ANTI TUBERKULOSIS
Disusun oleh :
Kelompok 8 A Apoteker XXXI
Melda Ivani Delinda 3351201436
Aliya Salsabila 3351201521
Sri Supriati Ningsih 3351201527
Novita Dewi Handayani 3351201590
Nurfadillah Hazar 3351201591
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga
makalah Interaksi Obat berjudul “Interaksi Obat anti Tuberkulosis” dapat tersusun hingga
selesai pada waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Interaksi Obat.
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat membantu meningkatkan pengetahuan
tentang “Interaksi-interaksi obat anti Tuberkulosis” serta dapat mencegah interaksi obat
yang dapat menyebabkan masalah ataupun resiko dalam pengobatan Tuberculosis sehingga
tujuan terapi dapat tercapai dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
Penulis dapat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini, oleh karena itu penulis akan sangat menghargai kritikan dan saran untuk
membangun makalah ini lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui interaksi obat yang berkaitan dengan obat Tuberculosis
2. Untuk mengetahui mekanisme interaksi obat yang berkaitan dengan obat
Tuberculosis
3. Untuk mengetahui penanganan ketika terjadi interaksi obat Tuberkulosis
1. Obat atau makanan apa saja yang menyebabkan interaksi dengan obat
Tuberculosis?
2. Bagaimana mekanisme interaksi obat yang berkaitan dengan obat Tuberculosis?
3. Bagaimana penanganan yang dilakukan ketika ada interaksi obat Tuberkulosis?
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain:
M.tuberculosis, M.africanum, M. bovis, M. Leprae. Yang juga dikenal sebagai Bakteri
Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis
yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT
(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa mengganggu penegakan
diagnosis dan pengobatan TB (Menkes RI, 2016).
2.2 Prevalensi
Estimasi jumlah kasus TB di Indonesia sebanyak 845.000 kasus pada tahun 2020
(data Sistem Informasi Tuberkulosis Terpadu (SITT) per 20 Maret 2020). Dengan kasus
TB yang ternotifikasi sebesar 543.874, dengan 11.993 kematian akibat TB. Berdasarkan
situasi di Indonesia, penderita TB paling banyak berada di pulau Jawa, terutama pada
daerah DKI Jakarta hingga Jawa Barat. .
3
Sedangkan dua milyar orang atau 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh basil TB.
Setengah dari kasus baru terjadi di enam negara Asia ( Bangladesh, China, India,
Indonesia, Pakistan dan Pilipina ). Pada Tahun 2005 terdapat sebanyak 8,8 juta kasus TB
baru, 80 % diantaranya terjadi di 22 negara. Total kematian akibat TB pada tahun 2005
adalah 1,6 juta orang sebanding dengan 4400 kematian per hari . Prevalensi TB dan angka
kematian telah menurun pada beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 2005 insiden TB
terlihat stabil atau bahkan menurun di seluruh dunia dan telah mencapai puncaknya. Tetapi
jumlah total kasus yang terjadi di Afrika, Mediterania dan Asia Tenggara.
Secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah sebagai
berikut (Depkes RI, 2016).:
- Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron, lebar 0,2 – 0,6 mikron.
- Bersifat tahan asam dalam perwarnaan dengan metode Ziehl Neelsen, berbentuk
batang berwarna merah dalam pemeriksaan dibawah mikroskop.
- Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein Jensen, Ogawa.
4
- Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu lama
pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
- Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra violet. Paparan
langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar kuman akan mati dalam waktu
beberapa menit. Dalam dahak pada suhu antara 30-37°C akan mati dalam waktu lebih
kurang 1 minggu.
- Kuman dapat bersifat dorman.
6
• TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
• TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus,
TB saluran kemih dan alat kelamin.
4. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, dibagi beberapa tipe pasien,
yaitu:
a) Kasus bar adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b) Kasus kambuh (Relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c) Kasus setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d) Kasus setelah gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
e) Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
f) Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih
BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan
2.6 Patofisiologi
Infeksi primer biasanya terjadi akibat menghirup droplet nuklei yang mengandung
M. tuberculosis. Perkembangan ke klinis penyakit tergantung pada tiga faktor: (1) jumlah
M. Tuberculosis yang dihirup, (2) virulensi organisme ini, dan (3) imun yang dimediasi
oleh respon sel inang. Jika makrofag paru menghambat atau membunuh basil, maka infeksi
dibatalkan. Jika tidak, M. tuberculosis akhirnya menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran
darah. M. tuberkulosis paling sering menginfeksi daerah apikal posterior paru-paru, di
mana kondisinya paling menguntungkan untuk kelangsungan hidupnya. Limfosit T
menjadi aktif selama 3 sampai 4 minggu, menghasilkan interferon-γ (IFN-γ) dan sitokin
7
lainnya. Hal ini merangsang makrofag mikrobisidal untuk mengelilingi bakteri tuberkulosis
dan membentuk granuloma untuk mencegah perluasan lebih lanjut. Pada saat ini titik,
infeksi sebagian besar terkendali, dan replikasi basil menurun secara dramatis. Semua
mikobakteri yang tersisa diyakini berada terutama di dalam granuloma atau di dalam
makrofag yang menghindari deteksi dan lisis. Selama 1 sampai 3 bulan, terjadi
hipersensitivitas jaringan, hasilnya positif tes kulit tuberkulin (Chishol-Burn (ed). et al,
2008).
2.7 Faktor Resiko
a) Daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi
buruk).
b) Kontak dekat dengan pasien TBC terutama BTA Positif .
c) Orang dari negara yang prevalensi TB tinggi, lebih besar dari 40/100.000 penduduk,
dinyatakan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI). ARTI di
Indonesia bervariasi antara 1-3 %
d) Alkoholik dan pengguna obat dengan sediaan injeksi.
e) Faktor resiko medis : terapi dengan kortikosteroid jangka panjang
f) Faktor lain : Konsentrasi percikan di udara lamanya menghirup udara, daya tahan
tubuh.
2.8 Terapi
2.8.1 Non Farmakologi
Terapi nonfarmakologis bertujuan untuk mencegah penyebaran TB yang dilaksanakan
oleh departemen kesehatan masyarakat.Pekerja di rumah sakit dan institusi lain harus
mencegah penularan TB dalam fasilitas mereka. Semua pekerja tersebut harus belajar dan
mengikuti pedoman pengendalian infeksi setiap institusi, termasuk menggunakan alat
pelindung diri, termasuk respirator yang dipasang dengan benar, dan menutup pintu ke
ruangan "tekanan negatif". Rumah sakit yang memiliki ruang isolasi menarik udara dari
area sekitar daripada bertiup udara (dan M. tuberculosis) ke daerah sekitarnya. Udara dari
ruang isolasi dapat dirawat dengan lampu ultraviolet dan kemudian dibuang dengan aman
di luar. Namun, ruang isolasi ini berfungsi dengan baik hanya jika pintunya tertutup. Selain
itu Pembedahan mungkin diperlukan untuk mengangkat jaringan paru-paru yang hancur,
8
menempati ruang lesi yang terinfeksi (tuberkuloma), dan ekstrapulmonal lesi tertentu. Serta
penggunaan Vaksin pada anak bayi digunakan untuk mencegah penularan TB pada bayi
tersebut (Dipiro (ed) dkk, 2008)
2.8.2 Terapi Farmakologi (Menkes RI, 2016)
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran
lebih lanjut kuman TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
2. Diberikan dalam dosis yang tepat.
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan
Obat) sampai selesai pengobatan.
4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup, terbagi dalam dua (2) tahap
yaitu tahap awal serta tahap lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat untuk
mencegah kekambuhan.
A. Tahapan Pengobatan TB:
1) Tahap Awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien
dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak
sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan
tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu pertama.
2) Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan
9
Jenis Sifat Efek samping
Isoniazid Bakterisidal Neuropati perifer (Gangguan saraf
(H) tepi), psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang.
10
C OAT oral lini • Etionamid (Eto)/Protionamid (Pto)*
Kedua • Sikloserin (Cs) /Terizidon (Trd)*
• Clofazimin (Cfz)
• Linezolid (Lzd)
D D1 • Pirazinamid (Z)
OAT lini • Etambutol (E)
pertama • Isoniazid (H) dosis tinggi
2) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3atau
2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.
4) Paduan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu
Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide, Sikloserin, Moksifloksasin, PAS,
Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta OAT
11
lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
Catatan:
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat
diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu)
dengan mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan. Penyediaan OAT dengan
dosis harian saat ini sedang dalam proses pengadaan oleh Program TB Nasional.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi
dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 dan 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam 1 (satu) paket untuk 1 (satu) pasien untuk 1 (satu) masa pengobatan.
Paduan OAT kategori anak disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap
(OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket
untuk satu pasien dan untuk satu (1) masa pengobatan. Paduan OAT disediakan dalam
bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin
kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Obat Anti Tuberkulosis dalam bentuk paket KDT mempunyai beberapa keuntungan
dalam pengobatan TB, yaitu:
1) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko terjadinya
resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
2) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas
obat dan mengurangi efek samping.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi
sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Pengobatan TB dengan paduan OAT Lini Pertama yang digunakan di Indonesia dapat
diberikan dengan dosis harian maupun dosis intermiten (diberikan 3 kali perminggu)
dengan mengacu pada dosis terapi yang telah direkomendasikan.
Tabel II. 3 Dosis rekomendasi OAT Lini pertama untuk dewasa
12
Obat Dosis Rekomendasi
13
Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Setiap hari RHZE setiap hari RH
(150/75/400/275) (150/75)
2. Dosis harian fase awal dan dosis intermiten fase lanjutan (2(HRZE)/4(HR)3)
14
B. Kategori -2: Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu:
a) Pasien kambuh.
b) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
+ 500 mg
Steptomisin inj.
+750 mg
steptomisin inj.
15
55-70Kg 4 tab 4KDT 4 tab 4 KDT 4 tablet
+1000 mg
steptomisin inj.
+1000 mg (› d0 maks)
steptomisin inj.
16
55-70Kg 4 tab 4KDT 4 tab 4 KDT 4 tab 2KDT
A. Rifampisin (R)
• Rifampisin + Paracetamol
• Rifampisin + Antasida
17
Interaksi : Absorbsi dari rifampisin akan berkurang karena adanya
antasida
• Rifampisin + Barbiturat
• Rifampisin + Antikoagulan
Mekanisme lain juga mungkin terlibat. Satu studi menemukan bahwa kadar serum
warfarin dan respons protrombin dikurangi hingga ½
18
Keterangan/Penanganan : Dosis antikoagulan ditingkatkan hingga 2-3 kali lipat
untuk mengakomodasi interaksi ini
• Rifampisin + CCB
• Rifampisin + ACEI
• Rifampisin + Kortikosteroid
19
• Rifampisin + Agen hipoglemik
• Rifampisin + Makanan
B. Pirazinamid (Z)
• Pirazinamid + Probenesid
20
memperpanjang efek urikosuriknya, dan efek pirazinamida berkurang. Juga,
probenesid menghambat sekresi pirazinamid,dan meningkatkan efeknya.
• Pirazinamid + Antacids
• Pirazinamid + Allopurinol
• Pirazinamid + Makanan
21
Keterangan/Penanganan : Menghindari sarapan tinggi lemak.
C. Isoniazid (H)
Keterangan/Penanganan : -
• Isoniazid + Aspirin
Keterangan/Penanganan : -
• Isoniazid + Antasida
• Isoniazid + Disulfiram
22
Mekanisme : Tidak diketahui. Diduga karena kedua obat tersebut
menghambat jalur metabolism dopamine, sehingga menghasilkan efek samping
yang serupa jika diberikan dengan dosis tinggi.
• Isoniazid + Makanan
23
menginhibisi enzim tersebut sehingga tiramin dapat lewat dengan bebas dalam
sirkulasi darah, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah dan peningkatan
noradrenalin
• Isoniazid + Prednisolon
• Isoniazid + Laksative
• Isoniazid + Propanolol
• Isoniazide + Pethidine
24
Keterangan/Penanganan : Tidak disarankan penggunaan bersamaan Isoniazide
dan Pethidine
• Isoniazid + Quinolon
Mekanisme :
a) Ciprofloxacin
b) Pefloxacin
D. Etambutol (E)
• Etambutol + Antasida
25
Keterangan/Penanganan : Hindari pemberian antasida bersamaan dengan
etambutol. Antasida yang mengandung aluminium hidroksida tidak boleh
dikonsumsi hingga 4 jam setelah dosis etambutol.
26
c) Apabila pasien TB didapati HIV Positif, unit DOTS merujuk pasien ke unit HIV atau
RS rujukan ARV untuk mempersiapkan dimulainya pengobatan ARV.
d) Sebelum merujuk pasien ke unit HIV, Puskesmas/unit DOTS RS dapat membantu
dalam melakukan persiapan agar pasien patuh selama mendapat pengobatan ARV.
e) Pengobatan ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu memberikan
tatalaksana komplikasi yang terkait HIV, yaitu di RS rujukan ARV atau satelitnya.
Sedangkan untuk pengobatan TB bisa didapatkan di unit DOTS yang terpisah maupun
yang terintegrasi di dalam unit PDP.
f) Ketika pasien telah dalam kondisi stabil, misalnya sudah tidak lagi dijumpai reaksi
atau efek samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat dirujuk kembali ke
Puskesmas/unit RS DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan untuk ARV tetap
diberikan oleh unit HIV.
g) Kerjasama yang erat dengan Fasyankes yang memberikan pelayanan pengobatan ARV
sangat diperlukan mengingat adanya kemungkinan harus dilakukan penyesuaian ARV
agar pengobatan dapat berhasil dengan baik.
2) Pemberian pengobatan pencegahan dengan Kotrimoksasol (PPK)
Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk mengurangi
angkakesakitan dan kematian pada ODHA dengan atau tanpa TB akibat IO.
Pengobatanpencegahan dengan kotrimoksasol relatif aman dan harus diberikan sesuai
denganPedoman Nasional PDP serta dapat diberikan di unit DOTS atau di unit PDP
3) Perawatan, Dukungan Dan Pengobatan HIV.
Perawatan bagi pasien dengan HIV bersifat komprehensif berkesinambungan, artinya
dilakukan secara holistik dan terus menerus melalui sistem jejaring yang bertujuan
memperbaiki dan memelihara kualitas hidup ODHA dan keluarganya. Perawatan
komprehensif meliputi pelayanan medis, keperawatan dan pelayanan pendukung lainnya
seperti aspek promosi kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan penyembuhan dan
rehabilitasi untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologi, sosial dan kebutuhan spiritual
individu termasuk perawatan paliatif. Dukungan bagi pasien dengan HIV meliputi dukungan
sosial, dukungan untuk akses layanan, dukungan di masyarakat dan di rumah, dukungan
spriritual dan dukungan dari kelompok sebaya.
27
2.10.2. Pengobatan TB pada Diabetes Melitus
TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan Diabetes
Mellitus. Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes Melitus:
1) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi pasien
TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
2) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan
sampai 9 bulan
3) Hati-hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM sering
mengalami komplikasi kelainan pada mata
4) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitasobat
oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
5) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bilaterjadi
kekambuhan
6) Pilihan utama untuk pengobatan DM pada pasien TB adalah insulin. Oleh karena
OAT pada umumnya hepatotoksik yang akan mempengaruhi metabolisme obat
Hipoglikemik Oral (OHO). OAT juga dapat menghambat penyerapan OHO disaluran
pencernaan, sehingga diperlukan dosis OHO yang lebih tinggi.
7) Untuk kendali gula darah, pasien TB dengan DM di FKTP, sebaiknya dirujuk ke
FKRTL untuk menginisasi obat anti diabetik.
8) Pada pasien TB RO, Diabetes mellitus dapat memperkuat efek samping OAT
terutama gangguan ginjal dan neuropati perifer. Obat Anti Diabetika (OAD) tidak
merupakan kontraindikasi selama masa pengobatan TB tetapi biasanya memerlukan
dosis OAD yang lebih tinggi sehingga perlu penanganan khusus. Apabila pasien
minum etionamid maka kadar insulin darah lebih sulit dikontrol, untuk itu perlu
konsultasi dengan ahli penyakit dalam. Kadar Kalium darah dan serum kreatinin
harus dipantau setiap minggu selama bulan pertama dan selanjutnya minimal sekali
dalam 1 bulan selama tahap awal.
2.10.3 Pengobatan Pasien TB dengan kelainan hati
1) Pasien TB dengan Hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk ke
fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.
28
a) Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yangbiasa
digunakan apabila tidak ada kondisi kronis :
a. Pembawa virus hepatitis
b. Riwayat penyakit hepatitis akut
c. Saat ini masih sebagai pecandu alcohol
Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan kondisi
tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.
b) Hepatitis Kronis
Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan fungsi
hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil pemeriksaan fungsi hati
>3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan OAT berikut ini dapat
dipertimbangkan:
1) 2 obat yang hepatotoksik
2 HRSE / 6 HR
9 HRE
2) 1 obat yang hepatotoksik
2 HES / 10 HE
3) Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak
direkomendasikan karena potensinya sangat lemah).
2.10.4 Pengobatan TB pada ibu hamil, pengguna kontrasepsi dan wanita usia subur
Kehamilan, Ibu menyusui dan bayinya, pengguna kontrasepsi
1) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan
TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali
golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin karena dapat menimbulkan
ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat menembus barier placenta. Keadaan
ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang
menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa
keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan
lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian
Piridoksin 50mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB,
29
sedangkan pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan
padatrimester 3 kehamilan menjelang partus.
2) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda denganpengobatan
pada umumnya. Semua jenis OAT Lini 1 aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui
yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang
tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu
dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus diberikan ASI. Pengobatan
pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
3) Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk
KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB
sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.
2.10.5 Pengobatan TB pada perempuan usia subur
1) Jika pasien menggunakan kontrasepsi, Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi
hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas
kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-
hormonal
2) Semua pasien TB RO usia subur yang akan mendapat pengobatan dengan OAT RO,
harus melakukan tes kehamilan terlebih dahulu.
3) Bila ternyata pasien tersebut tidak hamil, pasien dianjurkan memakai kontrasepsi fisik
selama masa pengobatan untuk mencegah kehamilan.
2.10.6 Pengobatan pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal
1) Pasien dengan penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada pasien
dengan penyakit ginjal kronis.
2) Pemberian OAT TB pada pasien dengan gangguan ginjal harus dilakukan dengan hati–
hati, sebaiknya pirazinamid dan etambutol tidak diberikan karena diekskresi melalui
ginjal.
3) Perlu diberikan tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati
perifer.
30
4) Kerjasama dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan
fungsi ginjal sangat diperlukan. Penilaian tingkat kegagalan fungsi ginjal berdasarkan
pada pemeriksaan kreatinin.
2.10.7 Pasien TB yang perlu mendapatkan tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa
pasien seperti:
1) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
2) TB milier dengan atau tanpa meningitis
3) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial
4) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing(untuk
mencegah penyempitan ureter), pembesaran kelenjar getah bening dengan penekanan
pada bronkus atau pembuluh darah.
5) Hipersensitivitas berat terhadap OAT.
6) IRIS (Immune Response Inflammatory Syndrome).
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan ringannya
keluhan serta respon klinis.
2.11 Penatalaksanaan Pasien TB dengan Efek Samping OAT
Semua OAT yang digunakan untuk pengobatan pasien TB mempunyai kemungkinan
untuk menimbulkan efek samping baik ringan, sedang, maupun berat, efek samping
kemungkinan lebih sering terjadi pada pengobatan TB RO mengingat jenis OAT yang
digunakan lebih banyak dan beragam. Jika muncul efek samping pengobatan, kemungkinan
pasien akan menghentikan pengobatan tanpa memberitahukan petugas fasyankes. Sehingga
KIE mengenai gejala efek samping pengobatan harus dilakukan sebelum pasien memulai
dan selama pengobatan. Penanganan efek samping yang baik dan adekuat adalah kunci
keberhasilan pengobatan TB. Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping
dengan cara mengajarkan kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek
samping serta menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas
kesehatan. Selain daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan
pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke faskes
untuk mengambil obat.
31
2.11.1 Efek Samping Ringan
Penatalaksanaan efek samping ringat OAT dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
32
Bingung, mual muntah Semua jenis Semua OATdihentikan,
(dicurigai terjadi gangguan OAT Segera lakukan pemeriksaan
fungsi hati apabila disertai fungsi hati.
ikterus)
Gangguan penglihatan E E dihentikan.
Purpura, renjatan (syok), gagal R R dihentikan.
Ginjal akut
Penurunan produksi urine S S dihentikan.
33
mengalami gejala toksisitas, termasuk kantuk, gangguan penglihatan, perubahan status
mental, kejang, mual, atau ataksia. Dosis fenitoin mungkin perlu diturunkan.
4) Isoniazid dengan Antifungals, azoles
Pemberian bersamaan dari penginduksi CYP450 3A4 yang poten dapat secara
signifikan menurunkan kadar serum itrakonazol dan ketokonazol. Mekanisme tersebut
tampaknya meningkatkan metabolisme jalur pertama dan metabolisme enzim hati
(CYP450 3A4) dari agen antijamur. Terapi antijamur mungkin gagal.
Penatalaksanaan Pemberian bersama penginduksi CYP450 3A4 yang poten
dengan itrakonazol atau ketokonazol harus dihindari. Beberapa otoritas
merekomendasikan untuk menghindari terapi bersamaan dengan penginduksi CYP450
3A4 yang manjur dari 2 minggu sebelum dan selama pengobatan dengan itrakonazol.
Flukonazol dihilangkan tanpa perubahan oleh ginjal dan mungkin menjadi agen
antijamur yang lebih tepat, tergantung pada kondisi pasien.
B. Rifampisin
1) Rifampisin dengan Beta Blocker
Terjadi potensi peningkatan metabolisme agen penghambat β-adrenergik oleh
rifampisin karena rifampisin adalah induser enzim. Penatalaksanan dengan
penyesuaian dosis dari agen penghambat β-adrenergik.
2) Rifampisin dengan Antikoagulan
Rifampisin dapat menurunkan efek antikoagulan dengan meningkatkan
metabolisme enzim mikrosomal hati CYP450 dari antikoagulan. Penatalaksanan
penggunaan bersamaan harus dihindari kecuali tidak ada alternatif yang tersedia. INR
atau waktu protrombin harus dipantau secara ketat selama terapi bersamaan dan
setelah rifampisin dihentikan. Penyesuaian dosis antikoagulan mungkin diperlukan jika
dosis rifampisin ditambahkan, dihentikan, atau diubah.
3) Rifampisin dengan kalsium channel blocker
Rifampisin dapat menurunkan ketersediaan hayati, kadar plasma, dan efek
farmakologis dari kalsium channel blocker. Mekanismenya adalah induksi
metabolisme hati CYP450 3A4 oleh rifampisin. Penatalaksanaan pasien harus diawasi
secara ketat untuk mengetahui kemanjuran klinis kalsium channel blocker selama
pemberian bersama, dan sebaliknya, untuk blokade saluran kalsium yang berlebihan
34
saat rifampisin dihentikan. Pengobatan alternatif dapat dipertimbangkan. Pasien harus
disarankan untuk memberi tahu dokter mereka jika mereka mengalami gejala yang
memburuk (misalnya, angina, aritmia).
4) Rifampisin dengan kontrasepsi Hormon
Rifampisin digunakan dengan kontasepsi hormon dapat meningkatkan potensi
peningkatan metabolisme estrogen dan / atau progestin. Penatalaksanaan dengan
menggunakan metode kontrasepsi nonhormonal.
C. Pirazinamid
1) Pirazinamid dengan Probenesid
Pirazinamid dapat melawan efek agen uricosuric seperti benzbromarone,
probenecid, dan sulfinpyrazone. Mekanisme interaksi ini belum dijelaskan.
Penatalaksanaan Perhatian disarankan bila pirazinamid digunakan bersamaan dengan
agen urikosurik. Penyesuaian dosis serta pemantauan klinis dan laboratorium untuk
perubahan efikasi urikosurik harus dipertimbangkan. Beberapa otoritas
merekomendasikan untuk menghindari penggunaan bersamaan pirazinamid dan
probenecid.
2) Pirazinamid dengan Rifampisin
Rejimen dua bulan yang terdiri dari rifampisin (RIF) dan pirazinamid (PZA)
untuk pengobatan infeksi tuberkulosis laten (LTBI) telah dikaitkan dengan cedera hati
yang mengakibatkan tingginya tingkat rawat inap dan kematian. Mekanisme interaksi
yang tepat tidak diketahui, meskipun kedua agen tersebut bersifat hepatotoksik secara
individual dan mungkin memiliki efek tambahan pada hati selama pemberian
bersamaan. Penggunaan rifampisin dan pirazinamid untuk pengobatan LTBI harus
dipertimbangkan hanya pada pasien yang dipilih dengan cermat dengan pemantauan
ketat dan hanya jika manfaat potensial lebih besar daripada risiko hepatotoksisitas dan
kematian.
D. Etambutol
1) Etambutol dengan Antasida
Antasida yang mengandung aluminium diketahui terjadi penurunan konsentrasi
serum etambutol dan ekskresi urin, kemungkinan penurunan absorpsi oral dari
35
antimikobakteri. Penatalaksanaan yaitu pemrian antasida yang mengandung
aluminium ≥4 jam setelah etambutol.
2) Etambutol dengan Golongan Statin
Risiko neuropati perifer dapat meningkat selama penggunaan secara
bersamaan. Dalam beberapa kasus, neuropati dapat berkembang atau menjadi
ireversibel meskipun pengobatan dihentikan. Pelaksanan dilakukan Perhatian selama
penggunaan agen dengan efek neurotoksik secara bersamaan. Pasien harus diawasi
dengan ketat untuk gejala neuropati seperti rasa terbakar, kesemutan, nyeri, atau mati
rasa di tangan dan kaki. Karena perkembangan neuropati perifer mungkin terkait
dengan dosis untuk banyak obat, dosis yang dianjurkan umumnya tidak boleh
dilampaui. Pertimbangan harus diberikan untuk pengurangan dosis atau penghentian
segera obat-obatan ini pada pasien yang mengembangkan neuropati perifer untuk
membatasi kerusakan lebih lanjut. Jika memungkinkan, terapi umumnya harus
dilakukan kembali hanya setelah gejala neuropati hilang atau gejala kembali ke status
awal. Dalam beberapa kasus, pengurangan dosis permanen mungkin diperlukan.
3) Etambutol dengan Metronidazol
Risiko neuropati perifer dapat meningkat selama penggunaan secara
bersamaan. Dalam beberapa kasus, neuropati dapat berkembang atau menjadi
ireversibel meskipun pengobatan dihentikan. Pelaksanan dilakukan Perhatian selama
penggunaan agen dengan efek neurotoksik secara bersamaan. Pasien harus diawasi
dengan ketat untuk gejala neuropati seperti rasa terbakar, kesemutan, nyeri, atau mati
rasa di tangan dan kaki. Karena perkembangan neuropati perifer mungkin terkait
dengan dosis untuk banyak obat, dosis yang dianjurkan umumnya tidak boleh
dilampaui. Pertimbangan harus diberikan untuk pengurangan dosis atau penghentian
segera obat-obatan ini pada pasien yang mengembangkan neuropati perifer untuk
membatasi kerusakan lebih lanjut. Jika memungkinkan, terapi umumnya harus
dilakukan kembali hanya setelah gejala neuropati hilang atau gejala kembali ke status
awal. Dalam beberapa kasus, pengurangan dosis permanen mungkin diperlukan.
4) Etambutol dengan Kloramfenikol
Risiko neuropati perifer dapat meningkat selama penggunaan secara
bersamaan. Dalam beberapa kasus, neuropati dapat berkembang atau menjadi
ireversibel meskipun pengobatan dihentikan. Pelaksanan dilakukan Perhatian selama
36
penggunaan agen dengan efek neurotoksik secara bersamaan. Pasien harus diawasi
dengan ketat untuk gejala neuropati seperti rasa terbakar, kesemutan, nyeri, atau mati
rasa di tangan dan kaki. Karena perkembangan neuropati perifer mungkin terkait
dengan dosis untuk banyak obat, dosis yang dianjurkan umumnya tidak boleh
dilampaui. Pertimbangan harus diberikan untuk pengurangan dosis atau penghentian
segera obat-obatan ini pada pasien yang mengembangkan neuropati perifer untuk
membatasi kerusakan lebih lanjut. Jika memungkinkan, terapi umumnya harus
dilakukan kembali hanya setelah gejala neuropati hilang atau gejala kembali ke status
awal. Dalam beberapa kasus, pengurangan dosis permanen mungkin diperlukan.
E. Streptomisin
a. Streptomisin dengan Furosemide
Pemberian bersama antibiotik parenteral atau inhalasi aminoglikosida atau
neomisin oral dalam kombinasi dengan diuretik loop dapat meningkatkan risiko
ototoksik atau nefrotoksisitas karena efek farmakologis aditif atau sinergis obat ini dan
atau perubahan kadar serum dan jaringan aminoglikosida. Penggunaan antibiotik
aminoglikosida dalam kombinasi dengan diuretik loop atau manitol intravena
umumnya harus dihindari. Tes fungsi ginjal dan serial, vestibular, dan tes audiometri
harus dilakukan sesuai jenis diuretik sebelum dan selama terapi jika diperlukan
pemberian bersama.
b. Streptomisin dengan Golongan PPI
Penggunaan inhibitor pompa proton (PPI) kronis dapat menyebabkan
hipomagnesemia, dan risikonya dapat meningkat selama penggunaan diuretik secara
bersamaan atau agen lain yang dapat menyebabkan kehilangan magnesium.
Mekanisme hipomagnesemia dapat terjadi selama penggunaan PPI jangka panjang
tidak diketahui, meskipun perubahan dalam penyerapan magnesium usus mungkin
terlibat. Dilakukan Pemantauan kadar magnesium serum dianjurkan sebelum memulai
terapi dan secara berkala setelah itu jika pengobatan jangka panjang dengan
penghambat pompa proton diantisipasi atau bila dikombinasikan dengan agen lain
yang dapat menyebabkan hipomagnesemia. Pasien harus dinasihati untuk mencari
pertolongan medis segera jika mereka mengembangkan tanda dan gejala potensial
hipomagnesemia seperti palpitasi, aritmia, kejang otot, tremor, atau kejang.
37
c. Streptomisin dengan Golongan NSAID
Efek nefrotoksik dari aminoglikosida dapat diperkuat oleh obat antiinflamasi
nonsteroid (NSAID), terutama jika yang terakhir telah diberikan dalam dosis tinggi
untuk waktu yang lama. Penatalaksaan yaitu dengan penggunaan NSAID sebaiknya
dihentikan sebelum memulai terapi aminoglikosida IV. Jika pemberian bersamaan
diperlukan, status hidrasi serta fungsi ginjal dan vestibular harus dipantau secara ketat.
d. Streptomisin dengan Golongan Bifosfonat
Pemberian bifosfonat dan aminoglikosida secara bersamaan dapat meningkatkan risiko
hipokalsemia dan nefrotoksisitas, terutama bila bifosfonat diberikan secara intravena.
Bifosfonat saja sering menyebabkan hipokalsemia ringan tanpa gejala melalui efek
penghambatan pada resorpsi tulang dan kemungkinan khelasi kalsium darah,
sedangkan aminoglikosida dapat menyebabkan kerusakan tubulus ginjal yang
mengakibatkan hilangnya kalsium dan magnesium ginjal. Perhatian disarankan jika
bifosfonat digunakan pada pasien yang baru saja menerima atau menerima pengobatan
dengan aminoglikosida. Fungsi ginjal serta kadar kalsium dan magnesium serum harus
dipantau selama dan setelah pengobatan, karena kehilangan kalsium dan magnesium
oleh ginjal dapat berlanjut selama beberapa minggu setelah penghentian
aminoglikosida, seperti halnya efek bifosfonat. Pasien dan dokter harus waspada
terhadap tanda dan gejala hipokalsemia klinis seperti kejang otot, kejang otot, kejang
laring, tetani, kejang, perubahan mental (lekas marah, depresi, psikosis), peningkatan
tekanan intrakranial, papilledema, perpanjangan interval QT, dan jantung. aritmia.
Untuk bifosfonat IV, label produk untuk pamidronate dan asam zoledronic
merekomendasikan bahwa dosis tunggal masing-masing tidak melebihi 90 mg dan 4
mg, dan durasi infus tidak kurang dari 2 jam dan 15 menit.
2.13.1 Subjektive
Tn. K, 50 tahun 47 kg tinggi 163 cm, mengatakan batuk dirasakan lebih sering pada
malam hari dan telah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan adanya
demam, keringat malam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan yang
awalnya 50 kg menjadi 47 kg dalam satu bulan. Pasien mempunyai riwayat kontak
dengan penderita TB yaitu istrinya yang sudah meninggal dunia. Setelah pemberian obat
pasien merasakan gatal, namun untuk menguranginya pasien biasanya minum teh yang
39
hangat dan pada saat buang air kecil ai seni berwarna merah.
2.13.2 Objective
Data Klinik Nilai Normal Hasil pemeriksaan
BMI 18,5-25 18 (under weight)
Tekanan darah < 120/80 mmHg 110/70 mmHg
Nadi 80 x/menit 80 x/menit
Frekuensi nafas 12-16x/menit 17 x/menit
Suhu tubuh 36,5°C -37,2°C 37,0oC
BTA Negatif 1. Pengambilan pertama
Negatif
2. Pengambilan kedua ++ (2+)
Pada mulut tampak gigi dan oral hygiene cukup. Tenggorokan, jantung, dan
abdomen dalam batas normal. Pada pemeriksaan paru, inspeksi dalam batas normal,
palpasi dalam batas normal, perkusi dalam batas normal, auskultasi adanya suara ronkhi
pada pulmo dekstra dan sinistra. Ekstremitas superior dan inferior dalam batas normal,
tidak sianosis, tidak oedem, dan akral hangat. Status neurologis: Reflek fisiologis
normal, reflek patologi (‐). Pemeriksaan foto rontgen anterior posterior (AP) dan
didapatkan adanya kavitas pada pulmo dekstra dan sinistra. Setelah dilakukan foto
rontgen, pasien datang ke Puskesmas untuk pengambilan dahak.
2.13.3 Assesmant
1) Riwayat Penyakit Saat Ini
Pasien sering batuk pada malam hari dan telah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu,
demam, keringat malam, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan
padahal tidak sedang diet, Pasien mempunyai riwayat kontak dengan penderita TB.
Setelah pemberian obat pasien merasakan gatal, dan pada saat buang air kecil ai seni
berwarna merah
2) Penggunaan Obat Saat Ini
Rifampicin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg.
Pasien sudah mendapatkan pengobatan selama 1 bulan.
40
3) Penyebab dari Keluhan Pasien
Rasa gatal merupakan efek samping dari obat Isoniazid, Rifampisin, dan Pirazinamid.
Air seni berwarna merah adalah efek samping dari Rifampisin
4) Tidak ditemukan masalah terkait obat
2.13.4 Plan
1) Tidak perlu adanya perubahan regimen obat dan OAT tetap dilanjutkan
2) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit untuk meningkatkan kepatuhan minum
obat pasien. Gunakan obat kombinasi HRZE dengan menyesuaikan berat badan
pasien yaitu 47 kg jadi diberi kombinasi HRZE 3 tablet 4KDT untuk 2 bulan
3) Kombinasi tetap, pasien mendapatkan obat yang harus diminum tiap hari, pasien
harus patuh minum obat dan diawasi secara langsung untuk mencegah resistensi,
serta pasien tidak bisa memilih obat tertentu yang dikonsumsinya.
4) Setelah 2 bulan dilakukan pengecekan sputum. Pemeriksaan dilakukan sebanyak dua
kali yaitu pada pagi dan sewaktu. Jika hasil menyatakan negatif jika ke dua spesimen
menghasilkan negatif. Jika negatif maka tahap lanjutan dimulai. Akan tetapi bila
salah satu atau keduanya positif maka hasil pemeriksaan menyatakan positif. Bila
positif maka tetap diberikan tahap lanjutan akan tetapi dilakukan pemeriksaan
resistensi antibiotik, lakukan tes biakan, atau rujuk kelayanan TB-MDR
5) Setelah 2 bulan pengobatan dilakukan Tahap Lanjutan: ≥4 bulan. Tahap lajutan
dilkaukan untuk membunuh dorman sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
6) Dilakukan pemantauan terapi seperti:
a) PemeriksaanBUN & Serum Creatinine
b) AST, ALT, & Bilirubin Total
c) Hematologi (complete blood count)
d) PemeriksaanPenglihatan
e) Snellen visual acuity charts
f) Ishihara color discrimination plates
g) Pengukuran berat badan, untuk penyesuaian dosis terapi (jika diperlukan)
41
BAB III
KESIMPULAN
2. Pasien biasanya datang dengan gejala batuk tak kunjung sembuh, kelelahan,
demam, dan keringat malam. Batuk disertai lender (dahak berdarah) yang
merupakan tahap penyakit TB yang bisa muncul lebih awal.
3. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh, khususnya kuman persister sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan.
4. OAT yang digunakan di Indonesia ialah : Kategori 1 : 2(HRZE)/ 4(HR)3 atau
10HR dan OAT untuk pasien TB Resistan Obat: terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu
PAS, Bedaquilin, Clofazimin, Linezolid, Delamanid dan obat TB baru lainnya serta
pada ODHA, pada wanita hamil, pasien diabetes melitus, pasien dengan kelainan
hati, perempuan usia subur dan pasien yang mendapatkan pengobatan kortikosteroid.
42
DAFTAR PUSTAKA
Alldredge, Brian K. (ed), Corelli, Robin L. (ed), Ernst, Micheal E.(ed), Guglielmo, B.
Joseph. (ed), Jacobson, P. A.(ed), Kradjan, W. A.(ed), Williams, Bradley R., (ed) 2013,
Koda Kimble and Youn’s Applied Therapeutics The Clinical Use of Drug Edition
Tenth, Lippincott Willian and Wilkins, USA
Dipiro, Joseph T.(ed), Talbert, Robert L.(ed), Yee, Gary C. (ed), Matzke, Gary R. (ed),
Wells, Barbara G. (ed), Posey, Micheal L. (ed), 2008, Pharmacotherapy A
Pathophysiologic Approach Seventh edition, Mc Graw Hill, New York.
Wells, Barbara G. (ed), Dipiro, Joseph T. (ed), Schwinghammer, Terry L.(ed), DiPiro,
Cecily V.(ed), 2017, Pharmacotherapy handbook Tenth Edition, The McGraw-Hill
Companies, New York.
43
44