga
2. TTVdalam kebutuhan
rentang Normal ventilasi

Gangguan Setelah dilakukan 1.Monitor respirasi dan 1. Memonitor status


pertukarangas b.d tindakan keperawatan status O2 pernafasan pasien
sekresi tertahan 2x 24 jam diharapkan
dan proses gangguan pertukaran 2. Keluarkan secret 2. Menjaga patensi
penyakit gas dapat teratasi dengan batuk atau jalan nafas
dengan kriteria hasil: suction
3. Mencegah terjadinya
3.Monitor tanda hipoksiadan
 Adanya
hipoksia dan hiperkapnea
peningkatan
ventilasidan hiperkapnea
4. Pemeriksaan AGD
oksigenasi 4.MonitorhasilLab AGD untuk melihat
yang adekuat adanya gangguan
5.Kolaborasipemberia metabolic dan
 Tidak terjadi n terapiyangsesuai respiratorik
sianosis
pernafasan 5. Terapi yang tepat
untuk
 Nilai AGD
kesembuhan
dalam
rentang
normal

 TTVdalam
rentang

normal
24
Nyeri akut b.d Setelah dilakukan 1. Lakukan pengkajian 1.Untuk mengetahui
pemasangan pipa tindakan Nyeri secara skala nyeri yang
endotrakeal, keperawatan 1x24 komprehensif dirasakan klien
prosedur suction jam diharapkan
dan proses infeksi nyeriyang dirasakan 2. Observasi reakasi 2. Menilai
dapat berkurang non verbal dari ketidaknyamanan yang
dengan kriteria hasil ketidaknyamanan dialami klien

Pasientampak 3. Tingkatkan istrirahat 3.Menngurangi perasaan


nyaman nyeri
4. Kolaborasi
setelah nyeri pemberian analgetik 4. Analgetik membantu
berkurang yang diperlukan meredakan nyeri secara
tergantung tipe dan farmakologis
Pasien tidak beratnya nyeri
mengalami
kesulitan
tidur
Resiko infeksi Setelah dilakukan 1. MonitorTTV 1. Mengetahui data
berhubungan tindakan dasar
keperawatan 1x24jam 2. Lakukan perawatan
dengan pemanajnan mulut dan 2. Mencegah
diharapkan suhu
terhadap patogen tubuh pasien dapat perawatan pipa perkembangan bakteri
kembali normal trakeostomi pathogen dimulut dan
meningkat:
dengan kriteria hasil: 3. Observasi area sekitar pipa
pemasangan selang trakeostomi
adanya tanda
endotracheal dan 1. Suhu tubuh dalam
rentang normal (36.5- infeksi 3. Menilai tanda infeksi
gangguan
37.5 oC) 4. Berikan kompres 4. Kompres hangat
ventilator.
hangat didahi membantu
2. Tidak ada dan axial bila menurunkan
perubahan warna kulit ada peningkatan suhu tubuh
3. TTV dalam rentang suhu tubuh
5. Antipiretik
normal 5. Kolaborasi membantu
pemberian menurunkan suhu
antipiretik jika ada dengan farmakologi
peningkatan suhu
6. Antibiotic
6. Kolaborasi membantu
pemberian menekan
antibiotik jika pertumbuhan
ditemukan adanya kuman pathogen
tandadan gejala
infeksi

25
D. Evaluasi
Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan yang diberikan antara lain:
1) Menunjukkan pertukaran gas, kadar gas darah arteri, tekanan arteri pulmonal dan
tanda-tanda vital yang adekuat.
2) Menunjukkan ventilasi yang adekuat dengan akumulasi lendir yang minimal.
3) Bebas dari cedera atau infeksi yang dibuktikan dengan suhu tubuh dan jumlah sel
darah putih.
4) Dapat aktif dalam keterbatasan kemampuan.
5) Berkomunikasi secara efektif melalui pesan tertulis, gerak tubuh atau alat
komunikasi lainnya.
6) Dapat mengatasi masalah secara efektif.

26
BAB VI
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
VAP didefinisikan sebagai inflamasi parenkim paru yang muncul 48 jam/lebih setelah
intubasi endotrakeal dan inisiasi ventilasi mekanis. Sedangkan American College of Chest
Physicians mendefinisikan VAP sebagai suatu keadaan dimana terdapat gambaran infiltrat
baru dan menetap pada foto thoraks disertai salah satu tanda yaitu, hasil biakan darah atau
pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea,
kavitasi pada foto torak, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu
demam, leukositosis dan sekret purulen.

4.2. Saran
Demikian makalah tugas Keperawatan Kritis yang berjudul “Ventilator Associated
Pneumonia” yang penulis buat. Melalui makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan
kepada pembaca khususnya mahasiswa keperawatan tentang pemberian asuhan keperawatan
terhadap penderita Ventilator Associated Pneumonia dengan tepat. Penulis menyadari dalam
penyusunan makalah ini banyak kekurangan. Maka, kritik dan saran konstruktif penulis
harapkan demi terciptanya makalah yang lebih baik.

27
DAFTAR PUSTAKA

Fartoukh M, MaitreB, HonoreS, Cerf C,ZaharJR, Buisson CB.


(2003).Diagnosingpneumonia duringMechanical ventilation.AmJRespir Crit Care
Med; 168:173-9.

Hunter JD. Ventilator associated pneumonia. Postgrad Med J(Serial onInternet)


(2006)(diakses pada13 juli 2016); 82: 172-8. Available from:
http://pmj.bmj.com/content/82/965/172.full

IbrahimEH,TracyL,HillC,FraserVJ,Kollef MH.The occurrenceof ventilator-associated


pneumoniainacommunityhospital.Chest(2001);120:555-61.Diakses13Juli2016
dari http://www. .majalahfk.uki.ac.id/assets/majalahfile/artikel/2010-01-artikel-
06.pdf

Ioanas M,Ferrer R, AngrillJ, Ferrer M, TorresA.(2001)Microbial investigation in


ventilatorassociated Pneumonia. EurRespir J;17:791-801.

KollefMH.(2005). Theprevention ofventilatorassociated pneumonia. N Engl


JMed;340:627-34

Rozaliyani, A &Swidharmoko, B. (2010).Diagnosisdan PenatalaksanaanVentilator-


Associated Pneumonia.Majalah KedokteranFKUKI2010 Vol XXVIINo.1

Sudoyo WA, SetiyohadiB, AlwiI, Simadibrata MK, Setiati S. (2010)BukuAjarIlmu


PenyakitDalam.Jakarta: internapublishing;p.166-74

Torres A, EwigS. (2004)DiagnosingventilatorassociatedPneumonia. N Engl


JMed;350:433-5.

Vincent JL, Abraham E,Kochanek P, Moore FA,Fink MP.(2011).Textbook of Critical


CareSixth Edition.China: ElsevierSunders;p.328-479

WiryanaM. (2007).Ventilator associated pneumonia. JPenyDalam


(SerialonInternet)(diakses pada13 juli 216) ;8(3):254-65

28

Anda mungkin juga menyukai