Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN

CASE BASED DISCUSSION

“PNEUMONIA“

PEMBIMBING
dr. I Gusti Ngurah Sudiana, Sp.A

OLEH:
Farida Yuni Pertiwi
016.06.0001

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KLUNGKUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan Case Based
Discussion dengan kasus “ Pneumonia”.
Penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan
klinik di bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD Klungkung.Penulis mengucapkan terimakasih
kepada para dokter pendidik klinis yang menjadi tutor atau fasilitator yang membimbing selama
melaksanakan tugas ini, dan juga semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan
ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan hasil yang memuaskan bagi penulis.
Dalam penyusunan laporan kasus ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan
sehingga penulis menginginkan saran dan kritik yang membangun dalam menyempurnakan
laporan kasus.

Klungkung , 2 Desember 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................. .i

Daftar Isi ........................................................................................................... .ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ............................................................................ .................1

1.2 Tujuan ......................................................................................... ................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pneumonia ............................................................. .....................2

2.2. Epidemiologi ...................................................................... .....................2

2.3. Etiologi ............................................................................... .....................2

2.4. Klasifikasi.................................................................. ................ ................4

2.5. Faktor Risiko................................................................................................6

2.6. Patogenesis .......................................................................... .....................8

2.7. Manifestasi Klinis................................................................ ...................11

2.8. Diagnosis .................................................................................................14

2.9. Penatalaksanaan ....................................................................................... 15

2.10. Komplikasi ............................................................................................... 19

2.11. Prognosis .................................................................................................. 19

2.12. Pencegahan .............................................................................................. 19

BAB III LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien............................................................................................21

3.2. Anamnesis...................................................................................................21

3.3. Pemeriksaan Fisik.......................................................................................23


ii
3.4. Pemeriksaan Penunjang..............................................................................25

3.5. Diagnosis....................................................................................................27

3.6. Penatalaksanaan...........................................................................................27

3.7. Prognosis .................................................................................. ...............28

3.8. Follow up ................................................................................. ..............29

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. Pembahasan Kasus.......................................................................................31

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan ............................................................................... ...............37

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... ........38

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneumonia adalah penyakit dengan gejala batuk pilek disertai sesak dan nafas
cepat, penyakit ini sering menyerang anak-anak, namun dapat juga ditemukan pada
orang dewasa dan lansia. Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai
parenkim paru-paru. Terjadinya pneumonia pada anak-anak seringkali bersamaan
dengan proses infeksi akut pada bronkus (bronkopneumonia). Pneumonia dapat
disebabkan baik oleh bakteri, virus, jamur, ataupun parasite. Pneumonia merupakan
salah satu penyakit infeksi pada anak yang serius dan merupakan salah satu penyakit
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang paling banyak menyebabkan kematian
pada balita (Kemenkes, 2019).
Pneumonia merupakan faktor penyebab kematian terbesar pada anak-anak di
seluruh dunia, dengan kasus kematian sebesar 920.136 pada anak-anak dibawah usia
5 tahun, dimana angka ini menyumbang 16% dari seluruh kasus kematian pada anak-
anak dibawah usia 5 tahun (Kemenkes, 2019). Sebagian besar anak-anak yang sehat
dapat melawan infeksi dengan pertahanan alami tubuh mereka. Anak-anak yang
sistem kekebalan tubuhnya terganggu memiliki risiko lebih tinggi mengalami
pneumonia. Salah satu yang berpengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh anak
adalah pemberian ASI eksklusif (Hartati, 2019).

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi pneumonia
2. Untuk mengetahui epidemiologi pneumonia
3. Untuk mengetahui etiologi pneumonia
4. Untuk megetahui klasifikasi dari pneumonia
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari pneumonia
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari pneumonia
7. Untuk mengetahui penegakkan diagnosis dari pneumonia
8. Untuk mengetahui tatalaksana pneumonia
9. Untuk mengetahui komplikasi pneumonia
10. Untuk mengetahui prognosis dari pneumonia

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pneumonia


Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim
paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat (Sudoyo, 2015).

2.2 Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir
seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak balita,
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia
Tenggara. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2019 menunjukkan bahwa angka
kematian akibat pneumonia pada balita sebesar 0,12, dimana kematian akibat pneumonia
pada kelompok bayi lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan pada kelompok anak usia
satu hingga empat tahun (Kemenkes, 2019).
Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di bawah
umur 2 tahun Insiden pneumonia pada anak ≤ 5 tahun di negara maju adalah 2-4
kasus/100 anak/tahun, sedangkan dinegara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun.
Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta kematian pertahun pada anak balita di
negara berkembang (Hegar, 2010).

2.3 Etiologi
Usia pasien merupakan peranan penting pada perbedaan dan kekhasan
pneumonia anak, terutama dalam spectrum etiologi, gambaran klinis dan strategi
pengobatan. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus
grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, pseudomonas sp, atau Klebsiella sp.
Pada bayi yang lebih besar dan balita pneumoni sering disebabkan oleh Streptococcus

2
pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang
lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi
Mycoplasma pneumoniae (Hegar, 2010).
Penyebab utama virus adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human
metapneumovirus dan adenovirus. Nair, et al 2010 melaporkan estimasi insidens
global pneumonia RSV anak-balita adalah 33.8 juta episode baru di seluruh dunia
dengan 3.4 juta episode pneumonia berat yang perlu rawat-inap. Diperkirakan tahun
2005 terjadi kematian 66.000 -199.000 anak balita karena pneumonia RSV, 99%
diantaranya terjadi di negara berkembang. Data di atas mempertegas kembali peran
RSV sebagai etiologi potensial dan signifikan pada pneumonia anak-balita baik
sebagai penyebab tunggal maupun bersama dengan infeksi lain (Rahajoe, 2008).
Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan usia yang bersumber dari
data di Negara maju dapat dilihat di tabel berikut :

Usia Etiologi yang sering EEtiologi yang jarang


Bakteri Bakteri
E.colli Bakteri anaerob
Streptococcus grup B Streptococcus grup D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonie
Virus
Lahir - 20 hari CMV
HMV
Bakteri Bakteri
Clamydia trachomatis Bordetella pertusis
Streptococcus Haemophillus influenza tipe
3 miggu – 3 bulan B
pneumoniae
Virus Moraxella catharalis
Adenovirus Staphylococcus aureus
Influenza Virus
Parainfluenza 1,2,3 CMV
Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza tipe
B
Mycoplasma Moraxella catharalis
pneumoniae

3
4 bulan – 5 tahun Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumoniae
Virus Neisseria meningitides
Adenovirus Virus
Rinovirus Varisela Zoster
Influenza
Parainfluenza
Bakteri Bakteri
Clamydia pneumonia Haemophillus influenza
Mycoplasma Legionella sp
pneumoniae
Tahun – Remaja
Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumoniae
Virus
Adenovirus
Epstein-Barr
Rinovirus
Varisela zoster
Influenza / Parainfluenza

2.4 Klasifikasi
Klasifikasi pneumonia berdasarkan WHO (2013) dijelaskan pada tabel berikut :
Klasifikasi Keterangan
Bukan Pneumonia Tidak ada tanda pneumonia maupun
pneumonia berat.
Pneumonia Napas cepat :
 >50x/menit pada usia 2-11 bulan
 >40x/menit pada usia 1-5 tahun
Retraksi dinding dada

Pneumonia Berat Batuk atau kesulitan dalam bernapas disertai


dengan :

4
 Saturasi oksigen <90% atau sianosis
sentral
 Distress pernapasan berat (misalnya
grunting, retraksi dinding dada yang
sangat berat)
 Tanda pneumonia disertai tanda
bahaya (tidak mampu menyusu atau
minum, latergi, atau penurunan
kesadaran, kejang)

2.5 Faktor Risiko


Faktor – faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia, diantaranya :
a. Status Gizi
Status gizi anak merupakan faktor penting timbulnya pneumonia. Hal
ini berhubungan dengan asupan gizi anak, misalnya anak yang mengalami
defisiensi vitamin A akan beriko 2 kali lebih besar mengalami ISPA
dibandingkan anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A. Selain itu,
status gizi sangat berpengaruh terhadao daya tahan tubuh anak. Balita yang
memiliki status gizi baik maka akan memiliki daya tahan tubuh yang lebih baik
dibandingkan dengan anak yang memiliki status gizi kurang maupun buruk
(Hartati, 2019).
b. Pemberian ASI
Air susu ibu memiliki proteksi terhadap infeksi pneumonia. Sebab ASI
mengandung kolostrum, yaitu salah satu zat anti-infeksi dalam kolostrum
yakni immunoglobulin yang berfungsi melingdungitubuh terhadap infeksi
saluran pencernaan dan saluran pernapasan. Sehingga bayi yang tidak
mendapatkan ASI akan lebih rentan mengalami infeksi pneumonia (Hartati,
2019).
c. BBLR
Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) yaitu bayi dengan berat badan lahir
<2500 gram. Hal ini bisa terjadi karena proses pembentukan di dalam
kandungan yang kurang sempurna atau bayi lahir belum cukup bulan. Selain
itu, BBLR juga dipengaruhi oleh keadaan Ibu selama masa kehamilan yang

5
meliputi status gizi maupun status kesehatan. BBLR memiliki risiko kematian
yang lebih besar dibandingkan bayi dengan berat badan normal terutama
padabulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan imunitas yang
kurang sempurna sehingga lebih rentan terhadap infeksi, terutama pneumonia
dan infeksi saluran napas lainnya (Hartati, 2019).
d. Imunisasi
Imunisasi merupakan salah satu cara mencegah terjadinya infeksi
penyakit termasuk pneumonia, sebab dengan imunisasi kekebalan tubuh
terhadap penyakit menjadi lebih kuat dan sebaiknya. Campak, pertussis dan
beberapa penyakit lainnya dapat meningkatkan risiiko mengalami pneumonia,
namun bayi ataupun balita yang pernah terserang campak dapat selamat
setelah mendapatkan kekebalan alami terhadap pneumonia komplikasi
campak (Rizqullah.,et all, 2021 & Vitawati, 2016).
e. Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua menunjukkan hubungan terbalik
terhadap kejadian dan kematian akibat ISPA. Pendidikan ini berhubungan
dengan kesadaran individu terhadap kesehatan. Kurangnya pengetahuan akan
menyebabkan kasus pneumonia tidak diketahui oleh orang tua sehingga tidak
segera mendapatkan pengobatan (Hartati, 2019).
f. Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh terjadap pendidikan dan faktor-
faktor lainnya, seperti asupan gizi keluarga termasuk anak, lingkungan, dan
pemanfaatan layanan kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga dengan
status sosial ekonomi rendah memiliki risiko lebih besar terhadap infeksi
pneumonia (Hartati, 2019).
g. Lingkungan
Faktor lingkungan yang ikut berperan dalam kejadian ISPA khususnya
pneumonia adalah kondisi rumah yang meliputi, komponen rumah, sanitasi,
dan perilaku individu. Selain itu kepadatan hunian dalam rumah dan polusi
udara juga berperan dalam risiko penyebab kejadian pneumonia pada balita
(Hartati, 2019).
h. Jenis Kelamin
Anak laki-laki memiliki risiko terinfeksi pneumonia lebih tinggi
dibandingkan perempuan karena adanya perbedaan sifat biologis yang

6
mempengaruhi pada periode neonatal dan hal ini berhubungan dengan teori
genetic yang menyebutkan bahwa adanya perbedaan struktur gen laki-laki
dengan perempuan yang berpengaruh terhadap respon penyakit (Hartati,
2019).
i. Umur
Umur menjadi salah satu faktor risiko pneumonia karena berhubugan
dengan risiko penyakit dan imunitas pada setiap kelompok umur, yang artinya
bayi dan balita belum memiliki sistem pertahanan tubuh yang sempurna dan
saluran udara yang sempit sehingga sangat berisiko terinfeksi pneumonia
dibandingkan dengan usia remaja atau dewasa (Rizqullah.,et all 2021).

j. Jangkauan Pelayanan Kesehatan


Akses pelayanan kesehatan berhubungan dengan kemudahan dan
kecepatan dalam mengantisipasi terjadinya penyakit unutk segera
mendapatkan pengobatan. Pemanfaatan pelayanan kesehatan ini sangat
berpengaruh terhadap tingkat penemuan penderita pneumonia (Hartati, 2019).

2.6 Patogenesis
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru.
Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan
tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran nafas dan paru dapat
melalui berbagai cara, antara lain :
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius sangat efisien untuk mencegah
infeksi yang terdiri dari beberapa komponen, diantaranya :
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di nasofaring
3. Silia yang terdapat disebagian besar epitel traktus respiratorius dan sekret yang
dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.

7
4. Refleks batuk
5. Refleks epiglottis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
6. Drainase sistem limfatis dan fungsi penyaringan kelenjar limfe regional
7. Fagositosis dari limfosit dan respon imun humoral terutama IgA
8. Sekresi enzim-enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang bekerja
sebagai antimikroba yang non-spesifik (Kliegman, 2016 & Samuel, 2014).

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan
nafas hingga ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan
di sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
a. Stadium I (Kongesti / 24 jam)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator
tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin
dan prostaglandin untuk melemaskan otot polis vaskular paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru (Sudoyo, 2015).
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin (Samuel, 2014).
b. Stadium II (Hepatisasi Merah / 2-3 hari)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau

8
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam (Samuel, 2014).
c. Stadium III (Hepatisasi Kelabu / 3-7 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti (Samuel, 2014)
d. Stadium IV (Resolusi / 7-11 hari).
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula (Sudoyo, 2015).

Gambar 2.1 Algoritma Patofisiologi Bronkopneumonia

9
Gambar 2.2 Histopatologis Pneumonia

2.7 Manifestasi Klinis


1. Gejela Klinis
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara
ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil
yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi
sehingga memerlukan perawatan dirumah sakit. Beberapa faktor yang
mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak adalah imaturitas
anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis
yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, dan faktor patogenesis.
Disamping itu, kelompok usia pada anak merupakan faktor penting yang
menyebabkan karakteristik penyakit berbeda-beda, sehingga perlu
dipertimbangkan dalam tatalaksana pneumonia (Kliegman, 2016).
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat
ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
 Gejala infeksi umum, yaitu : demam, sakit kepala, gelisah, malaise,
penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal (mual, muntah,
ataupun diare)
 Gejala gangguan pernapasan, yaitu : batuk, sesak napas, retraksi dinding
dada, takipnea, napas cuping hidung, merintih, dan sianosis (Samuel,
2014).

10
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemui beberapa hal sebagai berikut :
1. Adanya retraksi dinding dada baik retraksi suprasternalm intercostal,
substernal ataupun subcostal.
2. Pada saat di palpasi, masih dapat ditemukan ekspansi paru dan fremitus
vocal yang simetris. Konsolidasi yang kecil pada paru akibat
pneumonia tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas
masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru /
atelectasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
3. Pada saat dilakukan perkusi, dapat ditemukan suara pekak.
4. Saat auskultasi, dapat ditemukan adanya suara napas melemah, dan
ronkhi.
5. Pada neonates dan bayi kecil, gejala dan tanda dari pneumonia lebih
beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan auskultasi
paru umumnya tidak ditemukan kelainan (Hazir, 2006 & Samuel,
2014).

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumoni
viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak
melebihi 20.000/mm2 dengan limfosit predominan) dan bakteri
leukosit meningkat 15.000 – 40.000/mm2 dengan neutrofil yang
predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta
peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
Isolasi mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat
invasif sehingga tidak rutin dilakukan (Samuel, 2014).
b. Pemeriksaan Radiologi
Kelainan foto rontgen toraks pada pneumonia tidak selalu
berhubungan dengan gambaran klinis. Umumnya pemeriksaan yang
diperlukan untuk menunjang diagnosis pneumonia hanyalah
pemeriksaan posisi AP.

11
Secara umum, berikut merupakan gambaran rongent thoraks
yang berkaitan dengan pneumonia :
- Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribronchial cuffing dan hiperaerasi
- Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus
disebut dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi
tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas dan menyerupai lesi tumor
paru disebut sebagai round pneumonia
- Bronkopneumonia ditandai dengan gambaran difus merata
pada kedua paru berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat
meluas hingga daerah perifer paru disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial
Gambaran foto rontgen toraks dapat membantu
mengarahkan kecenderungan etiologi. Penebalan peribronkial,
infiltrat interstitial merata dan hiperinflasi cenderung terlihat pada
pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau
lobar, bronkopneumonia dan air bronchogram sangat mungkin
disebabkan oleh bakteri (Garna, 2014).
c. C-Reaktive Protein (CRP)
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostic untuk
membedakan antara faktor infeksi dan non-infeksi, infeksi virus dan
bakteri, ataupun infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kada CRP
biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri
superfisialis daripada infeksi bakteri profunda. CRP terkadang
digunakan untuk evaluasi respon tubuh terhadap terapi antibiotik
(Garna, 2014).
d. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia pada
anak tidak rutin untuk dilakukan, kecuali pada pneumonia berat yang
di rawat di Rumah Sakit. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, specimen
dapat berasal dari usap tenggorokan, sekret nasofaring, bilasan
bronkus, darah, pungsi pleura, ataupun aspirasi paru (Garna, 2014).

12
2.8 Diagnosis
a. Diagnosis Pneumonia
Batuk atau kesulitan bernapas ditambah minimal 1 dari tanda di bawah ini :
 Napas cepat
o Usia 2 – 11 bulan : >50 x/menit
o Usia 1 – 5 tahun : > 40 x/menit
 Retraksi dinding dada, tarikan pada dinding dada bagian bawah
(misalnya dinding dada bagian bawah tertarik ke dalam ketika anak
menarik napas)
Sebagai tambahan, baik ronkhi maupun pleural rub dapat terdengar pada
auskultasi (Anosha, 2017).
b. Diagnosis Pneumonia Berat
Batuk atau kesulitan bernapas ditambah minimal 1 dari tanda di bawah ini :
 Sianosis sentral atau saturasi oksigen <90%
 Distress pernapasan berat (misalnya, grunting, retraksi dinding dada
yang sangat berat)
 Tanda pneumonia disertai satu tanda bahaya umum :
o Tidak mampu menyusu / minum
o Latergia atau tidak sadar
o Kejang
Ditambah dengan beberapa atau semua tanda pneumonia lainnya :
 Napas cepat
o Usia 2 – 11 bulan : >50 x/menit
o Usia 1 – 5 tahun : > 40 x/menit
 Retraksi dinding dada, tarikan pada dinding dada bagian bawah
(misalnya dinding dada bagian bawah tertarik ke dalam ketika anak
menarik napas)
 Tanda auskultasi dada :
o Bunyi pernapasan menurun
o Bunyi napas bronkial
o Ronkhi
o Bunyi pleural rub

13
o Resonansi suara abnormal (menurun pada efusi pleura atau
empyema, meningkat pada konsolidasi lobaris) (Anosha,
2017).

2.9 Penatalaksanaan
Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya
toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil
dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap (Rizqullah, 2021).
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan
antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi
pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan
asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat (Samuel,
2014).
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia
yang diduga disebabkan oleh bakteri. Identifikasi dini mikroorganisme penyebab tidak
dapt dilakukan karena tidak tersedianya uji mikrobiologis cepat. Oleh karena itu,
dipilih berdasarkan pengalaman empiris yakni didasrkan pada kemungkinan etiologi
penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta
epidemiologis (Samuel, 2014).
Kriteria rawat inap :
Bayi - Saturasi oksigen <92%, sianosis
- Frekuensi napas >60 x/menit
- Distress pernapasan, apnea intermiten, atau
grunting
- Tidak mau minum/menetek
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Anak - Saturasi oksigen <92%, sianosis
- Frekuensi napas >50 x/menit
- Distress pernapasan
- Grunting

14
- Tanda dehidrasi
- Keluarga tidak bisa merawat di rumah

Tatalaksana Pneumonia Menurut Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah


Sakit oleh WHO 2013
Tatalaksana Pneumonia
 Pasien dapat dirawat jalan (pada pneumonia tanpa gejala berat)
 Berikan cairan yang adekuat. Bila terdapat demam dapat diberikan tambahan
cairan atau lebih banyak ASI. Berikan anak minum sedikit demi sedikit namun
sering.
 Berikan terapi antibiotic. Amoxicilin oral dengan dosis :
 Di daerah high HIV infection rate : Amoxicilin setidaknya 40
mg/kgBB/kali (2 kali sehari selama 5 hari).
 Di daerah low HIV prevalence : Amoxicilin setidaknya 40
mg/kgBB/kali diberikan 2 kali sehari selama 3 hari
 Hindari penggunaan obat-obatan yang tidak penting & berbahaya, yaitu obat
yang mengandung atropine, derivate kodein, atau alkohol.

Tatalaksana Pneumonia Berat


 Pasien di rawat inap
 Terapi oksigen : berikan oksigen dan tetap pantau saturasi oksigen
 Terapi antibiotic :
o Ampicillin 50 mg/kgBB atau benzylpenicillin 50.000 U/kg IM atau IV
setiap 6 jam minimal selama 5 hari
o Gentamicin 7,5 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari selama 5 hari.
 Jika anak tidak menunjukkan tanda perbaikan dalam 48 jam dan dicurigai
terdapat staphylococcal pneumoniae, maka ganti terapi dengan gentamicin 7,5
mg/kgBB IM atau IV sekali sehari atau cloxacillin 50 mg/kgBB IM atau IV
setiap 6 jam.
 Gagal dengan terapi awal, maka dapat diberikan ceftriaxone 80 mg/kgBB IM
atau IV satu kali sehari.
Terapi Suportif :
 Bila terdapat sekret kental pada saluran pernapasan, bersihkan dengan suction

15
 Berikan antipiretik (paracetamol) bila demam
 Jika terdapat wheezing, berikan bronkodilator kerja cepat
 Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat.

Rekomendasi Terapi Pneumonia oleh Panduan Praktek Klinis Ilmu


Kesehatan Anak RSUP Sanglah
1. Oksigenasi sesuai dengan PPK ARDS
2. Ampisilin 50 mg/kgBB/kali intravena tiap 6 jam dan gentamisin 7,5
mg/kgBB/kali intravena tiap 24 jam minimal selama 5 hari. Bila dalam 48-
72 jam belum terdapat perbaikan klinis, diganti dengan seftriakson 50-75
mg/kgBB/hari intravena tiap 12 jam minimal selama 5 hari. Bila tidak
terdapat perbaikan maka antibiotic disesuaikan dengan hasil biakan
sputum.
3. Paracetamol 10 mg/kgBB/kali bila suhu diatas 38°C
4. Jika terdapat mengi, maka nebulasi ß-Agonis (salbutamol) 0,1
mg/kgBB/kali tiap 6 jam dilarutkan dalam NaCL 3% hingga 4 mL dan
steroid (deksametason bolus 0,5 – 1 mg/kgBB/kali dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari tiap 6 jam)
5. D5 0,225 NS untuk anak < 2 tahun dan D5 0,45 NS untuk anak > 2 tahun
sesuai cairan rumatan

16
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pneumonia, diantaranya ;
a. Atelectasis, yaitu adanya pengembangan paru yang tidak sempurna (kolaps)
merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk yang hilang.
b. Empyema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya pus dalam rongga
pleura.
c. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang
d. Infeksi sistemik
e. Endocarditis, yaitu peradangan pada setiap katup endocardial
f. Meningitis, yaitu infeksi yang menyerang selaput otak (Samuel, 2014).

2.11 Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang
terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi
berat dapat memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan
hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan
pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja
sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang

17
lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila
berdiri sendiri (Garna, 2014).

2.12 Pencegahan
Pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau
mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya
bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan
meningkatkan daya tahan tubuh kaita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti
cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat
yang cukup, rajin berolahraga, dan lainnya. Melakukan vaksinasi juga diharapkan
dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain.

 Vaksinasi Pneumokokus (PCV)


Dapat diberikan pada usia 2,4, dan 6 bulan dengan booster pada usia 12-
15 bulan. Jika belum diberikan pada usia 7-12 bulan, diberikan PCV 2 kali
dengan jarak 1 bulan dan booster setelah usia 12 bulan dengan jarak 2 bulan dari
dosis sebelumnya. jika belum diberikan pada usia 1-2 tahun, berikan PCV 2 kali
dengan jarak minimal 2 bulan. Jika belum diberikan pada usia 2-5 tahun, PCV10
diberikan 2 kali dengan jarak 2 bulan, PCV13 diberikan 1 kali (IDAI, 2020).

18
Dasar pertimbangan di atas berdasarkan WHO position paper
pneumokokus (2019) dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.HK.01.07/Menkes/199/2017 Pelaksanaan Demonstrasi Pemberian
Imunisasi Pneumokokus Konjugasi di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten
Lombok Timur. Program Kemenkes tersebut memberikan PCV pada umur 2, 3,
dan 12 bulan sesuai dengan WHO position paper mengenai pneumokokus 2019
yang melaporkan meta-analisis dan kajian sistematik 5 uji klinik dengan
randomisasi bajwa pemberian PCV dengan dosis primer 2 atau 3 kali
menghasilkan tingkat seropositive tinggi (konsentrasi antibody >0,35 g/ml) pada
sebagaian besar serotipe (Soedjatmiko, 2020).
Dengan dosis 3p+1 tingkat seropositive lebih tinggi untuk serotipe 6B
dan 23F. uji klinik dengan randomisasi pada 400 bayi cukup bulan di Belanda
2010-2011 yang memberikan PCV13 dengan jadwal berbeda, ayitu 2-4-6 bulan,
3-5 bulan, dan 2-3-4 bulan atua 2-4 bulan, kemudian diberikan booster pada usia
11,5 bulan, titer antibody 1 bulan setelah booster tidak berbeda bermaksna
secara statistic pada keempat jadwal tersebut. Namun jadwal 2-4-6 bulan
ditambah 1 booster (3p+1) cenderung menghasilkan respon imun lebih baik
untuk serotipe 18C, 23F, 6B, 3, 9, dan 1. Serotipe tersebut banyak ditemukan di
Indonesia (Soedjatmiko, 2020).
 Vaksinasi HiB (Haemophilus Influenza Tipe B)
Didalam jadwal imunisasi tahun 2017, booster Hib diberikan pada usia
15-18 bulan, sedangkan di dalam jadwal imunisasi tahun 2020 diberikan pada
usia 18 bulan bersama DTwP atau DTaP (Soedjatmiko, 2020).
Dasar pertimbangan ini sesuai dengan WHO position paper mengenai
Hib tahun 2013 bahwa setelah imunisasi dasar Hib diberikan booster 1 kali
sekurang-kurangnya 6 bulan setelah imunisasi dasar. Jadwal ini sesuai dengan
Permenkes. No.12 Tahun 2017, booster Hib diberikan pada usia 18 bulan di
dalam vaksin pentavalen (Soedjatmiko, 2020).

19
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : An. PAPW
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 11 bulan
Agama : Hindu
Suku / Bangsa : Bali / Indonesia
Alamat : Dsn Meranggen Tangkas, Klungkung
Tanggal MRS : 16 November 2021

3.2 Anamnesa
Keluhan utama
 Sesak

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien anak laki-laki berusia 11 bulan datang diantar oleh orang tuanya ke IGD
RSUD Klungkung dengan keluhan sesak sejak 2 hari yang lalu (14 November 2021).
Sesak dirasakan semakin memberat sehingga membuat pasien rewel dan sulit tidur.
Menurut Ibu pasien, pasien akan lebih sesak jika berbaring dan sedikit lebih tenang
jika pasien duduk atau digendong. Sebelumnya pasien mengalami demam dengan
suhu kurang lebih 38,5oC sejak 5 hari sebelumnya dan sempat di bawa ke Puskesmas,
dimana pasien diberikan obat puyer, dan demamnya mulai turun. Keesokan harinya
pasien dikeluhkan mengalami batuk dan pilek, dimana batuk yang dikeluhkan tidak
berdahak sedangkan untuk pileknya dengan konsistensi cair berwarna bening
kekuningan, serta nafas pasien terlihat berat. Kemudian pasien juga mengalami sesak
pada tanggal 15 November 2021 sehingga pasien dibawa ke IGD RSUD Klungkung
dan diberikan nebul dan Ambroxol, pasien membaik dan dibawa pulang. Namun
malam harinya sesak dirasakan memberat sehingga pasien kembali di bawa ke IGD
RSUD Klungkung. Pasien juga dikeluhkan muntah sebanyak 3 kali. Nafsu makan
pasien menurun, dimana pasien tidak mau minum susu ataupun makanan seperti

20
bubur. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Riwayat sesak, batuk, dan demam yang
terjadi berulang disangkal oleh Ibu pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Dikatakan bahwa 25
hari sebelumnya, pasien sempat mengalami demam 38,7oC namun membaik saat
diberikan obat penurun panas. Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal.
Riwayat asma (-).

Riwayat Penyakit Keluarga

Pada anggota keluarga tidak ada yang mengalami keluhan yang sama seperti pasien
saat ini. Namun menurut Ibu pasien, kakek pasien sebelumnya mengalami penyakit
saluran pernapasan berupa batuk berdahak dan sesak dan telah sembuh dengan
pengobatan (Ibu pasien tidak mengetahui pasti jangka waktu pengobatan) sekitar dua
bulan yang lalu. Riwayat asma (-), riwayat alergi (-).

Riwayat Pribadi dan Sosial

Pasien merupakan anak pertama, tinggal bersama orang tua dan kakek neneknya.
Ayah dan kakek pasien juga merupakan seorang perokok.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Ibu pasien rutin melakukan ANC di Puskesmas setiap bulannya dan rutin
mengkonsumsi tablet besi yang diberikan. Anak lahir secara perabdominal (section
caesaria), cukup bulan, kehamilan tunggal. Bayi dikatakan langsung menangis setelah
lahir dengan berat badan lahir 3500 gran panjang badan lahir 50 cm.

Riwayat Imunisasi

 Hepatitis B : 3 kali
 DPT : 3 kali
 BCG : 1 kali
 Polio : 3 kali
 MMR : 1 kali

21
Riwayat Nutrisi

 Pasien mengkonsumsi ASI eksklusif hanya selama 2 minggu (karena ASI tidak
keluar) pemberian ASI dengan frekuensi >5 kali/hari. ASI kemudian
digantikan dengan susu formula hingga saat ini dengan frekuensi >5 x/hari.
 Pasien mulai mengkonsumsi bubur susu saat usia 6 bulan dengan frekuensi 3
kali/hari, dan mulai mengkonsumsi nasi tim saat usia 7 bulan hingga saat ini
dengan frekuensi 3 kali/hari dengan lauk pauk berupa sayur, ati ayam, dan
telur.

Riwayat Tumbuh Kembang

1. Menegakan kepala : 3 bulan


2. Membalik badan : 4 bulan
3. Tengkurap : 4 bulan
4. Duduk : 6 bulan
5. Merangkak : 7 bulan
6. Berdiri : 10 bulan
7. Berjalan : belum
8. Bicara : belum

Status Antropometri (perhitungan berdasarkan WHO)

 Berat Badan : 9 kg
 Tinggi Badan : 75,5 cm
 BB/U : - 1 SD – 0 SD (Gizi baik)
 TB/U : 0 SD - +1 SD (Normal)
 BB/TB : - 1 SD – 0 SD (Gizi baik / normal)
 IMT : 16,0 kg/m2
 IMT/U : - 1 SD – 0 SD (Gizi baik)
 BB/TB% : 97% ( Gizi Baik)

22
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status present
- Keadaan Umum : Lemah
- Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
- Tekanan darah : Tidak dievaluasi
- Nadi : 136 x/menit
- Respirasi Rate : 39 x/menit
- Suhu : retr
- Saturasi Oksigen : 95%

Status Generalis

- Kepala : Normochepali dengan ukuran lingkar kepala (LK) 48 cm,


rambut lebat (+), pertumbuhan rambut merata, rambut kusam
dan merah (rambut jagung) (-).
- Mata : Anemis (-/-) , icterus (-/-) , cowong (-/-) , reflex pupil (+/+)
isokor.
- Mulut : Mukosa bibir kering (-), sianosis (-), mukosa faring anemis
(tidak dievaluasi), tonsil (tidak dievaluasi), lidah bersih (dbn).
- Hidung : Pernapasan cuping hidung (-), sekret (+/+), septum deviasi
(-), sianosis mukosa nasal (-).
- Telinga : Kesan tenang, sekret (-)
- Leher : Perbesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-).
- Thorax :
o Pemeriksaan Pulmo
 Inspeksi : normochest, retraksi substernal (+)
 Palpasi : ekspansi paru (dbn), fremitus vocal (tidak
dievaluasi)
 Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
 Auskultasi : vesik uler (+/+), rhonki (+/+), wheezing (-/-).
o Pemeriksaan Cor / Jantung
 Inspeksi : ictus kordis tidak terlihat
 Palpasi : ictus kordis teraba di linea midclavicular
sinistra pada ICS IV

23
 Perkusi : Batas jantung normal.
 Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, mumur (-), gallop (-).
- Abdomen :
o Inspeksi : distensi (-), tidak tampak adanya massa, scar (-)
o Auskultasi : peristaltik usus (+) normal
o Perkusi : timpani diseluruh regio abdomen
o Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
- Ekstremitas :
o Edema : - -

- -

+ +
o Akral hangat :
+ +

o Sianosis - -

- -

o CRT : <2 detik

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Darah Lengkap (16/11/2021)
Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan

Hemoglobin 11,6 10,8 – 16,5 g/dL Normal

Leukosit 12,10 3,5 – 10 ribu/uL Meningkat

Limfosit 46,8 18,0 – 48,3 % Normal

Neutrofil 41 39,3 – 73,7 % Normal

MID 12,4 % -

Hematokrit 35,3 35 – 55 % Normal

24
Eritrosit 5.1 3.5 -5.5 juta/uL Normal

Index Eritrosit

MCV 68,6 81,1 – 96 fL Menurun

MCH 22,6 27,0 – 31,2 pg Menurun

MCHC 32,9 31 – 38 gr/dL Normal

Trombosit 292 145 – 450 ribu/uL Normal

RDW-CV 15,6 11,5 – 14,5 mg/dL Meningkat

Pemeriksaan Kimia Darah (16/11/2021)


Parameter Hasil Nilai Rujukan Keterangan

GDS 97 80 – 200 mg/dL Normal

Pemeriksaan Rapid Test (16/11/2021)


Parameter Hasil Nilai Rujukan

IgM Anti SARS-CoV-2 Non reaktif Non reaktif


(Covid-19)
IgG Anti SARS-CoV-2 Non reaktif Non reaktif
(Covid-19)

25
Pemeriksaan Rongent Toraks (16/11/2021)

Keterangan :

 Pulmo : corokan bronkovaskular meningkat, tampak infiltrate di parahiller


kiri, parakardia kanan dan kiri.
Kesan :

 Tak tampak cardiomegaly


 Mengesankan gambaran pneumonia

3.5 Diagnosa Banding


- Pneumonia
- Bronkiolitis
- Asma bronkiale
- Tuberculosis Paru.

3.6 Diagnosa Kerja


Pneumonia

26
3.7 Tatalaksana
Rencana terapi
 Oksigenasi nasal kanul 2 lpm
 IVFD D5% ¼ NS 30 tpm
 Antibiotik : Ceftriaxone 2 x 400 mg
 Bronkodilator : Nebulizer Ventolin 1 cc + NaCl 0,9%
 Dexamethasone 3 x 2,5 mg
 Endostein 2 x ¼ cth
Rencana Edukasi
- Jika anak demam, maka kompres dengan air hangat dan berikan obat
penurun panas.
- Tetap menjaga kebersihan tubuh ataupun lingkungan untuk mencegah
terjadinya infeksi yang lebih parah lagi.
- Hindarkan anak dari paparan asap rokok.
- Menjaga nutrisi anak dengan memberikan asupan makan sesuai usia.

3.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad funtionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

27
Follow Up Pasien

No : Tanggal Subjek Objektif Assessment Planning


GCS : E4V5M6
1. 16/11/21 Sesak (+), Pneumonia - Oksigenasi
demam , HR: 136 kali/menit nasal kanul 2
batuk tidak kuat angkat lpm
berdahak (+),
- IVFD D5% ¼
pilek (+) RR : 39 x/menit
NS 30 tpm
muntah 3x
Suhu : 37oC - Antibiotik :
sebelum
masuk ke RS Ceftriaxone 2 x
spO2 : 95%
panurunan 400 mg
nafsu makan
Mata : anemis (-), - Nebulizer
BAB/BAK
ikterus (-), cowong - Ventolin 1 cc +
(dbn)
/-, reflek pupil +/+ NaCl 0,9%
isokor - Dexamethasone
3 x 2,5 mg
Thorax: simetris,
retraksi (+) - Erdostein 2 x ¼
substernal cth
Pulmo : Vesikuler
+/+, Rhonki +/+,

Abdomen : distensi
(-), bising usus (+)
normal, nyeri tekan
(-)

GCS : E4V5M6
2. 17/11/21 Sesak (+) Pneumonia - Oksigenasi

Batuk tidak HR: 136 kali/menit nasal kanul 2


berdahak (+) kuat angkat lpm

Pilek (+) - IVFD D5% ¼


RR : 36 x/menit
NS 30 tpm
Suhu : 37oC - Antibiotik :
Ceftriaxone 2 x
spO2 : 95%
400 mg

28
Thorax: simetris, - Nebulizer
retraksi (+) Ventolin 1 cc +
substernal NaCl 0,9%
- Dexamethasone
Pulmo : Vesikuler
3 x 2,5 mg
+/+, Rhonki +/+,
- Erdostein 2 x ¼
Abdomen : distensi cth
(-), bising usus (+)
- Alco 3 x 0,5 ml
normal

GCS : E4V5M6
3. 18/11/21 Sesak (+) Pneumonia - Oksigenasi
mulai nasal kanul 2
HR: 122 kali/menit
berkurang
lpm (jika perlu)
Batuk tidak RR : 32 x/menit
- IVFD D5% ¼
berdahak (+)
Suhu : 36,4oC NS 30 tpm
Pilek (+) - Antibiotik :
spO2 : 98 %
Cefixime 2 x 2
Thorax: simetris, ½ ml
retraksi (-) - Nebulizer
Ventolin 1 cc +
Cor : S1S2 tunggal,
NaCl 0,9%
regular, murmur (-)
(jika perlu)
Pulmo : Vesikuler - Erdostein 2 x ¼
cth
+/+, Rhonki +/+

GCS : E4V5M6
4. 19/11/21 Sesak (-) Pneumonia - Oksigenasi

Batuk tidak HR: 128 kali/menit nasal kanul 2


berdahak (+) lpm (jika perlu)
RR : 32 x/menit
- IVFD D5% ¼
Suhu : 36,5oC NS 30 tpm
- Antibiotik :
spO2 : 98 %
Cefixime 2 x 2
½ ml

29
Thorax: simetris, - Nebulizer
retraksi (-) Ventolin 1 cc +
NaCl 0,9%
Pulmo : Vesikuler
(jika perlu)
+/+, Rhonki -/-,
BPL (sore)
Terapi Pulang :
- Cefixime 2 x 2
½ ml

30
BAB IV
PEMBAHASAN

Dasar penegakkan diagnosis pada kasus ini dapat dilihat dari beberapa poin terkait
dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis diketahui
bahwa anak laki-laki, usia 11 bulan datang dengan keluhan utama sesak sejak 2 hari yang lalu
disertai dengan batuk tidak berdahak, pilek, dan demam. Berdasarkan uraian kronologisnya,
pasien awalnya mengalami demam 5 hari yang lalu, yang kemudian disertai dengan pilek dan
batuk yang terjadi keesokan harinya, hingga sesak. Hal ini sesuai dengan perjalanan
patofisiologi pada kasus pneumonia, yaitu diawali dengan adanya inflamasi pada saluran
pernapasan atas yang kemudian menyebar hingga menyerang bagian parenkim paru (alveoli).
Seperti yang diketahui bersama bahwa mikroorganisme yang terinhalasi langsung dan masuk
ke dalam saluran pernapasan dapat menstimulasi sistem imunitas tubuh. Bila pertahanan
tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas hingga ke alveoli yang
menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan di sekitarnya. Setelah itu
mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat
stadium, diantaranya stadium kongesti / hiperemi, stadium hepatisasi merah, stadium
hepatisasi kelabu, dan stadium resolusi).
Pada pasien ini disertai dengan adanya malaise, penurunan nafsu makan, dan muntah
(keluhan gastrointestinal). Dimana hal ini termasuk dalam bentuk manifestasi klinis pasien
dengan pneumonia, yaitu berupa gejala infeksi umum dan gangguan pernapasan.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak lemah dan rewel. Data status present pasien
diantaranya, nadi 136 x/menit, laju pernapasan 39 x/menit, suhu 37,0℃, dan saturasi oksigen
95% dimana hasil tersebut masih dalam batas normal. Nilai normal ini dapat terjadi karena
telah terjadi perbaikan klinis dari pasien dibandingkan saat pertama kali pasien datang. Pada
pemeriksaan hidung, didapatkan sekret dengan konsistensi cair berwarna bening kekuningan
di kedua cavum nasi dan tidak disertai dengan napas cuping hidung. Pada pemeriksaan
pulmonal, didapatkan adanya retraksi substernal dan rhonki dikedua lapang paru. Tidak
terdapat adanya sianosis pada ekstremitas ataupun mukosa. Setelah dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa darah lengkap, diketahui terjadi peningkatan kadar leukosit senilai 12,10
ribul/uL dimana nilai normal adalah 3,5-10 ribu/uL. Karena pada pasien sempat mengalami
muntah dengan frekuensi kurang lebih 3 kali, maka dilakukan pemeriksaan kimia darah yaitu
gula darah sewaktu untuk mengevaluasi apakah terjadi hipoglikemia pada pasien, namun
didapatkan hasil masih dalam batas normal. berdasarkan pemeriksaan rongent thoraks

31
didapatkan peningkatan corakan bronkovaskular dan infiltrate di parahiler kiri serta
parakardia kanan dan kiri, yang memberikan kesan gambaran pneumonia. Berdasarkan data
anamnesis terkait dengan keluhan pasien, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang
inilah yang dijadikan landasan diagnosis pneumonia pada pasien. Pasien tidak termasuk ke
dalam klasifikasi pneumonia berat dikarenakan data pemeriksaan awal diketahui bahwa
pasien mengeluhkan batuk dan sesak yang disertai laju pernapasan 39 x/menit (setelah
perbaikan) dimana tidak lebih dari 50 x/menit, adanya retraksi dinding dada subcostal, dan
adanya rhonki saat dilakukan auskultasi lapang paru. Hal ini sesuai dengan kriteria klasifikasi
diagnosis pneumonia.
Pneumonia sendiri merupakan peradangan parenkim paru distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Berdasarkan usia pasien,
etiologi yang kerap menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae. Terdapat
beberapa faktor risiko yang mempengaruhi infeksi ini dapat terjadi pada pasien, diantaranya
:
1. Pemberian ASI yang relatif sangat kurang. Dimana pasien hanya diberikan ASI hingga
usia 2 minggu. Seperti yang diketahui bahwa ASI memiliki peran besar terhadap
proteksi terhadap infeksi. Sebab ASI mengandung kolostrum, yaitu salah satu zat anti-
infeksi dalam kolostrum yakni immunoglobulin yang berfungsi melingdungi tubuh
terhadap infeksi saluran pencernaan dan saluran pernapasan. Sehingga bayi yang tidak
mendapatkan ASI akan lebih rentan mengalami infeksi pneumonia.
2. Lingkungan tempat tinggal pasien dimana Ayah dan Kakek pasien adalah seorang
perokok. Paparan asap rokok ini turut memiliki peranan terhadap terjadinya peradangan
pada saluran pernapasan.
3. Umur pasien yaitu 11 bulan, menjadi salah satu faktor risiko pneumonia karena
berhubugan dengan risiko penyakit dan imunitas pada setiap kelompok umur, yang
artinya bayi dan balita belum memiliki sistem pertahanan tubuh yang sempurna dan
saluran udara yang sempit sehingga sangat berisiko terinfeksi pneumonia dibandingkan
dengan usia remaja atau dewasa
Beberapa diagnosis banding yang perlu dipikirkan pada pasien ini seperti bronkiolitis,
asma bronkiale, dan TB paru. Bronkiolitis adalah infeksi saluran respiratorik bawah yang
disebabkan oleh virus, RSV (Respiratory Syncytial Virus) yang ditandai dengan obstruksi
saluran napas dan wheezing. Bronkiolitis didahului dengana danya infeksi virus saluran napas
bagian atas. Akibat adanya infeksi, maka munculah respon inflamasi akut yang menyebabkan

32
terjadinya edema, hipersekresi mucus, dan pengumpulan debris-debris seluler. Hal ini
menyebabkan terjadinya hambatan udara. Ketika udara terhambat, maka terjadilah air
trapping dan hiperinflasi paru. akibatnya, terjadi gangguan ventilasi dan perfusi yang dapat
menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnea. Namun karena penyebabnya merupakan virus,
maka bronkiolitis biasanya bersifat self limiting disease.
Diagnosis bronkiolitis secara klinis dapat dipertimbangkan pada pasien ini, melihat
dari laporan awal terkait dengan kondisi pasien serta usia yang < 2 tahun. Dimana sesak pada
bronkiolitis biasanya diawali dengan demam sub-febris serta batuk dan pilek kurang lebih 5
hari sebelum munculnya sesak. Pada pemeriksaan paru dapat ditemui retraksi dinding dada
serta rhonki ataupun wheezing. Berdasarkan laporan awal pasien saat berada di IGD,
ditemukan adanya wheezing pada kedua lapang paru. Namun saat dilakukan pemeriksaan di
ruang bangsal, tidak ditemukan wheezing melainkan hanya rhonki, hal ini dapat dipengaruhi
oleh terapi bronkodilator yang telah diberikan berupa Ventolin (nebulizer) 1 cc dengan NaCl
0,9% 3 cc. Walaupun demikian, diagnosis pneumonia dapat dijadikan sebagai diagnosis
utama didasarkan dengan pemeriksaan penunjang rongent thoraks, dimana ditemukan
gambaran infiltrate. Pada pasien dengan bronkiolitis, gambaran radiologi biasanya berupa
hiperinflasi akibat air trapping. Sehingga bronkiolitis dapat dijadikan sebagai diagnosis
banding pada kasus ini. Untuk memastikan dengan jelas terkait dengan diagnosis bronkiolitis
maka dapat dilakukan pemeriksaan RSV Test yang menjadi gold standar, guna mengetahui
etilogi dari kasus ini.
Diagnosis banding kedua yaitu asma bronkiale. Asma adalah keadaan inflmasi kronik
dengan penyempitan saluran napas yang bersifat reversibel. Dalam penegakkan diagnosis
asma dapat diperhatikan beberapa kriteria diagnostik diantaranya, reversibilitas, variabilitas,
episodisitas, faktor pencetus, serta riwayat atopi. Berdasarkan data anamnesis, tidak
ditemukan kriteria-kriteria yang mengarahkan kondisi pasien untuk diarahkan pada diagnosis
asma bronkiale. Gejala sesak serta riwayat wheezing (laporan UGD) lah yang menjadi poin
dipikirkannya kondisi asma pada kasus ini.
Pasien memiliki riwayat kontak dengan kakeknya yang sebelumnya juga memiliki
keluhan batuk berdahak dan sesak yang telah sembuh dengan pengobatan, namun tidak
diketahui dengan jelas berapa lama pengobatan dan obat apa yang telah dikonsumsi oleh
kakek pasien. Sehingga, kondisi infeksi M. Tuberculosis yaitu TB Paru dapat dipikirkan
menjadi diagnosis banding pada pasien ini. Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak,
terdapat beberapa poin dari skor TB yang dapat dilihat diantaranya, penurunan berat badan 2
bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh, demam tanpa sebab yang jelas,

33
terutama jika berlanjut hingga 2 minggu, batuk kronik >3 minggu, dengan atau tanpa
wheezing, riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa, pembesaran kelenjar limfa leher,
aksila, dan inguinal, pembengkakan progresif atau deformitas tulang, sendi lutut, dan falang,
uji tuberculin, serta hasil dari rongent thoraks. Dimana jika skor lebih dari sama dengan 6
maka dapat ditegakkan diagnosis sebagai TB Paru. Namun pada pasien ini tidak ditemukan
poin-poin skor TB yang dapat dipikirkan dalam menegakkan diagnosis kea rah TB Paru.
Dalam penatalaksanaan pneumonia dapat disesuaikan dengan berat derajat dari
pneumonianya sendiri. Sesuai dengan klasifikasi pneumonia WHO tahun 2013, pasien ini
masuk dalam kriteria pneumonia “tidak berat” sesaui dengan kondisi klinisnya. Perlu
dipikirkan beberapa kriteria rawat inap pada pasien ini. Pada pasien ini dimana telah
ditemukannya peningkatan usaha bernapas yang menyebabkan pasien menjadi rewel dan
lemah (kondisi toxic), serta berdasarkan indikasi sosial berupa permintaan dari keluarga
pasien. Berdasarkan WHO serta Panduan Praktek Klinis Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah
2017 yakni pemberian antibiotik baik lini I ataupun lini II yang disesuaikan dengan berat
ringannya kondisi pasien, serta terapi suportif lain seperti oksigenasi, antipiretik,
bronkodilator ataupun terapi cairan.
Pada pasien ini saat pertama kali datang diberikan oksigenasi nasal kanul 2 lpm yang
diharapkan dapat mencukupi kebutuhan oksigen tubuh yang terhambat akibat adanya
gangguan pada proses difusi oksigen – karbondioksida di alveolus akibat inflmasi parenkim
paru yang terjadi. Pada pasien ini diberikan antibiotik lini II yaitu seftriakson 2 x 400 mg,
dimana berdasarkan algoritma tatalaksana pneumonia pada anak, maka diberikan Ampisilin
dan Gentamisin selama 5 hari, dan jika tidak membaik dalam 48 jam maka dapat diganti
dengan antibiotik lini ke II. Penggunaan antibiotik lini ke II dapat dipertimbangkan jika pasien
sebelumnya memiliki riwayat di rawat di rumah sakit dengan keluhan yang sama, hal ini
diharapkan meningkatkan efektifitas dalam melawan bakteri penyebab dari kondisi tersebut.
Pada kasus ini, diketahui bahwa pasien tidak memiliki riwayat pneumonia sebelumnya atau
dalam satu bulan terakhir, maka pertimbangan pemberian seftriakson dapat didasarkan pada
kondisi klinis pasien. Seftriakson sendiri termasuk dalam antibiotik golongan sefalosporin
generasi ketiga, dimana spektrum anti-bakterinya lebih luas dibandingkan dengan generasi
sebelumnya dalam melawan bakteri gram negative ataupun positif dan beberapa bakteri
anaerob termasuk Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan Pseudomonas.
Menurut guidelines IDSA tahun 2011, sefalosporin generasi ketiga (seftriakson dan
sefotaksim) adalah antibiotik empiris yang direkomendasikan untuk pediatrik yang belum
memiliki status imunisasi yang lengkap, sedangkan ampisilin lebih disarankan pada pediatrik

34
yang telah lengkap status imuniasasinya. Pemberian bronkodilator berupa Ventolin inhaler
yang mengandung salbutamol yang merupakan stimulan ß2 adrenoreceptor selektif yang
menyebabkan relaksasi otot polos bronkus melalui peningkatan intraseluler cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Pada dosis terapi salbutamol bekerja selektif pada ß2
adrenoreceptor namun hanya sedikit atau bahkan tidak berefek pada ß1 adrenoreceptor otot
jantung. Salbutamol menstimulasi produksi intraseluler cAMP, meningkatkan pengikatan
kalsium interseluler pada membrane sel dan reticulum endoplasmic, menghasilkan
bronkodilatasi dan mempermudah pengeluaran mukus, dimana hal ini diharapkan dapat
mengurangi kondisi sesak ataupun batuk pada pasien. Pemberian kortikostreoid berupa
dexamethasone 3 x 2,5 mg dapat diberikan guna mengurangi inflamasi. Pemberian mukolitik
berupa erdostein yang merupakan agen mukolitik dengan mekanisme kerja mengencerkan
mukus dan sputum yang purulent. Terapi simptomatik lain yang dapat diberikan seperti Alco
yang mengandung pseudoephedrine HCl yang bekerja sebagai dekongetan hidug dan
brompheniramine maleate sebagai antihistamin. Dimana obat ini berguna untuk mengurangi
keluhan pilek dan gejala flu pada pasien.
Prognosis pada pneumonia ini adalah sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %,
mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-
protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Penyakit pneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau
mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia ini.
Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kaita
terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti cara hidup sehat, makan makanan bergizi
dan teratur, menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dan sebagainya.
Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi.

35
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pasien ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien didiagnosa
dengan pneumonia. Hal ini dilandaskan dengan adanya keluhan sesak yang didahului
dengan batuk, pilek, dan demam sebelumnya. Data didukung dengan faktor risiko
seperti pasien tinggal di lingkungan dengan adanya paparan asap rokok dari Ayah
pasien, usia, dan tidak diberikannya ASI ekskludasif. Pada pemeriksaa fisik paru
ditemukan adanya retraksi subcostal dan rhonki pada saat auskultasi. Sedangkan dari
hasil pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan adanya leukositosis dan pada
pemeriksaan rongent toraks ditemukan corokan bronkovaskular meningkat, tampak
infiltrate di parahiller kiri, parakardia kanan dan kiri dengan kesan pneumonia. Dasar
tatalaksana pneumonia rawat inap yaitu adalah terapi kausatif dengan pemberian
antibiotik yang sesuai dan terapi suportif seperti oksigenasi, pemberian terapi cairan,
koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan glukosa darah.
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim
paru distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan
alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat. Klasifikasi dari pneumonia berdasarkan WHO dibagi menjadi bukan
pneumonia, pneumonia, dan pneumonia sangat berat, dimana hal ini dilihat dari klinis
pasien. Tatalaksana pada kasus pneumonia juga dilandaskan pada derajat penyakitnya.
Dimana sistem imun berperan besar terhadap patomekanisme penyakit ini, dimana
ketika sistem imun tubuh yang lemah maka patogen penyakit akan lebih mudah untuk
menginvasi tubuh.
.

36
DAFTAR PUSTAKA

Anosha. 2017. Neonatal Resuscitation. Pakistan : The King Edward Medical University
Garna H, Nataprawira HM. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. 5th
ed. Bandung: Departemen SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran / RSUP Dr. Hasan Sadikin
Hartati, Susi., Nurhaeni, Nani.,& Gayatri, Dewi. 2019. Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia
pada Anak Balita. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Hazir, T.,et all. 2006. Can WHO Therapy Failure Criteria for Non-Severe Pneumonia be
Improved in Children Aged 2 – 59 Months?. Pakistan : The International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease
Hegar, Baidrul. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta : IDAI
Ikatakan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2020. Imunisasi Dasar untuk Anak Usia 0-18 Tahun.
Jakarta : IDAI
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes). 2019. Profil Kesehatan Indonesia.
Jakarta : Kemenkes RI
Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, Schor NF. 2016. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th
ed. Philadelphia : Elsevier
Panduan Praktek Klinis (PPK). 2017. Panduan Praktek Klinis Ilmu Kesehatan Anak.
Denpasar : RSUP Sanglah
Rahajoe, Nastini.,et all. 2008. Buku Ajar Respirologi Edisi 1. Jakarta : IDAI
Rizqullah, Noufal.,et all. 2021. Hubungan Status Imunisasi Dasar Terhadap Pneumonia
pada Pasien Balita Rawat Inap di RSIA Respati Tasikmalaya. Bandung : FK Unisba
Samuel, Andy. 2014. Bronkopneumonia on Pediatric Patient. Lampung : FK Universitas
Lampung
Soedjatmiko, et all. 2020. Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun Rekomendasi Ikatan
Dokter Anak Indonesia Tahun 2020. Jakarta : Sari Pediatri
Vitawati, Puspita Sari. 2016. Hubungan Pemberian Imunisasi DPT dan Campak Terhadap
Kejadian Pneumonia pada Anak Usia 10 Bulan – 5 Tahun di Puskesmas Sangurara
Kota Palu Tahun 2015. Palu : FK Universitas Tadulako
World Health Organization (WHO). 2014. Revised WHO Classification and Treatment of
Childhood Pneumonia at Health Facilities

37

Anda mungkin juga menyukai