Anda di halaman 1dari 45

JOURNAL READING

“Tuberculosis: Pathogenesis, Current Treatment


Regimens and New Drug Targets”

Disusun Oleh :

Ahmad Tristan Amartya

Pembimbing :

dr. Gede Sasmika Suwandi, Sp. P.

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


SMF PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGLI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah
Journal Reading ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil Journal Reading yang berjudul
“Tuberculosis: Pathogenesis, Current Treatment Rejimens and New Drug
Targets”.
Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan dari
berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada :

1. dr. Gede Sasmika Suwandi, Sp. P. selaku pembimbing dalam Journal


Reading ini.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
dari para pembaca.

Bangli, 28 September 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

KATA PENGANTAR............................................................................................. ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii

BAB I ISI JURNAL.................................................................................................4

1.1 Judul Jurnal................................................................................................4

1.2 Abstrak...................................................................................................... 4

1.3 Pendahuluan.............................................................................................. 5

1.4 Patogenesis................................................................................................ 7

1.5 Rejimen Obat Yang Saat Ini Digunakan................................................. 10

1.6 Tantangan Dalam Penanganan TB Secara Global...................................12

BAB II KRITISI JURNAL.................................................................................... 33

2.1 Kredibilitas Jurnal Umum............................................................................ 34

2.2 Mengaji PICO Jurnal....................................................................................34

2.3 Analisis VIA.................................................................................................35

2.4 Kelebihan Jurnal...........................................................................................35

2.5 Kekurangan Jurnal........................................................................................36

BAB III KESIMPULAN........................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 38

iii
BAB I
ISI JURNAL

1.1 Judul Jurnal


“Tuberculosis: Pathogenesis, Current Treatment
Rejimens and New Drug Targets”

1.2 Abstrak
Mycobacterium tuberculosis (M. tb), merupakan agen penyebab dari TB,
adalah patogen yang menyebar di seluruh dunia, secara laten menginfeksi
seperempat populasi di seluruh dunia. Status tanpa gejala dari bakteri dormant
(tidak aktif) dapat berubah menjadi aktif apabila sistem pertahanan tubuh lemah.
Rejimen pengobatan lini depan. M. tb yang peka terhadap obat (DS)
membutuhkan empat pengobatan berbeda selama 6 bulan dan harus diawasi
secara ketat agar mencegah kekambuhan dan resistensi. Kemiskinan menjadi
salah satu alasan kesusahan dalam mendapatkan obat terbaik, selain itu kurangnya
kepatuhan pasien menjadi alasan maraknya kasus kegawatdaruratan dan resistensi
obat (DR), hal ini membuat durasi pengobatan semakin lama dan obat yang
digunakan akan lebih mahal daripada rejimen obat lini pertama. Selama lebih dari
50 tahun hanya terdapat 3 jenis obat baru yaitu bedaquiline (BDQ), delamanid
(DLM) dan pretomanid (PMD) yang diterima dan terbukti berkhasiat untuk
menjadi obat anti-TB baru. Pada jurnal ini, akan dibahas mengenai patogenesis
dari M. tb, protokol pengobatan yang digunakan saat ini dan pantangan dalam
mengontrol penyakit TB.

Kata kunci: tuberkulosis, patogenesis TB, rejimen pengobatan TB, obat target
mycobaterial, kandidat obat anti-TB.

4
1.3 Pendahuluan

Pada tahun 1882, Robert Koch menemukan bahwa tubercle bacillus atau
dikenal Mycobacterium tuberculosis (M. tb) sebagai agen penyebab tuberkulosis
(TB). Semenjak penemuan tersebut, epidemi dari TB tidak henti-hentinya dan
terus menyebar di tiap sudut dunia. Meskipun penyakit ini biasanya menyerang
paru (TB paru), TB juga dapat menyebar ke organ tubuh lain (TB extra-paru). M.
tb dormant dapat hidup dalam tubuh selama bertahun-tahun tanpa menimbukan
gejala apapun, ini biasa disebut TB inactive. Menurut laporan Whorld Health
Organisation (WHO) pada tahun 2022, seperempat populasi dunia (2 miliar)
secara laten terinfeksi oleh M. tb (Gambar 1). Pada seseorang yang mengalami
infeksi laten TB (ILTB), resiko terjadinya reaktivasi TB adalah 5-10%. Bakteri
dormant mycobacterium dapat aktif pada pasien immunocomprimised, yang
biasanya terjadi pada infeksi Human immnunodeficiency virus (HIV). Orang-
orang yang terinfeksi HIV (lebih dari 38 juta penduduk), beresiko 18 kali lebih
tinggi terinfeksi TB dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Ketika
terjadi reaktivasi TB, bakteri dalam tubuh akan berkembang dan mengakibatkan
munculnya gejala.

Diagnosis awal dan keberhasilan obat sangat penting dalam mencegah


penyebaran TB dan terjadinya resistensi. Beberapa tekhnik diagnostik yang biasa
digunakan yaitu tes imunologi, radiografi, kultur bakteri dan metode klinis. Tes
imunologi seperti QuantiFERON-TB Gold (QFT) dan Tuberculin skin test
(Mantoux test) paling sering diutamakan dalam screening dan menyingkirkan
infeksi TB. Selain itu, radiografi (X-ray Dada) menjadi pemeriksaan yang
digunakan untuk mengidentifikasi TB paru aktif; namun, pemeriksaan ini tidak
dapat membantu dalam mendeteksi infeksi TB laten. Pemeriksaan mikroskop
sputum smear sangan efisien dan mudah dalam mendiagnosis TB; bakteri TB
akan diwarnai dengan metode pewarnaan Ziehl-Neelsen, namun pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas yang rendah dalam membedakan antara M. tb dengan bakteri
basil tahan asam lain. Tidak seperti pemeriksaan smear sputum, kultur sputum
dengan metode Löwenstein–Jensen jauh lebih spesifik dan sesititif dalam
diagnosis TB. Bagaimanapun juga, dikarenakan perkembangan M. tb yang lambat
membutuhkan setidaknya dua minggu (kadang 6-8 minggu) untuk munculnya
koloni bakteri, sehingga dapat memperlambat diagnosis dan pengobatan. Pada 5-
5
10% orang yang terinfeksi TB akan berkembang dan menunjukan gejala sehingga
diganosis dapat ditegakan berdasar klinis. Manifestasi klinis pada TB paru aktif
berupa nyeri dada, demam ringan, batuk berkepanjangan, hemoptisis, kelelahan,
penurunan nafsu makan, keringat pada malam hari dan penurunan berat badan.

Gambar 1. Manifestasi klinis utama pada TB paru aktif

Secara geografis, pada tahun 2021, kebanyakan orang terinfeksi TB berada


di wilayah Asia Tenggara (45%), diikuti oleh wilayah Afrika (23%) dan wilayah
Pasifik Barat (18%). Empat negara menyumbang total lebih dari setengah kasus
TB di seluruh dunia: dua negara dari wilayah Asia Tenggara, India (28%) dan
Indonesia (9,2%), dan dua negara dari wilayah Pasifik Barat, China (7,4%) dan
Fillipina (7,0%). Meskipun kemungkinan orang dengan ILTB mengalami
reaktivasi TB kecil, namun tercatat setidaknya 10 juta orang dilaporkan jatuh sakit
karena TB setiap tahunya sejak tahun 2000. Selain itu, dari tahun 2000 hingga
2021, sekita 1,4 hingga lebih dari 2 juta orang meninggal karena TB tiap tahunya,
dengan angka kematian tertinggi pada tahun 2000 hingga 2010. Pada akhir tahun
6
2022 WHO melaporkan TB menyebabkan kematian hingga lebih dari satu juta
orang di seluruh dunia pada tahun 2021 (sekitar 1,4 juta dan 0,2 juta kematian
diantara HIV-negatif dan HIV-positif). Faktanya, hingga pandemi coronavirus
2019 (COVID-19) akhir-akhir ini, TB melampaui angka kematian akibat infeksi
tungal lainya, termaksud HIV / AIDS.

Sayangnya, saat ini tidak ada vaksin yang tersedia untuk mengatasi
penyebaran TB pada orang dewasa, baik sebelum atau sesudah terpapar M. tb.
Meskipun demikian, terdapat satu-satunya vaksin TB yang berlisensi yaitu
Calmette-Guerin (BCG) yang dikembangkan sejak satu abad yang lalu, dapat
memberikan perlindungan pada bayi dan anak-anak, terutama pada jenis TB yang
parah (TB millier dan meningitis TB). Meskipun TB dapat menginfeksi semua
usia, kebanyakan orang (90%) yang mengembangkan TB aktif terjadi pada orang
dewasa, dimana insiden lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Oleh
karena itu, saat ini sangat dibutuhkan vaksin yang efisien dalam mencegah
perkembangan segala jenis TB pada seluruh spektrum usia. Selain itu, untuk
mengurangi perkembangan TB dibutuhkan juga jenis obat anti-TB baru yang dapat
menangani TB lebih baik dibanding obat yang biasa digunakan sekarang dalam hal
kemanjuran, toleransi dan durasi pengobatan. Dalam artikel ini, akan dibahas
patogenesis TB, rejimen pengobatan saat ini, pantangan dalam mengontrol TB
secara global, serta target obat TB dan kandidat obat TB.

1.4 Patogenesis TB

Siklus hidup patogen M. tb diilustrasikan pada Gambar 2. TB bertransmisi


lewat droplet aerosol yang terkontaminasi M. tb, yang disebarkan oleh pasien TB
aktif saat batuk, bersin atau berbicara. Setelah host baru menghirup bakteri TB,
bakteri tersebut akan melewati saluran pernapasan dan mencapai paru. Pada titik
ini, sistem kekebalan tubuh host akan mencoba menangani infeksi, dimana basil
tuberkel akan dinetralisasi oleh makrofag alveolar. Apabila makrofag gagal
menghambat atau menghancurkan basil tersebut, bakteri akan berkembang biak
dalam intraseluler makrofag tersebut, lalu keluar, dan difagositosis oleh makrofag
alveolar lainya sehingga siklus ini akan terus berlanjut. Limfosit kemudian akan
membantu dan menuju ke lokasi infeksi, menginisiai respon imun sel mediasi,
sehingga setumpuk sel imun akan tiba untuk menghambat pengembangan dari

7
bakteri tersebut. Pada fase ini, host tidak akan mengalami gejala apapun, dan
bakteri TB kemungkinan akan dieliminasi secara keseluruhan atau berubah
menjadi laten di dalam granuloma. Namun, pada kondisi kekebalan tubuh
menurun bakteri TB akan menjadi aktif dan menyebabkan gejala muncul.

Granuloma merupakan suatu ciri khas dari TB paru, yaitu bentuk


gabungan dari makrofag dan sel imun lain yang bertujuan untuk menghambat
perkembangan bakteri. Pada orang dengan kekebalan tubuh yang baik, granuloma
memang tidak dapat mengeliminasi patogen, namun granuloma dapat menahan
basil dan menghentikan perkembagan penyakit menjadi aktif. Namun, bakteri
akan tetap bertahan hidup dengan menghambat fusi fagolisosom dan merusak
respon imun host. Proses ini akan membetuk lingkungan/wadah yang nyaman
bagi M. tb sehingga dapat bertahan hidup selama beberapa dekade tanpa diketahui
oleh sistem kekebalan tubuh host. Pada fase ini, pasien masih tidak merasakan
gejala apapun (infeksi laten). Salah satau pantangan dalam penanganan TB saat ini
adalah menemukan terapi yang dapat menargetkan patogen TB dalam granuloma.

Saat granuloma matang, makrofag akan berdifrensiasi menjadi berbusa dan


beberapa bentuk lainya (Gambar 2). Bagian tengah granuloma bisa mengalami
nekrosis akibat dari lisis nekrotik dari sel imun host sehingga membentuk caseum
(granuloma kaseosa). Sisa-sisa dari nektrotik lunak yang terkumpul di bagian
tengah granuloma akan membentuk menyerupai keju (sehingga disebut caseum).
Sedangkan makfrofag berbusa akan terbentuk dari tetesan lipid yang terdistribusi
disekitar bagian granuloma yang mengalami nekrosis. M. tb dapat mengakibatkan
gangguan metabolisme host dengan cara mengganggu keseimbangan dari keluar
masuknya partikel lipid pada serum, proses ini memenag peran penting pada
perjalanan penyakit. Terganggunya metabolisme lipid akan membentuk sel busa,
yang mendukung pertumbuhan bakteri hingga akhirnya mengakibatkan akumulasi
caseum pada granuloma. Selain itu, Asam Mikolat (MAs) yang merupakan salah
satu komponen lipid utama dari dinding sel M. tb dan berperan penting untuk
terus tumbuh dan bertahan hidup, memiliki kontribusi pada difrensiasi makfrofag
menjadi sel busa. Lesi caseum yang terbentuk akan berfungsi sebagai reservoir
dengan membungkus dan mempertahan basil tuberkel untuk tetap menjadi bakteri
dormant. Pada tahap akhir, caseum akan melunak terjadinya proses kavitasi, yang
mengarah pada reaktivasi bakteri sehingga akan menjadi TB aktif, hal tersebut
8
memungkinkan terjadinya penularan basil ke host baru (Gambar 2). Transformasi
yang mengancam jiwa ini sebagian besar bergantung pada keefektivan respon
imun host dalam membatasi replikasi bakteri.

Gambar 2. Patofisiologi dari TB paru. Setelah M. tb bertransmisi ke host baru,


basil masuk ke dalam paru dan akan dimakan oleh makrofag. Selanjutnya sel imun
akan datang untuk menutupi makrofag yang terinfeksi, sehingga terbentuk
granuloma yang merupakan salah satu tanda utama TB. Infeksi laten tidak akan
menimbulkan gejala apapun, infeksi akan tetap bertahan selama fase ini, namun
tetap akan ada resiko untuk terjadinya reaktivasi. Makrofag berbusa akan
melepaskan kandungan lipid pada saat terjadinya nekrosis, proses tersebut akan
membentuk caseum (struktur menyerupai keju). Caseum adalah bentuk yang
terjadi akibat pembusukan pada bagian inti granuloma. Saat granuloma
berkembang, basil mulai merembes keluar dari makrofag ke lapisan caseum.Saat
terjadi reaktivasi, M. tb berproliferasi sehingga jumlahnya menjadi sangat banyak
dan mengakibatkan granuloma pecah sehingga bakteri dapat menyebar luar di
udara. Basil dikeluarkan dalam bentuk aerosol droplet, kemudian siklus kembali
terjadi ketika menginfeksi orang lain.
Meskipun penyebab utama dari reaktivasi TB disebabkan oleh infeksi
sekunder HIV, terdapat faktor lain yang juga dapat menjadi penyebab infeksi
menjadi yitu seperti malnutrisi, pengobatan immunosuppresive, kemoterapi, DM
yang tidak terkontrol, sepsis, ketergantungan obat dan alkohol, gagal ginjal
kronik, merokok dan keganasan. Saat host mengalami immunocompromised, basil
dormant yang tertutup oleh granuloma akan mengalami reaktivasi dan replikasi
disertai dengan proses kavitasi. Akibat struktur granuloma yang melemah, bakteri

9
yang menular akan dilepaskan dan terjadinya pembentukan lesi kavitas yang
menjadi salah satu ciri khas dari infeksi TB paru. Bahan caseum berfungsi sebagai
sumber nutrisi yang bagus untuk mendorong pertumbuhan patogen menjadi lebih
cepat. Sehingga basil dapat menyebar ke seluruh paru-paru dan menemukan jalan
ke kapiler darah yang membuat penularan bukan hanya ke orang lain tetapi juga
dapat menyebar ke organ lain. Pada tahap ini, penyakit ini menjadi sangat menular
dan bergejala (TB aktif). Pada pemeriksaan histologis paru selama penyakit aktif
akan menunjukkan koeksistensi granuloma di tiap tahap perkembangannya,
perkembangan granuloma ini berkorelasi dengan proses reaktivasi TB. Meskipun
tiga jenis utama granuloma (granuloma solid, nekrotik dan kaseosa) telah
dibedakan, ketiganya membentuk suatu kesinambungan dan tidak boleh
diperlakukan sebagai entitas yang terpisah. Granuloma solid (Gambar 2) terbentuk
pada tahap awal penyakit dan menyebabkan kerusakan jaringan; oleh karena itu,
secara histologis hal ini berkorelasi dengan patologi pembendungan M. tb.
Bentuknya dikelilingi oleh dinding fibrosis, tidak memiliki nekrosis sentral dan
terdiri dari berbagai sel imun yang merupakan mediator utama dalam
pengendalian infeksi terutama limfosit T. pada granuloma solid Jumal M. tb
rendah dan biasanya ditemukan pada pada ILTB. Seiring dengan perkembangan
penyakit, bagian tengah granuloma padat mulai mengalami nekrosis (granuloma
nekrotik), yang membuka jalan bagi bakteri yang tidak aktif untuk menyebar
kemudian hari (granuloma kaseosa; Gambar 2). Penjelasan lebih dalam tentang
granuloma dari TB laten ke TB aktif telah dibahas pembahasa sebelumnya.

1.4 Rejimen Pengobatan Terkini untuk TB Sensitif Obat (DS)

Pengobatan yang direkomendasikan saat ini untuk DS-TB adalah


kombinasi empat antibiotik: isoniazid (INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA)
dan etambutol (EMB), yang keempatnya ditemukan sekitar 60 tahun yang lalu
(Gambar 3). Keempat obat ini harus diberikan setidaknya selama 6 bulan dengan
diawasi secara langsung (DSL) untuk memastikan tingkat keberhasilan
pengobatan. Pengobatan ini melibatkan dua fase: fase awal, yang terdiri dari
pemberian empat obat di atas selama dua bulan, dan pengobatan fase lanjutan
dengan INH dan RIF selama empat bulan terakhir untuk membunuh bakteri yang
tidak aktif.

10
Gambar 3. Empat obat anti-TB lini pertama

Keempat obat tersebut menargetkan M. tb melalui mekanisme kerja yang


berbeda. Secara singkat, INH adalah obat yang pada saat aktivasi menghambat
enzim enoylacyl carrier protein reductase (InhA), yang merupakan enzim utama
dalam proses biosintesis Asam Mikolat (Mas). MAs adalah mediator utama dari
atribut hidrofobik dan rendahnya permeabilitas lapisan luar mikobakteri. RIF
berikatan dengan subunit β dari RNA polimerase bakteri dan menggunakan
aktivitas bakterisida-nya dengan menghambat langkah awal transkripsi gen. INH
dan PZA adalah obat yang aktif setelah berdifusi ke dalam granuloma TB oleh
enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat (POA), yang kemudian membunuh
basil M. tuberculosis di dalam granuloma. Namun saat ini cara kerja PZA masih
menjadi belum dipastikan. EMB adalah obat bakteriostatik yang menghambat
sintesis arabinogalaktan dan lipoarabinomanan, dua komponen penting dari
dinding sel mikobakteri, dengan menargetkan tiga arabinosyltransferase (EmbA,
EmbB dan EmbC).

Terlepas dari keefektifan empat pengobatan anti-TB lini depan terhadap


DS-TB, terdapat beberapa efek samping yang buruk pada rejimen pengobatan ini,
termasuk disfungsi hati, neuropati perifer, eritromelalgia, toksisitas okular,
toksisitas sistem saraf pusat (SSP), intoleransi saluran cerna (GI) dan ruam kulit.
Pasien seringkali tidak patuh dalam pengobatan ini dikarenakan efek samping yang
ditimbulkan, jumlah pil yang banyak, durasi terapi yang lama. Selain itu,
penggunaan antibiotik yang berlebihan atau penyalahgunaan obat dapat memicu
munculnya resistensi obat.

11
1.5 Tantangan dalam Penanganan TB Secara Global

1.5.1 Krisis TB Resisten Obat (DR)

Pendekatan terapi TB-DR dan prognosisnya secara signifikan berkorelasi


dengan pola terjadinya resistensi; oleh karena itu, manajemen klinis TB-DR pada
umumnya rumit. TB yang resisten terhadap berbagai jenis obat (TB-MDR)
didefinisikan sebagai resistensi terhadap INH dan RIF, yang merupakan dua obat
anti-TB lini depan terbaik. Pada tahun 2021, diperkirakan terdapat 450.000 kasus
TB-MDR. Angka kesembuhan untuk TB-MDR biasanya jauh lebih rendah
daripada TB-DS. Pada tahun 2019 WHO merekomendasikan obat lini kedua untuk
mengatasi kasus TB-MDR (Gambar 4). Pengobatan lini kedua ini adalah protokol
pengobatan selama 18-20 bulan, tergantung pada respons pasien terhadap terapi.
Rejimen pengobatan TB-MDR terdiri dari setidaknya empat obat pada fase
intensif: tiga obat dari kelompok A [linezolid, bedaquiline (BDQ) dan
moxifloxacin/levofloxacin] dan satu obat dari kelompok B [klofazimine, atau
terizidone/sikloserin]. Lalu dilanjutkan dengan setidaknya tiga dari obat fase
lanjutan setelah BDQ dihentikan. Dua obat dalam kelompok B harus diresepkan
jika hanya satu atau dua obat dari kelompok A yang digunakan. Jika strain M. tb
resisten terhadap satu atau lebih obat sebelumnya, obat dari kelompok C
[delamanid (DLM), streptomisin/amikasin, EMB, PZA, asam 4-aminosalisilat,
imipenem, meropenem, etionamid/protionamid, INH dosis tinggi) harus
ditambahkan ditambahkan ke rejimen pengobatan.

Pada tahun 2020, WHO merekomendasikan rejimen pengobatan all-oral


yang memiliki durasi pengobatan lebih pendek untuk TB-MDR (9-11 bulan)
dengan tujuan memudahkan pasien menyelesaikan terapi dibandingkan dengan
rejimen yang lama. Fase awal dari protokol pengobatan yang baru ini terdiri dari
pemberian kombinasi BDQ, moxifloxacin/levofloxacin, klofazimine,
ethionamide/prothionamide, INH (dosis tinggi), PZA dan EMB selama empat
bulan (dengan catatan perpanjangan hingga maksimum enam bulan jika kultur atau
apusan dahak pasien masih positif pada akhir bulan keempat). Terlepas dari itu,
BDQ harus digunakan selama total 6 bulan. Fase lanjutan ditetapkan bulan ke-5,
yang memerlukan pemberian moksifloksasin/levofloksasin, klofazimine, PZA dan
EMB. Perlu dicatat bahwa BDQ dan DLM, yang baru-baru ini digunakan pada
rejimen lini kedua adalah obat anti-TB pertama dengan mekanisme kerja baru yang
12
disetujui untuk pengobatan TB dalam lebih dari setengah abad; RIF disetujui untuk
penggunaan klinis di Italia pada tahun 1968 dan di Amerika Serikat pada tahun
1971. BDQ adalah yang pertama disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan Amerika Serikat (US FDA) pada akhir tahun 2012, diikuti oleh otorisasi
yang diberikan oleh European Medicines Agency (EMA) untuk penggunaan DLM
dan BDQ pada orang dewasa dengan TB-MDR pada tahun 2013 dan 2014.

Ketika memutuskan rejimen pengobatan terbaik bagi pasien, beberapa


faktor harus dipertimbangkan. Rejimen yang mengandung BDQ oral dengan durasi
lebih pendek direkomendasikan untuk pasien TB-MDR (dengan setidaknya
resistensi RIF yang terkonfirmasi) yang memenuhi kriteria kelayakan berikut ini:
(1) resistensi terhadap fluorokuinolon sudah dikecualikan karena tes kerentanan
terhadap fluorokuinolon perlu dilakukan sebelum memulai rejimen durasi pendek,
(2) tidak ada obat lini kedua yang diberikan sebelumnya selama lebih dari satu
bulan (kecuali tes dilakukan untuk mengkonfirmasi kerentanan terhadap obat ini),
(3) tidak ada resistensi atau dugaan ketidakmanjuran obat apa pun pada rejimen
durasi pendek kecuali INH, (4) tidak ada penyakit luar paru yang parah, (5) tidak
ada penyakit TB yang ekstensif, (6) tidak sedang hamil, dan (7) berusia 6 tahun
atau lebih. Bila pasien tidak memenuhi syarat untuk rejimen all-oral durasi pendek
atau bila pengobatan harus segera dimulai sementara kerentanan terhadap obat
belum dipastikan, penilaian ulang pasien untuk penggunaan rejimen oral durasi
panjang diperlukan.

13
Gambar 4. Agen anti-TB lini kedua

Di sisi lain, TB yang resistan terhadap obat secara ekstensif (TB-XDR)


adalah bagian dari TB-MDR (resistan terhadap INH dan RIF) dengan resistensi
tambahan terhadap setidaknya satu fluoroquinolon (seperti moxifloxacin atau
levofloxacin) dan obat TB lini kedua yang disuntikkan (seperti amikasin). Oleh
karena itu, pilihan pengobatan yang tersedia untuk XDRTB sangat terbatas,
mengakibatkan angka kematian yang sangat tinggi dan meningkatkan bahaya
kembali ke era pra-antibiotik. Tahap peralihan antara TB-MDR dan TB-XDR
disebut pre-XDR-TB, yang merupakan TB-MDR yang resisten terhadap
fluorokuinolon atau obat lini kedua yang dapat disuntikkan. Durasi pengobatan
pre-XDR-TB dan XDR-TB berkisar antara 14-24 bulan termasuk fase intensif dan
kelanjutan dengan kombinasi agen lini kedua yang rentan terhadap strain M. tb.
Baru-baru ini, rejimen baru yang lebih pendek, yang terdiri dari BDQ, pretomanid
(PMD) dan linezolid (rejimen BPaL), telah disetujui oleh FDA Amerika Serikat
untuk diberikan kepada pasien TB XDR. Namun, rejimen ini hanya boleh
diberikan pada kondisi dibawah riset operasional dan apabila sebelumnya tidak
pernah diberikan BDQ dan linezolid. PMD merupakan nitroimedazole derivat
yang serupa dengan DLM adalah obat ketiga yang disetujui untuk digunakan
dalam pengobatan TB. Pada tahun 2019 FDA Amerika Serikat telah menyetujui
bahwa PMD merupakan bagian dari rejimen BpaL dan diindikasikan untuk
pengobatan TB-XDR pada dewasa atau TB-MDR.

Seseorang bisa mengalami TB-MDR atau TB-XDR dengan salah satu dari
dua cara berikut: (1) infeksi primer dengan bakteri MDR atau XDR (transmisi
orang ke orang), atau (2) resistensi muncul saat obat anti-TB salah digunakan oleh
pasien. Secara keseluruhan, TB-MDR dan TB-XDR umumnya membutuhkan
durasi pengobatan yang jauh lebih lama (hingga dua tahun) dibandingkan dengan
rejimen lini pertama untuk TB-DS. Selain itu, obat anti-TB lini kedua, yang
direkomendasikan untuk MDR dan XDR-TB, umumnya lebih toksik, lebih mahal
dan kurang berkhasiat dibandingkan dengan obat lini pertama. Semua hal ini
memperburuk dilema kepatuhan pasien dan penyebaran penyakit di masyarakat,
yang mengabadikan TB sebagai ancaman kesehatan global.

1.5.2 Koinfeksi TB dan HIV

14
Infeksi HIV dianggap sebagai faktor risiko predisposisi utama bagi pasien
yang jatuh sakit dengan M. tb. HIV meningkatkan kemungkinan perkembangan
penyakit menjadi stadium aktif sebesar 18 kali lipat. Begitu pula, TB diketahui
memperburuk infeksi HIV dan dianggap sebagai penyebab utama kematian pada
pasien HIV. Pada orang yang koinfeksi, kedua patogen ini memiliki efek yang
besar pada sistem kekebalan tubuh, melemahkan respon kekebalan tubuh host dan
mempercepat penurunan fungsi imunologi. Salah satu tantangan dari koinfeksi TB
dan HIV adalah menemukan penanganan yang tepat dikarenakan peningkatan
beban pil dan efek samping toksik akibat tumpang tindihnya interaksi obat-obatan
yang digunakan. Interaksi utama antara antibiotik TB dan HIV berkaitan dengan
peningkatan ekspresi sistem sitokrom P450 (CYP) hati yang diinduksi oleh RIF.
Induksi enzim CYP ini meningkatkan metabolisme dari beberapa pengobatan HIV,
seperti protease inhibitor, sehingga menurunkan konsentrasi terapinya. Bahkan
pemberian inhibitor CYP, seperti ritonavir, tidak dapat mengembalikan kadar
normal dari berbagai inhibitor protease. Oleh karena itu, baik ditingkatkan atau
tidak, protease inhibitors standar tidak dapat diresepkan bersamaan dengan RIF.
Antibiotik rifamycin lain sifat mengurangi induksi CYP adalah rifabutin, yang
diidentifikasi sebagai alternatif untuk RIF. Namun, pemberian bersama ritonavir
meningkatkan konsentrasi serum dan memperburuk toksisitas pada rifabutin.
Selain itu, tantangan ini semakin diperburuk oleh manajemen klinis infeksi dan
kepatuhan pasien terhadap pengobatan.

1.5.3 Pademi Coronavirus 2019 (COVID-19) dan TB

TB telah lama menjadi penyebab utama kematian di dunia akibat penyakit


menular (melampaui HIV/AIDS sejak 2007) hingga pandemi COVID-19. Bahkan,
menurut WHO, COVID-19 telah menyebabkan kematian lebih dari 6,7 juta orang
di seluruh dunia sejak dimulainya pandemi. Sebelum angka kematian akibat TB
dirilis, WHO memperkirakan bahwa krisis kesehatan COVID-19 akan berdampak
besar pada tingkat kematian TB. WHO mengatakan bahwa pada tahun 2020 dan
2021 peningkatan angka kematian TB terlihat untuk pertama kalinya setelah lebih
dari satu dekade, memutarbalikan kemajuan yang telah dicapai selama bertahun-
tahun hingga tahun 2019. Kemunduran ini disebabkan oleh diagnosis dan
pengobatan TB yang tidak memadai, dimana hampir setengah dari pasien TB aktif
tidak dilaporkan dan tidak menerima perawatan. Selain itu juga terjadi penurunan
15
yang signifikan dalam pemberian terapi pencegahan TB serta pengobatan TB DR.

Penurunan substansial, baik pada tahun 2020 maupun 2021, akibat


meningkatnya kasus TB, menunjukkan bahwa penularan TB telah meningkat di
masyarakat karena penigkatan jumlah orang dengan TB yang tidak diobati dan
tidak terdiagnosis. Oleh karena itu, diperkirakan jumlah orang yang meninggal
akibat TB pada tahun 2021 (sekitar 1,6 juta) lebih tinggi daripada angka tahun
2020 (sekitar 1,5 juta). Perkiraan lonjakan kematian akibat TB secara global
sebagian besar terjadi di empat negara yaitu India, Indonesia, Filipina, dan
Myanmar. WHO memperkirakan TB akan kembali memuncaki penyakit menular
paling mematikan dalam waktu dekat, menggantikan COVID-19, yang berarti
bahwa target TB global telah keluar dari jalurnya. Beberapa inisiatif seperti Stop
TB Partnership diluncurkan secara global dengan tujuan mengendalikan pandemi
TB. Pada tahun 2014, WHO mengadopsi End TB Strategy (2016-2035), yang
bertujuan untuk menurunkan 90% insiden TB dan 95% kematian akibat TB pada
tahun 2035. Namun, dilihat dari lambatnya penurunan insidensi dan kematian
akibat TB dalam dua dekade terakhir serta krisis pandemi COVID-19 yang masih
berlangsung, terobosan yang signifikan diperlukan segera untuk mencapai Tujuan
dari End TB Strategy.

1.6 Target Obat TB

1.6.1 Overview

Pada tahun 1998, rangkaian lengkap genom M. tb (sekitar 4000 gen)


diresmikan, sehingga pemahaman tentang biologi molekuler bakteri semakin maju.
Pemahaman tentang urutan genom M. tb secara lengkap memungkinkan para
peneliti untuk mengidentifikasi subset gen yang penting secara in vitro dan in vivo.
Hal ini berkontribusi pada penemuan target baru pada suatu senyawa baru dengan
mengidentifikasi gen yang bermutasi dari strain yang resisten terhadap senyawa
tersebut. Teknik knockdown gen, di mana gen dari target tertentu dimatikan,
teknik ini juga telah membantu proses penentuan beberapa target obat M. tb.
Metode penemuan obat TB dapat diklasifikasikan menjadi skrining target base dan
phenotypic base (Gambar 5). Metode target base yang didapatkan dari genom
(target-to-drug) dilakukan dengan cara identifikasi target seluler tertentu tanpa
mengentahui tentang kemampuan obat (penetrasi atau eflux obat). Sulit untuk

16
memecahkan inhibitor enzim bakteri M. tb karena dinding sel lilin M. tb yang
sangat kedap air. Selain itu, inhibitor yang diidentifikasi dapat mencapai sel target
tidak memiliki sifat seperti obat. Oleh karena itu, tidak ada obat anti-TB yang
berhasil diemukan dari metode ini sampai saat ini.

Gambar 5. Diagraram penemuan obat dengan metode Target Based dan


Phenotypic Base.
Di sisi lain, pendekatan metode Phenotypic Base (obat ke target)
mendapatkan hasil baik dan terbukti menjadi strategi yang jauh lebih sukses.
Faktanya, semua antibiotik anti-TB yang saat ini digunakan ditemukan dengan
menggunakan metode skrining fenotipik. Pendekatan ini dialkukan dengan
memastikan kemampuan senyawa untuk menghambat pertumbuhan bakteri, lalu
dilanjutkan dengan mengindetifikasi target potensial. Namun, kurangnya
pengetahuan mengenai mekanisme untuk memasukan struktur biologi ke dalam
obat menghambat proses desain obat yang dilakukan oleh ahli kimia obat. Selain
itu, kelemahan lainnya adalah meskipun banyak senyawa yang berhasil menyerang
target, beberapa di antaranya memiliki efek deterjen sehingga memiliki efek
toksik. Oleh karena itu, untuk menghindari masalah ini, sitotoksisitas senyawa
yang terkena harus dievaluasi untuk mendapatkan "serangan berkualitas" dengan
cara selektivitas dan spesifisitas yang baik. Secara keseluruhan, metode ini
(phenotypic base) membutuhkan modifikasi dan pengoptimalan untuk memastikan
17
bahwa rancangan senyawa mendapatkan hasil yang baik.

1.6.2 Target Terkini dalam Penemuan Obat M. tb dan Kandidat Obat TB

a. GyrA/B

DNA gyrase adalah enzim topoisomerase tipe II yang terkonservasi dan


sangat penting untuk transkripsi, replikasi dan rekombinasi DNA pada M. tb. Oleh
karena itu, menghambat DNA gyrase mengakibatkan gangguan replikasi DNA dan
pemutusan untai ganda permanen, yang menyebabkan akumulasi sitotoksik
fragmen DNA untai ganda terbelah dan menginduksi kematian bakteri. DNA
gyrase adalah enzim tetramerik yang bergantung pada ATP (dengan heterotetramer
A2B2), yang terdiri dari subunit GyrA dan GyrB. Subunit GyrA membawa
struktur aktif breakage-reunion dan merupakan target obat yang divalidasi secara
klinis dari keluarga antibiotik fluoroquinolone, seperti moxifloxacin. Sedangkan,
subunit GyrB (ATPase) mendorong hidrolisis ATP dan relatif kurang digunakan,
sehingga membuka jalan baru untuk mengatasi strain M. tb yang resisten terhadap
fluoroquinolones. Memang, berbagai senyama kimia telah dikembangkan sebagai
penghambat GyrB, yang menunjukkan aktivitas yang kuat terhadap TB-DR.
Secara khusus, kelas baru aminobenzimidazol ditemukan untuk menargetkan
subunit ATPase, yang setelah dioptimalkan lebih lanjut mengarah pada penemuan
SPR720 (VXc-486) (Gambar 6).

SPR720 ditemukan dapat menghambat panel isolat M. tb DS dan DR


secara in vitro dengan konsentrasi hambat minimum (MIC) masing-masing 0,03-
0,30 µg/mL dan 0,08-5,48 µg/mL. Hal ini juga mengurangi beban M. tb di paru-
paru tikus yang terinfeksi secara in vivo dan menunjukkan aktivitas bakterisida
terhadap intraseluler M. tb dan tidak aktif dalam lingkungan oksigen rendah.
Menariknya, prodrug fosfat dari SPR720 menunjukkan pembunuhan yang lebih
kuat terhadap M. tb daripada senyawa induknya secara in vivo. Ketika
dikombinasikan dengan obat anti-TB lainnya, prodrug tersebut mensterilkan
infeksi M. tb pada tikus. SPR720 (Fobrepodacin) dilanjutkan ke dalam uji klinis
pada manusia. Mirip dengan M. tb, infeksi Non Tuberculosis Micobactery (NTM)
dapat menyebabkan penyakit paru-paru yang progresif, terutama pada pasien
dengan kerusakan struktural paru atau sistem kekebalan tubuh yang lemah. Uji
18
klinis fase I SPR720 dimulai pada Januari 2019, yang bertujuan untuk
mengevaluasi tolerabilitas, keamanan, dan farmakokinetiknya (PK) pada
sukarelawan sehat.

Pada akhir Februari 2019, SPR720 ditetapkan sebagai Qualified Infectious


Disease Product (QIDP) oleh FDA Amerika Serikat untuk pengobatan infeksi
paru-paru yang disebabkan oleh M. tb dan NTM. Pada bulan Desember 2020, uji
klinis Fase IIa SPR720 dimulai pada pasien dengan penyakit paru NTM yang
disebabkan oleh Mycobacterium avium (M. avium) complex (MAC). Tak lama
setelah itu, FDA AS melakukan penghentian pada SPR720 selama dilaksanakanya
studi toksikologi yang meneliti kematian pada hewan primata yang dikahwatirkan
diakibatkan oleh SPR720. Perlu dicatat bahwa tidak ada antibiotik oral yang
disetujui secara khusus untuk pengobatan NTM paru karena terapi kombinasi yang
berkepanjangan (12-24 bulan) tidak direkomendasikan seringnya muncul masalah
toleransi. Oleh karena itu, sambil menunggu hasil uji coba, SPR720 dapat menjadi
antibiotik oral pertama yang disetujui untuk infeksi NTM untuk memenuhi
kebutuhan mendesak yang sedang dihadapi.

Gambar 6. Skema representatid dari lokasi kerja beberapa jenis obat yang
berpotensi menjadi obat anti-TB saat ini serta senyawa targetnya. Pada gambaran
tersebut menunjukan bahwa terget utama dalam penemuan obat TB adalah
GyrA/B, QcrB, ATP sintase, DpeE1, FadD32, Pks13 dan MmpL3, TMM:
trehalose monomycolate, GroMM: glycerol monomycolate, TDM: trehalose
dimycolate, GMM; glucose monomycolate, DPS: decaprenylphosporyl-D-ribose,
DPX: decaprenylphosphoryl-2’-ketoribose, DPA: decaprenylphosphoryl-D-
arabinose, Mas: mycolic acids, FAS-I: fatty acid synthase I dan FAS-II: fatty acid
19
synthase II.
b. ATP Synthase

Diarylquinoline BDQ (Gambar 4) merupakan obat anti-TB terbaru yang


disetujui. Obat ini memiliki mekanisme kerja yang baru yaitu dengan melalui
menghambat subunit-c dari enzim ATP sintase mikobakteri. Oleh karena itu, obat
ini dapat mengganggu metabolisme energi dan menurunkan tingkat ATP
intraseluler pada M. tb. Namun, terdapat beberapa masalah ditemuka pada BDQ.
Pertama, obat ini memiliki waktu paruh eliminasi in vivo yang sangat lama dan
akumulasi jaringan yang luas akibat lipofilisitasnya yang sangat tinggi (ClogP =
7,25). BDQ juga menunjukkan penghambatan yang kuat terhadap ether-a-go-go
(hERG) kanal kalium jantung manusia gen (IC50 = 1,6 µM), yang sangat penting
untuk repolarisasi potensial aksi jantung. Disfungsi hERG ini menyebabkan
pemanjangan QT (interval waktu antara awal gelombang Q hingga akhir
gelombang T), yang mengakibatkan irama jantung tidak teratur (aritmia) dan
berpotensi menyebabkan kematian mendadak. Oleh karena itu, upaya optimalisasi
generasi berikutnya dimulai dengan tujuan untuk menurunkan lipofilisitas dan
kardiotoksisitas BDQ dan meningkatkan klirens dengan tetap mempertahankan
efek anti-TB yang tinggi. Dalam hal ini, dua diarylquinolines TBAJ-587 dan
TBAJ-876 diidentifikasi (Gambar 6). Kedua senyawa tersebut memiliki aktivitas
anti-TB (masing-masing MIC90 = 0,006 dan 0,004 µM) lebih unggul daripada
BDQ (MIC90 = 0,03 µM) terhadap strain H37Rv secara in vitro. Saat dilakukan
percobaan pada hewan, TBAJ-587 memiliki kemanjuran yang lebih baik daripada
BDQ sementara aktivitas TBAJ-876 sebanding dengan BDQ. Lalu yang
terpenting, lipofilisitas (ClogP = 5,80 dan 5,15, masing-masing) dan aktivitas
penghambatan hERG (masing-masing IC50 = 13 dan > 30 µM) dari kedua
senyawa tersebut lebih rendah dari BDQ. TBAJ-587 dan TBAJ-876 saat ini sedang
dalam uji klinis Tahap I.

c. QcrB

Subunit sitokrom b (QcrB) dari kompleks sitokrom bc1 baru-baru ini


muncul sebagai target yang menarik pada M. tb. Kompleks sitokrom bc1 adalah
komponen kunci dari rantai transpor elektron pernapasan yang diperlukan untuk
sintesis ATP. Oleh karena itu, penghambatan kompleks ini mengganggu
kemampuan M. tb untuk menghasilkan energi. Skrining fenotipik dilakukan pada
20
lebih dari 100.000 senyawa antimikobakteri untuk mengidentifikasi
imidazopyridine amides (IPA) sebagai kelas yang menjanjikan untuk menghambat
pertumbuhan M. tb dengan menargetkan QcrB. Turunan IPA yang dioptimalkan
yaitu Q203 (Gambar 6) menunjukkan penghambatan pertumbuhan yang kuat
terhadap strain DS M. tb H37Rv (MIC50 = 2,7 nM) dan beberapa isolat klinis
MDR dan XDR M. tb secara in vitro (MIC90 <0,43 nM untuk sebagian besar
strain DR). Saat dilakukan sekuensing pada seluruh genom mutan resisten
ditemukan Q203 dapat memicu penipisan ATP yang cepat pada M. tb dalam
kondisi aerobik dan anaerobik dengan QcrB sebagai targetnya. Q203 menunjukkan
sitotoksisitasyang kecil pada garis sel eukariotik yang berbeda dan dapat
ditoleransi dengan baik pada tikus ketika diberikan sebagai dosis tunggal yang
tinggi (1000 mg / kg) maupun pemberian jangka panjang pada (10 mg / kg
diberikan selama 20 hari)]. Yang penting, Q203 tidak menghambat saluran hERG
(IC50> 30 µM), menunjukkan potensi risiko kardiotoksisitas yang rendah. Q203
juga tidak menginduksi reseptor human pregnane X (hPXR) pada konsentrasi 10
µM dan tidak menghambat salah satu isoenzim CYP450 yang diuji (IC50> 10
µM). Q203 juga berkhasiat pada dosis <1 mg / kg pada saat dilakukan ujicoba
pada tikus yang mengidap TB. Aktivitas anti-TB yang kuat dan keamanan yang
menjanjikan membuat penelitian dilanjutkan pada uji coba pada manusia.
Telacebec (Q203) saat ini sedang dalam uji klinis Fase II sebagai antibiotik oral
untuk pengobatan TB. Hasil awal dari aktivitas bakterisidal awal Fase IIa (EBA)
menunjukkan bahwa Telacebec dapat ditoleransi dengan baik dan aman ketika
diberikan pada dosis yang berbeda untuk pasien dewasa dengan TB paru.

Turunan pirazolo [1,5-a] piridin-3-karboksamida yaitu TB47 (Gambar 6)


juga diidentifikasi sebagai kandidat anti-TB praklinis yang dapat menghambat
QcrB. TB47 menunjukkan aktivitas anti-TB yang kuat (MIC = 0,016-0,500
µg/mL) terhadap panel isolat klinis M. tb, termasuk berbagai strain MDR dan
XDR. TB47 juga menunjukkan profil PK dan toksisitas yang menjanjikan, di mana
ia menunjukkan sitotoksisitas yang dapat ditoleransi (IC50> 100 µM terhadap
garis sel Vero dan HepG2), interaksi CYP450 (IC50> 20 µM) dan penghambatan
saluran hERG (IC50> 30 µM). Ketika dilakukan uji coba pada tikus , meskipun
TB47 tidak bersifat bakterisidal sebagai monoterapi, TB47 memiliki sinergisme
yang kuat dengan PZA dan RIF, yang menunjukkan potensinya bila

21
dikombinasikan dengan obat anti-TB lainnya.

d. DpeE1

Decaprenylphosphoryl-β-D-ribose 20-epimerase 1 (DprE1), juga disebut


decaprenylphosphorylβ-D-ribose oksidase, adalah enzim kunci yang terlibat dalam
biosintesis dinding sel mikobakteri. Pada tahun 2009, sebuah laporan terobosan
mengidentifikasi DprE1 sebagai target kelas inhibitor baru, yaitu 1,3-benzothiazin-
4-ones (BTZ), yang ditemukan dalam skrining fenotipik dari perpustakaan obat.
Kelas senyawa baru ini diberkahi dengan aktivitas antimikobakteri yang kuat, yang
menunjukkan aktivitas bakterisidal terhadap M. tb dalam kisaran nanomolar.
DprE1 adalah flavoprotein yang bekerja bersama dengan decaprenylphosphorylD-
2-keto eritro pentose reduktase (DprE2) untuk menghasilkan prekursor arabinosa
yang memainkan peran mendasar dalam sintesis polisakarida dinding sel
mikobakteri arabinogalaktan dan lipoarabinomannan. Dalam hal ini, DprE1
menggunakan flavin adenin dinukleotida (FAD) untuk mengoksidasi
dekaprenilfosforil-D-ribosa (DPR) menjadi perantara keto [dekaprenilfosforil-20-
ketoribosa (DPX)], yang kemudian direduksi oleh DprE2 untuk membentuk
dekaprenilfosforil-D-arabinosa (DPA) [63] (Gambar 6). DPA kemudian berfungsi
sebagai donor gula untuk biogenesis dinding sel arabinosa. Biosintesis DPA baru-
baru ini terbukti terjadi di ruang periplasma dinding sel mikobakteri, dimana
DprE1 juga ditemukan. Lokalisasi ekstraseluler DprE1 membuatnya lebih mudah
diakses oleh obat-obatan yang berdampak terhadap kerentanannya. Hal ini
menunjukkan bahwa menghambat DprE1 dapat menghapuskan pembentukan
DPA, sehingga memicu lisis sel dan kematian mikobakteri. Validitas DprE1
sebagai target obat selanjutnya diverifikasi oleh studi genetik yang dilakukan
dengan menggunakan mutan knock-down M. tb. Penurunan regulasi DprE1secara
in vitro dan intraseluler dapat menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri dan lisis
sehingga mengakibatkan kematian dalam waktu cepat. Hal ini menunjukan peran
pentingnya dalam pertumbuhan dan kelangsungan hidup bakteri. Selain BTZ,
beberapa kelas baru penghambat DprE1 yang efektif melawan M. tb telah
diidentifikasi. Empat senyawa saat tersebut sedang dalam tahap lanjutan uji klinis,

22
yaitu BTZ-043, PBTZ-169 (Macozinone), OPC-167832 dan TBA-7371(Gambar
6).

Analog benzothiazinone BTZ-043, merupakan penghambat DprE1 yang


ditemukan pertama kali. Faktanya, BTZ-043 ditemukan sebagai penghambat dari
enzim DprE1 FAD mikobakteri melalui cara menonaktifkan enzim secara
ireversibel dengan membentuk adisi kovalen. BTZ-043 menunjukkan aktivitas
bakterisidal nanomolar baik secara in vitro maupun ex vivo terhadap M. tb. BTZ-
043 menunjukkan nilai MIC 1 ng / mL (2,3 nM) terhadap strain M. tb DS H37Rv
dan aktivitas serupa terhadap panel isolat klinis M. tb, termasuk strain MDR-TB
dan XDR-TB. Dalam model ex vivo, BTZ-043 membunuh M. tb secara intraseluler
(MIC <10 ng/mL) pada makrofag yang terinfeksi M. tb, menunjukkan potensi
yang lebih tinggi daripada INH dan RIF terhadap bakteri intraseluler. Dalam
model infeksi murine TB, kemanjuran BTZ-043 sebanding dengan INH dan RIF,
meskipun aktivitas anti-TB in vitro dari dua obat lini depan sebelumnya jauh lebih
sedikit daripada BTZ-043. Dalam studi toksikologi praklinis, BTZ-043 dapat
ditoleransi dengan baik oleh babi kecil (pada 360 mg / kg) dan tikus (hingga 170
mg / kg), menunjukkan potensi toksikologi yang rendah. BTZ-043 menunjukkan
aktivitas sitotoksik terbatas terhadap garis sel manusia, termasuk sel THP-1
monositik, dua sel hati (Huh7 dan HepG2) dan sel A549 epitel paru-paru [dosis
toksik rata-rata (TD50) = 16-77 μg / mL; indeks selektivitas (SI) = 16.000-77.000].
Uji klinis EBA fase IIa BTZ-043 dimulai pada November 2020.

Karena potensi BTZ-043 yang luar biasa dalam in vitro tidak sebagus
dalam in vivo pada model tikus TB, maka optimasi lebih lanjut dilakukan, yang
mengarah pada pengembangan seri baru BTZ yaitu piperazinebenzothiazinones
(PBTZ). Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sifat farmakologis dari
senyawa timbal generasi pertama BTZ-043, khususnya kelarutan dalam air yang
dicapai dengan memasukkan gugus piperazin ke dalam rangakian BTZ. Hasilnya,
PBTZ-169 generasi berikutnya (Gambar 6) menunjukkan sifat fisikokimia dan
aktivitas antimikroba yang lebih unggul dibandingkan dengan BTZ-043. PBTZ-
169 (Macozinone) memiliki mekanisme kerja yang sama dengan BTZ-043, yaitu
menghambat DprE1 dengan cara membentuk ikatan kovalen dengan residu sistein
di area aktifnya. Aktivitas in vitro PBTZ-169 terhadap strain M. tb H37Rv (MIC =
0,3 ng / mL) hampir 3 kali lipat lebih tinggi dari BTZ-043. PBTZ-169 juga
23
memiliki keunggulan dapat mempertahankan aktivitasnya yang kuat terhadap
panel isolat klinis MDR dan XDR M. tb. Selain potensi anti-TB in vitro yang lebih
baik, PBTZ-169 juga menunjukkan potensi yang lebih baik daripada BTZ-043
dalam aspek-aspek berikut: (1) kurangnya pusat kiral pada PBTZ-169 membuat
sintesis, produksi dan kontrol kualitasnya lebih mudah dibandingkan BTZ-043,
sehingga mengurangi biaya produksinya; (2) PBTZ-169 secara signifikan lebih
berkhasiat daripada BTZ-043 dalam model murine TB, sehingga PBTZ-169
menjadi penghambat DprE1 yang lebih efisien daripada BTZ-043; (3) PBTZ-169
menunjukkan lebih sedikit sitotoksisitas dibandingkan dengan BTZ-043; (4)
PBTZ-169 menunjukkan kelarutan yang lebih baik daripada BTZ-043; (5) PBTZ-
169 menunjukkan penyerapan yang lebih baik daripada BTZ-043, (6) PBTZ-169
menunjukkan penyerapan yang lebih baik daripada BTZ-043 karena pada saat
dibandingkan dengan BTZ-043 menunjukkan profil PK yang lebih baik. PBTZ-
169 bekerja secara sinergis dengan BDQ sementara efek aditif diamati ketika
dikombinasikan dengan obat anti-TB lainnya. Meskipun PBTZ-169 dikembangkan
bertahun-tahun setelah BTZ-043, PBTZ169 membuat kemajuan yang luar biasa
dalam uji klinis; oleh karena itu, saat ini PBTZ-169 setara dengan BTZ043 karena
kedua kandidat berada di Fase II. Studi fase I PBTZ-169 pada sukarelawan pria
sehat menunjukkan profil keamanan yang baik dan tolerabilitas yang baik. Studi
fase IIa EBA dari PBTZ-169 telah selesai pada awal 2018, yang menetapkan
keamanannya yang dapat diterima pada pasien TB-DS. Selain itu, aktivitas
bakterisidal yang baik secara statistik dimanifestasikan ketika PBTZ-169 diberikan
sebagai monoterapi pada kelompok yang terdiri dari tujuh pasien selama 14 hari.

Skrining fenotipik lain yang dilakukan pada perpustakaan karbostiril telah


mengidentifikasi dan mengoptimalkan turunan 3,4-dihidrokarbostiril dengan
aktivitas anti-TB yang kuat. Apalagi inti struktural karbostiril merupakan tulang
punggung berbagai obat dan telah diakui memiliki profil PK dan keamanan yang
baik. Upaya-upaya ini ditujukan untuk identifikasi kandidat obat anti-TB yang
menjanjikan, yaitu OPC-167832 (Gambar 6). Pengurutan seluruh genom mutan
resisten OPC-167832 kemudian mengidentifikasi DprE1 sebagai target senyawa
ini, dan penelitian selanjutnya juga menunjukkan penghambatan aktivitas
enzimatik DprE1. Nilai MIC OPC-167832 terhadap berbagai strain DS dan DR M.
tb berkisar antara 0,24-2 ng / mL. OPC-167832 menunjukkan aktivitas bakterisidal

24
terhadap M. tb yang sedang tumbuh maupun intraseluler pada konsentrasi masing-
masing 0,5 dan 4 ng / mL. Perlu dicatat bahwa aktivitas pembunuhan OPC-167832
terhadap M. tb yang sedang tumbuh lebih unggul daripada BDQ dan linezolid
sementara itu setara dengan RIF, moxifloxacin dan levofloxacin. Aktivitas
bakterisidal yang kuat ini dikaji secara in vivo pada model tikus TB kronis, di
mana OPC-167832 menunjukkan dosis efektif minimum yang sangat rendah
(MED = 0,625 mg / kg). OPC-167832 juga dievaluasi dalam terapi kombinasi pada
tikus yang terinfeksi TB, di mana ia digunakan bersama DLM sebagai komponen
inti dari rejimen kombinasi obat yang terdiri dari 3 atau 4 obat, di mana obat ketiga
dan / atau keempat adalah linezolid, moksifloksasin atau BDQ. Kegiatan sterilisasi
yang diamati pada lima dari enam rejimen ini lebih besar daripada rejimen lini
depan (INH, RIF, PZA dan EMB). Kombinasi baru ini menunjukkan penurunan
cepat dalam jumlah bakteri pada tikus serta efek pencegahan kambuh yang lebih
unggul dari kombinasi pengobatan standar. Hasil tersebut membuat OPC-167832
masuk ke dalam jalur klinis (Fase I / II EBA).

Serangkaian 4-azaindol ditemukan dari pecahan imidazopiridin. Kelas baru


ini menunjukkan aktivitas anti-TB in vitro dan in vivo yang sangat baik, dengan
DprE1 diidentifikasi sebagai target mereka. Faktanya, mereka ditemukan sebagai
penghambat non-kovalen DprE. TBA-7371 (Gambar 6) adalah sorotan dari kelas
ini yang dilanjutkan ke pengembangan klinis. Senyawa ini menunjukkan aktivitas
anti-TB yang kuat terhadap strain DS dan DR M. tb secara in vitro (MIC = 0,4-
6,25 µM). TBA-7371 juga menunjukkan aktivitas bakterisidal yang kuat terhadap
M. tb dengan nilai aktivitas bakterisidal minimum (MBC) 0,78-1,56 µM dan aktif
terhadap M. tb intraseluler. TBA-7371 berkhasiat dalampercobaan menggunakan
model tikus / tikus infeksi TB kronis, secara signifikan mengurangi jumlah bakteri
di paru-paru hewan yang terinfeksi. TBA-7371 menunjukkan penghambatan yang
minimal pada saluran hERG (IC50> 33 µM) sehingga berresiko rendah
kardiotoksisitas. Ketika TBA-7371 diuji terhadap sel THP1 (garis sel monosit
manusia), ia tidak menunjukkan penghambatan hingga konsentrasi 100 µM, yang
menunjukkan bahwa sitotoksisitasnya rendah. TBA-7371 tidak menghambat
isoenzim CYP450 (IC50> 50 µM), menunjukkan kecenderungannya yang rendah
untuk interaksi obat-obat. Secara umum, ketika diuji terhadap panel target
manusia, TBA-7371 tidak menunjukkan dampak buruk yang besar. Ketika sifat

25
PK-nya dinilai pada hewan pengerat didapatkan paparan oral yang baik. Fase IIa
dimulai pada Januari 2020 untuk mengevaluasi EBA, keamanan, dan PK TBA-
7371 pada TB paru.

e. FadD32 dan Pks13

Asam lemak acyl-AMP ligase 32 (FAAL32 atau FadD32), yang juga


disebut protein degradasi asam lemak D32, dan sintase poliketida 13 (Pks13)
adalah enzim penting yang bekerja sama satu sama lain, memainkan peran penting
dalam biosintesis MAs (Gambar 6). MAs adalah komponen lipid utama dari
dinding sel lilin M. tb dan merupakan mediator utama hidrofobisitas dan
impermeabilitasnya. Secara singkat, dalam sitoplasma M. tb, cabang α-alkil C24-
C26 dari MAs dan rantai meromikolat C50-C60 masing-masing dihasilkan dari
sistem sintase asam lemak I (FAS-I) dan sintase asam lemak II (FAS-II). Kedua
rantai asam lemak ini diaktifkan sebelum kondensasi akhir terjadi. FadD32 adalah
enzim adenilasi yang mengaktifkan dan mentransfer meromycolyl-AMP
(meroacyl-AMP) ke enzim kondensasi terminal Pks13. Dengan kata lain, FadD32
berfungsi sebagai enzim penghubung yang menghubungkan biosintesis FAS dan
PKS. Pks13 kemudian mengkatalisis reaksi kondensasi Claisen utama,
menggabungkan kedua rantai asil lemak yaitu cabang α-alkil dan rantai
meromikolat untuk menghasilkan α-alkil β-ketoasam. Rantai rakitan yang
dihasilkan akan menempel pada trehalosa lalu diikuti dengan langkah reduksi akhir
untuk membentuk trehalosa monomikolat (TMM). TMM berfungsi sebagai
prekursor MA, yang kemudian diangkut dari sitoplasma ke periplasma melalui
protein membran mikobakteri besar 3 (MmpL3).

Tiga serangkai yang terlibat dalam biosintesis MAs FadD32, Pks13 dan
MmpL3 akan membentuk wilayah baru yang belum sepenuhnya dieksploitasi pada
M. tb (Gambar 6). Oleh karena itu, mereka merupakan target obat yang
menjanjikan untuk pengembangan agen anti-TB baru yang dapat digunakan untuk
mengatasi TB-MDR. Kedua gen fadD32 dan pks13 bersebelahan pada operon
yang sama (kluster fadD32 pks13-accD4). MAs berkontribusi pada resistensi
intrinsik M. tb sehingga sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup, persistensi
dan virulensi mikobakteri. Oleh karena itu, menghambat enzim penting yang
terlibat dalam biosintesis MAs dianggap sangat dibutuhkan dalam penemuan obat
TB. Gagasan ini didukung dengan obat yang saat ini digunakan menargetkan
26
biosintesis MAs seperti INH, yang merupakan tulang punggung kemoterapi TB
bersama dengan RIF. Oleh karena itu, menghambat FadD32 atau Pks13 dapat
mengakibatkan gangguan pada biosintesis MAs, sehingga dapat merusak integritas
membran luar M. tb. Penghapusan gen fadD32 atau pks13 pada Corynebacterium
glutamicum menghapuskan produksi Mas dan mengubah struktur selubung sel.
Pada Mycobacterium smegmatis (M. smegmatis), kedua gen tersebut juga terbukti
penting untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikobakteri.

Pada M. tb, penipisan fadD32 jelas bersifat bakterisidal dan meningkatkan


sensitivitas strain knockdown fadD32 terhadap beberapa antibiotik. Skrining
fenotipik seluruh sel terhadap M. tb mengarah pada identifikasi serangkaian
diarylcoumarin yang menghambat fadD32. Analog kumarin yang paling kuat
CCA34 (Gambar 6) menunjukkan nilai MIC 0,24 µM terhadap strain M. tb DS
H37Rv. CCA34 juga menunjukkan aktivitas yang kuat terhadap isolat M. tb
dengan monoresistensi terhadap INH (MIC = 0,44 µM). Selain itu, ini
menunjukkan nilai MBC yang kuat sebesar 1,9 µM, yang sebanding dengan INH
(MBC = 0,5 µM). Pada makrofag yang terinfeksi M. tb, CCA34 mampu
membunuh basil intraseluler tanpa menganggu kelangsungan hidup makrofag.
Penting diketahui pada model infeksi TB tikus, CCA34 tidak beracun dan dapat
ditoleransi dengan baik [dosis maksimum yang dapat ditoleransi (MTD) = 100
mg/kg]. Obat ini juga menghambat perkembangbiakan bakteri, menunjukkan
pengurangan 30 kali lipat jumlah bakteri di paru-paru tikus yang terinfeksi setelah
8 hari. Kemanjuran ini ditemukan sebanding dengan yang diamati untuk INH.
Temuan ini menetapkan FadD32 sebagai target obat yang bagus dan tervalidasi
secara in vivo untuk M. tb. Karena 4,6-diaryl-5,7-dimethylcoumarins secara efektif
menekan replikasi bakteri secara in vivo melalui penghambatan FadD32, CCA34
dapat dianggap sebagai senyawa timbal yang menjanjikan yang dapat dioptimalkan
lebih lanjut.

Di sisi lain, kelompok Sacchettini telah mengembangkan teknik yang


didasarkan pada skrining throughput tinggi yang dipasangkan dengan pengurutan
seluruh genom mutan resisten dan rekombinasi untuk memvalidasi signifikansi
fungsional mutasi. Metode ini menghasilkan identifikasi beberapa senyawa aktif
seluruh sel dan targetnya. Salah satu perancah yang diidentifikasi di dalamnya
adalah turunan benzofuran, yang ditemukan menargetkan Pks13. Setelah
27
melakukan modifikasi berbasis struktur lanjutan, kelompok yang sama kemudian
menyoroti turunan benzofuran TAM16 (Gambar 6) sebagai senyawa timbal anti-
TB yang ampuh (nilai MIC ≤ 0,42 µM). Senyawa ini juga memiliki aktivitas
bakterisidal in vitro yang sangat kuat terhadap isolat klinis M. tb DS dan DR yang
diuji. Senyawa ini juga menunjukkan kemanjuran in vivo yang kuat, setara dengan
obat anti-TB lini depan INH, pada beberapa model infeksi TB pada tikus. TAM16
menunjukkan sifat-sifat seperti obat yang sangat baik dan profil keamanan dan PK
yang menguntungkan. TAM16 saat ini sedang dalam tahap optimasi timbal.
Turunan kumestan 1 (Gambar 6) adalah sorotan dari laporan yang diterbitkan ini,
menunjukkan aktivitas yang kuat terhadap beberapa strain DS dan DR-TB
(MIC/MBC < 0,008 µg/mL). Aktivitas in vitro yang sangat baik ini diterjemahkan
ke dalam aktivitas in vivo yang kuat dalam uji SIT tikus, menunjukkan aktivitas
yang lebih tinggi daripada INH dan TAM16. Pada tahun 2021, penelitian lebih
lanjut secara in vitro dan in vivo dilakukan pada analog coumestan 1. Ini
menunjukkan kapasitas sterilisasi yang kuat pada konsentrasi 0,06 µg / mL (15 kali
MIC) dalam kultur. Selain itu, ini menunjukkan parameter PK yang bagus ketika
diberikan secara oral pada tikus (10 mg / kg) dengan ketersediaan bioavaibilitas
relatif 19,4%. Penting diketahui, pada model infeksi tikus, coumestan 1
menunjukkan aktivitas yang bergantung pada dosis sebagai monoterapi. Ini juga
menunjukkan efek sinergis ketika dikombinasikan dengan RIF (25 mg / kg 1 dan
10 mg / kg RIF) dalam mengurangi unit pembentuk koloni (CFU) di paru-paru
tikus setelah 8 minggu pengobatan. Secara keseluruhan, baik turunan benzofuran
TAM16 dan analog coumestan 1 merupakan kandidat obat anti-TB praklinis yang
menjanjikan yang berpotensi dikembangkan lebih lanjut di masa depan.

f. MmpL3

Persilangan antara FadD32 dan Pks13 menghasilkan pembentukan TMM,


prekursor MAs ini kemudian dibalikan dari sitoplasma ke periplasma melalui
protein membran bagian dalam MmpL3 (Gambar 6). Bagian miselium kemudian
berlabuh ke arabinogalaktan, polisakarida dinding sel utama, yang selanjutnya
dihubungkan dengan peptidoglikan. Ini juga melekat pada molekul TMM lainnya,
glukosa dan gliserol. Proses penambatan ini mengarah pada pembentukan
kompleks mycolyl-arabinogalactan-peptidoglikan (mAGP) dan glikolipid
membran luar trehalosa dimikolat (TDM), glukosa monomikolat (GMM), dan
28
gliserol monomikolat (GroMM) (Gambar 6). Peran penting MmpL3 adalah
mengangkut MA melintasi membran sitoplasma serta menempa penghalang
permeabilitas yang tangguh dari M. tb. Dalam hal ini, MmpL3 ditemukan sangat
penting untuk replikasi dan kelangsungan hidup M. tb. Memang, penurunan
regulasi gen mmpL3 pada M. tb dikaitkan dengan pembatalan pembelahan
mikobakteri dan penyebab kematian sel yang cepat. Tidak hanya membungkam
mmpL3 secara in vitro, tetapi juga mengurangi beban bakteri pada model infeksi
paru-paru tikus akut dan kronis. Semua itu menjadikan transporter MmpL3 sebagai
target yang tervalidasi dengan baik di M. tb.

Beberapa molekul kecil dengan entitas kimia yang beragam, termasuk


SQ109, indole2-karboksamida (I2C), AU1235, BM212 dan THPP1, telah
diidentifikasi sebagai agen anti TB yang kuat, dan MmpL3 terbukti menjadi target
mereka. Faktanya, hasil dari satu penelitian mendukung mekanisme penghambatan
langsung MmpL3 oleh lima kelas senyawa tersebut. Dalam laporan yang sama,
SQ109, BM212 dan AU1235 juga ditemukan untuk menghilangkan gaya motif
proton (PMF) dari mana MmpL3 memperoleh energinya (mekanisme tidak
langsung). Pada tahun 2019, struktur kristal MmpL3 terungkap, menjelaskan mode
pengikatan SQ109, I2C dan AU1235 di dalam kantong pengikatan MmpL3.
Setelah mengikat, turunan ini menempati tiga subsit dalam saluran transportasi
proton, mengganggu pasangan Asp-Tyr kunci yang terlibat dalam relai proton dan
memblokir PMF untuk translokasi substrat. Secara umum, senyawa yang
menargetkan MmpL3 cukup lipofilik, yang dapat merusak kelarutan air dan
ketersediaan hayati dari kelas inhibitor ini.

Senyawa SQ109 (Gambar 6) adalah 1,2-ethylenediamine yang


dikembangkan dari skrining analog EMB dengan hasil yang tinggi dan bertujuan
untuk mengidentifikasi kandidat obat berbasis EMB dengan toksisitas yang rendah
serta aktivitas anti-TB yang lebih baik. SQ109 adalah penghambat MmpL3 yang
paling canggih dalam uji klinis (Fase II). Sebagai catatan, meskipun SQ109
muncul dari pustaka kombinatorial berdasarkan EMB, kedua senyawa tersebut
memiliki struktur yang berbeda, dan SQ109 ditemukan memiliki cara kerja baru
yang berbeda dari EMB. Memang, evaluasi retrospektif terhadap mutan yang
resisten terhadap SQ109 mengungkapkan adanya gangguan pada perakitan MA ke
dinding sel M. tb, yang dianggap menghambat transporter MmpL3. SQ109
29
menunjukkan aktivitas yang sangat baik terhadap beberapa strain DS dan DR M. tb
secara in vitro (MIC ≤ 0,78 µg / mL). Itu juga berkhasiat secara in vivo pada
model infeksi TB tikus dengan dosis 10 mg / kg, yang jauh di bawah MTD pada
tikus (600 mg / kg). SQ109 menunjukkan aktivitas bakterisidal dengan nilai MBC
0,64 µg/mL. SQ109 membunuh M. tb di dalam makrofag dengan aktivitas yang
lebih unggul dari EMB dan setara dengan INH. Obat ini juga mengurangi beban
M. tb intraseluler sebesar 99% pada MIC-nya dan menunjukkan efek sinergis bila
dikombinasikan dengan obat anti-TB lainnya. Dalam studi keamanan praklinis
pada anjing, tikus dan primata bukan manusia, tingkat efek samping yang tidak
teramati (NOAEL) SQ109 adalah 30-40 mg/kg/hari, tergantung pada spesiesnya.
SQ109 aman dan dapat ditoleransi dengan baik pada Fase I dan studi klinis awal
Fase II. Dalam studi Fase II, SQ109 menunjukkan hasil efikasi dan tolerabilitas
yang menjanjikan ketika ditambahkan ke rejimen pengobatan standar untuk pasien
dengan TB-MDR paru. SQ109 menunjukkan aktivitas bakterisidal dengan nilai
MBC 0,64 µg/mL. SQ109 membunuh M. tb di dalam makrofag dengan aktivitas
yang lebih unggul dari EMB dan setara dengan INH. Obat ini juga mengurangi
beban M. tb intraseluler sebesar 99% pada MIC-nya dan menunjukkan efek
sinergis bila dikombinasikan dengan obat anti-TB lainnya. Dalam studi keamanan
praklinis pada anjing, tikus dan hewan primata, tingkat efek samping yang tidak
teramati/no observed adverse events level (NOAEL) SQ109 adalah 30-40
mg/kg/hari, tergantung pada spesiesnya. SQ109 aman dan dapat ditoleransi dengan
baik pada Fase I dan studi klinis awal Fase II. Dalam studi Fase II, SQ109
menunjukkan hasil efikasi dan tolerabilitas yang menjanjikan ketika ditambahkan
ke rejimen pengobatan standar untuk pasien dengan TB-MDR paru.

Teknik skrining fenotipik seluruh sel juga telah mengidentifikasi lebih


banyak kelas inhibitor MmpL3. Secara khusus, dua analog I2C, NITD-304 dan
NITD349 (Gambar 6), sebelumnya disorot sebagai kandidat praklinis anti-TB yang
ampuh untuk mengobati TB-MDR. Li dkk menggunakan kombinasi pendekatan in
vitro dan berbasis sel utuh yang mengungkapkan bahwa NITD-304 dan NITD-349
menghambat MmpL3 melalui mekanisme langsung. Kedua kandidat utama
menunjukkan aktivitas yang kuat terhadap isolat klinis DS dan DR M. tb (MIC99 ≤
0,08 µM). Mereka menunjukkan aktivitas bakterisidal terhadap M. tb yang
bereplikasi secara in vitro dan M. tb intramakrofag, di mana NITD-304

30
menunjukkan profil aktivitas bakterisidal yang mirip dengan isoniazid (INH), yang
dengan cepat membunuh M. tb pada konsentrasi yang lebih besar dari 0,2 µM.
Kedua senyawa tersebut juga menunjukkan sifat PK oral yang menguntungkan
pada anjing dan hewan pengerat. Dua analog timbal tingkat lanjut juga berkhasiat
dalam mengobati keduanya infeksi M. tb akut dan kronis dalam model kemanjuran
murine [MED = 37,5 (NITD-304) dan 25 (NITD-349) mg/kg]. Aktivitas in vivo
dari kedua senyawa (masing-masing 100 mg / kg) sebanding dengan RIF (10 mg /
kg) dan lebih baik daripada EMB (100 mg / kg). Dalam model infeksi tikus, satu
bulan dosis harian (100 mg / kg) NITD-304 atau NITD-349 dapat ditoleransi
dengan baik pada semua hewan. Selain itu, penilaian keamanan in vitro dan in vivo
dari kedua kandidat, termasuk studi toksikologi tikus eksplorasi selama dua
minggu, mengungkapkan margin keamanan yang menjanjikan. Kedua senyawa
tersebut tidak menunjukkan sitotoksisitas terhadap sel mamalia (CC50> 20 µM)
dengan indeks selektivitas> 1000. Mereka juga tidak menunjukkan penghambatan/
toksisitas pada hampir 40 uji biokimia, termasuk panel reseptor yang dipasangkan
dengan protein G manusia, protease, fosfodiesterase, dan saluran ion (IC50 > 30
µM). Tidak seperti banyak obat anti-TB, misalnya, moxifloxacin dan BDQ, baik
NITD-304 dan NITD-349 tidak memiliki efek kardiotoksik, karena tidak satu pun
dari mereka yang menghambat saluran hERG (IC50> 30 µM). Selain itu, kedua
kandidat tidak menghambat atau menstimulasi enzim CYP pada konsentrasi 10
µM, kecuali untuk isoform CYP2C9, yang dihambat oleh NITD-349 dengan nilai
IC50 sebesar 2,67 µM. Mereka juga tidak menginduksi aktivasi hPXR pada
konsentrasi 10 µM. Secara kolektif, temuan ini menunjukkan rendahnya potensi
interaksi obat-obat yang berkorelasi dengan kedua analog I2C ini. Kedua senyawa
tersebut saat ini sedang dalam tahap optimasi timbal.

Tiga senyawa hit, AU1235, BM212 dan THPP1 (Gambar 6), juga terbukti
memiliki aktivitas bakterisidal yang kuat terhadap M. tb melalui penargetan
MmpL3. Turunan adamantil urea AU1235 menunjukkan aktivitas yang kuat
terhadap strain DS dan DR M. tb (MIC <0,12 µg/mL) sementara itu tingkat
sitotoksisitasnya dapat diabaikan terhadap sel Vero mamalia (IC50 = 219 µg/mL).
Turunan diarylpyrrole BM212 (Gambar 6) menunjukkan aktivitas penghambatan
yang kuat terhadap beberapa strain M. tb, termasuk MDR-TB (MIC = 0,7-1,5 µg /
mL). Obat ini juga menunjukkan aktivitas bakterisidal terhadap M. tb intraseluler

31
(MIC = 0,5 µg/mL) tanpa menghilangkan makrofag. Hasil akhirnya, senyawa
tetrahydropyrazolo [1,5-a] pyrimidine-3-carboxamide (THPP1) menunjukkan
aktivitas anti-TB yang kuat terhadap panel strain M. tb DS dan mono-resistant
(MIC = 0,16-0,6 µM) begitupun strain M. tb MDR dan XDR (MIC = 0,16-5 µM).
THPP1 juga menunjukkan aktivitas anti-TB intraseluler yang kuat dengan nilai
MIC 0,16 µM pada makrofag tikus yang terinfeksi. THPP1 juga menunjukkan
sitotoksisitas minimal terhadap sel HepG2 manusia (IC50> 25 µM).

32
BAB II
KRITISI JURNAL

2.1 Kredibilitas Jurnal Umum


Sumber https://doi.org/10.3390/ijms24065202
Jurnal
Penulis Shahinda S. R. Alsayed 1, Hendra Gunosewoyo
Jurnal
Judul jurnal Tuberculosis: Pathogenesis, Current Treatment Regimens and
New Drug Targets

Waktu 2023
penerbitan
Abstrak jurnal • Penulisan abstrak dalam jurnal ini terdiri dari 224 kata
dalam Bahasa Inggris. Abstrak yang baik tidak lebih dari
250 kata. Dalam penelitian ini abstrak dibuat sudah ringkas
dan mudah dibaca.
• Pada bagian bawah abstrak telah dicantumkan kata kunci
atau keyword.
Pendahuluan Pada pendahuluan jurnal ini dijelaskan mengenai sejarah
jurnal Mycobacterium tuberculosis (M.Tb), dampak dari infeksi M.Tb,
epidemiologi TB, patofisiologi TB dan kegawatdaruratan TB
sebagai masalah di seluruh dunia.
Pembahasan Pada jurnal ini dibahas mengenai patogenesis dari M. tb,
Jurnal protokol pengobatan yang digunnakan saat ini dan pantangan
dalam mengontrol penyakit TB.

Kesimpulan Telah mencakup keseluruhan isi jurnal


jurnal

33
Daftar • Daftar pustaka pada jurnal ini dicantumkan dengan
pustaka metode Vancover dengan literatur yang digunakan
jurnal berjumlah 105 nomor.
• Kaidah penulisan referensi yang digunakan sudah tepat
dengan menggunakan kaidah penulisan CMS (Chicago
Manual of Style).

34
2.2 Mengkaji PICO Jurnal
P : Permasalahan global TB yang sedang dihadapi meliputi TB resistensi obat,
koinfeksi TB dan HIV serta TB pasca pandemi COVID-19.
I : Saat ini sedang dilakukan berbagai pendekatan untuk menemukan obat baru
dalam penanganan masalah TB di dunia dengan cara mengidentifikasi target
obat TB beserta senyawa yang dapat mencapai target tersebut.
C : Tidak terdapat perbandingan pada jurnal ini.
O : Saat ini telah ditemukan beberapa target obat yang baru yang berpotensi seperti
GyrA/B, ATP sintase, QcrB, DprE1, FadD32, Pks13 dan MmpL yang sampai
saat ini masih dikembangkan.

2.3 Analisis VIA


 Validity
Jurnal ini merupakan jurnal review yang valid karena dilengkapi dengan
identitas jurnalyang lengkap dan telah tercantum nomor ISSN serta adanya alamat
korespondensi. Jurnal ini merupakan ulasan mengenai patogenesis dari M. tb,
protokol pengobatan yang digunnakan saat ini dan pantangan dalam mengontrol
penyakit TB.
 Importance

Jurnal ini merupakan jurnal yang menjelaskan tentang masalah TB yang


masih tinggi akibat dari berbagai faktor salah satunya adalah kurangnya
pengobatan yang dapat diberikan pada kasus TB resisten obat. Maka dari itu
sebagai tenaga kesehatan penting untuk mengetahui seberapa besarnya masalah TB
yang sedang dihadapi sekarang beserta mengetahui perkembangan dari berbagai
jenis obat baru sebagai jalan keluar dari masalah TB yang sedang dihadapi.

 Applicability
Jurnal ini dapat menjadi salah satu sumber literatur atau pedoman bagi tenaga
kesehatan terutama dalam penanganan TB.

2.4 Kelebihan Jurnal

1. Jurnal ini merupakan salah satu jurnal terbitan terbaru yang membahas tentang
patogenesis TB, rejimen pengobatan TB yang saat ini digunakan dan target obat
TB.
2. Sebagai jurnal review, artikel yang digunakan sebagai referensi sudah sangat

35
cukup (105 artikel) untuk digunakan sebagai pedoman terbaru.
3. Pembahasan sangat lengkap dan sudah disertai dengan gambar yang
mempermudah untuk memahami isinya.

2.5 Kekurangan Jurnal

1. Jurnal ini banyak menggunakan bahasa medis sehingga sulit untuk dimengerti
oleh kalangan umum.

36
BAB III
KESIMPULAN
Meskipun saat ini telah tersedia antibiotik yang berpotensi menyembuhkan,
TB terus menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang mengkhawatirkan di
seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Pada seseorang yang
memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik, basil tuberkel akan hidup dengan
dilapisi granuloma seumur hidup tanda diketahui oleh sistem imun (infeksi TB
laten). Infeksi TB laten (tanpa gejala) ini dapat mengalami reaktivasi ketika
kekebalan tubuh host-nya terganggu, yang mengakibatkan peningkatan beban
bakteri dan perkembangan penyakit, sehingga akhirnya menyebabkan gejala dan
dapat menular. Mengobati infeksi M.Tb DS biasanya dapat dilakukan dengan
rejimen obat anti-TB lini pertama. Namun pada kasus infeksi TB-MDR,
pengobatan akan menjadi lebih menantang dan kurang menjanjikan. Hal ini yang
menyebabkan pandemi TB terus berlanjut. Selain itu, upaya pengendalian TB
umumnya terhambat oleh koinfeksi HIV, COVID-19, kepatuhan pasien yang
buruk dan pendekatan pengobatan yang kurang optimal diberbagai belahan dunia.
Sejak sekuensing seluruh genom M. tb (≈4000 gen) terungkap, banyak
ditemukan molekul kecil dengan aktivitas yang kuat terhadap strain M. tb DS, dan
targetnya telah diidentifikasi dan divalidasi. Saat ini, banyak ilmuwan yang sedang
memfokuskan upaya penelitian mereka untuk mengidentifikasi target obat M. tb
yang baru untuk mengatasi masalah DR. Target obat yang paling menonjol akhir-
akhir ini adalah GyrA/B, ATP sintase, QcrB, DprE1, FadD32, Pks13 dan MmpL3.
Sayangnya, beberapa kandidat obat tersebut ditemukan memiliki toksisitas,
aktivitas in vivo yang tidak mencukupi, atau masalah waktu paruh eliminasi.
Memang, terlepas dari upaya ekstensif yang dilakukan hingga saat ini untuk
memperkenalkan obat anti-TB yang lebih manjur ke pasar, hanya tiga obat yang
bekerja dengan mekanisme baru yang disetujui sejak 2013 dalam lebih dari lima
dekade. Oleh karena itu, saat ini masih sangat diusahakan pendekatan unutk
mempercepat penemuan obat anti-TB yang revolusioner.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaufmann, S.H.; Schaible, U.E. 100th anniversary of Robert Koch’s Nobel Prize
for the discovery of the tubercle bacillus. Trends Microbiol. 2005, 13, 469–475.
[CrossRef]
2. World Health Organisation. Global Tuberculosis Report 2022; World Health
Organization: Geneva, Switzerland, 2022; Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO.
Available online: https://www.who.int/publications/i/item/9789240061729
(accessed on 1 February 2023).
3. Flynn, J.L.; Chan, J. Tuberculosis: Latency and Reactivation. Infect. Immun.
2001, 69, 4195–4201. [CrossRef] [PubMed]
4. World Health Organisation. Global Tuberculosis Report 2020; World Health
Organization: Geneva, Switzerland, 2020; Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO.
Available online:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/336069/9789240013131-eng.pdf
(accessed on 1 February 2023).
5. Philips, J.A.; Ernst, J.D. Tuberculosis Pathogenesis and Immunity. Annu. Rev.
Pathol. Mech. Dis. 2012, 7, 353–384. [CrossRef] [PubMed]
6. Acharya, B.; Acharya, A.; Gautam, S.; Ghimire, S.P.; Mishra, G.; Parajuli, N.;
Sapkota, B. Advances in diagnosis of Tuberculosis: An update into molecular
diagnosis of Mycobacterium tuberculosis. Mol. Biol. Rep. 2020, 47, 4065–4075.
[CrossRef]
7. Leung, A.N. Pulmonary Tuberculosis: The Essentials. Radiology 1999, 210, 307–
322. [CrossRef]
8. Luies, L.; du Preez, I. The Echo of Pulmonary Tuberculosis: Mechanisms of
Clinical Symptoms and Other Disease-Induced Systemic Complications. Clin.
Microbiol. Rev. 2020, 33, e00036-20. [CrossRef] [PubMed]
9. Schluger, N.W. The pathogenesis of tuberculosis: The first one hundred (and
twenty-three) years. Am. J. Respir. Cell Mol. Biol. 2005, 32, 251–256. [CrossRef]
[PubMed]
10. Russell, D.G.; Cardona, P.-J.; Kim, M.-J.; Allain, S.; Altare, F. Foamy
macrophages and the progression of the human tuberculosis granuloma. Nat.
Immunol. 2009, 10, 943–948. [CrossRef] [PubMed]
11. Huszár, S.; Chibale, K.; Singh, V. The quest for the holy grail: New antitubercular
chemical entities, targets and strategies. Drug Discov. Today 2020, 25, 772–780.
[CrossRef]
12. Chai, Q.; Zhang, Y.; Liu, C.H. Mycobacterium tuberculosis: An Adaptable
Pathogen Associated With Multiple Human Diseases. Front. Cell. Infect.
Microbiol. 2018, 8, 158. [CrossRef]
13. Marrakchi, H.; Laneelle, M.A.; Daffe, M. Mycolic acids: Structures, biosynthesis,
and beyond. Chem. Biol. 2014, 21, 67–85. [CrossRef] [PubMed]
14. Peyron, P.; Vaubourgeix, J.; Poquet, Y.; Levillain, F.; Botanch, C.; Bardou, F.;
Daffe, M.; Emile, J.F.; Marchou, B.; Cardona, P.J.; et al. Foamy macrophages
from tuberculous patients’ granulomas constitute a nutrient-rich reservoir for M.
tuberculosis persistence. PLoS Pathog. 2008, 4, e1000204. [CrossRef] [PubMed]
15. Grosset, J. Mycobacterium tuberculosis in the Extracellular Compartment: An
Underestimated Adversary. Antimicrob. Agents Chemother. 2003, 47, 833–836.
[CrossRef] [PubMed]
16. Gengenbacher, M.; Kaufmann, S.H. Mycobacterium tuberculosis: Success
through dormancy. FEMS Microbiol. Rev. 2012, 36, 514–532. [CrossRef]
38
[PubMed]
17. Dorhoi, A.; Kaufmann, S.H. Pathology and immune reactivity: Understanding
multidimensionality in pulmonary tuberculosis. Semin. Immunopathol. 2015, 38,
153–166. [CrossRef] [PubMed]
18. Hunter, R.L. Pathology of post primary tuberculosis of the lung: An illustrated
critical review. Tuberculosis 2011, 91, 497–509. [CrossRef] [PubMed]
19. Reece, S.T.; Kaufmann, S.H. Floating between the poles of pathology and
protection: Can we pin down the granuloma in tuberculosis? Curr. Opin.
Microbiol. 2012, 15, 63–70. [CrossRef]
20. Zumla, A.; Nahid, P.; Cole, S.T. Advances in the development of new tuberculosis
drugs and treatment regimens. Nat. Rev. Drug Discov. 2013, 12, 388–404.
[CrossRef]
21. Rawat, R.; Whitty, A.; Tonge, P.J. The isoniazid-NAD adduct is a slow, tight-
binding inhibitor of InhA, the Mycobacterium tuberculosis enoyl reductase:
Adduct affinity and drug resistance. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2003, 100,
13881–13886. [CrossRef]
22. Campbell, E.A.; Korzheva, N.; Mustaev, A.; Murakami, K.; Nair, S.; Goldfarb,
A.; Darst, S.A. Structural Mechanism for Rifampicin Inhibition of Bacterial RNA
Polymerase. Cell 2001, 104, 901–912. [CrossRef]
23. Louw, G.E.; Warren, R.M.; van Pittius, N.C.G.; Leon, R.; Jimenez, A.;
Hernandez-Pando, R.; McEvoy, C.R.E.; Grobbelaar, M.; Murray, M.; van Helden,
P.D.; et al. Rifampicin Reduces Susceptibility to Ofloxacin in Rifampicin-
resistant Mycobacterium tuberculosis through Efflux. Am. J. Respir. Crit. Care
Med. 2011, 184, 269–276. [CrossRef] [PubMed]
24. Zhang, Y.; Mitchison, D. The curious characteristics of pyrazinamide: A review.
Int. J. Tuberc. Lung Dis. 2003, 7, 6–21. [PubMed]
25. Goude, R.; Amin, A.G.; Chatterjee, D.; Parish, T. The Arabinosyltransferase
EmbC Is Inhibited by Ethambutol in Mycobacterium tuberculosis. Antimicrob.
Agents Chemother. 2009, 53, 4138–4146. [CrossRef] [PubMed]
26. Chiang, C.-Y.; Centis, R.; Migliori, G.B. Drug-resistant tuberculosis: Past,
present, future. Respirology 2010, 15, 413–432. [CrossRef] [PubMed]
27. Sotgiu, G.; Centis, R.; D’Ambrosio, L.; Migliori, G.B. Tuberculosis Treatment
and Drug Regimens. Cold Spring Harb. Perspect. Med. 2015, 5, a017822.
[CrossRef]
28. Yee, D.; Valiquette, C.; Pelletier, M.; Parisien, I.; Rocher, I.; Menzies, D.
Incidence of Serious Side Effects from First-Line Antituberculosis Drugs among
Patients Treated for Active Tuberculosis. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 2003,
167, 1472–1477. [CrossRef]
29. World Health Organisation. WHO Consolidated Guidelines on Drug-Resistant
Tuberculosis Treatment; World Health Organization: Geneva, Switzerland, 2019;
Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO. Available online:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/1066 5/311389/9789241550529-eng.pdf
(accessed on 1 February 2023).
30. Migliori, G.B.; Tiberi, S.; Zumla, A.; Petersen, E.; Chakaya, J.M.; Wejse, C.;
Muñoz Torrico, M.; Duarte, R.; Alffenaar, J.W.; Schaaf, H.S.; et al. MDR/XDR-
TB management of patients and contacts: Challenges facing the new decade. The
2020 clinical update by the Global Tuberculosis Network. Int. J. Infect. Dis. 2020,
92S, S15–S25. [CrossRef] [PubMed]
31. World Health Organisation. Module 4: Treatment—Drug-Resistant Tuberculosis
Treatment. In WHO Operational Handbook on Tuberculosis; World Health
39
Organization: Geneva, Switzerland, 2020; Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO.
Available online: https://www.who.int/publications/i/item/9789240006997
(accessed on 1 February 2023).
32. Zumla, A.; Chakaya, J.; Centis, R.; D’Ambrosio, L.; Mwaba, P.; Bates, M.;
Kapata, N.; Nyirenda, T.; Chanda, D.; Mfinanga, S.; et al. Tuberculosis treatment
and management–an update on treatment regimens, trials, new drugs, and adjunct
therapies. Lancet Respir. Med. 2015, 3, 220–234. [CrossRef]
33. Sensi, P. History of the Development of Rifampin. Clin. Infect. Dis. 1983, 5
(Suppl. S3), S402–S406. [CrossRef]
34. Nahid, P.; Mase, S.R.; Migliori, G.B.; Sotgiu, G.; Bothamley, G.H.; Brozek, J.L.;
Cattamanchi, A.; Cegielski, J.P.; Chen, L.; Daley, C.L.; et al. Treatment of Drug-
Resistant Tuberculosis. An Official ATS/CDC/ERS/IDSA Clinical Practice
Guideline. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 2019, 200, e93–e142. [CrossRef]
35. Koul, A.; Arnoult, E.; Lounis, N.; Guillemont, J.; Andries, K. The challenge of
new drug discovery for tuberculosis. Nature 2011, 469, 483–490. [CrossRef]
[PubMed]
36. Mudde, S.E.; Upton, A.M.; Lenaerts, A.; Bax, H.I.; De Steenwinkel, J.E.M.
Delamanid or pretomanid? A Solomonic judgement! J. Antimicrob. Chemother.
2022, 77, 880–902. [CrossRef] [PubMed]
37. Ginsberg, A.M.; Spigelman, M. Challenges in tuberculosis drug research and
development. Nat. Med. 2007, 13, 290–294. [CrossRef]
38. Pawlowski, A.; Jansson, M.; Skold, M.; Rottenberg, M.E.; Kallenius, G.
Tuberculosis and HIV co-infection. PLoS Pathog. 2012, 8, e1002464. [CrossRef]
39. World Health Organisation. COVID-19 Weekly Epidemiological Update on
COVID-19. 25 January 2023. Available online:
https://www.who.int/publications/m/item/weekly-epidemiological-update-on-
covid-19---25-january-2023 (accessed on 1 February 2023).
40. World Health Organisation. Global Tuberculosis Report 2021; World Health
Organization: Geneva, Switzerland, 2021; Licence: CC BY-NC-SA 3.0 IGO.
Available online: https://www.who.int/publications/i/item/9789240037021
(accessed on 1 February 2023).
41. Cole, S.T.; Brosch, R.; Parkhill, J.; Garnier, T.; Churcher, C.; Harris, D.; Gordon,
S.V.; Eiglmeier, K.; Gas, S.; Barry, C.E., 3rd; et al. Deciphering the biology of
Mycobacterium tuberculosis from the complete genome sequence. Nature 1998,
393, 537–544. [CrossRef] [PubMed]
42. Mdluli, K.; Kaneko, T.; Upton, A. The Tuberculosis Drug Discovery and
Development Pipeline and Emerging Drug Targets. Cold Spring Harb. Perspect.
Med. 2015, 5, a021154. [CrossRef]
43. La Rosa, V.; Poce, G.; Canseco, J.O.; Buroni, S.; Pasca, M.R.; Biava, M.; Raju,
R.M.; Porretta, G.C.; Alfonso, S.; Battilocchio, C.; et al. MmpL3 Is the Cellular
Target of the Antitubercular Pyrrole Derivative BM212. Antimicrob. Agents
Chemother. 2012, 56, 324–331. [CrossRef]
44. Manjunatha, U.H.; Smith, P.W. Perspective: Challenges and opportunities in TB
drug discovery from phenotypic screening. Bioorganic Med. Chem. 2015, 23,
5087–5097. [CrossRef]
45. Locher, C.P.; Jones, S.M.; Hanzelka, B.L.; Perola, E.; Shoen, C.M.; Cynamon,
M.H.; Ngwane, A.H.; Wiid, I.J.; van Helden, P.D.; Betoudji, F.; et al. A Novel
Inhibitor of Gyrase B Is a Potent Drug Candidate for Treatment of Tuberculosis
and Nontuberculosis Mycobacterial Infections. Antimicrob. Agents Chemother.
2015, 59, 1455–1465. [CrossRef]
40
46. Mdluli, K.; Ma, Z. Mycobacterium tuberculosis DNA gyrase as a target for drug
discovery. Infect. Disord. Drug Targets 2007, 7, 159–168. [CrossRef]
47. Bruch, E.M.; Petrella, S.; Bellinzoni, M. Structure-Based Drug Design for
Tuberculosis: Challenges Still Ahead. Appl. Sci. 2020, 10, 4248. [CrossRef]
48. 2022 Global New TB Drug Pipeline. Available online:
https://www.newtbdrugs.org/pipeline/clinical (accessed on 1 February 2023).
49. 2022 Global New TB Drug Pipeline. Available online:
https://www.newtbdrugs.org/pipeline/discovery (accessed on 1 February 2023).
50. Spero Therapeutics Announces Positive Results from SPR720 IND-Enabling
Studies and Plans to Initiate a Phase 1 Trial. Available online:
https://www.globenewswire.com/news-release/2018/11/05/1644995/0/en/Spero-
Therapeutics-Announces-PositiveResults-from-SPR720-IND-Enabling-Studies-
and-Plans-to-Initiate-a-Phase-1-Trial.html (accessed on 1 February 2023).
51. Stout, J.E.; Koh, W.-J.; Yew, W.W. Update on pulmonary disease due to non-
tuberculous mycobacteria. Int. J. Infect. Dis. 2016, 45, 123–134. [CrossRef]
[PubMed]
52. Spero Therapeutics Announces Initiation of SPR720 Phase 1 Clinical Trial.
Available online: https://www.globenewswire.com/
en/news-release/2019/01/29/1706794/0/en/Spero-Therapeutics-Announces-
Initiation-of-SPR720-Phase-1-Clinical-Trial. html (accessed on 1 February 2023).
53. Spero Therapeutics Receives QIDP Designation from the U.S. FDA for the
Development of SPR720. Available online:
https://www.globenewswire.com/news-release/2019/02/26/1742382/0/en/Spero-
Therapeutics-Receives-QIDPDesignation-from-the-U-S-FDA-for-the-
Development-of-SPR720.html (accessed on 1 February 2023).
54. Spero Therapeutics Provides Update on SPR720 Phase 2a Clinical Trial.
Available online: https://www.globenewswire.com/
news-release/2021/02/05/2170670/0/en/Spero-Therapeutics-Provides-Update-on-
SPR720-Phase-2a-Clinical-Trial.html (accessed on 1 February 2023).
55. Koul, A.; Dendouga, N.; Vergauwen, K.; Molenberghs, B.; Vranckx, L.;
Willebrords, R.; Ristic, Z.; Lill, H.; Dorange, I.; Guillemont, J.; et al.
Diarylquinolines target subunit c of mycobacterial ATP synthase. Nat. Chem.
Biol. 2007, 3, 323–324. [CrossRef] [PubMed]
56. Lu, P.; Lill, H.; Bald, D. ATP synthase in mycobacteria: Special features and
implications for a function as drug target. Biochim. Biophys. Acta 2014, 1837,
1208–1218. [CrossRef] [PubMed]
57. Sutherland, H.S.; Tong, A.S.; Choi, P.J.; Blaser, A.; Conole, D.; Franzblau, S.G.;
Lotlikar, M.U.; Cooper, C.B.; Upton, A.M.; Denny, W.A.; et al. 3,5-
Dialkoxypyridine analogues of bedaquiline are potent antituberculosis agents with
minimal inhibition of the hERG channel. Bioorganic Med. Chem. 2019, 27, 1292–
1307. [CrossRef] [PubMed]
58. Chahine, E.B.; Karaoui, L.R.; Mansour, H. Bedaquiline: A novel diarylquinoline
for multidrug-resistant tuberculosis. Ann. Pharmacother. 2014, 48, 107–115.
[CrossRef]
59. 59. Pethe, K.; Bifani, P.; Jang, J.; Kang, S.; Park, S.; Ahn, S.; Jiricek, J.; Jung, J.;
Jeon, H.K.; Cechetto, J.; et al. Discovery of Q203, a potent clinical candidate for
the treatment of tuberculosis. Nat. Med. 2013, 19, 1157–1160. [CrossRef]
60. Lu, X.; Williams, Z.; Hards, K.; Tang, J.; Cheung, C.Y.; Aung, H.L.; Wang, B.;
Liu, Z.; Hu, X.; Lenaerts, A.; et al. Pyrazolo [1,5-a]pyridine Inhibitor of the
Respiratory Cytochrome bcc Complex for the Treatment of Drug-Resistant
41
Tuberculosis. ACS Infect. Dis. 2019, 5, 239–249. [CrossRef]
61. Chikhale, R.V.; Barmade, M.A.; Murumkar, P.R.; Yadav, M.R. Overview of the
Development of DprE1 Inhibitors for Combating the Menace of Tuberculosis. J.
Med. Chem. 2018, 61, 8563–8593. [CrossRef]
62. Makarov, V.; Manina, G.; Mikusova, K.; Möllmann, U.; Ryabova, O.; Saint-
Joanis, B.; Dhar, N.; Pasca, M.R.; Buroni, S.; Lucarelli, A.P.; et al.
Benzothiazinones Kill Mycobacterium tuberculosis by Blocking Arabinan
Synthesis. Science 2009, 324, 801–804. [CrossRef]
63. Brecik, M.; Centárová, I.; Mukherjee, R.; Kolly, G.S.; Huszár, S.; Bobovská, A.;
Kilacsková, E.; Mokošová, V.; Svetlíková, Z.; Šarkan, M.; et al. DprE1 Is a
Vulnerable Tuberculosis Drug Target Due to Its Cell Wall Localization. ACS
Chem. Biol. 2015, 10, 1631–1636. [CrossRef]
64. Kolly, G.S.; Boldrin, F.; Sala, C.; Dhar, N.; Hartkoorn, R.C.; Ventura, M.;
Serafini, A.; McKinney, J.D.; Manganelli, R.; Cole, S.T. Assessing the
essentiality of the decaprenyl-phospho-d-arabinofuranose pathway in
Mycobacterium tuberculosis using conditional mutants. Mol. Microbiol. 2014, 92,
194–211. [CrossRef] [PubMed]
65. Trefzer, C.; Skovierova, H.; Buroni, S.; Bobovska, A.; Nenci, S.; Molteni, E.;
Pojer, F.; Pasca, M.R.; Makarov, V.; Cole, S.T.; et al. Benzothiazinones are
suicide inhibitors of mycobacterial decaprenylphosphoryl-beta-D-ribofuranose 2’-
oxidase DprE1. J. Am. Chem. Soc. 2012, 134, 912–915. [CrossRef] [PubMed]
66. Makarov, V.; Lechartier, B.; Zhang, M.; Neres, J.; Van Der Sar, A.M.; Raadsen,
S.A.; Hartkoorn, R.; Ryabova, O.B.; Vocat, A.; Decosterd, L.; et al. Towards a
new combination therapy for tuberculosis with next generation benzothiazinones.
EMBO Mol. Med. 2014, 6, 372–383. [CrossRef] [PubMed]
67. Makarov, V.; Neres, J.; Hartkoorn, R.C.; Ryabova, O.B.; Kazakova, E.; Šarkan,
M.; Huszár, S.; Piton, J.; Kolly, G.S.; Vocat, A.; et al. The 8-Pyrrole-
Benzothiazinones Are Noncovalent Inhibitors of DprE1 from Mycobacterium
tuberculosis. Antimicrob. Agents Chemother. 2015, 59, 4446–4452. [CrossRef]
[PubMed]
68. Hariguchi, N.; Chen, X.; Hayashi, Y.; Kawano, Y.; Fujiwara, M.; Matsuba, M.;
Shimizu, H.; Ohba, Y.; Nakamura, I.; Kitamoto, R.; et al. OPC-167832, a Novel
Carbostyril Derivative with Potent Antituberculosis Activity as a DprE1 Inhibitor.
Antimicrob. Agents Chemother. 2020, 64, e02020-19. [CrossRef]
69. Shirude, P.S.; Shandil, R.; Sadler, C.; Naik, M.; Hosagrahara, V.; Hameed, S.;
Shinde, V.; Bathula, C.; Humnabadkar, V.; Kumar, N.; et al. Azaindoles:
Noncovalent DprE1 Inhibitors from Scaffold Morphing Efforts, Kill
Mycobacterium tuberculosis and Are Efficacious in Vivo. J. Med. Chem. 2013,
56, 9701–9708. [CrossRef]
70. Shirude, P.S.; Shandil, R.K.; Manjunatha, M.R.; Sadler, C.; Panda, M.; Panduga,
V.; Reddy, J.; Saralaya, R.; Nanduri, R.; Ambady, A.; et al. Lead Optimization of
1,4-Azaindoles as Antimycobacterial Agents. J. Med. Chem. 2014, 57, 5728–
5737. [CrossRef]
71. Chatterji, M.; Shandil, R.; Manjunatha, M.R.; Solapure, S.; Ramachandran, V.;
Kumar, N.; Saralaya, R.; Panduga, V.; Reddy, J.; Kr, P.; et al. 1,4-Azaindole, a
Potential Drug Candidate for Treatment of Tuberculosis. Antimicrob. Agents
Chemother. 2014, 58, 5325–5331. [CrossRef]
72. Early Bactericidal Activity of TBA-7371 in Pulmonary Tuberculosis. Available
online: https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT0 4176250 (accessed on 1 February
2023).
42
73. Gavalda, S.; Bardou, F.; Laval, F.; Bon, C.; Malaga, W.; Chalut, C.; Guilhot, C.;
Mourey, L.; Daffé, M.; Quémard, A. The Polyketide Synthase Pks13 Catalyzes a
Novel Mechanism of Lipid Transfer in Mycobacteria. Chem. Biol. 2014, 21,
1660–1669. [CrossRef] [PubMed]
74. Li, W.; Gu, S.; Fleming, J.; Bi, L. Crystal structure of FadD32, an enzyme
essential for mycolic acid biosynthesis in mycobacteria. Sci. Rep. 2015, 5, 15493.
[CrossRef] [PubMed]
75. Kuhn, M.L.; Alexander, E.; Minasov, G.; Page, H.J.; Warwrzak, Z.; Shuvalova,
L.; Flores, K.J.; Wilson, D.J.; Shi, C.; Aldrich, C.C.; et al. Structure of the
Essential Mtb FadD32 Enzyme: A Promising Drug Target for Treating
Tuberculosis. ACS Infect. Dis. 2016, 2, 579–591. [CrossRef] [PubMed]
76. Gavalda, S.; Leger, M.; van der Rest, B.; Stella, A.; Bardou, F.; Montrozier, H.;
Chalut, C.; Burlet-Schiltz, O.; Marrakchi, H.; Daffe, M.; et al. The Pks13/FadD32
crosstalk for the biosynthesis of mycolic acids in Mycobacterium tuberculosis. J.
Biol. Chem. 2009, 284, 19255–19264. [CrossRef]
77. Bhatt, A.; Molle, V.; Besra, G.S.; Jacobs, W.R., Jr.; Kremer, L. The
Mycobacterium tuberculosis FAS-II condensing enzymes: Their role in mycolic
acid biosynthesis, acid-fastness, pathogenesis and in future drug development.
Mol. Microbiol. 2007, 64, 1442–1454. [CrossRef] [PubMed]
78. Portevin, D.; De Sousa-D’Auria, C.; Houssin, C.; Grimaldi, C.; Chami, M.; Daffe,
M.; Guilhot, C. A polyketide synthase catalyzes the last condensation step of
mycolic acid biosynthesis in mycobacteria and related organisms. Proc. Natl.
Acad. Sci. USA 2004, 101, 314–319. [CrossRef]
79. Portevin, D.; de Sousa-D’Auria, C.; Montrozier, H.; Houssin, C.; Stella, A.;
Laneelle, M.A.; Bardou, F.; Guilhot, C.; Daffe, M. The acyl-AMP ligase FadD32
and AccD4-containing acyl-CoA carboxylase are required for the synthesis of
mycolic acids and essential for mycobacterial growth: Identification of the
carboxylation product and determination of the acyl-CoA carboxylase
components. J. Biol. Chem. 2005, 280, 8862–8874.
80. Gande, R.; Gibson, K.J.C.; Brown, A.K.; Krumbach, K.; Dover, L.; Sahm, H.;
Shioyama, S.; Oikawa, T.; Besra, G.; Eggeling, L. Acyl-CoA Carboxylases
(accD2 and accD3), Together with a Unique Polyketide Synthase (Cg-pks), Are
Key to Mycolic Acid Biosynthesis in Corynebacterianeae Such as
Corynebacterium glutamicum and Mycobacterium tuberculosis. J. Biol. Chem.
2004, 279, 44847–44857. [CrossRef]
81. Carroll, P.; Faray-Kele, M.-C.; Parish, T. Identifying Vulnerable Pathways in
Mycobacterium tuberculosis by Using a Knockdown Approach. Appl. Environ.
Microbiol. 2011, 77, 5040–5043. [CrossRef]
82. Kawate, T.; Iwase, N.; Shimizu, M.; Stanley, S.A.; Wellington, S.; Kazyanskaya,
E.; Hung, D.T. Synthesis and structure–activity relationships of phenyl-substituted
coumarins with anti-tubercular activity that target FadD32. Bioorganic Med.
Chem. Lett. 2013, 23, 6052–6059. [CrossRef]
83. Stanley, S.A.; Kawate, T.; Iwase, N.; Shimizu, M.; Clatworthy, A.E.;
Kazyanskaya, E.; Sacchettini, J.C.; Ioerger, T.R.; Siddiqi, N.A.; Minami, S.; et al.
Diarylcoumarins inhibit mycolic acid biosynthesis and kill Mycobacterium
tuberculosis by targeting FadD32. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2013, 110, 11565–
11570. [CrossRef]
84. Ioerger, T.R.; O’Malley, T.; Liao, R.; Guinn, K.M.; Hickey, M.J.; Mohaideen, N.;
Murphy, K.C.; Boshoff, H.I.; Mizrahi, V.; Rubin, E.J.; et al. Identification of new
drug targets and resistance mechanisms in Mycobacterium tuberculosis. PLoS
43
ONE 2013, 8, e75245. [CrossRef] [PubMed]
85. Aggarwal, A.; Parai, M.K.; Shetty, N.; Wallis, D.; Woolhiser, L.; Hastings, C.;
Dutta, N.K.; Galaviz, S.; Dhakal, R.C.; Shrestha, R.; et al. Development of a
Novel Lead that Targets M. tuberculosis Polyketide Synthase 13. Cell 2017, 170,
249–259.e25. [CrossRef] [PubMed]
86. Zhang, W.; Lun, S.; Liu, L.L.; Xiao, S.; Duan, G.; Gunosewoyo, H.; Yang, F.;
Tang, J.; Bishai, W.R.; Yu, L.F. Identification of Novel Coumestan Derivatives as
Polyketide Synthase 13 Inhibitors against Mycobacterium tuberculosis. Part II. J.
Med. Chem. 2019, 62, 3575–3589. [CrossRef] [PubMed]
87. Zhang, W.; Lun, S.; Wang, S.H.; Jiang, X.W.; Yang, F.; Tang, J.; Manson, A.L.;
Earl, A.M.; Gunosewoyo, H.; Bishai, W.R.; et al. Identification of Novel
Coumestan Derivatives as Polyketide Synthase 13 Inhibitors against
Mycobacterium tuberculosis. J. Med. Chem. 2018, 61, 791–803. [CrossRef]
88. Lun, S.; Xiao, S.; Zhang, W.; Wang, S.; Gunosewoyo, H.; Yu, L.-F.; Bishai, W.R.
Therapeutic Potential of Coumestan Pks13 Inhibitors for Tuberculosis.
Antimicrob. Agents Chemother. 2021, 65. [CrossRef] [PubMed]
89. Xu, Z.; Meshcheryakov, V.A.; Poce, G.; Chng, S.-S. MmpL3 is the flippase for
mycolic acids in mycobacteria. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2017, 114, 7993–
7998. [CrossRef]
90. Tima, H.G.; Al Dulayymi, J.R.; Denis, O.; Lehebel, P.; Baols, K.S.; Mohammed,
M.O.; L’Homme, L.; Sahb, M.M.; Potemberg, G.; Legrand, S.; et al.
Inflammatory Properties and Adjuvant Potential of Synthetic Glycolipids
Homologous to Mycolate Esters of the Cell Wall of Mycobacterium tuberculosis.
J. Innate Immun. 2016, 9, 162–180. [CrossRef]
91. Degiacomi, G.; Benjak, A.; Madacki, J.; Boldrin, F.; Provvedi, R.; Palù, G.;
Kordulakova, J.; Cole, S.T.; Manganelli, R. Essentiality of mmpL3 and impact of
its silencing on Mycobacterium tuberculosis gene expression. Sci. Rep. 2017, 7,
43495. [CrossRef]
92. Grzegorzewicz, A.E.; Pham, H.; Gundi, V.A.; Scherman, M.S.; North, E.J.; Hess,
T.; Jones, V.; Gruppo, V.; Born, S.E.; Kordulakova, J.; et al. Inhibition of mycolic
acid transport across the Mycobacterium tuberculosis plasma membrane. Nat.
Chem. Biol. 2012, 8, 334–341. [CrossRef]
93. Li, W.; Obregón-Henao, A.; Wallach, J.B.; North, E.J.; Lee, R.E.; Gonzalez-
Juarrero, M.; Schnappinger, D.; Jackson, M. Therapeutic Potential of the
Mycobacterium tuberculosis Mycolic Acid Transporter, MmpL3. Antimicrob.
Agents Chemother. 2016, 60, 5198–5207. [CrossRef] [PubMed]
94. Varela, C.; Rittmann, D.; Singh, A.; Krumbach, K.; Bhatt, K.; Eggeling, L.; Besra,
G.S.; Bhatt, A. MmpL Genes Are Associated with Mycolic Acid Metabolism in
Mycobacteria and Corynebacteria. Chem. Biol. 2012, 19, 498–506. [CrossRef]
[PubMed]
95. Su, C.-C.; Klenotic, P.A.; Bolla, J.R.; Purdy, G.E.; Robinson, C.V.; Yu, E.W.
MmpL3 is a lipid transporter that binds trehalose monomycolate and
phosphatidylethanolamine. Proc. Natl. Acad. Sci. USA 2019, 116, 11241–11246.
[CrossRef] [PubMed]
96. Tahlan, K.; Wilson, R.; Kastrinsky, D.B.; Arora, K.; Nair, V.; Fischer, E.; Barnes,
S.W.; Walker, J.R.; Alland, D.; Barry, C.E., 3rd; et al. SQ109 targets MmpL3, a
membrane transporter of trehalose monomycolate involved in mycolic acid
donation to the cell wall core of Mycobacterium tuberculosis. Antimicrob. Agents
Chemother. 2012, 56, 1797–1809. [CrossRef]
97. Lun, S.; Guo, H.; Onajole, O.K.; Pieroni, M.; Gunosewoyo, H.; Chen, G.;
44
Tipparaju, S.K.; Ammerman, N.C.; Kozikowski, A.P.; Bishai, W.R. Indoleamides
are active against drug-resistant Mycobacterium tuberculosis. Nat. Commun.
2013, 4, 2907. [CrossRef] [PubMed]
98. Rao, S.P.S.; Lakshminarayana, S.B.; Kondreddi, R.R.; Herve, M.; Camacho, L.R.;
Bifani, P.; Kalapala, S.K.; Jiricek, J.; Ma, N.L.; Tan, B.H.; et al.
Indolcarboxamide Is a Preclinical Candidate for Treating Multidrug-Resistant
Tuberculosis. Sci. Transl. Med. 2013, 5, 214ra168. [CrossRef] [PubMed]
99. Stec, J.; Onajole, O.K.; Lun, S.; Guo, H.; Merenbloom, B.; Vistoli, G.; Bishai,
W.R.; Kozikowski, A.P. Indole-2-carboxamide-based MmpL3 Inhibitors Show
Exceptional Antitubercular Activity in an Animal Model of Tuberculosis
Infection. J. Med. Chem. 2016, 59, 6232–6247. [CrossRef]
100.Remuiñán, M.J.; Pérez-Herrán, E.; Rullás, J.; Alemparte, C.; Martínez-Hoyos,
M.; Dow, D.J.; Afari, J.; Mehta, N.; Esquivias, J.; Jiménez, E.; et al.
Tetrahydropyrazolo[1,5-a]Pyrimidine-3-Carboxamide and N-Benzyl-60 ,70 -
Dihydrospiro[Piperidine-4,40 - Thieno[3,2-c]Pyran] Analogues with Bactericidal
Efficacy against Mycobacterium tuberculosis Targeting MmpL3. PLoS ONE
2013, 8, e60933. [CrossRef]
101.Li, W.; Stevens, C.M.; Pandya, A.N.; Darzynkiewicz, Z.M.; Bhattarai, P.; Tong,
W.; Gonzalez-Juarrero, M.; North, E.J.; Zgurskaya, H.I.; Jackson, M.C. Direct
Inhibition of MmpL3 by Novel Antitubercular Compounds. ACS Infect. Dis.
2019, 5, 1001–1012. [CrossRef]
102.Zhang, B.; Li, J.; Yang, X.; Wu, L.; Zhang, J.; Yang, Y.; Zhao, Y.; Zhang, L.;
Yang, X.; Yang, X.; et al. Crystal Structures of Membrane Transporter MmpL3,
an Anti-TB Drug Target. Cell 2019, 176, 636–648.e13. [CrossRef]
103.Sacksteder, K.A.; Protopopova, M.; Barry, C.E., 3rd; Andries, K.; Nacy, C.A.
Discovery and development of SQ109: A new antitubercular drug with a novel
mechanism of action. Future Microbiol. 2012, 7, 823–837. [CrossRef]
104.Deidda, D.; Lampis, G.; Fioravanti, R.; Biava, M.; Porretta, G.C.; Zanetti, S.;
Pompei, R. Bactericidal Activities of the Pyrrole Derivative BM212 against
Multidrug-Resistant and Intramacrophagic Mycobacterium tuberculosis Strains.
Antimicrob. Agents Chemother. 1998, 42, 3035–3037. [CrossRef] [PubMed]
105.Brown, J.R.; North, E.J.; Hurdle, J.G.; Morisseau, C.; Scarborough, J.S.; Sun, D.;
Korduláková, J.; Scherman, M.S.; Jones, V.; Grzegorzewicz, A.; et al. The
structure–activity relationship of urea derivatives as anti-tuberculosis agents.
Bioorganic. Med. Chem. 2011, 19, 5585–5595. [CrossRef] [PubMed]

45

Anda mungkin juga menyukai