Anda di halaman 1dari 47

MAKALAH INTERAKSI OBAT

ANTI TUBERKULOSIS

Disusun oleh :
Kelompok 8 A Apoteker XXXI
Melda Ivani Delinda 3351201436
Aliya Salsabila 3351201521
Sri Supriati Ningsih 3351201527
Novita Dewi Handayani 3351201590
Nurfadillah Hazar 3351201591

Dosen Pengampu : Prof. Dr. apt. Afifah B. Sutjiatmo, MS

PROGRAM STUDI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga
makalah Interaksi Obat berjudul “Interaksi Obat anti Tuberkulosis” dapat tersusun hingga
selesai pada waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Interaksi Obat.
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat membantu meningkatkan pengetahuan
tentang “Interaksi-interaksi obat anti Tuberkulosis” serta dapat mencegah interaksi obat
yang dapat menyebabkan masalah ataupun resiko dalam pengobatan Tuberculosis sehingga
tujuan terapi dapat tercapai dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Penulis dapat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, oleh karena itu penulis akan sangat menghargai kritikan dan saran untuk
membangun makalah ini lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.

Cimahi, 4 Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................i

DAFTAR ISI ..........................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1

1.2 Tujuan. .......................................................................................................................... 2

1.3 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi ......................................................................................................................... 3

2.2 Prevalansi ..................................................................................................................... 3

2.3 Sifat umum bakteri Mycobacterium tuberculosis ......................................................... 4

2.4 Gambaran Klinis Tuberculosis ..................................................................................... 5

2.5 Klasifikasi TB ............................................................................................................... 6

2.6 Patofisiologi .................................................................................................................. 7

2.7 Faktor Resiko............................................................................................................... 8

2.8 Terapi … ...................................................................................................................... 8

2.9 Interaksi obat anti-tuberculosis……………………………………………………...17

2.10 Penanganan Pasien TB dengan Kondisi Khusus…………………………………..26

2.11 Penatalaksanaan Pasien TB dengan Efek Samping OAT………………………….31

2.12 Interaksi Obat TB pada pasien Keadaan Khusus…………………………………..33

2.13 Studi Kasus………………………………………………………………………...38

BAB III KESIMPULAN ..................................................................................................... 42

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 43

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan penyakit kronik, menular, yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis, yang ditandai dengan jaringan granulasi nekrotik
(perkijauan) sebagai respons terhadap kuman tersebut. Penyakit ini menular dengan
cepat pada orang yang rentan dan daya tahan tubuh lemah. Diperkirakan seorang
penderita tuberkulosis kepada 1 dari 10 orang di sekitarnya. Tuberkulosis adalah
penyakit yang mengganggu sumberdaya manusia dan umumnya menyerang
kelompok masyarakat dengan golongan sosial ekonomi rendah. (Sejati & Sofiana,
2015)
Sampai sekarang ini belum ada satu negara pun di dunia yang bebas dari
tuberkulosis (TB). Jumlah Angka kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis cukup tinggi. Pada tahun 2009 sekitar 1,7 juta
orang meninggal karena menderita tuberkulosis (TB) (600.000 diantaranya
perempuan) sementara jumlah kasus baru tuberkulosis (TB) sebanyak 9,4 juta (3,3
juta diantaranya perempuan). Sepertiga dari jumlah penduduk di dunia sudah tertular
dengan tuberkulosis (TB) di mana sebagian besar penderita TB terjadi pada usia
produktif 15-55 tahun (Kenedyanti & Sulistyorini, 2017).
Faktor pertama tuberkulosis adalah faktor umur karena insiden tertinggi penyakit
tuberkulosis adalah pada usia dewasa muda di Indonesia diperkirakan 75% penderita
tuberkulosis adalah pada kelompok usia produktif. Faktor yang kedua adalah jenis
kelamin yang lebih banyak menyerang laki-laki daripada wanita, karena sebagian
besar mempunyai kebiasaan merokok. Faktor ketiga adalah kebiasaan merokok yang
dapat menurunkan daya tahan tubuh, sehingga mudah untuk terserang penyakit
terutama pada laki-laki yang mempunyai kebiasaan merokok. Faktor keempat adalah
kepadatan hunian yang merupakan faktor lingkungan terutama pada penderita
tuberkulosis yaitu kuman M. tuberculosis dapat masuk pada rumah yang memiliki
bangunan yang gelap dan tidak ada sinar matahari yang masuk. Faktor kelima adalah
pekerjaan yang merupakan faktor risiko kontak langsung dengan penderita. Risiko
penularan tuberkulosis pada suatu pekerjaan adalah seorang tenaga kesehatan yang
1
secara kontak langsung dengan pasien walaupun masih ada beberapa pekerjaan yang
dapat menjadi faktor risiko yaitu seorang tenaga pabrik. Faktor keenam adalah status
ekonomi yang merupakan faktor utama dalam keluarga masih banyak rendahnya
suatu pendapatan yang rendah dapat menularkan pada penderita tuberkulosis karena
pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat layak memenuhi syarat-syarat
kesehatan (Sejati & Sofiana, 2015).

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui interaksi obat yang berkaitan dengan obat Tuberculosis
2. Untuk mengetahui mekanisme interaksi obat yang berkaitan dengan obat
Tuberculosis
3. Untuk mengetahui penanganan ketika terjadi interaksi obat Tuberkulosis

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam makalah ini dapat dirumuskan
sebagai berikut :

1. Obat atau makanan apa saja yang menyebabkan interaksi dengan obat
Tuberculosis?
2. Bagaimana mekanisme interaksi obat yang berkaitan dengan obat Tuberculosis?
3. Bagaimana penanganan yang dilakukan ketika ada interaksi obat Tuberkulosis?

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain:
M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae. Yang juga dikenal sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis
yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan
diagnosis dan pengobatan TB (Menkes RI, 2016).

2.2 Prevalensi
Estimasi jumlah kasus TB di Indonesia sebanyak 845.000 kasus pada tahun 2020
(data Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) per 20 Maret 2020). Dengan kasus
TB yang ternotifikasi sebesar 543.874, dengan 11.993 kematian akibat TB. Berdasarkan
situasi di Indonesia, penderita TB paling banyak berada di pulau Jawa, terutama pada
daerah DKI Jakarta hingga Jawa Barat. .

Gambar 1. Situasi TB di Indonesia berdasarkan data SITT per 20 Maret 2020

3
Sedangkan dua milyar orang atau 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh basil TB.
Setengah dari kasus baru terjadi di enam negara Asia ( Bangladesh, China, India,
Indonesia, Pakistan dan Pilipina ). Pada Tahun 2005 terdapat sebanyak 8,8 juta kasus TB
baru, 80 % diantaranya terjadi di 22 negara. Total kematian akibat TB pada tahun 2005
adalah 1,6 juta orang sebanding dengan 4400 kematian per hari . Prevalensi TB dan angka
kematian telah menurun pada beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 2005 insiden TB
terlihat stabil atau bahkan menurun di seluruh dunia dan telah mencapai puncaknya. Tetapi
jumlah total kasus yang terjadi di Afrika, Mediterania dan Asia Tenggara.

Gambar 2. Situasi TB di Dunia berdasarkan data WHO per 2007

2.3 Sifat umum bakteri Mycobacterium tuberculosis

Secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah sebagai
berikut (Depkes RI, 2016).:
- Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.
- Bersifat tahan asam dalam perwarnaan dengan metode Ziehl Neelsen, berbentuk
batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop.
- Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.
4
- Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama
pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
- Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet. Paparan
langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan mati dalam waktu
beberapa menit. Dalam dahak pada suhu antara 30-37°C akan mati dalam waktu lebih
kurang 1 minggu.
- Kuman dapat bersifat dorman.

2.4 Gambaran Klinis Tuberculosis


2.4.1 Tanda dan Gejala (Wells, Barbara G. (ed) et al, 2017)
a. Pasien biasanya datang dengan gejala batuk tak kunjung sembuh, kelelahan,
demam, dan keringat malam.
b. Batuk disertai lender (dahak berdarah) yang merupakan tahap penyakit TB yang
bisa muncul lebih awal.
2.4.2 Pemeriksaan Fisik (Wells, Barbara G. (ed) et al, 2017)
a. Keluhan pada perkusi dada, rales (suara nafas abnormal) dan peningkatan
fremitus vocal sering ditemukan pada auskultasi tetapi pemeriksan paru normal
sangat umum dibandingkan derajat keterlibatan radiologis paru.
b. Pasien biasanya kurus dengan bukti atau penurunan berat badan baru-baru ini.
2.4.3 Tes Laboratorium (Wells, Barbara G. (ed) et al, 2017)
a. Peningkatan sedang dalam jumlah sel darah putih (WBC) dengan dominasi
limfosit
b. Jumlah trombosit yang tinggi (trombositosis) dan anemia ringan sampai sedang
sering terjadi.
2.4.4 Pertimbangan Diagnostik (Wells, Barbara G. (ed) et al, 2017)
a. Apusan dahak positif
b. Bronkoskopi serat optik (jika tes dahak tidak meyakinkan dan tingginya
kecurigaan)
2.4.5 Radiografi Dada (Wells, Barbara G. (ed) et al, 2017)
a. Infiltrat tidak merata atau nodular di daerah apikal lobus atas atau segmen
superior
b. lobus bawah.
5
c. Kavitasi yang mungkin menunjukkan tingkat air-fluid saat infeksi berlangsung.
2.5 Klasifikasi TB
Klasifikasi TB Berdasarkan Depkes (2007), yaitu:
1. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
a) Tuberkulosis paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b) Tuberkulosis ekstra paruTuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal,saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru:
a) Tuberkulosis paru BTA positif.
• Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
• 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
• 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
• 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.
b) Tuberkulosis paru BTA negative
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.Kriteria diagnostik
TB paru BTA negatif harus meliputi:
• Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
• Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
• Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
• Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
3. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
a) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto
toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses
“far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk.
b) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

6
• TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
• TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus,
TB saluran kemih dan alat kelamin.
4. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, dibagi beberapa tipe pasien,
yaitu:
a) Kasus bar adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b) Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c) Kasus setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d) Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
e) Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f) Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan
2.6 Patofisiologi

Infeksi primer biasanya terjadi akibat menghirup droplet nuklei yang mengandung
M. tuberculosis. Perkembangan ke klinis penyakit tergantung pada tiga faktor: (1) jumlah
M. Tuberculosis yang dihirup, (2) virulensi organisme ini, dan (3) imun yang dimediasi
oleh respon sel inang. Jika makrofag paru menghambat atau membunuh basil, maka infeksi
dibatalkan. Jika tidak, M. tuberculosis akhirnya menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran
darah. M. tuberkulosis paling sering menginfeksi daerah apikal posterior paru-paru, di
mana kondisinya paling menguntungkan untuk kelangsungan hidupnya. Limfosit T
menjadi aktif selama 3 sampai 4 minggu, menghasilkan interferon-γ (IFN-γ) dan sitokin
7
lainnya. Hal ini merangsang makrofag mikrobisidal untuk mengelilingi bakteri tuberkulosis
dan membentuk granuloma untuk mencegah perluasan lebih lanjut. Pada saat ini titik,
infeksi sebagian besar terkendali, dan replikasi basil menurun secara dramatis. Semua
mikobakteri yang tersisa diyakini berada terutama di dalam granuloma atau di dalam
makrofag yang menghindari deteksi dan lisis. Selama 1 sampai 3 bulan, terjadi
hipersensitivitas jaringan, hasilnya positif tes kulit tuberkulin (Chishol-Burn (ed). et al,
2008).
2.7 Faktor Resiko

a) Daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk).
b) Kontak dekat dengan pasien TBC terutama BTA Positif .
c) Orang dari negara yang prevalensi TB tinggi, lebih besar dari 40/100.000 penduduk,
dinyatakan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI). ARTI di
Indonesia bervariasi antara 1-3 %
d) Alkoholik dan pengguna obat dengan sediaan injeksi.
e) Faktor resiko medis : terapi dengan kortikosteroid jangka panjang
f) Faktor lain : Konsentrasi percikan di udara lamanya menghirup udara, daya tahan
tubuh.

2.8 Terapi
2.8.1 Non Farmakologi
Terapi nonfarmakologis bertujuan untuk mencegah penyebaran TB yang dilaksanakan
oleh departemen kesehatan masyarakat.Pekerja di rumah sakit dan institusi lain harus
mencegah penularan TB dalam fasilitas mereka. Semua pekerja tersebut harus belajar dan
mengikuti pedoman pengendalian infeksi setiap institusi, termasuk menggunakan alat
pelindung diri, termasuk respirator yang dipasang dengan benar, dan menutup pintu ke
ruangan "tekanan negatif". Rumah sakit yang memiliki ruang isolasi menarik udara dari
area sekitar daripada bertiup udara (dan M. tuberculosis) ke daerah sekitarnya. Udara dari
ruang isolasi dapat dirawat dengan lampu ultraviolet dan kemudian dibuang dengan aman
di luar. Namun, ruang isolasi ini berfungsi dengan baik hanya jika pintunya tertutup. Selain
itu Pembedahan mungkin diperlukan untuk mengangkat jaringan paru-paru yang hancur,

8
menempati ruang lesi yang terinfeksi (tuberkuloma), dan ekstrapulmonal lesi tertentu. Serta
penggunaan Vaksin pada anak bayi digunakan untuk mencegah penularan TB pada bayi
tersebut (Dipiro (ed) dkk, 2008)
2.8.2 Terapi Farmakologi (Menkes RI, 2016)
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran
lebih lanjut kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
2. Diberikan dalam dosis yang tepat.
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat) sampai selesai pengobatan.
4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua (2) tahap
yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat untuk
mencegah kekambuhan.
A. Tahapan Pengobatan TB:
1) Tahap Awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien
dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak
sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan
tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu pertama.
2) Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan

Tabel II. 1 Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Lini Pertama

9
Jenis Sifat Efek samping
Isoniazid Bakterisidal Neuropati perifer (Gangguan saraf
(H) tepi), psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang.

Rifampisin (R) bakterisidal Flu syndrome(gejala influenza berat),


gangguan gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan fungsi
hati, trombositopeni, demam, skin
rash, sesak nafas, anemia hemolitik.
Pirazinamid Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan
(Z) fungsi hati, gout arthritis.
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran,
renjatan anafilaktik, anemia,
agranulositosis, trombositopeni.
Etambutol (E) bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna,
neuritis perifer (Gangguan saraf tepi).

Tabel II. 2 Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Lini Kedua

Grup Golongan Jenis Obat


A Florokuinolon • Levofloksasin (Lfx)
• Moksifloksasin (Mfx)
• Gatifloksasin (Gfx)*
B OAT suntik • Kanamisin (Km)
lini kedua • Amikasin (Am)*
• Kapreomisin (Cm)
Streptomisin (S)**

10
C OAT oral lini • Etionamid (Eto)/Protionamid (Pto)*
Kedua • Sikloserin (Cs) /Terizidon (Trd)*
• Clofazimin (Cfz)
• Linezolid (Lzd)
D D1 • Pirazinamid (Z)
OAT lini • Etambutol (E)
pertama • Isoniazid (H) dosis tinggi

D2 OAT baru • Bedaquiline (Bdq)


• Delamanid (Dlm)*
• Pretonamid (PA-824)*
D3 OAT • Asam para aminosalisilat
Tambahan (PAS)
• Imipenem-silastatin (Ipm)*
• Meropenem (Mpm)*
• Amoksilin clavulanat (Amx-
Clv)*
• Thioasetazon (T)*
Keterangan:
*Tidak disediakan oleh program
**Tidak termasuk obat suntik lini kedua, tetapi dapat diberikan pada kondisi tertentu dan tidak
disediakan oleh program
B. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan yang digunakan adalah ;
1) Kategori 1 : 2(HRZE)/ 4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR).

2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3atau

2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.

3) Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-10HR.

4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu
Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin, PAS,
Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT
11
lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.

Catatan:
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat
diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu)
dengan mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan. Penyediaan OAT dengan
dosis harian saat ini sedang dalam proses pengadaan oleh Program TB Nasional.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 dan 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam 1 (satu) paket untuk 1 (satu) pasien untuk 1 (satu) masa pengobatan.
Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien dan untuk satu (1) masa pengobatan. Paduan OAT disediakan dalam
bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Obat Anti Tuberkulosis dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa keuntungan
dalam pengobatan TB, yaitu:
1) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.

2) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.

3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

C. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya

Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat
diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu)
dengan mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan.
Tabel II. 3 Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa

12
Obat Dosis Rekomendasi

Harian 3 kali per minggu

Dosis Maksimum Dosis Maksimum


(mg/KgBB) (mg) (mg/KgBB) (mg)

Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampisin (R) 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid 25 (20-30) 35 (30-40)


(Z)

Etambutol (E) 15 (15-20) 30 (25-35)

Streptomisin 15 (12-18) 15 (12-18)


(S)*

A. Kategori-1: Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

a) Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.


b) Pasien TB paru terdiagnosis klinis.
c) Pasien TB ekstra paru.

1. Dosis harian (2(HRZE)/4(HR))

Tabel II. 4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR))

13
Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Setiap hari RHZE setiap hari RH
(150/75/400/275) (150/75)

Selama 56 hari Selama 16 minggu

30-37 Kg 2 tablet 4KDT 2 tablet

38-54 Kg 3 tablet 4KDT 3 tablet

55-70 Kg 4 tablet 4KDT 4 tablet

≥ 71 Kg 5 tablet 4KDT 5 tablet

2. Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan (2(HRZE)/4(HR)3)

Tabel II. 5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1 (2(HRZE)/4(HR)3)

Berat Badan Tahap Intensif Setiap hari Tahap Lanjutan 3 kali


RHZE (150/75/400/275) seminggu RH (150/75)

Selama 56 hari Selama 16 minggu

30-37 Kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38-54 Kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55-70 Kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

≥ 71 Kg 5 tablet 4KDT 5 Tablet 2KDT

14
B. Kategori -2: Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu:

a) Pasien kambuh.
b) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

1. Dosis harian {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}

Tabel II. 6 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 (2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE))

Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Badan
Setiap hari Setiap hari

RHZE (150/75/400/275)+S RHE (150/75/275)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 Kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tablet

+ 500 mg
Steptomisin inj.

38-54 Kg 3 tab 4KDT 3 tab 4 KDT 3 tablet

+750 mg
steptomisin inj.

15
55-70Kg 4 tab 4KDT 4 tab 4 KDT 4 tablet

+1000 mg
steptomisin inj.

≥71 Kg 5 tab 4KDT 5 tab 4 KDT 5 tablet

+1000 mg (› d0 maks)
steptomisin inj.

2. Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan


(2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)}

Tabel II. 7 Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2 {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3)}

Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan


Badan
Setiap hari Setiap hari

RHZE (150/75/400/275)+S RHE (150/75/275)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu

30-37 Kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2 KDT

+ 500 mg +2 tab Etambutol


Steptomisin inj.

38-54 Kg 3 tab 4KDT 3 tab 4 KDT 3 tab 2KDT

+750 mg +3 tab Etambutol


steptomisin inj.

16
55-70Kg 4 tab 4KDT 4 tab 4 KDT 4 tab 2KDT

+1000 mg +4 tab Etambutol


steptomisin inj.

≥71 Kg 5 tab 4KDT 5 tab 4 KDT 5 tab 2KDT

+1000 mg (› d0 maks) +5 tab Etambutol


steptomisin inj.

2.9 Interaksi Obat

A. Rifampisin (R)

• Rifampisin + Aminosalicylic acid

Interaksi : Kadar rifampisin akan berkurang setengahnya jika


diberikan dengan asam aminosalisilat yang mengandung bentonit.

Mekanisme : Eksipien bentonit dalam asam aminosalisilat mengadsorpsi


rifampisin ke permukaannya sehingga lebih sedikit yang tersedia untuk absorpsi,
yang mengakibatkan penurunan kadar serum rifampisin.

Keterangan/Penanganan : Pemberian jeda waktu untuk kedua obat selama 8


sampai 12 jam untuk mencegah pencampurannya di usus, sebagai cara yang efektif
untuk mencegah interaksi obat ini

• Rifampisin + Paracetamol

Interaksi : Rifampisin meningkatkan eliminasi parasetamol dari


dalam tubuh

Mekanisme : Tidak jelas. Kemungkinan karena rifampisin merupakan


induktor enzim kuat

Keterangan/Penanganan : Peningkatan dosis parasetamol

• Rifampisin + Antasida

17
Interaksi : Absorbsi dari rifampisin akan berkurang karena adanya
antasida

Mekanisme : Peningkatan asam lambung menyebabkan penurunan


disolusi dari rifampisin dan menghambat absorbsinya. Alumunium dan magnesium
trisilikat diperkirakan dapat menurunkan bioavabilitas rifampisin

Keterangan/Penanganan : Rifampisin diberikan satu jam sebelum antasida

• Rifampisin + Barbiturat

Interaksi : Fenobarbital dapat meningkatkan clearence dari rifampisin.


Rifampisin dapat meningkatkan clearence dari golongan barbiturat hexobarbital
lainnya

Mekanisme : Fenobarbital dan rifampisin merupakan inducer enzim di


hati

Keterangan/Penanganan : Fenobarbital dapat menyebabkan penurunan t ½


rifampisin pada pasien dengan sirosis hati. Rifampisin diminum saat perut kosong
(30 menit sebelum makan atau 2 jam sesudah makan)

• Rifampisin + Kontrasepsi hormonal

Interaksi : Rifampisin menurunkan efek dari pil kb

Mekanisme : Rifampisin merupakan inducer enzim di hati

Keterangan/Penanganan : Penggantian dengan alat kontrasepsi lain seperti


kondom, progesteron implan

• Rifampisin + Antikoagulan

Interaksi : Efek antikoagulan acenocoumarol, phenprocoumon, dan


warfarin diturunkan secara nyata dengan penggunaan bersama rifampisin

Mekanisme : Rifampisin, induktor enzim kuat, meningkatkan


metabolisme dan bersihan antikoagulan dari dalam tubuh, sehingga mengurangi
efek antikoagulan.

Mekanisme lain juga mungkin terlibat. Satu studi menemukan bahwa kadar serum
warfarin dan respons protrombin dikurangi hingga ½

18
Keterangan/Penanganan : Dosis antikoagulan ditingkatkan hingga 2-3 kali lipat
untuk mengakomodasi interaksi ini

• Rifampisin + CCB

Interaksi : Kadar serum barnipidin, diltiazem, manidipin, nifedipin,


verapamil, dan mungkin nisoldipin diturunkan oleh rifampisin. Efek CCB akan
menjadi tidak efektif kecuali dosisnya ditingkatkan

Mekanisme : Rifampisin meningkatkan metabolisme CCB di saluran


cerna sehingga meningkatkan bersihan CCB dari tubuh

Keterangan/Penanganan : Lakukan peningkatan dosis CCB. Etambutol dapat


digunakan sebagai alternatif antiTB

• Rifampisin + ACEI

Interaksi : Kadar serum enalapil, spirapril, kaptopril, dapat diturunkan


oleh ripampisin.

Mekanisme : Rifampisin meningkatkan metabolisme ACEI di hati, serta


ripampisin meningkatkan ekresi ACEI di urin. Sehingga kadar obat ACEI akan
menurun.

Keterangan/Penanganan : Interaksi yang terjadi kategori minor

• Rifampisin + Kortikosteroid

Interaksi : Efek kortikosteroid (kortison, dexametason, fludrokortison,


hidrokortison, metilprednisolon, prednison, prednisolon) yang diberikan secara
sistemik dapat diturunkan secara nyata oleh rifampisin tetapi aldosteron tidak
berinteraksi

Mekanisme : Rifampisin menginduksi enzim hati yang meningkatkan


metabolisme kortikosteroid oleh hati, sehingga meningkatkan eliminasinya dari
tubuh dan menurunkan efek

Keterangan/Penanganan : Diperlukan peningkatan dosis kortikosteroid jika akan


diberikan rifampisin. Kortikosteroid sistemik biasanya merupakan KI atau hanya
digunakan dengan perhatian tinggi pada pasien TB

19
• Rifampisin + Agen hipoglemik

Interaksi : Rifampisin menurunkan kadar serum tolbutamid, glimidin,


klorpropamid, dan glibenklamid (gliburid). Peningkatan dosis mungkin diperlukan
untuk kontrol diabetes secara efektif

Mekanisme : Rifampisin adalah induktor kuat enzim mikrosomal hati


meningkatkan metabolisme tolbutamid dan obat lain yang mempercepat bersihan
mereka dari dalam tubuh sehingga mengurangi efek

Keterangan/Penanganan : Perlu peningkatan dosis sulfonilurea ketika


mengkonsumsi rifampisin (sekitar 2 kali lipat)

• Rifampisin + Makanan

Interaksi : Makanan menunda dan mengurangi absorpsi rifampisin


dari saluran cerna

Mekanisme : Tidak dimengerti (belum diketahui secara jelas)

Keterangan/Penanganan : Rifampisin sebaiknya diminum ketika lambung kosong


atau 30 menit sebelum makan, atau 2 jam setelah makan untuk memastikan
absorpsi yang cepat dan penuh

B. Pirazinamid (Z)

• Pirazinamid + Probenesid

Interaksi : Menyebabkan hiperurisemia, menurunkan efek probenesid


dan meningkatkan efek pirazinamid.

Mekanisme : Probenesid meningkatkan sekresi asam urat ke dalam urin,


dengan menghambat reabsorbsi dari tubulus ginjal. Di sisi lain, pirazinamid
menurunkan sekresi asam urat ke dalam urin sepertiga hingga setengahnya,
mengakibatkan peningkatan kadar serum urat dalam darah, sehingga menyebabkan
hiperurisemia. pirazinamida juga menurunkan metabolisme probenesid dan

20
memperpanjang efek urikosuriknya, dan efek pirazinamida berkurang. Juga,
probenesid menghambat sekresi pirazinamid,dan meningkatkan efeknya.

Keterangan/Penanganan : Dosis pirazinamid harus digunakan dengan hati-hati.


Jika terjadi hiperurisemia yang disertai dengan artritis gout (tanpa disfungsi hati),
pirazinamid harus dihentikan.

• Pirazinamid + Antacids

Interaksi : Menurunkan efek obat pirazinamid.

Mekanisme : Antasida menurunkan absorpsi pirazinamid sehingga efek


pieazinamid berkurang, dengan menurunkan waktu penyerapan puncak pirazinamid
sebesar 17%, tetapi tidak berpengaruh pada parameter farmakokinetik lainnya.

Keterangan/Penanganan : Dilakukan jeda waktu dimana, diberikan 1 sampai 2


jam sebelum atau 4 sampai 6 jam setelah antasida.

• Pirazinamid + Allopurinol

Interaksi : Menyebabkan hiperurisemia

Mekanisme : Pirazinamida dihidrolisis di dalam tubuh menjadi asam


pirazinoat. Asam pirazinoat dioksidasi oleh enzim xantin oksidase menjadi asam 5-
hidroksipirrazoat. Karena allopurinol adalah penghambat xantin oksidase,
kehadirannya meningkatkan konsentrasi asam pirazinoat sehingga mungkin
memperburuk hiperurisemia yang diinduksi pirazinamida.

Keterangan/Penanganan : Dosis pirazinamid harus digunakan dengan hati-hati.


Jika terjadi hiperurisemia yang disertai dengan artritis gout (tanpa disfungsi hati),
pirazinamid harus dihentikan.

• Pirazinamid + Makanan

Interaksi : Mempengaruhi absorpsi pirazinamid.

Mekanisme : Sarapan tinggi lemak akan meningkatkan dua kali lipat


waktu untuk penyerapan puncak pirazinamid dosis tunggal 30 mg / kg tetapi tidak
berpengaruh pada parameter farmakokinetik lainnya. Oleh karena itu, tampaknya
pirazinamida dapat dikonsumsi tanpa berkaitan dengan makanan.

21
Keterangan/Penanganan : Menghindari sarapan tinggi lemak.

C. Isoniazid (H)

• Isoniazid + Asam Aminosalisilat (Mesalazine, Sulfasalazine)

Interaksi : Kadar isoniazid ditingkatkan oleh asam aminosalisilat

Mekanisme : Asam aminosalisilat secara signifikan meningkatkan


konsentrasi plasma isoniazid. Efek ini kemungkinan karena inhibisi metabolism
isoniazid oleh asam aminosalisilat

Keterangan/Penanganan : -

• Isoniazid + Aspirin

Interaksi : Kadar aspirin ditingkatkan oleh adanya isoniazid

Mekanisme : Pada beberapa kasus isoniazid memperpanjang waktu paruh


salisilat pada pasien yang diberikan aspirin.

Keterangan/Penanganan : -

• Isoniazid + Antasida

Interaksi : Absorpsi isoniazid dalam saluran cerna menurun karena


adanya aluminium hidroksida

Mekanisme : Aluminium hidroksida menunda pengosongan lambung


menyebabkan retensi isoniazid dalam lambung. Karena isoniazid diabsorpsi secara
besar-besaran dalam usus, karena adanya retensi isoniazid dalam lambung, maka
konsentrasi plasma isoniazid menurun. Aluminum hidroksida juga menghambat
absorpsi isoniazid

Keterangan/Penanganan : Isoniazid diminum 1-2 jam sebelum aluminum


hidroksida

• Isoniazid + Disulfiram

Interaksi : Interaksi kedua obat ini menyebabkan gangguan perilaku


dan kordinasi pada sebagian kecil pasien.

22
Mekanisme : Tidak diketahui. Diduga karena kedua obat tersebut
menghambat jalur metabolism dopamine, sehingga menghasilkan efek samping
yang serupa jika diberikan dengan dosis tinggi.

Keterangan/Penanganan : Monitoring status mental pasien

• Isoniazid + Makanan

Interaksi : Absorpsi isoniazid berkurang karena adanya makanan

Mekanisme : Tidak diketahui. Makanan dapat menunda pengosongan


lambung sehingga absorpsi dalam saluran cerna menjadi tertunda.

Keterangan/Penanganan : Minum isoniazid 30 menit sebelum atau 2 jam setelah


makan.

Interaksi : Penggunaan bersama Isoniazid dengan makanan


mengandung keju atau ikan yang tidak segar dapat menyebabkan reaksi keracunan
histamine yang berlebihan.

Mekanisme : Ikan dan beberapa keju memiliki kandungan histidine yang


tinggi dan jika disimpan dalam lingkungan penyimpangan yang tidak sesuai,
bakteri akan mendekarboksilasi histidin, menghasilkan histamine dalam jumlah
besar. Normalnya, histamine akan diinaktivasi oleh histaminase dalam tubuh,
namun isoniazid merupakan inhibitor poten enzim ini sheingga menyebabkan
histamine diabsorpsi besar-besaran sehingga menyebabkan keracunan. .

Keterangan/Penanganan : Hindari konsumsi makanan mengandung tiramin (keju,


sosis, beer, kecap, dll) atau histamine (tuna, salmon, makarel) selama mengonsumsi
isoniazid. Jika terjadi reaksi, berikan kortikosteroid dan antihistamin.

Keju mengandung tiramin. Tiramin merupakan senyawa simpatomimetik yang


bekerja secara tidak langsung, yang salah satu aksinya adalah melepaskan
noradrenalin dari neuron adrenergic yang berhubungan dengan pembuluh darah,
sehingga jika distimulasi akan menyebabkan kontriksi pembuluh darah. Normalnya,
tiramin dapat secara cepat dimetabolisme oleh enzim monoamine oksidase pada
dinding saluran cerna dan hati sebelum mencapai sirkulasi, tetapi Isoniazid akan

23
menginhibisi enzim tersebut sehingga tiramin dapat lewat dengan bebas dalam
sirkulasi darah, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah dan peningkatan
noradrenalin

• Isoniazid + Prednisolon

Interaksi : Prednisolon dapat menurunkan kadar Isoniazid

Mekanisme : Terjadi peningkatan asetilasi atau pembersihan ginjal pada


obat isoniazid selain itu prednisolon tidak menyebabkan peningkatan pada volume
distribusi isoniazid sehingga terjadi penurunan kadar isoniazid dalam plasma.

Keterangan/Penanganan : Waspada kemungkinan berkurangnya respon selama


penggunaan bersama dan tingkatkan dosis isoniazid jika perlu.

• Isoniazid + Laksative

Interaksi : Natrium sulfat dan minyak jarak yang digunakan sebagai


obat pencahar dapat menyebabkanpenurunan absorpsi isoniazid.

Mekanisme : Natrium sulfat dan minyak jarak dapat mempengaruhi


penyerapan Isoniazid

Keterangan/Penanganan : Jeda waktu untuk penggunaan obat. 1 jam sebelum


obat laksative atau 2-3 jam setelah diminum obat laksative

• Isoniazid + Propanolol

Interaksi : Peningkatan kadar isoniazide

Mekanisme : Propranolol dapat menyebabkan sedikit penurunan


pembersihan isoniazid. Sehingga dapat menyebabkan peningkatan kadar isoniazid

Keterangan/Penanganan : Disarankan agar propranolol dikurangipembersihan


isoniazid dengan cara menghambat metabolisme (asetilasi)hati

• Isoniazide + Pethidine

Interaksi : Dapat menyebabkan hipotensi dan kelesuan saat


penggunaan bersama isoniazid

Mekanisme : Isoniazide dapat menyebabkan penghambatan MAO

24
Keterangan/Penanganan : Tidak disarankan penggunaan bersamaan Isoniazide
dan Pethidine

• Isoniazid + Quinolon

Interaksi : Ciprofloxacin dapat menyebabkan sedikit peningkatan


ketersediaan hayatiisoniazid, dan pefloxacin dapat meningkatkan absorpsi
danekskresi isoniazid.

Mekanisme :

a) Ciprofloxacin

Dalam studi dosis tunggal, ciprofloxacin 500 mg ditemukan meningkatkan


penyerapanisoniazid 300 mg sekitar 15%. Waktu untuk mencapai hasil
maksimalkadar plasma meningkat dari 3 jam menjadi 4 jam.Efeknya pada
isoniazidpenyerapan mungkin karena penghambatan motilitas lambung dan
pengosonganoleh ciprofloxacin. Namun, efek ini sederhana dan tidak mungkin
terjadisignifikan secara klinis .

b) Pefloxacin

Dalam sebuah penelitian di 6 subjek sehat, dosis tunggal 400 mg


pefloxacinmeningkatkan kadar saliva maksimum dan AUC dosis tunggal 300
mgisoniazid hampir dua kali lipat, menunjukkan peningkatan penyerapan.

Keterangan/Penanganan : Jeda pemberian obat isoniazid dan ciprofloxacin


maupun perfloxacin

D. Etambutol (E)

• Etambutol + Antasida

Interaksi : Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida


menyebabkan sedikit penurunan absorpsi etambutol pada beberapa pasien.

Mekanisme : Alasan interaksi ini tidak dipahami, tetapi aluminium


hidroksida dapat memengaruhi pengosongan lambung.

25
Keterangan/Penanganan : Hindari pemberian antasida bersamaan dengan
etambutol. Antasida yang mengandung aluminium hidroksida tidak boleh
dikonsumsi hingga 4 jam setelah dosis etambutol.

2.10 Pengobatan Pasien TB Dengan Keadaan Khusus


Beberapa keadaan khusus tertentu dapat dialami oleh pasien setelah dan selama
mendapatkan pengobatan TB, sehingga pasien perlu mendapatkan penanganan yang spesifik
sesuai dengan kondisinya dan pengobatan TB nya tetap dapat diteruskan sampai selesai.
Beberapa kondisi tersebut antara lain adalah :
2.10.1. Pengobatan TB pada ODHA
Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB lainnya.
Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera. Penting diperhatikan dari pengobatan TB
pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan ARV atau tidak.
Prioritas utama bagi pasien TB dengan HIV positif adalah segera memberikan pengobatan
OAT diikuti dengan pemberian Kotrimoksasol dan ARV. Pengobatan ARV sebaiknya
dimulai segera dalam waktu 8 minggu pertama setelah dimulainya pengobatan TB. Paduan
yang mengandung NVP hanya digunakan pada wanita usia subur dengan pengobatan OAT
(mengandung rifampisin) yang perlu dimulai ART bila tidak ada alternatif lain.
Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV, sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai
di fasilitas pelayanan kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan
pengobatan ARV. Kerjasama yang erat dengan Faskes yang memberikan pelayanan
pengobatan ARV sangat diperlukan mengingat adanya kemungkinan harus dilakukan
penyesuaian ARV agar pengobatan dapat berhasil dengan baik.
1) Pengobatan TB pada ODHA dan inisiasi ART secara dini
a) Pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam waktu 2- 8 minggu pertama setelah
dimulainya pengobatan TB dan dapat ditoleransi baik.
b) Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut
sedang dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila pasien sedang dalam pengobatan
ARV,sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan kesehatan dasar
(strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan pengobatan ARV.

26
c) Apabila pasien TB didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk pasien ke unit HIV atau
RS rujukan ARV untuk mempersiapkan dimulainya pengobatan ARV.
d) Sebelum merujuk pasien ke unit HIV, Puskesmas/unit DOTS RS dapat membantu
dalam melakukan persiapan agar pasien patuh selama mendapat pengobatan ARV.
e) Pengobatan ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu memberikan
tatalaksana komplikasi yang terkait HIV, yaitu di RS rujukan ARV atau satelitnya.
Sedangkan untuk pengobatan TB bisa didapatkan di unit DOTS yang terpisah maupun
yang terintegrasi di dalam unit PDP.
f) Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya sudah tidak lagi dijumpai reaksi
atau efek samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat dirujuk kembali ke
Puskesmas/unit RS DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan untuk ARV tetap
diberikan oleh unit HIV.
g) Kerjasama yang erat dengan Fasyankes yang memberikan pelayanan pengobatan ARV
sangat diperlukan mengingat adanya kemungkinan harus dilakukan penyesuaian ARV
agar pengobatan dapat berhasil dengan baik.
2) Pemberian pengobatan pencegahan dengan Kotrimoksasol (PPK)
Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk mengurangi
angkakesakitan dan kematian pada ODHA dengan atau tanpa TB akibat IO.
Pengobatanpencegahan dengan kotrimoksasol relatif aman dan harus diberikan sesuai
denganPedoman Nasional PDP serta dapat diberikan di unit DOTS atau di unit PDP
3) Perawatan, Dukungan Dan Pengobatan HIV.
Perawatan bagi pasien dengan HIV bersifat komprehensif berkesinambungan, artinya
dilakukan secara holistik dan terus menerus melalui sistem jejaring yang bertujuan
memperbaiki dan memelihara kualitas hidup ODHA dan keluarganya. Perawatan
komprehensif meliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan pendukung lainnya
seperti aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan penyembuhan dan
rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologi, sosial dan kebutuhan spiritual
individu termasuk perawatan paliatif. Dukungan bagi pasien dengan HIV meliputi dukungan
sosial, dukungan untuk akses layanan, dukungan di masyarakat dan di rumah, dukungan
spriritual dan dukungan dari kelompok sebaya.

27
2.10.2. Pengobatan TB pada Diabetes Melitus
TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes
Mellitus. Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes Melitus:
1) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi pasien
TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
2) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan
sampai 9 bulan
3) Hati-hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering
mengalami komplikasi kelainan pada mata
4) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitasobat
oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
5) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bilaterjadi
kekambuhan
6) Pilihan utama untuk pengobatan DM pada pasien TB adalah insulin. Oleh karena
OAT pada umumnya hepatotoksik yang akan mempengaruhi metabolisme obat
Hipoglikemik Oral (OHO). OAT juga dapat menghambat penyerapan OHO disaluran
pencernaan, sehingga diperlukan dosis OHO yang lebih tinggi.
7) Untuk kendali gula darah, pasien TB dengan DM di FKTP, sebaiknya dirujuk ke
FKRTL untuk menginisasi obat anti diabetik.
8) Pada pasien TB RO, Diabetes mellitus dapat memperkuat efek samping OAT
terutama gangguan ginjal dan neuropati perifer. Obat Anti Diabetika (OAD) tidak
merupakan kontraindikasi selama masa pengobatan TB tetapi biasanya memerlukan
dosis OAD yang lebih tinggi sehingga perlu penanganan khusus. Apabila pasien
minum etionamid maka kadar insulin darah lebih sulit dikontrol, untuk itu perlu
konsultasi dengan ahli penyakit dalam. Kadar Kalium darah dan serum kreatinin
harus dipantau setiap minggu selama bulan pertama dan selanjutnya minimal sekali
dalam 1 bulan selama tahap awal.
2.10.3 Pengobatan Pasien TB dengan kelainan hati
1) Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk ke
fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.
28
a) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yangbiasa
digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
a. Pembawa virus hepatitis
b. Riwayat penyakit hepatitis akut
c. Saat ini masih sebagai pecandu alcohol
Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan kondisi
tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.
b) Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan fungsi
hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati
>3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat
dipertimbangkan:
1) 2 obat yang hepatotoksik
2 HRSE / 6 HR
9 HRE
2) 1 obat yang hepatotoksik
2 HES / 10 HE
3) Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak
direkomendasikan karena potensinya sangat lemah).
2.10.4 Pengobatan TB pada ibu hamil, pengguna kontrasepsi dan wanita usia subur
Kehamilan, Ibu menyusui dan bayinya, pengguna kontrasepsi
1) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan
TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali
golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin karena dapat menimbulkan
ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat menembus barier placenta. Keadaan
ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa
keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan
lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian
Piridoksin 50mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB,
29
sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan
padatrimester 3 kehamilan menjelang partus.
2) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda denganpengobatan
pada umumnya. Semua jenis OAT Lini 1 aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui
yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang
tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu
dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus diberikan ASI. Pengobatan
pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
3) Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB
sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.
2.10.5 Pengobatan TB pada perempuan usia subur
1) Jika pasien menggunakan kontrasepsi, Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi
hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas
kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-
hormonal
2) Semua pasien TB RO usia subur yang akan mendapat pengobatan dengan OAT RO,
harus melakukan tes kehamilan terlebih dahulu.
3) Bila ternyata pasien tersebut tidak hamil, pasien dianjurkan memakai kontrasepsi fisik
selama masa pengobatan untuk mencegah kehamilan.
2.10.6 Pengobatan pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal
1) Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada pasien
dengan penyakit ginjal kronis.
2) Pemberian OAT TB pada pasien dengan gangguan ginjal harus dilakukan dengan hati–
hati, sebaiknya pirazinamid dan etambutol tidak diberikan karena diekskresi melalui
ginjal.
3) Perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati
perifer.

30
4) Kerjasama dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan
fungsi ginjal sangat diperlukan. Penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal berdasarkan
pada pemeriksaan kreatinin.
2.10.7 Pasien TB yang perlu mendapatkan tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa
pasien seperti:
1) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
2) TB milier dengan atau tanpa meningitis
3) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial
4) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing(untuk
mencegah penyempitan ureter), pembesaran kelenjar getah bening dengan penekanan
pada bronkus atau pembuluh darah.
5) Hipersensitivitas berat terhadap OAT.
6) IRIS (Immune Response Inflammatory Syndrome).
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya
keluhan serta respon klinis.
2.11 Penatalaksanaan Pasien TB dengan Efek Samping OAT
Semua OAT yang digunakan untuk pengobatan pasien TB mempunyai kemungkinan
untuk menimbulkan efek samping baik ringan, sedang, maupun berat, efek samping
kemungkinan lebih sering terjadi pada pengobatan TB RO mengingat jenis OAT yang
digunakan lebih banyak dan beragam. Jika muncul efek samping pengobatan, kemungkinan
pasien akan menghentikan pengobatan tanpa memberitahukan petugas fasyankes. Sehingga
KIE mengenai gejala efek samping pengobatan harus dilakukan sebelum pasien memulai
dan selama pengobatan. Penanganan efek samping yang baik dan adekuat adalah kunci
keberhasilan pengobatan TB. Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping
dengan cara mengajarkan kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek
samping serta menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas
kesehatan. Selain daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan
pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke faskes
untuk mengambil obat.

31
2.11.1 Efek Samping Ringan
Penatalaksanaan efek samping ringat OAT dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

2.11.2 Efek Samping Berat


Efek samping yang terjadi pada pasien dan tindak lanjut yang diberikan harus dicatat
pada kartu pengobatannya. Secara umum, seorang pasien yang mengalami efek samping
ringan sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya dan diberikan petunjuk cara
mengatasinya atau pengobatan tambahan untuk menghilangkan keluhannya.
Penatalaksanaan efek samping ringat OAT dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan


Bercak kemerahan kulit (rash) H, R, Z, S Ikuti petunjuk penata
Dengan atau tanpa rasa gatal laksanaan dibawah*
Gangguan pendengaran (tanpa S S dihentikan
diketemukan serumen)
Gangguan keseimbangan S S dihentikan
Ikterus tanpa penyebab lain H, R, Z Semua OATdihentikan
sampai ikterus menghilang.

32
Bingung, mual muntah Semua jenis Semua OATdihentikan,
(dicurigai terjadi gangguan OAT Segera lakukan pemeriksaan
fungsi hati apabila disertai fungsi hati.
ikterus)
Gangguan penglihatan E E dihentikan.
Purpura, renjatan (syok), gagal R R dihentikan.
Ginjal akut
Penurunan produksi urine S S dihentikan.

2.12 Interaksi Obat TB pada pasien Keadaan Khusus


A. Isoniazid
1) Isoniazid dengan Acetaminophen
Beberapa laporan menunjukkan bahwa isoniazid dapat meningkatkan potensi
hepatotoksisitas asetaminofen. Mekanisme ini mungkin terkait dengan induksi
CYP450 2E1 metabolisme asetaminofen menjadi metabolit toksik selama pemberian
bersamaan atau peningkatan metabolisme asetaminofen sementara setelah penghentian
isoniazid.
Penatalaksanaan dengan Penggunaan asetaminofen secara bersamaan harus
dibatasi. Perhatian harus diberikan pada bukti klinis dan laboratorium dari
hepatotoksisitas. Kedua obat harus dihentikan jika ada bukti hepatoksisitas. Aspirin
atau agen inflamasi nonsteroid mungkin merupakan alternatif yang lebih aman.
2) Isoniazid dengan Antasida
Adanya penurunan absorpsi isoniazid. Penatalaksanaan dengan Berikan
isoniazid setidaknya 1 jam sebelum antasida.
3) Isoniazid dengan Phenytoin
Isoniazid sering meningkatkan kadar fenitoin serum dan dapat menyebabkan
toksisitas fenitoin hingga 20% pasien yang menerima kombinasi tersebut.
Mekanismenya terkait dengan penghambatan metabolisme hati CYP450 oleh
isoniazid.
Penatalaksanaan konsentrasi serum fenitoin harus diukur jika diduga ada
interaksi obat. Pasien harus dinasihati untuk memberi tahu dokter mereka jika mereka

33
mengalami gejala toksisitas, termasuk kantuk, gangguan penglihatan, perubahan status
mental, kejang, mual, atau ataksia. Dosis fenitoin mungkin perlu diturunkan.
4) Isoniazid dengan Antifungals, azoles
Pemberian bersamaan dari penginduksi CYP450 3A4 yang poten dapat secara
signifikan menurunkan kadar serum itrakonazol dan ketokonazol. Mekanisme tersebut
tampaknya meningkatkan metabolisme jalur pertama dan metabolisme enzim hati
(CYP450 3A4) dari agen antijamur. Terapi antijamur mungkin gagal.
Penatalaksanaan Pemberian bersama penginduksi CYP450 3A4 yang poten
dengan itrakonazol atau ketokonazol harus dihindari. Beberapa otoritas
merekomendasikan untuk menghindari terapi bersamaan dengan penginduksi CYP450
3A4 yang manjur dari 2 minggu sebelum dan selama pengobatan dengan itrakonazol.
Flukonazol dihilangkan tanpa perubahan oleh ginjal dan mungkin menjadi agen
antijamur yang lebih tepat, tergantung pada kondisi pasien.

B. Rifampisin
1) Rifampisin dengan Beta Blocker
Terjadi potensi peningkatan metabolisme agen penghambat β-adrenergik oleh
rifampisin karena rifampisin adalah induser enzim. Penatalaksanan dengan
penyesuaian dosis dari agen penghambat β-adrenergik.
2) Rifampisin dengan Antikoagulan
Rifampisin dapat menurunkan efek antikoagulan dengan meningkatkan
metabolisme enzim mikrosomal hati CYP450 dari antikoagulan. Penatalaksanan
penggunaan bersamaan harus dihindari kecuali tidak ada alternatif yang tersedia. INR
atau waktu protrombin harus dipantau secara ketat selama terapi bersamaan dan
setelah rifampisin dihentikan. Penyesuaian dosis antikoagulan mungkin diperlukan jika
dosis rifampisin ditambahkan, dihentikan, atau diubah.
3) Rifampisin dengan kalsium channel blocker
Rifampisin dapat menurunkan ketersediaan hayati, kadar plasma, dan efek
farmakologis dari kalsium channel blocker. Mekanismenya adalah induksi
metabolisme hati CYP450 3A4 oleh rifampisin. Penatalaksanaan pasien harus diawasi
secara ketat untuk mengetahui kemanjuran klinis kalsium channel blocker selama
pemberian bersama, dan sebaliknya, untuk blokade saluran kalsium yang berlebihan
34
saat rifampisin dihentikan. Pengobatan alternatif dapat dipertimbangkan. Pasien harus
disarankan untuk memberi tahu dokter mereka jika mereka mengalami gejala yang
memburuk (misalnya, angina, aritmia).
4) Rifampisin dengan kontrasepsi Hormon
Rifampisin digunakan dengan kontasepsi hormon dapat meningkatkan potensi
peningkatan metabolisme estrogen dan / atau progestin. Penatalaksanaan dengan
menggunakan metode kontrasepsi nonhormonal.

C. Pirazinamid
1) Pirazinamid dengan Probenesid
Pirazinamid dapat melawan efek agen uricosuric seperti benzbromarone,
probenecid, dan sulfinpyrazone. Mekanisme interaksi ini belum dijelaskan.
Penatalaksanaan Perhatian disarankan bila pirazinamid digunakan bersamaan dengan
agen urikosurik. Penyesuaian dosis serta pemantauan klinis dan laboratorium untuk
perubahan efikasi urikosurik harus dipertimbangkan. Beberapa otoritas
merekomendasikan untuk menghindari penggunaan bersamaan pirazinamid dan
probenecid.
2) Pirazinamid dengan Rifampisin
Rejimen dua bulan yang terdiri dari rifampisin (RIF) dan pirazinamid (PZA)
untuk pengobatan infeksi tuberkulosis laten (LTBI) telah dikaitkan dengan cedera hati
yang mengakibatkan tingginya tingkat rawat inap dan kematian. Mekanisme interaksi
yang tepat tidak diketahui, meskipun kedua agen tersebut bersifat hepatotoksik secara
individual dan mungkin memiliki efek tambahan pada hati selama pemberian
bersamaan. Penggunaan rifampisin dan pirazinamid untuk pengobatan LTBI harus
dipertimbangkan hanya pada pasien yang dipilih dengan cermat dengan pemantauan
ketat dan hanya jika manfaat potensial lebih besar daripada risiko hepatotoksisitas dan
kematian.

D. Etambutol
1) Etambutol dengan Antasida
Antasida yang mengandung aluminium diketahui terjadi penurunan konsentrasi
serum etambutol dan ekskresi urin, kemungkinan penurunan absorpsi oral dari
35
antimikobakteri. Penatalaksanaan yaitu pemrian antasida yang mengandung
aluminium ≥4 jam setelah etambutol.
2) Etambutol dengan Golongan Statin
Risiko neuropati perifer dapat meningkat selama penggunaan secara
bersamaan. Dalam beberapa kasus, neuropati dapat berkembang atau menjadi
ireversibel meskipun pengobatan dihentikan. Pelaksanan dilakukan Perhatian selama
penggunaan agen dengan efek neurotoksik secara bersamaan. Pasien harus diawasi
dengan ketat untuk gejala neuropati seperti rasa terbakar, kesemutan, nyeri, atau mati
rasa di tangan dan kaki. Karena perkembangan neuropati perifer mungkin terkait
dengan dosis untuk banyak obat, dosis yang dianjurkan umumnya tidak boleh
dilampaui. Pertimbangan harus diberikan untuk pengurangan dosis atau penghentian
segera obat-obatan ini pada pasien yang mengembangkan neuropati perifer untuk
membatasi kerusakan lebih lanjut. Jika memungkinkan, terapi umumnya harus
dilakukan kembali hanya setelah gejala neuropati hilang atau gejala kembali ke status
awal. Dalam beberapa kasus, pengurangan dosis permanen mungkin diperlukan.
3) Etambutol dengan Metronidazol
Risiko neuropati perifer dapat meningkat selama penggunaan secara
bersamaan. Dalam beberapa kasus, neuropati dapat berkembang atau menjadi
ireversibel meskipun pengobatan dihentikan. Pelaksanan dilakukan Perhatian selama
penggunaan agen dengan efek neurotoksik secara bersamaan. Pasien harus diawasi
dengan ketat untuk gejala neuropati seperti rasa terbakar, kesemutan, nyeri, atau mati
rasa di tangan dan kaki. Karena perkembangan neuropati perifer mungkin terkait
dengan dosis untuk banyak obat, dosis yang dianjurkan umumnya tidak boleh
dilampaui. Pertimbangan harus diberikan untuk pengurangan dosis atau penghentian
segera obat-obatan ini pada pasien yang mengembangkan neuropati perifer untuk
membatasi kerusakan lebih lanjut. Jika memungkinkan, terapi umumnya harus
dilakukan kembali hanya setelah gejala neuropati hilang atau gejala kembali ke status
awal. Dalam beberapa kasus, pengurangan dosis permanen mungkin diperlukan.
4) Etambutol dengan Kloramfenikol
Risiko neuropati perifer dapat meningkat selama penggunaan secara
bersamaan. Dalam beberapa kasus, neuropati dapat berkembang atau menjadi
ireversibel meskipun pengobatan dihentikan. Pelaksanan dilakukan Perhatian selama
36
penggunaan agen dengan efek neurotoksik secara bersamaan. Pasien harus diawasi
dengan ketat untuk gejala neuropati seperti rasa terbakar, kesemutan, nyeri, atau mati
rasa di tangan dan kaki. Karena perkembangan neuropati perifer mungkin terkait
dengan dosis untuk banyak obat, dosis yang dianjurkan umumnya tidak boleh
dilampaui. Pertimbangan harus diberikan untuk pengurangan dosis atau penghentian
segera obat-obatan ini pada pasien yang mengembangkan neuropati perifer untuk
membatasi kerusakan lebih lanjut. Jika memungkinkan, terapi umumnya harus
dilakukan kembali hanya setelah gejala neuropati hilang atau gejala kembali ke status
awal. Dalam beberapa kasus, pengurangan dosis permanen mungkin diperlukan.

E. Streptomisin
a. Streptomisin dengan Furosemide
Pemberian bersama antibiotik parenteral atau inhalasi aminoglikosida atau
neomisin oral dalam kombinasi dengan diuretik loop dapat meningkatkan risiko
ototoksik atau nefrotoksisitas karena efek farmakologis aditif atau sinergis obat ini dan
atau perubahan kadar serum dan jaringan aminoglikosida. Penggunaan antibiotik
aminoglikosida dalam kombinasi dengan diuretik loop atau manitol intravena
umumnya harus dihindari. Tes fungsi ginjal dan serial, vestibular, dan tes audiometri
harus dilakukan sesuai jenis diuretik sebelum dan selama terapi jika diperlukan
pemberian bersama.
b. Streptomisin dengan Golongan PPI
Penggunaan inhibitor pompa proton (PPI) kronis dapat menyebabkan
hipomagnesemia, dan risikonya dapat meningkat selama penggunaan diuretik secara
bersamaan atau agen lain yang dapat menyebabkan kehilangan magnesium.
Mekanisme hipomagnesemia dapat terjadi selama penggunaan PPI jangka panjang
tidak diketahui, meskipun perubahan dalam penyerapan magnesium usus mungkin
terlibat. Dilakukan Pemantauan kadar magnesium serum dianjurkan sebelum memulai
terapi dan secara berkala setelah itu jika pengobatan jangka panjang dengan
penghambat pompa proton diantisipasi atau bila dikombinasikan dengan agen lain
yang dapat menyebabkan hipomagnesemia. Pasien harus dinasihati untuk mencari
pertolongan medis segera jika mereka mengembangkan tanda dan gejala potensial
hipomagnesemia seperti palpitasi, aritmia, kejang otot, tremor, atau kejang.
37
c. Streptomisin dengan Golongan NSAID
Efek nefrotoksik dari aminoglikosida dapat diperkuat oleh obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID), terutama jika yang terakhir telah diberikan dalam dosis tinggi
untuk waktu yang lama. Penatalaksaan yaitu dengan penggunaan NSAID sebaiknya
dihentikan sebelum memulai terapi aminoglikosida IV. Jika pemberian bersamaan
diperlukan, status hidrasi serta fungsi ginjal dan vestibular harus dipantau secara ketat.
d. Streptomisin dengan Golongan Bifosfonat
Pemberian bifosfonat dan aminoglikosida secara bersamaan dapat meningkatkan risiko
hipokalsemia dan nefrotoksisitas, terutama bila bifosfonat diberikan secara intravena.
Bifosfonat saja sering menyebabkan hipokalsemia ringan tanpa gejala melalui efek
penghambatan pada resorpsi tulang dan kemungkinan khelasi kalsium darah,
sedangkan aminoglikosida dapat menyebabkan kerusakan tubulus ginjal yang
mengakibatkan hilangnya kalsium dan magnesium ginjal. Perhatian disarankan jika
bifosfonat digunakan pada pasien yang baru saja menerima atau menerima pengobatan
dengan aminoglikosida. Fungsi ginjal serta kadar kalsium dan magnesium serum harus
dipantau selama dan setelah pengobatan, karena kehilangan kalsium dan magnesium
oleh ginjal dapat berlanjut selama beberapa minggu setelah penghentian
aminoglikosida, seperti halnya efek bifosfonat. Pasien dan dokter harus waspada
terhadap tanda dan gejala hipokalsemia klinis seperti kejang otot, kejang otot, kejang
laring, tetani, kejang, perubahan mental (lekas marah, depresi, psikosis), peningkatan
tekanan intrakranial, papilledema, perpanjangan interval QT, dan jantung. aritmia.
Untuk bifosfonat IV, label produk untuk pamidronate dan asam zoledronic
merekomendasikan bahwa dosis tunggal masing-masing tidak melebihi 90 mg dan 4
mg, dan durasi infus tidak kurang dari 2 jam dan 15 menit.

2.13 Studi Kasus


Tn. K, 50 tahun, seorang pekerja petani karet datang dengan keluhan batuk tidak berdahak.
Pasien mengatakan batuk dirasakan lebih sering pada malam hari dibandingkan pagi atau
siang hari. Keluhan tersebut telah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya pasien
mengatakan batuk timbul pada saat menyangkul dan bertambah berat pada saat
menyemprot pestisida pada kebunnya. Pasien juga mengatakan adanya demam, keringat
malam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan yang awalnya 50 kg menjadi
38
47 kg dalam satu bulan. Pasien mempunyai kebiasaan yang tidak baik seperti membuang
dahak sembarangan, tidak memakai masker pada saat batuk, kurangnya pengetahuan
penyakit yang diderita oleh pasien, dukungan keluarga yang kurang terhadap pasien, dan
keadaan rumah pasien yang lembab. Pasien juga mempunyai riwayat kontak dengan
penderita TB yaitu istrinya yang sudah meninggal dunia. Pada saat keluhan muncul pasien
dibawa oleh keluarganya ke RS kemudian dibawa ke Puskesmas untuk mendapatkan
pengobatan.
Pemeriksaan fisik yang telah dilakukan kepada pasien didapatkan hasil berat badan pasien
47 kg, tinggi badan 163 cm, IMT 18,0 (underweight), terlihat sakit ringan. Tekanan darah
110/70 mmHg, nadi 80 x/menit, frekuensi napas 17 x/menit, suhu tubuh 37,0oC.
Konjungtiva mata anemis, sklera anikterik. Telinga dan hidung dalam batas normal. Pada
mulut tampak gigi dan oral hygiene cukup. Tenggorokan, jantung, dan abdomen dalam
batas normal. Pada pemeriksaan paru, inspeksi dalam batas normal, palpasi dalam batas
normal, perkusi dalam batas normal, auskultasi adanya suara ronkhi pada pulmo dekstra
dan sinistra. Ekstremitas superior dan inferior dalam batas normal, tidak sianosis, tidak
oedem, dan akral hangat. Status neurologis: Reflek fisiologis normal, reflek patologi (‐). Di
RS pasien telah dilakukan pemeriksaan foto rontgen anterior posterior (AP) dan didapatkan
adanya kavitas pada pulmo dekstra dan sinistra. Setelah dilakukan foto rontgen, pasien
datang ke Puskesmas untuk pengambilan dahak. Pengambilan dahak dilakukan sebanyak
dua kali dengan hasil yang pertama negatif kemudian diulangi dan didapatkan hasilnya +2.
Pasien diberikan obat paket berupa Rifampicin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400
mg, Etambutol 275 mg. Pasien sudah mendapatkan pengobatan selama 1 bulan. Pasien
merasakan gatal setelah minum obat tersebut, namun untuk menguranginya pasien
biasanya minum teh yang hangat dan pada saat BAK berwarna merah.

2.13.1 Subjektive
Tn. K, 50 tahun 47 kg tinggi 163 cm, mengatakan batuk dirasakan lebih sering pada
malam hari dan telah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan adanya
demam, keringat malam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan yang
awalnya 50 kg menjadi 47 kg dalam satu bulan. Pasien mempunyai riwayat kontak
dengan penderita TB yaitu istrinya yang sudah meninggal dunia. Setelah pemberian obat
pasien merasakan gatal, namun untuk menguranginya pasien biasanya minum teh yang
39
hangat dan pada saat buang air kecil ai seni berwarna merah.
2.13.2 Objective
Data Klinik Nilai Normal Hasil pemeriksaan
BMI 18,5-25 18 (under weight)
Tekanan darah < 120/80 mmHg 110/70 mmHg
Nadi 80 x/menit 80 x/menit
Frekuensi nafas 12-16x/menit 17 x/menit
Suhu tubuh 36,5°C -37,2°C 37,0oC
BTA Negatif 1. Pengambilan pertama
Negatif
2. Pengambilan kedua ++ (2+)

Pada mulut tampak gigi dan oral hygiene cukup. Tenggorokan, jantung, dan
abdomen dalam batas normal. Pada pemeriksaan paru, inspeksi dalam batas normal,
palpasi dalam batas normal, perkusi dalam batas normal, auskultasi adanya suara ronkhi
pada pulmo dekstra dan sinistra. Ekstremitas superior dan inferior dalam batas normal,
tidak sianosis, tidak oedem, dan akral hangat. Status neurologis: Reflek fisiologis
normal, reflek patologi (‐). Pemeriksaan foto rontgen anterior posterior (AP) dan
didapatkan adanya kavitas pada pulmo dekstra dan sinistra. Setelah dilakukan foto
rontgen, pasien datang ke Puskesmas untuk pengambilan dahak.

2.13.3 Assesmant
1) Riwayat Penyakit Saat Ini
Pasien sering batuk pada malam hari dan telah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu,
demam, keringat malam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan
padahal tidak sedang diet, Pasien mempunyai riwayat kontak dengan penderita TB.
Setelah pemberian obat pasien merasakan gatal, dan pada saat buang air kecil ai seni
berwarna merah
2) Penggunaan Obat Saat Ini
Rifampicin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg.
Pasien sudah mendapatkan pengobatan selama 1 bulan.

40
3) Penyebab dari Keluhan Pasien
Rasa gatal merupakan efek samping dari obat Isoniazid, Rifampisin, dan Pirazinamid.
Air seni berwarna merah adalah efek samping dari Rifampisin
4) Tidak ditemukan masalah terkait obat

2.13.4 Plan
1) Tidak perlu adanya perubahan regimen obat dan OAT tetap dilanjutkan
2) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit untuk meningkatkan kepatuhan minum
obat pasien. Gunakan obat kombinasi HRZE dengan menyesuaikan berat badan
pasien yaitu 47 kg jadi diberi kombinasi HRZE 3 tablet 4KDT untuk 2 bulan
3) Kombinasi tetap, pasien mendapatkan obat yang harus diminum tiap hari, pasien
harus patuh minum obat dan diawasi secara langsung untuk mencegah resistensi,
serta pasien tidak bisa memilih obat tertentu yang dikonsumsinya.
4) Setelah 2 bulan dilakukan pengecekan sputum. Pemeriksaan dilakukan sebanyak dua
kali yaitu pada pagi dan sewaktu. Jika hasil menyatakan negatif jika ke dua spesimen
menghasilkan negatif. Jika negatif maka tahap lanjutan dimulai. Akan tetapi bila
salah satu atau keduanya positif maka hasil pemeriksaan menyatakan positif. Bila
positif maka tetap diberikan tahap lanjutan akan tetapi dilakukan pemeriksaan
resistensi antibiotik, lakukan tes biakan, atau rujuk kelayanan TB-MDR
5) Setelah 2 bulan pengobatan dilakukan Tahap Lanjutan: ≥4 bulan. Tahap lajutan
dilkaukan untuk membunuh dorman sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
6) Dilakukan pemantauan terapi seperti:
a) PemeriksaanBUN & Serum Creatinine
b) AST, ALT, & Bilirubin Total
c) Hematologi (complete blood count)
d) PemeriksaanPenglihatan
e) Snellen visual acuity charts
f) Ishihara color discrimination plates
g) Pengukuran berat badan, untuk penyesuaian dosis terapi (jika diperlukan)

41
BAB III

KESIMPULAN

1. Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara
lain: M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae. Yang juga dikenal sebagai
Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain
Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas
dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang
bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB.

2. Pasien biasanya datang dengan gejala batuk tak kunjung sembuh, kelelahan,
demam, dan keringat malam. Batuk disertai lender (dahak berdarah) yang
merupakan tahap penyakit TB yang bisa muncul lebih awal.
3. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
4. OAT yang digunakan di Indonesia ialah : Kategori 1 : 2(HRZE)/ 4(HR)3 atau

2(HRZE)/4(HR), Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau

2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E., Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZE(S)/4-

10HR dan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu

Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin,

PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta

OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.

5. Pengobatan Pasien TB di Indonesia pada kondisi khusus diantaranya : pengobatan

pada ODHA, pada wanita hamil, pasien diabetes melitus, pasien dengan kelainan

hati, perempuan usia subur dan pasien yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid.

42
DAFTAR PUSTAKA

Alldredge, Brian K. (ed), Corelli, Robin L. (ed), Ernst, Micheal E.(ed), Guglielmo, B.
Joseph. (ed), Jacobson, P. A.(ed), Kradjan, W. A.(ed), Williams, Bradley R., (ed) 2013,
Koda Kimble and Youn’s Applied Therapeutics The Clinical Use of Drug Edition
Tenth, Lippincott Willian and Wilkins, USA

Chishol-Burn, Marie A. (ed) et al, 2008, Pharmacotherapy, Principles and Practice, Mc


Graw Hill, New York

Depkes RI., 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta : Gerdunas


TB.

Dipiro, Joseph T.(ed), Talbert, Robert L.(ed), Yee, Gary C. (ed), Matzke, Gary R. (ed),
Wells, Barbara G. (ed), Posey, Micheal L. (ed), 2008, Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach Seventh edition, Mc Graw Hill, New York.

Indodatin. 2018. Tuberkulosis. Jakarta


Kementrian Kesehatan RI Pencegahan dan Pengendalian Pengakit. 2017
Menkes RI, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.67 Tahun 2016
tentang Penanggulangan Tuberculosis.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 Tentang


Penanggulangan Tuberkulosis.

Wells, Barbara G. (ed), Dipiro, Joseph T. (ed), Schwinghammer, Terry L.(ed), DiPiro,
Cecily V.(ed), 2017, Pharmacotherapy handbook Tenth Edition, The McGraw-Hill
Companies, New York.

43
44

Anda mungkin juga menyukai