Anda di halaman 1dari 25

DETERMINAN MASALAH KESEHATAN

TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (TB RO)

LAPORAN
Diajukan Untuk Mencapai Kompetensi Mata Kuliah Current Issue Epidemiologi

Dosen Pengampu : Puji Laksmini., S.Kep., Ns., M.K.M

Nama Anggota :

Dica Puspita K. H. 184101057


Irfan Priyana 184101056
M. Gofar Al-Ayubi 184101060

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan penulisan
makalah “DETERMINAN MASALAH KESEHATAN TUBERKULOSIS
RESISTAN OBAT (TB RO)” pada tepat waktunya. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Current Issue Epidemiologi.

Penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari
beberapa pihak, mulai dari tahap awal hingga selesai. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang secara langsung
atau tidak langsung telah berkontribusi dalam pembuatan laporan ini khususnya
kepada Ibu Puji Laksmini., S.Kep., Ns., M.K.M selaku dosen pengampu mata
kuliah Current Issue Epidemiologi.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, sehingga untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik, saran, dan
masukan yang membangun sangat kami butuhkan untuk dijadikan pedoman dalam
penulisan ke arah yang lebih baik lagi. Semoga makalah yang telah dibuat ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Tasikmalaya, September 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
A. Latar Belakang ................................................................................................1
B. Tujuan ............................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
A. Definisi Tuberkulosis Resistan Obat (TB RO) ...............................................4
B. Gejala Klinis TB RO ......................................................................................5
C. Kategori Resistansi Terhadap OAT ................................................................5
D. Faktor Yang Menyebabkan TB RO ................................................................6
E. Kriteria Terduga TB RO .................................................................................6
F. Penegakkan Diagnosis TB RO .......................................................................7
BAB III ANALISIS ISU ........................................................................................10
A. Situasi TB .....................................................................................................10
B. Faktor Risiko ................................................................................................12
C. Program Pemerintah .....................................................................................15
D. Solusi ............................................................................................................17
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN .....................................................................20
A. Simpulan .......................................................................................................20
B. Saran .............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberculosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh kuman tuberculosis, M. africanum. Bovis, M.leprae yang juga dikenal
sebagai bakteri tahan asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada
saluran pernapasan yang dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other
Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis
dan pengobatan TB. Tuberculosis merupakan salah satu penyebab
morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi pada anak. Setiap tahun
diperkirakan 9 juta kasus TB paru dan 2 juta di antarnya meninggal.
(Marlinae L at.all 2019).
Penyakit Tuberculosis (TB) secara global masih menjadi ancaman
yang signifikan bagi kesehatan terutama di negara dengan penghasilan
rendah dan berkembang serta dapat menyebabkan kematian sebesar 95%
(McNeal & Selekmen, 2017). Pasien dengan TB dapat mengalami suatu
kondisi yang resistensi terhadap antibiotik terutama golongan Rifampicin
dan Isoniazid atau dapat disebut dengan istilah Multi Drug Resistance
(MDR). Penderita TB yang sudah mengalami MDR tidak dapat
disembuhkan dengan standar pengobatan pertama TB (Seung, Keshavjee,
& Rich, 2015). World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa
sekitar sepertiga populasi dunia sebanyak 2 miliar orang terinfeksi TB-
MDR agen penyebab TB (Tembo & Malangu, 2019).
Mengacu pada WHO Global TB report tahun 2019, 10 juta orang di
dunia menderita TBC tertinggi di dunia dengan orang yang jatuh sakit akibat
TBC mencapai 465.000 dengan angka kematian sebanyak 1.400.000 atau
setara dengan 4000 nyawa setiap hari. Sedangkan kasus yang terjadi di
Indonesia sebanyak 344.992 kasus pada tahun 2020 dengan angka 13.947
kematian tuberculosis (TB) pada tahun 2020 (data per 16 April 2021).
Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis pada laki-laki tiga kali
lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. (Kementrian Kesehatan RI,

1
2

2020). Dan untuk provinsi Jawa Barat kasusnya paling tinggi namun Case
Detection Rate (CDR) sebesar 96,2%, artinya sudah melebihi target WHO
yaitu sebesar ≥ 90%.
Pasien MDR TB pernah mendapatkan terapi obat anti tuberkulosis
sebelumnya dan menjadi resisten terhadap obat jenis isoniazid dan
rifampicin karena beberapa faktor (Manari et al., 2011). Kementerian
Kesehatan Indonesia melakukan penelitian tentang faktor penyebab
timbulnya MDR TB disebabkan tiga hal yaitu faktor dari petugas kesehatan,
program pengendalian tuberkulosis dan pasien. Faktor pasien yaitu pasien
tidak mentaati anjuran dari petugas kesehatan, pasien tidak teratur menelan
obat anti tuberkulosis, pasien memutuskan pengobatan secara sepihak
sebelum waktu yang telah disepakati, dukungan keluarga terhadap
pengobatan dan gangguan penyerapan obat anti tuberculosis (Kementerian
Kesehatan RI, 2018). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun
2018 menyebutkan bahwa faktor yang menyebabkan pasien MDR TB yaitu
tidak rutin minum obat yaitu sering lupa minum obat, obat tidak tersedia,
tidak tahan efek samping obat, masa pengobatan terasa lama, tidak mampu
membeli obat, tidak rutin berobat, kurangnya dukungan keluarga untuk
mengawasi minum obat dan merasa sudah sembuh (Kementerian Kesehatan
RI, 2018).
Dukungan keluarga mempengaruhi perilaku pasien dalam menjalani
pengobatan (Fonner & Drph, 2013). Bagi Pasien yang memiliki pasangan
hidup akan sangat berperan untuk membantu kesembuhannya. Persepsi baik
dapat mempengaruhi pasien melakukan pencegahan penyakit dalam
menjalani pengobatan MDR TB. Pasien MDR TB mendapatkan manfaat
dari pengobatan dengan harapan sembuh. Harapan sembuh dari pasien
MDR TB terutama dipengaruhi oleh dukungan dari pasangan hidup pasien
(Nurhayati, Kurniawan, & Mardiah, 2015). Pasangan hidup juga
mempunyai peran penting dalam kepatuhan pengobatan karena adanya
kedekatan batin antara suami istri. Pasien MDR TB yang telah mempunyai
pasangan hidup juga rentan mengalami persepsi yang buruk terhadap
pasangan karena menganggap pasangan rentan tertular penyakit MDR TB.
3

Dukungan dari pasangan dibutuhkan ketika persepsi buruk muncul pada


pasien MDR TB (Dewi, Prabamurti, & Indraswari, 2019).
Faktor risiko peningkatan kasus Tuberkulosis meliputi faktor
karaktersitik (usia, jenis kelamin, pendidikan, gaya hidup dan perilaku),
sosial dan ekonomi, kepadatan hunian, perpindahan penduduk, riwayat
kontak dengan penderita Tuberkulosis, status gizi, status imunisasi dan
penyakit penyerta.
B. Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tujuan makalah ini
yaitu untuk melakukan analisis mendalam terkait situasi TB di Indonesia
serta solusi yang dapat diajukan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tuberkulosis Resistan Obat (TB RO)


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh bakteri TB yaitu Mycobacterium tuberculosis
(Kemenkes,2015). TB menjadi salah satu dari 10 penyebab utama kematian
secara global dan menjadi penyebab utama kematian dari satu agen yang
infeksius (WHO, 2016). Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, yaitu :
M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae, dsb., yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
Bakteri TB pada umumnya menyerang paru, penularannya dapat
melalui percikan dahak pasien TB paru BTA positif. Semakin tinggi derajat
positif hasil pemeriksaan dahak, maka semakin tinggi daya penularan pasien
tersebut. Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium
tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal
sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang
dapat mengganggu dalam proses penegakan diagnosis dan pengobatan TB.
Secara umum sifat bakteri Mycobacterium tuberculosis, yaitu sebagai
berikut :
1. Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.
2. Bersifat tahan asam dalam perwanraan dengan metode Ziehl Neelsen,
berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah
mikroskop.
3. Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen,
Ogawa.
4. Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka
waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
5. Bakteri sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet.
Paparan langsung terhadap sinar ultra violet dapat membuat sebagian
besar bakteri akan mati dalam waktu beberapa menit.
6. Bakteri dapat bersifat dorman.

4
5

Tuberkulosis Resistan Obat (TB RO) merupakan terjadinya resistansi


terhadap bakteri Mycobacterium tuberculosis, dimana bakteri tersebut kebal
atau tidak dapat dibunuh dengan Obat Anti TB (OAT) yang sudah
digunakan sebelumnya, sehingga harus diobati oleh obat lain yaitu Obat
Anti TB RO (Seccond Line Drug).

B. Gejala Klinis TB RO
Gejala TB RO sama dengan gejala TB pada umumnya, yaitu :
1. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi
gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan.
2. Demam lama (≥ 2minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi.
3. Batuk ≥ 2 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika atau
obat asma (sesuai indikasi).
4. Lesu atau malaise.
C. Kategori Resistensi terhadap OAT
Terdapat 6 kategori resistensi terhadap obat TB yaitu :
1. Monoresistansi, yaitu resistansi terhadap salah satu OAT lini pertama,
misalnya resistansi terhadap isoniazid (H).
2. Poliresistansi, yaitu resistansi terhadap lebih dari satu OAT lini pertama
selain dari kombinasi obat isoniazid dan rifampisin (HR), misalnya
resistan isoniazid dan etambutol (HE), rifampisin etambutol (RE),
isoniazid etambutol dan streptomisin (HES), atau rifampisin, etambutol
dan streptomisin (RES).
3. Multidrug Resistance (MDR), yaitu resistansi terhadap isoniazid dan
rifampisin (HR), dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya
resistan HR, HRE, HRES
6

4. Pre-XDR, yaitu TB MDR yang disertai resistansi terhadap salah salah


satu obat golongan fluorokuinolon atau salah satu dari OAT injeksi lini
kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin)
5. Extensively Drug Resistance (XDR), yaitu TB MDR disertai resistansi
terhadap salah salah satu obat golongan fluorokuinolon dan salah satu
dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin dan amikasin).
6. TB Resistan Rifampisin (TB RR), yaitu Resistan terhadap rifampisin
(dalam bentuk monoresistan, poliresistan, TB MDR, TB XDR) yang
terdeteksi menggunakan metode fenotipik ataupun genotipik, dengan
atau tanpa resistansi terhadap obat antituberkulosis lain.
D. Faktor Yang Menyebabkan TB RO
Faktor penyebab yang paling utama terjadinya resistansi bakteri
terhadap OAT yaitu akibat tata laksana pengobatan pasien TB yang tidak
sesuai standar (adekuat). Resistansi OAT dapat disebabkan oleh 3 faktor,
yaitu :
1. Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan sebagai pemberi jasa melakukan diagnosis yang tidak
tepat dan pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat. Selain itu,
dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat,
serta penyuluhan kepada pasien yang tidak adekuat.
2. Pasien
Hal ini berkaitan dengan kepatuhan pengobatan pasien, yaitu : tidak
mematuhi anjuran dokter, tidak teratur menelan paduan OAT dan
menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya. Selain itu,
pasien memiliki gangguan penyerapan obat.
3. Program Pengendalian TB
Hal ini berkaitan dengan persediaan OAT yang kurang dan rendahnya
kualitas OAT yang disediakan.
E. Kriteria Terduga TB Resistan Obat
Pada dasarnya, terduga TB RO adalah semua orang yang mempunyai
gejala TB dengan satu atau lebih riwayat pengobatan atau kriteria sebagai
berikut :
7

1. Pasien TB gagal pengobatan dengan OAT kategori 2


2. Pasien TB pengobatan OAT kategori 2 yang tidak konversi
3. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB tidak standar atau
menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua selama minimal 1
bulan
4. Pasien TB gagal pengobatan dengan OAT kategori 1
5. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi
6. Pasien TB kasus kambuh setelah pengobatan OAT kategori 1 ataupun
kategori 2
7. Pasien TB yang kembali setelah putus berobat
8. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB RO
9. Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak responsif secara klinis maupun
bakteriologis terhadap pemberian OAT (bila penegakan diagnosis TB di
awal tidak menggunakan TCM)

Pasien yang sudah terdiagnosis TB RO dan menjalani pengobatan


juga dapat kembali menjadi terduga TB RO. Beberapa kriteria terduga TB
RO yang telah mendapatkan pengobatan sebelumnya yaitu sebagai berikut
:

1. Pasien TB RO yang gagal pengobatan


2. Pasien TB RO kasus kambuh
3. Pasien TB RO yang kembali setelah putus berobat

Terduga TB RO baik dari kelompok pasien yang belum pernah


mendapatkan pengobatan maupun yang telah diobati merupakan pasien
dengan risiko tinggi mengalami TB RO, dan harus segera dilanjutkan
dengan penegakan diagnosis menggunakan pemeriksaan Tes Cepat
Molekuler (TCM).

F. Penegakkan Diagnosis TB RO
Beberapa jenis pemeriksaan laboratorium mikrobiologi yang
digunakan untuk penegakan diagnosis maupun pemantauan pengobatan TB
RO antara lain :
1. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM)
8

Pemeriksaan TCM dengan alat Xpert MTB/RIF merupakan tes


amplifikasi asam nukleat secara otomatis untuk deteksi bakteri M.
tuberculosis complex dan gen resistansi terhadap rifampisin (rpoB).
Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam.
Hasil pemeriksaan TCM terdiri dari :
a. MTb terdeteksi dengan hasil Rifampisin berupa
1) Rifampisin Resistan terdeteksi atau hasil “Rif Res”
2) Rifampisin Resistan tidak terdeteksi atau hasil “Rif Sen”
3) Rifampisin Resistan Indeterminate atau hasil “Rif Indet”
b. MTb tidak terdeteksi atau hasil “negatif”
c. Hasil gagal yaitu invalid, no result, atau error
2. Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis BTA dilakukan dengan pewarnaan
Ziehl-Neelsen. Pemeriksaan ini merupakan bagian dari uji kepekaan
yang dilakukan segera setelah pasien terkonfirmasi TB Rifampisin
Resistan sebelum pasien memulai pengobatan TB RO. Selain itu,
pemeriksaan mikroskopis juga dilakukan sebagai bagian dari
pemeriksaan biakan follow up selama masa pengobatan yang dilakukan
sesuai jadwal. Hasil pemeriksaan mikroskopis berupa hasil positif
(dengan gradasi scanty, 1+, 2+, 3+) serta hasil negatif. Interpretasi hasil
pemeriksaan mikroskopis dapat dilihat pada dokumen Petunjuk Teknis
Pemeriksaan Miskroskopis TB.
3. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan bertujuan untuk menumbuhkan dan
mengidentifikasi bakteri MTb menggunakan media media padat
(Lowenstein Jensen / LJ) atau media cair (Mycobacteria Growth
Indicator Tube / MGIT). Masing-masing metode tersebut memiliki
kelebihan dan kekurangan. Biakan menggunakan media padat relatif
lebih murah dibanding media cair tetapi memerlukan waktu yang lebih
lama yaitu 3-8 minggu. Sebaliknya bila menggunakan media cair hasil
biakan sudah dapat diketahui dalam waktu 1-2 minggu tetapi
memerlukan biaya yang lebih mahal. Hasil pemeriksaan biakan dengan
9

media padat adalah hasil positif (dengan gradasi) maupun negatif,


sedangkan hasil pemeriksaan biakan dengan media cari adalah hasil
positif (tanpa gradasi) dan negatif.
4. Pemeriksaan Uji Kepekaan secara Fenotipik
Uji kepekaan M. tuberculosis complex dilakukan untuk
mengetahui adanya resistansi bakteri Mtb terhadap OAT. Pemeriksaan
laboratorium untuk uji kepekaan M. tuberculosis complex dilakukan
dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode
fenotipik dan metode genotipik. Metode fenotipik menggunakan media
padat (LJ) maupun cair (MGIT). Saat ini, pemeriksaan uji kepekaan
secara konvensional dalam Program Penanggulangan TB hanya
dilakukan menggunakan media cair (MGIT). Pemeriksaan ini harus
dilakukan oleh laboratorium yang sudah tersertifikasi oleh laboratorium
rujukan nasional TB.
5. Pemeriksaan LPA Lini Dua
LPA merupakan salah satu uji kepekaan dengan metode
genotipik. LPA lini pertama dapat mendeteksi resistansi terhadap obat
rifampisin (rpoB), isoniazid (inhA dan katG) dan ethionamide/
prothionamide (inhA), sedangkan LPA lini kedua untuk mendeteksi
resistansi pada obat golongan flurokuinolon (gyrA dan gyrB) dan obat
injeksi TB lini kedua (eis dan rrs).
BAB III

ANALISIS ISU

A. Situasi TB
Menurut Global Tuberculosis Report 2020 yang dirilis oleh WHO pada
15 Oktober 2020, dunia tidak berada di jalur yang tepat untuk mencapai
tujuan Strategi END TB tahun 2020 yaitu mengurangi TB sebesar 20 persen
dari jumlah kasus tahun 2015-2018. Namun, antara 2015 dan 2019,
penurunan kumulatif kasus TB hanya sebesar 9% yaitu dari 142 menjadi
130 kasus baru per 100.000 penduduk, termasuk pengurangan 2,3% antara
2018 dan 2019.
Adapun jumlah kasus baru di dunia pada tahun 2019 mencapai 10,0 juta
kasus. Hampir setengah juta orang mengembangkan TB yang resistan
terhadap rifampisin (RR-TB), di mana 78% di antaranya memiliki TB yang
resistan terhadap berbagai obat (MDR-TB). Tiga negara dengan bagian
terbesar dari beban global adalah India (27%), Cina (14%) dan Federasi
Rusia (8%). Secara global pada tahun 2019, 3,3% dari kasus TB baru dan
17,7% dari kasus yang sebelumnya diobati memiliki MDR/RR-TB.
Proporsi tertinggi (>50% pada kasus yang sebelumnya dirawat) berada di
negara-negara bekas Uni Soviet.

Gambar 1
Angka insiden Tuberculosis Dunia 2019
(Tuberculosis Global Report)

10
11

Angka insiden tuberkulosis Indonesia pada tahun 2019 sebesar 312 per
100.000 penduduk dan angka kematian penderita tuberkulosis sebesar 40
per 100.000 penduduk. (Global Tuberculosis Report WHO, 2020). Hal ini
menunjukan penurunan dari tahun sebelumnya dimana angka insiden
tuberkulosis pada tahun 2018 sebesar 316 per 100.000 penduduk. (Global
Tuberculosis Report WHO, 2019). Pada tahun 2019 Terdapat total kasus
TBC mencapai 845,000 kasus, dan hanya 67% yang melakukan pengobatan.
Dari jumlah kasus tersebut, diperkirakan 24,000 kasus merupakan kasus
pasien TBC Resistan Obat (TBC RO) dengan tingkat mulai pengobatan
(enrollment rate) sebesar 48% atau 5,531 pasien dari 11,463 yang
terkonfirmasi TBC RO.
Jumlah kasus tertinggi dilaporkan dari provinsi dengan jumlah
penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Total
Kasus TB di Jawa Barat mencapai 127.906 kasus yang terdiri dari 54,5%
laki-laki dan 45,5% perempuan. Disamping itu, Case Detection Rate Jawa
Barat sudah mencapai 96% yang artinya sudah melebihi target WHO yaitu
90%.
Berdasarkan data Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB) per 16 Juli
2020, selama bulan Januari – Juni 2020, jumlah kasus TB di Indonesia
mengalami tren penurunan cukup besar, di bulan Januari sejumlah 31.216
kasus sedangkan di bulan Juni 11.839 kasus. Apabila dibandingkan dengan
tahun 2019 penurunan kasus terlihat sangat jelas. Pada bulan Januari, ada
selisih jumlah kasus sebesar 21.957 kasus. Untuk lebih jelasnya pada
gambar di bawah ini.
12

Gambar 2
Kasus TB Januari-Juli tahun 2019-2020
Sumber : SITB per 16 Juli 2020

Lain hal nya dengan data kasus TB RO yang mengalami peningkatan


pada Triwulan 1-2 tahun 2020 yaitu sebanyak 5398 kasus dibandingkan
Triwulan 1-2 tahun 2019 sebanyak 5632 kasus. Begitu pun dengan total
enrolment TB RO anak dan dewasa pada Triwulan 1-2 tahun 2019 terdapat
2618 jumlah kasus sedangkan pada Triwulan 1-2 tahun 2020 terdapat 2637
jumlah kasus.

Gambar 3
Capaian Data Kasus TB RO TW 1-2 2019 vs TW 1-2 2020
Sumber : SITB per 16 Juli 2020

Dengan demikian dapat disimpulkan meskipun data kasus yang


cenderung menurun, tetapi Data Notifikasi TB RO cenderung meningkat.
B. Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penderita TB RO, antara
lain sebagai berikut.
13

1. Petugas Kesehatan
Petugas Kesehatan bertanggungjawab dalam hal kesembuhan
pasien TB. Diagnosis yang tidak tepat, pemberian dosis, jenis, jumlah
obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat dapat menjadi faktor
kasus TB RO. Selain itu, startegi penyuluhan kepada pasien perlu
diperhatikan agar pasien dapat memahaminya dengan baik.
Peran Pengawas Minum Obat (PMO) juga sangat penting dalam
melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal menelan obat,
mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak sesuai jadwal yang
ditentukan, memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara
teratur sampai selesai dan menasehati pasien agar tetap mau menelan
obat secara teratur sampai selesai.
2. Pasien
Faktor pasien yang paling berpengaruh terhadap Resistensi obat
adalah kepatuhan pasien dalam mengonsumsi obat. Dalam hal ini ada
beberapa faktor yang bisa berkaitan. Usia pasien yang cenderung sudah
lansia akan mudah lupa karena faktor usia. Sedangkan pada usia muda
bisa karena malas untuk mengonsumsinya. Sejalan dengan hal tersebut
maka peran kerabat terdekat sangat diperlukan.
Karakteristik sifat pasien juga bisa mempengaruhi kepatuhannya
mengonsumsi obat sesuai anjuran dokter. Tidak sedikit yang
mengabaikan anjuran dan tidak teratur menelan OAT dan
menghentikan pengobatan secara sepihak. Hal ini berkaitan juga
dengan tingkat pengetahuan pasien. Pengetahuan yang baik mengenai
upaya pencegahan penyakit tuberkulosis akan sangat memengaruhi
perilaku masyarakat dalam melakukan upaya pencegahan penyakit
tuberkulosis dan tuberkulosis resistan obat. Efek samping obat juga
turut menjadi salah satu penyebab rendahnya kepatuhan pasien dalam
mengonsumsi obat (Kementerian Kesehatan RI, 2015).
Kebiasaan merokok juga menjadi salah satu penyebab resistensi
obat. Kebiasaan merokok akan menyebabkan rusaknya mekanisme
pertahanan mucocilliary clearance. Asap rokok juga akan
14

meningkatkan tahanan jalan napas akibat obstruksi pada saluran napas


dan menghambat kerja makrofag pada alveolus. Hal tersebut membuat
pasien yang merokok memiliki respon yang lebih buruk dalam
menjalani pengobatan tuberkulosis sehingga dapat jatuh dalam kondisi
tuberkulosis resistan obat (Smit dan Pai, 2010)
Selain itu, seringkali kondisi ekonomi masyarakat menegah ke
bawah yang tidak sanggup untuk membayar OAT. Apalagi jika sudah
mengalami resistensi yang mana OAT lini kedua cenderung lebih mahal
harganya.
3. Fasilitas pelayanan
Faktor lain dari kasus TB RO adalah belum meratanya fasilitas
pelayanan pengobatan TB di 34 provinsi, Rumah Sakit rujukan TB RO
dan Rumah Sakit satelit yang memberikan pelayanan rujukan kasus TB
RO belum tersedia dan belum merata dan tidak seluruh rumah sakit
memiliki program Directly Observed Treatment Short-course (DOTS)
yang baik. Sampai saat ini, terdapat 360 rumah sakit dan balai kesehatan
pelaksana layanan TB Resistan Obat di Indonesia yang diatur dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/Menkes/350/2017.
4. Program OAT
Sampai saat ini, OAT untuk pasien TB resistan obat sebagian besar
belum diproduksi di dalam negeri, untuk pemenuhan kebutuhan OAT
tersebut Kementerian Kesehatan masih tergantung pada produk luar
negeri. Pengelolaan OAT untuk pasien TB Resistan Obat juga berbeda
dengan OAT pertama baik dari segi kandungan maupun pengemasan.
Dikarenakan obat TB Resistan Obat sampai dengan saat ini masih
diimpor, maka ini menjadi tantangan bagi program nasional untuk
menjamin ketersediaan obat bagi pasien TB Resistan Obat tidak
terputus. Perencanan kebutuhan ini harus memperhitungkan jumlah
pasien yang sedang diobati, pasien yang akan diobati, masa tenggang
kedatangan obat (lead time), stok pengaman (buffer stok) dan sisa obat
yang ada (Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2013).
15

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2013 juga


menyebutkan bahwa Distribusi OAT pada Manajemen Terpadu
Pengendalian TB Resistan Obat dari Kementerian Kesehatan
dilaksanakan langsung ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan TB
Resistan Obat setelah ada permintaan dari Dinas Kesehatan Propinsi.
Sedangkan distribusi dari fasilitas pelayanan kesehatan rujukan TB
Resistan Obat ke fasilitas pelayanan kesehatan Satelit TB Resistan Obat
dilaksanakan dengan cara diambil langsung oleh fasilitas pelayanan
kesehatan Satelit. Tetapi tidak menutup kemungkinan kelengkapan
OAT tidak sesuai di beberpa pelayanan kesehatan . Seperti hal nya
penelitian Evi Sriwahyuni (2018) di gudang farmasi RSUP Haji Adam
Malik Medan yang masih ditemukan obat kedaluarsa dan tidak pernah
ditemukan obat rusak.
C. Program Pemerintah
Target Program Nasional Penaggulangan TB sesuai dengan target
eliminasi global adalah Eliminasi TB pada tahun 2035 dan Indonesia bebas
TB tahun 2050. Eliminasi TB adalah tercapainya cakupan kasus TB 1 per 1
juta penduduk.
Berdasarkan PMK Nomor 67 Tahun 2016 menyebutkan bahwa
Strategi penanggulangan TB dalam pencapaian eliminasi nasional TB
adalah sebagai berikut.
1. Penguatan kepemimpinan program TB di kabupaten/kota. Terdiri dari
Promosi yang mencakup Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial.
Regulasi dan peningkatan pembiayaan serta Koordinasi dan sinergi
program
2. Peningkatan akses layanan TB yang bermutu meliputi Peningkatan
jejaring layanan TB melalui PPM (publicprivate mix), Penemuan aktif
berbasis keluarga dan masyarakat, Peningkatan kolaborasi layanan
melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL, dan lain sebagainya, Inovasi
diagnosis TB sesuai dengan alat/saran diagnostik yang baru, Kepatuhan
dan Kelangsungan pengobatan pasien atau Case holding, serta Bekerja
16

sama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan


Semesta (health universal coverage).
3. Pengendalian faktor risiko meliputi Promosi lingkungan dan hidup
sehat, Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB, Pengobatan
pencegahan dan imunisasi TB, Memaksimalkan penemuan TB secara
dini, mempertahankan cakupan dan keberhasilan pengobatan yang
tinggi.
4. Peningkatan kemitraan TB melalui Forum Koordinasi TB meliputi
peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat,
peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah.
5. Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TB
meliputi Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan
masyarakat, pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan
kasus, dan dukungan pengobatan TB, pemberdayan masyarakat melalui
integrasi TB di upaya kesehatan berbasis keluarga dan masyarakat
6. Penguatan manajemen program (health system strenghtening)
mencakup SDM, Logistik, Regulasi dan pembiayaan, Sistem Informasi,
termasuk mandatory notification serta Penelitian dan pengembangan
inovasi program

Beberapa hal lainnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan


adalah sebagai berikut.

1. Surveilans TB.
Terdapat 2 jenis surveilans TB, yaitu Surveilans berbasis indikator
berdasarkan data pelaporan, dan Surveilans berbasis kejadian berupa
survei periodik dan sentinel.
2. Notifikasi Wajib (Mandatory Notification).
Sistem notifikasi wajib dapat dilakukan secara manual atau melalui
sistem elektronik sesuai dengan tata cara dan sistem yang ditentukan
oleh program penanggulangan TB. Dalam pelaksanaan notifikasi,
digunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai identitas pasien
TB. Notifikasi wajib pasien TB untuk FKTP (klinik dan dokter praktik
mandiri) disampaikan kepada Puskesmas setempat.
17

3. Monitoring dan Evaluasi (Monev)


Monitoring dan evaluasi program TB merupakan salah satu fungsi
manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program TB.
Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat
pelaksana program, mulai dari Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota,
Provinsi hingga Pusat. Seluruh kegiatan program harus dimonitor dan
dievaluasi dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran
(output) dengan cara menelaah laporan, pengamatan langsung dan
wawancara ke petugas kesehatan maupun masyarakat sasaran.

Seluruh sistem surveilans dan sistem informasi dikelola dalam sebuah


web SITB (Sistem Informasi Tuberkulosis) yang bisa diakses oleh setiap
puskesmas se-Indonesia.

Berkaitan dengan Target Eliminasi TBC 2030, berbagai kegiatan


dilakukan langsung oleh pemerintah terkhusus di tengah pandemi covid-19.
Selain acara skrining dan kampanye TB, Kementrian Kesehatan juga
melaksanakan Evaluasi Kebijakan New Normal Life pada pasien TB dan
Kegiatan Penemuan Kasus dan Investigasi Kontak Selama Pandemi covid-
19.

Kondisi Pandemi juga mengantarkan Pemerintah untuk memperbaharui


mekanisme pengobatan TB RO. Berkaitan dengan hal tersebut, Direktur
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit telah mengeluarkan Surat
Edaran No. HK.01.02./III/9753/2020 tentang Paduan Pengobatan Pasien TB
RO di Indonesia. Penatalaksanaan pasien TB RO yang lebih rinci
dituangkan dalam Petunjuk Teknis Manajemen Terpadu Pengendalian
Tuberkulosis Resistan Obat. Petunjuk Teknis tersebut dibuat untuk menjadi
pedoman dalam melakukan tatalaksana pasien TB RO agar sesuai dengan
mekanisme yang ditetapkan.

D. Solusi dari mahasiswa yang akan ditawarkan dalam mengatasi isu tersebut,
termasuk pihak yang akan dilibatkan.
1. Promosi Kesehatan
18

Promosi kesehatan perlu dilakukan secara berkesinambungan


melalui kegiatan advokasi, komunikasi, dan mobilisasi sosial dengan
jangkauan yang luas untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan
perubahan perilaku masyarakat mengenai TB agar dapat menurunkan
kejadian TB RO. Upaya promosi kesehatan kepada masyarakat yang
dapat dilakukan, yaitu :
a. Kampanye nasional, yaitu penyebarluasan informasi yang akurat
mengenai TB RO ke seluruh masyarakat secara masif melalui saluran
komunikasi publik
b. Materi KIE TB RO, yaitu menyediakan pedoman dan materi KIE TB
RO secara berkala dan kontinu sebagai upaya untuk mendorong
perubahan perilaku masyarakat dalam pencegahan dan pengobatan
TB RO.
c. Pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan influencer media sosial
untuk menyebarkan materi komunikasi, informasi, dan edukasi
mengenai TB RO.
2. Pengendalian Faktor Risiko
a. Peningkatan derajat kesehatan perseorangan, yaitu pemberian nutrisi
tambahan untuk pasien TB ROdan keluarga pasien terdampak yang
rentan tertular TB RO.
b. Intervensi perubahan perilaku masyarakat, yaitu pemberian
penyuluhan kepada semua pasien TB RO, keluarga, dan masyarakat
terdampak terkait dengan pencegahan TB RO secara tepat.
c. Peningkatan kualitas tempat tinggal pasien, yaitu dengan membangun
sanatorium untuk pasien TB RO sebagai program layanan kuratif dan
rehabilitatif medis dan sosial dalam jangka waktu tertentu yang
dilaksanakan secara komprehensif bagi pasien TB RO.
d. Pemenuhan dan penjaminan mutu obat yang digunakan untuk
pengobatan TB RO.
e. Penyediaan layanan atau aplikasi yang bermutu dalam
penatalaksanaan TB RO, terutama sebagai pengingat waktu minum
obat agar dapat meningkatkan kepatuhan minum obat pasien.
19

f. Optimalisasi jejaring layanan TB RO di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan milik pemerintah dan swasta, sebagai upaya untuk
memudahkan pelaporan penemuan pasien TB RO di setiap Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
3. Pengobatan
a. Membuat alur rujukan pasien TB RO, yaitu agar tersedianya
mekanisme rujukan yang jelas mengenai pasien TB RO.
b. Membuat alur pengiriman sampel, yaitu agar terciptanya proses
pengiriman sampel dahak dari fasyankes terkait ke laboratorium
terdekat dengan cepat dan tepat.
c. Optimalisasi data, yaitu untuk ketepatan pemberian obat yang agar
sesuai dengan jenis resitensi yang dialami pasien TB RO ketika telah
ada hasil dari laboratorium.
BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Berdasarkan Analisis yang sudah dilakukan, sejalan dengan Strategi
Eliminasi TB tahun 2030 dapat disimpulkan bahwasanya kondisi TB di
Indonesia masih perlu diperhatikan terutama berkaitan dengan kasus TB
Resisten Obat. Pemaksimalan program dalam hal Promosi, pengendalian
vektor, serta pengobatan juga perlu ditingkatkan.
B. Saran
Dengan diselesaikannya makalah ini diharapkan pembaca dapat
mengetahui konsep penyakit tuberculosis dan pada petugas kesehatan selalu
memberikan dorongan terhadap pasien nya untuk berobat secara teratur
serta kepatuhan mengonsumsi obat. Dengan memberikan pengetahuan yang
baik mengenai upaya pencegahan penyakit tuberculosis agar bisa
mempengaruhi masyarakat untuk bisa merubah perilaku dan fasilitas
pelayanan kesehatan yang memadai dalam pengobatan mengenai penyakit
tuberkulosis agar kasus nya berkurang.

20
DAFTAR PUSTAKA

Bawonte, Trivanto G. dkk. 2021. Faktor-faktor yang mempengaruhi Tuberculosis


Multidrug Resistance (TB MDR). Jurnal Kedokteran, Universitas Sam
Ratlamgi Mando. [Online] Tersedia:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ebiomedik.

Kementerian Kesehatan RI. 2015. Buku Saku Pasien TB MDR. Jakarta :


Kementerian Kesehatan RI.

__________. 2020. Buletin Eliminasi Tuberkulosis Vol.1 2020. Jakarta :


Kementerian Kesehatan RI.

__________. 2020. Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Tuberkulosis Resistan Obat


2020. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

__________. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018. Sekretariat Jenderal


Kemenkes RI. Jakarta: 2019.
__________. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Sekretariat Jenderal
Kemenkes RI. Jakarta: 2020.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Manajemen
Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2017 tentang Penanggulangan


Tuberkulosis.

Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis

Saputri, dkk. 2020. Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru Putus Obat Melalui


Pendekatan Kedokteran Keluarga Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukaraja.
Jurnal Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung. 10 (3) Oktober 2020,
475.

Sulistiyani, dkk. 2021. Psikologis Pasien Multi Drug Resistan Tuberkulosis Selama
Pengobatan di Papua. Jurnal Keperawatan Tropis Papua. [Online] Tersedia:
JURNAL KEPERAWATAN TROPIS PAPUA
(jurnalpoltekkesjayapura.com). Diaskes pada tanggal 31 Agustus 2021.

21
World Health Organization. 2019. Global Tuberculosis Report 2019. [Diakses Pada 1
September 2021]. Tersedia : https://www.who.int/teams/global-tuberculosis-
programme/tb-reports/global-report-2019

___________. 2020. Global Tuberculosis Report 2020. [Diakses Pada 1 September 2021].
Tersedia : https://www.who.int/teams/global-tuberculosis-programme/tb-
reports/global-tuberculosis-report-2020

__________. 2020. Operational handbook on tuberculosis, Module 4: Treatment,


Drug-resistant tuberculosis treatment. [Diakses pada 31 Agustus 2021].
Tersedia : https://www.who.in t/publications/i/item/9789240006997

22

Anda mungkin juga menyukai