Anda di halaman 1dari 32

SMALL GROUP DISCUSSION LBM II

BLOK EMERGENCY

DISUSUN OLEH:

Nama: Ahmad Tristan Amartya

Kelas/Kelompok: A/SGD 6

NIM: 018.06.0074

Tutor: dr. Mirzaulin Leonaviri, S.Ked.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2022

i | SAKIT TAK TERTAHANKAN


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM II yang berjudul “Sakit Tak Tertahankan”
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini membahas mengenai hasil SGD Lembar Belajar Mahasiswa


(LBM) II yang berjudul “Sakit Tak Tertahankan”meliputi seven jumps step
yang dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan
lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini saya
mengucapkan terimakasih kepada:

1. dr. Mirzaulin Leonaviri, S.Ked. sebagai dosen fasilitator SGD 6 yang


senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk
menyusun makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 16 Oktober 2022

Penyusun

ii | SAKIT TAK TERTAHANKAN


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................ii

BAB I...........................................................................................................................5

PENDAHULUAN......................................................................................................5

BAB II.........................................................................................................................5

PEMBAHASAN.........................................................................................................7

2.1 DATA TUTORIAL.....................................................................................7

2.2 PEMBAHASAN..........................................................................................7

BAB III........................................................................................................................7

PENUTUP.................................................................................................................13

3.1 KESIMPULAN..........................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................13

iii | SAKIT TAK TERTAHANKAN


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 SKENARIO

SAKIT TAK TERTAHANKAN

Seorang laki-laki berusia 24 tahun datang dengan kondisi lemah


dan keluhan demam tinggi serta nyeri perut yang tidak tertahankan. Dari
anamnesis diketahui satu minggu yang lalu ia merasakan nyeri pada ulu
hati yang berpindah ke perut kanan bawah disertai dengan demam, segala
pergerakan tubuhnya akan membuatnya merasa sakit, bahkan saat batuk
pun sakit. Ia lalu pergi ke klinik dan diberikan obat suntik untuk
mendapatkan tindakan lebih lanjut, namun karena pasien tidak berani dan
merasakan perutnya sudah membaik setelah diberikan obat suntik, ia
memutuskan untuk pulang paksa. Seminggu setelahnya ia merasakan lagi
sakit pada perutnya disertai demam yang sangat tinggi lebih parah dari
keluhan sebelumnya karena jika disentuh sedikit saja ia sudah merasakan
nyeri yang tidak tertahankan.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital tekanan darah


80/60 mmHg, laju pernafasan 25x/menit, suhu 39,8 ̊ C, denyut nadi
120x/menit, defans muscular (+). Dokter selanjutnya melaksanakan
tatalaksana awal pada pasien.

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH


1) Mengapa pasien pada skenario mengeluhkan keluhan tersebut?
2) Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan fisik pasien di
skenario?

4 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


Mengapa pasien pada skenario mengeluhkan keluhan tersebut?

Nyeri merupakan salah satu tanda dimana jaringan mengalami


reaksi inflamasi. Nyeri jalar merupakan kondisi umum pada penyakit
tertentu dimana nyeri yang dirasakan akan menjalar sesuai dengan arah
dermatomnya.

Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan fisik pasien di skenario?

Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien yaitu 80/60
mmHg, hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien mengalami penurunan tekanan
darah/ hipotensi. Yang dimana tekanan darah normal pada orang dewasa yaitu
120/80 mmHg. Pada pemeriksaan laju pernapasan didapatkan laju pernapasan
pasien yaitu 25x/menit, hasil tersebut menunjukkan adanya peningkatan yang
dimana laju pernapasan normalnya yaitu 16-22x/menit. Kemudian pada
pemeriksaan suhu tubuh, didapatkan hasil suhu tubuh pasien yaitu 39,8 ̊C. Hasil
tersebut menunjukkan adanya peningkatan suhu tubuh pada pasien. Sedangkan
pada pemeriksaan denyut nadi didapatkan hasil 120x/menit, yang menunjukkan
adanya peningkatan denyut nadi. Yang dimana denyut nadi normal yaitu 60-
100x/menit. Serta pada pemeriksaan fisik abdomen, ditemukan adanya defans
muscular (+), hasil tersebut artinya adanya nyeri tekan yang dirasakan pada pasien
pada seluruh lapang abdomen.

5 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DATA TUTORIAL

Hari/tanggal Sesi I : Senin, 10 Oktober 2022

Hari/tanggal Sesi II : Rabu, 12 Oktober 2022

Tutor : dr. Ahia Zakira Rosmala, S.Ked

Ketua : Putu Ardhyana Yogeswara

Sekretaris : Moh Reza Aulia Rahman

2.2 PEMBAHASAN

1. DEFINISI SYOK
Syok adalah sindrom klinis akibat kegagalan sistim sirkulasi
dengan akibat ketidakcukupan pasokan oksigen dan substrat metabolic lain
ke jaringan serta kegagalan pembuangan sisa metabolisme. Syok terjadi
akibat penurunan perfusi jaringan vital atau menurunnya volume darah
secara bermakna. Syok juga dapat terjadi akibat dehidrasi jika kehilangan
cairan tubuh lebih 20% BB (berat badan) atau kehilangan darah ≥ 20%
EBV (estimated blood volume) (Leksana, 2015).
Syok adalah suatu sindroma multifactorial yang menuju
hipoperfusi jaringan local atau sistemis dan mengakibatkan hipoksia sel
dan disfungsi multiple organ. Kegagalan perfusi jaringan dan hantaran
nutrisi dan oksigen sistemik yang tidak adekuat tak mampu memenuhi
kebutuhan metabolism sel. Karakteristik kondisi ini, yaitu ketergantungan
suplai oksigen, kekurangan oksigen, asidosis jaringan sehingga terjadi
metabolisme anaerob dan berakhir dengan kegagalan fungsi organ vital
dan kematian (Kemenkes, 2017).

6 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


2. JENIS-JENIS SYOK
Syok dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, penyebab, dan
karakteristik pola hemodinamik yang ditimbulkan yaitu (Kemenkes, 2017)
a) Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kegagalan perfusi dan suplai
oksigen yang disebabkan oleh hilangnya sirkulasi volume
intravaskuler sebesar >20-25% sebagai akibat dari perdarahan akut,
dehidrasi, kehilangan cairan pada ruang ketiga atau akibat sekunder
dilatasi arteri dan vena (Kemenkes, 2017). Manifestasi klinis yang
dapat muncul pada syok hipovolemik yaitu hipotensi, pucat,
berkeringat dingin, sianosis, kencing berkurang, oligouria, gangguan
kesadaran, dan sesak nafas (Setiati et al., 2018).
b) Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen
disebabkan oleh adanya kerusakan primer fungsi atau kapasitas pompa
jantung untuk mencukupi volume jantung semenit, berkaitan dengan
terganggunya preload, afterload, kontraktilitas, frekuensi ataupun
ritme jantung. Penyebab terbanyak adalah infark miokard akut,
keracunan obat, infeksi/inflamasi, dan gangguan mekanik. Pada syok
kardiogenik biasanya manifestasi klinis yang muncul yaitu pasien
tidak sadar atau hilangnya kesadaran secara tiba- tiba serta sianosis
akibat dari aliran perifer berhenti. Selain itu pada pasien dengan syok
kardiogenik biasanya didapatkan adanya disritmia, bising jantung, dan
gallop(Kemenkes, 2017).
c) Syok Distributif
Syok distributif yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen yang
disebabkan oleh menurunnya tonus vaskuler yang mengakibatkan
vasodilatasi arterial, penumpukan vena dan redistribusi aliran darah.
Vasodilatasi perifer dapat menyebabkan hipovolemia. Penyebab dari
kondisi tersebut terutama komponen vasoaktif pada syok anafilaksis,
bakteria dan toksinnya pada septik syok sebagai mediator dari SIRS,
hilangnya tonus vaskuler pada syok neurogenic (Leksana, 2015).

7 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


Beberapa syok yang termasuk dalam golongan syok distributif ini
antara lain:
- Syok Anafilaktif
Syok Anafilaktif adalah syok yang disebabkan reaksi
antigen-antibodi (antigen IgE). Antigen menyebabkan pelepasan
mediator kimiawi endogen, seperti histamin, serotonin, yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas endotelial vaskuler
disertai bronkospasme. Efek klinis syok anafilaktik yaitu
mengenai sistem pernafasan dan sistem sirkulasi, yaitu terjadi
edema hipofaring dan laring, kontriksi bronkus dan bronkiolus,
disertai hipersekresi mucus, dimana semua keadaan tersebut
menyebabkan spasme dan obstruksi jalan napas akut. Gejala
klinis dapat berupa pruritus, urtikaria, angioedema, palpitasi,
dyspnea, dan syok (Bongard et al., 2008b).
- Syok Neurogenik
Syok yang biasanya terjadi pada kasus cervical atau high
thoracic spinal cord injury. Gejala klinis meliputi hipotensi
disertai bradikardia. Gangguan neurologis akibat syok neurogenik
dapat meliputi paralisis flasid, refleks ekstremitas hilang dan
priapismus (Kemenkes, 2017).
- Insufisiensi adrenal akut
Insufiensi adrenal akut dapat disebabkan oleh beberapa hal,
seperti kegagalan adrenal gland (penyakit autoimun, adrenal
hemorrhagic, infeksi HIV, penggunaan ketoconazole dosis tinggi,
meningococcemia, penyakit granulomatous) dan kegagalan
hypothalamic/pituitary axis (efek putus obat dari terapi
glucocorticoid). Gejala klinisnya antara lain hiperkalemia,
hiponatremia, asidosis, hipoglikemia, azotemia
prarenal(Kemenkes, 2017).
- Syok Septik
Syok septik adalah sepsis yang disertai hipotensi (tekanan
sistolik <90 mmHg) dan tanda-tanda hipoperfusi meskipun telah

8 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


dilakukan resusitasi cairan secara adekuat. Gejala klinis syok
septik tak dapat dilepaskan dari keadaan sepsis sendiri berupa
sindroma reaksi inflamasi sistemik (SIRS) dimana terdapat dua
gejala atau lebih, yaitu temperatur >38̊C atau <36̊C, heart rate
>90x/menit, frekuensi napas >20x/menit atau PaCo2 <4,3 kPa,
serta leukosit >12.000 sel/mm atau <4000sel/mm atau >10%
bentuk imatur. Manifestasi klinik syok septik terbagi atas dua
fase, yaitu fase Hiperdinamiik/Syok panas (warm shock) dan Fase
Hipodinamik. Pada fase Hiperdinamik terjadi hiperventilasi,
alkalosis, oligouria, hipotensi, tekanan vena sentral meninggi, dan
daerah akral hangat. Sedangkan pada fase hipodinamik terjadi
hipotensi, tekanan vena sentral menurun, curah jantung
berkurang, vasokontriksi perifer, daerah akral dingin, asam laktat
meninggi, dan keluaran urin berkurang(Kemenkes, 2017).
d) Syok Obstruktif
Syok obstruktif yaitu kegagalan perfusi dan suplai oksigen yang
berkaitan dengan terganggunya mekanisme aliran balik darah oleh
karena meningkatnya tekanan intraocular atau terganggunya aliran
keluar arterial jantung (emboli pulmoner, emboli udara, diseksi aorta,
hipertensi pulmoner, tamponade pericardial, pericarditis konstriktif)
ataupun keduanya oleh karena obstruksi mekanis. Manifestasi klinis
pada syok obstruktif tampak hampir sama dengan syok kardiogenik
dan hipovolemik. Gejala klinis yang muncul juga tergantung dari
etiologinya, yang sering terjadi adalah tromboemboli paru, tamponade
jantung, pbstruksi arterioventrikular, dan tension pneumothorax.
Gejala ini akan berlanjut sebagai tanda-tanda akut kor pulmonal dan
payah jantung kanan seperti pulsasi vena jugullaris, galop, bising
pulmonal, dan aritmia. Karakteristik klinis tamponade jantung
meliputi suara jantung menjauh, pulsus altemans, JVP selama
inspirasi, sedangkan pada emboli paru gejala klinis yang muncul yaitu
disritmia jantung, dan gagal jantung kongesti(Kemenkes, 2017).

9 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


e) Syok Endokrin
Syok endokrin disebabkan oleh hipotiroidisme, hipertiroidisme
dengan kolaps kardiak dan insufisiensi adrenal. Pengobatannya
dengan tunjangan kardiovaskular sambil mengobati penyebabnya.
Insufisiensi adrenal mungkin kontributor terjadinya syok pada pasien
sakit gawat. Pasien yang tidak respon pada pengobatan harus tes untuk
insufisiensi adrenal(Kemenkes, 2017).
3. PATOFISIOLOGI SYOK
a) Syok Hipovolemik
Pada syok hipovolemik terjadi penurunan volume intravascular
yang menyebabkan penurunan preload yang kemudian akan
menyebabnyak penurunan dari stroke volume dan cardiac output.
Pada fase awal, tubuh melakukan kompensasi dengan cara
meningkatkan denyut jantung dan vasokontriksi pembuluh darah
perifer. Ketika tubuh melewati batas kompensasi, maka akan
mengalami hipoperfusi (Liwang,2020).
Hipoksia jaringan mengakibatkan peningkatan metabolisme
anaerobic, dan jumlah produknya seperti laktat, reactive oxygen
species (ROS), ion hydrogen. Selain itu, terjadi disfungsi pompa
membran sel, pembengkakan sel, kebocoran cairan intraseluler ke
esktraseluler. Pada fase yang lebih lanjut, terjadi gangguan sistemik
yaitu asidosis, peningkatan kaskade inflamasi yang mengakibatkan
gangguan perfusi lebih lanjut (Liwang,2020).
b) Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan akibat dari gangguan dari
keseluruhan system sirkulasi baik yang besifat temporer maupun
permanen. Kegagalan ventrikel kiri atau ventrikel kanan (akibat
disfungsi miokardium) memompakan darah dalam jumlah yang
adekuat merupakan penyebab primer syok kardiogenik pada infark
miokard akut. Akibatnya adalah hipotensi, hipoperfusi jaringan, serta
kongesti paru atau kongesti vena sistemik. Kegagalan ventrikel kiri
merupakan bentuk yang paling sering dari syok kardiogenik, namun

10 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


bagian lain dari sistem sirkulasi juga ikut bertanggung jawab terhadap
gagalnya mekanisme kompensasi. Kebanyakan abnormalitas ini
sifatnya reversibel sehingga bagi pasien-pasien yang selamat, fungsi
jantung mungkin masih dapat dipertahankan (Harahap et al., 2016).
Hipotensi sistemik, merupakan tanda yang terjadi pada hampir
semua syok kardiogenik. Hipotensi terjadi akibat menurunnya volume
sekuncup/stroke volume serta menurunnya indeks kardiak. Turunnya
tekanan darah dapat dikompensasi oleh peningkatan resistensi perifer
yang diperantarai oleh pelepasan vasopresor endogen seperti
norepinefrin dan angiotensin II. Namun demikian gabungan dari
rendahnya curah jantung dan meningkatnya tahanan perifer dapat
menyebabkan berkurangnya perfusi jaringan. Sehubungan dengan itu,
berkurangnya perfusi pada arteri koroner dapat menyebabkan suatu
lingkaran setan iskemik, perburukan disfungsi miokardium, dan
disertai dengan progresivitas hipoperfusi organ serta kematian.
Hipotensi dan peningkatan tahanan perifer yang disertai dengan
peningkatan PCWP terjadi jika disfungsi ventrikel kiri merupakan
kelainan jantung primernya. Meningkatnya tekanan pengisian
ventrikel kanan terjadi jika syok akibat kegagalan pada ventrikel
kanan, misalnya pada gagal infark luas ventrikel kanan. Respon
inflamasi akut pada infark miokard berkaitan dengan peningkatan
konsentrasi sitokin. Aktivasi sitokin menyebabkan induksi nitrit
oksida (NO) sintase dan meningkatkan kadar NO sehingga
menyebabkan vasodilatasi yang tidak tepat dan berkurangnya perfusi
koroner dan sistemik (Harahap et al., 2016).

11 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


Gambar Patofisiologi Syok Kardiogenik
c) Syok Neurogenik
Syok neurogenik juga dapat terjadi karena adanya cedera tulang
belakang yang ditandai dengan hipotensi dan bradikardia. Hilangnya
tonus simpatis terjadi akibat adanya cedera T6 dan penurunan
resistensi vaskular sistemik. Ketidakstabilan otonom dapat
mengembangkan dan sering berlanjut beberapa minggu setelah cedera
(Tahir, 2016). Penurunan atau kehilangan kesadaran secara tiba-tiba
akibat tidak adekuatnya aliran darah ke otak dapat disebabkan karena
terjadinya vasodilatasi dan bradikardi secara mendadak sehingga
menimbulkan hipotensi. Terjadinya hipotensi akan merangsang
refleks simpatis berupa takikardi dan vasokonstriksi perifer yang
secara klinis dideteksi sebagai peningkatan denyut nadi dan keringat
dingin pada ekstremitas atas. Kemudian terjadi juga penurunan dalam
efektifitas sirkulasi volume plasma yang sering terjadi dari penurunan
venous tone, penggumpalan darah di pembuluh darah vena dan
kehilangan volume cairan intravaskular karena peningkatan
permeabilitas kapiler. Akhirnya, terjadi disfungsi miokard primer
yang bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel. Pada keadaan ini akan
terdapat peningkatan aliran vaskuler yang mengakibatkan

12 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


berkurangnya cairan dalam sirkulasi sehingga perfusi ke otak
berkurang dan menyebabkan pasien mengalami syok (Huether, 2019;
Mack, 2016).
Syok neurogenik yang disebabkan oleh cedera pada medulla
spinalis dapat menyebabkan gangguan aliran keluar otonom simpatis.
Sinyal-sinyal tersebut berasal dari kornu grisea lateralis medulla
spinalis antara T1 dan L2. Konsekuensi penurunan tonus adrenergik
adalah ketidakmampuan meningkatkan kerja inotopik jantung secara
tepat dan konstriksi buruk vaskularisasi perifer sebagai respon
terhadap stimulasi eksitasional. Tonus vagal yang tidak mengalami
perlawanan menyebabkan hipotensi dan bradikardia. Vasodilatasi
perifer menyebabkan kulit menjadi hangat dan kemerahan. Hipotermia
dapat disebabkan tidak adanya vasokontriksi pengatur otonomik pada
redistribusi darah ke inti tubuh. Lebih tinggi tingkat cedera medulla
spinalis karena lebih banyak massa tubuh terpotong dari regulasi
simpatisnya. Syok neurogenik biasanya tidak terjadi cedera dibawah
T6 (Greenberg, dkk. 2017).
d) Syok Anafilaktik
Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau
reaksi cepat dimana reaksi segera muncul setelah terkena alergen.
Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi,
fase aktivasi, dan fase efektor.
Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu
ditangkap oleh sel imun non spesifik kemudian di fagosit dan
dipersentasikan ke sel Th2. Sel ini akan merangsang sel B untuk
membentuk antibodi sehingga terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini
akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor IgE yaitu sel mast, basofil,
dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan kembali dengan alergen yang
sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu akan diikat oleh IgE dan
memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut dengan fase
aktivasi.

13 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel
mast dan basofil dengan antigen spesifik pada paparan kedua sehingga
mengakibatkan perubahan membran sel mast dan basofil akibat
metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan
aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-
granul yang penuh berisikan mediator bergerak kepermukaan sel.
Terjadilah eksositosis dan isi granul yang mengandung mediator
dikeluarkan dari sel mast dan basofil.
Adanya degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan mediator
inflamasi, seperti histamin, trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini
dapat meningkatkan kemampuan degranulasi sel mast lebih lanjut
sehingga menimbulkan dampak klinis pada organ organ tubuh yang
dikenal dengan fase efektor.

Gambar Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

e) Syok Sepsis
Patofisiologi pasien pada skenario diawali dengan kondisi
peradangan pada organ abdomen regio kanan bawah, pada regio
anatomis ini penyakit yang paling sering ditemukan ialah apendisitis.
Secara anatomis apendiks merupakan organ berbentuk tabung,
panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3- 15cm), dan berpangkal di
caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian
distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar

14 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Apendisitis
merupakan kondisi yang terjadi akibat adanya obstruksi pada lumen
appendix sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan
akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi
bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith.
Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis.
Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel
lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-bijian).
Terkadang parasit penyebab lain yang diduga menimbulkan
Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E.
histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien
appendicitis yaitu: Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa
Enterococcus Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros
Bilophila species Lactobacillus species (Warsinggih Sp.B-KBD,
2016).
Patologi apendisitis berawal dari mukosa dan kemudian melibatkan
seluruh lapisan dinding apendiks vermiformis dalam waktu 24-48 jam
pertama. Jaringan mukosa pada apendiks vermiformis menghasilkan
mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi lumen
menyebabkan sekresi mukus dan cairan, akibatnya terjadi peningkatan
tekanan luminal sebesar 60 cmH2O, yang seharusnya hanya
berkapasitas 0,1-0,2 mL. Bakteri dalam lumen apendiks vermiformis
berkembang dan menginvasi dinding apendiks vermiformis sejalan
dengan terjadinya pembesaran vena dan kemudian terganggunya arteri
akibat tekanan intraluminal yang tinggi. Ketika tekanan kapiler
melampaui batas, terjadi iskemi mukosa, inflamasi dan ulserasi. Pada
akhirnya, pertumbuhan bakteri yang berlebihan di dalam lumen dan
invasi bakteri ke dalam mukosa dan submukosa menyebabkan
peradangan transmural, edema, stasis pembuluh darah, dan nekrosis
muskularis yang dinamakan apendisitis kataralis. Jika proses ini terus
berlangsung, menyebabkan edema dan kongesti pembuluh darah yang

15 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


semakin parah dan membentuk abses di dinding apendiks vermiformis
serta cairan purulen, proses ini dinamakan apendisitis flegmonosa.
Kemudian terjadi gangren atau kematian jaringan yang disebut
apendisitis gangrenosa. Jika dinding apendiks vermiformis yang
terjadi gangren pecah, tandanya apendisitis berada dalam keadaan
perforasi (Sibuea, 2014).
Untuk membatasi proses radang ini tubuh juga melakukan upaya
pertahanan dengan menutup apendiks vermiformis dengan omentum,
usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler
yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks.2 Pada
anak-anak dengan omentum yang lebih pendek, apendiks vermiformis
yang lebih panjang, dan dinding apendiks vermiformis yang lebih
tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, dapat memudahkan
terjadinya apendisitis perforasi. Sedangkan pada orang tua, apendisitis
perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.
Apendiks vermiformis yang pernah meradang tidak akan sembuh
sempurna tetapi membentuk jaringan parut yang melengket dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan
berulang di perut kanan bawah. Sehingga suatu saat, organ ini dapat
mengalami peradangan akut lagi dan dinyatakan mengalami
eksaserbasi akut (Sibuea, 2014).
Apabila proses peradangan ini tidak ditangani maka akan
menimbulkan komplikasi berupa peritonitis. Peritonitis merupakan
inflamasi dari peritoneum yakni lapisan serosa yang menutupi rongga
abdomen dan organ-organ abdomen di dalamnya. Peritonitis
disebabkan oleh penyebaran infeksi appendisitis yang menginvasi
rongga peritoneum dan menyebabkan inflamasi lokal. Reaksi awal
peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara
perlekatan fibrinosa yang membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sehingga
menimbulkan obstruksi usus. Dapat terjadi secara terlokalisasi, difus,

16 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


atau generalisata. Pada peritonitis lokal dapat terjadi karena adanya
daya tahan tubuh yang kuat serta mekanisme pertahanan tubuh dengan
melokalisir sumber peritonitis dengan omentum dan usus. Pada
peritonitis yang tidak terlokalisir dapat terjadi peritonitis difus,
kemudian menjadi peritonitis generalisata dan terjadi perlengketan
organ-organ intra-abdominal dan lapisan peritoneum viseral dan
parietal. Timbulnya perlengketan ini menyebabkan aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik. Cairan dan elektrolit hilang
ke dalam usus mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan
oliguria. Pada keadaan lanjut dapat terjadi sepsis, akibat bakteri masuk
ke dalam pembuluh darah.
Pasien pada skenario sudah mengalami fase komplikasi kronis
yakni kondisi dimana peritonitis diduga mengalami perforasi
sehingga, bakteri yang berada dalam peritoneum dapat masuk ke
pembuluh darah sehingga menimbulkan kondisi sepsis. Sepsis
merupakan kondisi inflamasi sistemik yang menyebabkan terjadinya
perubahan fungsi pada satu organ atau lebih pada tubuh. Namun, pada
kondisi syok sepsis menurut Bongard et al (2008a) menyatakan bahwa
bakteri merupakan bukan penyebab utama melainkan mekanisme
defensif dari tubuh terhadap produk yang dihasilkan bakteri.
Endotoksin merupakan senyawa lipopolisakarida dan protein yang
menyusun membran luar bakteri, struktur kimiawi dari senyawa ini
berbeda-beda setiap spesies bakteri. Endotoksin dapat memengaruhi
sistem regulasi tubuh yang berdampak pada perubahan koagulasi,
plasma fosfolipase, sitokin, β-endorfin, leukotrien, platelet-activating
factor (PAF) dan prostaglandin (Bongard et al., 2008a).
Sitokin merupakan grup protein yang dihasilkan oleh leukosit yang
akan merespon oleh beberapa faktor stimulasi tertentu. Pada syok
sepsis komponen sitokin yang paling sering ditemukan berupa TNF
dan IL-1, 2 dan 6. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa produksi TNF
yang berlebih tidak hanya bermanfaat dalam proses mekanisme imun
namun dapat menimbulkan hipotensi dan penurunan fungsi ventrikel.

17 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


Produksi sitokin ini diinduksi oleh aktivasi leukosit terhadap sirkulasi
endotoksin dalam tubuh. Mekanisme ini diawali oleh pengeluaran
asam arakidonat yang berasal dari membran leukosit yang dimediasi
oleh fosfolipase A2. Fospolipase A2 kemudian dapat menghasilkan
produk-produk inflamasi melalui 2 jalur reaksi kimia yakni perubahan
fospolipase A2 menjadi leukotrien oleh reaksi lipoksigenase yang akan
menghasilkan produk berupa prostaglandin. Sedangkan, reaksi yang
lain merupakan produksi thromboxane melalui jalur siklooksigenase.
Adapun reaksi kimia tersebut dideskripsikan pada bagan dibawah ini
(Bongard et al., 2008a).

Gambar Reaksi kimia asam arakidonat


Selain itu, fosfolipase A2 akan menghasilkan PAF yang
berkontribusi terhadap aktivasi fagosit dan platelet bersamaan dengan
produksi O2 radikal bebas, peningkatan permeabilitas vaskular serta
penurunan cardiac output dan tekanan darah. Tidak hanya itu,
endotoksin yang dihasilkan oleh bakteri akan menyebabkan aktivasi
sistem komplemen tubuh melalui jalur ekstrinsik. Dampak yang
dihasilkan apabila sistem komplemen teraktivasi meliputi peningkatan

18 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


permeabilitas vaskular, pelepasan toksik oksigen akibat metabolisme
fagosit aktiv serta peningkatan opsonisasi dan proses fagositosis
neutrofil dan makrofag. Perlu diingat bahwa peningkatan
permeabilitas vaskular merupakan kunci utama dalam perubahan
hemodinamik pada kondisi septik syok. Peningkatan permeabilitas
jaringan akan menyebabkan semakin tinggi jumlah cairan yang dapat
melewati membran, akibatnya tubuh akan mengalami volume darah
yang menyebabkan turunnya tekanan darah, kemudian hal ini
diperberat oleh adanya prostaglandin yang menyebabkan terjadinya
vasodilatasi pembuluh darah yang berkontribusi dalam terjadinya
hipotensi pada pasien syok sepsis. Jantung sebagai organ pemompa
darah akan berusaha dalam berkompensasi untuk memenuhi
kebutuhan O2 pada organ tubuh dengan cara meningkatkan cepat
pemompaan darah yang terlihat pada kondisi takikardia yang muncul
pada pasien dengan syok sepsis (Bongard et al., 2008a)

19 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


Gambar Mekanisme Respon imun dalam syok sepsis
Syok sepsis dapat menyebabkan terjadinya Multiorgan dysfunction
syndrome (MODS). Multiorgan dysfunction syndrome didefinisikan
sebagai sindrom klinis yang ditandai dengan perkembangan disfungsi
fisiologis yang progresif dari ringan sampai kegagalan ireversibel dari
dua atau lebih organ, dengan ditandai ketidakmampuan
mempertahankan homeostasis tanpa intervensi terapi. Multiorgan
dysfunction syndrome diklasifikasikan menjadi awal (primer), yaitu
yang terjadi dalam 7 hari pertama sakit, dan lambat (sekunder), yang
terjadi setelah 7 hari sakit (Purwanto & Astrawinata, 2018).

Gangguan oksigenasi jaringan dianggap berperan penting terhadap


terjadinya MODS. Faktor yang berkontribusi adalah vasodilatasi,
hipotensi, berkurangnya deformabilitas eritrosit, dan trombosis
mikrovaskular, yang akhirnya menyebabkan berkurangnya hantaran
oksigen pada syok septik. Berkurangnya oksigenasi jaringan makin
diperberat oleh hilangnya integritas endotel karena beberapa faktor,
yaitu hilangnya fungsi molekul adhesi vascular endothelial (VE)
chaderin pada sambungan antar sel endotel, gangguan keseimbangan
sphingosine-1 phosphate receptor 1 (S1P1) dan S1P3 (yang berperan
pada struktur sel endotel) karena aktivasi protease activated receptors
(PARs), dan meningkatnya kadar angiopoietin 2 (faktor
proangiogenik). Rusaknya mitokondria oleh stres oksidatif juga
mengganggu penggunaan oksigen selular. Selain itu, mitokondria
yang cedera melepaskan DAMPs ke lingkungan ekstrasel, yang dapat
mengaktivasi respon imun jaringan dan menyebabkan kerusakan lebih
lanjut. Modifikasi komponen membran eritrosit seperti protein, lipid,
dan karbohidrat menyebabkan terjadi penurunan deformabilitas
eritrosit pada sepsis. Modifikasi komponen protein berupa
peningkatan rasio band-3/α-spectrin menyebabkan perubahan struktur
integral membran. Pada komponen lipid, terjadi pembentukan seramid
membran yang menyebabkan peningkatan konsentrasi Ca 2+ intrasel
dan selanjutnya merangsang kanal K + -Ca2+ dan kanal Cl- , . sehingga

20 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


KCl akan keluar dari sel, dan akibatnya terjadi dehidrasi sel (Purwanto
& Astrawinata, 2018).

Umumnya paru-paru merupakan organ yang pertama terlibat,


mulai dari disfungsi ringan sampai sindrom gagal nafas akut (acute
respiratory distress syndrome - ARDS). Hal ini diduga disebabkan
oleh kebocoran kapiler sehingga alveolar terisi cairan, dan deaktivasi
surfaktan. Organ kedua ialah miokardium, disebabkan terutama oleh
peningkatan sintesis NO. Otak sering terpengaruh pada MODS awal,
dengan mekanisme penyebab yang multifaktorial dan melibatkan
gangguan sawar darah-otak, dengan peningkatan permeabilitas
terhadap sitokin dan neuroamin. Disfungsi hati akut yang sering
terjadi saat penurunan perfusi selama syok, biasanya reversibel setelah
resusitasi, namun setelah periode laten, disfungsi hati ireversibel dapat
terjadi. Katekolamin dari usus, terutama norepinefrin, diduga
menginduksi kegagalan hati. Ginjal dianggap dapat mempertahankan
perfusi selama sepsis dan mekanisme kegagalan ginjal selama MODS
disebabkan terutama oleh apoptosis yang diinduksi sitokin (Purwanto
& Astrawinata, 2018).

Berikut adalah tabel yang membantu dalam melihat apakah adanya


MODS pada pasien dapat dinilai melalui skor sequential (sepsis-
related) organ failure assesment (SOFA) melalui tabel dibawah ini

21 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


Tabel 2.1 Skor SOFA

4. TATALAKSANA SYOK
Pada pasien syok pengenalan dan restorasi yang cepat dari perfusi
adalah kunci pencegahan disfungsi organ multiple dan kematian. Pada
semua bentuk syok, manajemen jalan napas dan pernapasan untuk
memastikan oksigenasi pasien baik, kemudian restorasi cepat dengan
infus. Pilihan pertama adalah kristaloid (Ringer laktat/Ringer asetat)
disusul darah pada syok perdarahan. Keadaan hipovolemi diatasi dengan
cairan koloid atau kristaloid sekaligus memperbaiki keadaan asidosis.
Diagnosis awal pasien syok sangat penting, terapi selanjutnya bergantung
pada etiologinya.
a) Syok Hipovolemik
Ketika syok hipovolemik diketahui, maka tindakan yang harus
dilakukan adalah menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi,
menjaga jalur pernapasan dan diberikan resusitasi cairan. Dapat
diberikan infus cepat kristaloid untuk ekspansi volume intravaskuler
melalui kanula vena besar (dapat lebih dari satu tempat) atau melalui
vena sentral. Pada perdarahan dapat diberikan 3-4 kali dari jumlah

22 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


perdarahan. Setelah pemberian 3liter disusul dengan transfusi darah.
Secara bersamaan sumber perdarahan harus dikontrol. Resusitasi tidak
komplit sampai serum laktat Kembali normal. Pasien syok
hipovolemik berat dengan resusitasi cairan akan terjadi penumpukan
cairan di rongga ketiga. Selain resusitasi cairan, saluran pernapasan
harus tetap dijaga. Kebutuhan oksigen pasien harus terpenuhi dan bila
dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan.
b) Syok Kardiogenik
Pada pasien dengan syok kardiogenik dapat diberikan infus cairan.
Selanjutnya optimalkan kontraktilitas jantung dengan inotropic sesuai
dengan keperluan, seimbangkan kebutuhan oksigen jantung. Dapat
digunakan dopamine, dobutamin atau obat vasoaktif lain. Dalam
memaksimalkan cardiac output dapat digunakan vasokonstriktor bila
pasien hipotensi dengan SVR (systemic vascular resistance) rendah.
Pasien dengan syok kardiogenik biasanya membutuhkan vasodilatasi
untuk menurunkan SVR, tahanan pada aliran darah dari jantung yang
lemah. Obat yang dapat digunakan adalah nitroprusside dan
nitroglycerin. Bila jantung mengalami dekompensasi dapat diberikan
diuretic.
c) Syok Sepsis
Target utama dalam terapi syok sepsis adalah mengembalikan
tekanan darah menjadi normal serta mencegah multiple organ
dysfunction (MODS) dengan cara mengembalikan perfusi tubuh.
Maka langkah yang perlu dilakukan adalah memberikan terapi O 2
dengan nasal cannul, masker venturi atau non-rebreathing mask .
Oksigen terus diberikan sampai pasien mencapai angka minimal 88-
90% saturasi O2. Selanjutnya, dilakukan pengukuran kadar asam laktat
pada tubuh pasien dengan cara pengambilan sampel darah bersamaan
dengan pengambilan sampel untuk kultur darah. Pengukuran asam
laktat dilakukan untuk mendeteksi adanya peningkatan asam laktat.
Asam laktat merupakan senyawa yang dihasilkan ketika tubuh
mengalami kekurangan O2 sehingga tidak mampu memecah glukosa

23 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


sebagai sumber energi. Peningkatan asam laktat dapat menganggu
kinerja sejumlah enzim yang bekerja pada pH netral yang
mengakibatkan terganggunya aktivitas sel dalam memproduksi energi
untuk menunjang aktivitas tubuh (Heza, 2018). Pengukuran asam
laktat ini dilakukan untuk memonitoring dan memprediksi angka
mortalitas pada pasien syok. Pengambilan sampel asam laktat
dilakukan pada 1 jam TOP (time of presentation) dimana sampel yang
dibutuhkan berjumlah 2-5 mL yang akan dimasukan kedalam tabung
dengan tutup berwarna abu dan diletakkan dalam es dengan cepat
serta kirim sampel ke lab untuk analisis. Jika hasil asam laktat >18
maka harus segera diberikan tindakan resusitasi pasien dan tes perlu
diulang 3 jam setelah pengambilan sampel pertama (Gotts & Matthay,
2016).
Selanjutnya, Pengambilan kultur darah dilakukan agar
mempercepat proses pemberian antibiotik IV. Sampel kultur yang
diperlukan berjumlah 4 botol dengan jumlah volume minimal adalah
8-10 mL/botol. Kemudian, jenis antibiotik yang digunakan merupakan
golongan broadspectrum yang diberikan sesuai dengan spesies bakteri
yang ditemukan dalam proses kultur darah. Antibiotik broad spectrum
diberikan secara intravena dalam jangka waktu 1 jam setelah TOP
(time of presentation), keterlambatan dalam memberikan antibiotik
akan meningkatan resiko mortalitas pasien sebesar 8-12% setiap
jamnya. Oleh karena itu pemberian antibiotik ini harus dilakukan
segera (Gotts & Matthay, 2016).
Kemudian terapi dilanjutkan dengan pemberian resusitasi cairan
demi mengembalikan cairan tubuh. Pemberian resusitasi dilakukan
melalui katerisasi vena sentral, dengan pemberian cairan kristaloid
berjumlah minimal 30 mL/kgBB yang diberikan secara segera yakni 1
jam TOP selama 3 jam. Target resusitasi ini ialah memenuhi angka
tekanan vena sentral yakni 8-12 mmHg, MABP 65-90 mmHg dan
urine output sebesar 0,5 mL/kg/jam. Berikut adalah gambaran 1 hour
bundle of sepsis treatment (gambar 2.3) (Gotts & Matthay, 2016).

24 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


Pemberian vasopressor diberikan untuk mempertahankan ataupun
mencapai MABP 65-90 mmHg. Pada pasien syok sepsis terapi
vasoaktif utama yang diberikan adalah norepinefrin dengan dosis 1
mcg/menit secara infus melalui kateter vena sentral. Adapun obat
vasoaktif lainnya dijelaskan dalam tabel dibawah ini (lihat tabel 2.2)
(Glucksman, 2005).

Gambar Hour Bundle

Gambar Medikasi vasoaktif dan dosis pemberiannya


d) Syok Neurogenik
Pada pasien dengan syok neurogenik, setelah jalan napas
diamankan dan dilakukan resusitasi cairan untuk meningkatkan tonus
vaskuler dan mencegah bradikardia, maka dapat diberikan terapi
farmakologi berupa pemberian obat-obatan dengan golongan alpha

25 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


adrenergic yaitu epinefrin atau norepinefrin. Pemberian epinefrin
berguna dalam meningkatkan tonus vaskuler tetapi akan memperberat
bradikardia, sehingga dapat ditambahkan dopamine dan efedrin. Agen
antimuskarinik atropine dan glikopirolat juga dapat untuk mengatasi
bradikardia (Bongard et al., 2008b; Fitria, 2010).
e) Syok Anafilaktik
Pada pasien dengan syok anafilaktif, memastikan jalan napas tetap
aman adalah hal yang utama. Menjaga saluran napas dan pemberian
oksigen 100% untuk menjamin pernapasan secara adekuat. Jika jalan
napas pasien mengalami hambatan maka dapat dilakukan intubasi
dengan pemasangan endotrakeal tube atau nasotrakeal tube. Obat
pilihan pertama untuk mengobati syok anafilaktik adalah adrenalin
atau epinefrin. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus dan
meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja pada reseptor
adrenergic di seluruh tubuh sehingga mempunyai kemampuan
memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah perifer
dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan
kontraksi jantung sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika
dan berakhir dalam waktu pendek. Pada pasien dalam keadaan syok,
absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Berikan 0.5 ml larutan 1:1000 (0.3-0.5 mg) untuk orang
dewasa dan 0.01 ml/kg BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang
beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan darah dan nadi
menunjukkan perbaikan. Jika pasien tidak. Selain itu, dapat diberikan
obat golongan antagonis histamin. Dapat diberikan difenhidramin 1
mg/kg IV dan ranitidine 50 mg IV. Jika hipotensi masih tetap
berlanjut setelah pengulangin pemberian obat epinefrin dan histamin
maka dapat dilakukan pemberian dopamine dengan dosis 5 g/kg per
menit dan ditingkatkan sampai dosis mencapi 20 g/kg per menit
(Bongard et al., 2008b).

26 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


5. PEMBAHASAN PASIEN PADA SKENARIO
Syok terjadi ketika perfusi jaringan tidak cukup dan oksigen serta
zat gizi tidak bisa sampai ke sel-sel tubuh dengan baik. Yang dimana jika
dibiarkan, maka bisa menyebabkan ketidaksadaran hingga kematian.
Terjadinya syok pada seseorang, disebabkan oleh beberapa hal. Pada
skenario, diketahui pasien mengalami beberapa gejala yang dapat menjadi
petunjuk dalam mendiagnosis pasien. pasien pada skenario ditetapakan
mengalami syok sepsis et causa peritonitis. Hal ini ditetapkan berdasarkan
keluhan awal pasien yakni adanya nyeri pada ulu hati yang kemudian
berpindah ke perut kanan bagian bawah yang disertai dengan adanya
demam, segala pergerakan tubuh yang menimbulkan rasa nyeri bahkan
ketika pasien batuk. Gejala ini mengarah ke tanda pasien mengalami
adanya infeksi pada organ apendiks (usus buntu) yang dapat disebabkan
oleh adanya patogen seperti bakteri. Infeksi yang tidak diobati dapat
memunculkan adanya perforasi pada apendiks dan patogen akan
menginfeksi kavum peritonium disekitarnya. Infeksi yang dibiarkan terus
menerus akan meluas dan menyebabkan peritonitis atau peradangan pada
kavum peritonium. Peradangan ini ditunjukkan dengan adanya tanda
defans muskular (+) pada pasien setelah dilakukan pemeriksaan fisik.
Patogen (bakteri) dapat menghasilkan toksin, baik eksotoksin
ataupun endotoksin yang merupakan faktor utama dalam virulensi dan
invasi oleh patogen. Eksotoksin diproduksi oleh bakteri gram positif dan
kemudian disekresikan ke lingkungan ekstrasel bakteri sehingga dapat
berinteraksi dengan sel penjamu (sel inang, sel tubuh manusia) dan
mengganggu dari metabolisme normalnya. Sedangkan paparan endotoksin
yang bisa diproduksi oleh bakteri gram positif maupun bakteri gram
negatif dapat menyebabkan efek yang sistemik, seperti perubahan tekanan
darah dan suhu tubuh, abnormalitas koagulasi, penurunan jumlah sel
leukosit dan trombosit yang bersirkulasi, perdarahan, gangguan sistem
imun, dan akhirnya kematian (Purwanto & Astrawinata, 2018) . Maka dari
itu adanya penurunan tekanan darah pada pasien dapat menunjukkan

27 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


adanya tanda syok pada pasien yang disebabkan oleh adanya bakteri dari
infeksi kavum peritonium.
Selain itu, penegakkan diagnosis pada skenario juga ditunjang oleh
hasil dari pemeriksaan vital sign pada pasien. Yang dimana seseorang
dikatakan mengalami syok septik yaitu apabila ditemukan adanya sepsis
yang disertai dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg). Selain itu,
didapatkan pula adanya temperatur >38̊C atau <36̊C, heart rate
>90x/menit, frekuensi napas >20x/menit. Yang dimana, pada pasien di
skenario hasil dari pemeriksaan tanda vitalnya sesuai dengan kriteria
seseorang dikatakan mengalami syok sepsis.
Adapun kriteria baru sepsis menggunakan Sequential Organ
Failure Assessment (SOFA). SOFA melakukan evaluasi terhadap fungsi
fisiologis, respirasi, koagulasi, hepatik, sistem saraf pusat, dan ginjal.
Makin tinggi skor SOFA akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
sepsis.

Gambar Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA)


Tatalakasana awal yang dapat diberikan pada pasien tentunya
adalah primary survey berupa airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure. Setelah primary survey dilakukan dapat disusul dengan pemberian
resusitasi cairan dalam mempertahankan sirkulasi volume darah. Cairan
yang dapat diberikan yaitu kristaloid dengan dosis 30 ml/kgBB. Pemberian
vasopressor diberikan untuk mempertahankan ataupun mencapai MABP 65-
90 mmHg. Pada pasien syok sepsis terapi vasoaktif utama yang diberikan
adalah norepinefrin dengan dosis 1 mcg/menit secara infus melalui kateter

28 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


vena sentral. Selanjutnya, Pengambilan kultur darah dilakukan agar
mempercepat proses pemberian antibiotik IV. Jenis antibiotik yang
digunakan merupakan golongan broadspectrum yang diberikan sesuai
dengan spesies bakteri yang ditemukan dalam proses kultur darah (Bongard
et al., 2008).

29 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami, dapat disimpulkan bahwa
syok merupakan suatu sindroma multifactorial yang menuju hipoperfusi
jaringan lokal atau sistemis dan mengakibatkan hipoksia sel dan disfungsi
multiple organ. Kegagalan perfusi jaringan dan hantaran nutrisi dan
oksigen sistemik yang tidak adekuat tak mampu memenuhi kebutuhan
metabolism sel. Karakteristik kondisi ini, yaitu ketergantungan suplai
oksigen, kekurangan oksigen, asidosis jaringan sehingga terjadi
metabolisme anaerob dan berakhir dengan kegagalan fungsi organ vital
dan kematian (Kemenkes, 2017). Syok dapat diklasifikasikan berdasarkan
etiologi, penyebab, dan karakteristik pola hemodinamik yang ditimbulkan
yaitu syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok distributif, syok obstruktif
dan syok endokrin. Beberapa syok yang termasuk dalam golongan syok
distributif ini antara lain, syok anafilaktif, syok neurogenic, syok septik,
dan Insufisiensi adrenal akut (Kemenkes, 2017). Pada pasien di skenario
adanya riwayat sakit pada ulu hati dan kemudian berpindah ke bagian
perut kanan bawah. Nyeri yang disertai dengan demam mengarahkan
pasien terkena infeksi. Infeksi yang tidak diobati dapat menyebar pada
seluruh area perut dan dapat menyebar hingga ke pembuluh darah,
sehingga pada pasien ditemukan adanya tanda-tanda gangguan sistemik
seperti peningkatan suhu tubuh dan tekanan darah. Tekanan darah yang
menurun ini dapat menyebabkan perfusi oksigen dan zat nutrisi menjadi
terganggu dan akhirnya dapat menyebabkan kehilangan kesadaran hingga
kematian. Tekanan darah yang menurun ini menjadi tanda pasien
mengalami syok yang dikarenakan infeksi sebelumnya. Maka dari itu bisa
disimpulkan pasien mengalami syok septik. Penanganan yang dapat
dilakukan pada pasien yang mengalami syok sepsis yakni resusitasi cairan,
manajemen jalan nafas, vasopresor untuk dapat mencapai MAP dan
antibiotik spektrum luas serta tatalaksana yang bersifat simptomatik.

30 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


DAFTAR PUSTAKA
Greenberg. Jakarta: Erlangga. Mack, Elizabeth H. (2016). Neurogenic Shock. The
Open Pediatric Medicine Journal, Vol 7(1).

Huether. McCance & Brashers. Rote. Understanding Patophysiology.(2019)


Missouri:

Bongard, F. S., Sue, D. Y., Vintch, J. R. E., York, N., San, C., Lisbon, F., Madrid,
L., City, M., New, M., San, D., Singapore, J. S., & Toronto, S. (2008a).
Current Diagnosis & Treatment Critical Care. In Core.Ac.Uk.

Bongard, F. S., Sue, D. Y., Vintch, J. R. E., York, N., San, C., Lisbon, F., Madrid,
L., City, M., New, M., San, D., Singapore, J. S., & Toronto, S. (2008b).
Current Diagnosis and Treatment. In Mc Graw Hill Medical.
https://core.ac.uk/download/pdf/35276055.pdf#page=835

Fitria, C. N. (2010). Penanganan Syok. Gaster, 7(2), 593–604.


http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/view/3341

Glucksman, E. (2005). An introduction to clinical emergency medicine: guide for


practitioners in the emergency department. In Clinical Medicine (Vol. 5,
Issue 5). https://doi.org/10.7861/clinmedicine.5-5-528

Gotts, J. E., & Matthay, M. A. (2016). Sepsis: Pathophysiology and clinical


management. BMJ (Online), 353. https://doi.org/10.1136/bmj.i1585

Harahap, S., Dalimunthe, N., Isnanta, R., Safri, Z., Hasan, R., & Ginting, G.
(2016). Syok Kardiogenik. Panduan Praktik Klinis Dan Clinical Pathway
Penyakit Jantung Dan Pembuluh Darah, 1, 18–20.

Heza, F. N. (2018). Asam Laktat Indikator Kelelahan Dan Kerusakan Saat


Berolahraga. Prosiding Seminar Nasional Dan Call for Papers,
8(November), 178–186.

Kemenkes, R. (2017). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan


Primer Edisi II.

Leksana, E. (2015). Dehidrasi dan syok. Cdk, 42(5), 391–394.

31 | SAKIT TAK TERTAHANKAN


Purwanto, D. S., & Astrawinata, D. A. W. (2018). Mekanisme Kompleks Sepsis
dan Syok Septik. Jurnal Biomedik (Jbm), 10(3), 143.
https://doi.org/10.35790/jbm.10.3.2018.21979

Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A. W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., & Syam Ari,
F. (2018). Ilmu Penyakit Dalam.

Sibuea, S. H. (2014). Perbedaan Antara Jumlah Leukosit Darah Pada Pasien


Apendisitis Akut Dengan Apendisitis Perforasi Di RSUP DR.Kariadi
Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Warsinggih Sp.B-KBD, D. d. (2016). Appendisitis Akut. Universitas Hassanudin.

32 | SAKIT TAK TERTAHANKAN

Anda mungkin juga menyukai