COMMUNITY-ACQUIRED PNEUMONIA
Oleh:
Rataya Paramitha Maliawan 1702612112
Sayu Made Ardhia Pramayanti Putri 1702612115
Pembimbing
dr. Made Bagiada, Sp.PD-KP
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Pengalaman Belajar Lapangan yang
berjudul “Community-Acquired Pneumonia”. Penulisan tugas ini merupakan salah
satu prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal
hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1) dr. Made Bagiada, Sp.PD-KP , selaku pembimbing laporan ini, atas
bimbingan, saran dan masukan selama penyusunannya.
2) Dokter-dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas bimbingan dan
saran-sarannya.
3) Rekan-rekan dokter muda yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas bantuannya
dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka dan laporan kasus ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu saran dan kritik membangun, sangat penulis harapkan
demi perbaikan tugas serupa di waktu berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat
memberi manfaat bagi pihak yang berkepentingan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Epidemiologi pneumonia dapat terjadi di semua negara tetapi data untuk
membandingkan hal itu sangat sedikit terutama di negara berkembang. Di Amerika
Serikat pneumonia menjadi penyebab kematian utama diantara penyakit infeksi,
tiap tahun terdapat 5-6 juta kasus CAP dengan 1,1 juta pasien yang dirawat dan 45
ribu pasien mengalami kematian akibat pneumonia. Di Indonesia berdasarkan data
RISKESDAS tahun 2013 disebutkan bahwa insidens dan prevelens pneumonia
sebesar 1,8 persen dan 4,5 persen. Pneumonia dapat menyerang semua kelompok
umur, akan tetapi angka kematian lebih tinggi pada kelompok usia lebih dari 60
tahun dibandingkan usia 50 tahun yaitu 2-4 kali lebih tinggi. Sedangkan pada balita
4
2.3.3 Nutrisi
Kerentanan terhadap infeksi meningkat dengan adanya fenomena akibat malnutrisi
seperti penurunan kadar sekresi IgA, suatu kegagalan pengerahan makrofag, dan
perubahan pada imunitas seluler. Sehingga frekuensi kolonisasi saluran nafas oleh
bakteri gram negatif meningkat pada pasien dengan malnutrisi, dan kejadian
pneumonia berat meningkat.11
2.3.4 Merokok
Merokok mempengaruhi transport mukosilier, pertahanan humoral dan seluler, dan
fungsi sel epitel dan meningkatkan perlekatan Streptococcus pneumoniae dan
5
2.4 Etiologi
Etiologi CAP bervariasi menurut tingkat keparahan penyakitnya, meliputi bakteria,
fungi, virus, protozoa, dan lain-lain. Namun sebagian besar kasus CAP etiologinya
adalah kuman atau bakteri patogen. Beberapa studi di negara barat mengidentifikasi
Streptococcus pneumoniae sebagai patogen etiologi yang paling sering
teridentifikasi. Patogen etiologi lain yang juga banyak teridentifikasi adalah
Mycoplasma pneumoniae, Haemophylus influenzae, agen viral, dan lain-lain.13
Kebanyakan patogen penyebab CAP baik pada usia lanjut maupun dewasa muda
adalah sama, yaitu Streptococcus pneumoniae. Infeksi oleh Mycoplasma
pneumoniae dan Legionella jarang pada usia lanjut. Pada suatu studi, infeksi
Mycoplasma pneumoniae dan patogen atipikal lainnya lebih sering ditemukan pada
penderita usia <60 tahun. Pada usia lanjut, bakteri enterik gram negative juga sudah
jarang ditemukan, sedangkan Haemophylus influenzae menjadi lebih sering
teridentifikasi.13
6
2.5 Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan : 2
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia
mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran
napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis
mikroorganisme yang sama.1,14
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan
dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi
8
bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan
bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :1
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel
darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif
dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit dan alveolar makrofag. Red hepatization ialah daerah perifer
yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray hepatization' ialah konsolidasi
yang luas.
basah (tergantung stadiumnya), suara nafas vesikuler diperkeras atau bronkial, dan
lain-lain.14
Tabel 2.3 Gambaran Perbedaan Gejala Klinis Pneumonia Atipikal dan Tipikal2
Tanda dan Gejala Penumonia Atipikal Pneumonia Tipikal
Onset Gradual Akut
Suhu Kurang tinggi Tinggi, menggigil
Batuk Non produktif Produktif
Dahak Mukoid Purulen
Gejala lain Nyeri kepala, mialgia, Jarang
sakit tenggorokan, suara
parau, nyeri telinga
Gejala di luar paru Sering Lebih jarang
Pewarnaan gram Flora normal atau Kokus gram (+) atau (-)
spesifik
Radiologis “Patchy” atau normal Konsolidasi lobar
Laboratorium Leukosit normal kadang Lebih tinggi
rendah
Gangguan fungsi hati Sering Jarang
2.7 Diagnosis
2.7.1 Gambaran Klinis
Dari anamnesis didapatkan demam, fatique, malaise, sakit kepala, myalgia,
arthralgia, batuk produktif/tidak produktif dengan sputum purulent, bisa disertai
darah. Dapat dijumpai keluhan sesak napas, nyeri dada.1
10
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita
yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.1
3. Identifikasi Mikrobiologis
Identifikasi dengan pemeriksaan mikrobiologis tidak rutin dilakukan,
biasanya hanya dilakukan pada pasien CAP dengan derjat sedang sampai
berat.13 Organisme penyebab pneumonia dapat diidentifikasi dari
pemeriksaan kultur darah, sputum, cairan pleura, jaringan paru, atau sekresi
endobronkial melalui sikatan bronkial atau lavage. Metode lain untuk
menentukan etiologi pneumonia meliputi deteksi respon IgM atau
peningkatan empat kali titer antibodi terhadap antigen mikroorganisme dan
deteksi antigen di urin, serum, atau cairan pleura. Dalam beberapa hal,
amplifikasi dari DNA atau RNA dari patogen respirasi diperiksa dengan
pemeriksaan swab nasofaring.4,5
• Kultur dan Pengecatan Gram pada Sputum
Hasil kultur bakteri dari spesimen sputum bervariasi dan sangat
dipengaruhi kualitas dari sputum itu sendiri mulai dari proses
pengambilan spesimen, transport, proses pemeriksaan segera,
12
• Kultur Darah
Menurut ATS/IDSA, bakteri yang paling sering ditemukan pada kultur
darah adalah Streptococcus pneumoniae. Kultur darah direkomendasikan
untuk semua pasien dengan CAP berat dan mengalami bakteremia.
Pasien dengan CAP berat cenderung mangalami infeksi oleh patogen
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Pseudomonas
aeruginosa, dan kuman garam negatif. Beberapa studi menyebutkan
bahwa pemeriksaan kultur darah sebelum terapi inisial menunjukan hasil
postif adanya patogen sebesar 5 – 14% pada pasien CAP yang dirawat di
rumah sakit. Hasil positif pada kultur darah dapat dipengaruhi dengan
adanya pemberian antibiotik sebelumnya. Oleh sebab itu sampling darah
untuk proses pemeriksaan kultur sebaiknya dilakukan sebelum pemberian
terapi antibiotik. Namun, jika terdapat beberapa faktor risiko bakterimia,
kultur darah setelah inisiasi terapi antibiotik tetap positif hingga 15%
kasus.5
• Kultur Lain
13
4. Tes Antigen
Urinary-Antigen Test bermafaat untuk mendeteksi Streptococcus
pneumoniae dan Legionella pneumoniae. Studi pada orang dewasa
menunjukkan tes antigen untuk deteksi Streptococcus pneumoniae memiliki
sensitivitas 50 – 80% dan spesifisitas >90%, bahkan hasil positifnya sebesar
83% dari beberapa kasus setelah diterapi selama tiga hari. Sedangkan studi
mengenai tes antigen untuk deteksi Legonella pneumoniae menunjukkan
tingkat sensitivitasnya sebesar 70 – 90% dan spesifisitasnya hampir 99%. Tes
antigen untuk Legionella pneumonia positif pada hari pertama adanya
penyakit hingga beberapa minggu kemudian.5
Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap
pneumonia komuniti adalah:
Efusi Pleura + 10
Poin Total Risk Class Rekomendasi
< 51 I Rawat Jalan
51 – 70 II
71 – 90 III Rawat Inap
91 – 130 IV
> 130 V
2.9 Terapi
2.9.1 Penderita rawat jalan2
- Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
- Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
2.9.2 Penderita rawat inap di ruang rawat biasa 2
- Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
2.9.3 Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif2
- Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
- Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4
diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan.
2.10 Prognosis
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : AMS
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Hindu
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : Sarjana/S1
Alamat : Jl Kembang Matahari
No RM : 19006505
Tanggal MRS : 11-02-2019 18.17 WITA
Tanggal Pemeriksaan : 13-02-2019 10.30 WITA
II. Anamnesis
Keluhan Utama : batuk
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah Denpasar pada hari Senin, 11
Februari 2019 dengan keluhan batuk. Keluhan batuk dirasakan sudah sejak
3 hari SMRS. Pasien mengatakan saat batuk mengeluarkan dahak. Dahak
dikatakan agak lengket, sulit keluar dan berwarna putih. Pasien merasa
bahwa batuk yang dideritanya cukup mengganggu aktivitas pasien. Batuk
dikatakan membaik saat pasien minum ambroxol, namun muncul kembali.
Pasien menyangkal adanya batuk berdarah.
Pasien juga mengeluhkan sesak. Sesak dirasakan sejak 3 hari SMRS
bersamaan dengan batuknya. Sesak dirasakan terutama pada saat batuk dan
sampai menganggu aktivitas sehari-hari. Sesak tidak membaik dengan
perubahan posisi. Sesak tidak memberat dengan aktivitas. Tidur pasien
terganggu dan penambahan bantal tidak mengurangi keluhan sesak pasien.
Pasien tidak mengeluhkan keringat pada malam hari. Pasien tidak
mengeluhkan adanya penurunan berat badan.
22
Riwayat Sosial:
Pasien merupakan pegawai swasta di sebuah percetakan fotocopy di
rumahnya sendiri. Di lingkungan kerja pasien tidak ada yang memiliki
riwayat infeksi saluran nafas. Namun kurangnya aliran udara dan ventilasi
dikarenakan barang – barang percetakan dan mesin percetakan berada dalam
satu rumah dengan pasien membuat udara sekitar rumah pasien menjadi
pengap dan kurang udara. Pasien tidak merokok namun suami pasien
merokok dan sering merokok di depan pasien.
23
Pemeriksaan Umum
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-/-),
reflex pupil (+/+) isokor 3mm/3mm
Leher : JVP + 0 cm H2O, pembesaran kelenjar getah bening
(-)
THT
Telinga : Daun telinga N/N, sekret (-/-), pendengaran
normal
Hidung : Sekret (-/-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1 hiperemis (-/-), faring hiperemis (-)
Lidah : Lidah berselaput (-), ulkus (-), papil lidah atrofi (-)
Bibir : Sianosis (-)
Thoraks : Simetris saat statis dan dinamis
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V mid clavicular line
sinistra, kuat angkat (-), thrill (-)
24
2. Kimia Darah
11 February 2019
- Pemeriksaan Radiologi
1.Foto Thorax AP (11 Februari 2019)
V. Diagnosis
Diagnosis Kerja
1. Community Acquired Pneumonia (CAP) CURB 65 skor 1
Planning Diagnostik
- Kultur Sputum / gram ST
VII. Monitoring
- Vital Sign
- Keluhan
- Cek DL tiap 3 hari pemberian antibiotik
VIII. KIE
- Memberitahukan keluarga dan pasien tentang kondisi pasien, tindakan,
rencana terapi, komplikasi yang dapat terjadi.
- Mengedukasi pasien dan keluarga pasien dalam kepatuhan minum
obat, serta perlunya dukungan dari keluarga untuk membantu
kesembuhan pasien.
IX. Prognosis
Advitam : dubius ad bonam
Adfunctionam : dubius ad bonam
Adsanationam : dubius ad bonam
29
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan teori pada pemeriksaan fisik CAP, dapat ditemukan gejala khas berupa
demam, takipneu, takikardi dan penemuan fisik paru berupa ronchi, vocal fremitus
meningkat, suara perkusi redup. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien
ini, ditemukan adanya demam 37,6 oC, takipneu 22x/menit, vocal fremitus
meningkat, perkusi hiposonor dan suara ronchi pada kedua paru. Temuan klinis ini
mendukung diagnosis CAP walupun tidak adanya takikardi.
kasus ini pada pemeriksaan radiologis AP tampak infiltrate pada paracardial kanan
kiri yang menunjukan kesan Penumonia. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan adanya leukositosis 17.160/µL. Pasien ini dilakukan pemeriksaan kultur
sputum dengan hasil tidak ada biakan. Hasil ini dapat dipengaruhi oleh pengambilan
dahak yang dilakukan setelah pemberian antibiotik.
BAB V
SIMPULAN
Dalam kasus penegakan CAP didasarkan dari anamnesis berupa demam yang
disertai keluhan batuk dan sesak. Diagnosis ditunjang dari foto thorax adanya hasil
inflitrat pada kedua paru yang memberi kesan pneumonia dan leukositosis pada
pemeriskaan darah lengkap sehingga dapat ditegakkan diagnosis berupa CAP.
Penatalaksanaan yang diberikan yaitu IVFD NaCl, Paracetamol, N-acytylsistein dan
antibiotic berupa Levofloksasin i.v.
32
DAFTAR PUSTAKA