Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN KASUS

PNEUMONIA DAN INFEKSI LATEN TUBERKULOSIS


PARU PADA ANAK

DISUSUN OLEH

Iga Yudha Pratama (12000015)

Kandidus Rex .M. Gaho (12000043)

Putriana Sitompul (12000010)

Christian Agus Bona Satria Sidabutar (12000009)

Departemen Ilmu Kesehatan Anak


Rumah Sakit Umum Daerah Tarutung
Fakultas Kedokteran
Universitas HKBP Nommensen
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
berkat dan kasih penyertaan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus dengan judul Pneumonia dan infeksi laten tuberkulosis paru pada anak.
Laporan kasus ini bertujuan untuk mengetahui kasus pneumonia dan infeksi laten
tuberkulosis paru pada anak.
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, penulis telah banyak menerima
bimbingan, bantuan, dukungan dan saran dari berbagai pihak, untuk itu penulis
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Regia S. Sinurat, M.Ked (Ped), Sp.A dan dr. Della Rossa Daulay,
M.Ked (Ped), Sp.A selaku supervisor yang telah meluangkan waktu,
tenaga dan pikiran dalam membimbing, memberikan arahan, bantuan dan
dukungan untuk menyelesaikan laporan kasus ini.
2. dr. Erick Ary selaku pembimbing yang sudah membimbing dengan penuh
kesabaran dalam hal sistematika penulisan karya tulis ilmiah ini dan
memberikan masukan yang sangat membantu penulis dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis sadar laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, agar laporan kasus ini
dapat disempurnakan lebih baik lagi. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Tarutung, Juni 2016

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2. Tujuan........................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1. Pneumonia.....................................................................................................3
2.1.1. Definisi...............................................................................................3
2.1.2. Etiologi...............................................................................................3
2.1.3. Epidemiologi......................................................................................5
2.1.4. Klasifikasi..........................................................................................6
2.1.5. Patofisiologi.......................................................................................6
2.1.6. Manifestasi klinis...............................................................................8
2.1.7. Diagnosis............................................................................................9
2.1.8. Penatalaksanaan...............................................................................11
2.1.9. Komplikasi.......................................................................................14
2.2 Tuberkulosis Paru....................................................................................14
2.2.1 Definisi.............................................................................................14
2.2.2 Etiologi.............................................................................................14
2.2.3 Epidemiologi....................................................................................15
2.2.4 Patogenesis Tuberkulosis Paru.........................................................15
2.2.5. Manifestasi Klinis TB Anak.............................................................16
2.2.6. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring............................18
2.2.7. Penatalaksanaan TB Anak................................................................21
2.2.8. Pencegahan Tuberkulosis.................................................................25
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................28
BAB IV DISKUSI DAN KESIMPULAN.............................................................42
4.1. Diskusi.....................................................................................................42
4.2. Kesimpulan..............................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................44

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pneumonia adalah infeksi jaringan paru-paru (alveoli) yang bersifat akut.
Penyebabnya adalah bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia atau kerusakan
fisik dari paru-paru, maupun pengaruh tidak langsung dari penyakit lain. 1
Beberapa mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia antara lain virus, jamur
dan bakteri. S. pneumoniae merupakan penyebab tersering pneumonia bakterial
pada semua kelompok umur. Virus lebih sering ditemukan pada anak kurang dari
5 tahun.1
Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara
terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Insidens pneumonia pada
anak < 5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus /100 anak/tahun, sedangkan di
negara berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih
dari 5 juta kematian per tahun pada anak balita di negara berkembang.2
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui
droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis. Sebagian besar kuman
menyerang paru lewat saluran pernafasan, tetapi juga dapat mengenai organ tubuh
lainnya3.
TB adalah penyakit infeksi kronis menular yang masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Jumlah penderita
Tuberkulosis Paru di Indonesia 410.000-520.000 penduduk dan menduduki
peringkat kelima negara yang memiliki kasus tuberkulosis terbanyak setelah
India, Cina, Nigeria, dan Pakistan. Pada tahun 2013 diperkirakan 9 juta kasus
tuberkulosis terjadi di seluruh dunia (126 kasus per 100.000 penduduk), jumlah
estimasi kejadian kasus tuberkulosis terjadi di Asia (56%), Afrika (29%), Eastern
Mediterranian (8%), Eropa (4%), dan Amerika (3%).2
Pasien dapat dikatakan suspek TB jika terdapat gejala atau tanda TB yang
meliputi batuk produktif lebih dari 2 minggu dan disertai dengan gejala
pernapasan (sesak napas, nyeri dada, hemoptisis dan/atau gejala tambahan
meliputi tidak nafsu makan, penurunan berat badan, keringat malam, dan mudah

1
lelah). Sedangkan yang dimaksud dengan kasus TB pasti adalah pasien TB dengan
ditemukan Mycobacterium tuberculosis yang diidentifikasi dari spesimen klinik
(jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok, dll) dan kultur.9
Diperkirakan sekitar dua miliar orang terinfeksi secara laten oleh
Mycobacterium tuberculosis, dan menyebabkan kasus baru TB aktif pada 9.2 juta
orang dan kematian pada 1.7 juta orang di dunia. Pada daerah dengan sarana
terbatas dengan prevalensi TB yang tinggi, anak-anak mengambil proporsi besar
dari keseluruhan beban kasus TB. Hampir satu juta kasus TB anak diperkirakan
terjadi setiap tahun dan 10% sampai 20% diantaranya bersifat fatal.2
Ada beberapa faktor risiko yang mempermudah terjadinya TB laten pada
anak. Faktor risiko terjadinya TB laten pada anak tersebut adalah anak yang
terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak Bakteri TahanAsam/BTA
positif) terutama close contact atau tinggal serumah, tinggal di daerah endemis,
tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, ataupanti perawatan lain),
lingkungan dengan kebersihan dan sanitasi yang tidakbaik, faktor kemiskinan
(status ekonomi), kondisi rumah tempat tinggal yaitu ukuran rumah, kepadatan
penghuni dan ventilasi rumah.10

1.2. Tujuan

Untuk mengetahui kasus pneumonia dan infeksi laten tuberkulosis paru


pada anak.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pneumonia
2.1.1 Definisi

Pneumonia adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru, khususnya


alveoli. Infeksi dapatdisebabkan oleh bakteri, virus maupun jamur. Pneumonia
juga dapat terjadi akibat kecelakaan karena menghirup cairan atau bahan kimia.
Anak yang menderita pneumonia, kemampuan paru-paru untuk mengembang
berkurang sehingga tubuh bereaksi dengan bernapas cepat agar tidak terjadi
hipoksia (kekurangan oksigen). Apabila pneumonia bertambah parah, paru akan
bertambah kaku dan timbul tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Anak
dengan pneumonia dapat meninggal karena hipoksia atau sepsis (infeksi
menyeluruh).4

2.1.2 Etiologi

Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan


sebagian kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia (hidrokarbon, dll) /
benda asing yang teraspirasi.

Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan


distribusi umur pasien. Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh virus, sebagai
penyebab tersering adalah parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus.
Secara umum bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae, Staphylococcus aureus,
Streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma.3
Pada masa neonatus, Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes
merupakan penyebab pneumonia yang paling banyak. Virus adalah penyebab
pneumonia terbanyak pada usia prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya
usia. Selain itu, Streptococcus pneumoniae merupakan penyebab paling utama

3
pada pneumonia bakterial. Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae
merupakan penyebab tersering pada anak diatas 5 tahun.3

Umur Penyebab yang tersering Penyebab yang jarang

Lahir 20 hari Bakteria Bakteria


- Escherichia colli - Organisme anaerob
- Streptococcus - Haemophillus influenzae
group B - Streptococcus
- Listeria pneumoniae
monocytogenes Virus
- Cytomegalovirus
- Herpes simplex virus

3 minggu 3 bulan Bakteria Bakteria


- Clamydia - Bordetella pertusis
trachomatis - Haemophillus influenza
- Streptococcus tipe B
pneumoniae - Moxarella catarrhalis
Virus - Staphylococcus aureus
- Influenza virus
- Parainfluenza
virus 1,2 dan 3
- Adenovirus

4 bulan 5 tahun Bakteria Bakteria


- Streptococcus - Haemophillus influenza
pneumoniae tipe B
- Clamydia - Moxarella catarrhalis
pneumoniae - Neisseria meningitis
- Mycoplasma - Staphylococcus aureus
pneumoniae Virus
Virus - Varicella zoster virus
- Influenza virus
- Parainfluenza
virus
- Rhinovirus
- Adenovirus
- Measles virus

4
5 tahun remaja Bakteria Bakteria
- Clamydia - Haemophillus influenza
pneumoniae tipe B
- Mycoplasma - Legionella species
pneumoniae - Staphylococcus aureus
- Streptococcus Virus
pneumoniae - Adenovirus
- Epstein barr virus
- Influenza virus
- Parainfluenza virus
- Rhinovirus
- Varicella zoster virus

Tabel 2.1. Mikroorganisme Penyebab Pneumonia Menurut Umur

2.1.3 Epidemiologi

Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), khususnya pneumonia masih merupakan


masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama pada balita. Pneumonia
merupakan penyebab kematian nomor dua pada balita (13,2%) setelah diare
(17,2%).2

5
Gambar 2.1. Cakupan Penemuan Pneumonia Pada Balita Di Indonesia Tahun
2007 - 2012

Gambar 2.2. Cakupan Penemuan Pneumonia Balita Menurut Provinsi Di Indonesia

Tahun 2012
2.1.4 Klasifikasi 5
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)

6
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia / nosocomial
pneumonia)
c. Pneumonia aspirasi
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyaitendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita
pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama
pada penderitadengan daya tahan lemah (immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi
dan orang tua.Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan olehobstruksi bronkus misalnya: pada
aspirasi benda asing atau proses keganasan
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru. Dapatdisebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada
bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
c. Pneumonia interstisial.

2.1.5 Patofisiologi

Pada umumnya, ada beberapa penyebab terjadinya pneumonia yaitu adanya


mikroorganisme yang menyebabkan terjadinya infeksi saluran pernafasan. Infeksi
ini akan menyebar hingga ke parenkim paru dan organisme akan bermultiplikasi
hingga membentuk koloni patogen. Koloni patogen tersebut akan mengeluarkan
antigen yang dimana akan mendapatkan respon humoral pada antibodi sekitar
sehingga terjadilah ikatan antigen-antibodi dengan molekul komplemen.

Ikatan ini akan menghasilkan beberapa interaksi termasuk adanya aktivasi


proses fagositosis oleh makrofag dan netrofil serta adanya aktivasi sel mast dan
basofil yang menyebabkan pelepasan histamin dan aktivasi bradikinin yang

7
dimana substansi ini merupakan vasodilator kapiler sehingga akan meningkatkan
permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas kapiler ini akan menyebabkan
perpindahan eksudat plasma ke ruang interstisial. Hal ini yang akan menyebabkan
penumpukan molekul seperti fibrin,eksudat,eritrosit dan leukosit serta terjadinya
oedema ruang kapiler alveoli.

Penumpukan molekul seperti fibrin, eksudat, eritrosit dan leukosit akan


menyebabkan penumpukan sekret pada bronkus sehingga untuk membersihkan
jalan nafas akan kurang efektif. Hal ini yang akan menimbulkan gejala seperti
batuk, sesak nafas dan dispnea. Oedem ruang kapiler alveoli ini akan menurunkan
difusi O2. Gangguan pertukaran gas yang terjadi akibat menurunnya difusi O 2 ini
akan menurunkan saturasi O2 sehingga akan menyebabkan hipoksia jaringan.
Untuk penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada bagan yang telah tersaji.

Pneumonia pada anak ditandai dengan adanya gangguan pada saluran


nafas, termasuk retraksi dinding dada bagian bawah dan hipoksia. Pada anak usia
di bawah 5 tahun, retraksi dinding dada bagian bawah terjadi karena mereka
mempunyai os sternum yang lunak, os costae masih horizontal dan perkembangan
musculus intercostal yang belum sempurna.
Di saat anak berusaha meningkatkan tekanan negatif untuk
mengembangkan paru maka dinding dada bagian bawah akan tampak kolaps
akibat adanya konsolidasi dan obstruksi saluran nafas bagian bawah. Perubahan
diameter jalan nafas akibat adanya inflamasi akan menurunkan aliran udara yang
masuk. Diduga, hipoksia merupakan akibat dari gangguan primer proses
pernafasan atau perfusi. Apabila tidak segera ditangani, hipoksia dan asidosis akan
menyebabkan gagal nafas dan kematian.3

8
Gambar 2.3. Patofisiologi Pneumonia

2.1.6 Manifestasi klinis

Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (non
spesifik), gejala pulmonal, pleural dan ekstrapulmonal. Gejala non spesifik
meliputi demam, menggigil, sefalgia dan gelisah. Beberapa pasien mungkin

9
mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare atau sakit
perut.

Gejala pulmonal biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi


berlangsung. Setelah gejala gejala awal seperti demam dan batuk pilek,
pernafasan cuping hidung, takipnea, dispnea dan apnea baru timbul. Retraksi
interkostal dan abdominal juga ada dijumpai. Batuk umumnya dijumpai pada anak
besar dan tidak dijumpai pada neonatus. Gejala wheezing akan terlihat pada anak
dengan pneumonia viral atau mikoplasma.

Gejala pleura seperti adanya peradangan pada pleura biasa ditemukan pada
pneumonia yang disebabkan oleh streptococcus pneumoniae dan staphylococcus
aureus, yang ditandai dengan nyeri dada pada daerah yang terkena. Nyeri dapat
berat sehingga akan membatasi gerak dinding thorax selama inspirasi dan
terkadang menyebar ke leher dan perut.

Pada gejala ekstra pulmonal mungkin ditemukan pada beberapa kasus.


Abses pada kulit atau jaringan lunak seringkali didapatkan pada kasus pneumonia
karena Staphylococcus aureus. Otitis media, konjungtivitis dan sinusitis dapat
ditemukan pada kasus infeksi karena Streptococcus pneumoniae atau
Haemophillus influenza Untuk meningitis dan epiglotitis khususnya dikaitkan
dengan pneumonia karena Haemophillus influenza.

Secara klinis, sulit membedakan pneumonia bakterial dan pneumonia viral


pada anak. Namun sebagai pedoman, pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk
produktif, pasien tampak toksik, lekositosis dan perubahan nyata pada
pemeriksaan radiologis. Tapi keadaan seperti ini terkadang sulit dijumpai pada
semua kasus.
Perinatal pneumonia terjadi segera setelah kolonnisasi kuman dari jalan
lahir. Mikroorganisme penyebab utama adalah streptococcus group B. Gejalanya

10
berupa adanya respiratory distress seperti merintih, nafas cuping hidung, retraksi
dan sianosis. Sepsis akan terjadi dalam hitungan jam. Hampir semua bayi akan
mengarah ke sepsis dalam 48 jam pertama.5

2.1.7 Diagnosis

a. Anamnesis

Batuk yang awalnya kering, kemudian menjadi produktif dengan dahak


purulen bahkan bisa berdarah.

Sesak Napas

Demam

Kesulitan makan/minum

Tampak lemah

Serangan pertama atau berulang, untuk membedakan dengan kondisi


immunocompromised, kelainan anatomi bronkus atau asma.

b. Pemeriksaan Fisik

Penilaian keadaan umum anak, frekuensi napas dan nadi harus


dilakukan pada saat awal pemeriksaan sebelum pemeriksaan lain yang
dapat menyebabkan anak gelisah atau rewel.

11
Penilaian keadaan umum antara lain meliputi kesadaran dan
kemampuan makan/minum.

Gejala distress pernapasan seperti takipnea, retraksi subkostal, batuk,


krepitasi dan penurunan suara paru.

Demam dan sianosis

Anak dibawah 5 tahun mungkin tidak menunjukkan gejala pneumonia


yang klasik. Pada anak yang demam dan sakit akut, terdapat gejala
nyeri yang diproyeksikan ke abdomen. Pada bayi muda, terdapat gejala
pernapasan tak teratur dan hipopnea.

c. Pemeriksaan Penunjang

Radiologi

- Pemeriksaan foto dada tidak direkomendasikan secara rutin pada


anak dengan infeksi saluran napas bawah akut ringan tanpa
komplikasi.

- Pemeriksaan foto dada direkomendasikan pada penderita pneumonia


yang dirawat inap atau bila tanda klinis ditemukan membingungkan.

- Pemeriksaan foto dada follow up hanya dilakukan bila didapatkan


adanya kolaps lobus, kecurigaan terjadinya komplikasi, pneumonia
berat, gejala yang menetap atau memburuk atau tidak respons
terhadap antibiotik.

12
- Pemeriksaan foto dada tidak dapat mengidentifikasi agen penyebab.

Laboratorium

- Pemeriksaan jumlah leukosit dan hitung jenis leukosit perlu


dilakukan untuk membantu menentukan pemberian antibiotik.

- Pemeriksaan kultur dan pewarnaan Gram sputum dengan kualitas


yang baik direkomendasikan dalam tata laksana anak dengan
pneumonia yang berat.

- Kultur darah tidak direkomendasikan secara rutin pada pasien rawat


jalan, tetapi direkomendasikan pada pasien rawat inap dengan
kondisi berat dan pada setiap anak yang dicurigai menderita
pneumonia bakterial.

- Pada anak kurang dari 18 bulan, dilakukan pemeriksaan untuk


mendeteksi antigen virus dengan atau tanpa kultur virus jika fasilitas
tersedia.

- Jika ada efusi pleura, dilakukan pungsi cairan pleura dan dilakukan
pemeriksaan mikroskopis, kultur serta deteksi antigen bakteri (jika
fasilitas tersedia) untuk penegakkan diagnosis dan menentukan
mulainya pemberian antibiotik.

- Pemeriksaan C-reactive protein (CRP), LED dan pemeriksaan fase


akut lain tidak dapat membedakan infeksi viral dan bakterial dan
tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin.

13
- Pemeriksaan uji tuberkulin selalu dipertimbangkan pada anak
dengan riwayat kontak dengan penderita TBC dewasa.

Pemeriksaan Lain
Pada setiap anak yang dirawat inap karena pneumonia, seharusnya
dilakukan pemeriksaan pulse oxymetry.6

2.1.8 Penatalaksanaan

a. Kriteria Rawat Inap

Bayi

- Saturasi oksigen 92%, sianosis.

- Frekuensi napas >60 x/menit

- Distres pernapasan, apnea intermiten atau grunting.

- Tidak mau minum/menetek

- Keluarga tidak bisa merawat di rumah.

Anak

14
- Saturasi oksigen <92%, sianosis.

- Frekuensi napas >50 x/menit

- Distres pernapasan

- Grunting

- Terdapat tanda dehidrasi

- Keluarga tidak bisa merawat dirumah

b. Tata laksana umum

- Pasien dengan saturasi oksigen 92% pada saat bernapas dengan


udara kamar harus diberikan terapi oksigen dengan nasa kanul, head
box atau sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >92%.

- Pada pneumonia berat atau asupan oral kurang, diberikan cairan


intravena dan dilakukan balans cairan ketat.

- Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk


anak dengan pneumonia.

- Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga


kenyamanan pasien dan mengontrol batuk.

- Nebulasi dengan 2 agonis dan/atau NaCl dapat diberikan untuk


memperbaiki mucociliary clearance.

15
- Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi
setidaknya setiap 4 jam sekali, termasuk pemeriksaan saturasi
oksigen.

c. Pemberian Antibiotik

- Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral pada


anak <5 tahun karena efektif melawan sebagian besar patogen yang
menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi dengan baik dan
murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor, eritromisin,
claritromisin dan azitromisin.

- M. pneumonia lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka
antibiotik golongan makrolid diberikan sebagai pilihan pertama
secara empiris pada anak 5 tahun.

- Makrolid diberikan jika M. pneumonia atau C. pneumonia dicurigai


sebagai penyebab

- Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S. pneumonia


sangat mungkin sebagai penyebab

- Jika S. aureus dicurigai sebagai penyebab, diberikan makrolid atau


kombinasi flucloxacilin dengan amoksisilin

- Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak


dapat menerima obat per oral (misal karena muntah) atau termasuk
dalam derajat pneumonia berat

16
- Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah ampisilin dan
kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuraxime dan
cefotaxime.

- Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat


perbaikan setelah mendapat antibiotik intravena.

d. Rekomendasi UKK Respirologi

Antibiotik untuk community acquired pneumonia:

Neonatus 2 bulan: ampisilin + gentamisin

> 2 bulan:

- Lini pertama ampisilin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat
ditambahkan kloramfenikol

- Lini kedua seftriakson

Bila klinis perbaikan antibiotik intravena dapat diganti preparat oral


dengan antibiotik golongan yang sama dengan antibiotik intravena
sebelumnya.

e. Nutrisi

17
Pada anak dengan distres pernapasan berat, pemberian makanan per
oral harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube
(NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT
dapat menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan ukuran
lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya menggunakan
ukuran yang terkecil.

Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak


mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi
peningkatan sekresi hormon antidiuretik.6
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi dari pneumonia biasanya hasil dari penyebaran langsung
infeksi bakteri ke dalam rongga dada (misalnya, efusi pleura, empiema, dan
perikarditis) atau bakteremia menyebar secara hematologi. Meningitis, arthritis
supuratif, dan osteomielitis adalah komplikasi langka penyebaran infeksi secara
hematologi.7

2.2 Infeksi Laten Tuberkulosis Paru Pada Anak


2.2.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ
tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer.11 Infeksi laten TB adalah suatu keadaan seorang terinfeksi kuman TB
namun tidak didapatkan bukti klinis maupun mikrobiologis sakit TB.11

2.2.2 Etiologi

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis dan Mycobacterium bovis. Mycobacterium tuberculosis ditemukan
oleh Robert Koch pada tahun 1882. Basil tuberkulosis dapat hidup dan tetap
virulen beberapa minggu dalam keadaan kering, tetapi dalam cairan mati pada
suhu 600 C dalam 15-20 menit. Fraksi protein basil tuberkulosis menyebabkan

18
nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan asam dan
merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid dan
tuberkel.11
2.2.3 Epidemiologi
Menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2015, menyatakan
bahwa dari 9,6 juta kasus baru TB pada tahun 2014 jumlah terbesar kasus TB
terjadi di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Diperkirakan terdapat 1,5 juta
kematian akibat TB, 0,4 juta diantaranya adalah orang dengan HIV.15

2.2.4 Patogenesis Tuberkulosis Paru

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena droplet yang terdapat di udara akibat
dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita. Pada penderita tuberkulosis paru
aktif, 3000 partikel droplet, dengan paling sedikit 10 basil yang dapat memulai
infeksi. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam,
tergantung pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan
kelembaban. Bakteri ini dapat bertahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan
pada suasana lembab.

Bila partikel ini terhirup, maka partikel ini akan menempel pada saluran
napas dan jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukurannya < 5
mikrometer. Organisme ini akan tumbuh dalam 2-12 minggu hingga mencapai
jumlah 1000-10.000 basil. Jumlah ini akan cukup untuk memunculkan respon
imun selular yang bisa terdeteksi dengan tuberculin skin test. Bakteri ini pertama
kali akan dihadapi oleh netrofil, kemudian oleh makrofag. Kebanyakan partikel
ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan
trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.

Bakteri yang bertahan hidup dalam jaringan paru akan membentuk suatu
sarang tuberkulosis yang disebut sarang primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang

19
primer ini dapat muncul di setiap bagian paru, namun paling sering pada bagian
basal.

Dari sarang primer akan muncul peradangan saluran getah bening menuju
hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini
memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:

1. Sembuh tanpa meninggalkan kecacatan.

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik,


kalsifikasi di hilus dan dapat teraktivasi kembali akibat adanya bakteri
yang dorman.

3. Menimbulkan komplikasi dan penyebaran

Bakteri yang dorman pada tuberkulosis primer dapat muncul bertahun-


tahun kemudian menjadi tuberkulosis pascaprimer. Hal ini bisa diakibatkan oleh
kelanjutan ataupun reaktivasi dari sarang primer maupun superinfeksi dari basil
tuberkulosis.

Bentuk ini dimulai dengan sarang dini yang biasanya terletak pada bagian
atas lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini awalnya berbentuk sarang
pneumonik kecil, dan kemudian dapat mengalami :

1. Reabsorbsi tanpa meninggalkan cacat


2. Menyisakan serbukan jaringan fibrosis, mengeras dan menyebabkan
pengapuran, dapat juga meluas sebagai granuloma lalu berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitar dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis menjadi lembek membentuk perkejuan. Bila jaringan perkejuan
dibatukkan, akan menimbulkan kavitas.12

20
2.2.5 Manifestasi Klinis TB Anak

Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :

1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.

Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau
sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular adalah terutama
pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif dan umumnya
terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan
secara lebih rinci dalam pembahasan pada bab profilaksis TB pada anak.

2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling


sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala
sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis
TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat disebabkan oleh
berbagai penyakit selain TB.

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:

1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi
yang baik.

2. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya
tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada
anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.

21
3. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.

4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).

5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan


baku diare.
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang
terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit,
adalah sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli): Pembesaran
KGB multipel (>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan
kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala
akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab
yang jelas.
Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4. Skrofuloderma: Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi
ulkus (skin bridge).

22
5. Tuberkulosis mata:
Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).

6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai


bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang
jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.9

2.2.6 Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring

Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat


dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.

Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai


berikut:

Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular


mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.

Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan


diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.

Pasien dengan jumlah skor 6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan


mendapat OAT.

Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT


(Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara
cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan
baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis

23
tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Parameter 0 1 2 3 Skor

Kontak TB Tidak - Laporan BTA (+)


jelas keluarga,
BTA
(-), /
BTA
tidak
jelas/
tidak
tahu
Uji tuberkulin Negatif - - Positif (10 mm
(Mantoux) atau 5 mm pada
imunokompromais)
Berat badan / - BB/TB < 90% Klinis -
keadaan gizi BB/U <80% gizi
buruk
atau
BB/TB
<70 %
atau
BB/U
<60%
Demam yang - 2 minggu - -
tidak diketahui
penyebabnya

Batuk kronik - 3 minggu - -


Pembesaran - 1 cm, lebih - -
kelenjar limfe dari 1 KGB,
kolli, aksila, tidak nyeri
inguinal

Pembengkakan - Ada - -
tulang/ sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang

24
Foto toraks Normal/ Gambaran - -
kelainan sugestif
tidak (mendukung)
jelas TB
Skor total
Tabel 2.2. Skor TB pada anak

Parameter Sistem Skoring:

Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh
dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.

Penentuan status gizi:

o Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname).

o Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi


untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,
sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000.

o Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama


1 bulan.

Demam (2 minggu) dan batuk (3 minggu) yang tidak membaik setelah


diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas

Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:


pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,

25
atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
tuberkuloma.

Penegakan Diagnosis

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di


fasilitas pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter,
pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada petugas kesehatan
terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB
anak mengacu pada Pedoman Nasional.

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13)

Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif
dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi tanpa gejala klinis, maka dilakukan
observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut.
Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak.

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut

Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala
klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat
didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan
selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi
OAT dilanjutkan sampai selesai.

26
Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG
dicurigai telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring
TB anak.

Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB

Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji
tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan
sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat
skor 6 dari total skor 13.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan
klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor
penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta,
gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari
pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang
dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang
ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.13

2.2.7 Penatalaksanaan TB Anak

Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan


profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis
primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).

Prinsip pengobatan TB anak:

a. OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk


mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler

27
b. Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan

c. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan


minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan
berat ringannya penyakit.

Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil


pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.

Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari
untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi
jika obat tidak diminum setiap hari.

d. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam
3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini
untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan
jaringan.

e. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional


Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:

Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR

28
Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
Nama Obat Dosis Harian Dosis Maksimal Efek Samping
(mg/kgBB/hari)

Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis


perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gangguan
gastrointestinal, reaksi
kulit, hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan enzim
hati, cairan tubuh
berwarna oranye
kemerahan
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar,
artralgia, gangguan
gastrointestinal
Etambutol (E) 20 (15-25) - Neuritis optik,
ketajaman mata
berkurang, buta warna
merah hijau,
hipersensitivitas,
gangguan
gastrointestinal
Streptomisin (S) 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

Tabel 2.3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya

29
Tabel 2.4. Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap

Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan


minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC.
\Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket
KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH
(H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R
75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat
pada tabel berikut.

Berat badan (kg) 2 bulan 4 bulan


RHZ (75/50/150) (RH (75/50)
5-7 1 tablet 1 tablet
8-11 2 tablet 2 tablet
12-16 3 tablet 3 tablet
17-22 4 tablet 4 tablet
22-30 5 tablet 5 tablet

Cat: BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa


Tabel 2.5. Dosis kombinasi pada TB anak

30
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur).
OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh
digerus)
Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable),
atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat
kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase
lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon
pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila
gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam
menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka
pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon
pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi
pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya
digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto
toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk
pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akan
memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan

31
perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka
pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan
dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB
BTA pos.

Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan


piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat
diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH. Untuk pencegahan neuritis perifer,
apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari direkomendasikan diberikan pada bayi
yang mendapat ASI eksklusif, pasien gizi buruk dan anak dengan HIV positif.13

2.2.8 Pencegahan Tuberkulosis

A. Vaksinasi BCG pada Anak

Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program
Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG
pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Secara umum
perlindungan vaksin BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB
milier dan TB meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Saat ini
vaksinasi BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi
perlindungan tambahan.

Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :

1. Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif

32
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada
trimester 3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui plasenta, cairan amnion
maupun hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
selama masa neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua
kondisi tersebut bayi sebaiknya dilakukan rujukan

2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS

Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak
dianjurkan diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk
pembuktian apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah vaksinasi
BCG. Komplikasi paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri sekunder,
adenitis supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan reaksi akan sembuh
selama beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan reaksi lokal persisten
dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan. Begitu juga pada kasus dengan
imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.

B. Skrining dan Manajemen Kontak

Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang


dilakukan secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu anak yang
mengalami paparan dari pasien TB BTA positif dan orang dewasa yang menjadi
sumber penularan bagi anak yang didiagnosis TB.

Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah :

1. Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati temuan


kasus sakit TB.

33
2. Identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang asimtomatik TB, yang
berisiko untuk berkembang jadi sakit TB

3. Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB, meliputi anak
usia < 5 tahun dan infeksi HIV pada semua umur.
Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB
dengan BTA positif dan semua kasus anak yang didiagnosis TB. Skrining kontak
ini dilaksanakan secara sentripetal dan sentrifugal.

C. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid

Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan
BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut
akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB
berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian
kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.

Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut:


Umur Hasil Pemeriksaan Tatalaksana
Balita Infeksi laten TB INH profilaksis
Balita Kontak (+), tuberkulin (-) INH profilaksis
>5 tahun Infeksi laten TB INH profilaksis
>5 tahun Sehat INH profilaksis
>5 tahun Infeksi laten TB Observasi
>5 tahun Sehat Observasi
Tabel 2.6. Cara Pemberian Isoniazid untuk pencegahan

34
Keterangan :

Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/ kgBB
(7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan
terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3,
ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan
jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi
TB anak dimulai dari awal
Jika regimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB
selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat
dihentikan.
Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan
BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.13

35
BAB III
LAPORAN KASUS

Nama : NL
Usia : 1 tahun 6 bulan
Jenis kelamin : perempuan
Tanggal masuk RS : 21/05/2016
Keluhan utama: Demam
Telaah
Pasien mengalami demam sejak empat hari yang lalu sebelum masuk ke rumah
sakit. Sifat demam naik turun, Demam tinggi pada malam hari dan turun dengan
pemberian paracetamol.
Selain itu pada OS dijumpai muntah sejak satu sebelum masuk rumah sakit, isi
muntahan apa yang dimakan dan diminum, frekuensi muntah dua kali dalam 1
hari.
Batuk berdahak (+)
Sesak napas (+)
BAB (+) normal dan BAK (+) normal.
Riwayat ibu OS mengkonsumsi OAT selesai pada bulan maret 2016.
Sebelumnya, dilakukan pemeriksaan mantoux test dua hari yang lalu dengan hasil
indurasi 6 mm (kesan intermediate).
Riwayat Pemakaian Obat : paracetamol.
Riwayat Penyakit Terdahulu : Kejang Demam.
Status present
- Berat badan : 9000 gram
- Berat badan lahir : 3600 gram
- Panjang badan : 77 cm
- Sensorium : compos mentis
- Temperatur : 39oc
- Heart rate : 110 x/menit
- Respiratory rate : 22 x/menit
- Anemia (-), ikterik (-), edema (-), dispnea (-), sianosis (-)
Status Generalisata

36
- Kepala :
o mata
Conjungtiva palpebra inferior anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
o Telinga : dalam batas normal
o Hidung : dalam batas normal
o Mulut : karies (+)
- Leher :
o Pembesaran kelenjar getah bening (-)
- Thorax
o Simetris fusiformis, retraksi epigastrium (-)
o HR : 110 x/menit, reguler, desah (-)
o RR : 22 x/menit, regular, ronkhi (-/-)
- Abdomen
o Soepel, peristaltik (+)
o turgor (+)
o hepar/lien/ginjal : tidak teraba
- Ekstremitas
o Tekanan nadi : 110 x/menit, regular, t/v cukup, akral hangat,
Capillary Refill Time < 2 detik, edema (-)
- Urogenital
o Perempuan, dalam batas normal
Anjuran Pemeriksaan Penunjang
- Darah Rutin, LED
- Tubex Test, IgG & IgM Anti Dengue
- Sudah dilakukan pemeriksaan Mantoux test
Diagnosa Banding
- Suspect demam dengue + suspect TB paru + anemia
- Suspect demam dengue + suspect pneumonia + anemia
- Suspect Gastroenteritis akut + suspect TB paru + anemia
- Suspect Gastroenteritis Akut + suspect pneumonia + anemia
Diagnosa Sementara
Suspect demam dengue + suspect TB Paru + anemia
Tatalaksana
- IVFD D5% + NaCL 0,45% 37 gtt/menit
- Injeksi paracetamol 135 mg/8 jam
- Injeksi Ondansentron 1 mg/8 jam (kalau perlu) jika muntah (+)

37
FOLLOW UP

21 Mei 2016
S : Demam (+) , rewel (+)
O : Sensorium : Compos Mentis,
Temp : 38,3oc,
BB : 9 kg
SG :
Kepala : Ubun-ubun cekung (-), gigi karies (+)
Telinga/hidung/mulut : dalam batas normal/PCH (-)/ karies (+)
Thorax : simetris fusiformis, retraksi (+) epigastrium, pectus carinatum (+)
RR : 26x/menit
Abdomen : Soepel, Peristaltik (+) meningkat
Anogenitalia : Perempuan, anus (+)
Ekstremitas : pulse : 98x/i, CRT < 3 detik, akral hangat
A : Suspect demam dengue + Suspect TB paru + Anemia
P:
- IVFD Dextrose 5% NaCl 0,45% sebanyak 40 gtt/i mikro
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/12 jam/intravena skin test
- Injeksi Ampicillin 250 mg/6jam/intravena skin test
- Injeksi Paracetamol 120 mg/6 jam/intravena
- Injeksi Ranitidin 10 mg/12 jam/intravena
- Diet makanan berat lunak 900 kkal dengan 20 gram protein + ekstra susu 2 x/hari pagi
dan sore

Anjuran: Darah Rutin, LED, KGD,IgG dan IgM Anti dengue, Widal test, Foto Thorax AP
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
- Hemoglobin : 8,5 gr/dl (N : 12-16 gr/dl )
- Leukosit : 12.330 mm3 (N: 5000 10.000 mm3)
- Trombosit : 84.000 mm3 (N: 150.000 450.000 mm3)
- Eritrosit : 335.000 (N: 360.000 500.000 mm3)
- Hematokrit : 26,3% (N: 36-48 %)
- KGD ad random : 44 mg/dl (N: < 200 mg/dl)
- IgG anti Dengue: Non Reaktif
- IgM anti Dengue: Non Reaktif
- Widal Test: a. S. Paratyphi BH:1/80, CH:1/80, AO:1/40, BO:1/80,
CO:1/40
b. S. Typhphi H:1/80, O:1/40

38
39
22 Mei 2016
S : Demam (+), rewel (+), selera makan menurun, mencret (+) 3 kali
O : Sensorium : Compos Mentis, Temp : 40,7oc, BB : 9 kg
Kepala : Ubun-ubun cekung (-), gigi karies (+)
Telinga/hidung/mulut : dalam batas normal/PCH (-)/ karies (+)
Thorax : Simetris Fusiformis, Retraksi (-) epigastrium, Pectus Carinatum (+)
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) meningkat
Anogenitalia : Perempuan, anus (+)
Ekstremitas : Pulse : 95x/i, CRT < 3 detik, akral hangat
A : Suspect TB Paru + Gastroenteritis Akut + Anemia + Hipoglikemia
P:
- IVFD D10% sebanyak 100 gtt/i mikro
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/12 jam/intravena hari ke-2
- Injeksi Ampicillin 250 mg/6jam/intravena hari ke-2
- Injeksi Paracetamol 120 mg/6 jam/intravena
- Injeksi Ranitidin 10 mg/12 jam/intravena
- L-bio 2 x 1 sachet
- Diet makanan berat lunak 900 kkal dengan 20 gram protein + ekstra susu 2
x/hari pagi dan sore
Hasil pemeriksaan laboratorium :
- KGD ad random : 103 mg/dl

40
23 Mei 2016
S : Demam (-), rewel (+) menurun, mencret (-)
O : Sensorium : Compos Mentis, Temp : 37oc, BB : 9 kg
Kepala : Ubun-ubun cekung (-), gigi karies (+)
Telinga/hidung/mulut : dalam batas normal/PCH (-)/ karies (+)
Thorax : Simetris Fusiformis, retraksi (-) epigastrium, pectus carinatum (+)
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) meningkat
Anogenitalia : Perempuan, anus (+)
Ekstremitas : Pulse : 97x/i, CRT < 3 detik, akral hangat

Score TB : 4 (kontak dengan penderita TB : 3, Mantoux test indurasi 6 mm : 0,


gizi normal : 0, demam > 2 minggu = 1, batuk (-) : 0, limfadenopati :
0, pembengkakan sendi (-) : 0, foto rontgen (-) : 0
Hasil : 4
A : Pneumonia + TB latent
P:
- IVFD D5% NaCL 0,45% 30 gtt/i mikro
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/12 jam/intravena hari ke-3
- Injeksi Ampicillin 250 mg/6 jam/intravena hari ke-3
- Injeksi Paracetamol 135 mg/6 jam/intravena
- Injeksi Ranitidin 10 mg/12 jam/intravena
- L-bio 2 x 1 sachet
- INH 1 x 100 mg (pulvis) hari ke-1
Hasil foto thorax PA :

41
Kesan : Pneumoniae
Anjuran pemeriksaan penunjang : Urin Output

24 Mei 2016

42
S : Demam (-), rewel (-), mencret (-), selera makan (+) meningkat
O : Sensorium : Compos Mentis, Temp : 36,8oc, BB : 9 kg
Kepala : Ubun-ubun cekung (-)
Telinga/hidung/mulut : dalam batas normal/PCH (-)/ karies (-)
Thorax : Simetris Fusiformis, retraksi (-) epigastrium.
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) meningkat
Anogenitalia : Perempuan, anus (+)
Ekstremitas : Pulse : 94x/i, CRT < 3 detik, akral hangat
A : Pneumonia + TB latent
P:
- Diet makanan biasa 900 kkal dengan 25 gram protein
- IVFD D5% NaCL 0,45% 30 gtt/i mikro
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/12 jam/intravena hari ke-4
- Injeksi Ampicillin 250 mg/6 jam/intravena hari ke-4
- Injeksi Paracetamol 135 mg/6 jam/intravena
- Injeksi Ranitidin 10 mg/12 jam/intravena
- L-bio 2 x 1 sachet
- INH 1 x 100 mg (pulvis) hari ke-2
- Vitamin B6 1 x 1 tablet
Hasil urin : dalam batas normal

25 Mei 2016
S : Demam (-), rewel (+), mencret (-), selera makan (+) meningkat
O : Sensorium : Compos Mentis, Temp : 36,4oc, BB : 9 kg
Kepala : Ubun-ubun cekung (-)
Telinga/hidung/mulut : dalam batas normal/PCH (-)/ karies (-)

43
Thorax : Simetris Fusiformis, HR : 92x/menit, RR: 22 x/menit, retraksi (-)
epigastrium, ronkhi (+/+) pada lapangan paru tengah
Abdomen : Soepel, peristaltik (+) normal
Anogenitalia : Perempuan, anus (+)
Ekstremitas : Pulse : 92x/i, CRT < 3 detik, akral hangat
A : Pneumonia + TB latent
P:
- IVFD D5% NaCL 0,45% 30 gtt/i mikro
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/12 jam/intravena hari ke-5
- Injeksi Ampicillin 250 mg/6 jam/intravena hari ke-5
- Injeksi Paracetamol 135 mg/6 jam/intravena
- Injeksi Ranitidin 10 mg/12 jam/intravena
- L-bio 2 x 1 sachet
- INH 1 x 100 mg (pulvis) hari ke-3
- Vitamin B6 1 x 1 tablet

26 Mei 2016
S : Demam (-), rewel (-), mencret (-), selera makan (+) meningkat
O : Sensorium : Compos Mentis, Temp : 36,5oc, BB : 9 kg
Kepala : Ubun-ubun cekung (-)
Telinga/hidung/mulut : dalam batas normal/PCH (-)/ karies (-)
Thorax: Simetris Fusiformis, retraksi (-) epigastrium, ronkhi (+/+) pada lapangan
paru tengah
Abdomen : Soepel, peristaltik (+)
Anogenitalia : Perempuan, anus (+)

44
Ekstremitas : Pulse : 94x/i, CRT < 3 detik, akral hangat
A : Pneumonia + TB latent
P:
- IVFD D5% NaCL 0,45% 30 gtt/i mikro
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/12 jam/intravena hari ke-6
- Injeksi Ampicillin 250 mg/6 jam/intravena hari ke-6
- Injeksi Paracetamol 135 mg/6 jam/intravena
- Injeksi Ranitidin 10 mg/12 jam/intravena
- L-bio 2 x 1 sachet
- INH 1 x 100 mg (pulvis) hari ke-4
- Vitamin B6 1 x 1 tablet
- Diet makanan berat 900 kkal dengan 25 gram protein

27 Mei 2016
S : Demam (-), rewel (-), mencret (-), selera makan (+) meningkat
O : Sensorium : Compos Mentis, Temp : 36,8oc, BB : 9 kg
Kepala : Ubun-ubun cekung (-)
Telinga/hidung/mulut : dalam batas normal/PCH (-)/ karies (-)
Thorax: Simetris Fusiformis, retraksi (-) epigastrium, HR : 84x/menit, desah (-),
RR : 22x/menit, ronkhi (+/+) pada lapangan paru kanan tengah
Abdomen : Soepel, peristaltik (+)normal
Anogenitalia : Perempuan, anus (+)
Ekstremitas : Pulse : 94x/i, CRT < 3 detik, akral hangat
A : Pneumonia + TB latent
P:
- IVFD D5% NaCL 0,45% 30 gtt/i mikro
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/12 jam/intravena hari ke-7

45
- Injeksi Ampicillin 250 mg/6 jam/intravena hari ke-7
- Injeksi Paracetamol 135 mg/6 jam/intravena
- Injeksi Ranitidin 10 mg/12 jam/intravena
- L-bio 2 x 1 sachet
- INH 1 x 100 mg (pulvis) hari ke-5
- Vitamin B6 1 x 1 tablet

28 Mei 2016
S : Demam (-), rewel (-), mencret (-), selera makan (+) meningkat
O : Sensorium : Compos Mentis, Temp : 36,7oc, BB : 9 kg
Kepala : Ubun-ubun cekung (-)
Telinga/hidung/mulut : dalam batas normal/PCH (-)/ karies (-)
Thorax: Simetris Fusiformis, retraksi (-) epigastrium, HR : 84x/menit, desah (-),
RR : 22x/menit, ronkhi (+/+) menurun pada lapangan paru kanan tengah
Abdomen : Soepel, peristaltik (+)normal
Anogenitalia : Perempuan, anus (+)
Ekstremitas : Pulse : 94x/i, CRT < 3 detik, akral hangat
A : Pneumonia + TB latent
P:
- IVFD D5% NaCL 0,45% 30 gtt/i mikro
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/12 jam/intravena hari ke-8
- Injeksi Ampicillin 250 mg/6 jam/intravena hari ke-8
- Injeksi Paracetamol 135 mg/6 jam/intravena
- Injeksi Ranitidin 10 mg/12 jam/intravena
- L-bio 2 x 1 sachet
- INH 1 x 100 mg (pulvis) hari ke-6
- Vitamin B6 1 x 1 tablet

46
- Diet makanan berat 900 kkal dengan 25 gram protein

29 Mei 2016
S : Demam (-), rewel (-), mencret (-), selera makan (+) meningkat
O : Sensorium : Compos Mentis, Temp : 36,5oc, BB : 9 kg
Kepala : Ubun-ubun cekung (-)
Telinga/hidung/mulut : dalam batas normal/PCH (-)/ karies (-)
Thorax : Simetris Fusiformis, retraksi (-) epigastrium, HR : 80x/menit, desah (-),
RR : 22x/menit, ronkhi (+/+) menurun
Abdomen : Soepel, peristaltik (+)normal
Anogenitalia : Perempuan, anus (+)
Ekstremitas : Pulse : 94x/i, CRT < 3 detik, akral hangat
A : Pneumonia + TB latent
P:
- IVFD D5% NaCL 0,45% 30 gtt/i mikro
- Injeksi Cefotaxime 250 mg/12 jam/intravena hari ke-9
- Injeksi Ampicillin 250 mg/6 jam/intravena hari ke-9
- Injeksi Paracetamol 135 mg/6 jam/intravena
- Injeksi Ranitidin 10 mg/12 jam/intravena
- L-bio 2 x 1 sachet

47
- INH 1 x 100 mg (pulvis) hari ke-7
- Vitamin B6 1 x 1 tablet
- Diet makanan berat 900 kkal dengan 25 gram protein

BAB IV
DISKUSI DAN KESIMPULAN

4.1. Diskusi
Kasus Teori
Anamnesis : Demam, sesak Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa bayi
napas dan batuk dengan pneumonia datang dengan gejala demam, sesak dan
batuk.
Demam terjadi karena reaksi antigen dan antibodi yang
mengakibatkan terangsangnya hipotalamus untuk
meningkatkan set point sehingga menyebabkan demam.
Sesak napas dan batuk terjadi karena sekret menumpuk pada
bronkus.
Pemeriksaan Fisik : Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan pada pemeriksaan
Frekuensi napas fisik akan dijumpai peningkatan frekuensi napas dan retraksi.
meningkat, ronki (+) pada Hal ini terjadi karena penurunan difusi oksigen yang
lapangan paru kanan menyebabkan gangguan pertukaran gas sehingga terjadi
bagian tengah, retraksi hipoksia jaringan mengakibatkan frekuensi napas meningkat
epigastrium (+), mual dan serta retraksi.

48
muntah (+). Ronki (+) terjadi akibat dari penumpukan sekret pada bronkus.
Mual dan muntah terjadi karena gejala nyeri yang
diproyeksikan ke abdomen.
Pemeriksaan penunjang : Pada pemeriksaan foto thorax didapati nfiltrat pada lobus paru
didapat infiltrat pada lobus hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa akan
paru (foto thorax), dijumpai infiltrat pada gambaran foto thorax, dan leukositosis
leukositosis. menunjukkan terjadinya infeksi.
Tatalaksana Pneumonia Hal ini sesuai dengan teori bahwa pasien pneumonia
diberikan Cefotaxime dan dianjurkan mengggunakan antibiotik secara intravena seperti
Ampicilin secara iv. ampicilin, kloramfenikol, ceftriaxone, cefuroxime dan
cefotaxime.
Os kontak dengan Hal ini sesuai dengan teori bahwa pasien yang kontak dengan
penderita TB penderita TB mendapat skoring 4 pada skoring TB paru pada
anak
Tatalaksana penderita TB Hal ini sesuai dengan teori bahwa pasien yang menderita TB
laten pada OS diberikan laten dengan usia balita diberikan Isoniazid (INH Profilaksis).
Isoniazid.

4.2. Kesimpulan
Pasien NL, usia 1 tahun 6 bulan dengan BB 9 kg, setelah dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan bahwa
pasien tersebut menderita Pneumonia + TB Laten dan diberikan pengobatan
antibiotik Cefotaxime dan Ampicilin untuk pengobatan pneumonia. Sedangkan
pengobatan TB laten diberikan terapi profilaksis yaitu Isoniazid (INH).

49
50
DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar A, Dharmayanti I. Pneumonia Pada Anak Balita di Indonesia.


Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 2014.
2. Kementerian Kesehatan. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen
TB Anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2013
4. Rahajoe NN, Setyanto DB. Patogenesis Dan Perjalanan Alamiah. Dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2008: 30-58.
5. Rahayu AS. Pneumonia Pada Anak. Papua: Universitas Cenderawasih;
2011.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Modul Tatalaksana Standar
Pneumonia. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2012.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2003.
8. Antonius H dkk. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2009: 250-5.
9. Richard E. Nelson Textbook of Pediatrics. WB Saunders. 2003;17:1433-5.
10. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002.
11. Rahajoe NN, Basir D, MS Makmuri, Kartasasmita C. Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI; 2007.
12. Ruhwald M, Ravn P. Biomarkers Of Latent TB Infection. Expert Rev Resp
Med 2009;3:387-401
13. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo A dkk.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed 5. Jakarta: FKUI;
2009: 2232-2236.
14. Rahajoe NN, Setyanto DB. Patogenesis Dan Perjalanan Alamiah. Dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2008: 30-58.
15. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Manajemen
TB Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
16. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2015. Geneva:
WHO; 2015.

51

Anda mungkin juga menyukai