Anda di halaman 1dari 36

RESPONSI KASUS

COMMUNITY-ACQUIRED PNEUMONIA

Oleh:
Rataya Paramitha Maliawan 1702612112
Sayu Made Ardhia Pramayanti Putri 1702612115

Pembimbing
dr. Made Bagiada, Sp.PD-KP

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP SANGLAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Pengalaman Belajar Lapangan yang
berjudul “Community-Acquired Pneumonia”. Penulisan tugas ini merupakan salah
satu prasyarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.
Dalam penyusunan tugas ini, banyak pihak yang telah membantu dari awal
hingga akhir, baik moral maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1) dr. Made Bagiada, Sp.PD-KP , selaku pembimbing laporan ini, atas
bimbingan, saran dan masukan selama penyusunannya.
2) Dokter-dokter residen yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas bimbingan dan
saran-sarannya.
3) Rekan-rekan dokter muda yang bertugas di Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, atas bantuannya
dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka dan laporan kasus ini masih jauh
dari sempurna, untuk itu saran dan kritik membangun, sangat penulis harapkan
demi perbaikan tugas serupa di waktu berikutnya. Semoga tugas ini juga dapat
memberi manfaat bagi pihak yang berkepentingan.

Denpasar, Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 4
2.1 Definisi ................................................................................. 4
2.2 Etiologi .................................................................................. 4
2.3 Faktor resiko ............................................................................ 4
2.4 Etiologi .................................................................................. 8
2.5 Patogenesis ............................................................................... 12
2.6 Manifestasi Klinis……. ........................................................ 15
2.7 Diagnosis……………….. ...................................................... 16
2.8 Penilaian derajat keparahan ................................................... 17
2.9 Komplikasi…………............................................................. 18
2.10 Prognosis............................................................................... 19
BAB III LAPORAN KASUS ................................................................. 21
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................... 28
BAB V SIMPULAN................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

Pneumonia merupakan peradangan yang mengenai parenkim paru, distal


dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli,
yang dapat menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan pertukaran gas setempat. 1
Berbagai macam mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, maupun parasite
merupakan penyebeb dari pneumonia itu sendiri. 2
Indonesia masih merupakan negara yang memiliki masalah dalam penyakit
pneumonia itu sendiri. Sebuah studi menyebutkan rata-rata kasus pneumonia dalam
setahun adalah 12 kasus setiap 1000 orang.1 Di Indonesia berdasarkan data
RISKESDAS tahun 2016 disebutkan bahwa insidens dan prevelens pneumonia
sebesar 1,8 persen dan 4,5 persen. Pneumonia itu sendiri dapat menyerang berbagai
kalangan kelompok umur, akan tetapi angka kematian lebih tinggi pada kelompok
usia lebih dari 60 tahun dibandingkan usia 50 tahun yaitu 2-4 kali lebih tinggi.1
Pneumonia komunitas atau Community-Acquired Pneumonia (CAP) merupakan
pneumonia yang didapat di masyarakat. CAP terjadi pada individu yang menjadi
sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit. 1,2 Mortalitas
pada penderita CAP yang membutuhkan perawatan rumah sakit diperkirakan
sekitar 7 - 14%, dan meningkat pada populasi tertentu seperti pada penderita CAP
dengan bakterimia, dan penderita yang memerlukan perawatan di intensive care
unit (ICU).5,6
Etiologi CAP bervariasi menurut tingkat keparahan penyakitnya meskipun
sebagian besar kasus CAP etiologinya adalah kuman atau bakteri. Seringkali sulit
untuk menentukan penyebab pasti CAP pada pasien karena tindakan invasif
pengambilan spesimen dari jaringan paru-paru jarang dilakukan, sementara
spesimen yang diperoleh dari saluran nafas atas atau dahak umumnya tidak secara
akurat mencerminkan penyebab infeksi saluran nafas bawah.8 Beberapa studi di
negara barat mengidentifikasi Streptococcus pneumoniae sebagai etiologi
terbanyak CAP. Pada sekitar 30 - 40% kasus, patogen etiologinya tidak dapat
diketahui.5,9
Antimikroba atau antibiotika sebaiknya diberikan sesuai dengan pathogen
etiologi yang teridentifikasi dari pemeriksaan mikrobiologi (pathogen-directed
2

therapy). Beberapa evidence-based guidelines mengenai pemilihan terapi empirik


untuk manajemen CAP yang saat ini digunakan secara luas adalah pedoman dari
American Thoracic Society (ATS) atau Infectious Diseases Society of America
(IDSA).5
Dari besarnya permasalahan CAP di Indonesia, penulis tertarik untuk
mengangkat topik Community Acquired Pneumonia dalam upaya ketepatan
penegakan diagnosis hingga pemberian terapi yang adekuat sehingga dapat
dilakukukan pencegahan dari komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh CAP.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Community-Acquired Pneumonia


Pneumonia merupakan peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta
menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan pertukaran gas setempat. Pneumonia
dikelompokkan menjadi:1
1. Pneumonia didapat di masyarakat atau Community Acquired Pneumonia
(CAP): Pneumonia pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau
dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit.
2. Pneumonia di dapat di rumah sakit atau Hospital-Acquired Pneumonia
(HAP),
3. Pneumonia terkait pelayanan kesehatan atau Health Care Associated
Pneumonia (HCAP),
4. Pneumonia karena pemakaian ventilator atau Ventilator-associated
Pneumonia (VAP).
Definisi Community Acquired Pneumonia menurut British Thoracic Society
(BTS) yaitu dimana timbulnya gejala infeksi saluran napas bawah seperti: batuk
ditambah minimal satu gejala infeksi saluran napas bawah lain; perubahan hasil
pemeriksaan fisik paru; paling kurang satu dari tanda sistemik (berkeringat, demam,
menggigil, dan atau suhu ≥380C); respons setelah pemberian antibiotik.1

2.2 Epidemiologi
Epidemiologi pneumonia dapat terjadi di semua negara tetapi data untuk
membandingkan hal itu sangat sedikit terutama di negara berkembang. Di Amerika
Serikat pneumonia menjadi penyebab kematian utama diantara penyakit infeksi,
tiap tahun terdapat 5-6 juta kasus CAP dengan 1,1 juta pasien yang dirawat dan 45
ribu pasien mengalami kematian akibat pneumonia. Di Indonesia berdasarkan data
RISKESDAS tahun 2013 disebutkan bahwa insidens dan prevelens pneumonia
sebesar 1,8 persen dan 4,5 persen. Pneumonia dapat menyerang semua kelompok
umur, akan tetapi angka kematian lebih tinggi pada kelompok usia lebih dari 60
tahun dibandingkan usia 50 tahun yaitu 2-4 kali lebih tinggi. Sedangkan pada balita
4

pneumonia merupakan penyebab kematian utama balita di dunia, diperkirakan


mencapai 2 juta kematian balita akibat pneumonia dari 9 juta kematian pada balita.
Oleh karena tingginya angka kematian akibat pneumonia akan tetapi sering tidak
disadari maka pneumonia mendapat julukan “the forgotten pandemic”.1

2.3 Faktor Risiko


Faktor resiko terjadinya CAP adalah sebagai berikut :
2.3.1 Usia
Setiap tahun di atas usia 65 tahun meningkat resiko terjadinya CAP. Rata–rata
terjadinya CAP pada usia lanjut diperkirakan 25 - 44 orang tiap 1000 penduduk,
lebih tinggi dibandingkan angka kejadian pada populasi umum yaitu 4,7 – 11,6 tiap
1000 orang. Frekuensi perawatan rumah sakit akibat CAP berat juga meningkat
nyata sesuai dengan usia. Resiko terjadinya infeksi dengan Drug Resistant
Streptococcus Pneumoniae (DRSP) juga meningkat pada usia <2 tahun atau > 65
tahun.10
2.3.2 Alkoholisme
Efek samping alkohol berpengaruh pada beberapa system pertahanan dalam saluran
pernafasan. Alkohol menyebabkan kolonisasi bakteri gram negatif pada orofaring,
mengganggu refleks batuk, merubah gerak menelan, dan transport mukosiliar.
Alkohol juga mengganggu fungsi limfosit, neutrofil, monosit, dan makrofag
alveolar. Faktor-faktor tersebut menyebabkan penurunan bersihan bakteri dari jalan
nafas pasien. Legionella pneumophila lebih sering terjadi pada pemabuk berat.11

2.3.3 Nutrisi
Kerentanan terhadap infeksi meningkat dengan adanya fenomena akibat malnutrisi
seperti penurunan kadar sekresi IgA, suatu kegagalan pengerahan makrofag, dan
perubahan pada imunitas seluler. Sehingga frekuensi kolonisasi saluran nafas oleh
bakteri gram negatif meningkat pada pasien dengan malnutrisi, dan kejadian
pneumonia berat meningkat.11
2.3.4 Merokok
Merokok mempengaruhi transport mukosilier, pertahanan humoral dan seluler, dan
fungsi sel epitel dan meningkatkan perlekatan Streptococcus pneumoniae dan
5

Haemophylus influenzae kepada epitel orofaring. Lebih dari itu merokok


merupakan predisposisi terjadinya infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus
pneumoniae, Haemophylus influenzae, dan Legionella pneumophilla.11
2.3.5 Penyakit Komorbid
Insidensi CAP meningkat pada orang dengan penyakit komorbid. Penyakit-
penyakit tersebut diantaranya Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD),
diabetes mellitus, insufisiensi renal, Congestive Heart Failure (CHF), penyakit
jantung koroner, keganasan, penyakit neurologic kronik, penyakit hati kronik. Pada
penyakit kardiopulmoner beresiko terjadinya infeksi oleh bakteri gram negatif.
Pseudomonas aeruginosa berisiko terjadi pada penyakit-penyakit paru strukutral
seperti bronkiektasis.12
Selain itu, infeksi sekunder, status imunologi, pemberian antibiotik sebelumnya,
dan riwayat perawatan RS sebelumnya juga merupakan faktor resiko terjadinya
CAP.11

2.4 Etiologi
Etiologi CAP bervariasi menurut tingkat keparahan penyakitnya, meliputi bakteria,
fungi, virus, protozoa, dan lain-lain. Namun sebagian besar kasus CAP etiologinya
adalah kuman atau bakteri patogen. Beberapa studi di negara barat mengidentifikasi
Streptococcus pneumoniae sebagai patogen etiologi yang paling sering
teridentifikasi. Patogen etiologi lain yang juga banyak teridentifikasi adalah
Mycoplasma pneumoniae, Haemophylus influenzae, agen viral, dan lain-lain.13
Kebanyakan patogen penyebab CAP baik pada usia lanjut maupun dewasa muda
adalah sama, yaitu Streptococcus pneumoniae. Infeksi oleh Mycoplasma
pneumoniae dan Legionella jarang pada usia lanjut. Pada suatu studi, infeksi
Mycoplasma pneumoniae dan patogen atipikal lainnya lebih sering ditemukan pada
penderita usia <60 tahun. Pada usia lanjut, bakteri enterik gram negative juga sudah
jarang ditemukan, sedangkan Haemophylus influenzae menjadi lebih sering
teridentifikasi.13
6

Tabel 2.1 Etiologi yang sering ditemukan pada CAP5


Tipe perawatan Etiologi
Rawat jalan Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Haemophylus influenzae
Chlamydia pneumoniae
Respiratory viruses
Rawat inap (non ICU) Streptococcus pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Haemophylus influenzae
Chlamydia pneumoniae
Legionella sp.
Aspirasi
Respiratory viruses

Rawat inap (ICU) Streptococcus pneumoniae


Staphylococcus aureus
Haemophylus influenzae
Legionella sp.
Bakteri gram negatif

Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa penyebab


terbanyak CAP di ruang rawat inap dari bahan sputum adalah kuman gram negatif
seperti Klebsiella pneumonia, Acitenobacter baumanii, Pseudomonas aeruginosa
sedangkan kuman gram positif seperti S.pneumoniae, S.viridans, S.aureus
ditemukan dalam jumlah sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa dalam 10 tahun
terakhir terjadi perubahan pola kuman penyebab CAP di Indonesia sehingga hal ini
perlu penelitian lebih lanjut.1
Data Survelans sentinel SARI (Severe Acute Respiratory Infection) 2010 yang
dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI mendapatkan
hasil dari biakan sputum pasien CAP yaitu K.pneumoniae (29%), A.baumanii
(27%), S.aureus (16%), S.pneumoniae( ), A.calcoaticus (8%), P.aeruginosa (6%)
dan E.coli (2%). Pada penyakit paru kronik seperti bronkiektasis, fibrosis kistik dan
PPOK biasanya bila terdapat infeksi biasanya berhubungan dengan kuman gram
negatif seperti P.aeruginosa.1
7

2.5 Patogenesis
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan : 2
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia
mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran
napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis
mikroorganisme yang sama.1,14
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan
dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi
8

bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan
bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu :1
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel
darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif
dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang
mati, leukosit dan alveolar makrofag. Red hepatization ialah daerah perifer
yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray hepatization' ialah konsolidasi
yang luas.

2.6 Manifestasi Klinis


Beberapa gejala dan tanda klinik yang pada umumnya ditemukan pada
pasien CAP :
Tabel 2.2. Gejala dan tanda yang biasa terdapat pada pasien dengan CAP 14
Gejala Tanda

Batuk – 90% Demam – 80%


Dyspneu – 66% Takipneu – 70%
Sputum – 66% Takikardi – 50%
Nyeri pleuritik – 50% Penemuan fisik paru (dari ronchi –
suara bronchial) – 90%

Tanda dan gejala pada pneumonia bervariasi sesuai etiologinya. Beberapa


sindrom pneumonia :14
1. Sindrom pneumonia tipikal
Pneumonia ini disebabkan oleh bakteri tipikal seperti Streptococcus pneumoniae,
Haemophylus influenzae, dan Pseudomonas aeruginosa. Gambaran kliniknya
adalah keluhan maupun tanda kliniknya timbul mendadak. Keluhannya antara lain
: malaise, demam tinggi, dan symptom pulmonal yang mencolok (sesak nafas, rasa
tidak enak di dada, nyeri pleuritik, batuk produktif dengan sputum berdarah atau
purulen). Tanda klinik : demam tinggi, takipneu, takikardi, sianosis, dan kesadaran
menurun (bila berat). Kelainan fisik paru : terjadi konsolidasi paru (tergantung
bagian paru mana yang terkena), stem fremitus mengeras, perkusi pekak, ronki
9

basah (tergantung stadiumnya), suara nafas vesikuler diperkeras atau bronkial, dan
lain-lain.14

2. Sindrom pneumonia atipikal


Pneumonia yang disebabkan oleh organisme atipikal meliputi Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, Rickettsia, Legionella sp, dan juga berbagai
virus respirasi lain seperti virus influenza, adenovirus, dan respiratory synctial
viruses (RSV). Keluhan dan tanda kliniknya timbul perlahan. Keluhannya demam
serta batuk non-produktif. Tampak ada konstitusional yang mencolok : sakit kepala,
malaise mialgia. Kelainan fisik tanda adanya infiltrat paru berupa ronki basah (halus
sampai sedang), sedangkan tanda fisik lain jarang.14

Tabel 2.3 Gambaran Perbedaan Gejala Klinis Pneumonia Atipikal dan Tipikal2
Tanda dan Gejala Penumonia Atipikal Pneumonia Tipikal
Onset Gradual Akut
Suhu Kurang tinggi Tinggi, menggigil
Batuk Non produktif Produktif
Dahak Mukoid Purulen
Gejala lain Nyeri kepala, mialgia, Jarang
sakit tenggorokan, suara
parau, nyeri telinga
Gejala di luar paru Sering Lebih jarang
Pewarnaan gram Flora normal atau Kokus gram (+) atau (-)
spesifik
Radiologis “Patchy” atau normal Konsolidasi lobar
Laboratorium Leukosit normal kadang Lebih tinggi
rendah
Gangguan fungsi hati Sering Jarang

2.7 Diagnosis
2.7.1 Gambaran Klinis
Dari anamnesis didapatkan demam, fatique, malaise, sakit kepala, myalgia,
arthralgia, batuk produktif/tidak produktif dengan sputum purulent, bisa disertai
darah. Dapat dijumpai keluhan sesak napas, nyeri dada.1
10

Dari pemeriksaan fisik ditemukan demam, sesak napas (berbicara dengan


kalimat terpenggal). Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di
paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada
palpasi fremitus dapat meningkat, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar
suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah
halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. 1
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia
komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat
progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :1
• Batuk-batuk bertambah
• Perubahan karakteristik dahak / purulen
• Suhu tubuh > 380 C (aksila) / riwayat demam
• Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial
dan ronki
• Leukosit > 10.000 atau < 4500

2.7.2 Pemeriksaan Penunjang


1. Gambaran Radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Tetapi gambaran infiltrat paru tersebut
tidak selalu terlihat pada pemeriksaan radiologis pertama kali pada penderita
CAP. Pada kasus ini seharusnya dilakukan pengulangan pemeriksaan
radiologis setelah 24 sampai 48 jam bila gejala khas dengan hasil negatif. 15
Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia,
hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran
pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae,
Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau
gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering
menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat
mengenai beberapa lobus.1
11

Efusi pleura dapat muncul pada pemeriksaan radiologis dada. Efusi


pleura tersebut sangat peting untuk membedakan empiema dengan simple
parapneumonic effusion dengan pemeriksaan cairan efusi pleura.
Pneumonia pneumokokus adalah infeksi yang paling sering menimbulkan
terjadinya efusi pleura (pada 36 - 57% penderita ). Sedangkan kuman lain
yang dapat menyebabkan efusi pleura termasuk Haemophylus influenzae,
Mycoplasma pneumoniae, Legionella sp, dan Mycobacterium
tuberculosis.15

2. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada
hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan
LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak,
kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita
yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.1

3. Identifikasi Mikrobiologis
Identifikasi dengan pemeriksaan mikrobiologis tidak rutin dilakukan,
biasanya hanya dilakukan pada pasien CAP dengan derjat sedang sampai
berat.13 Organisme penyebab pneumonia dapat diidentifikasi dari
pemeriksaan kultur darah, sputum, cairan pleura, jaringan paru, atau sekresi
endobronkial melalui sikatan bronkial atau lavage. Metode lain untuk
menentukan etiologi pneumonia meliputi deteksi respon IgM atau
peningkatan empat kali titer antibodi terhadap antigen mikroorganisme dan
deteksi antigen di urin, serum, atau cairan pleura. Dalam beberapa hal,
amplifikasi dari DNA atau RNA dari patogen respirasi diperiksa dengan
pemeriksaan swab nasofaring.4,5
• Kultur dan Pengecatan Gram pada Sputum
Hasil kultur bakteri dari spesimen sputum bervariasi dan sangat
dipengaruhi kualitas dari sputum itu sendiri mulai dari proses
pengambilan spesimen, transport, proses pemeriksaan segera,
12

penggunaan antibiotik sebelumnya, serta kemampuan dalam interpretasi.


Spesimen yang diambil melalui aspirasi endotrakeal, aspirasi
transtorakal, Bronko-Alveolar Lavage (BAL) memiliki hasil kultur yang
lebih tinggi daripada dahak (dibatukan). Untuk penderita rawat inap pada
kasus berat dianjurkan pemeriksaan rutin kultur dahak sebelum
pemberian antibiotik.1 Beberapa studi menyebutkan bahwa adanya
kuman, misalnya Streptococcus pneumoniae, hanya ditemukan pada 40
– 50% pemeriksaan kultur sputum pada pasien dengan pneumonia
pneumokokus. Pada pasien yang belum menerima antibiotik selama lebih
dari 24 jam, pengecatan gram menunjukkan kuman Streptococcus
pneumoniae sebanyak 63% dari spesimen sputumnya, dan kultur
menunjukkan positif sebanyak 86%. Sedangkan pada pasien yang sama
sekali belum menerima antibiotik, pengecatan gram menunjukkan
kuman Streptococcus pneumoniae dalam 80% kasus, dan kultur sputum
positif sebanyak 93%.5

• Kultur Darah
Menurut ATS/IDSA, bakteri yang paling sering ditemukan pada kultur
darah adalah Streptococcus pneumoniae. Kultur darah direkomendasikan
untuk semua pasien dengan CAP berat dan mengalami bakteremia.
Pasien dengan CAP berat cenderung mangalami infeksi oleh patogen
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Pseudomonas
aeruginosa, dan kuman garam negatif. Beberapa studi menyebutkan
bahwa pemeriksaan kultur darah sebelum terapi inisial menunjukan hasil
postif adanya patogen sebesar 5 – 14% pada pasien CAP yang dirawat di
rumah sakit. Hasil positif pada kultur darah dapat dipengaruhi dengan
adanya pemberian antibiotik sebelumnya. Oleh sebab itu sampling darah
untuk proses pemeriksaan kultur sebaiknya dilakukan sebelum pemberian
terapi antibiotik. Namun, jika terdapat beberapa faktor risiko bakterimia,
kultur darah setelah inisiasi terapi antibiotik tetap positif hingga 15%
kasus.5

• Kultur Lain
13

Pasien yang pada pemeriksaan radiografi thoraks didapatkan efusi pleura


di lateral dengan tinggi vertikal lebih dari 5cm sebaiknya dilakukan
thoracosentesis untuk mendapatkan material pengecatan gram dan kultur
pada kuman aerob dan anaerob. Hasil kultur cairan pleura biasanya
kurang akurat, tetapi penting untuk pemilihan terapi antibiotik dan
keperluan drainase.5 Sebanyak 87% hasil kultur dari Nonbronchoscopic-
Bronkoalveolar Lavage (BAL) positif terdapat patogen, meskipun pasien
sudah menerima terapi antibiotik sebelumnya. Sedangkan aspirasi trakea
sangat jarang dilakukan walaupun memiliki akurasi yang tinggi juga.
Selain itu ada juga spesimen yang diambil dengan aspirasi transtorakal
dan sikat bronkus yang kegunaannya belum diteliti lebih lanjut untuk
manajemen CAP. Indikasi terbaik dilakukannya pemeriksaan tersebut
adalah pasien CAP dengan imunokompromis atau pasien CAP yang
terapinya gagal.5

4. Tes Antigen
Urinary-Antigen Test bermafaat untuk mendeteksi Streptococcus
pneumoniae dan Legionella pneumoniae. Studi pada orang dewasa
menunjukkan tes antigen untuk deteksi Streptococcus pneumoniae memiliki
sensitivitas 50 – 80% dan spesifisitas >90%, bahkan hasil positifnya sebesar
83% dari beberapa kasus setelah diterapi selama tiga hari. Sedangkan studi
mengenai tes antigen untuk deteksi Legonella pneumoniae menunjukkan
tingkat sensitivitasnya sebesar 70 – 90% dan spesifisitasnya hampir 99%. Tes
antigen untuk Legionella pneumonia positif pada hari pertama adanya
penyakit hingga beberapa minggu kemudian.5

5. Tes Serologi Fase Akut


Standar untuk mendiagnosis infeksi oleh patogen atipikal seperti Chlamydia
pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, dan Legionella sp. Dapat
mengandalkan tes serologis fase akut dan fase konvalesen. Tetapi banyak studi
yang menggunakan tes serologi mikroimmunofluoresen menunjukkan
ketidakefektifan.5
14

6. Polymerase Chain Reaction (PCR)


Pemeriksaan ini meningkat penggunaannya khususnya untuk deteksi patogen
atipikal. Tetapi banyak pemeriksaan PCR yang tidak adekuat karena hasilnya
sering negatif palsu pada tahap awal infeksi.5

2.8 Penilaian Derajat Keparahan


Penilaian derajat keparahan penyakit CAP dapat dilakukan dengan menggunakan
kriteria sistem skor seperti Pneumonia Severity Index, CURB-65, dan lain-lain
2.8.1 CURB -652
Sistem skoring CURB-65 menggunakan pengukuran sederhana berdasarkan
5 gambaran klinik meliputi: konfusio, konsentrasi urea, laju pernafasan, tekanan
darah, dan usia. Skor dua atau lebih (derajat sedang sampai tinggi) merupakan
indikasi dilakukan perawatan di rumah sakit.
2.8.2 American Thoracic Society2
Menurut ATS kriteria pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di ICU
bila dijumpai minimal 1 kriteria mayor dan setidaknya 3 kriteria minor. 4

Tabel 2.4. Kriteria CAP berat4


Kriteria Minor Kriteria Mayor
Frekuensi nafas >30kali/menit Gagal nafas akut yang
membutuhkan intubasi atau
ventilasi mekanik
Rasio PaO2/FiO2 < 250 Syok sepsis yang
membutuhkan vasopressor
Infiltrat Multilobus
Confusio/Disorientasi
Uremia (BUN level > 20 mg/dl)
Leukopenia (Leukosit < 4000 sel/mm2)
Trombositopeni (Trombosit < 1000.000/mm2)
Hipotermi (suhu tubuh < 360C)
Hipotensi dan membutuhkan resusitasi

2.8.3 Pneumonia Severity Index2


15

Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap
pneumonia komuniti adalah:

1. Skor PORT lebih dari 70


2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
Frekuensi napas > 30/menit
Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

Tabel 2.5 Tabel PORT

Karakteristik Penderita Jumlah Poin


Faktor demografi
Usia: laki-laki Umum (tahun)
Perempuan Umur (tahun) – 10
Perawatan di rumah + 10
Penyakit penyerta
Keganasan + 30
Penyakit hati + 20
Gagal jantung kongestif + 10
Penyakit serebrovaskular + 10
Penyakit ginjal + 10
Pemeriksaan fisis
Perubahan status mental + 20
Pernapasan >30 kali/menit + 20
Tekanan darah sistolik < 90 mmHg + 20
Suhu tubuh < 350C atau > 40 0C + 15
Nadi > 125 kali/menit + 10
Hasil laboratorium/radiologi
Analisis gas darah arteri pH 7,35 + 30
BUN > 30 mg/dL + 20
16

Natrium < 130 mEq/liter + 20


Glukosa > 250mg/dL + 10
Hematokrit < 30% + 10
PO2 ≤ 60 mHg + 10

Efusi Pleura + 10
Poin Total Risk Class Rekomendasi
< 51 I Rawat Jalan
51 – 70 II
71 – 90 III Rawat Inap
91 – 130 IV
> 130 V

2.9 Terapi
2.9.1 Penderita rawat jalan2
- Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
- Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
2.9.2 Penderita rawat inap di ruang rawat biasa 2
- Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
2.9.3 Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif2
- Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
- Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik

Tabel 2.6 Tabel Antibiotik


Rawat Jalan Tanpa faktor modifikasi
Golongan β lactam atau β lactam + anti β
lactamase
17

Dengan faktor modifikasi


Golongan β lactam + anti β lactamase atau
Fluorokuinolon respirasi (levofloksasin,
moksifloksasin, gatifloksasin)
Bila dicurigai pneumonia atipik: makrolid
baru (roksitromisin, klaritromisin, azitromisin)
Rawat Inap Tanpa faktor modifikasi
Golongan β lactam + anti β lactamase IV atau
Sefalosporin G2, G3 IV atau Flurokuinolon
respirasi IV
Dengan faktor modifikasi
Sefalosporin G2, G3 IV atau Fluorokuinolon
respirasi IV
Bila dicurigai pneumonia atipik: ditambah
makrolid baru
Ruang rawat intensif Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas:
Sefalosporin G3 IV non pseudomonas +
makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi IV
Ada faktor risiko infeksi pseudomonas:
Sefalosporin anti pseudomonas IV atau
karbapenem IV ditambah fluorokuinolon anti
pseudomonas (siprofloksasin) IV atau
aminoglikosida IV
Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik:
sefalosporin anti aminoglikosida IV + makrolid
baru atau fluorokuinolon respirasi IV

Terapi Sulih (switch therapy) 2

Masa perawatan di rumah sakit sebaiknya dipersingkat dengan perubahan obat


suntik ke oral dilanjutkan dengan berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya
perawatan dan mencegah infeksi nosokomial. Perubahan obat suntik ke oral harus
memperhatikan ketersediaan antibiotik yang diberikan secara iv dan antibiotik oral
yang efektivitinya mampu mengimbangi efektiviti antibiotik iv yang telah
digunakan. Perubahan ini dapat diberikan secara sequential (obat sama, potensi
sama), switch over (obat berbeda, potensi sama) dan step down (obat sama atau
berbeda, potensi lebih rendah).

- Contoh terapi sekuensial: levofioksasin, moksifloksasin, gatifloksasin


- Contoh switch over : seftasidin iv ke siprofloksasin oral
- Contoh step down amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral.
18

Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari, kemudian pada hari ke 4
diganti obat oral dan penderita dapat berobat jalan.

Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia komuniti :

- Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi


- Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
- Penderita sudah tidak panas ± 8 jam
- Gejala klinik membaik (mis : frekuensi pernapasan, batuk)
- Leukosit menuju normal/normal
2.9 Komplikasi

Kadang-kadang pneumonia berperan penting dalam penambahan masalah medis


yang disebut komplikasi. Komplikasi yang paling sering disebabkan oleh
pneumonia karena bakteri daripada pneumonia karena virus.Komplikasi yang
penting meliputi:

a) Gagal nafas dan sirkulasi


Efek pneumonia terhadap paru-paru pada orang yang menderita pneumonia
sering kesulitan bernafas, dan itu tidak mungkin bagi mereka untuk tetap
cukup bernafas tanpa bantuan agar tetap hidup. Bantuan pernapasan non-
invasiv yang dapat membantu seperti mesin untuk jalan nafas dengan bilevel
tekanan positif, dalam kasus lain pemasangan endotracheal tube kalau perlu
dan ventilator dapat digunakan untuk membantu pernafasan. Pneumonia
dapat menyebabkan gagal nafas oleh pencetus akut respiratory distress
syndrome (ARDS). Hasil dari gabungan infeksi dan respon inflamasi dalam
paru-paru segera diisi cairan dan menjadi sangat kental, kekentalan ini
menyatu dengan keras menyebabkan kesulitan penyaringan udara untuk
cairan alveoli, harus membuat ventilasi mekanik yang dibutuhkan.
b) Syok sepsis
Syok sepsis dan septik merupakan komplikasi potensial dari pneumonia.
Sepsis terjadi karena mikroorganisme masuk ke aliran darah dan respon
sistem imun melalui sekresi sitokin. Sepsis seringkali terjadi pada
pneumonia karena bakteri; streptoccocus pneumonia merupakan salah satu
penyebabnya. Individu dengan sepsis atau septik membutuhkan unit
19

perawatan intensif di rumah sakit. Mereka membutuhkan cairan infus dan


obat-obatan untuk membantu mempertahankan tekanan darah agar tidak
turun sampai rendah. Sepsis dapat menyebabkan kerusakan hati, ginjal, dan
jantung diantara masalah lain dan sering menyebabkan kematian.
c) Efusi pleura, empyema dan abses
Ada kalanya, infeksi mikroorganisme pada paru-paru akan menyebabkan
bertambahnya (effusi pleura) cairan dalam ruang yang mengelilingi paru
(rongga pleura). Jika mikroorganisme itu sendiri ada di rongga pleura,
kumpulan cairan ini disebut empyema. Bila cairan pleura ada pada orang
dengan pneumonia, cairan ini sering diambil dengan jarum (toracentesis)
dan diperiksa, tergantung dari hasil pemeriksaan ini. Perlu pengaliran
lengkap dari cairan ini, sering memerlukan selang pada dada. Pada kasus
empyema berat perlu tindakan pembedahan. Jika cairan tidak dapat
dikeluarkan, mungkin infeksi berlangsung lama, karena antibiotik tiak
menembus dengan baik ke dalam rongga pleura. Jarang, bakteri akan
menginfeksi bentuk kantong yang berisi cairan yang disebut abses. Abses
pada paru biasanya dapat dilihat dengan foto thorax dengan sinar x atau CT
scan. Abses-abses khas terjadi pada pneumonia aspirasi dan sering
mengandung beberapa tipe bakteri. Biasanya antibiotik cukup untuk
pengobatan abses pada paru, tetapi kadang abses harus dikeluarkan oleh ahli
bedah atau ahli radiologi.

2.10 Prognosis

Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita,


bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan
yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita
yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada
penderita rawat jalan, sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi
20%. Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian
pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan
kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas
V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita
20

pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko kelas. Di RS Persahabatan


pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998 adalah 13,8%, tahun 1999 adalah
21%, sedangkan di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 -35%.2

Di Amerika Serikat, 1 dari 20 orang dengan pneumonia pnemuccocal akan


meninggal dunia. Dalam beberapa kasus dimana pneumonia dapat berkembang
menjadi racun di darah (bakteremia), 1 dari 5 orang akan meninggal. Angka
kematian (mortalitas) tergantung juga penyebab utama dari pneumonia. Misalnya
pneumonia karena mycoplasma dihubungkan dengan sedikit kematian.
Bagaimanapun sebagian orang timbul methilcillin-resistant Staphyloccocus aureus
(MRSA) pneumonia Melalui ventilator akan meninggal.15

Pada daerah-daerah didunia tanpa kemajuan sistem perawatan kesehatan,


pneumonia merupakan ancaman kematian. Akses yang terbatas untuk klinik dan
rumah sakit, akses terbatas untuk sinar x, terbatasnya antibiotik pilihan dan ketidak
mampuan untuk perawatan kondisi utama yang tidak dapat dihindari menunjukan
tingginya angka kematian dari pneumonia.
21

BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : AMS
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Hindu
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : Sarjana/S1
Alamat : Jl Kembang Matahari
No RM : 19006505
Tanggal MRS : 11-02-2019 18.17 WITA
Tanggal Pemeriksaan : 13-02-2019 10.30 WITA

II. Anamnesis
Keluhan Utama : batuk
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke UGD RSUP Sanglah Denpasar pada hari Senin, 11
Februari 2019 dengan keluhan batuk. Keluhan batuk dirasakan sudah sejak
3 hari SMRS. Pasien mengatakan saat batuk mengeluarkan dahak. Dahak
dikatakan agak lengket, sulit keluar dan berwarna putih. Pasien merasa
bahwa batuk yang dideritanya cukup mengganggu aktivitas pasien. Batuk
dikatakan membaik saat pasien minum ambroxol, namun muncul kembali.
Pasien menyangkal adanya batuk berdarah.
Pasien juga mengeluhkan sesak. Sesak dirasakan sejak 3 hari SMRS
bersamaan dengan batuknya. Sesak dirasakan terutama pada saat batuk dan
sampai menganggu aktivitas sehari-hari. Sesak tidak membaik dengan
perubahan posisi. Sesak tidak memberat dengan aktivitas. Tidur pasien
terganggu dan penambahan bantal tidak mengurangi keluhan sesak pasien.
Pasien tidak mengeluhkan keringat pada malam hari. Pasien tidak
mengeluhkan adanya penurunan berat badan.
22

Selain sesak dan batuk, pasien juga mengeluhkan demam yang


dirasakan sejak ± 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasien
merasakan demam pada sore hari dan dirasakan menetap sepanjang hari.
Demam dirasakan pasien hingga menggigil namun. Pasien sempat
melakukan pengukuran suhu menggunakan termometer dan didapatkan
suhu 40,2ºC. Demam dikatakan sempat turun setelah mengonsumsi obat
penurun panas, namun dikatakan demam muncul kembali.
Pasien mengatakan semenjak sakit, nafsu makan dan minum menjadi
berkurang. Pasien mengatakan tidak dapat mengkonsumsi makanan
dan merasa mual dan muntah – muntah pada saat makan.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien tidak memilki riwayat penyakit paru seperti asthma dan TB
Paru. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit kronis seperti penyakit hati
ataupun penyakit keganasan. Pasien menyangkal memiliki penyakit sistemik
seperti hipertensi dan diabetes.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Adik pasien memiliki riwayat dirawat di RS karena infeksi pada
paru-parunya. Riwayat penyakit sistemik seperti diabetes mellitus,
hipertensi, penyakit jantung dan ginjal pada keluarga juga disangkal.

Riwayat Sosial:
Pasien merupakan pegawai swasta di sebuah percetakan fotocopy di
rumahnya sendiri. Di lingkungan kerja pasien tidak ada yang memiliki
riwayat infeksi saluran nafas. Namun kurangnya aliran udara dan ventilasi
dikarenakan barang – barang percetakan dan mesin percetakan berada dalam
satu rumah dengan pasien membuat udara sekitar rumah pasien menjadi
pengap dan kurang udara. Pasien tidak merokok namun suami pasien
merokok dan sering merokok di depan pasien.
23

III. Pemeriksaan Fisik


Tanda- tanda Vital
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran/GCS : E4V5M6
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 98 x/menit reguler
Laju Pernafasan : 22 x/menit
Suhu Aksila : 37,5oC
Skor Nyeri : 2/10
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 160 cm
BMI : 21.48 kg/m2
Status Gizi : Gizi baik

Pemeriksaan Umum
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-/-),
reflex pupil (+/+) isokor 3mm/3mm
Leher : JVP + 0 cm H2O, pembesaran kelenjar getah bening
(-)
THT
Telinga : Daun telinga N/N, sekret (-/-), pendengaran
normal
Hidung : Sekret (-/-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1 hiperemis (-/-), faring hiperemis (-)
Lidah : Lidah berselaput (-), ulkus (-), papil lidah atrofi (-)
Bibir : Sianosis (-)
Thoraks : Simetris saat statis dan dinamis
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V mid clavicular line
sinistra, kuat angkat (-), thrill (-)
24

Perkusi : Batas kanan jantung : parasternal line dekstra


Batas kiri jantung : midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus ↑/↑, pergerakan simetris

Perkusi : Sonor Sonor


Redup Redup
Sonor Sonor

Auskultasi : Vesikuler + + Rhonki - - Wheezing - -


+ + + + - -
+ + - - - -
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), scar (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar, lien, dan ginjal tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Liver span 10 cm, timpani (+)
Ekstremitas : Hangat + + Edema - -
+ + - -
IV. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah Lengkap
11 February 2019

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan


WBC 17.16 103/µL 4.1 – 11.0 Tinggi
- NE% 83.64 % 47 – 80 Tinggi
- LY% 10.79 % 13 – 40 Rendah
- MO% 4.40 % 2.0 – 11.0
- EO% 0.58 % 0.0 – 5.0
- BA% 0.60 % 0.0 – 2.0
25

- NE# 14.35 103/µL 2.50 – 7.50 Tinggi


- LY# 1.85 103/µL 1.00 – 4.00
- MO# 0.75 103/µL 0.10 – 1.20
- EO# 0.10 103/µL 0.00 – 0.50
- BA# 0.10 103/µL 0.0 – 0.1
RBC 4.64 106/µL 4.5 – 5.9

HGB 13.73 g/dL 12.0 – 16.0


HCT 42.55 % 36.0 – 46.0
MCV 91.69 fL 80,0 – 100,0
MCH 29.59 pg 26.00 – 34.00

MCHC 32.27 g/dL 31.00 – 36.00


RDW 12.26 % 11.6 – 14.8
PLT 315.30 103/µL 140 – 440

2. Kimia Darah
11 February 2019

Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan


AST/SGOT 22.8 U/L 11.00 – 27.00
ALT/SGPT 25.90 U/L 11.00 – 50.00
BUN 16.80 mg/dL 8.00 – 23.00
Kreatinin 0.37 mg/dL 0.70 – 1.20 rendah
Na 137 mmol/L 136 – 145
K 3.65 mmol/L 3.50 – 5.10
Asam Urat 4.0 mg/dL 2.00 – 5.70
Glukosa Darah
mg/dL 70 – 140
(Sewaktu) 94
Albumin 4.30 g/dL 3.40 – 4.80
PPT 13.2 Derik 10.8 – 14.4
INR 1.06 0.9 – 1.1
26
APTT 28.9 Detik 24 - 36
27

- Pemeriksaan Radiologi
1.Foto Thorax AP (11 Februari 2019)

Cor : Besar dan bentuk normal


Pulmo : Tampak infiltrate pada paracardial kanan kiri. Corakan
bronchovascular normal
Sinus pleura kanan kiri tajam
Diaphragma kanan kiri normal
Tulang-tulang : Tidak tampak kelainan
Kesan : Menyokong gambaran pneumonia
28

V. Diagnosis
Diagnosis Kerja
1. Community Acquired Pneumonia (CAP) CURB 65 skor 1

VI. Planning Terapi


- IVFD NaCl 0.9% 12 tpm
- O2 Nasal Kanul 2 lpm bila sesak
- Paracetamol 500 mg tiap 8 jam IO
- Levofloksasin 750 mg tiap 24 jam
- Nacytylsistein 200mg tiap 8 jam IO
- Nebulisasi combivent tiap 8 jam
- Omeprazole 40mg tiap 12 jam

Planning Diagnostik
- Kultur Sputum / gram ST

VII. Monitoring
- Vital Sign
- Keluhan
- Cek DL tiap 3 hari pemberian antibiotik

VIII. KIE
- Memberitahukan keluarga dan pasien tentang kondisi pasien, tindakan,
rencana terapi, komplikasi yang dapat terjadi.
- Mengedukasi pasien dan keluarga pasien dalam kepatuhan minum
obat, serta perlunya dukungan dari keluarga untuk membantu
kesembuhan pasien.

IX. Prognosis
Advitam : dubius ad bonam
Adfunctionam : dubius ad bonam
Adsanationam : dubius ad bonam
29

BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan teori, diagnosis Community-Acquired Pneumonia (CAP) didasarkan


pada gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis tersebut
meliputi Trias Pneumonia yang meliputi batuk, demam dan sesak. Gejala lain dapat
berupa malaise, rasa tidak enak di dada, nyeri pleuritik, batuk produktif dengan
sputum berdarah atau purulen. Berdasarkan anamnesis pada pasien ini, didapatkan
keluhan utama demam yang dirasakan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam dikatakan dirasakan oleh pasien menetap sepanjang hari. Demam juga
dikatakan meningkat sehingga pasien menggigil. Batuk juga dirasakan oleh pasien
4 hari SMRS. Batuk dikatakan produktif dengan dahak berwarna putih. Sesak juga
dirasakan pasien 3 hari SMRS. Sesak dirasakan setelah batuk dan tidak membaik
dengan perubahan posisi. Keluhan yang disampaikan pasien sesuai dengan teori,
yaitu adanya gejala klinis CAP yaitu demam tinggi, batuk produktif dengan sputum
dan sesak nafas. Gejala lain seperti malaise, rasa tidak enak di dada dan nyeri
pleuritik tidak dirasakan oleh pasien tidak menyingkirkan bahwa pasien ini bukan
CAP.

Berdasarkan teori pada pemeriksaan fisik CAP, dapat ditemukan gejala khas berupa
demam, takipneu, takikardi dan penemuan fisik paru berupa ronchi, vocal fremitus
meningkat, suara perkusi redup. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien
ini, ditemukan adanya demam 37,6 oC, takipneu 22x/menit, vocal fremitus
meningkat, perkusi hiposonor dan suara ronchi pada kedua paru. Temuan klinis ini
mendukung diagnosis CAP walupun tidak adanya takikardi.

Berdasarkan teori pemeriksaan penunjang, pada pemeriksaan gambaran radiologis


foto toraks dapat ditemukan infiltrat sampai konsolidasi dengan "air broncogram".
Efusi pleura dapat muncul pada pemeriksaan radiologis dada namun tidak pada
semua kasus. Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis Pada pemeriksaan darah lengkap dapat ditemukan
hitung lekosit total menunjukkan leukositosis (>10.000/µL), hitungan jenis leukosit
terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan
diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Pada
30

kasus ini pada pemeriksaan radiologis AP tampak infiltrate pada paracardial kanan
kiri yang menunjukan kesan Penumonia. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan adanya leukositosis 17.160/µL. Pasien ini dilakukan pemeriksaan kultur
sputum dengan hasil tidak ada biakan. Hasil ini dapat dipengaruhi oleh pengambilan
dahak yang dilakukan setelah pemberian antibiotik.

Berdasarkan anamnesis, terdapat keluhan demam, batuk dan sesak, pemeriksaan


fisik ditemukan demam, takipneu dan pada kedua lapang paru ditemukan suara
redup dan vokal fremitus meningkat, dan temuan radiologi dimana terdapat
infiltrate pada kedua paru dan leukositosis, pasien ini di diagnosis dengan
Community-Acquired Pneumonia. Berdasarkan CRUB 65 skor, skor pada pasien
saat MRS adalah 1. Dimana crub 65 skor itu sendiri yaitu estimasi atau prediksi
kematian pada pneumonia yang di dapat di masyarakat.

Penatalaksanaan terhadap CAP berdasarkan teori didasarkan terhadap terapi


suportif dan kuratif terhadap infeksi yang terjadi. Terapi suportif dimaksudkan
sebagai penjagaan keadaan umum dan terapi simtomatis terhadap gejala yang
muncul. Dalam kasus ini pasien diberikan terapi berupa penggantian cairan dengan
NaCl sebagai penanganan terhadap kekurangan cairan yang dapat disebabkan oleh
demam. Terapi simtomatis terhadap keluhan utama pasien yaitu demam dengan
pemberian Parasetamol 500 miligram intraoral yang diberikan tiap 8 jam dan
pemberian mukolitik berupa n-acytylsistein 200 miligram tiap 8 jam untuk
mengatasi keluhan demam dan batuk yang terjadi.

Pemberian antibiotik sebagai penanganan spesifik terhadap infeksi CAP yang


terjadi dalam kasus ini adalah antibiotik Levofloxacin 750 mg secara intravena
setiap 24 jam. Berdasarkan teori, pemilihan antibiotik terbaik adalah berdasarkan
kultur, sebelum hasil keluar dapat dimulai dengan pemberian antibiotik empiris.
Pemilihan antibiotik emperis didasarkan atas keefektifan antibiotik tersebut dalam
mengeradikasi bakteri Streptococcus Pneumoniae serta efek samping yang dapat
terjadi dari pemakaian antibiotic bersangkutan. Berdasarkan PDPI, pasien CAP
rawat inap diberikan antibiotik golongan Sefalosporin G2, G3 atau floroquinolones
respirasi secara IV. Bila dicurigai pneumonia atipik maka ditambah dengan
makrolid baru. Pada pasien ini, pasien diberikan Levofloksasin yang merupakan
fluorokuinolon respirasi. Pasien ini diberikan secara intravena.
31

BAB V
SIMPULAN

Community-Acquired Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim


paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan
alveoli yang paling sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia. CAP terjadi
pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48 jam sejak
masuk rumah sakit. CAP dapat memberikan gejala berupa didapatkan demam,
fatique, malaise, sakit kepala, myalgia, arthralgia, batuk produktif/tidak produktif
dengan sputum purulent dan sesak. Penegakan diagnosis CAP didasarkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
radiologis foto torak, pemeriksaan darah lengkap dan pembiakan / kultur. Dalam
penatalaksaanaannya, CAP ditangani dengan pemberian terapi suporif serta
definitif dengan antibiotik.

Dalam kasus penegakan CAP didasarkan dari anamnesis berupa demam yang
disertai keluhan batuk dan sesak. Diagnosis ditunjang dari foto thorax adanya hasil
inflitrat pada kedua paru yang memberi kesan pneumonia dan leukositosis pada
pemeriskaan darah lengkap sehingga dapat ditegakkan diagnosis berupa CAP.
Penatalaksanaan yang diberikan yaitu IVFD NaCl, Paracetamol, N-acytylsistein dan
antibiotic berupa Levofloksasin i.v.
32

DAFTAR PUSTAKA

1. Arlini Y., 2015. Diagnosis Community Aquired Pneumonia (CAP) dan


Tatalaksana Terkini. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. p. 86-
97
2. Elena MD, p., Octavio, T. and Prof Antoni, T. (2015). Community-acquired
pneumonia. [online] Available at: https://doi.org/10.1016/S0140-
6736(15)60733-4 [Accessed 24 Feb. 2019].
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti: Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2003.
4. Foy HM, Cooney MK, Allan I, et al. Rates of pneumonia during influenza
epidemics in Seattle, 1964 to 1975. JAMA 1979;241:253-8.
5. American Thoracic Society Board of Directors. Guidelines for the
management of adult with community-acquired pneumonia. Am J Respir
Crit Care Med. 2001; 163:1730-54.
6. Mendel LA, Wuderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean
NC, Dowell SF, et all. Infectious disease society of america / American
thoracic society consensus guidelines on the management of
communityacquired pneumonia in adults. Clinical Infectious Disease.
2007;44:527-72.
7. Ewig S, Welte T. Evaluation of guidelines for community-acquired
pneumonia: a story of confounders, surprises and challenges. Eur Respir J.
2008;32:823-5.
8. Bartlett JG, Dowell SF, Mandell LA, File TM Jr, Musher DM, Fine MJ.
Practice guidelines for the management of community-acquired pneumonia
in adults. Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis.
2000;31:347-382.
9. Sectish TC, Prober CG. Pneumonia. Dalam Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB. Penyunting Nelson. Textbook of pediatrics. Edisi ke-18
Philadelphia: WB Saunders. 2007;1795-800.
10. Suryanto A. Guideline on the management of severe community acquired
pneumonia and hospital acquired pneumonia. Dalam: Rahmatullah P,
Gasem H, Suntoko B, Purwoko Y, ed. Naskah lengkap chest and critical
33

care in internal medicine the second national scientific meeting of perpari


and the tenth national congress of perpari. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang. 2008:69-80.
11. Prasad R, Sanjay. Community Acquired Pneumonia: Evidence Based
Management. Pulmon. 2007; 9:1:4-12.
12. Rabbat A, Huchon GJ. Bacterial Pneumonia. Dalam: Albert RK, Spiro SG,
Jett JR, Clinical Respiratory Medicine, second edition. Ontario: Mosby.
2004; 23:273-287
13. Mandell LA, Bartlett JG, Dowell SF, File TM Jr, Musher DM, Whitney C.
Infectious Diseases Society of America. Update of practice guidelines for
the management of community-acquired pneumonia in immunocompetent
adults. Clin Infect Dis. 2003; 37: 1405-1433
14. W S Lim, S V Baudouin, R C George, et all. BTS guidelines for the
management of community acquired pneumonia in adults: update 2009.
Thorax. 2009; 64: iii1-iii55
15. Mandell LA. Pneumonia, In : Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, eds,
Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th ed, USA, The Mc Graw-
Hill companies Inc. 2010; chapter 251.
16. Niederman MS. Pneumonia, Including Community-Acquired Pneumonia
and Nosocomial Pneumonia. In Crapo JD, Glassroth J, Karlinsky, King Jr.
TE, editors. Baum’s Textbook of Pulmonary Disease. Seventh Ed. Lippincot
Williams and Wilkins. 2016; 22:425-453.

Anda mungkin juga menyukai