Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

TUBERKULOSIS PARU

Pembimbing :

dr. Agus Suharto B., Sp.P

Disusun Oleh :

Ratih Dyah Ayu Anggraini 201810401011096

Risa Qohardita 201810401011070

SMF ILMU PARU

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH iMALANG

2019
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT
TUBERKULOSIS PARU

Referat dengan

Referat dengan judul “Tuberkulosis Paru” telah diperiksa dan disetujui sebagai

salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di

bagian SMF Paru RSU Haji Surabaya.

Surabaya, Januari 2019

Pembimbing

ii
dr. Agus Suharto B., Sp.P
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah

Yang Maha Esa serta berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan referat dengan judul “Tuberkulosis Paru”. Begitu pula Dialah

yang menyelaraskan gerakan tangan dan pikiran dalam merangkai huruf menjadi

sebuah kata dan berbuah kalimat dalam penulisan referat ini. Segala sesuatu yang

benar dalam referat ini datangnya dari Allah SWT dan segala kekeliruan dalam

penulisan referat ini datangnya dari diri penulis pribadi.

Dalam penyelesaian referat ini penulis banyak mengalami kesulitan, tetapi

berkat dukungan dan bimbingan serta bantuan dari dosen pembimbing dalam

rangka penyusunan referat ini dan dorongan dari berbagai pihak, akhirnya penulis

dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna, sehingga

masih membutuhkan saran yang membangun dari berbagai pihak. Penulis

berharap referat ini dapat menjadi wujud ibadah penulis kepada Allah SWT dan

dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Malang, 21 Januari 2019

iii Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................i

Lembar Pengesahan.........................................................................................ii

Kata Pengantar................................................................................................iii

Daftar Isi .................................................................................................iv

Daftar Gambar.................................................................................................v

Daftar Tabel .................................................................................................v

BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................3

2.1 Definisi...........................................................................................3

2.2 Epidemiologi..................................................................................3

2.3 Etiologi dan Cara Penularan..........................................................4

2.4 Faktor Resiko TB...........................................................................5

2.5 Patofisiologi TB.............................................................................5

2.6 Definisi Pasien TB.........................................................................9

2.7 Klasifikasi TB...............................................................................10

2.8 Diagnosis TB Paru........................................................................11

2.9 Pengobatan Pasien TB Paru..........................................................19

2.10 Hasil Pengobatan Pasien TB Paru...............................................21

2.11 Monitoring Terapi.......................................................................22

BAB 3 KESIMPULAN................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................36

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alur Penanggulangan TB........................................................... 18

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Daftar OAT lini pertama dan efek sampingnya............................. 17

Tabel 2.2 Tabel aturan pakai FDC untuk pasien TB kategori I.....................18

Tabel 2.3 Tabel aturan pakai kombipak untuk pasien TB kategori I.............18

Tabel 2.4 Tabel aturan pakai FDC untuk pasien TB kategori II....................19

Tabel 2.5 Tabel aturan pakai kombipak untukpasien TB kategori II.............19

Tabel 2.6 Pemeriksaan untuk pemantauan hasil pengobatan.........................20

Tabel 2.7 Tabel hasil pengobatan pasien TB.................................................21

v
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan

oleh Mycobacterium tuberculosis, bakteri berbentuk batang yang bersifat aerobik

dan tahan asam, merupakan organisme patogen maupun saprofit. Jalan masuk

untuk organisme ini adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan luka

terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi tuberkulosis (TB) menyebar melalui

udara, melalui terhirupnya nukleus droplet yang berisikan organisme basil

tuberkel dari seseorang yang terinfeksi (Wilson, 2012).

Baik di Indonesia maupun di dunia, TB masih tetap menjadi masalah

kesehatan dunia yang utama dan belum terselesaikan. Walaupun sudah lebih dari

seabad sejak penyebabnya ditemukan oleh ilmuwan Jerman, Robert Koch, pada

tahun 1882, TB belum dapat diberantas bahkan terus berkembang (Wilson,

2012). Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak didunia setelah India dan

Cina untuk angka kejadian TB, diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus

TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di Indonesia pada

tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70%

usia produktif (15-50 tahun) (PNPT, 2014).

Kira-kira 5 hingga 100 populasi yang baru terinfeksi akan berkembang

menjadi TB paru, 1 hingga 2 tahun setelah terinfeksi. Pada 5% kasus akan

berkembang menjadi penyakit klinis di masa yang akan datang, sedangkan 95%

sisanya tidak. Sekitar 10% individu yang terinfeksi akan


1 berkembang menjadi TB

klinis seumur hidup mereka. Namun, risiko yang lebih besar adalah pada individu
yang imunosupresif, khususnya pada mereka yang terinfeksi HIV. Berdasarkan

data CDC tahun 1996, angka penyakit TB pada orang yang terinfeksi HIV

dengan tes tuberkulin kulit positif adalah 200 hingga 800 kali lebih besar

daripada angka untuk seluruh penduduk Amerika Serikat (Wilson, 2012).

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia, namun sampai saat

ini TB masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Sebagian besar

dari kasus TB (95%) dan kematiannya (98%) terjadi dinegara-negara yang sedang

berkembang. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih

dari 65% dari kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di

Asia. Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara

lain disebabkan oleh :

1. Kemiskinan pada berbagai penduduk

2. Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dan

perubahan struktur manusia yang hidup

3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencakupi

4. Tidak memadainya pendidikan mengenai TB diantara para dokter

5. Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana kasus TB dan

pengawasan kasur

6. Adanya epidemik HIV terutama di Afrika dan Asia

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit kronik menular yang disebabkan

oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui

droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis. Beban penyakit yang

disebabkan oleh tuberkulosis dapat diukur dengan Case Notification Rate (CNR),

prevalensi (didefinisikan sebagai jumlah kasus tuberkulosis pada suatu titik

waktu tertentu), dan mortalitas/kematian (didefinisikan sebagai jumlah kematian

akibat tuberkulosis dalam jangka waktu tertentu).

2.2 Epidemiologi

TB sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat didunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi

DOTS telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995. Dalam laporan WHO

tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan

HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilyah Afrika. (PNPT,

2014)

Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita

TBMDR (Tuberculosis Multi Drug Resistance) dan 170.000 orang diantaranya

meninggal dunia. Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar terjadi

pada pria tetapi angka kesakitan dan kematian wanita akibat TB juga sangat

tinggi. Diperkirakan terdapat 2,9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah

kematian karena TB mencapai 410.000 kasus termasuk


3 diantaranya adalah

160.000 orang wanita dengan HIV positif. Separuh dari orang dengan HIV
positif yang meninggal karena TB pada tahun 2012 adalah wanita. (PNPT, 2014)

Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi

untuk penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap

fakta juga yang menunjukkan keberhasilan dalam pengendalian TB.

Peningkatan angka insidensi TB secara global telah berhasil dihentikan

dan telah menunjukkan tren penurunan (turun 2% per tahun pada tahun

2012), angka kematian juga sudah berhasil diturunkan 45% bila

dibandingkan tahun 1990 (PNPT, 2014).

2.3 Etiologi dan Cara Penularan

Penyebab tuberkulosis (TB) adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis

kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,26/um,

yang sebagian besar dindingnya terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian

peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan

terhadap asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia

juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis (Amin, 2014).

Bakteri TB dapat hidup dalam udara kering maupun dalam keadaan

dingin (dapat tahan bertahun - tahun dalam lemari es) dimana kuman dalam

keadaan dormant. Dari sifat ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan

penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi (Amin, 2014).

Adapun cara penularan TB adalah melalui udara ketika pasien TB batuk,

bersin, berbicara atau bernyanyi. Penularan sebagian besar melalui inhalasi basil

yang terdapat pada pasien TB paru dengan batuk berdarah maupun TB dengan

BTA positif (+) (Amin, 2014). 4


2.4 Faktor Resiko TB

 Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara

berkembang

 Masalah pada kondisi sanitasi, papan, sandang dan pangan yang buruk,

tingginya angka pengangguran, tingkat pendidikan yang rendah,

mengakibatkan masyarakat rentan terhadap TB.

 Kegagalan program TB yang disebabkan oleh komitmen politik dan

pendanaan yang kurang memadai, pelayanan TB kurang terakses oleh

masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, pemantauan dan

pelaporan kurang sesuai standar, dsb.

 Gizi buruk, merokok, diabetes, dampak pandemic HIV

 Kasus yang tidak berhasil disembuhkan yang mengakibatkan Multi Drug

Resistance (MDR) sehingga terjadi epidemic TB. (PNPT, 2014)

2.5 Patofisiologi

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena

ukurannya yang sangat kecil 5µ, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei)

yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera

diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan

menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar

kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu

menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman

TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk

koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman


5 TB di jaringan paru

disebut Fokus Primer GOHN (Werdhani, 2010).


Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju

kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke

lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran

limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus

primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat

adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks

paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer

merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang

membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis)

(Werdhani, 2010).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini

berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu

yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa

inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang

waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga

mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons

imunitas seluler (Werdhani, 2010).

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan

logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi

terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat

terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.

Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas


6 terhadap

tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin


(Werdhani, 2010).

Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks

primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada

sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu sistem

imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil

kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah

terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera

dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru

biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau

kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe

regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya

biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap

hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer

dapat juga mengalami komplikasi (Werdhani, 2010).

Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di

kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan

pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan yang berat,

bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga

meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau

paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar

karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi

parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan atelektasis.

Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkejuan


7 dapat merusak dan

menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial


atau membentuk fistula. Massa keju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada

bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang

sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat

terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman

menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan

pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan

menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang

menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,

kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak

menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ

di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai

vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks

paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan

bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler

yang akan membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang sempat terbentuk

dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup

dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi

penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di

apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya

tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami


8 reaktivasi dan

menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-


lain. (Werdhani, 2010).

2.6 Definisi Pasien TB

 Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan Bakteriologis:

Adalah seorang pasien TB yang dikelompokkan berdasar hasil pemeriksaan

contoh uji biologinya dengan pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes

diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI (misalnya: GeneXpert).

Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

A. Pasien TB paru BTA positif

B. Pasien TB paru hasil biakan M. tb positif

C. Pasien TB paru hasil tes cepat M. tb positif

D. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,

biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.

E. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut diatas harus dicatat tanpa

memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai ataukah belum.

 Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:

Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis

tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk

diberikan pengobatan TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

A. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks mendukung

TB.

B. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan

histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis. 9

C. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.


Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi

bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus

diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.

2.7 Klasifikasi Tuberkulosis

A. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak  menunjukkan hasil BTA

positif

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak  menunjukkan BTA positif dan

kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak  menunjukkan BTA positif dan

biakan positif

B. Tuberkulosis paru BTA (-) adalah :

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan

kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

Berdasarkan Tipe Pasien :

A. Kasus Baru : Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan

dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

B. Kasus Kambuh (relaps) : Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya

pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh

atau pengobatan lengkap, kemudian kembali  lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai

lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka10harus dipikirkan beberapa

kemungkinan :
A. Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)

B. TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang berkompeten

menangani kasus tuberkulosis

C. Kasus Defaulted atau drop out : Adalah pasien yang telah menjalani

pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih

sebelum masa pengobatannya selesai.

D. Kasus Gagal : Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir

pengobatan) atau akhir pengobatan.

E. Kasus Kronik : Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif

setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan

pengawasan yang baik

F. Kasus Bekas TB :

 Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan

gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau

foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat

pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung

 Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah

mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak

ada perubahan gambaran radiologi.

2.8 Diagnosis Tuberkulosis Paru

Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi tersebut datas, pasien

juga diklasifikasikan menurut : 11


A. Lokasi anatomi dari penyakit

Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit:

- Tuberkulosis paru:

TB paru Adalah TB yang terjadi pada parenkim (jaringan) paru.

Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.

Limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura

tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan

sebagai TB ekstra paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga

menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.

- Tuberkulosis ekstra paru:

TB ekstra paru Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru,

misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput

otak dan tulang. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus

diupayakan berdasarkan penemuan Mycobacterium tuberculosis. Pasien TB

ekstra paru yang menderita TB pada beberapa organ, diklasifikasikan sebagai

pasien TB ekstra paru pada organ menunjukkan gambaran TB yang terberat.

B. Riwayat pengobatan sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya :

1. Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan

TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan (˂

dari 28 dosis).

2. Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien12yang sebelumnya pernah

menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya
diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir, yaitu:

• Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan

bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau karena reinfeksi).

• Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah

diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

• Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up): adalah

pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up (klasifikasi ini

sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus berobat /default).

• Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir pengobatan

sebelumnya tidak diketahui.

3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

C. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat, pengelompokan

pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari Mycobacterium

tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :

• Monoresistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja

• Poliresistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama

selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan

• Multidrug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin

(R) secara bersamaan

• Extensivedrug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga

resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon


13 dan minimal salah

satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa

resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes

cepat) atau metode fenotip (konvensional).

2.1.

1. Gejala Klinis :

a. Respiratorik

• batuk ≥ 3 minggu

• batuk darah

1. Gejala Klinis :

A. Respiratorik :

- Batuk lebih dari 3 minggu

- Batuk darah

- sesak napas

- nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada

gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang

penderita terdiagnosis pada saat medical checkup. Bila bronkus belum

terlibat dalam proses penyakit, maka penderita


14mungkin tidak ada gejala

batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus.


B. Sistemik

- Demam

- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, bb menurun.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain :

 Suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah,

tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum.1

 Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung

dari banyaknya cairan di rongga pleura.

- perkusi : pekak

- auskultasi : suara napas melemah sampai tidak terdengar pada

sisi yang terdapat cairan

 Limfadenitis tuberkulosa : Pembesaran kelenjar getah bening

leher, kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar

tersebut dapat menjadi “cold abscess”.

3. Pemeriksaan Bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis

mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan

untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan

pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan

bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan

biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

A. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan :15

Cara pengumpulan dan pengiriman bahan. Cara pengambilan dahak 3


kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau dengan cara:

 S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang

berkunjung pertama kali ke fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien

membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari

kedua.

 P (pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah

bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di

fasyankes.

B. S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi (PNPT, 2014).Cara pemeriksaan dahak dan

specimen lain dapat dilakukan dengan cara mikroskopik dan kultur.

Interpretasi dari hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali

pemeriksaan ialah bila :

 2 kali positif, 1 kali negatif :Mikroskopik positif

 1 kali positif, 2 kali negatif :ulang BTA 3 kali

 1 kali positif, 2 kali negatif :Mikroskopik positif

 3 kali negatif : Mikroskopik negative

Adapun pemeriksaan kultur dilakukan untuk mendapatkan

diagnosis pasti dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD

(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease)


16
  - Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

  - Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan : Scanty

  - Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +(+1)

  - Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++(+2)

  - Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(+3)

2. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar adalah dengan foto thoraks PA dengan atau tanpa

foto lateral. Adapun gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB

aktif :

 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus

atas paru dan segmen superior lobus bawah

 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opaque

berawan atau nodular

 Bayangan bercak milier

 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Sedangkan gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif adalah

sebagai berikut

 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas

Kalsifikasi atau fibrotik

 Kompleks ranke

Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura.

 Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru

yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru .Gambaran


17
radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit

hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.

Gambar 2.1. Alur Penanggulangan TB paru

2.9 Pengobatan Pasien TB

 Tujuan pengobatan :

- Menyembuhkan pasien dan memperbaiki 18


produktivitas serta kualitas

hidup
- Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk selanjutnya

- Mencegah terjadinya kekambuhan TB

- Menurunkan penularan TB

- Mencegah terjadinya TB resisten obat2

 Prinsip Pengobatan TB :

- Obat anti tubetkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan

TB

- Pengobatan TB merupakan merupakan salah satu upaya paling efisien untuk

mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB

- Pengobatan adekuat jika memenuhi prinsip :

- Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung 4

macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi

- Diberikan dalam dosis yang tepat

- Diminum secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas

menelan obat) sampai selesai pengobatan

- Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal

serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

 Tahapan Pengobatan TB :

- Fase Awal : Pengobatan diberikan tiap hari à menurunkan jumlah

kuman yang ada dalam tubuh (harus 2 bulan)

- Fase Lanjutan : Tahap penting untuk membunuh sisa kuman yang masih

ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien dapat

sembuh dan mencegah kekambuhan. 19


Tabel 2.1. Daftar OAT lini pertama dan efek sampingnya

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (WHO dan ISTC) adalah :

 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3

 Kategori 2 : 2(HZRE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

OAT Kategori 1 (2HRZE/ 4H3R3) diberikan untuk pasien baru, yaitu pasien

TB paru dengan tes BTA positif dan pasien TB paru dengan BTA negatif namun

foto toraks positif. Berikut adalah tabel aturan pakai FDC dan kombipak untuk

pasien kategori I :

Tabel 2.2 Tabel aturan pakai FDC untuk pasien TB kategori I

20
Tabel 2.3. Tabel aturan pakai kombipak untuk pasien TB kategori I

OAT kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) diberikan untuk pasien

BTA positif yang telah diobati sebelumnya, meliputi pasien kambuh, pasien gagal

dan pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default). Berikut adalah

tabel aturan pakai FDC untuk pasien kategori II :

Tabel 2.4. Tabel aturan pakai FDC untuk pasien TB kategori II

Tabel 2.5. Tabel aturan pakai kombipak untuk21


pasien TB kategori II
2.9 Hasil pengobatan pasien TB

Tabel 2.6. Tabel hasil pengobatan pasien TB

2.11 Monitoring Terapi

Untuk memantau progress keberhasilan terapi, dilakukan pemeriksaan

ulang dahak secara mikroskopis dengan 2 contoh uji dahak yaitu sewaktu dan

pagi. Jika 2 contoh uji dahak negatif, maka BTA (-), jika salah satu atau kedua

contoh uji dahak positif, maka BTA (+).

Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien sebelum memulai

pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA positif

merupakan suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.

Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil pemeriksaan ulang


22
dahak apakah masih tetap BTA positif atau sudah menjadi BTA negatif, pasien
harus memulai pengobatan tahap lanjutan(tanpa pemberian OAT sisipan apabila

tidak mengalami konversi). Pada semua pasien TB BTA positif, pemeriksaan

ulang dahak selanjutnya dilakukan pada bulan ke 5. Apabila hasilnya negatif,

pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai dan dilakukan

pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir pengobatan.

Tindak lanjut atas dasar hasil pemeriksaan ulang dahak mikroskopis

dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.7 Pemeriksaan untuk pemantauan hasil pengobatan

Pada pasien TB paru baik pasien baru maupun pasien relaps yang

ditangani dengan regimen lini pertama, pemeriksaan sputum dilakukan setelah

fase intensif selama 2 bulan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa hasil apusan

tahan asam bukan merupakan indikator utama untuk menentukan kegagalan

terapi.

Bila pasien menunjukkan hasil positif pada smear bulan kedua, makan

pemeriksaan smear tahan asam dilanjutkan pada bulan ketiga. Bila hasil pada

bulan ketiga masih menunjukkan hasil positif maka harus dilakukan kultur

sputum dan tes sensitivitas antibiotik. Pemeriksaan tetap


23 dilanjutkan hingga bulan

ke 5 dan ke 6. Bila masih positif maka pengobatan dianggap gagal. 4


Tabel 2. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB baru dengan regimen lini

pertama

Pada pasien yang diobati dengan regimen rifampicin, bila hasil smear

ditemukan positif pada fase intensif yang sudah selesai, tidak direkomendasikan

untuk memperpanjang fase intensif. 4

Pada pasien yang sudah pernah mendapat pengobatan sebelumnya, pasien

perlu menjalani tes kultur sputum dan sensitivitas antibiotik rifampicin dan

isoniazid sebelum memulai pengobatan. Di negara dengan tes sensitivitas

antiobitik yang rutin dilakukan, regimen pengobatan mengacu pada hasil tes

sedangkan pada negara yang jarang menjalankan tes sensitivitas antibiotik,

pengobatan didasarkan pada empirisme atau regimen MDR-TB.

Regimen yang dapat diberikan pada pasien dengan relaps dengan


24
pengobatan lini pertama adalah 2HRZES/1HRZE/5HRE dengan catatan bahwa

negara tersebut tergolong negara dengan insidensi MDR yang rendah.


Tabel 3. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB retreatmen dengan

regimen lini pertama

Saat ini obat kombinasi tetap atau Fixed Drug Combination (FDC) sering

digunakan walaupun dalam kenyataanya WHO belum mengkaji lebih lanjut

mengenai FDC. Akan tetapi WHO tetap merekomendasikan penggunaan FDC

untuk mencegah insidensi obat yang tidak terminum yang berujung pada

resistensi pengobatan.

2.12 Penatalaksanaan TB dengan Infeksi HIV

Banyak pendapat mengenai bagaimana pemberian anti tuberculosis pada

penderita HIV, berbagai pendapat berkembang mengenai apakah pemberian

antiretroviral sebaiknya diberikan bersamaan atau beberapa minggu berikutnya.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Daine et al terhadap 809 pasien

membandingkan antara kelompok penderita TB-HIV positif dengan CD4+ <250

per milimeter cubic yang diberi ART 2 minggu setelah terapi TB dimulai dengan

kelompok yang diberi anti TB 8-12 minggu kemudian. Hasil yang diperoleh

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan keparahan penyakit karena AIDS


25
terhadap kedua kelompok namun pada kelompok dengan CD4+<50 pemberian

ART lebih dini memperlambat munculnya keparahan penyakit karena AIDS.4


Penelitian oleh Salim et al terhadap 642 pasien di Afrika Selatan

menunjukkan bahwa pemberian ART 4 minggu pasca dimulainya terapi

tuberculosis pada pasien dengan CD4+ T-cell <50 per cubic millimeter

memperlambat keparahan penyakit karena AIDS. Sedangkan studi yang

dilakukan Francois et al terhadap 661 pasien di Kamboja menunjukkan bahwa

pemberian ART 2 minggu sejak dimulainya terapi tuberculosis meningkatkan

angka survivalitas pada pasien dengan CD4+ T-cell 200 per cubic millimeter atau

lebih rendah.

WHO tetap menganjurkan pemberian antiretroviral 8 minggu setelah

terapi TB dimulai terlepas dari jumlah CD4+ penderita dan berbagai penelitian

terbaru lainnya. ART yang dianjurkan adalah lini pertama yang mengandung dua

jenis nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs) ditambah satu jenis

nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Atau agen ART terbaru

lainnya seperti protease inhibitors sebagai pengobatan lini kedua. NRTI pilihan

antara lain zidovudine (AZT) atau tenofovir disoproxil fumarate (TDF),

kombinasi dengan lamivudine (3TC) atau emtricitabine (FTC). Untuk NNRTI,

WHO merekomendasikan efavirenz (EFV) atau nevirapine (NVP) (23). Pada

pasien TB, regimen ART yang direkomendasikan harus mengandung efavirenz

(EFV) karena interaksinya dengan obat TB tergolong rendah namun tidak

dianjurkan pada kehamilan.Regimen AZT +3TC + NVP atau TDF +3TC atau

FTC + NVP atau triple NRTI regimen (AZT+3TC+ABC atau AZT+3TC+TDF)

direkomendasi bila efavirenz tidak memungkinkan untuk diberikan.

2.13 Penanganan MDR-TB 26

Prinsip penanganan MDR TB yakni.


1. Obat yang digunakan setidaknya terdiri dari 4 jenis dengan pertimbangan

bahwa obat yang digunakan belum berpotensi untuk resisten atau obat tersebut

tidak pernah digunakan didaerha tersebut.Pada rencana pengobatan berdasarkan

regimen individual, obat yang akan digunakan sebaiknya berdasarkan pada hasil

tes sensitivitas obat.

2. Jangan menggunakan obat yang memiliki potensi untuk menimbulkan

resistensi silang. Resistesi silang adalah mutasi pada gen M.tuberculosis yang

dapat memberikan resistensi pada obat lain dengan golongan yang sama atau

golongan yang berbeda

3. Eliminasi obat yang tergolong tidak aman untuk diberikan pada pasien

misalnya obat yang menimbulkan alergi atau efek samping yang tidak dapat

ditolerir pasien.

4. Pemilihan lini pengobatan dilakukan berdasarkan tingkat potensi obat. Bila

obat lini pertama masih dapat digunakan untuk mengobati MDR maka regimen

tersebut dapat digunakan. Bila tidak memungkinkan maka pilihlah tingkat

regimen yang lebih tinggi. Bila obat di regimen lini pertama tidak cukup 4 jenis,

maka obat lainnya bisa diambil dari regimen yang lebih tinggi tingkatannya.

Hindari penggunaan streptomisin bila terjadi resistensi, selain itu efek

ototoksiknya juga tinggi. Berikut adalah kelompok golongan obat-obat TB.

Kelompok 1

Obat kelompok 1 merupakan obat yang sangat poten dan efek sampingnya dapat

ditolerir yakni rifampicin, Ethambutol dan Pyrazinamide. Bila hasil laboratorium

27 ini maka obat-obatan


dan pengalaman klinis mendukung efektifitas obat

golongan ini masih dapat dipakai untuk pengobatan walaupun insidensi resistensi
silang akan mungkin terjadi misalnya resistensi terhadap rifabutin akibat

penggunaan rifampicin.

Kelompok 2

Bila hasil tes sensitivitas menunjukkan hasil yang baik pada obat-obatan

golongan ini maka obat ini perlu digunakan. Obat golongan ini adalah

aminoglikosida dan yang sering direkomendasikan adalah kanamycin dan

amikacin karena efek samping ototoksitas yang lebih rendah dibanding

streptomycin. Bila terjadi resistensi amikacin dan kanamycin, capreomycin dapat

digunakan.

Kelompok 3.

Floroquinolon dapat diberikan pada pasien dengan infeksi tuberculosis yang

sensitif dengan golongan ini seperti levofloxacin dan moxifloxacin, Ciprofloxacin

tidak lagi direkomendasikan untuk pengobatan TB resisten.

Kelompok 4

Ethionamide atau protionamide sering ditambahkan dalam regimen pengobatan.

P-aminosalicylic acid (PAS) juga dapat diberikan terlebih dulu. Kombinasi PAS

dan Ethionamid terkadang sering memberikan efek gastrointestinal dan

hypothyroidisme Cycloserine juga dapat ditambahkan kedalam regimen

pengobatan. Tiga agen ini sering dipakai secara bersamaan. Terizidone dapat pula

digunakan untuk menggantikan cycloserin

Kelompok 5.

Kelompok 5 tidak direkomendasikan oleh WHO dalam penggunaan rutin untuk

mengatasi TB resisten karena efektifitasnya yang masih


28 tidak jelas. Regimen ini

membutuhkan pendapat para ahli terutama dalam penanganan XDR TB


Tabel 3. Kelompok obat-obat anti tuberculosis

Pada penanganan MDR-TB, fase intensif didefinisikan sebagai fase terapi dengan

obat injeksi selama minimum 6 bulan hingga sedikitnya 4 bulan sejak apusan

BTA menjadi negatif. Pemberian obat juga perlu mempertimbangkan hasil

apusan, X ray dan gejala klinik dan dapat diperpanjang bila perlu. Hasil kultur

menentukan waktu terapi MDR. Terapi harus dilanjutkan 18 bulan setelah

konversi kultur. Konversi kultur didefinisikan sebagai hasil kultur negatif selama

2 kali berturut-turut dengan rentang pemeriksaan 30 hari. Bila terjadi kasus

kronik, pengobatan dapat dilanjutkan hingga 24 bulan.


29
1.7 Komplikasi TB Paru
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum

pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.

Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah :

1.7.1 Batuk darah

Hemoptisis adalah batuk dengan sputum yang mengandung darah yang

berasal dari paru atau percabangan bronkus. Darah hemoptisis harus berasal dari

saluran pernapasan bawah, jika berasal dari saluran pernapasan atas atau dari

pencernaan maka kasus ini tidak digolongkan hemoptisis (Kusmiati T. Dan

Wulandari L. 2011). Mekanisme terjadinya hemoptisis pada pasien TB bisa

terjadi pada penderita infeksi TB paru atau bekas penderita TB paru. Pada

penderita TB terjadi rusaknya susunan parenkim paru dan pembuluh darah paru,

bila ada pembuluh darah yang terkena dan kemudian pecah. Tergantung dari

besarnya pembuluh darah yang pecah maka akan terjadi batuk darah ringan,

sedang, atau berat tergantung dari berbagai faktor. Pecahnya aneurisma

Rasmussen penyebab batuk darah massif pada penderita TB paru ataupun pada

bekas penderita TB (Pitoyo, 2006 dan Arief, 2009).

1.7.2 Pneumotoraks

Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam

pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (Bowman, 2010).

Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua,

yaitu Pneumotoraks spontan dan traumatic (Sudoyo, 2009) :

1. Pneumotoraks spontan

Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara


30 tiba-tiba. Pneumotoraks

tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :


a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara

tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.

b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan

didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya,

misalnya TB Paru, infeksi paru non-TB, fibrosis kistik, penyakit paru

obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, dan asma.

2. Pneumotoraks traumatic

Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma

penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada

maupun paru.

2.8.3. Efusi pleura

Efusi pleura merupakan keadaan dimana terdapatnya akumulasi cairan

pleura dalam jumlah yang berlebihan didalam rongga pleura, yang disebabkan

oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura.

Cairan dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu pernapasan dengan

membatasi peregangan paru selama inhalasi. Ada beberapa jenis cairan yang bisa

berkumpul di dalam rongga pleura antara lain darah, pus, cairan seperti susu dan

cairan yang mengandung kolesterol tinggi (Tobing dan Widirahardjo, 2013).

Salah satu jenis efusi pleura adalah tipe eksudatif yang timbul didahului

oleh keradangan pleura atau pleuritis. Penyebab terbanyak pleuritis adalah

keradangan jaringan paru yang meluas ke pleura sekitarnya, misalnya

bronkopneneumonia, TB paru, dan sebagainya. Akibat peradangan ini terjadi

peningkatan permeabilitas pembuluh darah atau hambatan


31 dalam aliran limfe,

maka yang terakumulasi adalah cairan yang berupa eksudat (Hariadi, 2013).
BAB III

KESIMPULAN

1. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronik menular yang disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Selain menyerang paru, TB juga

kemungkinan dapat menyerang organ lain. Sumber


32 penularan TB adalah

pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri menyebar ke udara dalam
bentuk droplet. Saat droplet terhirup melewati sistem pertahanan mukosilier

bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana.

Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya tahan tubuh masing-masing

individu.

2. Diagnosis TB dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Gejala klinis utama TB paru adalah batuk terus

menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang

mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada,

badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa lemas badan

(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam lebih dari

sebulan.

3. Komplikasi dari TB paru antara lain dapat timbul Hemoptoe, Pneumotoraks,

dan efusi pleura, obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor

pulmonal, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB

milier dan kavitas TB).

4. Tipe pasien TB paru berdasarkan riwayat pengobatan dibagi menjadi: kasus

baru, relaps, drop out, gagal, pindahan, kasus kronis dan tuberkulosis

resistensi ganda.

5. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan

dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk

kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat

dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT)

yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid


33 (Z), Streptomisin (S)

dan Etambutol (E)


6. Hasil pengobatan TB paru dbedakan menjadi: sembuh, pengobatan

lengkap,gagal, putus berobat, dan meninggal.

DAFTAR PUSTAKA

- Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis Dan

Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. PDPI. Jakarta, 2006.

- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman34 Nasional Pengendalian

Tuberkulosis. KEMENKES RI. 2014


- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pusat Data dan Informasi.

InfoDATIN. Jakarta, 2018.

- Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan TB

( Konsesus TB ). PDPI. Jakarta, 2006.

- World Health Organization. Treatment of tuberculois, guidelines. Geneva:

World Health Organization. 2017

- Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis

Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2012 : 852-64.

- Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I

, Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV.

Jakarta Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2014: 998-

1005, 1045-9.

- Werdhani. 2010. Patofosiologi, Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis.

Jakarta. Hal. 1-10.

35

Anda mungkin juga menyukai