Anda di halaman 1dari 29

Case Report Session

Community Acquired Pneumonia

Oleh:
M. Ikhlasul Amal Eel Taslim 2140312112

Preseptor :
dr. Rasmelia Noer, Sp.PD, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PROF. DR. M ALI HANAFIAH BATUSANGKAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Case Report Session
(CRS) dengan judul “Community Acquired Pneumonia” yang merupakan salah
satu kewajiban yang harus terpenuhi pada masa kepaniteraan klinik Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Andalas di RSUD Prof. Dr. M Ali Hanafiah
Batusangkar.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan dan penyampaian materi pada
CRS ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
penulis sangat menerima kritik dan saran yang membangun dalam perbaikan dan
penyempurnaan CRS ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada guru kami yaitu dr.
Rasmelia Noer, Sp.PD, FINASIM yang membimbing kami dalam berdiskusi
mengenai CRS ini dan juga pada rekan-rekan dokter muda yang ikut serta dalam
pembuatan makalahini.
Akhir kata, semoga CRS ini dapat bermanfaat bagi para kami sebagai
penulis dan juga tentunya bagi para pembaca dalam memahami katarak yang terjadi
pada usia senja. Terima kasih

Padang, 28 September 2022

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pneumonia adalah suatu peradangan akut parenkim paru yag disebabkan
oleh mikroorganisme (bakteri,virus, jamur, parasit) dan pneumonia yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan
peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia,
radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan, dll) disebut pneumonitis.
Berdasarkan klinis dan epidimiologis, pneumonia dibedakan atas
pneumonia komunitas (Community-Acquired Pneumonia = CAP), Pneumonia
didapat di Rumah Sakit (Hospital-Acquired Pneumonia = HAP), Health Care
Associated Pneumonia – HCAP dan pneumonia akibat pemakaian ventilator
(Ventilator Associated Pneumonia = VAP) .
Laporan WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi
akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk
pneumonia dan influenza. Insidensi pneumonia komuniti di Amerika adalah
12 kasus per 1000 orang per tahun dan merupakan penyebab kematian utama
akibat infeksi pada orang dewasa di negara itu. Angka kematian akibat
pneumonia di Amerika adalah 10 %.
Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2001, penyakit
infeksi saluran napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab
kematian di Indonesia. Di SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2001 infeksi
juga merupakan penyakit paru utama, 58% diantara penderita rawat jalan
adalah kasus infeksi dan 11.6% diantaranya kasus nontuberkolosis, pada
penderita rawat inap 58.8% kasus infeksi dan 14,6% diantaranya kasus
nontuberkolosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan 53,8% kasus infeksi dan
28,6% diantaranya infeksi nontuberkolosis. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka kematian
antara 20-35%. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dari
sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat per tahun. Peumonia masih menjadi
penyebab tertinggi mortalitas dan morbiditas di dunia. World Health
Organization (WHO) mencanangkan program Global Action Plan for

3
Prevention and Control of Pneumonia. Kematian hospital-acquired pneumonia
/ ventilator-acquired pneumonia (HAP/VAP) mulai menurun, namun masih
jauh dari harapan dan masih menjadi masalah kesehatan yang besar. Angka
kematian hospital-acquired pneumonia / ventilator-acquired pneumonia dapat
diturunkan bila ditatalaksana dengan baik dan sesuai pedoman.

1.2 Tujuan Penulisan


Laporan kasus ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca
dan penulis mengenai pneumonia.
1.3 Batasan Penulisan
Laporan kasus ini membahas mengenai pneumonia.
1.4 Metode Penulisan
Laporan kasus ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka
yang merujuk dari berbagai literatur, hasil pemeriksaan pasien, dan rekam
medis pasien.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pneumonia adalah suatu peradangan yang mengenai parenkim paru,


distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bakterialis respiratorious, dan
alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran
gas setempat.
Pneumonia komunitas merupakan salah satu subtipe dari pneumonia
dengan bentuk epidemiologis yaitu sebagai infeksi pada parenkim paru yang
didapatkandi luar rumah sakit atau fasilitas kesehatan penyedia rawat inap.
Pengertian lain dari pneumonia komunitas adalah suatu infeksi pada
paru yang dimulai dari luar rumah sakit atau didiagnosis dalam 48 jam setelah
masuk rumah sakit pada pasien yang tidak menempati fasilitas perawatan
kesehatan jangka panjang selama 14 hari atau lebih sebelum gejala muncul
serta biasanya disertai dengan adanya gambaran infiltrat pada pemeriksaan
radiologis dada.

2.2 Epidemiologi

Pneumonia komunitas merupakan kondisi medis yang akut dan tersebar


di seluruh belahan dunia. Penyakit ini menjadi salah satu penyebab utama
tingginya angka rawat inap di rumah sakit dan mortalitas di negara
berkembang. Faktor resiko terjadinya pneumonia komunitas, sebagai berikut :
1) Usia lanjut lebih dari 65 tahun
2) Merokok
3) Riwayat penyakit saluran pernapasan
4) Memiliki penyakit komorbiditas, seperti diabetes mellitus, penyakit
jantung,penyakit ginjal, dan lain sebagainya
5) Gangguan neurologis, yang dapat menyebabkan kesulitan menelan
ataukesadaran yang menurun
6) Imunitas yang memburuk
7) Alkoholisme

5
8) Penggunaan antibiotik dan obat suntik intravena
9) Riwayat pembedahan atau trauma
Berbagai penelitian epidemiologis sudah banyak dilakukan di tiap negara
dan daerah, dan tidak banyak terdapat perbedaan antara penelitian satu dengan
penelitian lainnya. Pada salah satu penelitian, insidensi meningkat pada
kelompokusia yang lebih tua dengan pria lebih banyak daripada wanita. Hal ini
sejalan dengan penelitian lain oleh Tsai-Ling, dkk yang menyatakan bahwa
usia rerata subyek penelitian adalah sebesar 56,1 ± 22,8 dengan jumlah pria
lebih banyak dibandingkan wanita.

Pneumonia menjadi penyebab utama kematian pada anak usia kurang


dari 5 tahun. Italia melaporkan insidens HAP yaitu 7 per 100.000 penduduk,
dengan rerata fatalitasnya adalah 29,3%. Di Indonesia, dari seluruh kematian,
pneumonia menjadi penyebab 17,4% kematian usia <5 tahun dan 21,9%
kematian usia > 60 tahun. Pneumonia menyebabkan kematian pada 23.000
penduduk usia 60 tahun tiap tahun atau 111,4 kematian/ 100.000 populasi usia
60 tahun. Proporsi pneumonia dari seluruh pasien ang dirawat di RS mencapai
19,9% di Filipina, 6,4% di Malaysia, dan 1,5% di Indonesia. Risiko kematian
HAP lebih tinggi disbanding pneumonia komunitas di negara Asia Tenggara
dengan angka 25,5% di Malaysia, 11,3% di Indonesia, dan 9,1% di Filipina.

2.3 Etiologi
Terdapat beberapa mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan
pneumonia, antara lain : bakteri, virus, jamur, dan parasit. Pada pasien dewasa,
penyebab pneumonia komunitas yang sering ditemukan adalah bakteri
golongan gram positif, yaitu Streptococcus pneumonia, bersama dengan
Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza merupakan bakteri patogen
golongan tipikal. Legionella, Chlamydophila, M.pneumoniae merupakan
bakteri patogen golongan atipikal.
Virus dapat menyebabkan pneumonia dan Respiratory Syncytial Virus
(RSV) merupakan etiologi virus yang sering ditemukan. Pada beberapa kasus
juga dapat ditemukan virus influenza tipe A atau tipe B. Pada pasien dengan
kondisi imun yang buruk dapat terjadi pneumonia akibat infeksi jamur. Pada

6
kasus yang jarang, pneumonia dapat disebabkan oleh aspirasi objek atau
substansi yang mengakibatkan iritasi dari paru.
Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia komunitas
diIndonesia, setelah dilakukan pemeriksaan mikrobiologi dengan pengambilan
bahan dan metode yang berbeda di beberapa pusat pelayanan kesehatan paru,
seperti di Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makassar, ditemukan bahwa
bakteri golongan gram positif terbanyak yang menjadi penyebab pneumonia
komunitas adalah Streptococcus pneumonia (14,04%) dan dari golongan gram
negatif yaitu Klebsiella pneumonia (45,18%). Hampir sama dengan penelitian
yang dilakukan di Mesir dimana ditemukan prevalensi tertinggi penyebab
pneumonia komunitas dari golongan gram positif adalah Streptoccus
pneumonia dan Staphylococcus aureus, sementara dari golongan gram negatif
yaitu Klebsiella pneumoniae. Di Eropa, bakteri gram positif Streptoccus
pneumonia tetap patogen yang utama.

HAP dapat disebabkan bakteri aerob (gram positif, gram negatif) dan
anaerob. Gram negative menjadi penyebab HAP sebesar 50-60%. Atogen
utama penyebab HAP adalah golongan Entobacteriaceae (Klebsiella
pneumonia, E.coli, Serratia marcescens, Enterobacter spp), Acinobacter spp,
dan Pseudomonas aeruginosa. Hal tersebut juga konsisten dengan data yang
didapatkan di Indonesia yang menunjukkan Klebsiella, Acinobacter, dan
Pseudomonas merupakan kuman penyebab HAP di ICU. HAP dan VAP juga
memiliki risiko tinggi kuman pathogen MDR, termasuk methicillin-resistant
Staphylococcus aureus (MRSA). Bakteri penyebab HAP bersifat lebih virulen
dan cenderung menjadi multidrug resistant.

2.4 Faktor Risiko

Risiko terkena pneumonia meningkat dengan bertambahnya usia pasien


dan adanya penyakit penyerta. Komorbiditas tersebut antara lain penyakit
pernapasan kronis, seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dan
bronkiektasis, serta masalah non-pernapasan seperti penyakit kardiovaskular
dan ginjal. Komorbiditas seperti epilepsi, demensia, dan stroke juga
meningkatkan risiko pneumonia, kemungkinan melalui peningkatan risiko
aspirasi. Faktor yang berhubungan dengan gaya hidup seperti penggunaan

7
tembakau, penggunaan alkohol, malnutrisi kronis, dan kebersihan gigi yang
buruk juga meningkatkan risiko. Adanya penyakit paru struktural, penggunaan
antibiotik baru-baru ini, dan penggunaan kortikosteroid merupakan faktor
risiko infeksi gram negatif. Penemuan terbaru menunjukkan beberapa faktor
risiko genetik untuk CAP juga telah diidentifikasi. Varian dalam gen proto-
oncogene tyrosine-protein kinase FER, yang mengatur adhesi sel, migrasi, dan
kemotaksis, telah dikaitkan dengan penurunan risiko kematian akibat
pneumonia.
Faktor risiko terjadinya pneumonia adalah pada kelompok usia lanjut dan
dewasa dengan penyakit penyerta berupa penyakit jantung kronik, paru kronik
atau penyakit hati kronik, pasien dengan HIV, transplan organ atau pemakaian
obat imunosupresif. Pasien yang sering dirawat di RS berisiko terkena healthcare-
associated infections (HAIs). Pasien gizi buruk yang dirawat di RS dapat
meningkatkan risiko infeksi. Penyakit berat yang disertai kelainan sirkulasi akan
meningkatkan risiko HAP. Aspirasi secret orofaring memegang peranan penting
kejadian HAP dan lebih 45% individu sehat kemungkinan mengalami aspirasi
selama tidur. Pasien dengan daya tahan tubuh melemah terjadi penurunan kerja
silia pada saluran napas sehingga bakteri di saluran napas mudah menyebaban
aspirasi.
Berbagai factor yang meningkatkan risiko HAP yaitu :
1. Faktor pejamu (pasien)
2. Faktor lingkungan (rumah sakit) dan terapi yang diberikan selama
perawatan.
Intubasi dan ventilasi mekanis meningkatkan risiko VAP sapai 6-21 kali
dengan peningkatan risiko paling tinggi terjadi pada 5 hari pertama setelah
intubasi. Pipa endotrakela dapat berperan sebagai pintu masuk bakteri menuju
saluran napas bawah serta dapat menjadi tempat berkumpulna mikroorganisme
pathogen. Kolonisasi orofaring merupakan mekanisme utama yang menyebabkan
terjadinya HAP/VAP. Penelitian menunjukkan kolonisasi pada pasien yang
mendapatkan ventilasi mekanis terjadi pertama kali di orofaring, lambung, saluran
napas bawah dan pipa endotrakeal.

8
2.5 Klasifikasi
Secara umum, pneumonia dibagi atas :5
1. Pneumonia komunitas (Community-Acquired Pneumonia / CAP):
Infeksi didapat di luar rumah sakit
2. Pneumonia didapat di rumah sakit (Hospital-Acquired Pneumonia / HAP):
Pneumonia yang terjadi setelah 48 jam rawat inap.
3. Pneumonia akibat pemakaian ventilator (Ventilator Associated
Pneumonia / VAP):
Pneumonia yang terjadi setelah 48 jam dilakukan pemasangan intubasi
endotrakeal.
4. Pneumonia terkait perawatan kesehatan ( Health Care-Associated
Pneumonia / HCAP )
Terjadi ketika pasien yang telah melakukan kontak rutin akibat menerima
sistem perawatan kesehatan, seperti penghuni panti jompo, pasien yang
menjalani terapi infus atau perawatan luka di rumah, pasien dialisis, dan pasien
rawat inap 2 hari atau lebih dalam 90 hari sebelumnya.

2.6 Patofisiologi
Pneumonia terjadi akibat proliferasi mikroba patogen di tingkat alveolar
dan respons host terhadap patogen tersebut. Mikroorganisme mendapatkan
akses ke saluran pernapasan bagian bawah melalui beberapa cara, yang paling
umum adalah melalui aspirasi dari orofaring. Aspirasi volume kecil sering
terjadi selama tidur (terutama pada manula) dan pada pasien dengan penurunan
kesadaran. Banyak patogen terhirup sebagai droplet yang terkontaminasi.
Faktor mekanis sangat penting dalam pertahanan host. Rambut dan
turbinat pada hidung menangkap partikel terhirup yang lebih besar sebelum
mencapai saluran pernapasan bagian bawah. Percabangan tracheo-bronkial
memerangkap partikel pada lapisan saluran napas, di mana terdapat
pembersihan mukosiliar dan faktor antibakteri lokal yang membunuh patogen.
Refleks muntah dan mekanisme batuk memberikan perlindungan kritis dari
aspirasi. Selain itu, flora normal yang menempel pada sel mukosa orofaring
yang komponennya sangat konstan, mencegah pengikatan bakteri patogen,

9
sehingga mengurangi risiko pneumonia yang disebabkan oleh bakteri.
Ketika penghalang di atas dapat teratasi atau mikroorganisme cukup
kecil untuk dihirup ke tingkat alveolar, makrofag alveolar residen akan
membersihkan dan membunuh patogen. Makrofag dibantu oleh protein lokal
(protein surfaktan A dan D) yang memiliki sifat opsonisasi intrinsik atau
aktivitas antibakteri/antivirus. Setelah patogen ditelan oleh makrofag, patogen
dieliminasi oleh elevator mukosiliar atau limfatik. Ketika kapasitas makrofag
alveolar untuk membunuh mikroorganisme sudah terlampaui, makrofag
alveolar akan memulai respon inflamasi untuk meningkatkan pertahanan
saluran pernapasan bagian bawah. Respon inflamasi host memicu gejala klinis
pneumonia. Pelepasan mediator inflamasi seperti interleukin (IL) 1 dan tumor
necrosis factor (TNF) menyebabkan demam. Kemokin seperti IL-8 dan
granulocyte colony-stimulating factor merangsang pelepasan neutrofil dan
daya tariknya ke paru menyebabkan leukositosis perifer dan peningkatan
sekresi purulen. Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh makrofag dan
neutrofil mengakibatkan kebocoran kapiler alveolar. Bahkan eritrosit dapat
melewati membran kapiler-alveolar sehingga mengakibatkan hemoptisis.
Kebocoran kapiler menghasilkan infiltrat pada radiografi dan ronki terdeteksi
pada auskultasi, serta hipoksemia terjadi akibat pengisian alveolar. Pus di
parenkim paru menyebabkan penurunan compliance paru yang meningkatkan
usaha/kerja napas serta hipoksemia dan takipnea yang memburuk.
Patogenesis HAP dan VAP yang dapat disebabkan oleh mikroba
endogen dan eksogen dapat dilihat dari gambar 1 tentang penyebab infeksi
yang dapat berasal dari endogen atau eksogen. Pasien dengan factor
predisposisi aspirasi mempunyai risiko terjadi HAP/VAP. Apabila bakteri
dalam jumlah besar masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril
maka pertahanan pejamu gagal membersihkan inoculum dapat menimbulkan
proliferasi-inflamasi sehingga dapat teradi pneumonia. Interaksi antara factor
pejamu (endogen) dan factor risiko dari luar (eksogen) akan menyebabkan
kolonisasi bakteri pathogen di saluran napas bagian atas atau pencernaan.
Sebagian besar pathogen penyebab HAP/VAP adalah bakteri gram negative
dan Staphylococcus aureus yang merupakan flora normal sebanyak < 5%.

10
Kolonisasi terjadi di saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri tersebut
merupakan titik awal untuk terjadi pneumonia. Pasien dengan ventilasi
mekanis dapat terjadi aspirasi selama proses intubasi, kebocoran sekresi
orofaring pada ETT dan mengakibatkan aspirasi kuman ke saluran napas
bawah. Lambung atau sinus dapat merupakan tempat potensial untuk
kolonisasi bakteri orofarinf tetapi masih diperdebatkan.
Infeksi endogen merupakan penyebab HAP/VAP yang paling sering dan
dapat terjadi pada bakteri yang berkoloni pada pasien yang dirawat di RS.
Kolonisasi umumnya terjadi di saluran napas lalu diikuti mikroaspirasi sekresi
orofaringeal. Infeksi eksogen oleh bakteri berasal dari ingkungan rumah sakit
dan yang paling sering didapatkan pada rawat di ICU. Petugas kesehatan dan
alat kesehatan dapat membawa bakteri patogen yang menyebabkan kolonisasi
di trakeobronkial. Reservoir udara yang terkontaminasi pada pasien dengan
ventilasi mekanis menyebabkan masuknya bakteri yang menyebabkan
koloniasi dan infeksi. Cara lain terjadinya HAP dan VAP adalah bacteremia.
Penyebab lainnya adalah penyebaran hematogen dari tempat yang jauh dari
sumber infeksi seperti pada pasien pascabedah dan pasien dengan kateter urin
dan intravena.

2.7 Gejala Klinis

Pasien sering mengalami demam kadang disertai menggigil, batuk


produktif dengan sputum purulen atau bisa juga seperti karat besi (rusty
sputum). Sesuai dengan tingkat keparahan infeksi, pasien mungkin dapat
berbicara dalam nada penuh atau mungkin sesak napas. Jika pleura terlibat,
pasien akan mengalami nyeri pleuritik. Hingga 20% pasien mungkin
mengalami gejala gastrointestinal seperti mual, muntah, dan diare. Gejala lain
seperti kelelahan, sakit kepala, mialgia, dan artralgia juga dapat terjadi.

2.8 Diagnosis
Diagnosis pneumonia didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia komunitas
ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat/air bronchogram ditambah

11
dengan beberapa temuan di bawah ini :5
1. Batuk
2. Sputum purulen atau rusty sputum
3. Suhu tubuh ≥380C (aksila)/riwayat demam
4. Nyeri dada
5. Sesak
6. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas
bronkial dan ronki
7. Leukosit ≥ 10.000 atau <4.500
Gejala tambahan mungkin termasuk mialgia, kelelahan, sakit perut, dan sakit
kepala, membuat CAP sulit dibedakan dari infeksi virus, terutama influenza,
hanya berdasarkan riwayatnya. Temuan pemeriksaan fisik dada yang mungkin
termasuk perkusi yang redup, penurunan suara napas, dan ronki.
Penderita yang belum lanjut usia dengan tanda-tanda vital normal dan
auskultasi normal, umumnya dapat diberikan diagnosis bronkitis dan
dipulangkan ke rumah tanpa antibiotik. Jika tanda vital atau pemeriksaan fisik
tidak normal, atau pasien berusia lanjut, foto toraks harus dilakukan. Jika
hasilnya normal, diagnosis yang benar biasanya adalah bronkitis. Jika rontgen
toraks mengkonfirmasi diagnosis CAP, langkah selanjutnya adalah stratifikasi
derajat keparahan.
Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta),
diagnosis pneumonia adalah sebagai berikut:
1. Foto toraks: terdapat infiltrate baru atau progresif (dapat berupa konsolidasi,
kavitas dan pneumotocele terutama pada anak)
2. Ditambah 2 diantara kriteria berikut :
- Suhu tubuh > 38oC
- Secret purulent
- Ronki atau suara napa bronkial
- Leukositosis (leukosit>12.000) atau leukopenia (leukosit < 4000)
- Saturasi memburuk atau AGD dengn hasil penurunan nilai PO2 dan atau
PCO2 sehingga membutuhkan terapi oksigen atau ventilasi mekanis.
Sesuai definisi tersebut di atas , maka bila terjadi dalam waktu ≥ 48 jam masa

12
perawatan dan telah menyingkirkan masa inkubasi pada saat masuk perawatan,
didefiniskan sebagai HAP.
a. Pencitraan
Rontgen toraks adalah tes diagnostik penting untuk CAP pada orang
dewasa. Pemeriksaan fisik saja kurang sensitif dan spesifik dibandingkan
rontgen dada. Kekeruhan (opasitas) biasanya berkembang dalam 12 jam.
Temuan yang paling umum termasuk nodul peri-bronkial, silhouette sign, efusi
parapneumonik, dan ground glass opac. Pneumonia yang lebih parah ditandai
dengan keterlibatan multilobar, kavitasi, dan efusi pleura bilateral. Namun,
tampilan rontgen tidak selalu sesuai dengan keparahan klinis dan infiltrat dapat
berkembang terlepas dari perbaikan klinis atau memburuk.

Gambar 2.1 Rontgen Thoraks pada Pneumonia

b. Penilaian derajat keparahan penyakit


Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komunitas dapat
dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut Pneumonia Severity
Index (PSI) atau CURB-65. Sistem skor ini dapat mengidentifikasi apakah
pasien dapat berobat jalan atau rawat inap, dirawat di ruangan biasa atau
intensif (Level I). PSI menggunakan 20 variabel, ada riwayat penyakit
dasarnya serta umur mendapat nilai yang tinggi. CURB-65 lebih mudah cara
menghitungnya karena yang dinilai hanya 5 variabel tetapi tidak dapat
langsung mengetahui penyakit dasarnya. Bagi rumah sakit yang memiliki
fasilitas yang lebih lengkap dapat menggunakan PSI.

13
1) Skor CURB-65
Skor CURB-65 adalah penilaian terhadap setiap faktor risiko yang
diukur. Sistem skor pada CURB-65 lebih ideal digunakan untuk
mengidentifikasikan pasien dengan tingkat angka kematian tinggi. Setiap nilai
faktor risiko dinilai satu.Faktor-faktor risiko tersebut adalah :
• C : Confusion yaitu tingkat kesadaran ditentukan berdasarkan uji mental
• U : Urea
• R: Respiratory rate atau frekuensi napas
• B: Blood pressure atau tekanan darah
• 65 : Umur ≥ 65 tahun

Tabel 2.1 Skor CURB-65

Gambar 2.2 Penilaian Derajat CAP menggunakan system skor CURB-65

14
2) Pneumonia Severity Index (PSI)

Tabel 2.2 Skor PSI


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) merekomendasikan jika
menggunakan PSI kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia
komunitas adalah :5
1. Skor PSI > 70
2. Bila SKOR psi < 70, pasien tetap perlu dirawat inap bila djumpai
salah satu dari kriteria dibawah ini:
• Frekuensi napas > 30 kali/menit

• PaO2/FiO2 < 250 mmHg

• Foto toraks menunjukkan infiltrat multilobus

• Tekanan sistolik < 90 mmHg

• Tekanan diastolik < 60 mmHg


3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

15
Tabel 2.3 Derajat Skor Risiko PSI

2.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan
pemeriksaan penunjang utama (gold standard) untuk menegakkan diagnosis
pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsoludasi
dengan air bronchogram, penyebaran bronkogenik, dan intertisial serta
gambaran kavitas.5
2. Pemeriksaan Kultur
Pemeriksaan biakan diperlukan untuk menentukan kuman penyebab
menggunakan bahan sputum, darah, atau aspirat endotrakeal, aspirat jaringan
paru dan bilasan bronkus. Pemeriksaan invasif hanya dilakukan pada
pnumonia berat dan pneumonia yang tidak respon dengan pemberian
antibiotik.5
3. Pemeriksaan Marker Pneumonia
a. Procalsitonin
Procalsitonin (PCT) pada infeksi dan inflamasi akan meningkat
terutama pada infeksi bakterial berat, sepsis, syok septik dan sindrom disfungsi
multiorgan (MODS). Pada pneumonia komunitas pemeriksaan PCT dapat
mendukung diagnosis dan menjadi predictor komplikasi dan angka kematian.
Pemeriksaan PCT dan CRP dapat meningkatkan ketepatan diagnosis
pneumonia. Kadar PCT > 2 ng/mL menjadi prediktor bakteremia, sepsis, syok
septik,dan MODS.5
b. C – Reactive Protein (CRP)
Nilai normal CRP adalah 3 mg/L dan kadar 10 mg/L merupakan
indikasi inflamasi yang signifikan. Meski demikian CRP mempunyai
spesifisitas yang rendah, karena kadar CRP 3 mg/L dan l0 mg/L terdapat pada

16
berbagai keadaan lain seperti obesitas, merokok, diabetes mellifus, uremia,
hipertensi, kurang aktifitas, terapi pengganti hormon, gangguan tidur,
kelelahan kronik, konsumsi alkohol, depresi, dan penuaan. Kadar CRP di atas
100mg/L dapat digunakan untuk menentukan prognosis dan kebutuhan
ventilasi mekanik pada pasien pneumonia.5

2.10 Tatalaksana
1. Penetuan Derajat Keparahan Pneumonia

Gambar 2.3 Alur Diagnosis dan Tatalaksana Pneumonia Komunitas


2. Pemilihan Antibiotik

Pada prinsipnya penatalaksaan utama pneumonia adalah memberikan


antibiotik tertentu terhadap kuman tertentu infeksi pneumonia. Pemberian
antibitotik bertujuan untuk memberikan terapi kausal terhadap kuman
penyebab infeksi, akan tetapi sebelum antibiotika definitif diberikan antibiotik
empiris dan terapi suportif perlu diberikan untuk menjaga kondisi pasien.

17
Tabel 2.5 Petunjuk Terapi Empiris untuk Pneumonia Komunitas menurut PDPI5

2.11 Komplikasi

Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan


komplikasi. Akan tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien risiko
tinggi, mungkin mengalami beberapa komplikasi seperti bakteremia (sepsis),
abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas.5
Bakteremia dapat terjadi pada pasien jika bakteri yang menginfeksi paru
masuk ke dalam aliran darah dan menyebarkan infeksi ke organ lain, yang
berpotensi menyebabkan kegagalan organ. Pada 10% pneumonia
pneumokokkus dengan bakteremia dijumpai terdapat komplikasi
ektrapulmoner berupa meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis,
peritonitis, dan empiema.5

18
Pneumonia juga dapat menyebabkan akumulasi cairan pada rongga
pleura atau biasa disebut dengan efusi pleura. Efusi pleura pada pneumonia
umumnyabersifat eksudatif. Pada klinis sekitar 5% kasus efusi pleura yang
disebabkan oleh P. pneumoniae dengan jumlah cairan yang sedikit dan
sifatnya sesaat (efusi parapneumonik). Efusi pleura eksudatif yang
mengandung mikroorganisme dalam jumlah banyak beserta dengan nanah
disebut empiema. Jika sudah terjadi empiema maka cairan perlu di drainage
menggunakan chest tube atau dengan pembedahan.5

19
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas pasien


1. Nama : Ny. S
2. Umur/ tgl lahir : 62 tahun/ 5 Mei 1960
3. Jeniskelamin : Perempuan
4. Pekerjaan : IRT
5. Nomor RM : 14.66.99
6. Alamat : Pagaruyung
7. Status perkawinan : Kawin
8. Agama : Islam
9. Tanggalmasuk : 22 September 2022

3.2 Anamnesis
Keluhan utama
Demam meningkat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit sekarang
- Demam meningkat sejak 3 hari SMRS, demam sudah dirasakan sejak ± 2
minggu SMRS, suhu tidak tinggi, tidak menggigil, tidak disertai kejang, dan
tidak meningkat pada malam hari. Pasien sudah kontrol ke praktek dr.
Rasmelia Noer, Sp.PD dan diberikan obat namun demam tidak turun.
- Batuk sejak 2 minggu yang lalu, Batuk berdahak, berwarna kuning kehijauan.
- Nafsu makan menurun sejak 2 minggu ini.
- Nyeri perut sejak 1 minggu ini, meningkat 3 hari SMRS, nyeri dirasakan di
ulu hati dan tidak menjalar.
- Mual dan muntah sejak 3 hari SMRS, muntah setiap pasien makan, muntah
berisi apa yang dimakan.
- Nyeri kepala ada sejak 3 hari SMRS.
- Sesak nafas tidak ada.
- Batuk darah tidak ada.
- Keringat malam tidak ada.

20
- Perdarahan tidak ada
- Nyeri dada tidak ada. Rasa terbakar di dada tidak ada.
- Nyeri otot, nyeri sendi tidak ada.
- BAB dan BAK tidak ada keluhan

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat mengonsumsi OAT tidak ada.
- Riwayat hipertensi tidak ada.
- Riwayat DM tidak ada.
- Riwayat asma tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat TB pada keluarga tidak ada.
- Riwayat hipertensi pada keluarga tidak ada.
- Riwayat DM pada keluarga tidak ada.
- Riwayat asma pada keluarga tidak ada.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, dan Kebiasaan


- Pasien seorang ibu rumah tangga.
- Suami pasien merokok sudah ± 50 tahun, menghabiskan ½ - 1 bungkus/hari,
merokok di dalam rumah ada.
- Pasien tinggal di daerah pagaruyung, ventilasi kurang, tidak ada keluarga
maupun tetangga yang mengeluhkan batuk dan demam

21
3.3 Pemeriksaan Fisik
Vital sign
KeadaanUmum Kesadaran Tekanan DenyutNadi Frekuensi Suhu SpO2
Darah Napas
Sedang CMC 120/80 90 x/ menit 20 x/ 96% 37 C
mmhg menit

Status Generalis
• Kulit : tidak pucat
• Kepala : Normocephal
• Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
• Telinga : tidak ada kelainan
• Hidung : tidak ada kelainan
• Rongga mulut : tidak sianosis, tidak hiperemis, gusi berdarah tidak ada
• Leher : tidak ada pembesaran KGB
• Jantung
o Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi : Ictus cordis teraba di 1 jari medial LMCS RIC V
o Perkusi : batas jantung normal
o Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
• Paru depan (dada)
o Inspeksi :
▪ Statis : simetris, dada kanan = dada kiri
▪ Dinamis : pergerakan dinding dada kanan = dada kiri
o Palpasi : fremitus dada kanan = dada kiri
o Perkusi : sonor
o Auskultasi : SN bronkovesikuler, ronkhi basah halus nyaring (+/+),
wheezing (-/-)

22
• Paru belakang (punggung)
o Inspeksi :
▪ Statis : simetris, punggung kanan = punggung kiri
▪ Dinamis : pergerakan punggung kanan = punggung kiri
o Palpasi : fremitus punggung kanan = punggung kiri
o Perkusi : sonor
o Auskultasi : SN bronkovesikuler, ronkhi basah halus nyaring (+/+),
wheezing (-/-)
• Abdomen
o Inspeksi : distensi (-)
o Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, NT epigastrium (+)
o Perkusi : Timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Genitalia : tidak diperiksa
• Ekstremitas
o Atas : akral hangat, edema (-/-), CRT <2s
o Bawah : akral hangat, edema (-/-), CRT <2s

3.4 Diagnosis kerja


• Community Acquired Pneumonia
• Dispepsia

3.5 Pemeriksaan Laboratorium


Hb : 12,8 gr/dL
Leukosit : 9.800 /mm3
Trombosit : 210.000/ mm3
Ht : 32,8 %
GDR : 90 mg/dl
Widal test : -/-
Titer H/O
Rapid antigen : -

23
3.6 Gambaran Rontgen Toraks
Rontgen thorax pasien perempuan berusia 62 tahun pada tanggal 22 September
2022 di RSUD Prof. Dr. M Ali Hanafiah Batusangkar. Pada gambaran rontgen PA
sentris, simetris dengan densitas cukup. Tampak gambaran infiltrat pada
parakardial kedua lapangan paru. Tampak penonjolan aorta. Jantung tidak
membesar (CTR <50%), trakea ditengah, diafragma licin, dan sudut kostofrenikus
lancip.
Kesan :
- Pneumonia
- aorta elongasi

3.7 Diagnosis
• Community Acquired Pneumonia
• dispepsia

3.8 Diagnosis Banding


• Typhoid fever

3.9 tatalaksana
• IFVD RL 8 jam/kolf
• Drip cefoperazone 2x1gr
• Inj lansoprazole 1x30 mg
• Inj ondansetron 1x1 ampul
• Paracetamol 4x500 mg
• N acetilsistein 2x200 mg
• B complex 2x1

24
Follow Up
Tanggal S O A P
22/09/2022 - Batuk KU : sedang • CAP • IFVD RL 8
berdahak (+) Kes : CMC jam/kolf
• dispepsia
- nyeri perut (+) TD : 130/80 • Drip cefoperazone
- mual (+) HR : 76x 2x1gr (H1)
- Demam (-) RR : 20x • Inj lansoprazole
- Sesak (-) T : 36,5 1x30 mg
• Inj ondansetron
- Paru: 1x1 ampul
SN bronkovesikuler, • Paracetamol
rh (+/+), wh (-/-) 4x500 mg
- Abdomen: • N acetilsistein
NT epigastrium (+) 2x200 mg
• B complex 2x1

• Ro thorax
23/09/2022 - Batuk KU : sedang • CAP • IFVD RL 8
berdahak (+) Kes : CMC jam/kolf
• dispepsia
- nyeri perut (+) TD : 120/70 • Drip cefoperazone
- badan letih (+) HR : 64x 2x1gr (H2)
- Demam (-) RR : 20x • Inj lansoprazole
- Sesak (-) T : 36,4 1x30 mg
- mual (-) • Inj ondansetron

- Paru: 1x1 ampul (stop)

SN bronkovesikuler, • Paracetamol
rh (+/+), wh (-/-) 4x500 mg
- Abdomen: • N acetilsistein
NT epigastrium (+) 2x200 mg
• B complex 2x1

25
24/09/2022 - Batuk KU : sedang • CAP • IFVD RL 8
berdahak (+) Kes : CMC • dispepsia jam/kolf
- nyeri perut (+) TD : 100/60 • Drip cefoperazone
berkurang HR : 70x 2x1gr (H3)
- badan letih (+) RR : 20x • Inj lansoprazole
Berkurang T : 36,6 1x30 mg
- Demam (-) • Paracetamol
- Sesak (-) 4x500 mg
- Paru:
- mual (-) • N acetilsistein
SN bronkovesikuler,
rh (+/+), wh (-/-) 2x200 mg
- Abdomen: • B complex 2x1
NT epigastrium (+)

26/09/2022 - Batuk KU : sedang • CAP • IFVD RL 8
berdahak (+) Kes : CMC • dispepsia jam/kolf (stop)
berkurang TD : 130/80 • Drip cefoperazone
- Demam (-) HR : 82x 2x1gr (stop)
- Sesak (-) RR : 20x • Inj lansoprazole
- nyeri perut (-) T : 36,5 1x30 mg (stop)
- mual (-) • Paracetamol
- badan letih (-) 4x500 mg
- Paru:
SN bronkovesikuler, • N acetilsistein
rh (+/+) , wh (-/-) 2x200 mg
- Abdomen: • B complex 2x1
NT epigastrium (-) • Cefixime
2x200mg
• Lansoprazole
2x30mg

26
BAB IV
DISKUSI

Seorang perempuan berusia 62 tahun pada tanggal 22 September 2022 di


RSUD Prof. Dr. M Ali Hanafiah Batusangkar dengan keluhan Demam meningkat
sejak 3 hari SMRS, demam sudah dirasakan sejak ± 2 minggu SMRS, suhu tidak
tinggi, tidak menggigil, tidak disertai kejang, dan tidak meningkat pada malam
hari. Pasien sudah kontrol ke praktek dr. Rasmelia Noer, Sp.PD dan diberikan
obat namun demam tidak turun. Demam merupakan salah satu keluhan utama
pada pasien CAP. Demam pada pasien ini disebabkan oleh pirogen endogen pada
infeksi paru yang mengakibatkan kenaikan thermostat dari pusat regulasi di
hipotalamus.Batuk sejak 2 minggu, berdahak, dan beerwarna kuning kehijauan.
Batuk darah tidak ada, merupakan gejala batuk khas pada infeksi paru akibat
bakteri.
Pasien mengeluhkan nyeri perut sejak 1 minggu ini yang meningkat 3 hari
SMRS, nyeri dirasakan di ulu hati dan tidak menjalar. Nyeri perut pada pasien ini
merupakan dyspepsia fungsional tipe nyeri epigastrium yang memiliki ciri-ciri
rasa nyeri pada epigastrium, tidak menjalar atau tidak mengeneralisasi ke daerah
perut dan dada, tidak hilang dengan BAB dan flatus, dan nyeri tidak spesifik
didaerah tertentu.
Pemeriksaan tanda vital ditemukan dalam batas normal pada pasien ini
dengan suhu 37 C, kemungkinan sebelum ke IGD pasien telah meminum obat
untuk menurunkan demamnya. Pada pemeriksaan auskultasi paru ditemukan SN
bronkovesikuler, rhonki basah halus nyaring pada kedua lapang paru yang
merupakan tanda khas untuk pneumonia. Pada palpasi abdomen juga ditemukan
nyeri tekan epigastrium yang mendukung keluhan dyspepsia pada pasien.
Pemeriksaan penunjang untuk menunjang diagnosis pada pasien ini
dilakukan pemeriksaan darah rutin, widal test, rapid antigen, dan rontgen thoraks.
Pada pemeriksaan darah rutin didapatkan hasil dalam batas normal. Widal test
didapatkan hasil (-/-) pada titer H/O sehingga kita dapat menyingkirkan diagnosis
typhoid fever pada pasien ini. Pada rontgen thoraks didapatkan gambaran infiltrat
pada paracardial kedua lapangan paru, yang merupakan gambaran khas pada

27
pasien dengan pneumonia. Pasien kemudian didiagnosis dengan CAP dan
dyspepsia.
Pasien diberikan IFVD RL 8 jam/kolf untuk maintenance cairan, dan
diberikan drip cefoperazone 2x1 gr. Cefoperazone adalah antibiotic golongan
sefalosporin generasi III. Tujuan utama terapi antibiotic adalah untuk
mengeradikasi organisme patogan sehingga terjadi perbaikan klinis pasien.
Penggunaan obat anti mikroba harus disesuaikan dengan patogen penyebab dan
kerentananya dengan antibiotik. Namun, sampai tersedia metode diagnostik yang
lebih akurat dan cepat, pengobatan awal yang diberikan berdasarkan empiris.
Pemilihan untuk terapi antimikrobial empiris didasarkan pada patogen yang sering
dan pola patogen daerah setempat. Faktor-faktor lain untuk pertimbangan
antimikroba spesifik termasuk farmakokinetik/ farmakodinamik, kepatuhan,
keamanan, dan biaya.
Pasien diberikan injeksi lansoprazole untuk mengurangi keluhan nyeri
perutnya (menekan asam lambung), lansoprazole adalah obat golongan proton
pump inhibitor (PPI) yang menjadi lini pertama terapi dyspepsia tipe nyeri
epigastrium. Pasien diberikan injeksi ondansetron untuk mengurangi keluhan
mual, ondansetron merupakan antiemetic golongan antagonis reseptor serotonin
(reseptor 5HT3). Serotonin merupakan zat hormone yang diproduksi oleh tubuh
untuk berbagai tujuan, salah satunya untuk mengatur Gerakan usus dan saluran
cerna secara menyeluruh. Ondansetron bekerja dengan cara memblokir efek
serotonin terhadap reseptor 5HT3 sehingga dapat mengurangi keluhan mual dan
muntah.
Paracetamol sebagai analgetic dan antipiretik diberikan untuk menurunkan
demam dan meredakan nyeri kepala pada pasien. N acetilsistein merupakkan obat
golongan mukolitik, sehingga dapat memudahkan pasien untuk mengeluarkan
dahak saat batuk. Vitamin B complex diberikan sebagai suplemen untuk pasien
agar meningkatkan stamina dan energi pada pasien.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. The American Heritage. Dictionary of the English Language, 4th


Ed.2000.Houghton Mifflin Company.
2. Mayo Clinic. Definition of pneumonia diunduh dari
http://www.mayoclinic.org/diseaseconditions/pneumonia/basics/definition/CO
N-20020032
3. Mosby’s Medical Dictionary, 8th edition. Elsevier. 2009.

4. Hardiato M, Anwar Y, Priyanti ZS, Zubedah T. Protect study an


International antimikrobial survailance study in community acquired
respiratory tract (carti) pathogens. 2001.
5. Soepandi dkk. Pneumonia Komunitas Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Edisi II
tahun 2014.
6. Lanks CW, Musani AI, Hsia DW. Community-acquired Pneumonia and
Hospital-acquired Pneumonia. Med Clin North Am. 2019;103(3):487–501.
7. Rider AC, Frazee BW. Community-Acquired Pneumonia. Emerg Med Clin
North Am. 2018;36(4):665–83.
8. Loscalzo J. Harrison’s Pulmonary and Critical Care Medicine. New York:
McGraw-Hill Medical; 2010. p.59

29

Anda mungkin juga menyukai