Anda di halaman 1dari 45

ASUHAN KEPERAWATAN PEMENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI PADA

PASIEN PNEUOMONIA

Untuk Memenuhi Tugas Metodologi Keperawatan

Disusun Oleh :

Aprilia Kartika Dewi P27220018047

Choirul Novia Yustaviana P27220018050

Isnaini Rahmawati P27220018061

Ria Fadhla P27220018074

Ullil Uswati CF P27220018080

Yeyen Dwi Weliyanti P27220018083

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES SURAKARTA

JURUSAN KEPERAWATAN

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

karena dengan limpahan rahmat-Nya kami dapat menyusun makalah ini

dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami

membahas mengenai “Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan

Oksigenasi Pada Pasien Pneumonia” dalam rangka memenuhi tugas

mata kuliah metodologi keperawatan.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan

bantuan dari beberapa pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan.

Untuk ini kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak

yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Kami berharap

semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca,

untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi

makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar

pada makalah ini. Oleh karena itu kami menerima segala saran dan

kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir

kata semoga makalah tentang pengaruh komunikasi perawat terhadap

kepuasan pasien ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Surakarta, Maret 2019


Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
C. Tujuan Penulisan 3
D. Manfaat penulisan 3
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Konsep Dasar Pneumonia 4
B. Teori Asuhan Keperawatan Pneumonia 17
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PEMENENUHAN KEBUTUHAN
OKSIGENASI PADA AN. Y DENGAN PNEUMONIA
A. Pengkajian 30
B. Riwayat Kesehatan 31
C. Pemeriksaan Fisik 32
D. Analisis Data 34
E. Diagnosa 34
F. Intervensi Keperawatan 35
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu penyakit system pernapasan yang diderita

masyarakat adalah penyakit pneumonia.Pneumonia merupakan

penyakit system pernapasan yang mematikan biasanya

disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan

sebagian kecil disebabkan oleh faktor lain seperti: kondisi

lingkungan, social ekonomi, dan adat istiadat. Pneumonia yang

tidak diobati dalam waktu lama akan menjadi pneumonia yang

lebih berat sehingga dapat menimbulkan komplikasi seperti abses

paru,pneumotorak dan sepsis bahkan bisa sampai

mengakibatkan kematian.

Pneumonia komunitas atau community acquired

pneumonia (CAP) merupakan salah satu masalah kesehatan yang

sering dijumpai dan mempunyai dampak yang signifikan di

seluruh dunia, terutama pada populasi usia lanjut. Insiden

pneumonia komunitas dilaporkan meningkat sesuai dengan

bertambahnya usia.Pada pasien usia ≥65 tahun yang dirawat di

rumah sakit, pneumonia merupakan diagnosis terbanyak ketiga.


Angka ini menjadi semakin penting mengingat bahwa

diperkirakan sebanyak 20% dari penduduk dunia akan berusia

lebih dari 65 tahun di tahun 2050 (Sari, 2016).

Farida et al. (2017), menjelaskan pada pasien dewasa,

kejadian pneumonia paling tinggi pada kelompok usia 56-65

tahun. Hal ini disebabkan karena pada usia lanjut terdiri dari

perubahan anatomi fisiologi akibat proses penuaan yang

memberi konsekuensi penting terhadap cadangan fungsinoal

paru, kemampuan untuk mengatasi penurunan komplians paru

dan peningkatan resistensi saluran napas ter hadap infeksi dan

penurunan daya tahan tubuh. Pasien geriatri lebih mudah

terinfeksi pneumonia karena adanya gangguan reflek muntah,

melemhnya imunitas, gangguan respon pengaturan suhu dan

berbagai derajat kelainan kardiopulmoner.

Lebih lanjutnya dari data Riskesdas tahun 2013, juga terjadi

peningkatan prevalensi pneumonia pada semua umur dari 2,1%

(2007) menjadi 2,7% (2013). Berdasarkan kelompok umur

penduduk, prevalensi pneumonia yang tinggi terjadi pada 2

kelompok umur 1-4 tahun, kemudian mulai meningkat pada umur

45-54 tahun dan terus meningkat pada kelompok umur

berikutnya. World Health Oganization (WHO) tahun 2016

menjelaskan bahwa Pneumonia merupakan penyebab kematian

terbesar di seluruh dunia. Pada tahun 2015, terjadi 920.136


kematian akibat pneumonia.(Farida et al., 2017).

Salah satu upaya untuk mencegah kematian diatas kita

sebagai perawat perlu melakukan Asuhan Keperawatan secara

professional.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan kajian yang

lebih mendalam tentang “Asuhan Keperawatan Pemenuhan

Kebutuhan Oksigenasi pada Pasien Pneumonia”.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Tujuan umum studi kasus ini adalah untuk mengetahui Asuhan

Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi pada Pasien

Pneumonia.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus studi kasus ini adalah untuk :

a. Mendeskripsikan data hasil pengkajian pada pasien

Pneumonia.

b. Merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien Pneumonia.

c. Merencanakan tindakan keperawatan pada pasien

Pneumonia.

C. Manfaat Penulisan

1. Bagi Institusi Pendidikan

Studi kasus ini diharapkan menambah ilmu pengetahuan,


wawasan dan informasi kepada institusi pendidikan terutama

mahasiswa keperawatan untuk membekali mahasiswa tentang

Asuhan Keperawatan pada pasien Pneumonia.

2. Bagi Penelitian

Studi kasus ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu

penelitian keperawatan kritis khususnya tentang Asuhan

Keperawatan pada pasien Pneumonia.

3. Bagi Masyarakat

Studi kasus ini diharapkan menambah informasi dan

pengetahuan kepada masyarakat tentang Asuhan Keperawatan

pada pasien Pneumonia meliputi tanda gejala dan

penanganannya.

4. Bagi Pelayanan Kesehatan

Studi kasus ini diharapkan sebagai bahan/ informasi/ bahan

pelayanan keperawatan khususnya Asuhan Keperawatan pada

pasien Pneumonia.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Pneumonia

1. Pengertian Pneumonia

Muttaqin (2008), menjelaskan Pneumonia adalah proses

inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi dan terjadi

pengisian rongga alveoli oleh eksudat yang dapat disebabkan oleh

bakteri, virus, jamur, dan benda-benda asing. Pneumonia adalah

peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus

terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli,

serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan

pertukaran gas setempat (Sudoyo, 2006).


Sedangkan Nurarif & Kusuma (2015), menjelaskan

Pneumonia adalah salah satu penyakit peradangan akut parenkim

paru yang biasanya dari suatu infeksi saluran pernafasan bawah

akut (ISNBA).

Berdasarkan pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa

pneumonia adalah suatu penyakit peradangan pada parenkim

paru yang dapat menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan

gangguan pertukaran gas yang disebabkan oleh

bakteri,virus,jamur dan benda-benda asing.

2. Klasifikasi Pneumonia

a. Nurarif & Kusuma (2015), menjelaskan klasifikasi Pneumonia

berdasarkan inang dan lingkungan, yaitu:

1) Pneumonia Komunitas

Dijumpai pada H. influenza pada pasien perokok, pathogen

atipikal pada lansia, gram negative pada pasien dari rumah

jompo, dengan adanya PPOK, penyakit penyerta

kardiopolmonal/jamak, atau paska terapi antibiotika

spectrum luas.

2) Pneumonia Nosocomial
Tergantung pada 3 faktor yaitu : tingkat berat sakit,

adanya risiko untuk jenis pathogen tertentu, dan masa

menjelang timbul onset pneumonia.

3) Pneumonia Aspirasi

Disebabkan oleh infeksi kuman, pneumonitis kimia akibat

aspirasi bahan toksik, akibat aspirasi cairan inert misalnya

cairan makanan atau lambung, edema paru, dan obstruksi

mekanik simple oleh bahan padat.

4) Pneumonia pada gangguan Imun

Terjadi karena akibat proses penyakit dan akibat terapi.

Penyebab infeksi dapat disbabkan oleh kuman pathogen

atau mikroorganisme yang biasanya nonvirulent, berupa

bakteri, protozoa, virus, jamur, dan cacing.

b. Nurarif & Kusuma (2015) menjelaskan klasifikasi berdasarkan

anatomi, yaitu:

1) Pneumonia Lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian

besar dari satu atau lebih lobus paru. Bila kedua paru

terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral atau

“ganda”.

2) Pneumonia Lobularis (Bronkopneumonia) terjadi pada ujung

akhir bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen

untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus yang

berada didekatnya, disebut juga pneumonia loburalis.


3) Pneumonia Interstitial (Bronkiolitis) proses inflamasi yang

terjadi di dalam dinding alveolar (interstisium) dan jaringan

peribronkial serta interlobular.

3. Etiologi

Nurarif & Kusuma (2015), menjelaskan bahwa etiologi

pneumonia adalah disebabkan oleh streptococcus pneumonia,

melalui selang infus oleh staphylococcus aureus sedangkan pada

pemakaian ventilator oleh P. aeruginosa dan Enterobacter. Dan

masa kini terjadi karena perubahan keadaan pasien seperti

kekebalan tubuh dan penyakit kronis, polusi lingkungan,

penggunaan antibiotic yang tidak tepat. Setelah masuk ke paru-

paru organisme bermultiplikasi dan, jika telah berhasil

mengalahkan mekanisme pertahanan paru, terjadi pneumonia.

Selain diatas penyebab terjadinya pneumonia sesuai

penggolangannya yaitu:

a. Bacteria

Diplococus pneumonia, Pneumococcus, Streptokocus

hemolyticus, Streptococcus aureus, Hemophilus influinzae,

Mycobacterium tuberkolusis, Bacillus Friedlander.

b. Virus

Respiratory Syncytial Virus, Adeno virus, V. Sitomegalitik, V.

Influenza.
c. Mycoplasma Pneumonia.

d. Jamur

Histoplasma Captsula, Cryptococcus Neuroformans,

Blastomyces Dermatitides, Coccidodies Immitis, Aspergilus

Species, Candida Albicans.

e. Aspirasi

Makanan, Kerosene, (bensin, minyak tanah), Cairan Amnion,

Benda Asing.

f. Pneumonia Hipostatik.

g. Sindrom Loeffler.

4. Patofisiologi

Yasmara et al (2016), menjelaskan patofisiologi pneumonia:

Pneumonia dapat timbul melalui aspirasi kuman atau

penyebaran langsung kuman dari saluran respirasi kuman atau

penyebaran langsung kuman dari saluran respiratorik atas. Hanya

sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari viremia atau

bacteremia. Dalam keadaan normal saluran respiratorik bawah

mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru

terlindungi dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk

barier anatomi dan barier mekanik, juga system pertahanan

tubuh local maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik

diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi

dengan reflex epiglottis, ekspulsi beda asing melalui reflex batuk


dan upaya menjaga kebersihan jalan napas oleh lapisan

mukosiliar.

System pertahanan tubuh yang terlibat adalah sekresi local

oleh imunoglobin A, respons inflamasi oleh sel-sel leukosit,

komplemen, sitokin, immunoglobulin, alveolar dan cell mediated

immunity. Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme

diatas mengalami gangguan sehingga kuman pathogen dapat

mencapai saluran napas bagian bawah. Inokulasi pathogen

penyebab pada saluran napas menimbulkan respons inflamasi

akut yang berbeda sesuai dengan pathogen penyebabnya.

Virus akan menginvasi saluran napas kecil dan alveoli,

umumnya mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi

awal berupa kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke

dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel

mononuclear ke dalam submucosa dan perivaskuler. Sebagian sel

poly morponukleus (PMN) akan didapatkan dalam saluran napas

kecil. Bila proses inflamasi meluas maka sel debris, mucus serta

sel-sel inflamasi yang mengikat dalam saluran napas kecil akan

menyebabkan obstuksi baik parsial maupun total. Respons

inflamasi di dalam alveoli sama seperti yang terjadi pada ruang

interstisial yang terdiri dari sel-sel mononuclear. Proses infeksi

yang berat akan mengakibatkan terjadinya pengelupasan epitel

dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke interstisial


sangat jarang menimbulkan fibrosis.

Pneumonia bacterial terjadi akibat inhalasi atau aspirasi

pathogen, kadang-kadang terjadi melalui penyebaran hematogen.

Terjadi tidaknya proses pneumonia bergantung pada interaksi

antara bakteri dan system imunitas tubuh. Ketika bakteri

mencapai alveoli, beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan

diaktifkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dan dinding

alveolimaka bakteri akan ditangkap oleh lapisan cairan epitel yang

mengandung opsonin dan akan terbentuk antibody

immunoglobin G spesifik.

Selanjutnya terjadi fagositosis oleh magrofag alveolar (sel

alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui

perantara komplemen. Mekanisme tersebut sangat penting

terutama pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang tidak

berkapsul seperti Streptoccoccus Pneumoniae. Ketika mekanisme

ini gagal merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan

aktivitas fagositosis akan di bawa oleh sitokin sehingga muncul

respons inflamasi.

Proses inflamasi mengakibatkan terjadinya kongesti vascular

dan edema yang luas, hal ini merupakan karakteristik pneumonia

yang disebabkan oleh pneumococcus. Kuman akan dilapisi oleh

cairan edema yang berasal dari alveolus melalui pori-pori Kohn.

Area edema akan membesar dan membentuk area sentral yang


terdiri dari eritrosit, eksudat puluren (fibrin, sel-sel lekosit PMN)

dan bakteri. Fase ini secara histopatologi dinamakan hepatisasi

merah.

Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai

dengan fagositosis aktif oleh leukosit PMN. Pelepasan komponen

dinding bakteri dan pneumolisin melalui degradasi enzimatik akan

meningkatkan respons inflamasi dan efek sitoksik terhadap

semua sel-sel paru. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya

struktur seluler paru.

Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibody

antikapsular timbul dan leukosit PMN meneruskan aktivitas

fagositosisnya dan sel-sel monosit akan membersihkan debris. Jika

struktur reticular paru masih utuh, parenkim paru akan kembali

sempurna dan perbaikan epitel alveolar terjadi setelah terapi

berhasil. Pembentukan jaringan parut pada paru pun minimal.

Pada infeksi yang disebabkan oleh streptococcus aureus,

kerusakan jaringan disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin

yang dihasilkan oleh kuman. Perlekatan Staphylococcus aureus

pada sel mukosa melalui teichoidacid yang terdapat pada dinding

sel dan paparan di submucosa akan meningkatkan adhesi dari

fibrinogen, fibronektinkolagen, dan protein yang lain. Strain yang

berbeda dari Staphylococcus aureus akan mnghasilkan factor-

faktor virulensi yang berbeda pula, factor tersebut mempunyai


satu atau lebih kemampuan dalam melindungi kuman dari

pertahanan tubuh penjamu, melokalisir infeksi, menyebabkan

kerusakan jaringan local dan bertindak sebagai toksin yang

mempengaruhi jaringan yang tidak terinfeksi.

Seseorang yang terkena pneumonia akan mengalami

gangguan pada proses ventilasi yang disebabkan karena

penurunan volume paru. Untuk mengatasi gangguan ventilasi,

tubuh akan berusaha melakukan kompensasi dengan

meningkatkan volume tidal dan frekuensi napas sehingga secara

klinis terlihat takipnea dan dyspnea dengan tanda-tanda upaya

inspiras. Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara

ventilasi perfusi tidak tercapai (ventilation perfusion mismatch).

Selain itu dengan berkurangnya volume paru secara fungsional

karena proses inflamasi, akan mengganggu proses difusi dan

menyebabkan gangguan pertukaran gas yang dapat

mengakibatkan terjadinya hipoksia atau bahkan gagal napas.

Price dan Wilson tahun 2006 menjelaskan bahwa, perjalanan

penyakit pneumonia dapat digambarkan dalam empat fase yang

terjadi secara berurutan yaitu :

a. Fase kongesti terjadi antara 4-12 jam pertama, dimana aksudat

serosa masuk ke dalam alveoli melalui pembuluh darah yang

mengalami dilatasi dan bocor.

b. Fase hepatisasi merah, paru tampak merah dan bergranula


seperti hepar karena sel-sel darah merah, fibrin dan leukosit

PMN mengisi alveoli yang terjadi 48 jam berikutnya.

c. Fase hepatisasi kelabu terjadi setelah 3 sampai 8 hari, paru

tampak kelabu karena leukosit dan fibrin mengalami

konsolidasi di dalam alveoli yang terserang.

d. Fase resolusi terjadi pada hari ke-8 sampai hari ke-11 dimana

eksudat mengalami lisis dan reabsorbsi oleh makrofag

sehingga jaringan kembali pada struktur semula.

5. Manifestasi Klinis

Nurarif & Kusuma (2015), menjelaskan bahwa gejala klinis

pneumonia antara lain:

a. Demam, sering tampak sebagai tanda infeksi yang pertama.

Paling sering terjadi pada usia 6 bulan – 3 tahun dengan suhu

mencapai 39,5 – 40,5 bahkan dengan infeksi ringan. Mungkin

malas dan peka rangsang atau terkadang euforia dan lebih

aktif dari normal, beberapa anak bicara dengan kecepatan yang

tidak biasa.

b. Meningismu, yaitu tanda-tanda meningeal tanpa infeksi

meninges. Terjadi dengan awitan demam yang tiba-tiba dengan

disertai sakit kepala, nyeri dan kekakuan pada punggung dan

leher, adanya tanda kering dan Brudzinski, dan akan berkurang

saat suhu turun.

c. Anoreksia, merupakan hal umum yang disertai dengan penyakit


masa kanak-kanak. Seringkali merupakan bukti awal dari

penyakit. Menetap sampai derajat yang lebih besar atau lebih

dari penyakit, seringkali memanjang sampai ke tahap

pemulihan.

d. Muntah, anak kecil mudah muntah bersamaan dengan penyakit

yang merupakan petunjuk untuk awitan infeksi. Biasanya

berlangsung singkat, tetapi dapat menetap selama sakit.

e. Diare, biasanya ringan, diare sementara tetapi dapat menjadi

berat. Sering menyertai infeksi pernafasan. Khususnya karena

virus.

f. Nyeri abdomen, merupakan keluhan umum. Kadang tidak bisa

dibedakan dari nyeri apendiksitis.

g. Sumbatan nasal, pasase nasal kecil dari bayi mudah tersumbat

oleh pembengkakan mukosa dan eksudasi, dapat

mempengaruhi pernafasan dan menyusu pada bayi.

h. Keluaran nasal, sering menyertai infeksi pernafaan. Mungkin

encer dan sedikit (rinorea) atau kental dan purulent,

bergantung pada tipe dan atau tahap infeksi.

i. Batuk, merupakan gambaran umum dari penyakit pernafasan.

Dapat menjadi bukti hanya selama fase akut.

j. Bunyi pernafasan, seperti batuk, mengi, mengorok. Auskultasi

terdengar mengi, krekels.

k. Sakit tenggorokan, merupakan keluhan yang sering terjadi


pada anak yang lebih besar. Ditandai dengan anak akan

menolak untuk minum dan makan per oral.

l. Keadaan berat pada bayi tidak dapat menyusu atau

makan/minum, atau memuntahkan semua, kejang, letargis

atau tidak sadar, sianosis, distress pernafasan berat.

m.Disamping batuk atau kesulitan bernafas, hanya terdapat napas

cepat saja : pada usia umur 2 bulan- 11 bulan: ≥ 50 kali/menit

dan pada anak umur 1 tahun – 5 tahun: ≥ 40 kali/menit.

6. Pemeriksaan Penunjang

Nurarif & Kusuma (2015), menjelaskan bahwa pemeriksaan

penunjang yang dapat dilakukan pada pasien pneumonia antara

lain:

a. Sinar X

mengidentifikasi distribusi structural (misal: lobar, bronchial),

dapat juga menyatakan abses.

b. Biopsi paru

untuk menetapkan diagnosis.

c. Pemeriksaan gram/kultur, sputum dan darah

untuk mengidentifikasi semua organisme yang ada.

d. Pemeriksaan serologi

membantu dalam membedakan diagnosis organisme khusus.

e. Pemeriksaan fungsi paru

untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas berat penyakit


dan membantu diagnosis keadaan.

f. Spirometrik static

untuk mengkaji jumlah udara yang diaspirasi.

g. Bronkostopi

untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing.

7. Penatalaksanaan

Kepada penderita yang penyakitnya tidak terlalu berat, bisa

diberikan antibiotic per-oral dan tetap tinggal di rumah. Penderita

yang lebih tua dan penderita dengan sesak nafas atau dengan

penyakit jantung atau penyakit paru lainnya, harus di rawat dan

antibiotic diberikan melalui infus. Mungkin perlu diberikan

oksigen tambahan, cairan intravena dan alat bantu nafas mekanik

(Nurarif & Kusuma, 2015).

Lebih lanjut Nurarif & Kusuma (2015), menjelaskan

kebanyakan penderita akan memberikan respon terhadap

pengobatan dan keadaannya membaik dalam waktu 2 minggu.

Penatalaksanaan umum yang dapat diberikan atara lain:

a. Oksigen 1-2 L/menit

b. IVFD dekstrose 10%: NaCl, 9% = 3:1, + KCL 10 mEq/500 ml cairan.

Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu, dan status

hidrasi.

c. Jika sesak tidak terlalu berat, dapat dimulai makanan enteral


bertahap melalui selang nasograstik dengan feeding drip.

d. Jika sekresi lender berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan

salin normal dan beta agonis untuk memperbaiki transport

mukosilier. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan

elektrolit.

Lebih lanjut Nurarif & Kusuma (2015), menjelaskan

penatalaksanaan untuk Pneumonia bergantung pada penyebab,

antibiotic diberikan sesuai hasil kultur.

a. Untuk kasus pneumonia community based: Ampisilin 100

mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian dan kloramfenikol 75

mg/kg BB/hari dalam 4 kali pembarian.

b. Untuk kasus pneumonia hospital based : Sefaktosim 100

mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian dan Amikasin 10-15

mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian.

8. Komplikasi

Dalam terjadi komplikasi pneumonia ekstrapulmoner,

misalnya pada pneumonia pneumokokkus dengan bakteriemi

dijumpai pada 10% kasus berupa meningitis, arthritis,

endocarditis, pericarditis, peritonitis dan empyema. Terkadang

dijumpai komplikasi ekstrapulmoner non infeksius bisa dijumpai

yang memperlambat resolusi gambaran radiologi paru, antara


lain gagal ginjal, gagal jantung, emboli paru atau infark paru, dan

infarkmiokard akut. Dapat terjadi komplikasi lain berupa Acute

Respiratory Distress Syndrome (ARDS), gagal organ jamak, dan

komplikasi lanjut berupa pneumonia nosocomial (Sudoyo et al.,

2006).

B. Teori Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Muttaqin (2008), menjelaskan bahwa pengkajian asuhan

keperawatan pada pasien dengan Pneumonia:

a. Anamnesis

1) Keluhan utama

Keluhan yang sering menjadi alasan klien dengan

pneumonia untuk meminta pertolongan kesehatan adalah

sesak napas, batuk, dan peningkatan suhu tubuh/demam.

2) Riwayat penyakit saat ini

Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan

utama. Lakukan pertanyaan yang ringkas sehingga jawaban

yang diberikan klien hanya “Ya” atau “Tidak”, atau

hanya dengan anggukan dan gelengan kepala. Apabila


keluhan utama adalah batuk, maka perawat harus

menanyakan sudah berapa lama keluhan batuk muncul

(onset).

Lebih lanjut pada klien dengan pneumonia, keluhan

batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang

setelah meminum obat batuk yang biasanya ada di pasaran.

Pada awalnya keluhan batuk tidak produktif, tapi selanjutnya

akan berkembang menjadi batuk produktif dengan mucus

purulent kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, kecoklatan

atau kemerahan, dan seringkali berbau busuk. Klien

biasanya mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil

(onset mungkin tiba-tiba dan berbahaya). Adanya keluhan

nyeri dada pleuritis, sesak napas, peningkatan frekuensi

pernapasan, dan nyeri kepala.

3) Riwayat penyakit dahulu

Pengkajian diarahkan pada waktu sebelumnya, apakah

klien pernah mengalami infeksi saluran pernapasan atas

(ISPA) dengan gejala seperti luka tenggorokan, kongesti nasal,

bersin, dan demam ringan.

b. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologi klien meliputi beberapa dimensi yang

memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas

mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Perawat


mengumpulkan data hasil pemeriksaan awal klien tentang

kapasitas fisik dan intelektual saat ini. Data ini penting untuk

menentukan tingkat perlunya pengkajian psiko-sosio-spiritual

yang seksama. Pada kondisi klinis, klien dengan pneumonia

sering mengalami kecemasan bertingkat sesuai dengan

keluhan yang dialaminya. Hal lain yang perlu ditanyakan adalah

kondisi permukiman di masa klien bertempat tinggal, klien

dengan pneumonia sering dijumpai bila bertempat tinggal di

lingkungan dengan sanitasi buruk.

c. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum

Keadaan umum pada klien dengan pneumonia dapat

dilakukan secara selintas pandang dengan menilai keadaan

fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara umum

tentang kesadaran klien yang terdiri atas compos mentis,

apatis, somnolen, sopor, soporokoma, atau koma. Seorang

perawat perlu mempunyai pengalaman dan pengetahuan

tentang konsep anatomi dan fisiologi umum sehingga

dengan cepat dapat menilai keaadaan umum, kesadaran,

dan pengukuran GCS bila kesadaran klien menurun yang

memerlukan kecepatan dan ketepatan penilaian.

Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pada klien dengan

pneumonia biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh


lebih dari 40℃, frekuensi napas meningkat dari frekuensi

normal, denyut nadi biasanya meningkat seirama dengan

peningkatan suhu tubuh dan frekuensi pernapasan, dan

apabila tidak melibatkan infeksi sistemis yang berpengaruh

pada hemodinamika kardiovaskular tekanan darah biasanya

tidak ada masalah.

B1 (Breating)

Pemeriksaan fisik pada klien dengan pneumonia merupakan

pemeriksaan focus, berurutan pemeriksaan ini terdiri atas

inspeksi, palpasi, dan auskultasi.

2) Inspeksi

Bentuk dada dan gerakan pernapasan. Gerakan

pernapasan simetris. Pada klien dengan pneumonia sering

ditemukan peningkatan frekuensi napas cepat dan dangkal,

serta adanya retraksi sternum dan intercostal space (ICS).

Napas cuping hidung pada sesak berat dialami terutama

oleh anak-anak. Batuk dan sputum. Saat dilakukan

pengkajian batuk pada klien dengan pneumonia, biasanya

didapatkan batuk produktif disertai dengan adanya

peningkatan produksi secret dan sekresi sputum yang

purulent.

3) Palpasi

Gerakan dinding thorak anterior/ekskrusi pernapasan.


Pada palpasi klien dengan pneumonia, gerakan dada saat

bernapas biasanya normal dan seimbang antara bagian

kanan dan kiri. Getaran suara (fremitus vocal). Taktil fremitus

pada klien dengan pneumonia biasanya normal.

4) Perkusi

Klien dengan pneumonia tanpa disertai komplikasi,

biasanya didapatkan apabila bronchopneumonia menjadi

suatu sarang (kunfluens)

5) Auskultasi

Pada klien dengan pneumonia, didapatkan bunyi napas

melemah dan bunyi napas tambahan ronkhi basah pada sisi

yang sakit. Penting bagi perawat pemeriksa untuk

mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana

didapatkan adanya ronkhi.

B2 (Blood)

Pada klien pneumonia pengkajian yang didapat meliputi:

Inspeksi: Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum.

Palpasi : Denyut nadi perifer melemah.

Perkusi : Batas jantung tidak mengalami pergeseran.

Auskultasi: Tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung

tambahan biasanya tidak didapatkan.

B3 (Brain)

Klien dengan pneumonia yang berat sering terjadi


penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila

gangguan perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif,

wajah klien tampak meringis, menangis, merintih, meregang,

dan menggeliat.

B5 (Bladder)

Pengukuran volume output urine berhubungan dengan

intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor

adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal

dari syok.

B5 (Bowel)

Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu

makan dan penurunan berat badan.

B6 (Bone)

Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering

menyebabkan ketergantungan klien terhadap bantuan orang

lain dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

d. Pemeriksaan Diagnostik

1) Pemeriksaan Laboratorium

Biasanya didapatkan dengan jumlah leukosit 15.000-

40.000/mm³. Dalam keadaan leukopenia, laju endap darah

biasanya meningkat hingga 100 mm/jam. Saat dilakukan

biakan sputum, darah, atau jika dimungkinkan cairan efusi

pleura, untuk biakan aerobic dan anaerobic, untuk


selanjutnya dibuat pewarnaan gram sebagai pegangan

dalam pemberian antibiotic. Sebaiknya diusahakan agar

biakan dibuat dari sputum saluran pernapasan bagian

bawah. Selain contoh sputum yang diperoleh dari batuk,

bahan dapat diperoleh dari swap tenggorok atau laring,

perngisapan lewat trakea, bronkhoskopi, atau pengisapan

lewat dada bergantung pada indikasinya. Pemeriksaan

Analisa gas darah (AGD/Astrup) menunjukkan hipoksemia

sebab terdapat ketidakseimbangan ventilasi-perfusi didaerah

pneumonia.

2) Pemeriksaan Radiologis

Sebaiknya dibuat foto thoraks posterior-anterior dan

lateral untuk melihat keberadaan konsolidasi retrokardial

sehingga lebih mudah untuk menentukan lobus mana yang

terkena karena setiap lobus memiliki kemungkinan yang

terkena karena setiap lobus memiliki kemungkinan untuk

terkena. Meskipun lobus inferior lebih sering terkena, lobus

atas dan lobus tengah juga dapat terkena. Yang khas adalah

tampak gambaran konsolidasi homogen sesuai dengan letak

anatomi lobus yang terkena.

Densitasnya tergantung pada intensitas eksudat dan

hamper selalu ada bronkogram udara. Pada masa akut,

biasanya tidak ada pengecilan volume lobus yang terkena


sedangkan pada masa resolusi mungkin ada etelektasis

sebab eksudat dalam saluran pernapasan dapat

menyebabkan obstruksi. Kebanyakan lesi terbatas pada satu

lobus, tapi dapat juga mengenai lobus lain. Mungkin ada

efusi yang dapat mudah dilihat dengan foto decubitus lateral.

Gambaran konsolidasi tidak selalu mengisi seluruh

lobus karena melalui perifer gambaran konsolidasi hamper

selalu berbatasan dengan permukaan pleura viseralis. Pada

sisi yang berbatasan dengan pleura viseralis gambaran

Batasnya tegas tapi sisi yang lainnya mungkin tidak berbatas

tegas. Gambaran radiologi yang tidak khas kadang-kadang

bisa didapatkan pada bronchitis menahun dan emfisema.

2. Diagnosa

Ester (1993), menjelaskan diagnosa keperawatan yang bisa

muncul dari pasien Pneumonia adalah sebagai berikut:

a. Diagnosa I : Bersihan jalan nafas tidak efektif

Berhubungan dengan inflamasi trakeabronkial,

pembentukan edema, peningkatan produksi sputum, nyeri

pleuritik, penurunan energi, dan kelemahan. Kemungkinan

dibuktikan oleh perubahan frekuensi, kedalaman pernapasan,

bunyi nafas tak normal, penggunaan obat aksesori, dispnea,

sianosis, batuk efektif, atau tak efektif dengan/tanpa produksi

sputum. Hasil yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien


akan mengidentifikasi/menunjukkan perilaku mencapai

bersihan jalan napas. Menunjukkan jalan napas pate bunyi

napas bersih, tak ada dispnea, sianosis.

b. Diagnosa II : Pertukaran gas, kerusakan

Berhubungan dengan perubahan membran alveolar-kapiler

(efek inflamasi), gangguan kapasitas oksigen darah (demam,

perpindahan kurva oksihemoglobin), gangguan pengiriman

oksigen (hipoventilasi). Kemungkinan dibuktikan oleh dispnea,

sianosis, takikardia, gelisah/perubahan mental, hipoksia. Hasil

yang diharapkan atau kriteria evaluasi pasien akan

menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan

dengan GDA dalam rentang normal dan taka da gejala distres

pernapasan. Berpartisipasi pada tindakan untuk

memaksimalkan oksigenasi.

3. Intervensi

Ester (1993), menjelaskan intervensi pada diagnosa diatas adalah:

a. Diagnosa I : Bersihan jalan nafas tidak efektif

1) Mandiri

a) Kaji frekuensi/kedalaman pernapasan dan gerakan dada.

b) Auskultasi area paru, catat area penurunan/ tak ada aliran

udara dan bunyi napas adventisius, (misal: krekels, mengi).

c) Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukan atau bantu

pasien mempelajari melakukan batuk, (misal: menekan


dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi).

d) Penghisapan sesuai indikasi.

e) Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali

kontraindikasi). Tawarkan air hangat, daripada dingin.

2) Rasional

a) Takipnea, pernapasan dangkal, dan gerakan dada tak

simetris sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan

dinding dada dan atau cairan paru.

b) Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi

dengan cairan. Bunyi napas bronkial (normal pada

bronkus) dapat juga terjadi pada area konsolidas. Krekels,

ronki, dan mengi terdengar pada ispirasi dan atau

ekspirasi pada respons terhadap pengumpulan cairan,

sekret kental, dan spasme jalan napas/obstruksi.

c) Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-

paru/jalan napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme

pembersihan jalan napas alami, membantu silia untuk

mempertahankan jalan napas paten. Penekanan

menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk

memungkinkan upaya napas lebih dalam dan lebih kuat.

d) Merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara

mekanik pada pasien yang tak mampu melakukan karena

batuk tak efektif atau penurunan tingkat kesadaran.


e) Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan

mengeluarkan sekret.

3) Kolaborasi

a) Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan

fisioterapi lain misal: spirometer intensif, IPPB, tiupan

botol, perkusi, drainase postural. Lakukan tindakan

diantara waktu makan dan batasi cairan bila mungkin.

b) Berikan obat sesuai indikas (mukolitik, ekspektoran,

bronkodilator, analgesic).

c) Berikan cairan tambahan (misal: IV, oksigen, humidifikasi

dan ruangan humidifikasi).

d) Awasi seri sinar x dada, GDA, nadi oksimetri.

e) Bantu bronkoskopi/torasentesis bila diindikasikan.

4) Rasional

1) Memudahkan pengenceran dan pembuangan secret.

Drainase postural tidak efektif pada pneumonia interstisial

atau menyebabkan eksudat alveolar/kerusakan Koordinasi

pengobatan/jadwal dan masukan oral menurunkan

muntah karena batuk, pengeluaran sputum.

2) Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan

mobilisasi secret. Analgesik diberikan untuk memperbaiki

batuk dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus


digunakan secara hati-hati, karena dapat menurunkan

upaya batuk/menekan pernapasan.

3) Cairan diperlukan untuk menggantikan kehilangan

(termasuk yang tampak) dan memobilisasikan sekret.

4) Mengevaluasi kemajuan dan efek proses penyakit dan

memudahkan pilihan terapi yang diperlukan

5) Kadang-kadang diperlukan untuk membuang

perlengkaoan mukosa, mengeluarkan sekresi purulen, dan

atau mencegah atelectasis.

b. Diagnosa II : Pertukaran gas, kerusakan

1) Mandiri

a) Kaji frekuensi, kedalaman, dan kemudahan bernapas

b) Observasi warna kulit, membrane mukosa, dan kuku, catat

adanya sianosis perifer (kuku) atau sianosis sentral

(sirkumoral).

c) Kaji status mental.

d) Awasi frekuensi jantung/irama.

e) Awasi suhu tubuh, sesuai indikasi. Bantu tindakan

kenyamanan untuk menurunkan demam dan menggigil,

(misal: selimut tambahan/menghilagkannya, suhu

ruangan nyaman, kompres hangat atau dingin).

f) Pertahankan istirahat tidur. Dorong menggunakan teknik

relaksasi dan aktivitas senggang.


g) Tinggikan kepala dan dorong sering mengubah posisi,

napas dalam dan batuk efektif.

h) Kaji tingkat ansietas. Dorong menyatakan

masalah/perasaan. Jawab pertanyaan dengan jujur.

Kunjungi dengan sering, atur pertemuan/kunjungan oleh

orang terdekat/pngunjung sesuai indikasi.

i) Observasi penyimpangan kondisi, catat hipotensi,

banyaknya jumlah sputum merah muda/berdarah, pucat,

sianosis, perubahan tingkat kesadaran, dispnea berat,

gelisah.

j) Siapkan untuk pemindahan ke unit perawatan kritis bila di

indikasikan.

2) Rasional

a) Manifestasi distress pernapasan tergantumg pada/indikasi

derajat keterlibatan paru dan status kesehatan umum.

b) Sianosis kuku menunjukkan vasokontriksi atau respons

tubuh terhadap demam/menggigil. Namun sianosis daun

telinga, membran mukosa, dan kulit sekitar mulut

menunjukkan hipoksemia sismetik.

c) Gelisah, mudah terangsang, bingung, dan somnolen dapat

menunjukkan hipoksemia/penurunan oksigenasi serebral.

d) Takikardia biasanya ada sebagai akibat demam/dehidrasi

tetapi dapat sebagai respons terhadap hipoksemia.


e) Demam tinggi (umum pada pneumonia bakterial dan

influenza) sangat meningkatkan kebutuhan metaboli dan

kebutuhan oksigen dan mengganggu oksigenasi seluluer.

f) Mencegah terlalu lelah dan menurunkan

kebutuhan/konsumsi oksigen untuk memudahkan

perbaikan infeksi.

g) Tindakan ini meningkatkan inspirasi maksimal,

meningkatkan pengeluaran sekret untuk memperbaiki

ventilasi.

h) Ansietas adalah manifestasi masalah psikologi sesuai

dengan respons fisiologi terhadap hipoksia. Pemberian

keyakinan dan meningkatkan rasa aman dapat

menurunkan komponen psikologis, sehingga menurukan

kebutuhan oksigen dan efek merugikan dari respons

fisiologis.

i) Syok edema paru adalah penyebab umum kematian pada

pneumonia dan membutuhkan intervensi medik segera.

j) Intubasi dan ventilasi mekanik mungkin diperlukan pada

kejadian kegagalan pernapasan.

3) Kolaborasi

a) Berikan terapi oksigen dengan benar misal : dengan

nasal, prong, masker, masker Venturi.

b) Awasi GDA, nadi, oksimetri.


4) Rasional

a) Tujuan terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 di

atas 60 mmHg. Oksigen diberikan dengan metode yang

memberikan pengiriman tepat dalam toleransi pasien.

b) Mengevaluasi proses penyakit dan memudahkan terapi

paru.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PEMENENUHAN KEBUTUHAN OKSIGENASI PADA

AN. Y DENGAN PNEUMONIA

A. Pengkajian

1. Identitas Pasien

Nama : An.Y

Umur : 45 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pendidikan : SMA

Status : Menikah

Alamat : Jl.Melati Rt 01/Rw02 Kec.Donorojo

Kab.Pacitan

Agama : Islam
Tanggal masuk : 5 Februari 2019

Tanggal Pengkajian : 5 Februari 2019

No.Registrasi : 2067

2. Identitas Penanggung Jawab

Nama : Tn.Z

Umur : 50 tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Hubungan dengan pasien: Suami

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Wiraswasta

Status : Menikah

Alamat : Jl.Melati Rt01/Rw 02 Kec.Donorojo

Kab.Pacitan

B. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan utama

Pasien mengatakan sering batuk dengan dahak kemerah-

merahan.

2. Riwayat kesehatan sekarang

Pada tanggal 5 Februari 2019 pukul 21.00 dengan keluhan panas

sejak pagi dan tak kunjung turun, sebelumnya pasien mengatakan

batuk dan pilek ± 2 minggu, batuk grok grok, sebelumnya sudah

minum obat tetapi batuk tidak mereda.


3. Riwayat Kesehatan Dahulu

Pasien mengatakan sering mengalami batuk pilek sebelumnya.

4. Riwayat Kesehatan Keluarga

Pasien mengatakan didalam keluarganya tidak ada yang sedang

mengalami batuk, tidak ada riwayat penyakit menular seperti TBC,

Hepatitis, HIV/AIDS. Suami dan Ibu pasien mempunyai riwayat

Hipertensi, tidak ada riwayat penyakit menurun lainnya seperti

Asma, Jantung, DM. Ayah pasien seorang perokok.

C. Pemeriksaan Fisik

1. Tanda-Tanda Vital

a. Respirasi : 28 x/menit

b. Nadi : 84x/menit

c. Suhu : 38℃

d. Tekanan darah : 130/70 MmHg

2. Pemeriksaan Head Toe To

a. Kepala

Bentuk kepala mesocephal, tidak ada benjolan maupun edema,

rambut tipis bersih.

b. Mata
Konjungtiva an anemis, sklera an ikterik, reflek pupil an isokor

c. Hidung

Terdapat sekresi berwarna putih kekuningan, terdapat

pernafasan cuping hidung.

d. Mulut

Mukosa bibir lembab, mulut bersih.

e. Telinga

Bersih, tidak ada serumen

f. Leher

Tidak ada pembesaran kelenjar limfe maupun kelenjar tiroid

g. Dada / thorax

Paru-paru

Inspeksi : Terdapat retraksi dinding dada, irama nafas cepat

Palpasi : 28RR x/menit

Perkusi : Sonor

Auskultasi : Terdengar bunyi ronkhi.

Jantung

Inspeksi : Tidak tampak ictus cordis

Palpasi : Tidak ada pembesaran jantung

Perkusi : Pekak

Auskultasi : Bunyi jantung S1 S2 reguler dan tidak ada suara

tambahan.

h. Abdomen
Inspeksi : Bentuk datar

Auskultasi : Bising usus 14x/menit

Palpasi : Tidak ada massa, cubitan perut kembali cepat <2

detik

Perkusi : Terdengar bunyi timpani

i. Genetalia

Jenis kelamin perempuan, tidak terpasang DC

j. Anus

Ada lubang anus

k. Ekstremitas

Atas : Terpasang IVFD D5 ¼ NS 30 tpm pada tangan

kiri, akral hangat, CRT <2 detik.

Bawah : Tidak ada kelainan gerak.

l. Kulit

Turgor kulit kembali cepat, <2 detik.

m.Pemeriksaan penunjang

Hasil rontgen pada 5 Februari 2019 pukul 09.40 WIB.

Kesan : Tampak kelenjar thymus prominen, bronkiolits,

konviburasi air normal.

D. Analisis Data

Nama : An. Y Ruang : Anggrek

Umur : 45 tahun Rekam medis : 2067

Dx medis : Pneumonia
DS : Pasien mengatakan sering batuk dengan dahak kemerah-

merahan, pasien mengatakan batuk dan pilek ± 2 minggu,

batuk grok grok, sebelumnya sudah minum obat tetapi

batuk tidak mereda.

DO : Pasien tampak lemah, kesadaran composmetis, tampak

sekresi pada hidung berwarna putih kekuningan, auskultasi

paru ronkhi, irama nafas cepat, terpasang oksigen 1 liter

per menit, TTV nadi: 84x/menit, RR: 28x/menit TD: 130/70

Etiologi : Peningkatan produksi sputum

Problem : Bersihan jalan nafas tidak efektif

E. Prioritas diagnosa keperawatan

Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan

produksi sputum.

F. Intervensi keperawatan

Mandiri

1) Kaji frekuensi/kedalaman pernapasan dan gerakan dada.

2) Auskultasi area paru, catat area penurunan/ tak ada aliran udara

dan bunyi napas adventisius, (misal: krekels, mengi).

3) Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukan atau bantu pasien

mempelajari melakukan batuk, (misal: menekan dada dan batuk

efektif sementara posisi duduk tinggi).

4) Penghisapan sesuai indikasi.


5) Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi).

Tawarkan air hangat, daripada dingin.

Rasional

1) Takipnea, pernapasan dangkal, dan gerakan dada tak simetris

sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada dan

atau cairan paru.

2) Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi dengan

cairan. Bunyi napas bronkial (normal pada bronkus) dapat juga

terjadi pada area konsolidas. Krekels, ronki, dan mengi terdengar

pada ispirasi dan atau ekspirasi pada respons terhadap

pengumpulan cairan, sekret kental, dan spasme jalan

napas/obstruksi.

3) Napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-paru/jalan

napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan

napas alami, membantu silia untuk mempertahankan jalan napas

paten. Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi

duduk memungkinkan upaya napas lebih dalam dan lebih kuat.

4) Merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik

pada pasien yang tak mampu melakukan karena batuk tak efektif

atau penurunan tingkat kesadaran.

5) Cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan mengeluarkan

sekret.

Kolaborasi
1) Bantu mengawasi efek pengobatan nebulizer dan fisioterapi lain

misal : spirometer intensif, IPPB, tiupan botol, perkusi, drainase

postural. Lakukan tindakan diantara waktu makan dan batasi

cairan bila mungkin.

2) Berikan obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspektoran,

bronkodilator, analgesik.

3) Berikan cairan tambahan misal : IV, oksigen, humidifikasi dan

ruangan humidifikasi.

4) Awasi seri sinar x dada, GDA, nadi oksimetri.

5) Bantu bronkoskopi/torasentesis bila diindikasikan.

Rasional

6) Memudahkan pengenceran dan pembuangan secret. Drainase

postural tidak efektif pada pneumonia interstisial atau

menyebabkan eksudat alveolar/kerusakan Koordinasi

pengobatan/jadwal dan masukan oral menurunkan muntah

karena batuk, pengeluaran sputum.

7) Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan mobilisasi secret.

Analgesik diberikan untuk memperbaiki batuk dengan

menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati

-hati, karena dapat menurunkan upaya batuk/menekan

pernapasan.

8) Cairan diperlukan untuk menggantikan kehilangan (termasuk

yang tampak) dan memobilisasikan sekret.


9) Mengevaluasi kemajuan dan efek proses penyakit dan

memudahkan pilihan terapi yang diperlukan

10) Kadang-kadang diperlukan untuk membuang perlengkaoan

mukosa, mengeluarkan sekresi purulen, dan atau mencegah

atelectasis.

DAFTAR PUSTAKA

Ester, M. (Ed.). (1993). Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta:

EGC.

Farida, Y., Trisna, A., & W, D. N. (2017). Studi Penggunaan Antibiotik Pada

Pasien Pneumonia di Rumah Sakit Rujukan Daerah Surakarta.

Journal of Pharmaceutical Science and Clinical Research, 02, 44–52.

Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 3.

Jogjakarta: Mediaction Publishing.

Sari, E. F., Rumende, C. M., & Harimurti, K. (2016). Faktor – Faktor yang

Berhubungan dengan Diagnosis Pneumonia pada Pasien Usia Lanjut.

Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 3(4), 183–192.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., K., M. S., & Setiati, S. (Eds.). (2006).

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit.

Yasmara, D., Nursiswati, & Arafat, R. (Eds.). (2016). Rencana Asuhan

Keperawatan Medikal-Bedah : Diagnosis Nanda-1 2015-2017

Intervensi NIC hasil NOC. 2016: EGC.

Anda mungkin juga menyukai