Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN

CASE BASED DISCUSSION (CBD)

“PNEUMONIA”

PEMBIMBING :
dr. I Wayan Suradhipa, M.Biomed, Sp.A

OLEH :
Annisa (019.06.0007)
Gentani Mayang Sari (019.06.0030)
Putu Pani Damayanthi (019.06.0080)

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGLI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan laporan Case Based Discussion (CBD) dengan kasus “Pneumonia”.

Penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik di bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bangli. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada para dokter pendidik klinis yang menjadi tutor atau
fasilitator yang membimbing selama melaksanakan tugas ini dan juga semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini sehingga penulis dapat
menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan bagi penulis.

Dalam penyusunan laporan kasus ini penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan sehingga penulis menginginkan saran dan kritik yang membangun dalam
menyempurnakan laporan kasus.

Bangli, 15 Agustus 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 6
BAB III LAPORAN KASUS..................................................................................... 23
BAB IV PEMBAHASAN .......................................................................................... 37
BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 40

3
BAB I
PENDAHULUAN

Pneumonia masih menjadi masalah kesehatan utama anak di seluruh dunia.


Pneumonia menyebabkan kematian hampir 1 juta anak usia bawah lima tahun (balita),
sebesar 16% dari seluruh mortalitas anak balita di dunia pada tahun 2015. Data Riset
Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Riskesdas Kemenkes
RI) 2018 menunjukkan prevalensi pneumonia naik dari 1,6% pada tahun 2013 menjadi
2% dari populasi anak balita di Indonesia pada tahun 2018.

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar


disebabkan oleh mikroorganisme seperti virus atau bakteri dan sebagian kecil
disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi, radiasi, dan lain-lain. Pada pneumonia yang
disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan penting adalah penyebab dari Pneumonia
apakah virus atau bakteri. Pneumonia seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus
yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri, tetapi secara klinis pada anak
sulit membedakan pneumonia bakterial dengan pneumonia viral. Demikian pula jika
dilakukan pemeriksaan radiologis dan laboratorium tidak menunjukkan perbedaan
nyata. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial
awitannya cepat, batuk produktif, pasien tampak toksik, leukositosis, dan perubahan
nyata pada pemeriksaan radiologis. Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan
tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor
risiko tersebut, meliputi pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir
rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat,
malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya prevalensi kolonisasi bakteri patogen di
nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap
rokok). Pola bakteri penyebab pneumonia biasanya berubah sesuai dengan distribusi
umur pasien. Namun secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia

4
adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae, Staphylococcus aureus,
Streptococcus grup B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Walaupun
pneumonia viral dapat ditatalaksana tanpa antibiotik, tapi umumnya sebagian besar
pasien diberi antibiotik karena infeksi bakteri sekunder tidak dapat disingkirkan.

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer melalui


saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru
yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit,
cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut stadium
hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin dan
leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut
stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan
mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Stadium ini
disebut stadium resolusi. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena
akan tetap normal.

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat,
mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan
perawatan di RS. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia
pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang
luas, gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya
penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering,
dan faktor patogenesis. Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor
penting yang menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu
dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Pneumonia adalah inflamasi pada parenkim paru yang biasanya terjadi pada
anak-anak tetapi terjadi lebih sering pada bayi dan awal masa kanak-kanak serta
secara klinis dapat terjadi sebagai suatu penyakit primer atau komplikasi lain.
Pneumonia adalah infeksi jaringan paru-paru (alveoli) yang bersifat akut.
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim paru
bagian distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius
dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran
gas setempat (Damayanti & Ryusuke, 2017).
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pneumonia adalah
suatu penyakit yang terbentuk dari infeksi akut daerah saluran pernafasan bagian
bawah yang secara spesifik mempengaruhi paru-paru. Pneumonia juga
didefinisikan sebagai salah satu penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang
mengenai jaringan alveolus pada paru-paru.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pneumonia adalah salah satu penyakit
infeksi saluran pernapasan akut yang mengenai bagian paru yaitu alveoli.
2. Epidemiologi

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa pneumonia pada bayi dan balita


merupakan salah satu masalah kesehatan yang belum dapat terselesaikan di seluruh
dunia. Hingga saat ini pneumonia masih menjadi penyebab kematian terbesar pada
bayi dan balita yang lebih banyak disbanding dengan gabungan penyakit AIDS,
malaria, dan campak. Bahkan World Health Organization (WHO) menyebut
sebagai “The Forgotten Killer of Children” (Dirjen P2P Kemkes RI, 2019).

6
Data prevalensi di dunia berdasarkan WHO dari 6,6 juta balita yang
meninggal di dunia sebanyak 1,1 juta meninggal akibat pneumonia pada tahun
2012 dan 99% kematian pneumonia anak terjadi di negara berkembang. Sedangkan
pada negara berpenghasilan rendah dan menengah yang sebagian besar adalah Asia
Selatan dan Afrika Sub-Sahara diketahui bahwa lebih dari 95% penyebab kematian
pada anak-anak secara global adalah penyakit pneumonia. Setiap tahun,
diperkirakan 921.000 anak dibawah 5 tahun meninggal karena pneumonia pada
tahun 2015. Menurut data yang diperoleh dari United Nations International
Childrenn’s Emergency Fund (UNICEF) menunjukkan bahwa pada tahun 2018
pneumonia menyebabkan kematian lebih dari 800.000 anak balita di seluruh dunia
atau 39 anak per detik dengan sebagian dari kematian balita akibat pneumonia
tersebut terjadi di lima negara, yaitu Nigeria (162.000), India (127.000), Pakistan
(58.000), Republik Demokratik Kongo (40.000), dan Ethiopia (32.000). Sedangkan
di Indonesia pneumonia juga merupakan penyebab kematian balita terbesar. Pada
tahun 2018, diperkirakan sekitar 19.000 anak di Indonesia meninggal dunia akibat
pneumonia. Estimasi global menunjukkan bahwa setiap jam ada 71 anak di
Indonesia tertular pneumonia (Andualem et al., 2020; UNICEF, 2019).

3. Klasifikasi
Pneumonia dapat diklasifikasikan berdasarkan secara umum, meliputi :
a. Pneumonia yang diperoleh di Masyarakat/Community-Acquired Pneumonia
(CAP), merupakan pneumonia yang diperoleh di luar rumah sakit pada individu
yang belum dirawat di rumah sakit selama senulan sebelum timbulnya gejala.
b. Pneumonia yang diperoleh di Rumah Sakit/Hospital-Acquired Pneumonia
(HAP), merupakan pneumonia yang diperoleh setelah setidaknya 2 hari dirawat
inap dan Ketika tidak ada kecurigaan inkubasi penyakit sebelum masuk rumah
sakit.
c. Pneumonia terkait Ventilator/Ventilator-Associated Pneuminia (VAP),
merupakan HAP yang terjadi >48 jam setelah intubasi endotrakeal.

7
d. Pneumonia Aspirasi/Aspiration Pneumonia, merupakan pneumonia yang
terjadi akibat aspirasi dari lambung atau mulut ke paru-paru.
e. Pneumonia terkait Perawatan Kesehatan/Health-Care-Associated Pneumonia
(HCAP), merupakan pneumonia didapat di institusi perawatan tetapi tidak di
rumah sakit.

Pneumonia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan usia, meliputi :


a. Usia anak pada umur 2 bulan - <5 tahun
Bukan Pneumonia Pada anak ditemukan adanya batuk, tidak ada
takipnea, dan tidak ada retraksi dinding dada ke
bawah.
Pneumonia Pada anak ditemukan adanya batuk, takipnea, dan
tidak ada retraksi dinding dada ke bawah.
Pneumonia Berat Pada anak ditemukan adanya batuk, takipnea, dan
retraksi dinding dada bagian bawah ke depan.

b. Usia < 2 bulan


Bukan Pneumonia Pada anak ditemukan adanya batuk dan tidak ada
takipnea.
Pneumonia Pada anak ditemukan adanya batuk, takipnea, dan
tidak ada retraksi dinding dada bagian bawah kedalam
yang kuat.

Selain itu, pneumonia pada anak dapat dibedakan menjadi 3, meliputi :


1) Pneumonia Lobaris, merupakan peradangan pada semua atau sebagian besar
segmen paru dari satu atau lebih.

8
2) Pneumonia Lobularis/Bronkopneumonia, merupakan sumbatan yang dimulai
dari cabang akhir dari bronkiolus dan biasa disebut juga dengan pneumonia
lobular.
3) Pneumonia Intertisialis
Berdasarkan derajat penyakit secara klinis, pneumonia dapat dibagi menjadi :
Bukan pneumonia
Pneumonia ▪ Batuk atau sesak napas dan napas cepat,
Napas cepat ;
- Usia < 2 bulan : ≥ 60 x/menit
- Usia 2 – 12 bulan : ≥ 50 x/menit
- Usia 1 – 5 tahun : ≥ 40 x/menit
- Usia 5 – 8 tahun : ≥ 30 x/menit
▪ Auskultasi : rhonki (+), suara napas menurun, serta
suara napas bronkial
Pneumonia berat ▪ Batuk atau sesak napas disertai salah satu dibawah
ini :
- Retraksi dinding dada
- Napas cuping hidung
- Grunting (merintih)
▪ Auskultasi : rhonki (+), suara napas menurun, suara
napas bronkial
Pneumonia sangat ▪ Batuk atau sesak napas disertai salah satu dibawah
berat ini :
- Sianosis sentral
- Tidak bisa minum
- Muntah
- Kejang, letargi, kesadaran menurun
- Anggukkan kepala

9
▪ Auskultasi : rhonki, suara napas menurun, suara
napas bronkial

4. Etiologi
Pneumonia disebabkan oleh bakteri, meliputi Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae type B, Staphylococcus aureus (tiga penyebab tersering
pada infeksi bakteri), dan Mycoplasma pneumonia, oleh virus, meliputi
Respiratory syntical virus, Influenza A or B virus, Human rhinovirus, Human
merapneumovirus, Adenovirus, dan parainfluenza virus, fungi (mycoplasma), dan
aspirasi substansi asing (Seyawati & Marwiati, 2018; Nastisi Kaswandani, 2017).

Gambar 1.1 Penyebab Pneumonia pada Anak berdasarkan Usia

10
5. Faktor Risiko
Model segitiga epidemiologi atau triad epidemiologi atau model rantai
infeksi (The Triangle Model of Infections) menggambarkan interaksi tiga
komponen penyakit manusia (Host), penyebab (Agent), dan lingkungan
(Environment). Menurut model segitiga epidemiologi ini sehat dan sakit dapat
dipahami dengan mendalami karateristik, perubahan dan interaksi diantara agent,
host dan environment.
a. Faktor agent, adalah penyebab dari penyakit pneumonia, yaitu berupa bakteri
(Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae type B, Staphylococcus
aureus, dan Mycoplasma pneumonia), virus (Respiratory syntical virus,
Influenza A or B virus, Human rhinovirus, Human merapneumovirus,
Adenovirus, dan parainfluenza virus), jamur (mycoplasma), protozoa (sejenis
parasit), dan aspirasi substansi asing.
b. Faktor host, adalah individu atau populasi yang berisiko terpajan penyakit
meliputi faktor genetik atau gaya hidup. Pada pneumonia yang menjadi faktor
risiko dari aspek host adalah usia, jenis kelamin, Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR), status imunisasi pneumokokus dan campak, pemberian ASI eksklusif,
dan status pemberian vitamin K.
c. Faktor environment, adalah tempat dimana host hidup termasuk kondisi cuaca
dan faktor-faktor lingkungan yang mendukung terjadinya suatu penyakit
tersebut muncul. Faktor risiko pneumonia, yaitu kepadatan hunian, paparan
asap rokok, keberadaan sirkulasi udara (jendela) di dalam rumah, pengetahuan
dan Pendidikan ibu.
6. Patogenesis
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan tiga faktor pada segitiga
epidemiologi, yaitu agent dalam hal ini keadaan imunitas pasien, host yaitu
mikroorganisme yang menyerang pasien, dan environment yang berinteraksi satu
sama lain. Dimana dalam keadaan sehat, paru-paru tidak akan terjadi pertumbuhan
paru. Adanya bakteri diparu merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya

11
tahan tubuh, mikoorganisme, dan lingkungan sehingga mikroorganisme dapat
berkembang biak dan berakibat timbulnya sakit.
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan, meliputi :
1) Inokulasi langsung
2) Penyebaran melalui darah
3) Inhalasi bahan aerosol
4) Kolonisasi di permukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut, cara yang terbanyak adalah dengan kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau
jamur. Kebanyakan bakteria dengan ukuran 0,5-2,0 mikron melalui udara dapat
mencapai bronkiolus terminalis atau elveoli dan selanjutnya terjadi proses infeksi.
Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung maupun orofaring)
kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah sehingga terjadi inokulasi
mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi
paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu
tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol, dan
pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang
sangat tinggi 108-10/mL, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1 mL)
dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia
(Damayanti & Ryusuke, 2017).

12
Gambar 1.1 Patogenesis Pneumonia oleh Bakteri Pneumokokus

Pada basil yang masuk Bersama sekret bronkus ke dalam alveoli


menyebabkan reaksi radang berupa edema pada seluruh alveoli disusul dengan
infiltrasi sel-sel polimorfonuclear (PMN) dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi
permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibody. Sel-sel PMN mendesak bakteri
ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
pseudopodosis sistoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian terjadi proses
fagositosis. Saat terjadi perlawanan antara host dan bakteri maka akan nampak
empat zona pada daerah pasitik parasitik, yaitu :

1) Zona luar (edema), alveoli yang terisi dengan bakteri dan cairan edema
2) Zona permulaan konsolidasi (red hepatization), terdiri dari PMN dan
beberapa eksudasi sel darah merah
3) Zona konsolidasi yang luas (grey hepatization), daerah tempat terjadi
fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak
4) Zona resolusi, daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri
yang mati, leukosit, dan alveolar makrofag.

13
7. Manifestasi Klinis

Menurut Opovsky & florin (2020) manifestasi klinis pada pneumonia antara
lain:

a. Demam menggigil
Terjadinya gejala seperti demam menggigil merupakan sebuah tanda
adanya peradangan atau inflamasi yang terjadi didalam tubuh sehingga
hipotalamus bekerja dengan memberi respon dengan menaikan suhu tubuh.
Demam pada penyakit pneumoni dapat mencapai 38,8 0C sampai 41,1 0C.
b. Mual dan tidak nafsu makan
Gejala mual dan tidak nafsu makan disebabkan oleh peningkatan produksi
sekret dan timbulnya batuk, sehingga dengan adanya batuk berdahak
menimbulkan penekanan pada intra abdomen dan saraf pusat menyebabkan
timbulnya gejala tersebut.
c. Batuk kental dan produktif
Batuk merupakan gejala dari suatu penyakit yang menyerang saluran
pernapasan, hal ini disebabkan adanya mikroorganisme atau non
mikroorganisme yang masuk ke saluran pernapasan sehingga diteruskan ke
paru-paru dan bagian bronkus maupun alveoli. Dengan masuknya
mikroorganisme menyebabkan terganggunya kinerja makrofag sehingga
terjadilah proses infeksi, jika infeksi tidak ditangani sejak dini akan
menimbulkan peradangan atau inflamasi sehingga timbulnya odema pada
paru dan menghasilkan sekret yang berlebih.
d. Sesak napas
Adanya gejala sesak nafas pada pasien pneumonia dapat terjadi karena
penumpukan sekret atau dahak pada saluran pernapasan sehingga udara
yang masuk dan keluar pada paru-paru mengalami hambatan.

14
e. Ronkhi
Ronchi terjadi akibat lendir di dalam jalur udara, mendesis karena inflamasi
di dalam jalur udara yang lebih besar.
f. Mengalami lemas/ kelelahan
Gejala lemas/ kelelahan juga merupakan tanda dari Pneumonia, hal ini
disebabkan karena adanya sesak yang dialami seorang klien sehingga
kapasitas paru-paru untuk bekerja lebih dari batas normal dan kebutuhan
energi yang juga terkuras akibat usaha dalam bernapas.
g. Orthopnea
Gejala orthopnea juga dapat terjadi pada klien dengan Pneumonia.
Orthopnea sendiri merupakan suatu gejala kesulitan bernapas saat tidur
dengan posisi terlentang.
8. Diagnosis
Diagnosis pneumonia pada anak ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksan penunjang.
a. Anamnesis

Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan yang dialami penderita,


meliputi: demam, batuk, gelisah, rewel dan sesak nafas. Pada bayi, gejala tidak
khas, seringkali tanpa gejala demam dan batuk. Anak besar, kadang mengeluh
nyeri kepala, nyeri abdomen, muntah. Manifestasi klinis yang terjadi akan
berbeda-beda, tergantung pada beratnya penyakit dan usia penderita. Pada bayi
jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat pada bayi adalah: batuk,
panas, iritabel. Pada anak balita, dapat ditemukan batuk produktif/ non
produktif dan dipsnea. Sebaliknya, pada anak sekolah dan remaja: gejala lain
yang sering dijumpai adalah: nyeri kepala, nyeri dada, dan lethargi (Suci, 2020).

b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sejumlah tanda fisik patologis,
terutama adanya nafas cepat (takipnea) dan kesulitan bernafas (dyspnea).

15
Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam satu menit ketika anak sadar dan
tidak sedang menangis. Demam dapat mencapai suhu 38,50 C sampai
menggigil. Gejala paru muncul beberapa hari setelah proses infeksi tidak
terkompensasi dengan baik. Gejala distress pernapasan seperti takipneu,
dispneu, adanya retraksi (suprasternal, interkosta, subkosta), grunting, napas
cuping hidung, apneu dan saturasi oksigen < 90% dapat ditemukan pada pasien
jika oksigenasi paru sudah berkurang. Takipneu menunjukkan beratnya
penyakit pada pasien dengan kategori usia sebagai berikut: > 60x/ menit pada
0-2 bulan, > 50x/menit pada 2-12 bulan, > 40x/menit pada 1-5 tahun, >
20x/menit pada anak diatas 5 tahun (Suci, 2020).
c. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada anak dengan


pneumonia meliputi pemeriksaan darah rutin, Analisa Gas Darah (AGD),
C-Reaktif Protein (CRP), uji serologis dan pemeriksaan mikrobiologik.
Pada pemeriksaan darah rutin, dapat dijumpai leukositosis, umumnya
berkisar 15.000 – 30.000/ mm3 dengan predominan polimorphonuklear
(PMN). Jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit dapat membantu
menentukan pilihan pemberian antibiotik. Pada beberapa kasus didapatkan
anemia dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Pada anak dengan
distress pernapasan berat, hiperkapnia harus dievaluasi dengan pemeriksaan
AGD, karena kadar oksigen harus dipertahankan. Pemeriksaan CRP tidak
banyak berkontribusi, tetapi peningkatan CRP menandakan terjadinya
inflamasi di dalam tubuh.

Pemeriksaan serologis dapat dilakukan untuk mengetahui etiologi


Respiratory Syntitial Virus (RSV), parainfluenza, influenza, adenovirus
dimana spesimen berasal dari nasofaring. Pemeriksaan ini tidak bermanfaat

16
untuk infeksi bakteri. Peningkatan titer IgG dan IgM pada pemeriksaan
dapat mengkonfirmasi diagnosis.

Pemeriksaan mikrobilogik yang paling banyak dilakukan adalah


kultur darah. Kultur darah direkomendasikan pada pasien rawat inap
dengan gejala peneumonia berat dan komplikasi, pneumoni yang gagal
diterapi pada rawat jalan, berusia < 6 bulan, dan pada pasien yang tidak
mendapatkan imunisasi. Sedikitnya 10- 30% kultur darah pada anak yang
demam, bakteri dapat dijumpai. Pemeriksaan sputum dengan pewarnaan
gram pada anak yang lebih besar berguna untuk mendeteksi antigen bakteri,
tetapi kurang bermanfaat karena tingginya prevalensi kolonisasi bakteri di
nasofaring.

2) Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi berupa foto thorax dilakukan untuk melihat


luasnya kelainan patologis pada jaringan paru. Gambaran infiltrat di bagian
lobar, interstisial, unilateral atau bilateral memberikan petunjuk organ paru
yang terlibat. Pada umumnya, infiltrat alveolar menunjukkan gambaran
kuat adanya pneumonia pada anak. Hasil foto torak adanya infiltrat alveolar
yang disertai konsolidasi lobar dengan efusi pleura, bronkopneumonia dan
air bronchogram kemungkinan besar dapat disebabkan oleh bakteri.
Peribronkhial yang menebal, infiltrat interstisial merata, bilateral dan
adanya hiperinflasi dapat terlihat pada pneumonia akibat virus. Gambaran
foto torak pneumonia akibat mikoplasma dapat bervariasi yang terkadang
dapat menyerupai pneumonia virus. Selain itu, dapat juga ditemukan
bronkopneumonia di lobus bagian bawah, infiltrat intertisisial bilateral, atau
gambaran paru yang berkabut (ground-glass consolidation) serta transient
pseudoconsolidation yang disebabkan oleh infiltrat intertisial yang
konfluens. Manifestasi klinis dan laboratorium yang mengarah disertai hasil

17
foto torak positif merupakan standar emas penegakan diagnosis pneumonia
(Damayanti & Ryusuke, 2017).

9. Tatalaksana

Pada dasarnya penatalaksanaan anak adalah eliminasi mikroorganisme


penyebab dengan antibiotik yang sesuai disertai dengan tatalaksana supportif
lainnya. Tata laksana supportif meliputi terapi oksigen, pemberian cairan intravena
dan koreksi gangguan elektrolit pada dehidrasi serta pemberian antipiretik untuk
demam. Obat penekan batuk tidak dianjurkan. Komplikasi yang mungkin terjadi
harus ditangani secara adekuat selama masa perawatan (Mantero et al., 2017).

Pneumonia pada anak tidak harus selalu dirawat inap. Pneumonia


diindikasikan untuk rawat inap apabila dijumpai pada anak usia 3-6 bulan, adanya
distress pernapasan (retraksi, nafas cuping hidung), takipneu sesuai usia, saturasi
oksigen (Mantero et al., 2017).

a. Eliminasi Mikroorganisme

Identifikasi mikroorganisme penyebab sebagian besar tidak dapat


dilakukan karena keterbatasan fasilitas di lapangan. Oleh karena itu, pasien
pneumonia tetap harus diberikan antibiotik secara empiris berdasarkan
kemungkinan kuman penyebab dengan mempertimbangkan usia dan kondisi
klinis pasien. Salah satu pedoman pemilihan antibitika adalah seperti terlihat
pada tabel.

Identifikasi mikroorganisme penyebab pneumonia pada rawat jalan


umumnya tidak dilakukan, oleh karena itu terapi antibiotik ditargetkan pada
kuman penyebab pada umumnya. Infectious Diseases Society of America
(IDSA) dan Pediatric Infectious Diseases Society (PIDS) pada tahun 2011
menerbitkan pedoman bersama yang merekomendasikan pengobatan antibiotik
berdasarkan kelompok usia. Pada bayi dan anak yang sudah diimunisasi,

18
amoksisilin direkomendasikan pada pneumonia anak ringan sampai sedang
dengan dugaan streptococcus pneumonia sebagai penyebabnya selama 7-10
hari. Untuk anak yang alergi terhadap amoksisilin, alternatif yang dapat
diberikan yaitu antibiotik sefalosporin generasi kedua-ketiga dan levofloxacin
oral. Golongan makrolid diberikan selama 5 hari jika dicurigai penyebab
patogen atipikal karena mycoplasma pneumonia. Terapi antivirus influenza
diberikan segera pada anak dengan pneumonia sedang-berat terutama yang
mengalami perburukan klinis selama pengobatan rawat jalan.

Pada kasus rawat inap, neonatus dengan gangguan pernapasan harus


selalu diasumsikan dengan pneumonia bakteri sampai terbukti tidak. Pemberian
antibiotik ampisilin dan gentamisin dengan atau tanpa sefotaxim harus dimulai
sesegera mungkin. Azitromisin pada neonatus direkomendasikan untuk
chlamydia trachomatis, ureaplasma dan pertusis dengan dosis 10 mg/kg/ hari
selama 5 hari. Ampisilin juga merupakan antibiotik lini pertama yang diberikan
pada anak usia > 3 bulan yang sudah diimunisasi dengan pneumonia tanpa
komplikasi. Untuk anak-anak yang mengalami infeksi berat (mereka yang
dirawat di ruang ICU), mereka yang tidak diimunisasi,atau di daerah dengan
pneumokokus tinggi, resisten terhadap penisilin, antibiotik sefalosporin
generasi ketiga (ceftriaxone atau cefotaxime) harus diberikan. Apabila ada
kecurigaan patogen atipikal atau tidak membaik dengan regimen ini, maka
golongan makrolida dapat ditambahkan. Antibiotik non β laktam tidak terbukti
lebih efektif daripada sefalosporin generasi ketiga.

Apabila selama masa rawatan, anak menunjukkan perburukan status


pernapasan, apnea berulang, gagal mempertahankan saturasi oksigen >92%
serta adanya perubahan status mental akibat hiperkarbia dan hipoksemia maka
perawatan Intensive Care Unit (ICU) menjadi prioritas. Pada keadaan tersebut
harus dilakukan pemantauan tanda vital berkala dan penggunakan alat bantu
napas invasive (endotracheal tube) perlu dipertimbangkan.

19
b. Terapi Suportif

Kita harus mewaspadai terjadinya hipoksia, yang ditandai terjadinya


agitasi. Anak dengan saturasi oksigen ≤ 92% harus diberikan terapi oksigen 2-
4 liter/menit di Rumah Sakit dengan nasal kanul, head box atau sungkup guna
mempertahankan saturasi oksigen > 92%. Sebuah studi menyimpulkan bahwa
pemberian oksigen pada anak usia < 5 tahun dengan gangguan pernapasan akut
dengan nasal kanul dan oksigen kotak kepala sama efektifnya untuk aliran
oksigen yang diterima. Apabila hidung anak tersumbat dengan sekret, maka
dapat dilakukan penyedotan (suction) guna membuka jalan nafas.

Terapi cairan diperlukan karena kondisi anak yang lemas. Hal ini terjadi
karena banyaknya energi yang digunakan anak sebagai bentuk kompensasi
pernapasan yang terlihat dari penggunaan otot-otot bantu pernapasan pada
pneumonia sedang sampai berat. Selain itu, pasien dengan dehidrasi dan asupan
oral tidak adekuat harus dikoreksi dengan cairan dan pemeriksaan
keseimbangan elektrolit bila diperlukan.

Pemberian kortikosteroid pada anak memberikan hasil bervariasi pada


banyak institusi. Pemberian deksametason sebagai antipiretik pada pneumonia
terbukti mengurangi masa rawatan selama 1 hari dimana terlihat penurunan
suhu yang signifikan terhadap pasien. Pemberian deksametason sebagai
antipiretik diperkirakan memicu terjadinya mekanisme supresi IL-6, IL-8, IL-
10 sebagai protein pro inflamasi. Manfaat steroid yang sama dikatakan pada
studi lainnya hanya pada anak yang mendapatkan terapi β agonist. Satu laporan
kasus pada tahun 2015, menunjukkan pemberian kortosteroid sangat
bermanfaat pada anak dengan pneumonia berat dimana terjadinya perbaikan
klinis dan foto toraks setelah pemberikan injeksi metylprednisolon dosis kedua.

20
Tabel 1.2 Antibiotik Empiris yang Pada Pneumonia Anak

10. Pencegahan
Pencegahan terhadap pneumonia dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
pemberian imunisasi, pencegahan penularan, dan perbaikan status gizi. Imunisasi
untuk pencegahan pneumonia meliputi: pemberian vaksin pertusis (DTP), campak,

21
pneumokokus (PCV) dan H. influenza. Pencehahan penularan dapat dilakukan
dengan menjaga jarak, atau dengan menggunakan masker.
Vaksinasi seperti H.Influenza, PCV, measles dan pertussis efektif
mengurangi kasus pneumonia di dunia.6 Pada studi case control di Brazil
didapatkan komplikasi pneumonia lebih sering terjadi pada anak-anak yang tidak
mendapatkan vaksin Haemophillus Influenza (Hib) dengan dosis dua kali atau
setidaknya satu kali dalam setahun. Pemberian vaksin pneumokokus konjugasi
protein PCV13 rutin pada bayi dan anak di Amerika Sarikat terbukti dapat
menurunkan Penyakit Invasive Pneumokokus (IPD) meskipun di sebagian negara
lainnya PCV13 sudah digantikan dengan PCV7. Pada penelitian yang lain
dikatakan pemberian vaksin PVC13 dapat menurunkan hasil radiologi yang
terkonfirmasi pneumonia sebanyak 30% (Suci, 2020).

22
BAB III
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
Nama : KAJ
Tempat/Tanggal Lahir : Bangli, 17 Juli 2019
Umur : 4 tahun 29 hari
Agama : Hindu
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Lingkungan Br. Bebalang
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
No. RM : 291827
Ruangan : Jempiring
MRS : 15 Agustus 2023 (15.35 WITA)
Tanggal Pemeriksaan : 16 Agustus 2023 (12.40 WITA)

2. Anamnesis (Heteroanamnesis : Orang Tua Pasien)


a. Keluhan Utama : Demam
b. Keluhan Penyakit Sekarang
Pasien merupakan seorang anak laki-laki berumur 4 tahun 29 hari yang
diantar oleh kedua orangtuanya dalam keadaan sadar ke IGD RSU Bangli
pada hari Selasa, 15 Agustus 2023 dengan keluhan utama demam yang
dialami sejak 2 hari SMRS (Minggu, 13 Agustus 2023). Keluhan demam
dikatakan timbul mendadak pada malam hari sekitar pukul 22.00 WITA
dengan suhu tubuh dikatakan mulai panas dan menggigil kemudian
dilakukan pengukuran suhu tubuh mencapai 39oC, kemudian keesokan
harinya pada siang hari pasien sempat diberikan paracetamol suppositoria

23
oleh ibu pasien dan suhu tubuh pasien sempat turun sampai 38 oC. Pada sore
harinya pasien diajak ke praktek dokter untuk memperoleh pemeriksaan dan
diberikan obat berupa antibiotik dan obat puyer kemudian suhu tubuh
pasien menurun sampai 37 oC. Tetapi keesokan harinya pasien kembali
demam dengan suhu tubuh mencapai 39,7 oC dan segera diajak ke IGD oleh
orangtua pasien. Sesampainya di IGD ibu pasien mengatakan suhu tubuh
anaknya meningkat hingga 39.8 oC dari hasil pemeriksaan di IGD kemudian
pasien dipasang infus dan dimasukkan obat injeksi, kemudian pasien MRS
ke Ruangan Jempiring pada pukul 15.35 WITA. Sebelumnya orangtua
pasien juga mengatakan tidak ada riwayat bepergian keluar daerah saat hari
raya Galungan dan Kuningan, tetapi pasien dikatakan gemar
mengkonsumsi air es dengan perasa dan jajanan-jajanan manis saat hari
raya. Orangtua pasien mengatakan bahwa anaknya memang suka
mengkonsumsi jajanan kemasan, es krim dan segala jenis makanan karena
pasien dikatakan memang tidak suka memilih-milih makanan dan biasanya
sakit seperti ini dikatakan selalu muncul setiap sehabis makan-makanan
yang sembarang tetapi baru kali ini pasien dilakukan rawat inap.
Keluhan lain berupa batuk dikeluhkan oleh ibu pasien yang muncul
sejak 1 minggu sebelum hari raya Galungan sekitar hari Rabu, 26 Juli 2023
dengan batuk berdahak tetapi ibu pasien mengatakan bahwa pasien belum
bisa mengeluarkan dahak sehingga seringkali semenjak mengalami batuk
pada malam hari menjelang tidur jika pasien batuk-batuk maka diikuti
dengan muntah yang dikatakan berisi seperti lendir tetapi untuk warnanya
tidak diperhatikan hanya dilihat seperti warna makanan yang dimakan.
Muntah yang dialami pasien dikatakan dialami hanya 1 kali sehari selama
mengalami batuk dan sempat hingga 3 kali pada hari minggu SMRS (13
Agustus 2023).
Selain batuk, ibu pasien mengatakan bahwa pasien sempat mengalami
buang air besar (BAB) dengan konsistensi cair tetapi hanya 1 kali pada hari

24
minggu SMRS (13 Agustus 2023). Ibu pasien mengatakan bahwa pasien
selalu mengalami BAB dengan konsistensi cair setiap kali diberikan
makanan dalam bentuk bubur, tetapi jika diberikan susu atau makanan
dewasa, konsistensi dari BAB pasien dikatakan biasa dan pasien rutinnya
BAB dalam keseharian yaitu 1-2 kali sehari. Ibu pasien juga menyangkal
adanya riwayat sembelit setelah mengalami diare dan menyangkal adanya
pemberian obat diare saat BAB anaknya cair karena dikatakan sudah biasa
dan akan kembali jika diberikanan makanan dewasa bukan bubur.
Keluhan pilek, nyeri menelan, radang tenggorokan, penurunan nafsu
makan, penurunan berat badan secara perlahan maupun drastis disangkal
oleh ibu pasien tetapi untuk perih pada mata dan mata berair dikatakan
dialami oleh pasien saat awal mengalami demam saja.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
▪ Keluhan serupa : Ibu pasien mengatakan anaknya seringkali
mengalami keluhan serupa tetapi baru kali ini hingga dirawat inap
di rumah sakit.
▪ Asma : disangkal
▪ Penyakit jantung : disangkal
▪ Kejang : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
▪ Keluhan serupa : disangkal
▪ Asma : disangkal
▪ Penyakit jantung : disangkal
▪ Epilepsi : disangkal
e. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
▪ Diagnosa kehamilan : G2P2A0
▪ ANC : setiap bulan di dokter kandungan
▪ Jenis persalinan : normal
▪ Penolong persalinan : bidan dan dokter kandungan

25
▪ Usia kehamilan : 38-39 minggu
▪ Keadaan setelah lahit : segera menangis
▪ BBL : 3.800 gram
▪ PBL : 51 cm
f. Riwayat Imunisasi
▪ Hepatitis B : 5 kali
▪ BCG : 1 kali
▪ Polio oral : 4 kali
▪ DPT : 4 kali
▪ Hib : 4 kali
▪ Campak : 1 kali
▪ JE :-
▪ PCV :-

Kesan : imunisasi dasar lengkap, booster sudah dilakukan sesuai program


pemerintah.

g. Riwayat Nutrisi
▪ ASI : 0-6 bulan
▪ Susu formula : 7 bulan - sekarang
▪ Bubur saring : 6-8 bulan
▪ Bubur kasar : 9-11 bulan
▪ Makanan dewasa : 1 tahun-sekarang
h. Riwayat Tumbuh Kembang
▪ Motorik kasar : Tengkurap usia 3 bulan, duduk usia 6 bulan,
berdiri usia 9 bulan, berjalan usia 10 bulan
▪ Motorik halus : Memegang benda usia 4 bulan, memindahkan
benda usia 6 bulan
▪ Bahasa : Mulai mengoceh usia 3 bulan, mengucap 1 kata
usia 1 tahun 6 bulan, Menyusun kalimat usia 2 tahun

26
▪ Personal Sosial : Mulai mengenali orang lain usia 3 bulan,
bermain tepuk tangan usia 5 bulan

Kesan : Pasien lebih cepat dalam pertumbuhan dari aspek motorik kasar
(berjalan) tetapi mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan bahasa
(mengucap kata dengan jelas)

i. Status Gizi/Antropometri
▪ BB : 15 kg
▪ TB : 103 cm
▪ BB/U : (- 1SD) – 0 (normal)
▪ TB/U : 0 (normal)
▪ BB/TB : (-2SD) – (-1SD) (normal)
▪ BBI : 16 kg
Kesan : Status gizi baik
j. Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara yang tinggal


bersama orangtua, kakak, kakek, dan nenek di lingkungan yang cukup
bersih, dengan ventilasi dan pencahayaan yang cukup, serta pasien tidak
memiliki hewan peliharaan yang berbulu baik itu kucing ataupun anjing.

k. Riwayat Alergi/Operasi/Transfusi Darah


Pasien dan ibu pasien menyangkal adanya riwayat alergi baik obat
maupun makanan, menyangkal riwayat operasi serta transfusi darah.
l. Riwayat Pengobatan
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien sempat diberikan paracetamol
suppositoria oleh ibu pasien kemudian diberikan antibiotic dan puyer oleh
dokter.

27
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Present
▪ Keadaan umum : Tampak sakit sedang
▪ Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
▪ Suhu tubuh : 36,6oC
▪ Frekuensi nadi : 96 x/menit
▪ Respiration rate : 28 x/menit
▪ Saturasi oksigen : 96%
b. Status Generalis
▪ Kepala : Normocephali
▪ Mata : Simetris (+/+), mata cekung (-/-),
edema palpebra (-/-), konjungtiva
anemis (-/-), injeksi konjungtiva (-
/-), injeksi silier (-/-), sklera ikterik
(-/-), reflek pupil (+/+), pupil bulat
isokor (+/+)
▪ Telinga : Simetris (+/+), secret (+/-),
deformitas (-/-), hiperemis (-/-),
nyeri tarik aurikula (-/-), nyeri
tekan tragus (-/-)
▪ Hidung : Simetris (+/+), nafas cuping
hidung (-/-), secret (+/+), konka
edema (-/-)
▪ Mulut dan : Bibir sianosis (-), mukosa bibir
Tenggorokan kering (-), mukosa bibir pucat (-),
lidah kotor (-), faring hiperemis (-),
tonsil (T1/T1)

28
▪ Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran
tiroid (-)
▪ Thorax : Pulmo
Inspeksi : Gerakan dinding dada
simetris, retraksi subcostal (-)
Palpasi : fremitus taktil simetris
(+/+)
Perkusi : sonor di seluruh lapang
paru
Auskultasi : vesikuler (+/+),
wheezing (-/-), rales (+/+)

Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS
5 MCL sinistra
Perkusi : batas jantung dalam batas
normal
Auskultasi : S1S2 normal, regular,
murmur (-), gallop (-)

▪ Abdomen : Inspeksi : sikatrik (-), hiperemis (-


), distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani seluruh lapang
abdomen
Palpasi : nyeri tekan (-/-)

29
▪ Genitalia : Tidak di evaluasi
▪ Ekstremitas : Akral hangat (++/++), edema (--/--
), CRT <2 detik
▪ Kulit : Ikterus (-), ptekie (-), purpura (-),
turgor kulit kembali cepat

4. Resume
Pasien anak laki-laki berumur 4 tahun 29 hari yang diantar oleh kedua
orangtuanya dalam keadaan sadar ke IGD RSU Bangli pada hari Selasa, 15
Agustus 2023 dengan keluhan utama demam yang dialami sejak 2 hari SMRS
(Minggu, 13 Agustus 2023). Keluhan lain berupa batuk dikeluhkan oleh ibu
pasien yang muncul sejak 1 minggu sebelum hari raya Galungan sekitar hari
Rabu, 26 Juli 2023 dengan batuk berdahak. Selain batuk, ibu pasien
mengatakan bahwa pasien sempat mengalami buang air besar (BAB) dengan
konsistensi cair tetapi hanya 1 kali pada hari minggu SMRS (13 Agustus 2023).
Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan diperoleh :
Pada status present diperoleh suhu tubuh 36,6oC, frekuensi nadi 96
x/menit, respiration rate 28 x/menit, dan saturasi oksigen 96%. Pada
pemeriksaan status generalis diperoleh hasil yang bermakna pada telinga
ditemukan sekret (+/-), hidung sekret (+/+), dan pulmo pada auskultasi rales
(+/+).
5. Diagnosis Banding
a. Pneumonia
b. Pneumonia Berat

30
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah Lengkap (15 Agustus 2023)
Parameter Hasil Unit Nilai Rujukan Keterangan
WBC H 18.52 10*3/uL 3.5-9.5
NEU% H 88.5 % 40-75
NEU# H 16.38 10*3/uL 1.8-6.3
LYM% L 8,9 % 20-50
LYM# N 1.65 10*3/uL 1.1-3.2
MON% L 2.3 % 3-10
MON# N 0.43 10*3/uL 0.1-0.6
EOS% L 0.1 % 0.4-8
EOS# N 0.02 10*3/uL 0.02-0.52
BAS% N 0.2 % 0-1
BAS# N 0.04 10*3/uL 0-0.06
RBC N 4.59 10*6/uL 4.3-5.8
RDW-CV N 12 % 11-16
RDW-SD N 36.9 % 35-56
HGB L 11.8 g/dL 13-17.5
HCT L 34.6 % 40-50
MCV L 74.4 fL 82-100
MCHC N 34.6 g/dL 31.6-35.4
PLT N 315 10*3/uL 150-350
P-LCR N 24.1 % 11-45
P-LCC N 76 10*9/L 30-90
MPV N 8.3 fL 6.5-12
PDW N 9.8 fL 9-17

31
PCT N 0.261 % 0.1-0.28
Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap

b. Pemeriksaan Kimia Darah (Glukosa Darah Sewaktu/GDS) (15 Agustus


2023)
Parameter H/L Hasil Unit Ref Range
TYPE H N 92 Mg/dL 70-140
Tabel 3.2 Kimia Darah (Glukosa Darah Sewaktu/GDS)

c. Pemeriksaan Radiologi (Foto Thorax) (15 Agustus 2023)

Gambar 3.1 Hasil Pemeriksaan Foto Thorax


Kesan :
▪ Tampak corakan bronkovascular dalam batas normal
▪ Tampak konsolidasi pada bagian basal pulmo dextra dan sinistra
(dominan pada dextra)

32
▪ Tampak sudut costofrenicus lancip
▪ Tampak diafragma kanan lebih tinggi
▪ Cor tampak dalam batas normal
7. Diagnosis Kerja
▪ Pneumonia
8. Tatalaksana
a. Rencana Diagnostik
▪ Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 18 Agustus 2023
b. Rencana Terapi
1) Terapi Suportif
▪ MRS tirah baring
▪ Diet seimbang
▪ Cairan : IVFD KAEN 3B 18 tpm (makro)
2) Terapi Simptomatik
▪ Dexametasone 3 x 2 mg
▪ Paracetamol 3 x 15 cc
▪ Ranitidine 2 x 15 mg
▪ Ondancentron 3 x 2 mg
▪ Bronkodilator salbutamol sulfate dan ipratropium bromide 2 x ½ ampul
+ 3 cc NaCl
3) Terapi Kausatif
▪ Ceftriaxone 2 x 750 mg
c. Rencana Edukasi
▪ Menjelaskan kepada keluarga mengenai kondisi pasien dan diagnosis
pasien.
▪ Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai indikasi rawat inap
▪ Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai pengobatan yang akan
diberikan kepada pasien

33
▪ Menjelaskan kepada orang tua pasien untuk menjaga kebersihan diri
pasien, keluarga, dan lingkungan
9. Prognosis
Quo Ad Vitam : dubia ad bonam
Quo Ad Functionam : dubia ad bonam
Quo Ad Sanationam : dubia ad bonam

10. Follow Up Pasien


17 Agustus 2023
S Demam (-), Batuk berdahak (+), Pilek (+), makan minum (+), BAB (+),
BAK (+)
O Status Present :
▪ Keadaan umum : Tampak sakit ringan
▪ Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
▪ Suhu tubuh : 36,7oC
▪ Frekuensi nadi : 96 x/menit
▪ Respiration rate : 25 x/menit
▪ Saturasi oksigen : 96%

Status Generalis :
▪ Kepala : Normocephali
▪ Mata : Simetris (+/+), mata cekung (+/+), edema
palpebra (-/-), konjungtiva anemis (-/-),
injeksi konjungtiva (-/-), injeksi silier (-/-
), sklera ikterik (-/-), reflek pupil (+/+),
pupil bulat isokor (+/+)

34
▪ Telinga : Simetris (+/+), secret (-/-), deformitas (-/-
), hiperemis (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-),
nyeri tekan tragus (-/-)
▪ Hidung : Simetris (+/+), nafas cuping hidung (-/-),
secret (-/-), konka edema (-/-)
▪ Mulut dan : Bibir sianosis (-), mukosa bibir kering (-),
Tenggorokan mukosa bibir pucat (-), lidah kotor (-),
faring hiperemis (-), tonsil (T1/T1)
▪ Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid
(-)
▪ Thorax : Pulmo
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris,
retraksi subcostal (-)
Palpasi : fremitus taktil simetris (+/+)
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-
), rales (+/+)

Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS 5 MCL
sinistra
Perkusi : batas jantung dalam batas
normal
Auskultasi : S1S2 normal, regular,
murmur (-), gallop (-)

35
▪ Abdomen : Inspeksi : sikatrik (-), hiperemis (-),
distensi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen
Palpasi : nyeri tekan (---/---/---)

▪ Genitalia : Laki-laki
▪ Ekstremitas : Akral hangat (++/++), edema (--/--), CRT
<2 detik
▪ Kulit : Ikterus (-), ptekie (-), purpura (-), turgor
kulit kembali cepat
A Pneumonia
P ▪ Diet seimbang
▪ IVFD Ringer Laktat 20 tpm makro
▪ Paracetamol flash (injeksi) 4 x 60 cc (dosis paracetamol 10-15
mg/kgBB, sediaan 100 cc (1000 mg), pemberian = 60-90 cc)
▪ Ondancentron (injeksi) 3 x 4 mg (k/p) (pemberian = BB > 40 kg
diberikan dosis tunggal 4 mg)
▪ Ranitidine (injeksi) 2 x 1 ampul (pemberian = 1 ampul 2 mL =
50 mg, dosis 4-8 mg/kgBB atau rumatan 2-4 mg/kgBB)
▪ Curcuma (PO) 1 x 1 tablet
Tabel 3.3 Hasil Follow Up

36
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini diagnosis Pneumonia ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis didapatkan
pasien mengeluh mengalami demam, batuk berdahak, dan diare. Berdasarkan
pemeriksaan fisik yang diperoleh berupa, pada status present pasien sudah tidak
mengalami peningkatan suhu tubuh, pada status generalis diperoleh hasil yang
bermakna pada telinga ditemukan sekret (+/-), hidung sekret (+/+), dan pulmo pada
auskultasi rales (+/+). Pada pemeriksaan penunjang untuk Darah Lengkap pada
tanggal 15 Agustus 2023 diperoleh kadar WBC tinggi (18.52), Neutrofil % tinggi
(88.5), Neutrofil # tinggi (16.38), Limfosit % rendah (8,9), Mon % rendah (2.3),
Eosinofil % rendah (0.1), HGB rendah (11.8), HCT rendah (34.1), dan MCV rendah
(74.4). Kemudian dari hasil pemeriksaan radiologi berupa foto thorax ditemukan
adanya konsolidasi pada bagian basal pulmo dextra dan sinitra tetapi dominan pada
bagian dextra.

Diagnosis Pneumonia ditegakkan berdasarkan klasifikasi menurut WHO, yaitu


bukan pneumonia, pneumonia, pneumonia berat, dan pneumonia sangat berat, dengan
adanya batuk atau sesak napas dan napas cepat, serta dari hasil auskultasi diperoleh
suara napas yang normal. Pada pasien diperoleh adanya demam dan batuk berdahak.

Pada hasil pemeriksaan fisik diperoleh diperoleh hasil yang bermakna pada
telinga ditemukan sekret (+/-), hidung sekret (+/+), dan pulmo pada auskultasi rales
(+/+). Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien, meliputi pemeriksaan
Darah Lengkap, Kimia Darah (Glukosa Darah Sewaktu), dan Radiologi (Foto thorax).
Dari pemeriksaan Darah Lengkap diperoleh adanya peningkatan WBC yang
mendukung telah terjadinya respon inflamasi. Kemudian pemeriksaan radiologi (foto

37
thorax) ditemukan adanya konsolidasi pada bagian basal pulmo dextra dan sinitra tetapi
dominan pada bagian dextra.

Tatalaksana yang diberikan kepada pasien berupa terapi suportif tirah baring,
diet seimbang, cairan IVFD KAEN 3B 18 tpm makro, kemudian terapi simptomatik
berupa dexamethasone 3x2 mg, paracetamol 3x15 cc, ranitidine 2x15 mg,
ondancentron 3x2 mg, bronkodilator salbutamol sulfate dan ipratropium bromide 2 x
½ ampul + 3 cc NaCl, serta terapi kausatif berupa ceftriaxone 2x750 mg. Pasien di
rawat inap untuk mengevaluasi demam dan kondisi batuknya. Kemudian diet seimbang
diberikan kepada pasien untuk memenuhi kebutuhan makanan yang mengandung zat
gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai kebutuhan tubuh. Pasien juga diberikan cairan
dapat berupa KAEN 3B sesuai usia dan berat badan diberikan 18 tpm makro, Untuk
obat yang diberikan pada pasien tentunya secara simptomatik yaitu diberikan
paracetamol secara injeksi untuk menangani kondisi demam pada pasien. Pasien juga
diberikan ondancentron secara injeksi dan ranitidine secara injeksi untuk mencegah
adanya keluhan pada lambung, dengan rasa mual atau muntah pada pasien, serta
diberikan dexamethasone untuk perbaikan kondisi prau-parunya, dan bronkodilator
berupa salbutamol sulfate dan ipratropium bromide untuk kondisi batuk pada pasien
sehingga mampu mengurangi frekuensi napas. Kemudian terapi kausatif diberikan
berupa antibiotik, yaitu ceftriaxone untuk keluhan yang mengarah pada infeksi dari
bakteri penyebab pneumonia.

38
BAB V
PENUTUP

Pada kasus ini penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang sudah cukup untuk menegakkan diagnosis
pneumonia pada pasien. Dengan adanya kondisi batuk berdahak dan demam secara
klinis sudah menunjukkan adanya infeksi pada paru-paru, kemudian diikuti dengan
hasil pemeriksaan fisik berupa adanya rales pada hasil auskultasi pada pulmo, dan
adanya tanda-tanda yang menunjukkan terjadinya infeksi dari hasil pemeriksaan darah
lengkap yang ditunjukkan dari hasil peningkatan leukosit dan neutrofil, serta hasil
pemeriksaan radiologi (foto thorax) yang menunjukkan adanya konsolidasi pada
pulmo. Kemudian untuk tatalaksana yang diberikan kepada pasien ini juga sudah cukup
sesuai dengan kepustakaan.

39
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, Karina., Ryusuke, Oyagi. (2017). Pneumonia. Fakultas Kedokteran


Universitas Udayana.

Mantero, M., Tarsia, P., Gramegna, A. et al. (2017). Antibiotic Therapy,


Supportive Treatment and Management of Immunomodulation- Inflammation
Response in Community Acquired Pneumonia: review of recommendations.
Multidiscip Respir Med 2017;12(26) https://doi. org/10.1186/s40248-017-
0106-3.

Opovsky, E. Y., & Florin, T. A. (2020). Community-Acquired Pneumonia in Childhood.


Reference Module in Biomedical Sciences.

Suci, Laxmi Nurul. (2020). Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Pneumonia pada
Anak. Jurnal Kedokteran Nanggroe Medika.

40

Anda mungkin juga menyukai