Pneumonia
Oleh :
Preseptor :
2022
Alhamdulillahirabbil‟alamiin, puji dan syukur atas kehadirat Allah subhanahu wa ta‟ala dan
shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam, berkat rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Pneumonia ini dapat diselesaikan pada waktu
yang ditentukan.
Makalah ini dibuat untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai Pneumonia serta
menjadi salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUP Dr. M. Djamil Padang, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, khususnya kepada Dr. dr. Rinang Mariko, Sp.A (K) selaku preseptor yang telah bersedia
meluangkan waktu, memberikan saran, perbaikan dan bimbingan. Terima kasih kepada rekan-rekan
dokter muda dan semua pihak yang turut berpartisipasi.
Dengan demikian, kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca terutama
dalam meningkatkan pemahaman tentang Pneumonia. Segala saran dan masukan akan penulis terima
dengan tangan terbuka demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
PENDAHULUAN
Pneumonia pada anak masih menjadi penyebab utama terjadinya kematian di dunia, terutama
pada anak dibawah usia 5 tahun. Persentase kasus tersebut di negara berkembang mencapai angka
18%. Pneumonia di Indonesia menjadi penyebab 15% kematian pada balita. Pada tahun 2015,
diperkirakan 922 ribu balita meninggal akibat pneumonia. Tahun 2017, kematian balita akibat
pneumonia meningkat menjadi 0,34% dari 0.22% dari tahun sebelumnya. Kasus pneumonia di kota
Padang meningkat dari 780 kasus pada tahun 2010 menjadi 1426 kasus pada tahun 2011.1
Pneumonia merupakan infeksi akut pada parenkim paru, meliputi alveolus dan jaringan
interstisial, ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronkhi basah, dan gambaran infiltrat pada
rontgen toraks. Pada umumnya, pneumonia dapat menyerang anak dengan berbagai golongan umur
tanpa terkecuali.
Pneumonia dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk berdasarkan tempat terjadinya infeksi,
yaitu Community Acquired Pneumonia (CAP) yang sering terjadi pada masyarakat dan Hospital
Acquired Pneumonia (HAP) atau pneumonia nasokomial yang didapat di Rumah Sakit. Pneumonia
komunitas merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia dan
menjadi salah satu dari 5 penyebab utama kematian pada anak usia di bawah 5 tahun di negara
berkembang, dengan jumlah kematian sekitar 3 juta kematian/tahun. Tingkat kematian anak dibawah
usia lima tahun di sebagian besar negara berkembang berkisar 60-100 per 1000 kelahiran hidup,
seperlima dari kematian ini disebabkan oleh pneumonia.2
Terdapat berbagai faktor resiko terjadinya pneumonia di negara berkembang, diantaranya berat
badan lahir rendah (BBLR), malnutrisi, tidak mendapat imunisasi, tidak mendapatkan ASI yang
adekuat, tingginya pajanan terhadap polusi udara, paparan rokok tinggi, serta keadaan sosial ekonomi
rendah.
Mikroorganisme penyebab pneumonia dapat berupa virus, bakteri dan jamur. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 70% penyakit pneumonia disebabkan oleh bakteri, terutama Streptococcus
pneumonia dan Hemophilus influenza tipe B. Pemeriksaan mikroorganisme penyebab pneumonia
pada balita masih belum sempurna karena balita sulit memproduksi sputum dan tindakan invasif
Kejadian infeksi saluran pernapasan bawah seperti pneumonia banyak dikaitkan dengan adanya
kolonisasi bakteri potensial patogen pada nasofaring. Klebsiella sp. adalah bakteri Gram negatif dari
kelompok Enterobacteriaceae yang dapat ditemukan di traktus gastrointestinal dan respiratori.
Adanya kolonisasi nasofaring merupakan sumber infeksi pertama sebelum menyebar ke lokasi lain
pada saluran napas. Oleh karena itu, data mengenai bakteri yang mengkolonisasi nasofaring memiliki
arti penting untuk mengetahui jenis bakteri potensial patogen dan membantu menentukan kebijakan
pemberian antibiotik, mengingat kultur etiologi bakteri pada penderita membutuhkan waktu yang
lama.
Tatalaksana utama pneumonia pada anak adalah dengan pemberian antibiotik berdasarkan
mikroorganisme penyebab. Terapi suportif berupa pemberian oksigen, pemberian cairan intravena
dan koreksi gangguan elektrolit serta pemberian antipiretik harus sejalan dilakukan. Penyakit
penyerta dan komplikasi yang muncul harus ditanggulangi secara adekuat sehingga tidak
memperburuk kondisi pasien selama masa perawatan.
2.1 Definisi
Pneumonia yang merupakan infeksi akut pada parenkim paru, meliputi alveolus dan jaringan
interstisial, ditandai dengan batuk, sesak napas, demam, ronkhi basah, dan gambaran infiltrat pada
rontgen toraks.1,2
2.2 Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh pelbagai mikroorganisme, yaitu bakteri, virus dan fungi.
Bakteri penyebab pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, Mycoplasma pneumonia, Chlamidia
spp, Echerichia coli. Sedangkan dari kelompok virus, penyebab pneumonia adalah Respiratory
Syncytial virus. Beberapa virus dapat menyebabkan gejala pneumonia yang berat dan menyebabkan
kematian atau juga disebut: severe acute respiratory infection (SARI). 5 Penyebab pneumonia pada
anak dapat diperkirakan dari usia penderita, seperti terlihat pada tabel 1.
2.4 Diagnosis
Diagnosis pneumonia pada anak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksan penunjang. Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan yang dialami penderita, meliputi:
demam, batuk, gelisah, rewel dan sesak nafas. Pada bayi, gejala tidak khas, seringkali tanpa gejala
demam dan batuk. Anak besar, kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen, muntah. Manifestasi
klinis yang terjadi akan berbeda-beda, tergantung pada beratnya penyakit dan usia penderita. Pada bayi
jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat pada bayi adalah: batuk, panas, iritabel. Pada
anak balita, dapat ditemukan batuk produktif/ non produktif dan dipsnea.6
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan sejumlah tanda fisik patologis, terutama adanya nafas
cepat (takipnea) dan kesulitan bernafas (dyspnea). Pengukuran frekuensi napas dilakukan dalam satu
menit ketika anak sadar dan tidak sedang menangis. Demam dapat mencapai suhu 38,50C sampai
menggigil. Gejala paru muncul beberapa hari setelah proses infeksi tidak terkompensasi dengan baik.
Gejala distress pernapasan seperti takipneu, dispneu, adanya retraksi (suprasternal, interkosta,
subkosta), grunting, napas cuping hidung, apneu dan saturasi oksigen < 90% dapat ditemukan pada
pasien jika oksigenasi paru sudah berkurang. Takipneu menunjukkan beratnya penyakit pada pasien
dengan kategori usia sebagai berikut : > 60x/ menit pada 0-2 bulan, > 50x/menit pada 2-12 bulan, >
40x/menit pada 1-5 tahun, > 20x/menit pada anak diatas 5 tahun.7
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada anak dengan pneumonia meliputi pemeriksaan
darah rutin, Analisa Gas Darah (AGD), C-Reaktif Protein (CRP), uji serologis dan pemeriksaan
mikrobiologik. Pada pemeriksaan darah rutin, dapat dijumpai leukositosis, umumnya berkisar 15.000 –
30.000/ mm3 dengan predominan polimorphonuklear (PMN). Jumlah leukosit dan hitung jenis
leukosit dapat membantu menentukan pilihan pemberian antibiotik. Pada beberapa kasus didapatkan
anemia dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Pada anak dengan distress pernapasan berat,
hiperkapnia harus dievaluasi dengan pemeriksaan AGD, karena kadar oksigen harus dipertahankan.
Pemeriksaan CRP tidak banyak berkontribusi, tetapi peningkatan CRP menandakan terjadinya
inflamasi di dalam tubuh.8
Pemeriksaan Penunjang
1. Kultur Darah
- Jumlah dan waktu pengambilan.
Sebagian kasus bakterimia dapat dideteksi dengan mempergunakan 3 set kultur darah yang
diambil secara terpisah. Pengambilan spesimen darah lebih dari 3 set tidak mempengaruhi
tingkat sensifitas dan spesifitas deteksi bakteri. Sebaliknya, satu kultur darah akan
memberikan hasil negatif palsu terutama pada bakterimia intermiten sehingga terjadi
kesulitan dalam menginterpretasi mikroorganisme yang berhasil diisolasi dari kultur tersebut.
2. Kultur urin
Dalam pengambilan spesimen urin, waktu dan penyimpanan spesimen merupakan hal
yang berperan penting mempengaruhi hasil pemeriksaan. Selain itu, daerah uretra dan
periuretra berada pada daerah yang berpotensial menjadi sumber kontaminan. Karena itu, saat
pengambilan spesimen urin dipastikan daerah ujung uretra pada laki-laki dan vestibulum
vagina pada wanita harus dibersihkan sebelum dilakukan pengambilan spesimen. Dengan
tindakan ini diharapkan dapat mengurangi terjadinya kontaminasi pada spesimen urin. Ujung
uretra atau vestibulum vagina cukup dibersihkan dengan sabun. Tidak direkomendasikan
menggunakan disinfektan karena penggunaan disinfektan selama pengambilan urin diduga
dapat menjadi penghambat atau inhibitor pertumbuhan mikroorganisme.
Cairan tubuh lain seperti cairan pleural, peritoneal dan cairan sendi diaspirasi dan disimpan
dalam pot steril. Untuk cairan thorak, pleura atau abdominal dapat dilakukan aspirasi
sebanyak 50-100 ml. Apabila spesimen tidak segera dikirim, spesimen disimpan pada suhu
kamar.
4. Sputum
Cara pengambilan sputum adalah :
- Pasien kumur-kumur dengan air sebelum sputum dibatukkan untuk mengurangi
kontaminasi flora normal orofaring
- Batuk sedalam mungkin disertai dengan pengeluaran sputum lalu masukkan ke pot steril
(sputum ekspetorasi). Jumlah sputum tidak perlu banyak asalkan bukan saliva.
- Untuk pemeriksaan basil tahan asam (BTA) diambil sputum pertama pagi 3 hari berturut-
turut atau sputum sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) dibawah pengawasan. Jumlah sputum
minimal ± 3 ml
- Kuman yang biasa ditemui, Mycobacterium tuberculosis, Legionella, Streptococcus
pneumoniae, Staphylococcus aureus.
Eliminasi Mikroorganisme
Identifikasi mikroorganisme penyebab sebagian besar tidak dapat dilakukan karena keterbatasan
fasilitas di lapangan. Oleh karena itu, pasien pneumonia tetap harus diberikan antibiotik secara empiris
berdasarkan kemungkinan kuman penyebab dengan mempertimbangkan usia dan kondisi klinis pasien.
Pada kasus rawat inap, neonatus dengan gangguan pernapasan harus selalu diasumsikan dengan
pneumonia bakteri sampai terbukti tidak. Pemberian antibiotik ampisilin dan gentamisin dengan atau
tanpa sefotaxim harus dimulai sesegera mungkin. Azitromisin pada neonatus direkomendasikan untuk
chlamydia trachomatis, ureaplasma dan pertusis dengan dosis 10 mg/kg/ hari selama 5 hari.7,8
Ampisilin juga merupakan antibiotik lini pertama yang diberikan pada anak usia > 3 bulan yang sudah
diimunisasi dengan pneumonia tanpa komplikasi. Untuk anak-anak yang mengalami infeksi berat
(mereka yang dirawat di ruang ICU), mereka yang tidak diimunisasi,atau di daerah dengan
pneumokokus tinggi , resisten terhadap penisilin, antibiotik sefalosporin generasi ketiga (ceftriaxone
atau cefotaxime) harus diberikan. Apabila ada kecurigaan patogen atipikal atau tidak membaik dengan
regimen ini, maka golongan makrolida dapat ditambahkan. Antibiotik non β laktam tidak terbukti
lebih efektif daripada sefalosporin generasi ketiga.12
Apabila selama masa rawatan, anak menunjukkan perburukan status pernapasan, apneu berulang,
gagal mempertahankan saturasi oksigen >92% serta adanya perubahan status mental akibat hiperkarbia
dan hipoksemia maka perawatan Intensive Care Unit (ICU) menjadi prioritas. Pada keadaan tersebut
harus dilakukan pemantauan tanda vital berkala dan penggunakan alat bantu napas invasive
(endotracheal tube) perlu dipertimbangkan.
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : An. MK
No.MR : 01.14.49.61
Seorang pasien laki-laki usia 3 bulan datang ke IGD RSUP Dr M.Djamil d Padang
tanggal 12 Oktober 2022 dengan :
• Demam sejak 3 hari SMRS, demam tinggi, terus menerus, peak 39,4 oC diukur di ketiak
pasien, tidak menggigil, tidak berkeringat, namun tidak kunjung menurun.
• Kejang 2 x 2 jam SMRS, kejang pada seluruh tubuh, lamanya kejang lebih kurang 1 menit.
Badan kelonjotan, berhenti sendiri, anak langsung menangis (sadar) setelah kejang.
• Batuk hilang timbul sejak 3 minggu yang lalu setelah rawatan di NICU. Anak tampak sesak.
• Anak lahir SC, berat badan lahir 4025 gram, panjang lahir 46 cm dari ibu G5p4A0, usia
kehamilan 38 – 39 minggu.
• Riwayat dirawat selama NICU selama 43 hari dan telah VP Shunt + terapi CMV selama
rawatan.
• Pasien anak ke 5 dari 5 bersaudara. Anak pertama meninggal karena tidak ada tengkorak
kepala, anak kedua berusia 9 tahun dalam keadaan sehat, anak ketiga meninggal pada usia
26 hari karena hydrocephalus, dan anak ke empat sehat.
Riwayat Kelahiran
• ASI : 0 - 3 bulan
• Susu formula :-
• Buah biskuit :-
• Bubur susu :-
• Nasi tim :-
Kesan : Kualitas dan kuantitas makan cukup.
Riwayat Imunisasi
Dasar Ulangan
Jenis Imunisasi
I II II I II III
I
BCG -
Polio -
DTP -
Campak -
Hepatitis B +
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Pendidikan SMA D3
Umum
Khusus
• Kulit : Teraba hangat, tidak tampak pucat, tidak ada ruam, tampak
kemerahan di kulit kepala temporal (D).
• Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening.
• Kepala :Bulat, simetris, lingkar kepala 56,5 cm, makrocephal, UUB tidak
tegang.
• Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut.
• Mata : Mata cekung tidak ada, refleks cahaya +/+, sunset eyes +/+.
• Telinga : Tidak ada sekret.
• Hidung : Napas cuping hidung tidak ada, sekret tidak ada.
• Tenggorok : Tidak hiperemis.
• Gigi dan mulut : Mukosa mulut dan bibir basah, sianosis tidak ada.
• Leher : Tidak teraba pembesaran KGB dan tidak teraba
pembesaran kelenjar tiroid.
• Toraks : Normochest
• Paru
- Inspeksi : Retraksi epigastrium (+).
- Palpasi : Fremitus sulit dinilai
- Perkusi : Tidak dilakukan
- Auskultasi : Suara napas bronkovesikuler, Rhonki kasar (+/+),
Wheezing (-/-) di kedua lapangan paru
• Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 17
- Perkusi : Batas jantung atas = RIC II, kanan = LSD, kiri = 1
jari medial LMCS RIC V
- Auskultasi : Irama reguler, bising tidak ada
• Abdomen
- Inspeksi : Perut tidak tampak buncit, distensi tidak ada
- Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kembali cepat
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Punggung : Tidak ada kelainan
• Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
• Anggota gerak : Akral hangat , CRT < 2 detik
• Darah : Hb : 11.2
Leukosit : 17.390
Trombosit : 549.000
Hitung Jenis : 0/0/0/40/55/5
Kesan : Trombositosis.
Pada pemeriksaan kultur darah, telah ditemukan etiologi penyebab pneumonia pada
pasien, yaitu adanya infeksi Klebsiella, sp.
- Demam
- Kejang
- Sesak nafas
- Riwayat muntah
DIAGNOSIS KERJA
Bronkopneumonia
Infeksi CMV Kongenital
Hidrosefalus kongenital ec CMV post VP shunt.
PENATALAKSANAAN
• Meropenem 2x15 mg
• Fenobarbital 2x25 mg IV
• Diamox 2x40 mg PO
• Bicnat 3x1/2 tab PO
Ku HR RR TD SpO2
O/ Sedang 153x/I 32x/I 93/59 100%
P/ Ampisilin 6x300 mg IV
Fenobarbital 2x25 mg IV
Dramox 2x40 mg PO
Bicnat 3x1/2 tab PO
O/ Ku kesadaran HR RR T
sedang sadar 110 x/i 25x/i 36,4 C
Mata : sunset eye phenomenom (+)
Thoraks : Retraksi epigastrium (-), Rh -/-, Wh -/-
Abdomen: distensi (-), supel, BU (+) normal
Ekstremitas : CRT < 2‟
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 21
A/ Bronchopneumonia
Infeksi CMV
Hidrosefalus kongenital
P/
Pantau WOB.
Meropenem 3x240 mg IV
Amikacin 2x100 mg IV
Fenobarbital 2x15 mg PO
Diamox 2x40 mg PO
Bicnat 3x1/2 tab PO
2/11/22 S/ Anak terpasang O2 nasal, tidak desaturasi, tidak
demam, tidak bertambah sesak.
BAB dan BAK biasa
O/ Ku kesadaran HR RR T
Sedang sadar 91x/i 36x 36,7
Pantau WOB.
P/
Meropenem 3x240 mg IV
Amikacin 2x100 mg IV
Fenobarbital 2x15 mg PO
Diamox 2x40 mg PO
Bicnat 3x1/2 tab PO
3/11/22 S/ Anak terpasang O2 nasal canul, tidak bertambah sesak,
tidak ada kejang, tidak ada demam, batuk masih ada,
muntah 2x.
O/ Ku kesadaran HR RR T
Sedang sadar 132x/i 38x/i 36,8oC
Seorang bayi laki-laki, usia 2 bulan dirawat dengan keterangan Susp. Ventrikulitis,
Hidrosefalus post vp shunt, Infeksi CMV kongenital selesai valgancyclovir. Pada tanggal 21 Okt
2022 kondisi anak muntah 2x, demam ada dengan peak 37,7oc. Sesak tidak ada tapi ada
peningkatan WOB. Anak terpasang O2 nasal kanul dan saturasi 100%. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum sakit sedang, laju nadi 153 x/i, nafas 32x/I, tekanan darah 93/59
mmHg serta ditemukan tanda klinis seperti retraksi epigastrium, suara nafas vesikuler, rhonki
kasar +/+, wheezing. Pada pemeriksaan rontgen thoraks posisi AP ditemukan tampak infiltrat di
perihiller dan parakardial par kanan dan kiri serta tampak konsolidasi di paru kanan atas.
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar disebabkan
oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi
dll). Pada pneumonia yang disebabkan oleh kuman, menjadi pertanyaan penting adalah penyebab
dari Pneumonia (virus atau bakteri). Pneumonia seringkali dipercaya diawali oleh infeksi virus
yang kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri.
Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan beta-laktam atau
kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta-laktam dan kloramfenikol,
dapat diberikan gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai etiologi yang ditemukan. Pada
teori lain juga ditemukan penatalaksanaan pneumonia sesuai umur penderita yaitu, bayi <3bulan
diterapi dengan ampisilin + gentamicin, usia 3 bulan – 5 tahun diterapi dengan ampisilin +
kloramfenikol atau tambahkan makrolid jika tidak berespon dengan keduanya, usia ≥ 5 tahun
diterapi dengan makrolid atau tambah beta laktam.jika tidak berespondengan makrolid.
Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera
mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis,
antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi
betalaktam/klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila keadaan
sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral selama 10 hari.
Pada pemeriksaan kultur darah, telah ditemukan etiologi penyebab pneumonia pada
pasien, yaitu adanya infeksi Klebsiella, sp. Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri patogen
yang paling sering menyebabkan infeksi di antara bakteri enterik gram negatif lainnya.
Klebsiella sp. Merupakan patogen utama di rumah sakit terkait dengan meningkatnya insidensi
bakteri penghasil extended spectrum B-lactamase (ESBL), dan dapat menginfeksi pasien yang
1. Mani, C. S., & Murray, D. L. (2018). Acute Pneumonia and Its Complications. In: Principles and
Practice of Pediatric Infectious Diseases. New York: 2018; 238-249.
2. Jannah, M., Abdullah, A., & Melania, H. Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Pneumonia Balita Di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Banda Raya Kota Banda Aceh
Tahun 2019. JUKEMA 2019;6(1).h. 20-28.
3. Sidiq, R., Ritawati, & Sitio, R. (2016). The Risk of Pneumonia among Toddlers in Lambatee,
Aceh. National Public Health 2016; 69-73.
4. Setyanto, D. B., Suardi, A. U., Setiawati, L., Triasih, R., & Yani, F. F. (2019). Pneumonia.
Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Jilid I. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
2019; 250-255.
5. Scotta MC, Marostica P, Stein RT. Pneumonia in Children. Dalam: Wilmot R, Dererding R, Li A,
Ratjen F, Sly P, Zar H dkk, penyunting. Kendig‟s Disorder of Respiratory tract in Children. Edisi
ke9. Philadelphia: Elsevier; 2019, h 427-38.
6. Opovsky, E. Y., & Florin, T. A. Community-Acquired Pneumonia in Childhood. Reference
Module in Biomedical Sciences. 2020.
7. Bradle JS, Carrie L. Byington, Samir S. Shah, et al. The Management of Community-Acquired
Pneumonia in Infants and Children Older Than 3 Months of Age: Clinical Practice Guidelines by
the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America, Clinical
Infectious Diseases 2011;53(7):e25–e76.
8. Howie S, Murdoch D. Global childhood pneumonia: the good news, the bad news and the ways
ahead. Lancet Global Health. 2019;7(1):e4- 5
9. Mantero, M., Tarsia, P., Gramegna, A. et al. Antibiotic Therapy, Supportive Treatment J. Ked. N.
Med | VOL. 3 | NO. 1 | Maret 2020 | and Management of ImmunomodulationInflammation
Response in Community Acquired Pneumonia: review of recommendations. Multidiscip Respir
Med 2017;12(26).
10. Stefan M.T. Vestjens, Simone M.C. Spoorenberg, Ger T. Rijkers, Jan C. Grutters, Ewoudt M.W.
van de Garde, Sabine C.A. Meijvis, Willem Jan W. Bos. Antipyretic effect of dexamethasone in
community-acquired pneumonia. European Respiratory Journal 2015 46: 570-573
11. Eran Lavi, David Shoseyov, Natalia Simanovsky, Rebecca Brooks, “Systemic Steroid Treatment
for Severe Expanding Pneumococcal Pneumonia”, Case Reports in Pediatrics 2015.