Anda di halaman 1dari 37

LP & ASUHAN KEPERAWATAN

TUBERKULOSIS (TBC)
DOSEN PENGAMPU : Kurniati Prihatin, Ners., M.Kep

DISUSUN OLEH KELOMPOK 4 :


1. RISKA TIARINI 7. TAUFIK HIDAYAT
2. SAMSUL RIZAL 8. TIARA ADRIYANI
3. SAMUDRA TITTO 9. TITIK NURCAHYANI
4. SALSABILA NAKHLAH 10. TRI WAHYUNI PUJI S
5. SHEILA DEA MOZA 11. YENI ISTIANA
6. SUGISTINA LIA PUTRI 12. SONY ATMAWIGUNA

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
JENJANG STUDI D3 KEPERAWATAN
TA 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul " TUBERKULOSIS ” disusun untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah I . Selain itu Makalah ini bertujuan
menambah wawasan tentang Flu Burung bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Kurniati Prihatin, Ners,. M.Kep selaku
dosen Mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I. Ucapan terima kasih juga disampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya Makalah ini. Penulis menyadari
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun
diharapkan demi kesempurnaan Makalah ini.

Mataram, 10 Okotober 2022

penulis
DAFTAR ISI

COVER……………………………………………………………………………………
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..
BAB 1 PENDAHULUAN………………………………………………………………..
1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………..
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………………
1.3 Tujuan ……………………………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………….
2.1 Pengertian ………………………………………………………………………
2.2 Etiologi/ penyebab ………………………………………………………………….
2.3 Faktor resiko…………………………………………………………………..
2.4 Manifestasi Klinis…………………………………………………………
2.5 Klasifikasi………………………………………………………………
2.6 Patofisiologi……………………………………………………………………………
2.7 Prognosis……………………………………………………………………………….
2.8 Komplikasi …………………………………………………………….
2.9 Penatalaksanaan………………………………………….…………………
2.10 Asuhan keperawatan…………………………………………………………….
1. Pengkajian keperawatan………………………………………….
2. Diagnosa keperawatan………………………………………….
3. Intervensi keperawatan………………………………………….
4. Evaluasi keperawatan………………………………………….
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………
4.1 Kesimpulan………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit tuberkulosis paru hingga sekarang masih menjadi suatu sumber masalah
bagi kesehatan, menjadi ancaman serius dikalangan masyarakat diseluruh dunia.
Pengendalian dari penyakit tuberkulosis dapat diperburuk dengan meningkatnya penyakit
yang mampu menurunkan imunitas tubuh manusia seperti HIV dan DM, kurangnya status
gizi dan juga meningkatnya penularan diusia anak-anak hingga usia produktif dan
terjadinya resistensi terhadap obat tuberkulosis (Multi Drug Resistance). Kemiskinan dan
kurangnya pengetahuan mengenai gejala serta penularan berbagai macam penyakit juga
dianggap faktor penting yang dapat meningkatkan resiko dari paparan penyakit seperti
tuberkulosis (Rathauser et al, 2019).
Pada kasus tuberkulosis paru masalah yang sering muncul salah satunya
ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Masalah ketidakefektifan jalan nafas karena
disebabkan oleh penumpukan sekret. Sekret tersebut akan terkumpul pada jalan nafas
pasien saat penderita tuberkulosis tidur dan akumulasi sekret yang terus menerus dapat
menyebabkan penyempitan jalan nafas sehingga timbul permasalahan keperawatan
ketidakefektifan bersihan jalan nafas. Menurut World Health Association (2019)
menyatakan bahwa ada 10.000.000 orang sudah terkena Tuberkulosis parudi tahun 2018
dan ada 1.500.000 orang diantaranya sudah dinyatakan meninggal dunia. Indonesia berada
diperingkat kedua dari negara dengan kasus orang menderita tuberkulosis paling banyak
sedunia (WHO, 2019).
Kasus tuberkulosis ditemukan kurang lebih sebanyak 330.910 hanya dalam waktu
satu tahun di Indonesia, ditemukan provinsi jawa barat, jawa timur, menjadi jumlah kasus
tertinggi dan jawa tengah, 2 dimana kejadian Tuberkulosis Paru pada ke-3 provinsi
tersebut sebesar 38% dari semua kejadian di indonesia (Widianingrum, 2018).
Berlandaskan dari hasil studi penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Maret
2020 di RSUD Bangil, Kabupaten Pasuruan, diperoleh data terdapat 180 pasien
tuberkulosis. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil usia maksimal
pasien TBC yaitu 74 tahun dan usia minimal pasien TBC yaitu 16 tahun dengan usia rata-
rata 30-82 tahun. Sebagian besar pasien berusia produktif. Dalam total jumlah pasien
didapatkan pasien yang berjenis kelamin lelaki sebanyak 124 pasien dan 56 pasien
perempuan.
Asal mula kuman mycobacterium-tuberculosis menular lewat percikan air liur
ketika berbicara, batuk-batuk, bersin, kemudian basil mycobacterium tuberculosis tersebut
berterbangan melalui udara dan masuk kedalam suatu jaringan paru-paru orang sehat
melalui jalan nafas (droplet infection) hingga alveolus. Basil tubercle mencapai
permukaan alveolus ini membiasa proses dari inhalasi dan juga terdapat 1-3 unit basil, hal
tersebut dapat merangsang peningkatan sekresi (Rathauser et al, 2019). Ketidak upayaan
pasien dalam memobilisasikan sekresi yang mengakibatkan menumpuknya suatu secret.
Normal suatu secret pada jalan pernafasan akan bisa diberhentikan dengan merubah posisi
seperti batuk efektif. Pada saat pasien imobilise secret yang terkumpul dijalan nafas akibat
gaya tarik bumi dapat mengganggu proses dari disfusi O2 dan CO2 didalam alveoli. Dan
upaya batuk efektif guna mengeluarkan secret juga bisa terhambat karena tonus otot-otot
pernafasan yang melemah, hal tersebut menyebabkan permasalahan yaitu bersihan jalan
nafas. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas merupakan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi atau dengan cara obstruksi dari saluran pernafasan untuk
mempertahankan kebersihan pada jalan nafas (NANDA, 2018).
Penatalaksanaan dari tuberkulosis itu sendiri dapat dibagi menjadi penatalaksanaan
medis dan keperawatan. WHO berhasil menimbulkan strategi upaya penanggulangan
terkait 3 penyakit tuberkulosis yaitu berupa DOTS (Direct Observed Treatment Short).
DOTS berfokus sebagai alat penemu dan pengobatan penyakit tuberkulosis, prioritas
hanya diberikan untuk klien tuberkulosis tipe menular. Strategi DOTS berupaya memutus
rantai suatu penularan penyakit tuberkulosis paru dan menurunkan insidensi tuberkulosis
paru didalam masyarakat. Menemukan kemudian menyembuhkan klien tuberkulosis
terlebih dahulu adalah cara unggul sebagai upaya pencegahan penularan penyakit
tuberkulosis paru. (World Health Organization, 2019).
Penanggulangan tuberkulosis dengan strategi DOTS didalam puskesmas sudah
terdiri dari input seperti: manusia, program, dana, dan material. Sedangkan proses seperti:
rancangan, sekelompok, pergerakan, dan pengawasan (Inayah & Wahyono, 2018).
1.2 Rumusan Masalah
1) Apa itu tuberkulosis?
2) Apa etiologi/ penyebab tuberkulosis?
3) Apa saja faktor resiko tuberkulosis?
4) Bagaimana manifestasi klinis tuberkulosis?
5) Bagaimana klasifikasi tuberkulosis?
6) Bagaimana patofisiologi tuberkulosis?
7) Apa prognosis tuberkulosis?
8) Apa saja komplikasi tuberkulosis?
9) Bagaimana penatalaksanaan tuberkulosis?
10) Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien yang menderita tuberkulosis?
1.3 Tujuan
1) Mengetahui pengertian tuberkulosis
2) Mengetahui etiologi/ penyebab tuberkulosis
3) Mengetahui faktor resiko tuberkulosis
4) Mengetahui manifestasi klinis tuberkulosis
5) Mengetahui klasifikasi tuberkulosis
6) Mengetahui patofisiologi tuberkulosis
7) Mengetahui prognosis tuberkulosis
8) Mengetahui komplikasi tuberkulosis
9) Mengetahui penatalaksanaan tuberkulosis
10) Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien yang menderita tuberkulosis
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tuberkulosis


Tuberkulosis paru (TBC) yaitu suatu penyakit infeksius menyerang organ
parenkim pada paru (Brunner & Suddarth, 2016). Tuberkulosis paru yaitu penyakit pada
paru-paru yang diserang oleh penyakit infeksius biasa ditandai adanya pembentukan
granuloma yang menyebabkan terjadinya nekrosis pada jaringan dan sifatnya menahun
dan juga menular dari sipenderita TBC keorang lain melalui percikan ludah.(Angelina,
2016)
Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular secara langsung penyebabnya
kuman mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar bakteri tuberkulosis menyerang
paruparu, tetapi juga dapat mengenai organ-organ tubuh lainnya (Margareth TH, 2015).
Tuberkulosis paru (TBC) merupakan bakteri berupa batang yang tahan asamalkohol
(acidalcoholfastbacillus /AAFB) Mycobacterium tuberkulosisyang utama menembus paru,
usus, dan juga kelenjar getah bening.(Sutanto & Fitriani, 2017).
Penyakit tuberkulosis paru yaitu suatu penyakit dari basil kecil tahan terhadap
asam dinamakan mycobacterium tuberculosis yang dapat menular melalui bersin batuk air
ludah dari penderita tuberkulosis keorang yang dinyatakan sehat.
2.2 Etiologi/ Penyebab
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri dinamakan Mycobacterium Tuberculosis,
Jenis bakteri ini berbentuk seperti batang amat kecil panjang ukuran 1-4 /um dan tebalnya
0,3-0,6/um (Guyton & Hall, 2016). Mycobacterium Tuberculosis termasuk bakteri sifatnya
aerob kemudian kuman tersebut menyerang jaringan yang mempunyai konsentrasi tinggi
terhadap oksigen termasuk paru-paru. Tuberkulosis paru merampak parenkim paru melalui
droplet batuk, bersin dan pada saat berbicara kemudian berterbangan melalui udara dari
penderita ke orang lain. Kuman Mycobacterium Tuberculosis berupa batang, dan bersifat
mampu bertahan terhadap pewarnaan atau asam, maka dari itu dinamakan basil tahan
asam atau disingkat (BTA) (Angelina, 2016).
Mycobacterium Tuberculosissangat rentan terkena paparan sinar matahari secara
langsung, tetapi mycobacterium tuberculosis mampu hidup bertahan diruang gelap dan
lembab hingga beberapa jam. Pada jaringan tubuh bakteri tuberkulosis dapat melakukan
dorman atau inaktif (penderita tertidurnya lama) hingga beberapa tahun lamanya.
Penyebaran dari Mycobacterium Tuberculosis dapat melewati droplet hingga nukles,
kuman tuberkulosis dihirup oleh orang dari udara kemudian menginfeksi organ tubuhnya
terutama paru-paru. Diperkirakan, satu penderita tuberkulosis paru dengan BTA positif
yang tidak diobati dapat 10-15 orang tertular disetiap tahunya (Brunner & Suddarth,
2016).
2.3 Faktor-faktor resiko
Penyakit Tuberkulosis Paru Kondisi social ekonomi, status gizi, umur, jenis
kelamin dan faktor toksis pada manusia merupakan faktor penting dari penyebab penyakit
tuberculosis yaitu sebagai berikut (Naga, 2014) :
a. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam penularan penyakit Tuberkulosis
yaitu kaitannya dengan kondisi rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan,
serta lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang buruk. Semua faktor tersebut
dapat memudahkan penularan penyakit tuberculosis.
b. Faktor social ekonomi
Pendapatan keluarga juga sangat mempengaruhi penularan penyakit
tuberculosis karena dengan pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat
hidup dengan layak seperti tidak mampu mengkonsumsi makanan yang bergizi dan
memenuhi syarat-syarat kesehatan.
c. Status gizi
Kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi, dan lain-lain (malnutrisi), akan
mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang, sehingga rentan terhadap berbagai
penyakit termasuk tertular penyakit tuberculosis paru. Keadaan ini merupakan
faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa
maupun anak-anak.
d. Umur
Penyakit tuberculosis paru ditemukan pada usia muda atau usia produktif,
dewasa, maupun lansia karena pada usia produuktif orang yang melakukan
kegiatan aktif tanpa menjaga kesehatan berisiko lebih mudah terserang
tuberkulosis. Dewasa ini, dengan terjadinya transisi demografi akan menyebabkan
usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut atau lebih dari 55
tahun, system imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap
berbagai penyakit termasuk penularan penyakit tuberculosis.
e. Jenis kelamin
Menurut WHO penyakit tuberculosis lebih banyak di derita oleh laki-laki dari
pada perempuan, hal ini dikarenakan pada laki-laki lebih banyak merokok dan
minum alcohol yang dapat menurunkan system pertahanan tubuh, sehingga wajar
jika perokok dan peminum beralkohol sering disebut agen dari penyakit
tuberculosis paru.
2.4 Manifesatasi klinis /Gejala Tuberkulosis Paru
Tuberculosis sering dijuluki “the great imitator” yang artinya suatu penyakit yang
mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum
seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga
diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik (Muttaqin, 2012).
Bukti gejala tuberkulosis dibagi 2 (dua) golongan seperti gejala sistemik dan gejala
respiratorik (Inayah & Wahyono, 2018).
a. Gejala sistemik.
1) Badan Panas
Tuberkulosis paru gejala pertamanya kadang kala muncul suhu
meningkat dikit disiang hingga disore hari. Badan suhu meningkat menjadi
makin tinggi apabila prosess jadi progresif kemudian penderita merasakan
badannya menjadi hangat atau wajahnya panas.
2) Badan Kedinginan/menggigil
Badan merasa dingin terjadi apabila suhu fisik akan naik secara kilat,
tetapi tidak ada panas dengan angka sama dapat menjadi reaksi umum lebih
kuat.
3) Peluh dimalam hari
Peluh malam bukan salah satu gejala patognomonis dari penyakit TB
paru. Tetapi peluh malam pada umumnya akan timbul jika proses sudah
lanjut, kecuali penderita dengan vasodilation labil, peluh malam juga bisa
muncul lebih awal. tachycardia dan kliyengan hanya muncul disertai panas.
4) Malaise
Lantaran penyakit Tuberkulosis paru sifatnya radang menahun, maka
penderita akan merasakan badan sakit tidak enak dirasakan, nafsu makan
berkurang, pegal linu,badan semakin kurus, kliyengan, dan gampang capek.
b. Gejala Respiratorik
1) Batuk-batuk
Batuk awal mulai muncul jika proses dari penyakit TBC sudah
mengena bronkeolus, selanjutnya mengakibatkan peradangan bronkeolus,
dan batuk menjadi aktif. Kemudian bermanfaat sebagai pembuang produk
pengeluaran dahak yang meradang tersebut.
2) Sekret
Sesuatu yang sifatnya mukoid membuntangi paru-paru dan keluar
dengan jumlah sedikit, kemudian akan menjelma seperti muko purulen
berwarna kuning atau hijau sampai purulen tersebut mengalami perubahan
dengan tekstur kental jika secret telah terbentuk menjadi lunak atau seperti
keju.
3) Nyeri pada dada
Nyeri dadakan muncul jika sistem syaraf yang ada dalam parietal sudah
mengenai, gejala yang dirasakan sifatnya domestik.
4) Ronchii
Satu hasil pemeriksaan yang tersiar bunyi tambahan seperti suara gaduh
terutama pada saat penderita ekspirasi disertai adanya sekret pada pernafasan.
2.5 Kelasifikasi TBC
Klasifikasi dari penyakit tuberkulosis paru, diantaranya adalah sebagai berikut
(Angelina, 2016):
a. Kategorisasi menurut organ fisik yang mungkin terinfeksi :
1) Tuberkulosis Paru-paru.
Tuberkulosis pada paru merupakan sumber penyakit penyerang jaringan
parenkim paru. Bukan termasuk pleura dan kelenjar didalam hilar.
2) Tuberkulosis Ekstra Paru-paru.
Tuberkulosis yang menyerang organ fisik selain paru, seperti parietal,
selaput dalam otak, pericardium, tulang atau alat gerak, kulit, usus, ginjal,
saluran air seni, alat reproduksi, dan lainnya.
b. Kategorisasidari hasil laboratorium sputum dahak mikroskop penderita
Tuberkulosis Paru
1) TBparu pada BTA hasilnya positif
a) Minimal dua dari tiga sampel secret SPS pada BTA hasilnya positif.
b) Dari 1 sampel sekret SPS pada BTA hasilnya positif, dan hasil photo
toraks pada dada menentukan adanya bayangan bakteri tuberkulosis.
c) Dari 1 sampel sekret SPS hasil BTA menunjukkan positif &
perkembang-biakan bakteri tuberkulosis hasilnya positif.
d) Dari 1/lebih sampel sekret yang hasilnya positif sesudah tiga
spesimen sekret SPS dipemeriksaan sebelum BTA hasilnya negatif
dan tidak menunjukkan perbaikan sesudah dimasukkan obat
antibiotika non OAT.
2) TBparu pada BTA hasilnya negatif Diagnostik TBparu BTA hasilnya negatif
berkriteria seperti berikut:
a) Setidaknya ada tiga spesimen sekret SPS pada BTA hasilnnya negatif.
b) Hasil photo toraks hasilnya normal tidak terdapat TB paru.
c) Menunjukan tidak membaik sesudah diberikan antibiotika non OAT.
d) Dokter mempertimbangkan mengenai pemberian obat.
c. KategorisasiTB dari tangga keparahannya
1. Tuberkulosis paru BTA hasilnya negatif dan photo toraks hasilnya positif
terbagi dengan didasari tingkat keparahannya dari penyakit yang dialami,
berat/ringan penyakitnyaa. Dikatakan akut apabila gambaran hasil photo
toraks menunjukan kerusakan didalam paru menjadi luas (misalproses
dari“far advanced”), atau dikatakan kondisi penderita memburuk.
2. Tuberkulosis ekstraparu terbagi dengan dasar kenaikan nilai parah dari
penyakit, yaitu:
a) Tuberkulosis ekstra paru ringan, semisal: tuberkulosis kelenjar limfa,
pertulangan tidak termasuk tulang bagian belakang, persendian, dan
kelenjar pada adrenali.
b) Tuberkulosis ekstra peparu berat, semisal: infectious disease, milier,
perikarditise, peritonitisme, pleuritis-eksudativa-bilateral, tuberkulosis
pada kerangka bagian belakang, tuberkulosis pada organ usus,
tuberkulosis pada jalan kencing dan alat reproduksi.
d. Kategorisasi menurut riwayat pasien berobat, terbagi atasbebrapa tipe, yaitu :
1) Pasien Kasus Aktual Yaitu klien belum merasakan OAT atau telah
merasakan OAT minim 4 minggu.
2) Pasien Kasus Kumat-kumatan Yaituklien TBC sudah melakukan
pengobatan tuberkulosis dan telah dibuktikan sembuh melalui pemberian
obat-obatan lengkap, tetapi didiagnosis lagi menunjukkan BTA hasilnya
positif.
3) Kasus pasien sesudah berhenti minum obat(default) Yaitu klien yang sudah
berhenti minum obat2 bulan lebih tetapi pemeriksaan BTA hasilnya positif.
2.6 Patofisiologi
Kuman mycobacterium tuberculosis yang keluar melalui percikan ludah hanya
mampu bertahan beberapa jam saja dikeadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan
penyakit dapat diperhentikan berdasarkan banyaknya bakteri dari paru. Derajat kepositifan
makin tinggi hasil pemeriksaan dahak, makin menularlah pengidap tersebut. Penyebab
orang terpapar bakteri mycobacterium tuberculosis ditentukan oleh banyaknya jumlah
percikan diudara dan lamanya orang menghirup udara tersebut (Brunner & Suddarth,
2016).
Tuberkulosis Paru Penyakit tuberculosis paru ditularkan melalui udara secara
langsung dari penderita penyakit tuberculosis kepada orang lain. Dengan demikian,
penularan penyakit tuberculosis terjadi melalui hubungan dekat antara penderita dan orang
yang tertular (terinfeksi), misalnya berada di dalam ruangan tidur atau ruang kerja yang
sama. Penyebaran penyakit tuberculosis sering tidak mengetahui bahwa ia menderita sakit
tuberculosis. Droplet yang mengandung basil tuberculosis yang 11 dihasilkan dari batuk
dapat melayang di udara sehingga kurang lebih 1 - 2 jam tergantung ada atau tidaknya
sinar matahari serta kualitas ventilasi ruangan dan kelembaban. Dalam suasana yang gelap
dan lembab kuman dapat bertahan sampai berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Jika droplet
terhirup oleh orang lain yang sehat, maka droplet akan masuk ke system pernapasan dan
terdampar pada dinding system pernapasan. Droplet besar akan terdampar pada saluran
pernapasan bagian atas, sedangkan droplet kecil akan masuk ke dalam alveoli di lobus
manapun, tidak ada predileksi lokasi terdamparnya droplet kecil.
Pada tempat terdamparnya, basil tuberculosis akan membentuk suatu focus infeksi
primer berupa tempat pembiakan basil tuberculosis tersebut dan tubuh penderita akan
memberikan reaksi inflamasi. Setelah itu infeksi tersebut akan menyebar melalui sirkulasi,
yang pertama terangsang adalah limfokinase yaitu akan dibentuk lebih banyak untuk
merangsang macrofage, sehingga berkurang atau tidaknya jumlah kuman tergantung pada
jumlah macrophage. Karena fungsi dari macrofage adalah membunuh kuman atau basil
apabila prosesini berhasil dan macrofage lebih banyak maka klien akan sembuh dan daya
tahan tubuhnya akan meningkat.
Apabila kekebalan tubuhnya menurun pada saat itu maka kuman tersebut akan
bersarang di dalam jaringan paruparu dengan membentuk tuberkel (biji-biji kecil sebesar
kepala jarum). Tuberkel lama-kelamaan akan bertambah besar dan bergabung menjadi
satu dan lama-lama akan timbul perkejuan di tempat tersebut. Apabila jaringan yang
nekrosis tersebut dikeluarkan saat penderita batuk yang menyebabkan pembuluh darah
pecah, maka klien akan batuk darah (hemaptoe). (Djojodibroto, 2014).
Virus masuk pada jaringan alveolus melalui saluran pernafasan. Basil tersebut
dapat membangkitkan reaksi peradangan secara langsung. Bakteri tidak 11 membunuh
dinamakan Leukosit memfagosit, leukosit tergantikan oleh makrofag setelah hari pertama.
Alveolus yang sudah terinfeksi akan mengalami konsolidasi. Kemudian makrofag
mengadakan infiltrasi dapat menyatu menjadi sel-sel tuberkel epiteloid. Jaringan
kemudian mengalami necrose ceseosa dan jaringan granulasi akan menjadi fibrosa
berlebih kemudian terbentuklah jaringan seperti parutan kolagenosa, respon peradangan
lainnya terjadi melepasnya bahan tuberkel ke-trakeobronkiale kemudian terjadinya
penumpukan sekret. TB sekunder ada apabila bakteri dengan dorman aktif lagi jika imun
penderita menurun (Guyton & Hall, 2016).
Pathway TBC
Mycobacterium Tuberculosis paru

Alveolus

Respon geram

Leukosit Memfagosit Meriang Pencopotan Benih Tuberkel


Bacteri Dari Benteng\ Kavitas

Leukosit Digantikan
Trakeobronkial
Oleh Makrofag
Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Napas PenimbunanSekret
Makrofag mengadakan
Infiltrasi

Terbentuk Sel tuberkel Batuk Anoreksia, mual, muntah,


epiteloid

Gangguan
Nekrosis Kaseosa Nyeri Keseimbangan Nutrisi
Kurang Dari Kebutuhan

Jaringan Parut Kolagenosa

Kerusakan Membran Alveolar Sesak Napas Gangguan Pola Tidur

Gangguan
Pertukaran Gas Inadekuat O2 beraktivitas Intoleransi aktivitas

(Amin & Hardhi, 2016)


2.7 Prognosis
Resolusi penuh umunya diharapkan dalam kasus-kasus non-MDR- dan non-XDR-
TB, ketika pengobatan dengan anti TB telah selesai. Dari penelitian-penelitian yang
diterbitkan melalui DOT sebagai strategi pengobatan TB, tingkat kekambuhan berkisar 0-
14%. Di negara-negara dengan tingkat TB yang rendah, kekambuhan biasanya terjadi
dalam waktu 12 bulan setelah pengobatan TB selesai. Di negara-negara sengan tingkat TB
yang tinggi, sebagian besar kambuh setelah pengobatanyang tepat, yang terjadi lebih
banyak adalah kasus reinfeksi daripada kasus kekambuhan.
Prognosis yang buruk ditandai dengan adanya keterlibatan TB ekstrapulmoner,
pada orang tua dan riwayat pengobatan sebelumnya yang buruk, untuk kasus dengan
resistensi obat, pasien dengan risestensi hanya rifansipin saja mempunyai prognosisyang
lebih baik daripada kasus MDR-TB tetapi mempunyai resiko yang lebih tinggi terjadi
kegagalan pengobatan.
2.8 Komplikasi
Komplikasi tuberkulosis meliputi :
1) Nyeri tulang belakang.
Nyeri punggung dan kekakuan adalah komplikasi tuberkulosis yang umum.
2) Kerusakan sendi.
Atritis tuberkulosis biasanya menyerang pinggul dan lutut.
3) Infeksi pada meningen ( maningitis)
Hal ini dapat menyebabkan sakit kepala yang berlangsung lama atau intermiten
yang terjadi selama berminggu-minggu.
4) Masalah hati atau ginjal
Hati dan ginjal berfungsi menyaring limbah dan kotoran dari aliran darah, hal ini
akan terganggu jika hati dan ginjal terkena tuberkulosis.
5) Gangguan jantung
Tuberkulosis dapat mengidentifikasi jaringan yang mengelilingi jantung,
menyebabkan pembengkakan kemampuan jantung untuk memompa secara efektif
(puspasari, 2019)
2.9 Penatalaksanaan Medis
Pencegahan penyakit Tuberkulosis Paru Banyak hal yang bisa dilakukan untuk
mencegah terjangkitnya penyakit tuberculosis paru. Pencegahan-pencegahan berikut dapat
dilakukan oleh penderitaa, masyarakat, maupun petuhas kesehatan (Naga, 2014) :
a. Bagi penderita, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan menutup mulut saat
batuk, dan membuang dahak tidak sembarangan tempat.
b. Bagi masyarakat, pencegahan penularan dapat dilakukan dengan meningkatkan
ketahanan terhadap bayi yaitu dengan memberikan vaksinasi BCG.
c. Bagi petugas kesehatan, pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
penyuluhan tentang penyakit tuberculosis, yang meliputi gejala, bahaya dan akibat
yang ditimbulkannya terhadap kehidupan masyarakat pada umumnya.
d. Petugas kesehatan juga harus melaukan pengisolasian dan pemeriksaan terhadap
orang-orang yang terinfeksi, atau dengan memberikan pengobatan khusus kepada
penderita tuberculosis ini. Pengobatan dengan cara menginap di rumah sakit hanya
dilakukan oleh penderita dengan katagori berat dan memerlukan 17 pengembangan
program pengobatannya, sehingga tidak dikehendaki pengobatan jalan.
e. Pencegahan penularan juga dapat dicegah dengan melakukan desinfeksi, seperti
cuci tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatiah khusus terhadapmuntahan atau
ludah anggota keluarga yang terjangkit penyakit tuberculosis (piring, tempat tidur,
pakaian) dan menyediakan ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.
f. Melakukan imunisasi pada orang-orang yang melakukan kontak langsung dengan
penderita, seperti keluarga perawat, dokter, petugas kesehatan dan orang lain yang
terindikasi, dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
g. Melakukan penyelidikan terhadap orang-orang yang terindikasi. Perlu dilakukan
Tes Tuberkulin bagi seluruh anggota keluarga. Apabila cara ini menunjukkan hasil
negative, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan delama 3 bulan dan perlu
penyelidikan intensif.
h. Dilakukan pengobatan khusus. Pada penderita dengan TBC aktif diperlukan
pengobatan yang tepat, yaitu obat-obatan kombinasi yang telah ditetapkan oleh
dokter untuk diminum dengan tekun dan teratur, selama 6-12 bulan. Perlu
diwaspadai adanya resisten terhadap obat-obat, maka dilakukan pemeriksaan
penyelidikan oleh dokter.
Pengobatan Tuberkulosis Paru
a. Farmakologi
1) Tujuan Pengobatan Tuberkulosis
Tujuan pengobatan pada penderita Tuberkulosis paru selain untuk
menyembuhkan atau mengobati penderita juga dapat mencegah kematian,
mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan
mata rantai penularan. Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan
dalam bentuk paket yaitu dengan tujuan untuk memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu paket obat untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan. Kombinasi
Dosis Tetap (KDT) mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan
TBC yaitu (Departemen Kesehatan, 2011):
a) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b) Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan
penulisan resep.
c) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.
2) Obat-obat anti Tuberkulois
a) Obat-obat primer
Obat-obatan ini paling efektif dan paling rendah toksisitasnya,
tetapi dapat menimbulkan resistensi dengan cepat bila digunakan
sebagai obat tunggal. Oleh karena itu, terapi ini selalu dilakukan
dengan kombinasi dari 2-4 macam obat untuk kuman tuberculosis
yang sensitif. Berikut obat anti tuberculosis yang termasuk obat-
obat primer adalah (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia (BPOM RI), 2017) :
(1) Isoniazid Isoniazid (INH) merupakan devirat asam
isonikotinat yang berkhasiat untuk obat tuberculosis yang
paling kuat terhadap Mycobacterium tuberculosis (dalam
fase istirahat) dan bersifat bakterisid terhadap basil yang
tumbuh pesat. Efek samping dari isoniazid adalah mual,
muntah, demam, hiperglikemia, dan neuritis optic.
(2) Rifampisin Rifampisin adalah sebuah golongan obat
antibiotic yang banyak dipakai untuk menanggulangi
infeksi Mycobacterium tuberculosis. Rifampisin
menghambat pertumbuhan bakteri dengan menghambat
sistesis protein terutama pada tahap transkripsi. Efek
samping dari rifampisin adalah gangguang saluran cerna,
terjadi gangguan sindrim influenza, gangguan respirasi,
warna kemerahan pada urine, dan udem.
(3) Pirazinamid Pirazinamid adalah obat antibiotic yang
digunakan untuk mengobati infeksi bakteri Tuberkulosis
dan bekerja dengan menghentikan pertumbuhan bakteri.
Indikasi dari pirazinamid adalah tuberkulsis dalam
kombinasi dengan obat lain. Efek samping dari
pirazinamid adalah anoreksia, icterus, anemia, mual,
muntah, dan gagal hati.
(4) Etambutol Etambutol adalah obat antibiotic yang dapat
mencegah pertumbuhan bakteri tuberculosis di dalam
tubuh. Indikasi dari etabutanol adalah tuberculosis dalam
kombinasi dengan obat lain. Efek samping penurunan
tajam penglihatan pada kedua mata, penurunan terhadap
kontras sensitivitas warna serta gangguan lapang pandang.
(5) Streptomisin Streptomisin adalah antibiotic yang dihasilkan
oleh jamur tanah disebut Streptomyces griseus yang dapat
digunakan untuk mengatasi sejumlah infeksi seperti
tuberculosis untuk menghambat pertumbuhan mikroba.
Saat ini streptomisin semakin jarang digunakan kecuali
untuk kasus resistensi. Efek samping dari streptomisin
adalah gangguang fungsi ginjal, gangguan pendengaran,
dan kemerahan pada kulit.
(6) Obat-obat sekunder Obat-obatan sekunder diberikan untuk
tuberculosis yang disebabkan oleh kuman yang resisten
atau bila obat primer menimbulkan efek samping yang
tidak dapat ditoleransi. Berikut yang termasuk obat
sekunder adalah kaproemisin, sikliserin, macrolide
generasi baru (asotromisin dan klaritromisin), quinolone
dan protionamid.
3) Pengobatan tuberculosis diberikan dalam 2 tahap, yaitu :
1) Tahap intensif (2-3 bulan)
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapatkan obat setiap
hari dan diawasi langsung unutuk mencegah terjadinya kekebalan
terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita yang
menularkan penyakit menjadi tidak menularkan penyakit dalam
kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar penderita Tuberkulosis BTA positif menjadi
BTA negative (konversi) pada akhir pengobatan intensif.
Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk
mencegah terjadinya kekebalan obat.
2) Tahap lanjutan (4-7 bulan)
Pada tahap lanjutan penderita mendapatkan jenis obat lebih
sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
ini penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga
dapat mencegah terjadinya kekambuhan. Panduan obat yang
digunakan terdiri dari obat utama dan obat tambahan. Jenis obat
utama yang digunakan sesuai dengan rekomendasi WHO adalah
Rifampisipn, INH, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol.
Sedangkan jenis obat tambahan adalah Kanamisin, Kuinolon,
Makrolode, dan Amoksisilin + Asan Klavulanat, derivate
Rifampisin/INH.
2.10 Asuhan Kperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Taylor & Ralph (2013;409) Pengkajian merupakan tahap awal dalam proses
keperawatan di mana riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik yang lengkap di
lakukan. Pengkajian merupakan tahap pertama dan utama yang sangat menentukan
keberhasilan tahapan proses keperawatan selanjutnya.
1) Identitas klien
a. Identitas klienMeliputi :
Nama, umur, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, pekerjaan,
suku/bangsa, agama, status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit (MRS),
nomor register, dan diagnosa medik.
b. Identitas Penanggung Jawab
Meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, serta status
hubungan dengan pasien
2) Keluhan utama
Keluhan yang dapat muncul antara lain: Sesak napas, Batuk berdarah, demam.
3) Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian yang mendukung keluhan utama dengan memberikan pertanyaan
tentang kronologi keluhan utama. Keluhan lain yang menyerta biasanya : batuk
berdahak, perubahan suhu tubuh, lemas, muntah, nyeri dada, sesak napas
4) Riwayat penyakit dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit TBC, penyakit jantung, penyakit ginjal,
stroke. Penting untuk mengkaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa
lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat.
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji didalam keluarga adanya riwayat penyakit TBC,penyakit metabolik,
penyakit menular seperi, HIV, infeksisaluran kemih, dan penyakit menurun
seperti diabetes militus, asma, .dan lain-lain
6) Pengkajian berdasarkan NANDA (Amin & Hardhi, 2016)
a. Promosi kesehatan
a) Mengetahui arti sehat sakit menurut klien TB.
b) Menanyakan kebijaksanaan tentang status kesehatan klien sekarang.
c) Pertahanan kesehatan: mengadakan program scrining, membuat acara
berkunjung kepusat layanan kesehatan, melakukan diet, olahraga,
mengkaji tata laksana stres, mengetahui masalah perdagangan.
d) Memeriksakan diri sendiri: riwayat kesehatan keluarga, penyembuhan
yang sudah pernah dijalankan.
e) Perilaku pasien dalam melampaui problem kesehatannya.
f) Data penelitian fisik pasien yang bersangkutan.
b. Pemeriksaan status nutrisi
a) Kerutinan makan pasien
b) Jenis makanan dan minuman apakah jumlahnya mencukupi.
c) Pola makan pasien 3 hari terakhir/24 jam terakhir, berat porsi yang
diamblaskan, bagaimana nafsu makannya.
d) BB pasien apakah normal
e) Persepsi pasien berdasarkan kebutuhan metabolik
f) Faktor pencernaan:nafsu makan pasien, ketidaknyamanan pasien
seharihari, rasa dan bau, kebersihan gigi, kebersihan mukosa mulut,
keadaan mualmuntah, hambatan makanan pasien, ada riwayat alergi
makanan.
g) Data pengkajian fisik pasien yang bersangkutan (BB saat ini dan
SMRS).
c. Eliminasi dan pertukaran
a) Pola kerutinanBAK: dari frekuensi, jumlah urine/(cc), warna, bau,
nyeri saat BAK, mokturia, kemampuan pasien mengontrol BAK,
adanya perubahan lain.
b) Pola kebiasaan BAB: dari frekuensi feses, jumlah/(cc), warna feses,
bau, nyeri saat kontraksi feses, kemampuan pasien mengontrol BAB,
adanya perubahan lain.
c) Keyakinan pasien tentang budaya dan kesehatan.
d) Kemampuan pasien dalam merawat diri: bagaimana ke kamar mandi
untuk menjaga kebersihan diri.
e) Saat ekskresi perlu bantuan
f) Lakukan pengkajian fisik yang bersangkutan dengan(alat pencernaan,
genetalian, rectum/anus, jaringan prostatt)
d. Mengkaji aktivitas istirahat pasien
a) Tentang aktivitas dari pola hidup pasien sehari-harinya.
b) Rutunitas gerak badan kecil: dinilai dari tipe, gelombang, periode, dan
inetensitas.
c) Kegiatan yang melegakan bagi pasien
d) Keteguhan pasien tentang latihan olahraga & pentingnya kesehatan
gerak badan.
e) Kesanggupan pasien dalam mengurus dirinya sendiri (berpenampilan
rapi, rutin mandi,makan bergizi, kebersihan toilet rumah).
f) Melatih mandiri, tidak ketergantungan pada orang sekitar.
g) Penerapan alat bantu jalan (kruk dan kaki tiga).
h) Data pengkajian fisik pasien seperti: pola nafas, detak jantung, alat
gerak, neurologi.
i) Kerutinan pasien memenuhi pola tidur sehari-hari (jumlah lamanya
istirahat, waktu istirahat hingga terbangun, ritual saat istirahat,
lingkungan saat istirahat, tingkat kebugaran setelah istirahat)
j) Adakah alat untuk memudahkan proses tidur seperti obat-obatan.
k) Jadwal istirahat tidur dan relaksasi.
l) Indikasi adanya provokasi polatidur.
m) Faktor yang bersinggungan dengan (nyeri, suhu, proses penuaan dll)
n) Mengkaji pengkajian fisik tentang (lesu, kantung mata, KU,
mengantuk)
e. Persepsi/kognisi pasien
a) Bayangan pasien mengenai indra privat seperti pandangan,
penciuman, pendengaran, perasa, peraba.
b) Pelaksanaan tidak nyaman akibat nyeri(pengkajian nyeri secara
komprehensif)
c) Kepercayaan tentang pikiran terhadap nyeri.
d) Mengkaji tingkat pengetahuan pasien terhadap nyeri & pengetahuan
bagaimana memeriksa atau melewati nyerinya.
e) Data pengkajian fisikyang berhubungan neurologis dan rasa tidak
nyaman.
f. Mengkaji persepsi diri pasien
a) Kondisi lingkungan sosial seperti kesibukan, situasi keluarganya, dan
kelompok sosial dilingkungan.
b) Nama personal: pasien menjelaskan dirinya sendiri,
kekuatan,kelemahan yang ia miliki.
c) Kondisi fisik pasien, semua yang bersangkutan dengan tubuhnya
(yang ia sukai dan tidak disukai).
d) Harga diri: perasaan pasien mengenai dirinya sendiri.
e) Bahaya terhadap konsep diri seperti sakit, perubahan peran.
f) Riwayat berkaitan dengan faktor tentang fisik dan pengetauan
psikologi.
g) Data pemeriksaan fisik pasien tentang mengurung diri, murung, tidak
mau berintaksi dengan orang lain.
g. Hubungan tentang peran
a) Bayangan yang bersangkutan degan keluarga, teman, pekerjaan
b) Kesenangan atau ketidak puasaan dalam meneruskan peran
c) Efek pada pasien mengenai status kesehatan
d) Petingnya hubungan keluarganya
e) Konstruksi serta dukungan dari keluarga.
f) Proses pengumutan suatu keputusan dari keluarga.
g) Pola bagaimana cara mengurus anak
h) Ikatan pasien terhadap orang lain disekitarnya
i) Orang yang terdekat dengan pasien
j) Data pengkajian fisik yang berkaitan dengan pasien
h. Kebutuhan tentang seksualitas
a) Faktor seksual atau perhatian dari keluarga
b) Masa dating bulan, jumlah anak, jumlah suami/istri
c) Pengetahuan terhadap perilaku seksual (perilaku seksual yang aman,
pelukan, sentuhan, dll)
d) Pemahaman pasien yang berkaitan dengan seksualitas atau reproduksi
e) Efek terhadap kesehatan pasien
f) Riwayat pasien yang bersangkutan tentang masalah fisik atau
psikologi
g) Data dari pengkajian fisik seperti (KU, genetalia, payudara, rektum)
i. Pengkajian toleransi stress
a) Faktor resiko stress yang dialami pasien terakhir kali
b) Ketingkatan stress yang dialami pasien
c) Bayangan normal dan khusus mengenai respon stress
d) Rencana untuk mengatasi stress digunakan keefektifannya.
e) Mengguanakan rencana koping
f) Pemakaian teknik tata laksana stress
g) Hubungan tata pelaksanaan stressdengan keluarga.
j. Penataan prinsip hidup
a) Bagaimana latar belakang pemikiran/etnik pasien
b) Mengetahui status keuangan atau perilaku kesehatan pasien terhadap
kelompok budaya/etnik
c) Sasaran pasien memilih jalan hidup
d) Gunanya agama/spiritualitas menurut pasien
e) Dampak kesehatan pasien terhadap spiritualitas
f) Kepercayaan terhadap budaya seperti mitos,keyakinan,larangan,adat,
yang dapat mengakibatkan status kesehatan pasien

k. Keamanan dan perlindungan


a) Dapat terjadi infeksi pada pasien
b) Cidera fisik
c) Perilaku kekerasan terhadap pasien
d) Bahayalingkungan sekitar
e) Proses pasien dalam pertahanan system tubuh
f) Temoregulasii
l. Domain tentang rasa nyaman
a) Nyaman mulai dari fisik, lingkungan hingga sosialpasien
m. Pertumbuhan dan Perkembangan
a) Pertambuhan dan juga perubahanpasien
7) Pemeriksaan fisik
a. Keadaaan umum
Pemeriksaan pada pasien dengan tuberkulosis pada parudapat
dilakukan secara umum memonten keadaan fisik disetiap badan pasien
untuk mengatahui kondisi pasien secara umum. Kemudian perlu juga
menilai tingkat kesadaran pasien yang terdiri dari composmentis, apatis,
somnolen, isopor, soporokoma, atau koma. Hasil pengkajian TTV pada
penderita tuberkulosis paru ditemukan adanya kenaikan suhu tubuh secara
cepat, dan frekuensi nafas menjadi naik jika disertai sesak saat bernafas,
denyut nadinya mungkin saja naik seirama dengan kenaikan dari suhu
badan dan frekuensi pernafasan atau TD biasanya sesuai apabila
mempunyai penyakit bawaan seperti hipertensi. (Margareth TH, 2015).
b. Pemeriksaan head to toe.
a) Pemeriksaan kulit kepala
Tujuan :Supaya memahami kondisi turgor kulit dan permukaan kulit
pada kepala, serta mengidentifikasi adanya luka atau lesi
 Inspeksi :Memeriksa adakah luka, bengkak, dan karakteristik
rambut termasuk warna serta apakah ada kerontokan rambut
 Palpasi :Meraba kulit kepada untuk memahami modisi turgor
kulit pada kepala, permukaan dan suhu kulit
b) Pemeriksaan Rambut
Tujuan :Melihat warna, percabangan & tekstur rambut guna
mengidentifikasi kekuatan rambut dan kebersihan rambut
 Inspeksi :Lihat kerataan rambut, kotor dan bercabang atau tidak.
 Palpasi : Gampang rontok/tidak, tektur kasar/halus.
c) Pemeriksaan wajah
Tujuan :Mengidentifikasi fungsi dan bentuk kepala, serta menlihat
kelainan dan luka pada kepala
 Inspeksi :Mengetahui kesimetrisan bentuk wajah pasien, jika
terjadi perbedaan antara wajah kiri dengan kanan atau misal
lebih condong ke salah satu sisi, itu menandakan terdapat
kelumpusan otot saraf.
 Palpasi :Mengidentifikasi adanya luka, respon nyeri dan
kelainan pada bagian kepala berdasarkan keinginan.
d) Pemeriksaan Mata
Tujuan :Memahami fungsi &bentuk mata (lapang pandangan, visus
& otot-otot pada mata), serta juga untuk melihat adanya kelainan
penglihatan.
 Inspeksi : Untuk mengetahui kelopak mata terdapat
lubang/tidak, reflek kedip mata, sclera dan konjungtiva
merah/konjungtivitis, ikterik atau indikasii hiperbilirubin atau
terjadi kelainan pada hati, pupil: isokor, miosis/medriasis.
 Palpasi :Untuk memahami tekanan intra okuler dengan cara
tekan secara ringan kornea mata, jika terasa keras, biasanya
pasien mengalami glaucoma atau rusaknya dikus optikus) serta
kaji adanya nyeri tekan.
e) Pemeriksaan Hidung
Tujuan :Mengetahui fungsi dan bentuk hidung, serta melihat adanya
sinusitis atau inflamasi
 Inspeksi :Melihat bentuk hidung apakah simetris, apa ada
inflamasi, secret, serta pernafasan cuping hidung.
 Palpasi :Mengetahui nyeri tekan atau massa.
f) Pemeriksaan Telinga
Tujuan :Mengidentifikasi kedalaman telinga dari luar, saluran telinga
dan gendang telinga.
 Inspeksi :Melihat bentuk kedua daun telinga simetris atau tidak,
warna, ukuran, kebersihan serta lesi.
 Palpasi :Mengetahui respon nyeri pada telinga, merasakan
lenturnya kartilago
g) Pemeriksaan Mulut dan faring
Tujuan :Mengidentifikasi bentuk, kelainan dan kebersihan pada
mulut.
 Inspeksi :Mengamati bibir apakah ada kelainan congenital (bibir
sumbing) warna, apakah simetris, apakah lembab, ada bengkak,
luka, amati bentuk dan jumlah gigi, warna plak dan lubang serta
kecerahan gigi.
 Palpasi :Melihat apakah ada massa, tumor, bengkak atau nyeri
dengan cara pegang dan tekan darah pipi
h) Pemeriksaan Leher
Tujuan :Untuk mengetahui struktur, bentuk integritas leher, bentuk,
pembesaran kelenjar limfa dan organ yang berkaitan
 Inspeksi :Melihat mbentuk, warna kulit, jejaring parut,
mengamati pembesaran kelenjar tiroid, amati bentuk leher
apakah ada kelainan atau tidak.
 Palpasi :Melihat apakah ada pembesaran kelenjar tiroid dengan
cara meraba leher klien, intruksikan pasien menelan dan
merasakan adanya massa atau pembesaran pada kelenjar tyroid.
i) Pemeriksaan Dada
Tujuan :Mengidentifikasi bentuk dada, frekuensi nafas, irama nafas,
sakit saat ditekan dan massa, serta dengarkan suara paru.
 Inspeksi :Melihat bentuk dada dada kanan & kiri, lihat danya
retraksi interkosta dan lihat gerakan paru.
 Palpasi : Mendeteksi rasa sakit saat tekan dan massa pada dada
 Perkusi : Guna memastikan batas normal paru.
 Auskultasi : Memahami bunyi nafas, vesikuler, wheezing atau
crecles.
j) Pemeriksaan Abdomen
Tujuan :Mengidentifikasi bentuk dan pergerakan perut, dengarkan
bunyi peristaltik usus, respon nyeri saat ditekan pada organ
abdomen.
 Inspeksi :Melihat bentuk perut secara umum, warna kulit,
retraksi, massa, apakah bentuk simetris, dan apakah ada ascites.
 Palpasi : Mengidentifikasi massa dan reflek sakit saat ditekan.
 Auskultasi : Mendengarkan bising usus pasien, dengan nilai
normal 10–12x/menit.
k) Pemeriksaan Muskuloskeletal
Tujuan :Mengidentifikasi mobilisasi pasien, kekekaran otot &
kelainan pada pergerakan pasien
 Inspeksi :Melihat bentuk atau adanya kelainan pada ekstremitas,
cek kekekaran otot dengan diberikan penahan pada anggota
gerak atas & bawah
l) Pemeriksaan Kuku
Tujuan :Mengidentifikasi keadaan kuku, jenjang dan warna untuk
memahami kapiler refill time.
 Inspeksi :Mengetahui kondisi capilarry refill time pada kuku
pasien seperti warna biru menandakan sianosis, merah
menandakan lonjakan visibilitas Hb, susunan menandakan
clubbing sebab hypoxia biasanya pada penderita kanker paru.
 Palpasi :Mengetahui reflek sakit saat ditekan, hitung jumlah
detik kapiler refil (pada pasien hypoxia lamban 5-15 detik).
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yaitu suatu pertimbangan klinis yang didapat dari
responden manusia mengenai hambatan kesehatan atau prosedur kehidupan, dan
kerumitan respon dari individu, keluarga, sekelompok, atau kumpulan komunitas
(NANDA, 2018). Diagnosa yang bisa jadi muncul pada klien tuberkulosis paru,yaitu:
1) Ketidakefektifan bersihan pada jalan nafas berhubungan dengan sekresi
mukus/sekret yang kental.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan membran alveolar
kapiler.
3) Ketidak seimbangan nutrisi berhubungan dengan peningkatan metabolisme
tubuh.
4) Gangguan pola tidur berhubungan dengan faktor batuk, sesak nafas, dan nyeri
dada.
5) Intoleran aktivitas berhubungan dengan keletihan karena keadaan fisik yang
lemah.
3. Intervensi Keperawatan
TUJUAN DAN KRITERIA
DIAGNOSA HASIL INTERVENSI
Ketidakefektifan Setelah dilakukan intervensi Latihan Batuk Efektif (I.01006)
bersihan jalan napas keperawatan, diharapkan
keluarga mampu merawat Observasi
keluarga yang sakit dengan
kriteria hasil: 1. Identifikasi kemampuan batuk
2. Monitor adanya retensi sputum
1. Pasien mampu 3. Monitor tanda dan gejala infeksi saluran
melakukan batuk efektif napas
dengan baik 4. Monitor input dan output cairan ( mis.
2. Produksi spuntum jumlah dan karakteristik)
menurun
3. Mengi menurun Terapeutik
4. Frekuensi napas
membaik 1. Atur posisi semi-Fowler atau Fowler
5. Pola napas membaik 2. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan
pasien
3. Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif


2. Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung
selama 4 detik, ditahan selama 2 detik,
kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
3. Anjurkan mengulangi tarik napas dalam
hingga 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah
tarik napas dalam yang ke-3

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian mukolitik atau


ekspektoran, jika perlu

Manajemen Jalan Nafas (I. 01011)

Observasi

1. Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman,


usaha napas)
2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
Gurgling, mengi, weezing, ronkhi kering)
3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)

Terapeutik

1. Pertahankan kepatenan jalan napas dengan


head-tilt dan chin-lift (jaw-thrust jika curiga
trauma cervical)
2. Posisikan semi-Fowler atau Fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
5. Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15
detik
6. Lakukan hiperoksigenasi sebelum
7. Penghisapan endotrakeal
8. Keluarkan sumbatan benda padat dengan
forsepMcGill
9. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi

1. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika


tidak kontraindikasi.
2. Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi

1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,


ekspektoran, mukolitik, jika perlu.

Gangguan pertukaran Setelah dilakukan intervensi Pemantauan Respirasi


gas
keperawatan, diharapkan Observasi:
keluarga mampu merawat
1. Monitor pola nafas, monitor saturasi oksigen
keluarga yang sakit dengan 2. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
kriteria hasil: upaya napas
3. Monitor adanya sumbatan jalan nafas
1. Pusing menurun
2. Penglihatan kabur Terapeutik
menurun
1. Atur Interval pemantauan respirasi sesuai
3. Gelisah menurun kondisi pasien
4. Pola napas membaik
Edukasi
5. Warna kulit membaik
1. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
6. Diaforesis menurun
2. Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Terapi Oksigen

Observasi:

1. Monitor kecepatan aliran oksigen


2. Monitor posisi alat terapi oksigen
3. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
4. Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen

Terapeutik:

1. Bersihkan sekret pada mulut, hidung dan


trakea, jika perlu
2. Pertahankan kepatenan jalan napas
3. Berikan oksigen jika perlu

Edukasi
1. Ajarkan keluarga cara menggunakan O2 di
rumah

Kolaborasi

1. Kolaborasi penentuan dosis oksigen

Ketidakseimbangan Setelah dilakukan intervensi Manajemen nutrisi


nutrisi
keperawatan, diharapkan Observasi
keluarga mampu merawat 1. Identifikasi status nutrisi
keluarga yang sakit dengan 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
kriteria hasil: 3. Identifikasi makanan yang disukai
1. Mempertahankan berat 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
badan dalam batas
nutrien
normal.
2. Klien mampu 5. Identifikasi perlunya penggunaan selang
menghabiskan ½ porsi
nasogastrik
makanan yang disediakan
3. Klien mengalami 6. Monitor asupan makanan
peningkatan nafsu makan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika
perlu
2. Fasilitasi menentukan pedoman diet
3. Sajikan makanan secara menarik dengan
suhu yang sesuai
4. Berikan makanan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
protein
6. Berikan suplemen makanan, jika perlu
7. Hentikan pemberian makan melalui selang
nasogastrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum
makan
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis nutrien
yang dibutuhkan, jika perlu

Gangguan pola tidur Setelah dilakukan intervensi Dukungan Tidur


keperawatan, diharapkan Observasi
keluarga mampu merawat 1. Identifikasi pola istirahat dan tidur
keluarga yang sakit dengan 2. Identifikasi faktor pengganggu tidur
kriteria hasil: 3. Identifikasi makanan atau minuman yang
1. Keluhan sulit tidur mengganggu tidur
menurun 4. Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
2. Keluhan tidak puas tidur Terapeutik
menurun 1. Modifikasi lingkungan
3. Keluhan pola tidur 2. Fasilitasi menghilangkan stress sebelum
berubah tidur
4. Keluhan istirahat tidak 3. Tetapkan jadwal tidur rutin
cukup 4. Lakukan prosedur untuk meningkatkan
5. Kemampuan beraktivitas kenyamanan
meningkat 5. Sesuaikan jadwal pemberian obat dan atau
tindakan yang menunjang siklus tidur-
terjaga.
Edukasi
1. Jelaskan pentingnya tidur cukup selama
sakit
2. Anjurkan menempati kebiasaaan waktu
tidur
3. Anjurakan menghindari makanan/minuman
yang mengganggu tidur
4. Anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak
mengandung supresor terhadapa tidur REM
5. Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap gangguan pola tidur
6. Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara
nonfarmakologi lainnya.

Edukasi aktivitas/istirahat
Observasi
1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan
menerima informasi
Terapeutik
1. Sediakan materi dan media pengaturan
aktivitas dan istirahat
2. Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan
sesuai kesepatakan
3. Berikan kesempatan pada pasien dan
keluarga untuk bertanya
Edukasi
1. Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas
fisik/ olahraga secara rutin
2. Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok,
aktivitas bermain atau aktivitas lainnya
3. Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan
istirahat
4. Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhsn
istirahat
5. Ajarakn cara mengidentifikasi target dan
jenis aktivitas sesuai kemampuan

Intoleran aktivitas Setelah dilakukan intervensi Manajemen energi


keperawatan, diharapkan Observasi
keluarga mampu merawat 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang
keluarga yang sakit dengan mengakibatkan kelelahan
kriteria hasil : 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
1. Frekuensi nadi meningkat 3. Monitor pola dan jam tidur
2. Kekuatan tubuh bagian 4. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
atas meningkat selama melakukan aktivitas
3. Kekuatan tubuh bagian Terapeutik
bawah meningkat 1. Sediakan lingkungan nyaman dan rendah
4. Kecepatan berjalan stimulus
meningkat 2. Lakukan latihan rentang gerak pasif dan/
5. Keluhan lelah menurun atau aktif
6. Perasaan lemah menurun 3. Berikan aktiviitas distraksi yang
7. Tekanan darah membaik menenangkan
8. Frekuensi napas 4. Fasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika
membaik tidak dapat berpindah atau berjalan
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan akrivitas secara
bertahap
3. Anjurkan menhubungi perawat jika tanda
dan gejala kelelahan tidak berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
kelelahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan.

4. Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu proses dimana kita melihat tujuan tercapai atau tidak.
Hasil yang diharapkan meliputi:
1) Mempertahankan jalan napas paten dengan mengatasi sekresi menggunakan
humidfikasi, masukan cairan, latihan batuk, dan drainase postural. Mengeluarkan
sekret tanpa bantuan, berpartisipasi dalam program pengobatan.
2) Menunjukan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan
GDAdalam rentang normal. Bebas dari gejala distress pernapasan.
3) Mampu mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko
penyebaran infeksi misalnya mengenakan masker. Menunjukan teknik atau
melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.
4) Menunjukan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratorium
normal dan bebas dari tanda malnutrisi. Melakukan perubahn perilaku untuk
meningkatkan nutrisi yang tepat.
5) Mampu menurunkan suhu tubuh yang normal.
6) Menunjukan tingkat pengetahuan yang adekuat :
a) Menyebutkan obat dengan namanya dan jadwal yang tepat untuk
meminumnya
b) Melakukan perubahan pola hidup untuk memperbaiki kesehatan
umum dan menurunkan resiki pengaktifan ulang TB.
c) Menggambarkan rencana untuk menerima perawatan yang adekuat
DAFTAR PUSTAKA

Amin, & Hardhi. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan Diagnosa Nanda, Nic,
Noc Dalam Berbagai Kasus. Yogyakarta: MediAction
Angelina, B. (2016). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah (5th ed.). Jakarta: EGC.
Brunner, & Suddarth. (2016). Bku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Guyton, & Hall. (2016). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Singapore: Elsevie
Inayah, S., & Wahyono, B. (2018). Penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan Strategi DOTS
Samhatul. 2(2), 331–341.
Manurung, N. (2018). Keperawatan Medikal Bedah Konsep, Mind Mapping dan NANDA NIC NOC.
Jakarta: TIM.
Margareth TH, M. C. R. (2015). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit Dalam. Yogyakarta:
Nuha Medika
Naga, S. (2012). Ilmu Penyakit Dalam. Yoyjakarta: DIVA press NANDA. (2018).
NANDA. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2018-2020 (11th ed.).
Jakarta: EGC.
Rathauser, Jon., Yoeli, Eres., Bhanot, Syon., Kimenye, Mailu, Masini and Owiti, Philip. (2019).
Digital Health Support in Treatment for Tuberculosis. The New England
Journal Of Medicine. N ENGL J MED 381;10
WHO. (2019). Global Tuberculosis Report. Geneva: WHO
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016), Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), 
Edisi 1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, (2018), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI),  Edisi 1,
Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, (2018), Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI),  Edisi
1, Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia

Anda mungkin juga menyukai