Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS BESAR

TUBERCULOSIS

Oleh :
dr. Resky Amalia Taufik

Pembimbing :
AKBP dr H. Yudi Prasetyo, Sp.P M.Kes
dr. Putri Novianty

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSHIP


RUMAH SAKIT BHAYANGKARA BALIKPAPAN
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Tuberculosis” ini tepat waktu.
Penulisan laporan kasus ini, merupakan salah satu syarat dalam mengikuti program
Internhsip. Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis mendapat bimbingan, saran,
serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. AKBP H dr. Yudi Prasetyo,Sp.P M.Kes selaku pembimbing dalam penyusunan
laporan kasus ini, atas bimbingannya
2. dr. Putri Novianty selaku pembimbing internship di Rumah Sakit Bhayangkara
3. Rekan-rekan dokter Internship di Rumah Sakit Bhayangkara Balikpapan atas
masukannya.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, sehingga saran dan
kritik yang membangun, sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Balikpapan, Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR IS..................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Tuberculosis........................................................................ 2

2.2 Etiologi Tuberculosis................................................................................. 3

2.3 Patogenesis Tuberculosis........................................................................... 10

2.4 Manifestasi Klinis Tuberculosis............................................................... 11

2.5 Diagnosis Tuberculosis.............................................................................. 14

2.6 Penatalaksanaan Tuberculosis................................................................... 21

2.7 Prognosis................................................................................................... 22

LAPORAN KASUS..................................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 29

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang ditularkan dari orang ke orang melalui
droplet yang mengandung bakteri M. tuberculosis (American Thoracic Society, 2017). M.
tuberculosis terutama menginfeksi paru atau disebut TB paru, namun M. tuberculosis juga
dapat menginfeksi bagian tubuh lainnya atau disebut TB ekstraparu (American Thoracic
Society, 2017); (WHO, 2019).
Banyak orang yang tertular infeksi TB tidak memiliki gejala yang disebut dengan
infeksi TB laten atau Laten Tuberculosis Infection (LTBI) (WHO, 2019). Orang dengan
infeksi TB laten yang memiliki sistem kekebalan yang lemah karena diabetes, infeksi HIV,
gagal ginjal, atau minum obat imunosupresif tertentu seperti penghambat TNF-alpha berisiko
mengalami TB aktif. (American Thoracic Society, 2017).
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB telah ada selama ribuan tahun dan tetap merupakan
masalah utama kesehatan global. Penyakit ini menyerang sekitar 10 juta orang setiap tahun
dan merupakan salah satu dari sepuluh penyebab kematian utama di seluruh dunia. Dalam 5
tahun terakhir, penyakit ini telah menjadi penyebab utama kematian yang disusul oleh
penyakit HIV / AIDS (WHO, 2019).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi Tuberculosis

TB adalah penyakit menular yang merupakan salah satu penyebab utama buruknya
derajat kesehatan masyarakat dan merupakan salah satu dari 10 penyebab utama kematian di
seluruh dunia dan penyebab utama kematian akibat agen infeksi tunggal mengalahkan
infeksi HIV / AIDS. Sekitar seperempat populasi dunia terinfeksi oleh M. tuberculosis,
sehingga memiliki risiko yang tinggi mengalami penyakit TB (WHO, 2019).
Secara global, diperkirakan terdapat 10,0 juta atau sekitar 9,0 sampai 11,1 juta orang
menderita TB pada tahun 2018. Jumlah yang relatif stabil dalam beberapa tahun terakhir.
Beban terhadap TB sangat bervariasi di antara negara-negara di dunia, mulai dari kurang
dari lima hingga lebih dari 500 kasus baru per 100.000 penduduk per tahun, dengan rata-rata
global sekitar 130 per 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2019).
Diperkirakan terdapat 1,2 juta atau sekitar 1,1 sampai 1,3 juta kematian TB pada
orang dengan HIV-negatif pada tahun 2018 dengan terdapat pengurangan sebanyak 27%
dari 1,7 juta kematian pada tahun 2000, dan tambahan 251.000 kematian atau sekitar
223.000 sampai 281.000 kematian pada orang dengan HIV-positif dengan terdapat
pengurangan sebanyak 60% dari 620.000 kematian pada tahun 2000. TB menginfeksi
orang-orang dari kedua jenis kelamin pada semua kelompok usia, tetapi jumlah tertinggi
didapatkan pada jenis kelamin laki-laki dengan puncak usia ≥ 15 tahun, yang menyumbang
57% dari semua kasus TB pada tahun 2018. Sebagai perbandingan, perempuan
menyumbang 32% dan anak-anak berusia < 15 tahun menyumbang 11% dari semua kasus
TB. Sebanyak 8,6% dari seluruh kasus TB merpakan orang yang hidup dengan HIV
(ODHA) (WHO, 2019).
Secara geografis, sebagian besar kasus TB pada tahun 2018 berdasarkan peta wilayah
dari WHO terjadi di di Asia Tenggara (44%), Afrika (24%) dan Pasifik Barat (18%), dengan
persentase lebih kecil di Mediterania Timur (8%), Amerika (3%), dan Eropa (3%). Delapan
negara menyumbang dua pertiga dari total TB global, meliputi India (27%), Cina (9%),
Indonesia (8%), Filipina (6%), Pakistan (6%), Nigeria (4%), Bangladesh ( 4%) dan Afrika
Selatan (3%). Delapan Negara ini dan 22 negara lainnya dalam daftar WHO merupakan 30
negara dengan beban TB tinggi yang menyumbang 87% dari kasus TB di dunia (WHO,
2019).
2
Angka insiden tuberkulosis Indonesia pada tahun 2018 sebesar 316 per 100.000
penduduk dan angka kematian penderita tuberkulosis 40 per 100.000 penduduk (WHO,
2019). Jumlah kasus tuberkulosis pada tahun 2018 ditemukan sebanyak 566.623 kasus,
meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2017
yang sebesar 446.732 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi
dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus
tuberkulosis di tiga provinsi tersebut sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di
Indonesia. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus tuberkulosis pada laki-laki lebih tinggi
daripada perempuan yaitu 1,3 kali dibandingkan pada perempuan. Pada masing-masing
provinsi di seluruh Indonesia kasus lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan. Kasus tuberkulosis terbanyak ditemukan pada kelompok umur 45-54 tahun
yaitu sebesar 14,2% diikuti kelompok umur 25-34 tahun sebesar 13,8% dan pada kelompok
umur 35-44 tahun sebesar 13,4%. Angka keberhasilan pengobatan semua kasus tuberkulosis
pada tahun 2012 dan 2018 mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pada tahun 2018 angka keberhasilan pengobatan semua kasus tuberkulosis sebesar 84,6%
sedangkan pada tahun 2017 sebesar 85,7%. Angka angka keberhasilan pengobatan semua
kasus yang harus dicapai minimal 90,0%. Angka keberhasilan pengobatan kasus
tuberkulosis semua kasus per provinsi tertinggi Sumatera Selatan (95,1%) dan terendah
Papua Barat (35,1%). Provinsi yang sudah mencapai angka keberhasilan pengobatan kasus
tuberkulosis semua tuberkulosis minimal 90% sebanyak 5 Provinsi (14,7%) yaitu Provinsi
Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara dan Banten.
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2019)
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, jumlah penemuan
kasus baru TB BTA+ tahun 2020 tertinggi di Kota Balikpapan. Kabupaten Kutai
Kartanegara menempati urutan ke-4 untuk kasus TB paru di Kalimantan Timur, namun
jumlah kasus di Kabupaten Kutai Kartanegara menurun dari tahun sebelumnya 2019 yaitu
sebesar 627 kasus menjadi 434 kasus. Angka keberhasilan pengobatan TB tertinggi pada
Kabupaten Penajam Paser Utara sebesar 161,19% dan terendah pada kabupaten Berau
sebesar 23,38% (Dinkes Kaltim, 2017).

2.2 Etiologi Tuberculosis

TB adalah penyakit yang ditularkan melalui udara yang disebabkan oleh bakteri M.

3
tuberculosis. Organisme M. tuberculosis juga disebut tubercle bacilli. M. tuberculosis dan
tujuh spesies mikobakteri terkait lainnya, antara lain M. bovis, M. africanum, M. microti, M.
caprae, M. pinnipedii, M. canetti, dan M. mungi disebut sebagai kompleks M. tuberculosis
(CDC, 2013). Sebagian besar dari spesies ini meliputi M. bovis, M. africanum, M. microti,
dan M. canetti telah ditemukan dapat menyebabkan penyakit pada manusia (Heemskerk,
Caws, Marais, & Farrar, 2015).
Mycobacteria adalah bakteri non-motil, tidak membentuk spora, aerobik, berbentuk
batang dengan panjang 2 sampai 4 μm dan memiliki dinding sel kaya lipid unik yang
memberikan sifat tahan asam sehingga dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA) dan
membuatnya tahan terhadap banyak desinfektan dan antibiotik. Mycobacteria dapat dibagi
menjadi spesies yang tumbuh lambat atau tumbuh cepat (Heemskerk, Caws, Marais, &
Farrar, 2015). Berikut adalah gambar M. tuberculosis dengan mikroskop elektron. Panah
hitam menunjukkan lapisan asam mikolik yang tebal dan huruf n menunjukkan nucleide.

Gambar 2.1. M. tuberculosis dengan Mikroskop Elektron


(Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015)

M. tuberculosis dibawa dalam partikel-partikel udara, yang disebut nuklei droplet,


berdiameter 1 sampai 5 mikron. Penularan nuklei droplet terjadi ketika penderita penyakit TB
paru atau laring batuk, bersin, berteriak, atau bernyanyi, partikel-partikel kecil ini dapat tetap
melayang di udara selama beberapa jam (WHO, 2019). Penularan terjadi ketika seseorang
menghirup nuklei droplet yang mengandung M. tuberculosis, dan nuklei droplet melintasi
mulut atau saluran hidung, saluran pernapasan atas, dan bronkus untuk mencapai alveoli
paru-paru. M. tuberculosis ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak permukaan.
(Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).
M. tuberculosis tumbuh lambat, tidak berpigmen, dan pada kultur berwarna cokelat
muda sberbentuk menyerupai remahan roti (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).
Berikut adalah gambar koloni M. tuberculosis pada medium Lowenstein Jensen padat.

4
Gambar 2.2. Koloni M. tuberculosis pada Medium Lowenstein Jensen Padat
(Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015)

Mycobacteria lain disebut dengan istilah Mycobacteria Non-Tuberculous (NTM),


Mycobacteria Other Than Tuberculosis (MOTT) dan atypical mycobacteria. Manajemen
NTM rumit dan tidak terstandarisasi karena perbedaan manifestasi penyakit dan pilihan
pengobatan yang tersedia (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).

2.3 Patogenesis Tuberculosis

2.3.1 Penularan

Penularan TB terjadi dengan menghirup nuklei droplet yang mengandung basil atau
disebut dengan transmisi aerosol. Nuklei droplet terbentuk ketika penderita TB paru aktif
batuk dan dapat tetap melayang di udara selama beberapa jam. Bersin atau bernyanyi juga
bisa mengeluarkan basil (WHO, 2019). Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan
penularan meliputi sumber basil yang dapat digambarkan dari sputum smear-positive atau
kavitas paru pada radiografi dada, serta jarak dan lama paparan. Penularannya berkurang
secara dramatis dan cepat dengan pengobatan yang efektif (Heemskerk, Caws, Marais, &
Farrar, 2015).
Orang yang berisiko tertular infeksi TB, meliputi (1) orang yang dalam waktu dekat
terpapar atau berkontak dengan penderita TB simtomatik, (2) orang yang hidup dalam satu
lingkungan atau berkumpul dengan orang-orang berisiko tinggi, (3) orang yang tinggal atau
pernah tinggal di negara di endemis TB, atau (4) petugas kesehatan yang berhubungan
dengan pasien TB ketika prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi tidak diikuti
dengan tepat. (American Thoracic Society, 2017). Secara umum, risiko infeksi di antara
kontak rumah tangga penderita TB adalah sebesar 30% (Heemskerk, Caws, Marais, &
Farrar, 2015).
Sebagian besar atau sekitar 90% orang yang terinfeksi M. tuberculosis tidak

5
mengalami penyakit yang menunjukkan gejala atau tidak mengalami TB aktif. Alasan
terjadinya hal ini belum sepenuhnya dipahami. Setelah menghirup nuklei droplet yang
mengandung M. tuberculosis seseorang dapat mengalami salah satu dari kemungkinan
berikut: (1) tidak terinfeksi, (2) terinfeksi tetapi sembuh dari infeksi, (3) terinfeksi dengan
deposit basil di paru, tetapi tidak simtomatik atau disebut dengan LTBI, atau (4) atau
terinfeksi dengan perkembangan TB yang progresif. Diperkirakan sepertiga populasi dunia
mengalami LTBI dan memiliki risiko perkembagan TB yang progresif seiring bertambahnya
usia atau ketika mengalami kondisi immunocompromised. Hal ini disebut dengan reaktivasi
LTBI (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).
Orang dengan LTBI memiliki M. tuberculosis di tubuhnya, tetapi tidak memiliki
penyakit TB dan tidak dapat menyebarkan infeksi kepada orang lain. Orang dengan LTBI
tidak dianggap sebagai kasus TB. LTBI dapat dideteksi dengan menggunakan Tuberculin
Skin Test (TST) atau dengan Interferon-Gamma Release Assay (IGRA). Diperlukan waktu 2
hingga 8 minggu setelah onset infeksi TB agar infeksi terdeteksi oleh TST atau IGRA
(CDC, 2013).
Kerentanan terhadap TB dipengaruhi oleh faktor lingkungan, host dan patogen.
Respons imun bawaan memainkan peran penting dalam pertahanan inang terhadap M.
tuberculosis. Terdapat banyak polimorfisme gen telah diidentifikasi yang mempengaruhi
kerentanan inang terhadap TB, namun interaksi yang rumit dari berbagai varian genetik
belum sepenuhnya dapat dijelaskan. (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).

2.3.2 Respon Imun Bawaan

Kunci utama dalam pertahanan bawaan terhadap M. tuberculosis adalah makrofag


alveolar dan sel dendritik. Makrofag, sel dendritik dan sel imun lainnya mengenali struktur
M. tuberculosis atau disebut Pathogen Associated Molecular Patterns (PAMPs) dengan
reseptor adanya pengenalan atau disebut Pattern Recognition Receptors (PRRs). PRRs yang
paling banyak dipelajari adalah Toll-Like Receptors (TLR) meliputi TLR2, TLR4, TLR9, dan
lain-lain. PAMPs seperti lipoarabinomannan, fosfatidylinositol dan heat shock protein (Hsp)
yang melupiti Hsp65 dan Hsp70, serta asam nukleat mikobakteri seperti CpG motif dikenali
oleh TLR. Interaksi PAMPs dengan TLR mengaktivasi jalur produksi sitokin yang sebagian
besar merupakan sitokin proinflamasi, seperti TNF, IL-1B, IL-12 dan nitric oxide
(Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).
Fagositosis patogen yang dimediasi PRRs oleh makrofag merupakan hal penting pada

6
respons imun bawaan. Bakteri yang dicerna kemudian dihancurkan melalui fusi dan
pengasaman yang disebut phagosome-lysosome fusion dan phagosome-lysosome acidification
yang diperantarai oleh H2O2 dan zat oksigen reaktif lainnya, namun M. tuberculosis dapat
menggagalkan proses ini dan menghindari penghancuran (Heemskerk, Caws, Marais, &
Farrar, 2015).
Pada dasarnya respon imun bawaan yang dimediasi makrofag dapat memiliki tiga
hasil, meliputi (1) nekrosis sel, (2) apoptosis, (3) makrofag yang terinfeksi tetap hidup. Jika
sel mengalami nekrosis, maka M. tuberculosis akan dilepaskan dan dapat menginfeksi
makrofag baru atau menyebar. Jika mengalami apoptosis, maka sel lain tidak terganggu dan
bakteri dihancurkan bersamaan dengan apoptosis makrofag. Jika makrofag yang terinfeksi
tetap hidup, M. tuberculosis dapat bertahan dan berkembang biak di dalam makrofag sebelum
respons imun adaptif diaktifkan oleh sel-T spesifik dari kelenjar getah bening regional,
umumnya 2-3 minggu setelah infeksi primer (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).

2.3.3 Respon Imun Adaptif

Sel dendritik adalah mediator penting pada respon imun bawaan dan adaptif yang selain
melakukan fagositosis, sel dendritik juga bermigrasi ke kelenjar getah bening regional untuk
memprentasikan M. tuberculosis hidup ke sel T naif. Setelah presentasi antigen dilakukan,
CD4+ sel T terkativasi dan bermigrasi ke paru untuk menghambat pertumbuhan progresif
M. tuberculosis. Peran penting sel T dalam imunitas terhadap M. tuberculosis dibuktikan
dengan peningkatan kerentanan pada individu dengan infeksi HIV. Kerentanan terhadap TB
meningkat ketika jumlah CD4 menurun (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).
IFN-γ, yang diproduksi oleh sel T yang teraktivasi memiliki peran penting dalam
perlindungan terhadap TB. Orang dengan gangguan gen IFN sangat rentan terhadap
penyakit TB yang berat. IFN-γ berperan dalam aktivasi makrofag dan pembunuhan
mikobakteri intraseluler. TNF-α adalah sitokin kunci lain yang diproduksi oleh makrofag,
sel dendritik dan sel T dan memainkan peran sentral dalam pembentukan granuloma,
induksi makrofag, dan memiliki sifat imunoregulatori. Orang yang menggunakan agen
penekan TNF berisiko lebih tinggi terhadap infeksi dan reaktivasi TB. Namun, TNF juga
dapat berkontribusi terhadap respon inflamasi yang merusak pada pasien dengan penyakit
progresif. (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).
Saat ini diketahui bahwa efek TNF pada penahanan infeksi M. tuberculosis dicapai

7
dengan memediasi pemeliharaan integritas granuloma dengan mengatur protein adhesi sel,
kemokin, dan mencegah disintegrasi sel granuloma dan penghancuran inflamasi dengan
mengatur IFN yang memproduksi CD4+ dan CD8+ sel T. Mekanisme kedua adalah dengan
merangsang apoptosis makrofag hidup yang mengandung M. tuberculosis, sehingga
mencegah penyebaran bakteri antar sel (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015). Berikut
adalah representasi skematis mekanisme antimikobakteri imunologis dasar di paru dan
kelenjar getah bening.

Gambar 2.3. Skema Mekanisme Antimikobakteri Imunologis Dasar di Paru dan Kelenjar
Getah Bening (Heemskerk, Caws, Marais, dan Farrar, 2015)

Makrofag dan sel dendritik awalnya bertemu M. tuberculosis di paru. Huruf A pada
gambar menunjukkan setelah memfagosit, makrofag dapat mengalami apoptosis atau
nekrosis. Setelah nekrosis, penyebaran bakteri dapat terjadi. Makrofag yang bertahan
membantu dalam pembentukan granuloma awal, baik yang mengarah ke eliminasi atau
latensi klinis. Huruf B pada gambar menunjukkan M. tuberculosis dapat menghindari respon
imun dengan menghambat pembentukan dan apoptosis phagolysosome, serta memblokir
respon makrofag terhadap IFNγ. Huruf C pada gambar menunjukkan sel dendritik dari paru
dapat melakukan perjalanan ke kelenjar getah bening regional untuk mempresentasikan

8
mikobakteri hidup dan antigen mikobakteri dan mengaktifkan sel T naif, sel B dan sel T
regulator. Huruf D pada gambar menunjukkan sel T yang diaktifkan dan sel B tertarik ke paru
karena adanya kemokin dan mengendalikan pertumbuhan bakteri dengan memproduksi
sitokin dan antibodi. Sel T regulator mengendalikan peradangan melalui produksi IL-10 dan
TGF-β (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).

2.3.4 Pembentukan Tuberkuloma

3 Ciri khas infeksi mikobakteri adalah tuberkuloma atau granuloma. Granuloma


dideskripsikan sebagai tampilan patologis yang dapat berbentuk padat atau non-
nekrotik, caseus atau nekrotik, atau kavitas tahap akhir, tergantung pada tingkat
pencairannya atau caseum yang dapat dibagi menjadi liquid atau soft necrotic dan solid
atau hard necrotic. Diperkirakan pada hard necrotic terdapat lebih sedikit mikobakteri
yang bersifat viable. Jika berukuran cukup besar, granuloma dapat mengalirkan cairan
ke dalam cabang bronkial, melepaskan basil yang viable ke dalam sistem pernapasan
dan dapat menyebar ke bagian lain dari paru atau batuk dan ditularkan. Jika dikaitkan
dengan penghancuran parenkim paru, pembentukan granuloma menandai awal
terbentuknya kavitas paru. Telah lama diasumsikan bahwa pembentukan granuloma
sebenarnya bertujuan untuk mencegah penyebaran bakteri, tetapi di sisi lain, granuloma
dapat dimanfaatkan oleh basil sebagai tempat berkembang biak (Heemskerk, Caws,
Marais, & Farrar, 2015).
4 Secara mikroskopis, granuloma tuberkulosis merupakan agregasi sel imun dan debris
terorganisir yang berisi makrofag yang telah mengalami perubahan morfologis menjadi
sel epiteloid yang membentuk susunan menyerupai pagar mengelilingi pusat nekrotik.
Makrofag juga mempertahankan kemampuannya untuk memfagositosis mikobakteri.
Makrofag juga dapat berfusi membentuk multinucleated giant cells dan sel busa, yang
memiliki kandungan lipid tinggi, tetapi peran proteksinya belum sepenuhnya dipahami
(Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015). Jenis sel lain di sekitar granuloma adalah
sel dendritik, neutrofil, sel B, sel T, sel NK, dan fibroblas. Sel-sel epitel sering
ditemukan di lapisan luar granuloma. M. tuberculosis terkonsentrasi pada tepi area
pusat nekrotik (CDC, 2013).

9
2.3.5 Respon Metabolisme Vitamin D

Vitamin D secara historis dikaitkan dengan penyakit tulang karena perannya dalam
pemeliharaan homeostasis kalsium dengan mempromosikan penyerapan kalsium di usus dan
resorpsi tulang, suatu proses yang diatur oleh hormon paratiroid. Saat ini sifat anti-inflamasi
vitamin D banyak diteliti pada kondisi lainnya, seperti diabetes, penyakit menular dan
autoimun dan penyakit kardiovaskular (Junaid & Rehman, 2019).
Sumber vitamin D pada makanan terbatas, namun minyak hati ikan dan ikan berlemak
secara alami mengandung vitamin D, namun sulit untuk mendapatkan asupan vitamin D yang
diperoleh hanya dari sumber makanan alami. Sinar matahari adalah sumber lain dari Vitamin
D, karena setelah paparan ultraviolet B, 7-dehydrocholesterol pada membran plasma
keratinosit manusia dikonversi menjadi previtamin D3 untuk membentuk vitamin D3 atau
disebut dengan cholecalciferol. Vitamin D larut dalam lemak dan dibawa dalam sirkulasi
oleh protein pengikat vitamin D yang diproduksi di hati. Vitamin D dihidroksilasi di hati
untuk membentuk 25-hydroxyvitamin atau 25(OH)D yang juga dikenal sebagai calcidiol atau
vitamin D serum, yang diubah menjadi hormon steroid 1,25-dihydroxyvitamin D atau disebut
calcitriol, suatu metabolit aktif di ginjal. Transkripsi cathelecidin sepenuhnya tergantung
pada tingkat kecukupan 1,25-hydroxyvitamin D. Cathelecidin merupakan senyawa yang
dapat menghancurkan membran mikroba di phagolysosome makrofag, sehingga kekurangan
vitamin D meningkatkan kerentanan terhadap penyakit TB. Selain konsentrasi vitamin D
serum, polimorfisme gen Vitamin D Receptor (VDR) memengaruhi aktifitas reseptor vitamin
D terhadap target, sehingga VDR sangat berpengaruh terhadap kerentanan terhadap infeksi
dan keberhasilan terapi TB (Junaid & Rehman, 2019); (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar,
2015); (Nikanfar, Rashedi, Poor, & Asgharzadeh, 2018).

2.4 Manifestasi Klinis

2.4.1 Tuberculosis Primer

Infeksi primer biasanya diindikasikan dengan uji tuberkulin kulit (TST) atau konversi
pelepasan interferon-gamma (IGRA), yang mencerminkan reaksi hipersensitivitas tipe
tertunda terhadap produk protein M. tuberculosis. Konversi TST biasanya terjadi 3 sampai 6
minggu setelah pajanan atau infeksi (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).
Infeksi primer tetap tidak terdiagnosis pada sebagian besar kasus, karena gejalanya ringan,
tidak spesifik dan biasanya sembuh sendiri. Kompleks primer atau fokus Ghon terbentuk,

10
terdiri dari granuloma dengan limfadenopati hilar dan / atau paratrakeal dan beberapa reaksi
pleura yang berada permukaan parenkim paru bersangkutan. Kompleks primer biasanya
sembuh dalam beberapa minggu atau bulan, meninggalkan tanda-tanda fibrosis dan
kalsifikasi yang dapat terdeteksi pada radiografi dada (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar,
2015).
Secara umum risiko pengembangan penyakit setelah infeksi primer rendah, tetapi anak-
anak kecil dan pasien dengan immunocompromisedmemiliki risiko yang tinggi. Infeksi ulang
kemungkinan terjadi berulang kali selama masa hidup seseorang yang tinggal di daerah
endemis TB. Reaktivasi atau TB pasca-primer sering digunakan untuk menyatakan kejadian
TB setelah periode latensi klinis, namun, karena penyakit reaktivasi secara klinis tidak dapat
dibedakan dari penyakit primer progresif atau penyakit infeksi ulang karena diperlukan tes
DNA untuk membedakan reaktivasi dari infeksi ulang, maka terminologi ini tidak deskriptif
atau tidak berguna secara klinis (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015)

2.4.2 Tuberculosis Paru

M. tuberculosis paling sering menyerang paru dan disebut sebagai TB paru. TB paru
dapat menyebabkan satu atau lebih gejala berikut.
1. Batuk terutama jika berlangsung selama 3 minggu atau lebih dengan atau tanpa produksi
dahak.
2. Batuk darah atau hemoptisis.
3. Nyeri dada.
4. Penurunan nafsu makan.
5. Penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan.
6. Berkeringat di malam hari.
7. Demam.
8. Kelelahan (CDC, 2013).

2.5 Diagnosis Tuberclosis

2.5.1 Anamnesis
Hal yang harus ditanyakan jika terdapat gejala penyakit TB,antara lain waktu mengalami
gejala, riwayat pajanan dengan penderita TB, dan informasi terkait riwayat LTBI atau
penyakit TB sebelumhya. Jika rejimen pengobatan sebelumnya untuk penyakit TB tidak
memadai atau jika penderita TB memiliki riwayat tidak mematuhi terapi, penyakit TB yang

11
kambuh dapat resistan terhadap obat. Penting untuk mempertimbangkan faktor demografis
seperti negara asal, usia, etnis, pekerjaan, atau kelompok ras. Kondisi medis yang mendasari,
terutama infeksi Human Immunodeficiency Virus(HIV) atau diabetesyang meningkatkan
risiko pengembangan penyakit TB harus ditelusuri (CDC, 2013).
TB ekstraparu dapat menyebabkan gejala yang berkaitan dengan bagian tubuh yang
terinfeksi, misalnya TB tulang belakang dapat menyebabkan nyeri punggung, TB ginjal dapat
menyebabkan darah dalam urin, dan meningitis TB dapat menyebabkan nyeri kepala atau
penurunan kesadaran (CDC, 2013).

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pada kasus TB tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi atau
menyingkirkan TB, tetapi dapat memberikan informasi tentang kondisi keseluruhan pasien,
mengarahkan ke metode diagnosis lanjutan, dan memberikan informasi tentang faktor-faktor
lain yang dapat mempengaruhi pengobatan penyakit TB dan prognosisnya (CDC, 2013).

2.5.3 Tes Infeksi Tuberkulosis


Tes yang paling umum untuk deteksi infeksi M. tuberculosis, meliputi.
1. Tes kulit mantoux tuberculin atau TST
2. Tes pelepasan interferon-gamma atau IGRA
Tes-tes ini membantu untuk membedakan orang yang terinfeksi M. tuberculosis dari
yang tidak terinfeksi, namun tes tidak dapat membedakan diagnosis penyakit TB atau LTBI
(CDC, 2013).

2.5.4 Radiologi
TB paru merupakan bentuk penyakit yang paling umum. Radiografi dada berguna untuk
diagnosis penyakit TB. Abnormalitas yang ditemukan pada radiografi dada dapat
mengarahkandiagnosis ke arah TB paru. Radiografi posterior-anterior dada adalah pandangan
standar yang digunakan untuk mendeteksi kelainan dada terkait TB. Pandangan lateral
bermanfaat dalam beberapa kasus, terutama pada TB anak (CDC, 2013).
Dalam beberapa kasus, Computed Tomography Scan (CTscan) dapat memberikan

12
informasi tambahan. CT scan memberikan gambar yang lebih rinci dari bagian-bagian tubuh
yang tidak mudah dilihat pada foto radiografi dada standar. Pada penyakit TB paru, kelainan
radiografi sering terlihat di segmen apikal dan posterior lobus atas atau di segmen superior
lobus bawah, namun lesi dapat muncul pada seluruh lapangan paru dengan perbedaan ukuran,
bentuk, kepadatan, dan kavitasi, terutama pada orang yang terinfeksi HIV dan pada orang
dengan penekanan sistem kekebalan tubuh. Kelainan radiografi pada anak-anak cenderung
minimal dengan kemungkinan limfadenopati yang lebih besar, lebih mudah didiagnosis pada
film lateral (CDC, 2013).
Lesi nodular dan fibrotik campuran dapat mengandung basil tuberkulum yang berkembang
biak secara perlahan dan memiliki potensi untuk berkembang menjadi penyakit TB. Orang
yang memiliki lesi yang konsisten dengan temuan penyakit TB lama pada radiografi dada dan
memiliki reaksi TST positif atau hasil IGRA positif harus dipertimbangkan sebagai kandidat
prioritas tinggi untuk pengobatan LTBI (CDC, 2013).

2.5.5 Pemeriksaan Dahak


Pemeriksaan dahak pada TB, meliputi.
1. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan
pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan
diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan yang disebut dengan istilah Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS).
Pengambilan dahak sewaktu dilakukan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali.
Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada
hari kedua.Pengambilan dahak pagidilakukan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas
Puskesmas.Pengambilan dahak sewaktu selanjutnyadilakukan di Puskesmas pada hari kedua
saat menyerahkan dahak pagi. Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding
dengan 2 spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan hasil
jaminan mutu eksternal pemeriksaan laboratorium (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2. Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB adalah untuk
menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, seperti pada pasien TB ekstraparu, TB anak,

13
dan TB dengan BTA negatif. Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan
dan tersedia laboratorium yang telah memenuhi standar yang ditetapkan (Kementerian
Kesehatan RI, 2011).
3. Uji Kepekaan OAT
Uji kepekaan OAT bertujuan untuk menilai resistensi M. Tuberkulosis terhadap OAT.
Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang tersertifikasi dan lulus
pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut ditujukan untuk
diagnosis pasien TB yang memenuhi kriteria suspek TB Multi Drug Restance (TB-MDR)
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB.
Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis langkah
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti radiografi dada, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasi.
Diagnosis TB tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan pemeriksaan radiografi dada
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).

2.6 Penatalaksanaan

2.6.1 Tujuan dan Prinsip Penatalaksanaan


Tujuan utama pengobatan TB anata lain.
1 Menyembuhkan penderita TB
2 Meminimalkan risiko kematian dan kecacatan
3 Mengurangi penularan M. tuberculosis ke orang lain (CDC, 2013).
Agar tujuan-tujuan ini tercapai, penyakit TB harus mendapatkan pengobatan Obat
Anti-TB (OAT) setidaknya selama 6 bulan dan dalam beberapa kasus bahkan lebih lama.
Sebagian besar bakteri terbunuh selama 8 minggu pertama pengobatan, namunmasih
terdapat organisme persisten yang membutuhkan perawatan lebih lama. Jika pengobatan
tidak dilanjutkan untuk jangka waktu yang cukup lama, bakteri yang bertahan hidup dapat
menyebabkan pasien kembali sakit dan dapat menularkan kembali, serta M. tuberculosis
berpotensi mengalami resistensi terhadap OAT.Standar perawatan untuk memulai
pengobatan TB adalah terapi empat obat. Pengobatan dengan obat tunggal dapat
menyebabkan populasi bakteri yang kebal terhadap obat tersebut tetap berkembang (CDC,
2013).

14
Rencana perawatan dan pemantauan khusus harus dilakukan pada setiap pasien TB
yang baru didiagnosis. Rencana ini harus mencakup.
1 Deskripsi rejimen pengobatan TB
2 Metode menilai dan memastikan kepatuhan terhadap rejimen pengobatan TB
3 Metode untuk memantau efek samping obat
4 Metode untuk mengevaluasi respons pengobatan (CDC, 2013).
Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut.
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. OAT tidak digunakan
tunggal atau sebagai monoterapi. Sangat dianjurkan untuk memakai OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT).

2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukanpengawasan langsung


atau disebut Directly Observed Treatment (DOT) olehseorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.


(Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Pasien mendapat obat setiap hari dan perludiawasi secara langsung untuk
mencegah terjadinya resistensi obat pada tahap intensif atau awal. Jika pengobatan tahap
intensif diberikan secara tepat, dalam kurun waktu 2 minggu setelah minum obat, pasien
dapattidak menularkan penyakit.Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA
negatif atau mengalami konversi dalam 2 bulan pengobatan.
Pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang
lebih lama pada tahap lanjutan. Tahap ini bertujuan untuk membunuh kuman persister
sehinggamencegah terjadinya kekambuhan (Kementerian Kesehatan RI, 2011)

2.6.2 Klasifikasi OAT


Berikut adalah tabel klasifikasi OAT.
Tabel 2.1. Klasifikasi OAT
Golongan dan Jenis Obat
Golongan 1 / Obat Lini  Isoniazid (H)  Pyrazinamide (Z)
Pertama

15
 Ethambutol (E)  Rifampicin (R)
 Streptomycin (S)
Golongan-2 / Obat  Kanamycin (Km)  Amikacin (Am)
suntik / Suntikan lini  Capreomycin (Cm)
kedua
Golongan-3 / Golongan  Ofloxacin (Ofx)  Moxifloxacin (Mfx)
Floroquinolone  Levofloxacin (Lfx)
Golongan-4 / Obat  Ethionamide (Eto)  Para-amino salisilat
bakteriostatik lini kedua  Prothionamide (Pto) (PAS)
 Sikloserin (Cs)  Terizidone (Trd)
Golongan-5 / Obat yang  Klofazimin (Cfz)  Thioacetazone (Thz)
belum terbukti efikasinya  Linezolid (Lzd)  Clarithromycin (Clr)
dan tidak  AmoxilinClavulanate  Imipenem (Ipm)
direkomendasikan (AmxClv)
oleh WHO
Berikut adalah tabel yang menunjukkan secara ringkas OAT lini pertama.
Tabel 2.2. OAT Lini Pertama
Dosis yang Direkomendasikan (mg/kg)
Jenis OAT Sifat
Harian 3 Kali Seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Ethambutol (E) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Streptomycin (S) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)

2.6.3 Paduan OAT di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian TB di Indonesia,
sebagai berikut.
1. Kategori 1 meliputi 2(HRZE)/4(HR)3

16
2. Kategori 2 meliputi 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Selain kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
1. Kategori anak meliputi 2HRZ/4HR
2. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat diIndonesia terdiri dari
OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan
PAS, serta OAT lini-1, yaitupirazinamid and etambutol.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paketberupa OAT-
KDT. Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. PaduanOAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT-
KDT. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) Paduan OAT disediakan dalam
bentuk paketbertujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan atau
kontinuitas pengobatan sampai selesai. OAT-KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam
pengobatan TB, meliputi.
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan
mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat
ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana
dan meningkatkan kepatuhan pasien (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

2.6.4 OAT Lini 1


OAT lini pertama dibagi menjadi 2 kategori, meliputi.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), diberikan untuk:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.
c. Pasien TB ekstra paru. (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3), diberikan untuk:
a. Pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya.
b. Pasien kambuh.
c. Pasien gagal.

17
d. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat. (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2011)
Berikut adalah tabel panduan OAT-KDT kategori 1

Tabel 2.3. Dosis OAT-KDT Kategori 1


Tahap Intensif Setiap Hari Tahap Lanjutan 3 kali
Berat Badan Selama 56 Hari RHZE Seminggu Selama 16
(150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Berikut adalah tabel panduan OAT-Kombipak Kategori 1.

Tabel 2.4. Dosis OAT-Kombipak Kategori 1


Dosis per Hari / Kali Jumlah
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Hari/Kal
Tablet
Pengobata Pengobata Isoniasi Rifampisi Etambuto i
Pirazinami
n n d @300 n @450 l @250 Menelan
d @500 mg
mg mg mg Obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Berikut adalah tabel panduan OAT-KDT kategori 2.


Tabel 2.5. Dosis OAT-KDT Kategori 2
Tahap Lanjutan 3
Tahap Intensif Setiap Hari
Kali Seminggu RH
Berat Badan RHZE (150/75/400/275) + S
(150/150) + E(400)
Selama 56 Hari Selama 28 Hari Selama 20 Minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
mg Streptomisin inj. Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT+ 3 tab

18
mg Streptomisin inj. Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT+ 4 tab
mg Streptomisin inj. Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT + 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT+ 5 tab
1000mg Streptomisin Etambutol
inj.

Berikut adalah tabel panduan OAT-Kombipak Kategori 2.

Tabel 2.6. Dosis OAT-Kombipak Kategori 2


E Jumlah
Tab. H Kap. R Tab. Z
Tab. Tab. Injeksi Hari/Kali
Tahap Lama @300 @450 @500
@250 @400 S Menelan
mg mg mg
mg mg Obat
Tahap 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
Intensif 1 bulan 1 1 3 3 - 28
- (dosis
harian)
Tahap 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Lanjutan
(dosis 3x
semggu)

Streptomisin vial 1 gram dilarutkan dengan cara menambahkan aquabidest sebanyak


3,7ml sehingga menjadi 4 ml dengan perbandingan 1ml = 250mg. Dosis maksimal
streptomisin untuk pasien yang berumur lebih dari sama dengan 60 adalah 500mg tanpa
memperhatikan berat badan. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk
tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan atau 28 hari (Kementerian Kesehatan
RI, 2011). Berikut adalah tabel OAT-KDT untuk sisipan.

19
Tabel 2.7. Dosis KDT untuk Sisipan
Tahap Intensif Setiap Hari Selama 28 Hari
Berat Badan
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Berikut adalah tabel OAT-Kombipak untuk sisipan.


Tabel 2.8. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan
Jumlah
Tablet Kaplet Tablet
Tahap Lamanya Tablet Hari/Kal
Isoniasi Ripamfisi Etambuto
Pengobata Pengobata Pirazinami i
d @300 n @450 l @250
n n d @500 mg Menelan
mg mg mg
Obat
Tahap 1 bulan 1 1 3 3 28
intensif
(dosis
harian)

20
2.7 Progonosis
TB adalah penyakit yang bisa disembuhkan, namun TB masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang paling mendesak di sebagian besar negara di dunia, meskipun
ketersediaan obat dan pengetahuan tentang pencegahan penularan memadai Distribusi
pandemi TB menunjukkan ketidaksetaraan dalam pemberian layanan kesehatan secara global.
Lebih dari 95% kasus dan kematian terjadi di negara berpenghasilan rendah dan (Heemskerk,
Caws, Marais, & Farrar, 2015).
Secara umum, prognosis hasil pengobatanTB tergantung pada beberapa faktor, meliputi
(1) faktor host yang terdiri dari varians genetik, koinfeksi, koinfeksi HIV, kepatuhan
pengobatan, akses ke perawatan kesehatan, (2) faktor patogen yang terdiri dari virulensi
patogen, resistensi obat, dan (3) faktor lokasi infeksi yang terjadi di paru atau ekstraparu
(Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).
Tanpa pengobatan, fatalitas kasus untuk pasien kultur sputum positif dengan HIV
negatif diperkirakan sebesar 70%, berbeda dengan pasien kultur sputum negatif dengan HIV
negatifyang diperkirakan sebesar 20%. Tingkat keberhasilan pengobatan pada pasien TB baru
di Amerika Serikat pada tahun 2011 adalah 78% (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).
TB adalah penyebab kematian paling umum di antara pasien HIV, diperkirakan
menyebabkan 26% kematian terkait AIDS. Tingkat keberhasilan pengobatan secara global
untuk semua pasien TB baru tanpa HIV adalah 87%, berbeda dengan tingkat keberhasilan
73% untuk pasien TB baru dengan HIV. TB yang resistan terhadap obat menyumbang angka
kematian yang tinggi. Dari 34.000 pasien MDR yang terdaftar dalam pengobatan pada tahun
2010, hanya 48% yang berhasil menyelesaikan pengobatan dan 15% meninggal. Di antara
795 kasus XDR, angka kematian sekitar 50%. (Heemskerk, Caws, Marais, & Farrar, 2015).

21
BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIE N

Nama : Moh Al Amin Hakim


Umur : 25 tahun
Jenis kelamin :Laki-Laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMA
Status : Menikah
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. Alfallah No 19 RT 42, Baru Ilir
Tanggal MRS : 07 Agustus 2022

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Batuk lama dan BAB cair
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan batuk sejak 1 bulan terakhir, batuk terus menerus
kadang ada dahak kadang tidak ada dahak, awalnya dahak berwarna putih, namun 1
minggu kemudian jika batuk dahak berwarna kuning, 2 hari belakangan ini batuk
disertai darah, dalam jumlah yang sedikit, batuk disertai dengan penurunan nafsu
makan, dan sering mengeluh keringat malam hari, walaupun cuaca lagi dingin. Pasien
sudah berobat ke Puskesmas, dan dilkukan pemeriksaaan tes dahak sewaktu dan
dahak pagi hari, namun hasil tes dahak pasien negatif, pasien dianjurkan ke rumah
sakit untuk pemeriksaan radiologi oleh dokter puskesmas, namun pasien memilih
untuk tidak pergi ke rumah sakit. Pasien juga mengeluh BAB cair sejak 5 hari yang
lalu, air (+), lendir (-), ampas (+), darah (-), disertai dengan nyeri perut, mual dan
muntah dengan jumlah 5x sehari, jika pasien makan dan minum selalu dimuntahkan,
Pasien juga mengeluh demam sejak 3 hari yang lalu, namun 2 hari SMRS demam

22
sudah turun dikarenakan sudah minum obat paracetamol.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riw Batuk Lama : (+)
Riw Kontak Pasien TB : (-)
Riw Alergi obat : (-)
Riw Astma : (-)
Riw Hipertensi : (-)
Riw Diabetes Melitus : (-)
Riw Jantung : (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riw Batuk Lama : (-)
Riw Kontak Pasien TB : (-)
Riw Alergi obat : (-)
Riw Astma : (-)
Riw Hipertensi : (+) Bapak Pasien
Riw Diabetes Melitus : (-)
Riw Jantung : (-)

Riwayat Sosial dan Personal


Perokok Aktif dan Pasif : (+)
Alkohol : (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanda Tanda Vital:
Keadaan Umum : Kesan sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis

(GCS E4V5M6) VAS : 0/10


Tekanan darah : 90/50mmHg
Nadi : 92 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu aksila : 40 ºC
Tinggi badan : 165cm
Berat badan : 54kg
BMI : 55,6 k

23
Pemeriksaan Umum
Mata : kesan anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+ isokor, edema palpebra -/-
THT : Telinga : sekret -/-, hiperemis -/-
Hidung : sekret (-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)
Lidah : papil atrofi (-)
Leher : JVP ± 0 cmH2O, kelenjar tiroid normal, pembesaran kelenjar getah
bening (-)
Thorax : Simetris (+), retraksi (-)
Cor :
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V MCL
S
kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas jantung ICS II kiri
Batas kanan jantung PSL kanan
Batas kiri jantung MCL kiri ICS V
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris (+), retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus N N
N N
N N
Perkusi :
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor

Auskultasi : Ves Ves, Ronkhi - - Wheezing - -


Ve Ves - - - -
s Ves - - - -
Ve
s

24
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-),
ascites (-) Auskultasi :
bising usus (+) normal

Palpasi : Hepar/lien tidak teraba, ginjal tidak teraba


balotement (-/-), nyeri ketok CVA (-/-), nyeri
suprapubic (-)
Perkusi : Timpani, ascites shifting dullness (-)

Ekstremitas : Hangat +/+, edema -/- , CRT<2 detik


+/+ -/-

25
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Darah Lengkap (27/02/2013)


Parameter Nilai Unit Remarks Nilai Normal
WBC 6.710 103/μL Normal 4,00-10,00

#Ne 80.6 103/μL8 Tinggi 50-70


#Ly 12.7 103/μL Normal 1,00-4,00
#Mo 6.1 103/μL Normal 0,10-1,20
#Eo 0.6 103/μL Normal 0,00 – 0,50
#Ba 0.0 103/μL Normal 0,00 – 0,10
RBC 4.87 103/μL Normal 4,50 – 5,90
HGB 14.0 g/dl Normal 13,50 – 17,50
HCT 40.7 % Normal 41,00 – 53,00
MCV 83.5 Fl Normal 80,00 – 100,00
MCH 28.7 Pg Normal 26,00 – 34,00
MCHC 34.4 g/dl Normal 31,00 – 36,00
PLT 293.00 K/ul Normal 150,00 – 440,00

Gula Darah 94 Mg/dL Normal <200


Sewaktu

Kesan: Leukositosis

26
RADIOLOGI (31/03/2022)
 Thoraks AP:

Cor : Bentuk dan posisi normal


CTR <50%

Sinuses dan diafragma bilateral normal

Pulmo : Tampak Perbecakan paru kanan


atas

Kesan: TB paru

PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN


BIOMOLEKULAR Swab NEGATIF NEGATIF
Antigen
ANTIGEN SARS COV-2

V. DIAGNOSIS KERJA
 GEA dehidrasi ringan-sedang
 TB Paru Baru

VI. PENATALAKSANAAN.
 Terapi:
- IVFD RL Loading 500 cc lanjut maintenance RL 20 tpm
- Inj Paracetamol 3x1000mg IV
- Inj Omeprazole 2x40 mg IV
- Inj Ondancentron 3x4mg IV
- New diatab 2 tab prn diare
- Zinc tab 1x20mg PO
- OAT ditunda dulu sampai diare membaik

 Rencana Diagnosis:
27
 Rencana Monitoring:
- Tanda – tanda vital.
- Keluhan
VII. KIE
 Keadaan pasien saat ini dan rencana penatalaksanaan
 Upaya mencegah perburukan kondisi dengan cara disiplin meminum obat
OAT sampai tuntas
 Melakukan kontrol rutin ke Rumah Sakit atau puskesmas sesuai rujukan
dokter
 Pentingnya patuh dan disiplin dalam pengobatan OAT pada pasien TB
 Pentingnya peran pengawasan minum obat pada pasien
 Pentingnya kepatuhan pengobatan untuk mencegah kekambuhan,
perburukan kondisi pasien, serta penularan kepada orang sekitar
 Tetap menerapkan pola hidup sehat, dan menerapkan ventilasi dalam dirumah

28
DAFTAR PUSTAKA

29

Anda mungkin juga menyukai