Anda di halaman 1dari 28

REFERAT KEDOKTERAN

TUBERKULOSIS PARU

Disusun Oleh:
Mukhlishah Afra Zunairoh
201570021

Pembimbing:
dr. Somarnam, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PAPUA
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat,
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang
berjudul “Tuberkulosis Paru”. Penulisan dan penyusunan referat ini disusun sebagai salah
satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Papua.

Pada kesempatan yang baik ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
dr. Somarnam, Sp.PD selaku pembimbing referat, atas kesabaran dan bimbingan beliau
dalam mengarahkan penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang
tua penulis yang senantiasa mendoakan penulis. Terima kasih penulis sampaikan kepada
teman-teman yang selalu mendukung dan memberikan semangat.

Mengingat pengetahuan dan pengalaman serta waktu yang tersedia dalam proses
penyusunan referat sangat terbatas, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi
isi, susunan bahasa maupun sistematika penulisan. Oleh sebab itu penulis berharap agar
para pembaca dapat memberi saran dan kritik yang membangun.

Akhir kata, penulis berharap semoga referat ini dapat memberi sumbangsih
pemikiran dan memberi manfaat bagi semua pihak khususnya bidang kedokteran, serta
berguna bagi pembaca dalam mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Sorong, Desember 2021

Penulis

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Nama Lengkap Mahasiswa : Mukhlishah Afra Zunairoh


Nomor Induk Mahasiswa : 201570021
Jurusan : Program Pendidikan Profesi Dokter
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Papua
Bagian Pendidikan : Ilmu Penyakit Dalam
Judul Referat Kedokteran : Tuberkulosis Paru
Diajukan pada :
Pembimbing : dr. Somarnam, Sp.PD

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal ……………………………………………...

Mengetahui,
Pembimbing Referat

dr. Somarnam, Sp.PD

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2

2.1 Definisi Tuberkulosis ................................................................................ 2

2.2 Klasifikasi Tuberkulosis ........................................................................... 2

2.3 Etiologi dan Transmisi Tuberkulosis Paru ................................................ 4

2.4 Faktor Risiko Tuberkulosis Paru............................................................... 4

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi Tuberkulosis Paru ..................................... 5

2.6 Manifestasi Klinis Tuberkulosis Paru ....................................................... 8

2.7 Penegakan Diagnosis Tuberkulosis Paru .................................................. 9

2.7.1 Anamnesis ............................................................................................... 12

2.7.2 Pemerikaan Fisis ..................................................................................... 12

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 12

2.7.4 Kriteria Diagnostik .................................................................................. 12

2.8 Diagnosis Banding Tuberkulosis Paru .................................................... 13

2.9 Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru ........................................................ 13

2.10 Komplikasi Tuberkulosis Paru ................................................................ 21

2.11 Prognosis Tuberkulosis Paru ................................................................... 22

BAB 3 KESIMPULAN ........................................................................................ 18

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 19

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang paling menyebar luas di dunia,
serta merupakan penyakit menular dengan angka kematian cukup tinggi. Tuberkulosis
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Infeksi akibat bakteri tersebut telah
menyebabkan penyakit tuberkulosis hampir seperempat dari populasi dunia, yaitu hampir
mencapai 2 milyar orang. Berdasarkan data WHO (World Health Organization) pada tahun
2018, tuberkulosis masih menempati peringkat ke-10 penyebab kematian tertinggi di dunia,
dengan jumlah kematian sekitar 1,3 juta pasien.1 Angka tersebut pada tahun 2019 mengalami
peningkatan, yaitu terdapat 10 juta kasus baru tuberkulosis di seluruh dunia, dengan 1,4 juta
orang meninggal karena penyakit tersebut.2 Penyakit ini tidak hanya terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah, namun penyakit ini dapat muncul di seluruh wilayah
dunia.1 Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi penderita tuberkulosis
cukup tinggi, sebagai negara ke-2 tertinggi dengan penderita tuberkulosis. Angka insiden
tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2018 adalah sebesar 316 per 100.000 penduduk, dengan
angka kematian penderita tuberkulosis sebesar 40 per 100.000 penduduk.3 Pada tahun 2019,
jumlah kasus TB yang ditemukan di Indonesia adalah 543.874 kasus. Angka tersebut
mengalami peningkatan, yakni estimasi kasus TB di Indonesia pada tahun 2020 adalah
824.000 kasus. Kasus TB di Indonesia jika dibandingkan antara perempuan dan laki-laki,
maka yang lebih tinggi terjadi pada laki-laki yaitu 1,4 kali lebih tinggi dibanding perempuan.4

Mycobacterium tuberculosis (M.TB) pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh
Robert Koch. Organisme tersebut merupakan bakteri anaerob, yang mudah berkembang biak
di bagian apeks paru. Oleh sebab itu, organ utama yang paling terpengaruh oleh bakteri M.TB
adalah paru, yang disebut sebagai TB paru.1 Gejala utama dari TB paru adalah batuk
berdahak selama 2 minggu atau lebih, batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan berupa
batuk dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, penurunan nafsu
makan, penurunan berat badan, berkeringat malam hari tanpa aktivitas fisik, serta demam
meriang lebih dari satu bulan. Hingga saat ini, TB paru masih menjadi masalah kesehatan
baik di Indonesia maupun internasional.3 Oleh sebab itu, penyusunan karya tulis ilmiah ini
bertujuan untuk menjelaskan mengenai TB paru, agar berguna dalam membantu
pemberantasan TB paru di Indonesia maupun internasional.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit kronik menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam,
sehingga sering dikenal dengan bakteri Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman
TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru sehingga menyebabkan TB paru. Selain
menyerang paru, bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya
atau disebut sebagai TB ekstra paru, yaitu dapat menyerang pleura, kelenjar limfe, tulang,
dan organ ekstra paru lainnya.5
2.2.Klasifikasi Tuberkulosis
Klasifikasi TB dikategorikan berdasarkan beberapa hal, yaitu:5
1) Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis:
a. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis ini melibatkan parenkim paru atau bagian
trakeobronkial.
b. Tuberkulosis ekstra paru. Kasus TB ini melibatkan organ di luar parenkim paru
seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria, kulit, sendi
dan tulang, serta selaput otak. Kasus TB ekstra paru ditegakan secara klinis
maupun histologis, setelah diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi
secara bakteriologis.
2) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan:
a. Kasus baru. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat obat anti
tuberkulosis (OAT) sebelumnya, atau memiliki riwayat mendapatkan OAT
kurang dari 1 bulan.
b. Kasus dengan riwayat pengobatan. Pada kasus ini, pasien pernah mendapatkan
OAT 1 bulan atau lebih. Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil
pengobatan terakhir, yaitu:
a) Kasus kambuh. Pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan
dinyatakan sembuh, atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat
ini ditegakan dengan diagnosis TB episode kembali (karena reaktivasi atau
episode baru yang disebabkan karena reinfeksi).
b) Kasus pengobatan setelah gagal. Pasien sebelumnya pernah mendapatkan
OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.

2
c) Kasus setelah loss to follow up. Pasien pernah menelan OAT 1 bulan atau
lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut, dan
dinyatakan loss to follow up sebagai hasil pengobatan.
d) Kasus lain-lain. Pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil
akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
e) Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui. Pasien yang tidak
diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, sehingga tidak dapat dimasukan
dalam salah satu kategori di atas.
3) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat:
a. Monoresisten. Pada kasus ini, terjadi resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama.
b. Poliresisten. Pada kasus ini, terjadi resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multidrug resistant (TB MDR). Kasus TB dengan terjadinya resistensi minimal
terhadap isoniazid dan rifampisin secara bersamaan.
d. Extensive drug resistant (TB XDR). Merupakan TB-MDR, namun juga resisten
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini
kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR). Kasus TB yang terbukti resisten terhadap
rifampisin, baik menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi.
4) Klasifikasi berdasarkan status Human Immunodeficiency Virus (HIV):
a. Kasus TB dengan HIV positif. Kasus TB terkonfirmasi bakteriologis atau
terdiagnosis klinis pada pasien dengan hasil tes HIV-positif, baik yang dilakukan
pada saat penegakan diagnosis TB atau ada bukti bahwa pasien telah terdaftar di
register HIV (register pra ART atau register ART).
b. Kasus TB dengan HIV negatif. Kasus TB terkonfirmasi bakteriologis atau
terdiagnosis klinis pada pasien dengan hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan
pada saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien yang tergolong dalam klasifikasi
ini diketahui HIV positif kemudian hari, maka harus kembali disesuaikan
klasifikasinya.
c. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui. Kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak
memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini

3
diketahui HIV positif dikemudian hari, maka harus kembali disesuaikan
klasifikasinya.

2.3.Etiologi dan Transmisi Tuberkulosis Paru


Penyebab infeksi TB dikaitkan erat dengan 5 bakteri, yaitu Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti
and Mycobacterium cannettii. Hingga saat ini, bakteri M.tuberculosis (M.TB),
merupakan bakteri yang paling sering ditemukan dan menular antar manusia melalui
udara. Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara, melalui
percik renik atau droplet nucleus dengan ukuran kurang dari 5 microns yang keluar ketika
seorang yang terinfeksi TB paru atau TB laring mengalami batuk, bersin, atau bicara.
Percik renik juga dapat keluar saat pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan yang
menghasilkan produk aerosol, seperti saat dilakukannya induksi sputum, bronkoskopi
serta saat dilakukan manipulasi terhadap lesi atau pengolahan jaringan di laboratorium.
Percik renik dari pasien infeksi TB merupakan partikel kecil berdiameter 1-5 µ yang
dapat menampung 1-5 basilli, bersifat sangat infeksius, serta dapat bertahan di udara
hingga 4 jam. Ukuran yang sangat kecil tersebut menyebabkan percik renik memiliki
kemampuan untuk mencapai ruang alveolar paru, tempat bakteri melakukan replikasi.
Berikut adalah 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB, yaitu:5
1. Jumlah organisme yang keluar ke udara
2. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang dan ventilasi
3. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi
2.4.Faktor Risiko Tuberkulosis Paru
Kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit TB
adalah sebagai berikut:5
1) Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain
2) Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang
3) Orang yang merokok
4) Orang yang mengonsumsi alkohol tinggi
5) Anak usia kurang dari 5 tahun dan lansia
6) Memiliki kontak erat dengan orang terinfeksi penyakit TB aktif yang infeksius
7) Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (lembaga
permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
8) Petugas kesehatan

4
2.5.Patogenesis dan Patofisiologi Tuberkulosis Paru

Setelah inhalasi, droplet nucleus akan terbawa menuju percabangan trakea-bronkial


dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau alveolus.6 Bakteri M.TB di dalam
droplet nucleus kemudian masuk ke dalam endosom makrofag alveolus melalui suatu
proses yang dimediasi oleh beberapa reseptor makrofag, salah satunya adalah manose
makrofag. Reseptor tersebut mengenali beberapa komponen dinding sel mycobacterium.
Setelah bakteri di dalam makrofag alveolus, maka organisme tersebut akan menghambat
respons mikrobisida normal, melalui pencegahan fusi lisosom dengan vakuol fagositik.
Hal tersebut menyebabkan mycobacterium menetap dan berproliferasi. Mycobacterium
akan tumbuh perlahan dan membelah di dalam makrofag setiap 23-32 jam sekali. Proses
replikasi di dalam makrofag alveolus berlangsung selama 3 minggu pertama, pada pasien
yang belum tersensitisasi oleh M.TB. Setelah itu terjadi bakteremia sehingga terjadi
penyemaian organisme di berbagai tempat. Meskipun telah terjadi bakteremia, sebagian
besar pasien pada fase ini bersifat asimtomatik atau gejala yang muncul berupa mirip flu
ringan. Setelah 3 minggu pasca pajanan, antigen M.TB yang telah mencapai aliran getah
bening dipresentasikan ke sel T CD4+ oleh sel dendritik dan makrofag. Selanjutnya
dengan adanya pengaruh dari IL-2 yang disekresi oleh makrofag, sel T CD+ subset sel
TH1, diproduksi dan mampu menyekresi IFN-g. Respon dari sel imun tersebut kemudian
akan mengaktifkan makrofag. Makrofag yang teraktivasi akan melepas berbagai
mediator yang berperan dalam membunuh M.TB. Selain merangsang makrofag untuk
membunuh M.TB, respons TH1 juga mengatur pembentukan granuloma dan nekrosis
kaseosa. Bakteri M.TB kemudian akan dideposit di bagian apeks paru, ginjal, tulang, dan
otak, karena organ-organ tersebut sangat menunjang pertumbuhan dari bakteri M.TB.
Pada beberapa kasus, bakteri dapat berkembang dengan cepat sebelum terbentuk respon
imun seluler spesifik yang dapat membatasi multiplikasinya.7

Gambar 2.1. Infeksi M.TB sebelum aktivasi sel imun7


5
Gambar 2.2. Inisiasi dan konsekuensi dari aktivasi sel imun7

1) Tuberkulosis Primer

Tuberkulosis primer merupakan infeksi primer TB yang terjadi pada paparan


pertama terhadap tuberkel basili. Kejadian ini biasanya terjadi pada masa anak,
sehingga sering disebut dengan TB anak. Namun bukan hanya pada masa anak,
infeksi ini dapat terjadi pada individu usia berapapun yang belum pernah terpapar
M.TB sebelumnya. Droplet nucleus yang terhirup dan menempati alveolus terminal
pada paru, biasanya terletak di bagian bawah lobus superior atau bagian atas lobus
inferior paru. Basili tersebut akan terfagosistosis oleh makrofag, namun basili dari
M.TB memiliki produk mikobakterial yang mampu menghambat kemampuan
bakterisid makrofag alveolus, sehingga bakteri dapat melakukan replikasi di dalam
makrofag. Setelah itu, makrofag dan monosit lain akan bereaksi terhadap kemokin
yang dihasilkan, kemudian bermigrasi menuju fokus infeksi dan memproduksi respon
imun. Area inflamasi tersebut dikenal sebagai Ghon focus. Basili dan antigen dalam
Ghon focus kemudian bermigrasi keluar melalui jalur limfatik, menuju nodus limfe
hilus dan membentuk kompleks (Ghon) primer. Respon inflamasi dari kompleks
tersebut membentuk gambaran tipikal nekrosis kaseosa. Kemudian di dalam nodus
limfe, limfosit T akan membentuk respon imun spesifik dan mengaktivasi makrofag
untuk menghambat pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus primer ini
mengandung 1,000–10,000 basili yang akan terus melakukan replikasi. Kompleks
Ghon di paru terdiri atas 3 komponen, yaitu:5,6

a. Komponen paru. Komponen ini memiliki luas area sekitar 1-2 cm dengan area
soliter pneumonia tuberkulosis, yang terletak di perifer di bawah pleuritis, lebih

6
sering terletak pada fokus subpleural di bagian atas lobus bawah. Secara
mikroskopis, lesi paru ini terdiri dari granuloma tuberkulosis dengan nekrosis
kaseasi.
b. Komponen pembuluh limfa. Pembuluh limfa memiliki fagosit yang mengandung
basil, dan dapat berkembang menjadi tuberkel milier di sepanjang jalur kelenjar
getah bening hilus.
c. Komponen kelenjar getah bening. Komponen ini terdiri dari pembesaran kelenjar
getah bening hilus dan trakeo-bronkial. Kelenjar getah bening yang terkena
menunjukkan nekrosis kaseasi. Secara mikroskopis, lesi ditandai dengan adanya
kaseasi yang luas, granuloma tuberkulosis dan fibrosis. Lesi nodal merupakan
sumber yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya infeksi berulang.

Area inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan dengan jaringan fibrotik
dan kalsifikasi, didalamnya terdapat makrofag yang mengandung basili terisolasi dan
akan mati jika sistem imun host adekuat. Namun beberapa basili dapat tetap dorman
di dalam fokus primer dalam beberapa bulan atau tahun, disebut sebagai “kuman
laten”. Infeksi primer pada umumnya bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan
hasil tuberkulin positif dalam 4-6 minggu setelah infeksi. Dalam beberapa kasus, jika
respon imun tidak cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan bakteri dan
basili, maka akan terjadi penyebaran secara limfatik ke aliran darah dan menyebar ke
seluruh tubuh, menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB primer
progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya area fokus primer,
sehingga dapat ditemukan banyak area gambaran nekrosis kaseosa dan dapat
ditemukan adanya kavitas, menghasilkan gambaran klinis yang serupa dengan TB
post primer.5

2) Tuberkulosis Pasca Primer

Tuberkulosis pasca primer atau dikenal juga sebagai tuberkulosis sekunder, atau
reinfeksi, atau tuberkulosis kronis, adalah infeksi pada host yang sebelumnya telah
terinfeksi atau pernah tersensitisasi dengan bakteri M.TB. Infeksi terjadi setelah
periode laten dalam waktu beberapa bulan hingga tahun setelah infeksi primer,
diakibatkan oleh reaktivasi kuman laten atau karena terjadinya reinfeksi.6 Reaktivasi
terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan beberapa bulan atau beberapa
tahun setelah infeksi primer, kembali bermultiplikasi. Reaktivasi tersebut

7
kemungkinan terjadi akibat respon dari melemahnya sistem imun host, misalnya
akibat infeksi HIV. Sedangkan untuk reinfeksi, terjadi ketika seorang yang pernah
mengalami infeksi primer terpapar kembali dengan orang yang terinfeksi penyakit
TB aktif. Tuberkulosis pasca primer paling sering terjadi di daerah apeks paru. TB
pasca primer biasanya dapat memengaruhi parenkim paru, namun dapat juga
melibatkan organ tubuh lain. Karakteristik dari TB pasca primer adalah
ditemukannya kavitas pada lobus superior paru serta adanya kerusakan paru yang
luas. Pada hasil pemeriksaan sputum, biasanya menunjukkan hasil positif dan pada
umumnya tidak ditemukan limfadenopati intratorakal.5

Gambar 2.3. Riwayat alami dan spektrum tuberkulosis7

2.6. Manifestasi Klinis Tuberkulosis Paru

Manifestasi klinis TB paru jika mulai timbul, biasanya muncul awitan perlahan
dengan gejala dan tanda bertahap baik sistemik maupun lokal. Pada manifestasi sistemik,
diduga berkaitan erat dengan pelepasan sitokin oleh makrofag yang aktif (misalnya TNF
dan IL-1), yang dapat menyebabkan rasa lemah, penurunan nafsu makan, penurunan
berat badan, demam serta keringat di malam hari. Jika lesi di paru semakin progresif,
maka terjadi peningkatan jumlah sputum yang awalnya mukoid menjadi purulen. Ketika
terjadi kavitas, maka sputum akan mengandung basil dari tuberkulosis. Hemoptisis juga
cukup banyak terjadi, yaitu dapat terjadi pada separuh kasus tuberkulosis paru.

8
Kemudian jika terjadi perluasan infeksi hingga mencapai permukaan pleura, dapat
muncul nyeri pleuritic atau biasa pasien mengeluhkan adanya nyeri pada dada.8

Manifestasi klinis penyakit TB paru sebagai berikut:5

1) Batuk berdahak
2) Batuk berdahak dapat bercampur darah
3) Dapat disertai nyeri dada
4) Sesak napas

Gejala lain meliputi:5

1) Malaise
2) Penurunan berat badan
3) Penurunan nafsu makan
4) Menggigil
5) Demam
6) Berkeringat di malam hari

2.7.Penegakan Diagnosis Tuberkulosis Paru

Semua pasien yang terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis untuk


mengonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud merujuk pada
pemeriksaan apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen lain), pemeriksaan
biakan dan identifikasi M.TB atau metode diagnostik cepat yang telah mendapat
rekomendasi dari WHO. Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau mutunya
melalui sistem pemantauan mutu eksternal, maka kasus TB paru BTA positif ditegakan
berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari satu spesimen. Pada daerah
dengan laboratorium yang tidak terpantau mutunya, maka kasus TB BTA positif
didefinisikan jika paling sedikit terdapat dua spesimen dengan BTA positif. Berikut
adalah rekomendasi WHO untuk pemeriksaan biakan dan uji kepekaan minimal terhadap
rifampisin dan isoniazid, pada kelompok pasien berikut:5

1. Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT. Pasien yang memiliki riwayat gagal
pengobatan sebelumnya, banyak yang mengalami TB resisten obat.

9
2. Semua pasien HIV yang terdiagnosis TB aktif. Terutama pada daerah dengan
prevalensi TB resistan obat yang tinggi.
3. Pasien dengan TB aktif yang terpajan dengan pasien TB resisten obat.
4. Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resistan obat primer >3%.
5. Pasien baru atau riwayat OAT dengan sputum BTA tetap positif pada akhir fase
intensif. Pada kasus ini, sebaiknya dilakukan pemeriksaan sputum BTA pada bulan
berikutnya.

Metode untuk melakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dilakukan dengan 2 cara,
yaitu:5

1) Metode Konvensional Uji Kepekaan Obat

Metode ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan biakan M.TB menggunakan 2


macam medium, yaitu medium padat (Lowenstein Jensen atau Ogawa) dan medium
cair yaitu MGIT (Mycobacterium growth indicator tube). Pada biakan M.TB dengan
medium cair, hanya memerlukan waktu minimal 2 minggu, lebih singkat
dibandingkan biakan pada medium padat yang memerlukan waktu 28-42 hari.

2) Metode Cepat Uji Kepekaan Obat (Uji Diagnostik Molekular Cepat)

Metode ini berupa pemeriksaan molekular untuk mendeteksi deoxyribose nucleic


acid (DNA) M.TB. Metode ini merupakan metode pemeriksaan tercepat yang sudah
dapat dilakukan di Indonesia. Metode molekuler dapat mendeteksi M.TB dan
membedakannya dengan Non-Tuberculous Mycobacteria (NTM). Selain itu, metode
ini juga dapat mendeteksi mutasi pada gen yang berperan dalam mekanisme kerja
obat antituberkulosis lini 1 dan lini 2. WHO telah merekomendasikan penggunaan
Xpert MTB/RIF untuk mendeteksi resistensi terhadap rifampisin. Sedangkan untuk
mengetahui resistensi OAT lini 2, direkomendasikan menggunakan second line line
probe assay (SL-LPA) yang dapat mendeteksi resistensi terhadap OAT injeksi dan
OAT golongan fluorokuinolon. Saat ini WHO telah merekomendasikan pemeriksaan
molekular line probe assay (LPA) dan tes cepat molecular (TCM), yang dilakukan
langsung pada spesimen sputum.

Pemeriksaan M.TB dengan TCM dapat mendeteksi M.TB dan gen pengkode resistan
rifampisin (rpoB) pada sputum, dengan waktu kurang lebih dua jam. Baku emas atau

10
gold standard dari konfirmasi hasil uji kepekaan OAT adalah dengan metode
konvensional. Penggunaan metode TCM tidak dapat menyingkirkan metode biakan dan
uji kepekaan konvensional, yang diperlukan untuk menegakan diagnosis definitif TB,
terutama pada pasien dengan pemeriksaan mikroskopis apusan BTA negatif, dan uji
kepekaan OAT untuk mengetahui resistensi OAT selain rifampisin. Jika tidak berhasil
mendapatkan sputum secara spontan, maka dapat dilakukan tindakan induksi sputum atau
prosedur invasif seperti bronkoskopi atau torakoskopi. Selain itu, terdapat pemeriksan
tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi bakteriologis maupun terdiagnosis
klinis, yaitu pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan lain dapat dilakukan sesuai
indikasi misalnya pemeriksaan fungsi hati, fungsi ginjal, dan lain-lain.5

Gambar 2.4. Alur diagnosis TB5

11
2.7.1. Anamnesis
Pada anamnesis, dapat ditanyakan pada pasien gejala khas TB paru, yaitu batuk
produktif lebih dari 2 minggu, yang dapat disertai dengan:8
1) Gejala pernapasan, berupa nyeri dada, sesak napas, hemoptisis, dan/atau
2) Gejala sistemik, berupa demam, tidak nafsu makan, penurunan berat badan,
mudah lelah dan keringat malam
2.7.2. Pemeriksaan Fisis
Kelainan yang terjadi pada TB paru tergantung dari luasnya lesi atau kelainan yang
terjadi di paru. Pada kondisi awal terjadinya penyakit, sulit untuk ditemukan adanya
kelainan. Pada pemeriksaan auskultasi, dapat ditemukan suara napas
bronchial/amorfik/ronkhi basah atau suara napas melemah di apeks paru, serta adanya
tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.8
2.7.3. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah. Dapat terjadi limfositosis atau monositosis, peningkatan laju
endap darah (LED) dan penurunan hemoglobin.
2) Pemeriksaan mikroskopis kuman M.TB (pemeriksaan basil tahan asam), atau
kultur kuman dari spesimen sputum sewaktu-pagi-sewaktu.
3) Pemeriksaan radiologi dengan foto toraks PA-lateral atau top lordotik. Pada TB
paru, umumnya dapat terlihat gambaran bercak awan dengan batas yang tidak
jelas membentuk tuberkuloma. Gambaran lain yang dapat muncul yaitu kavitas,
pleuritis dan efusi pleura.7
2.7.4. Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik dari TB didasarkan pada Internasional Standards of Tuberculosis
Care (ISTC 2014), yaitu:8
Standar Diagnosis
1) Untuk memastikan diagnosis lebih awal, petugas kesehatan harus waspada
terhadap individu dan grup dengan faktor risiko TB dengan melakukan evaluasi
klinis dan pemeriksaan diagnostik yang tepat pada mereka dengan gejala TB.
2) Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung selama 2 minggu atau
lebih yang tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk TB.
3) Semua pasien yang diduga menderita TB dan mampu mengeluarkan dahak, harus
diperiksa mikroskopis spesimen apusan sputum/dahak minmal 2 kali atau 1
spesimen sputum untuk pemeriksaan Xpert MTB/RIF, yang diperiksa di
laboratorium yang kualitasnya terjamin, salah satu diantaranya adalah spesimen

12
pagi. Pasien dengan risiko resistensi obat, risiko HIV atau sakit parah sebaiknya
melakukan pemeriksaan Xpert MTB/RIF sebagai uji diagnostik awal. Uji serologi
darah dan interferon-gamma release assay sebaiknya tidak digunakan untuk
mendiagnosis TB aktif.
4) Semua pasien yang diduga TB ekstra paru, spesimen dari organ yang terlibat
harus diperiksa secara mikrobiologis dan histologis. Uji Xpert MTB/RIF
direkomendasikan sebagai pilihan uji mikrobiologis untuk pasien terduga
meningitis karena membutuhkan penegakan diagnosis yang cepat.
5) Pasien terduga TB dengan apusan dahak negatif, sebaiknya dilakukan
pemeriksaaan Xpert MTB/RIF dan/atau kultur dahak. Jika apusan dan uji Xpert
MTB/RIF negatif pada pasien dengan gejala klinis yang mendukung TB,
sebaiknya segera diberikan pengobatan antituberkulosis setelah pemeriksaan
kultur.
2.8.Diagnosis Banding Tuberkulosis Paru
Perlu dipertimbangkan diagnosis banding dari TB paru, karena dapat serupa dengan
beberapa gangguan sistemik. Berikut adalah beberapa keadaan yang perlu
dipertimbangkan saat mengevaluasi kemungkinan terjadinya TB paru.10
1) Pneumonia
2) Tumor
3) Mycobacterium non-TB
4) Infeksi jamur
5) Histoplasmosis
6) Sarkoidosis
2.9.Tatalaksana Tuberkulosis Paru
Pengobatan TB berupa OAT merupakan komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan yang adekuat perlu memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut:5

1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat, dengan minimal 4
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
2. Diberikan dalam dosis yang tepat
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh pengawas menelan obat
(PMO) hingga masa pengobatan selesai.
4. Pengobatan diberi dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam tahap awal serta
tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

13
2.9.1. Medikamentosa
2.9.1.1.Pengobatan TB terdiri atas 2 tahap, yaitu:5,8
1) Tahap Awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan ini bertujuan untuk
menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum
pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Tahap awal menggunakan paduan obat rifampisin
(R), isoniazid (H), pirazinamid (Z) dan etambutol (E).
• Pada tahap awal, pasien mendapat 4 jenis obat yaitu RHZE, yang diminum
setiap hari dan diawasi secara langsung agar mencegah resistensi terhadap
obat.
• Jika pengobatan dilakukan adekuat, maka dapat menurunkan daya penularan
dalam waktu 2 minggu
• Pasien dengan TB paru BTA positif, sebagian besar menjadi BTA negatif
setelah menyelesaikan pengobatan pada tahap awal. Setelah terjadi konversi
ini, maka pengobatan dilanjutkan dengan tahap lanjutan.
2) Tahap Lanjutan

Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa bakteri yang masih ada
dalam tubuh, terutama bakteri persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi pengobatan tahap lanjutan selama 4
bulan. Pada tahap lanjutan, obat yang digunakan adalah rifampisin dan isoniazid.

• Pasien mendapat 2 jenis obat yaitu rifampisin dan isoniazid yang diberi dalam
jangka waktu minimal 4 bulan
• Obat dapat diminum secara intermiten yaitu 3x/minggu (obat program), atau
obat diminum setiap hari (obat non program)

Panduan OAT lini pertama yang digunakan Program Nasional Pengendalian


Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut:

• Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

14
Kategori 1 yang dimaksud adalah pengobatan tahap awal selama 2 bulan,
diberikan setiap hari dan tahap lanjutan selama 4 bulan, diberi 3 kali dalam
seminggu. Total lama pengobatan kategori 1 adalah 6 bulan

• Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Kategori 2 diberikan pada kasus TB paru pengobatan ulang, dapat karena TB


kambuh, gagal pengobatan maupun putus berobat. Pada kategori ini, tahap awal
pengobatan diberi selama 3 bulan terdiri dari 2 bulan RHZE ditambah suntikan
streptomisin, dan 1 bulan HRZE. Pengobatan tahap awal diberi setiap hari.
Sedangkan untuk tahap lanjutan, diberi HRE selama 5 bulan, selama 3 kali
seminggu. Total pengobatan untuk kategori 2 adalah 8 bulan.

Tabel 2.1. Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa5

Dosis rekomendasi harian 3 kali per minggu

Dosis Maksimum Dosis Maksimum


(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB) (mg)

Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40) -

Etambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35) -

Streptomisin (S) 15 (12-18) - 15 (12-18) -

Khusus pasien berusia lebih dari 60 tahu, pemberian streptomisin tidak dapat
mentoleransi lebih dari 500-700 mg perhari. Beberapa pedoman
merekomendasikan dosis 10 mg/kgBB pada pasien dengan kelompok usia ini.
Selain itu, untuk pasien dengan berat badan di bawah 50 kg juga tidak dapat
mentoleransi dosis streptomisin lebih dari 500-750 mg perhari.

15
2.9.1.2.Pengobatan TB untuk pasien dengan kasus baru
Semua pasien dengan kasus baru TB diasumsikan peka terhadap OAT kecuali pada
keadaan:5
• Pasien tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi resisten isoniazid, atau
• Terdapat riwayat kontak dengan pasien TB resistan obat. Pasien kasus baru
seperti ini cenderung memiliki pola resistensi obat yang sama dengan kasus
sumber. Pada kasus ini sebaiknya dilakukan uji kepekaan obat sejak awal
pengobatan dan sementara menunggu hasil uji kepekaan obat maka paduan
obat yang berdasarkan uji kepekaan obat kasus sumber sebaiknya dimulai.

Tabel 3.2. Panduan obat standar untuk pasien TB kasus baru (dengan asumsi atau
diketahui peka OAT)5
Fase Intensif Fase Lanjutan
RHZE 2 bulan RH 4 bulan

2.9.1.3.Pemantauan respon pengobatan


Semua pasien perlu dipantau untuk menilai respons terapi yang diberikan. Semua
pasien, PMO dan tenaga kesehatan perlu melaporkan gejala TB yang menetap atau
muncul kembali, gejala efek samping OAT atau terhentinya pengobatan. Berat badan
pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT disesuaikan dengan perubahan
berat badan. Respon pengobatan TB paru dipantau dengan sputum BTA.
Rekomendasi dari WHO yaitu pemeriksaan sputum BTA dilakukan pada akhir fase
intensif pengobatan, untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama (kasus baru
maupun pengobatan ulang). Pemeriksaan sputum BTA dilakukan pada akhir bulan
kedua (2RHZE/4RH) untuk kasus baru dan akhir bulan ketiga
(2RHZES/1RHZE/5RHE) untuk kasus pengobatan ulang. Rekomendasi ini juga
berlaku untuk pasien dengan sputum BTA negatif. Jika hasil sputum BTA positif
pada bulan kelima atau pada akhir pengobatan, maka menandakan pengobatan gagal
dan perlu dilakukan diagnosis cepat TB MDR. Jika seorang pasien diketahui TB
resisten obat maka pengobatan dinyatakan “gagal”, kapanpun waktunya. Pasien
dengan sputum BTA negatif di awal pengobatan dan tetap negatif pada akhir bulan
kedua pengobatan, maka tidak diperlukan lagi pemantauan dahak lebih lanjut. Dalam
pengobatan TB paru, sangat penting dilakukan pemantauan klinis dan berat badan.5

16
2.9.1.4.Menilai respons OAT lini pertama pada pasien TB dengan riwayat pengobatan
sebelumnya

Pada pasien dengan OAT kategori 2, jika hasil BTA masih positif pada akhir fase
intensif, maka dilakukan pemeriksaan tes cepat molekuler (TCM), biakan dan uji
kepekaan. Jika hasil BTA positif pada akhir bulan kelima dan akhir pengobatan
(bulan kedelapan), maka pengobatan dinyatakan gagal serta perlu dilakukan
pemeriksaan TCM, biakan dan uji kepekaan. Hasil pengobatan ditetapkan
berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada akhir pengobatan.5

Tabel 2.3. Definisi hasil pengobatan5

Hasil Definisi
Sembuh Pasien TB paru dengan konfirmasi bakteriologis positif pada
awal pengobatan, dan BTA sputum negatif atau biakan negatif
pada akhir pengobatan dan memiliki hasil pemeriksaan negatif
pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
Pengobatan Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap lengkap dan tidak memiliki bukti gagal pengobatan, tetapi juga
tidak memiliki hasil BTA sputum atau biakan negatif pada akhir
pengobatan dan satu pemeriksaan sebelumnya, baik karena
tidak dilakukan atau karena hasilnya tidak ada.
Pengobatan Pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA sputum atau biakan
gagal positif pada bulan kelima atau akhir pengobatan.
Meninggal Pasien TB yang meninggal dengan alasan apapun sebelum dan
selama pengobatan TB
Putus obat Pasien TB yang tidak memulai pengobatan setelah terdiagnosis
TB atau menghentikan pengobatan selama 2 bulan berturut-
turut atau lebih.
Tidak dievaluasi Pasien yang tidak memiliki hasil pengobatan pada saat akhir
pelaporan kohort pengobatan, termasuk pasien yang sudah
pindah ke fasilitas kesehatan lain dan tidak diketahui hasil
pengobatannya oleh fasilitas yang merujuk pada batas akhir
pelaporan kohort pengobatan.

17
Keberhasilan Jumlah kasus dengan hasil pengobatan sembuh dan lengkap.
pengobatan

2.9.1.5.Efek samping OAT

Efek samping OAT yang jarang terjadi pada sebagain besar kasus TB paru.
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek
samping yang bermakna. Namun, sebagian kecil pasien dapat mengalami efek
samping yang signifikan sehingga mengganggu aktivitas. Efek tidak diinginkan dari
OAT diklasifikasikan menjadi efek mayor dan minor. Pasien dengan efek samping
OAT minor, sebaiknya tetap melanjutkan pengobatan OAT namun diberi tambahan
terapi simtomatik. Pada pasien dengan efek samping mayor, maka paduan OAT atau
OAT penyebab sebaiknya dihentikan pemberiannya. Bila terjadi efek samping yang
masuk dalam klasifikasi berat, maka OAT segera dihentuk dan pasien dirujuk ke
fasilitas yang lebih tinggi.5

Tabel 2.4. Pendekatan berdasarkan gejala untuk mengobati efek samping OAT5

Efek Samping Kemungkinan Pengobatan


Obat Penyebab
Berat
• Ruam kulit dengan streptomisin Hentikan OAT
atau tanpa gatal isoniazid
rifampisin
pirazinamid
• Tuli Streptomisin Hentikan streptomisin

• Pusing vertigo dan Streptomisin Hentikan streptomisin


nistagmus

• Ikterik tanpa penyakit streptomisin, Hentikan OAT


hepar (hepatitis) isoniazid,
rifampisin,
pirazinamid

18
• Bingung (curigai Isoniazid, Hentikan OAT
gagal hati imbas obat pirazinamid,
bila terdapat ikterik) rifampisin
Sebagian besar
OAT
• Gangguan Etambutol Hentikan etambutol
penglihatan
(singkirkan penyebab
lainnya)

• Syok, purpura, gagal Rifampisin Hentikan rifampisin


ginjal akut (sangat
jarang terjadi, akibat
gangguan
imunologi)

• Oliguria Streptomisin Hentikan streptomisin

Ringan
• Anoreksia, mual, Pirazinamid, Berikan obat dengan bantuan
nyeri perut rifampisin, sedikit makanan atau menelan
isoniazid OAT sebelum tidur, dan
sarankan untuk menelan pil
secara lambat dengan sedikit air.
Bila gejala menetap atau
memburuk, atau muntah
berkepanjangan atau terdapat
tanda tanda perdarahan,
pertimbangkan kemungkinan
ETD mayor dan rujuk ke dokter
ahli segera.
• Nyeri sendi Isoniazid Aspirin atau obat anti inflamasi
non-steroid, atau parasetamol

19
• Rasa terbakar, kebas Isoniazid Piridoksin 50-75 mg/ hari(13)
atau kesemutan di
tangan dan kaki

• Rasa mengantuk Isoniazid Obat dapat diberikan sebelum


tidur
• Air kemih berwarna Rifampisin Pastikan pasien diberitahukan
kemerahan sebelum mulai minum obat dan
bila hal ini terjadi adalah normal
• Sindrom flu (demam, Pemberian Ubah pemberian rifampisin
menggigil, malaise, rifampisin intermiten menjadi setiap hari
sakit kepala, nyeri intermiten
tulang)

2.9.2. Non-medikamentosa
Terapi non-medikamentosa pada TB paru dapat berupa edukasi dan konseling
mengenai penyakit TB, pengobatan serta pencegahan agar tidak terjadi komplikasi.
Terapi ini terbagi atas 3 aspek, yaitu patient center, family focused dan community
oriented.11
a. Patient center
1) Konseling mengenai pentingnya pengobatan preventif dibandingkan kuratif
2) Konseling mengenai penyakit TB pada pasien
3) Konseling kepada pasien untuk melakukan kontrol rutin jika ada keluhan dan
mengambil obat di Puskesmas jika obatnya habis
4) Konseling kepada pasien untuk memeriksakan kembali dahaknya
5) Konseling kepada pasien untuk mengonsumsi makanan yang bergizi berupa
tinggi kalori dan tinggi protein
6) Konseling kepada pasien mengengai efek samping obat, seperti buang air
kecil akan berwarna merah yang menandakan reaksi obat. Selain itu juga bisa
timbul gatal-gatal dan kepala terasa pusing
7) Konseling kepada pasien untuk mengalihkan stress psikososial dengan hal-
hal yang bersifat positif
8) Edukasi mengenai gaya hidup bersih dan sehat, seperti tidak merokok serta

20
fungsi dari ventilasi dalam rumah.
b. Family focused
1) Konseling mengenai penyakit TB pada pasien dan keluarganya
2) Konseling mengenai penyakit TB yang dapat menular dengan anggota
keluarga lainnya yang dapat dicegah dengan pemakaian masker, dan tidak
membuang dahak sembarangan (di wc/kotak sampah/asbak)
3) Edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam mengingatkan pasien
mengenai rutinitas minum obat
4) Edukasi dan motivasi mengenai perlunya perhatian dukungan dari semua
anggota keluarga terhadap perbaikan penyakit pasien
5) Deteksi dini kuman TB pada keluarga yang tinggal serumah dengan pasien.
c. Community Oriented
Konseling mengenai pencegahan dan penularan penyakit TB yang berdampak
pada orang disekitarnya dalam satu komunitas. Konseling yang diberikan
mengenai penyakit tindakan yang dilakukan penderita TB agar tidak menularkan
ke tetangga seperti pemakaian masker dan tidak membuang dahak sembarangan.
2.10. Komplikasi Tuberkulosis Paru
Secara umum komplikasi TB paru jarang terjadi. Komplikasi lebih sering terjadi
pada pasien dengan faktor risiko atau pasien dengan komorbid. Beberapa komplikasi
yang sering muncul pada tuberkulosis adalah:9,10
• Kerusakan paru yang luas

• Acute respiratory distress syndrome


• Penyebaran milier (TB diseminata) termasuk meningitis TB
• Empiema
• Pneumotoraks
• Amiloidosis sistemik
• Efusi pleura

21
2.11. Prognosis Tuberkulosis Paru
Pada umumnya, prognosis TB paru baik jika pasien melakukan terapi sesuai
dengan ketentuan pengobatan. Hampir seluruh pasien TB dengan imunitas yang baik,
serta didukung oleh perawatan yang baik dapat disembuhkan.1 Rejimen pengobatan
yang digunakan saat ini memiliki tingkat kekambuhan kurang dari 5%. Oleh sebab
itu, prognosis TB sangat bergantung dari pengobatan yang dilakukan. Namun pada
pasien TB dengan komorbid, prognosis dapat menjadi kurang baik.8 Selain itu tanpa
adanya pengobatan, angka kematian TB dapat mencapai lebih dari 50%. Kelompok
pasien yang lebih rentan terhadap prognosis buruk, atau memiliki risiko kematian
lebih tinggi setelah infeksi TB adalah sebagai berikut:10
• Usia lanjut, bayi, anak kecil
• Terlambat menerima pengobatan
• Hasil pemeriksaan radiologis telah terjadi lesi yang menyebar luas
• Gangguan pernapasan berat yang membutuhkan alat bantu napas
• Pasien dengan imunokompromais
• Pasien dengan TB MDR

22
BAB 3
PENUTUP

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit kronik menular, yang disebabkan oleh
infeksi bakteri berbentuk batang, yaitu bakteri M.TB. Penyakit ini sebagian besar mengenai
daerah parenkim paru. Hingga saat ini, Indonesia menduduki peringkat ke-2 kasus TB
tertinggi di dunia. Penyebab dari TB paru adalah bakteri M.TB yang menular dari manusia
ke manusia lain melalui rute udara, dengan droplet nucleus yang keluar ketika seseorang
dengn infeksi TB bersin, batuk, atau bicara. Tuberkulosis diklasifikasikan dalam beberapa
kategori, yaitu berdasarkan lokasi anatomisnya, berdasarkan hasil kepekaan uji obat,
berdasarkan riwayat pengobatan, dan berdasarkan status HIV.

Kelompok orang yang berisiko rentan tertular TB adalah orang dengan HIV positif
dan penyakit imunokompromais lain, orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam
jangka waktu panjang, perokok, orang dengan konsumsi alcohol tinggi, anak berusia kurang
dari 5 tahun dan lansia, berkontak erat dengan orang terinfeksi TB paru aktif yang infeksius,
berada di lembaga permasyarakatan atau fasilitas perawatan jangka panjang, serta petugas
kesehatan. Patogenesis dari TB adalah ketika seseorang menghirup droplet nucleus dari
seseorang dengan TB paru aktif, maka droplet nucleus tersebut akan masuk ke alveolus, yang
kemudian akan dicerna oleh makrofag. Setelah di dalam makrogaf alveolus, bakteri
kemudian berkembang dan melakukan multiplikasi. Bakteri akan tumbuh perlahan dan
membelah setiap 23-32 jam sekali di dalam makrofag. Pertumbuhan akan terus terjadi dalam
2-12 minggu, hingga jumlahnya cukup untuk menimbulkna respon imun seluler yang dapat
terdekteksi pada uji tuberkulin skin test. Setelah itu, bakteri akan merusak makrofag dan
mengeluarkan tuberkul basilus serta kemokin yang akan menstimulasi respon imun.
Manifestasi klinis yang paling sering timbul adalah batuk selama 2 minggu atau lebih, dapat
disertai dengan sesak napas, demam, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan,
malaise, menggigil dan keringat malam hari.

Pengobatan yang dilakukan untuk kasus baru lini pertama adalah selama 6 bulan, yaitu
dengan rejimen rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol selama 2 bulan, kemudian
rifampisin dan isoniazid selama 4 bulan. Komplikasi TB paru jarang terjadi, kecuali pada pasien yang
memiliki komorbid. Prognosis TB paru pada umumnya baik, namun dapat memburuk jika pasien
tidak patuh minum obat atau pasien memiliki komorbid lain.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Fitzpatrick ME, Prendergast NT, Rivera-Lebron B. Chapter 9 pulmonary disease. In:


Padapakis MA, McPhee SJ, Rabow MW. Current medical diagnosis & treatment
[eBook]. 61st ed. United States: McGraw Hill; 2022. 278-86 p.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia tahun 2019
[pdf]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta; 2020. 153-8 p.
3. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Tuberkulosis [pdf]. Kementerian
Kesehatan RI: Jakarta; 2018. 1-6 p.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Dashboard TB [internet]. [place unknown];
2021 Oct 4 [cited 2021 Dec 8]. Available from: https://tbindonesia.or.id/pustaka-
tbc/dashboard-tb/.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional pelayanan kedokeran:
tatalaksana tuberkulosis [pdf]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta;
2020. 9-38 p.
6. Mohan H. Textbook of pathology [eBook]. 6th ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers (P) Ltd; 2010. 149-57 p.
7. Lisnawati, Saraswati M. Chapter 13 Paru. In: Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Buku ajar
patologi Robbins [eBook]. Ham MF, Saraswati M, editor. 10th ed. Singapore:
ELSEVIER; 2020. 521-7 p.
8. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan primer [pdf]. 1st ed. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia:
Jakarta; 2017. 7-10 p.
9. Paramothayan S. Essential respiratory medicine [eBook]. USA: John Wiley & Sons Ltd;
2019. 188-97 p.
10. Adigun R, Singh R. Tuberculosis [internet]. USA; updated 2021 July 25 [cited 2021 Dec
8]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441916/.
11. Zettira Z, Sari MI. Penatalaksanaan kasus baru TB paru dengan pendekatan kedokteran
keluarga. Jurnal Medula Unila. 2017;7(3):69-79.

24

Anda mungkin juga menyukai