Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN KEDOKTERAN KELUARGA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER 2018


UNIVERSITAS HALU OLEO

UPAYA PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGAPADA PASIEN


DENGAN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS KANDAI

Oleh:
Ade Ratna Dewi, S. Ked
K1A1 14 082

Pembimbing:
dr. Juriadi Paddo, M.Kes.

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DAN KEDOKTERAN KOMUNITAS
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : Ade Ratna Dewi (K1A1 14 002)


Judul Laporan : Upaya Pendekatan Kedokteran Keluarga pada Pasien dengan
Tuberkulosis Paru di Puskesmas Kandai

Telah menyelesaikan tugas laporan dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian
Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo.

Kendari, November 2018

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Juriadi Paddo, M. Kes


NIP. 19660303 200212 1 006
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB), yang merupakan suatu penyakit infeksi kronik
menular oleh karena Mycobacterium tuberculosis (MTB) (Amin, 2006), masih
menjadi masalah utama kesehatan di Indonesia dan sebagian besar negara-
negara di dunia (GTNP TB, 2007). Pada tahun 1992 World Health
Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global
Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta
kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA
(Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di
Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat
dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika
hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000
pendduduk. Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari
dan 2 - 3 juta setiap tahun (Amin, 2006).
Laporan kasus TB di dunia oleh WHO tahun 2006, masih
menempatkan Indonesia sebagai penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia
setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah
kematian sekitar 101.000 pertahun. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1995, menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan
merupakan nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi.
Penting bagi kita untuk memahami lebih lanjut karena tuberkulosis paru
termasuk dalam kasus dengan area kompetensi empat, dimana dokter umum
atau dokter pada tingkat layanan primer harus mampu membuat diagnosa
klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan serta mampu
memutuskan dan menangani kasus tersebut secara mandiri hingga tuntas.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat kasus
ini sebagai pembelajaran dalam upaya pendekatan kedokteran keluarga yang
bersifat holistik, komprehensif, terpadu dan berkesinambungan terhadap
penanganan pasien dengan permasalahan penyakit tuberkulosis paru.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan pendekatan kedokteran keluarga terhadap pasien Tuberkulosis
Paru di Kelurahan Poasia tanggal 2 november 2018.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik (fungsi keluarga, bentuk keluarga, dan siklus
keluarga) keluarga pasien Tuberkulosis Paru
b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah
kesehatan pada pasien Tuberkulosis Paru dan keluarganya.
c. Mendapatkan pemecahan masalah kesehatan pasien Tuberkulosis Paru
dan keluarganya
C. Manfaat
a. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan penulis tentang kedokteran keluarga, serta
penatalaksanaan Tuberkulosis Paru dengan pendekatan kedokteran
keluarga.
b. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai bahan masukan kepada tenaga kesehatan agar setiap
memberikan penatalaksanaan kepada pasien Tuberkulosis Paru
dilakukan secara holistik dan komprehensif serta mempertimbangkan
aspek keluarga dalam proses penyembuhan.
c. Bagi Pasien dan Keluarga
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya bahwa keluarga
juga memiliki peranan yang cukup penting dalam kesembuhan pasien.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. TUBERKULOSIS
1. Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh bakteri jenis mycobacterium tuberculosis. Infeksi dapat
bersifat lokal dan sistemik, namun sebagian besar kasus infeksi bermanifestasi
sebagai tuberkulosis pada organ paru (NN, 2010) dan biasanya merupakan
lokasi infeksi primer (Amin, 2006; GTNP TB, 2009; PDPI, 2006).
2. Etiologi
Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis yang merupakan
bakteri berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan
tidak berkapsul. Bakteri berukuran lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4/ um.
Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak (60%).
Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi (PDPI, 2006).
Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah
polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel
yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan
asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya
penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol. Komponen
antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein (PDPI, 2006).
Sifat lain kuman M. tuberculosis adalah aerob. Dengan sifat tersebut
tergambar bahwa kuman lebih menyukai tempat yang banyak oksigennya.
Didalam organ paru, daerah yang banyak kandungan atau tinggi tekanan
oksigennya adalah bagian apikal dari paru-paru, sehingga pada tempat
tersebut menjadi tempat predileksi dari kuman TB (Chandra, 2010).
3. Cara Penularan
Cara penularan kuman TB sebagian besar melalui inhalasi basil yang
mengandung droplet nuclei yang khususnya didapat dari penderita paru yang
batuk berdahak atau batuk berdarah, bersin, berbicara dengan memproduksi
percikan yang sangat kecil pada BTA positif, sehingga kepadatan penduduk
dalam suatu wilayah sangat mempengaruhi penularan dan mempermudah
terjadinya penyebaran kuman secara cepat. Cara penularan ini (inhalasi)
mengakibatkan sebagian besar manifestasi klinis infeksi TB terdapat pada
organ paru, sedangkan Penularan TB kulit dan jaringan lunak dapat terjadi
melalui inokulasi langsung. Faktor utama dalam perjalanan infeksi adalah
kedekatan dan durasi kontak serta derajat infeksius penderita dimana semakin
dekat seseorang berada dengan penderita, makin banyak kuman TB yang
mungkin akan dihirupnya (Kabo, 2010).
4. Patogenesis
Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang
di jaringan paru sehingga akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang
disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di
bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang
primer akan terlihat peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar
getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer akan
mengalami salah satu keadaan yaitu:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya (biasanya bronkus lobus
medius sehingga menyebabkan epituberkulosis)
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak
terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa,
Typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak
ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini
mungkin berakhir dengan :
 Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau
 Meninggal (Amin, 2006).
Tuberkulosis Post-Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post
primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya.
Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan
masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-
primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal
dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk
suatu sarang pneumonik kecil. Selanjutnya sarang pneumonik ini akan
mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri
menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali,
membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju
dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas
sklerotik). Nasib kaviti ini :
a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru.
Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang
disebutkan diatas.
b. Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kavitas
lagi.
c. Kavitas bisa pula
menjadi bersih dan
menyembuh yang disebut
open healed cavity atau
kavitas menyembuh
dengan cara mem-
Gambar 4.1 Perkembangan sarang tuberkulosis post
bungkus diri, akhirnya mengecil. (Amin, 2006)
primer dan perjalanan penyembuhannya
Kemungkinan berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped) (Amin, 2006).
5. Klasifikasi Tuberkulosis
a. Tuberkulosis Paru
TB paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura.
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas:
Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan positif
Tuberkulosis paru BTA (-) adalah:
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran
klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M. tuberculosis (+)
Berdasarkan tipe pasien, ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru: pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps): pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik
dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus
dipikirkan beberapa kemungkinan :
 Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll). Dalam hal ini
berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
c. Kasus defaulted atau drop out : pasien yang tidak mengambil obat 2
bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal : pasien BTA positif yang tetap positif atau kembali positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi
BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten : pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan
yang baik.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput
otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif
atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan
pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan
konsisten dengan TB ekstra paru aktif.
6. Progresifitas dan Komplikasi (Rasad, 2005)
Perburukan ( perluasan ) penyakit
1. Pleuritis : terjadi karena meluasnya infiltrat primer langsung ke pleura atau
melalui penyebaran hematogen. Pada keadaan normal rongga pleura berisi
cairan 10-15 ml. Efusi pleura bisa terdeteksi dengan foto toraks PA dengan
tanda meniscus sign/ellis line, apabila jumlahnya 175 ml. Pada foto lateral
dekubitus efusi pleura sudah bisa dilihat bila ada penambahan 5 ml dari
jumlah normal. Penebalan pleura di apikal relatif biasa pada TB paru atau
bekas TB paru. Pleuritis TB bisa terlokalisir dan membentuk empiema. CT
Toraks berguna dalam memperlihatkan aktifitas dari pleuritis TB dan
empiema.
2. Penyebaran miliar : akibat penyebaran hematogen tampak sarang-sarang
sebesar l-2mm atau sebesar kepala jarum (milium), tersebar secara merata
di kedua belah paru. Pada foto toraks, tuberkulosis miliaris ini menyerupai
gambaran 'badai kabut’ (Snow storm apperance). Penyebaran seperti ini
juga dapat terjadi pada Ginjal, Tulang, Sendi, Selaput otak atau meningen,
dsb.
3. Stenosis bronkus : stenosis bronkus dengan akibat atelektasis lobus atau
segmen paru yang bersangkutan sering menempati lobus kanan (sindroma
lobus medius)
4. Kavitas (lubang) : timbulnya lubang ini akibat melunaknya sarang keju.
Dinding lubang sering tipis berbatas licin atau tebal berbatas tidak licin. Di
dalamnya mungkin terlihat cairan, yang biasanya sedikit. Lubang kecil
dikelilingi oleh jaringan fibrotik dan bersifat tidak berubah-ubah pada
pemeriksaan berkala (follow up) dinamakan lubang sisa (residual cavity)
dan berarti suatu proses lama yang sudah tenang.
Komplikasi yang dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah selesai
pengobatan adalah : batuk darah (profus), keadaan umum buruk,
pneumotoraks, empiema, efusi pleura masif atau bilateral, dan gagal nafas.
Sedangkan pembagian komplikasi berdasarkan waktunya adalah :
 Komplikasi dini: pleuritis , efusi pleura, empiema, laryngitis
 Komplikasi lanjut: TB usus, Obstruksi jalan nafas , Fibrosis paru,
kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas
dewasa, meningitis TB.
BAB III

HASIL KUNJUNGAN RUMAH


A. Tinjauan Kasus
Tanggal Kunjungan I : 2 November 2018
Tanggal Kunjungan II : 3 November 2018
Alamat : Jl. Gunung Jati
B. Identitas Pasien
Nama : Ny. W

Umur : 40 tahun

Alamat : Jl. Gunung Jati

Agama :Islam

Suku : Muna

Tabel 1. Daftar Anggota Keluarga yang tinggal dalam 1 rumah

Pasien
No Nama Kedudukan L/P Umur Pendidikan Pekerjaan Puskesma Ket.
s
Kepala Pedagang,
1 Tn.S L 45 th SMA Tidak -
keluarga Peternak
Ibu Rumah
2 Ny.W Istri P 40 th SMA Tangga, Ya Tuberkulosis Paru
peternak
Tidak pernah
Ibu Rumah periksa kesehatan
4 Ny.T Anak P 20 th SMA Tidak
Tangga & tidak mengeluh
sakit yang berat
Sumber : Data primer. 2018
A. Genogram keluarga

Gambar 1. Genogram keluarga pasien

Keterangan:

: Perempuan

: Laki-laki

: Penderita

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama: Batuk berdahak lama, sejak 9 bulan yang lalu.
2. Riwayat penyakit sekarang
Ny.W datang ke Puskesmas Kandai diantar oleh istrinya untuk periksa
kesehatan rutin. Awalnya pasien mengeluh batuk berdahak yang sudah lama
dialami yaitu sejak 9 bulan yang lalu. Batuk tetap kambuh walaupun sudah
meminum obat-obatan batuk yang dibelinya di Apotek. Beberapa bulan
setelahnya, batuk juga disertai darah warna merah dengan jumlah sedikit dan
berupa bercak yang keluar bersama dengan dahak. Batuk dirasakan sangat
sering dan berat, terkadang terasa sesak jika batuk semakin memberat. Pasien
juga mengeluh sering keringat dingin malam hari, badan terasa lemas dan
pusing terutama jika melakukan pekerjaan sebagai petani. Kadang badan
panas dan meriang serta berat badan dan nasfu makan menurun sejak 3 bulan
setelah batuk dirasakan. Setelah 5 bulan merasakan keluhan, pasien
memeriksakan diri ke Puskesmas Sumberpucung dan didiagnosis
tuberkulosis paru dengan pemeriksaan BTA (+). Saat ini, keluhan yang
dirasakan hanya batuk berdahak tetapi sudah jarang. Pasien juga merasakan
ada perbaikan selama proses pengobatan serta berat badan dan nafsu makan
sudah mulai naik.
a) Riwayat penyakit terdahulu
Pasien sering batuk sebelumnya sejak satu tahun yang lalu tetapi
hilang timbul, ringan, tidak berdahak dan sembuh sendiri dengan obat batuk
yang dibelinya di Apotek. Pasien menyangkal memiliki riwayat alergi.
b) Riwayat penyakit keluarga
Pasien menyangkal adanya sakit serupa dan sakit yang lain pada anggota
keluarga lainnya serta tidak ada riwayat alergi makanan ataupun obat-obatan.
c) Riwayat kebiasaan
Ny.W memiliki riwayat merokok tetapi sudah berhenti sejak mengeluh
batuk dan sesak yaitu sekitar 9 bulan yang lalu. Riwayat minum alkohol
disangkal. Ny.W dan keluarga jarang berolah raga, jarang berekreasi dan
berpergian.
d) Riwayat pengobatan
Sakit batuk yang dialami Ny.W sebelumnya tidak pernah diobatkan ke
pelayanan kesehatan, terkadang batuk diobati sendiri dengan obat-obatan yang
dibeli di Apotek.
e) Riwayat Gizi
Ny.W dan keluarga makan sehari-hari biasanya 3 kali sehari dengan nasi,
sayur, dan lauk pauk beragam. Kadang mengkonsumsi buah-buahan. Kesan
status gizi saat ini cukup.
f) Riwayat Sosial Ekonomi
Aspek ekonomi keluarga Ny.W tergolong menengah keatas. Saat ini
Tn.S hanya menanggung perekonomian istri, dan ibu. Pembiayaan kesehatan
Ny.W dan keluarga menggunakan BPJS sehingga dapat dijangkau. Akses
pelayanan kesehatan juga terjangkau. Aspek sosial Ny.W dan keluarga cukup
baik, sering berkumpul dengan tetangga dan temannya, hal ini mencerminkan
interaksi dengan tetangga tergolong baik.
g) Keadaan Lingkungan
Lingkungan sekitar rumah Ny.W tergolong rapi tetapi kurang bersih.
Hal ini terkait dengan kondisi rumah yang dekat dengan kandang sapi,
kambing dan ayam. Terkadang ayam dilepas hingga masuk ke dalam rumah.
Ny.W yang terbiasa mengurus hewan ternak sebelum sakit tidak pernah
menggunakan penutup hidung atau masker.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum : tampak baik, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6)
2. Antropometri
 BB : 65kg
 TB : 160 cm
 BMI : BB/TB2 = 65/(1,60)2 = 20,31 à Normoweight
3. Tanda Vital
 Tensi : 130/90 mmHg
 Nadi : 80 x/menit, reguler, nadi kuat
 RR : 24 x/menit, tipe thorakoabdominal
 Suhu : 36,3 oC
4. Kulit : coklat, turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), pucat (-)
5. Kepala : bentuk mesocephal, luka (-), nyeri (-), rambut tidak mudah dicabut,
papul (-), nodul (-), makula (-)
6. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), warna kelopak coklat,
radang (-/-), eksoftalmus (-), strabismus (-)
7. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), rhinorrhea (-/-), epistaksis (-/-), deformitas
hidung (-/-), saddle nose(-/-)
8. Mulut : mukosa bibir pucat (-/-), sianosis (-/-), bibir kering (-/-)
9. Telinga : otorrhea (-/-), pendengaran berkurang (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-),
cuping teling dbn
10. Tenggorokan : tonsil membesar (-/-), pharing hiperemis (-), sekret (-)
11. Leher : lesi kulit (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB (-)
12. Thorax : normochest, simetris, pernafasan thoracoabdominal
Cor: Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas : ICS II Linea para sternalis sinistra
Batas kanan atas : ICS II Linea para sternalis dekstra
Batas kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan bawah : ICS IV linea para sternalis dekstra
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bunyi
jantung tambahan (-).

Pulmo : Inspeksi : bentuk normal, pengembangan dada kanan = dada kiri


Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi:

↓ ↓ - - + +
+ - - -
suara dasar vesikuler wheezing ronkhi
+ + - - - -

Abdomen :

Inspeksi : sejajar dinding dada, massa (-)


Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor
baik
Perkusi : timpani seluruh lapangan perut
13. Sistem Collumna Vertebralis :
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
14. Ekstremitas:
Akral hangat Edema

- -

- -

L : deformitas (-), luka (-)


F : nyeri tekan (-), krepitasi (-)
M: normal
D. Pemeriksaanpenunjang yang dilakukan
Laboratorium : BTA (+)
Thorax Photo PA (disaran kan untuk malakukan foto)
E. Resume
Ny.W datang untuk periksa kesehatan rutin. Awalnya mengeluh batuk
berdahak sejak 9 bulan lalu. Beberapa bulan setelahnya, batuk juga disertai darah
warna merah terang berupa bercak yang keluar bersama dahak. Batuk dirasa
sangat sering dan berat serta mulut semakin barbau tidak enak. Kadang sesak jika
batuk memberat. Mengeluh sering keringat dingin malam hari, badan terasa lemas
dan pusing terutama jika bekerja. Kadang badan panas dan meriang serta berat
badan dan nasfu makan menurun sejak 3 bulan setelahnya. Saat ini, keluhan yang
dirasakan hanya batuk berdahak tetapi sudah jarang. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan bibir tampak pucat, konjungtiva anemis dan terdapat sekret pada
tenggorokan. Pada pemeriksaan auskultasi paru suara dasar vesikuler menurun
pada lapang paru kanan dan kiri atas serta ronkhi. Pada pemeriksaan penunjang
pemeriksaan laboratorium BTA (+) dan disarankan untuk melakukan foto thorak
ulang.
F. Diagnosis Holistik
1. Diagnosis dari segi biologis :
Tuberkulosis Paru Kategori I
2. Diagnosis dari segi psikologis :
Dari segi psikologis, Ny.W dan keluarga tidak terdapat masalah.
Ny.W dan keluarganya menyadari bahwa penyakit TB yang dialami
meskipun menular tetapi dapat disembuhkan. Ny.W dan keluarga juga sangat
koopertif dan mengikuti segala masukan dokter dalam proses terapi demi
kesehatan dan kesembuhannya.
3. Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi :
Perekonomian keluarga Ny.W tergolong menengah keatas. Saat ini
Tn.S hanya menanggung istri, ibu, dan neneknya. Pembiayaan kesehatan
Tn.S dan keluarga menggunakan BPJS sehingga dapat dijangkau. Akses
pelayanan kesehatan juga terjangkau. Aspek sosial Ny.W dan keluarga
cukup baik, sering berkumpul dengan tetangga dan temannya. Ny.W dan istri
juga terbiasa berbagi masalah bersama. Interaksi dengan tetangga tergolong
baik.
G. Penatalaksanaan Holistik
1. Farmakoterapi
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
 Fase Intensif : Rifampisin (R), INH (H), Pirazinamid (Z), Etambutol (E)
(dosis harian) selama 2 bulan  BTA (-) 
 Fase Lanjutan : Rifampisin (R), INH (H) (dosis 3 kali dalam seminggu)
selama 4 bulan
2. Non Farmakoterapi
KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)

 Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar terjadi


pertukaran udara.
 Membuka gorden jendela kamar agar sinar matahari
dapat masuk ke dalam ruangan yang dapat membunuh bakteri TB.
Tindakan pasien untuk memilih kamar tersendiri yang memiliki sirkulasi
udara dan cahaya masuk yang cukup sangat tepat terutama selama proses
penyembuhan.
 Memakai masker saat bekerja atau saat berinteraksi
untuk mencegah penularan dan semakin buruknya kondisi.
 Motivasi agar kontrol dan minum OAT (obat anti
TB) secara teratur
 KIE kepada pasien dan keluarga tentang penyakit
dan kondisi pasien. Pentingnya pencegahan dan pengobatan serta bahaya
komplikasi jika pasien dan keluarga tidak patuh terhadap anjuran dokter.
 Istirahat serta asupan makanan yang cukup dan
bergizi
H. Prognosis
Prognosis kondisi Tn.S tergantung dari banyak aspek diantaranya tingkat
kepatuhan serta upaya pencegahan dan pengobatan penyakit, tetapi karena dalam
proses pengobatan Tn.S dan keluarga tergolong pasien yang patuh maka secara
umum prognosisnya adalah:
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
I. Standar Pelayanan Medis
1. Anamnesis
Anamnesis umumnya pasien mengalami batuk berdahak hingga berdarah
lebih dari 2 minggu.
2. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fisik, tampak umum pasien sakit, pernapasan normal hingga
sesak. Dilakukan pemeriksaan BTA pada sputum pasien, dan dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan Foto Thorax.
J. Prinsip-Prinsip Kedokteran Keluarga
1. Komprehensif dan Holistik
Kedokteran keluarga yang komprehensif adalah pelayanan kedokteran
keluarga paripurna yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Kedokteran keluarga yang holistik adalah pelayanan kedokteran
keluarga yang menyeluruh meliputi semua aspek kehidupan yaitu aspek
biologis, psikologis, sosial, dan spiritual.
Pada pasien ini, kedokteran keluarga yang komprehensif dan holistik
sudah diterapkan yaitu adanya pelayanan kesehatan promotif (edukasi
mengenai penyakit pasien kepada pasien), preventif (edukasi harus rutin
minum obat, mengkonsumsimakanan bergizi, rutin memeriksakan diri ke
Puskesmas) kuratif (minum obat secara teratur), dan rehabilitatif (rutin kontrol
di puskesmas). Kedokteran keluarga yang holistik diterapkan dengan
mendiagnosis penyakit pasien berdasarkan aspek kehidupan pasien sehingga
didapatkan diagnosis biologis/kerja yaitu Tuberkulosis Paru, diagnosis
psikologis pasien menyadari dirinya sakit, dan diagnosis sosial ekonomi
pasien tidak memiliki masalah dalam aspek sosial ekonomi.
2. Kontinu
Pelayanan yang disediakan dokter keluarga merupakan pelayanan
bersinambung, yang melaksanakan pelayanan kedokteran secara efektif
efisien, proaktif, dan terus menerus demi kesehatan pasien.
Pada pasien ini, pelayanan kedokteran keluarga yang kontinu sudah
dilakukan dengan pasien yang rutin kontrol di puskesmas. Kesadaran pasien
akan penyakitnya juga menjadi factor penting dalam pengobatan kontinu.
Yang diharapkan adanya kesadaran pasien dan keluarga untuk melakukan
pengobatan secara rutin dan mengetahui pencegahan yang harus dilakukan
dalam keluarga terkait dengan penyakit TB yang diderita pasien.
3. Mengutamakan Pencegahan
Prinsip kedokteran keluarga adalah mengutamakan pencegahan, agar
tidak ada masyarakat yang sakit sehingga masyarakat yang berada di
lingkungan kapitasinya juga tidak ada yang sakit sehingga pelayanan
kedokteran keluarga dapat dikatakan berhasil.
Pada pasien ini, telah dilakukan upaya preventif yaitu secondary
preventif atau pencegahan sekunder berupa diagnosis awal dan pengobatan
yang tepat. Untuk pencegahan tersier yang dilakukan adalah rehabilitatif
dengan menyuruh pasien rutin kontrol di puskesmas dan memberitahu pasien
agar teratur minum obat.
4. Koordinatif dan Kolaboratif
Pelayanan kedokteran keluarga yang koordinatif yaitu adanya
koordinasi jika pasien memerlukan pelayanan spesialistik ataupun koordinasi
dengan keluarga pasien mengenai keadaan pasien. Pelayanan kedokteran
keluarga yang kolaboratif yaitu pelayanan yang bekerja sama dengan berbagai
pihak yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan, guna mengefektifkan dan
mengefisienkan pelayanan.
Pada pasien ini, seharusnya ada pelayanan kedokteran keluarga yang
koordinatif karena pasien sangat membutuhkan pelayanan spesialistik dan
koordinasi dari pihak keluarga pasien karena pasien sama sekali tidak bias
melakukan apapun. Pelayanan kedokteran keluarga yang kolaboratif sudah
dilakukan karena saat diagnosis penyakit pasien sudah dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk menunjang diagnosis.
5. Personal sebagai bagian integral dari keluarganya
Pelayanan kedokteran keluarga yang personal yaitu pasien sebagai
satu individu, sehingga dapat memiliki pelayanan personal yang tidak
berhubungan atau sama dengan anggota keluarga yang lain. Pasien dalam hal
ini memiliki dokter keluarga yang sama dengan dokter keluarga dalam
keluarganya yaitu dokter yang berada di puskesmas.
6. Mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan
Pelayanan kedokteran keluarga harus mempertimbangkan keluarga,
lingkungan kerja, dan lingkungan karena kesembuhan penyakit sangat
dipengaruhi lingkungannya dan sebaliknya penyakit pasien dapat
mempengaruhi lingkungan juga.
Pada pasien ini dipertimbangkan keluarga sebagai salah satu
pendorong kesembuhan pasien, dan pada pasien ini hubungan tindakan dari
keluarga sudah terlaksana dimana pasien memiliki hubungan yang baik
dengan anggota kelarga dan anggota keluarga tidak membatasi kegiatan
pasien dan masih berkumpul dan berinteraksi seperti biasa, pasien juga
dibawa kepuskesmas untuk kontrol penyakit yang dialaminya.
7. Menjunjung tinggi etika, moral, dan hokum
Pelayanan kedokteran keluarga harus menjunjung tinggi etika, moral
dan hukum, dimana tidak boleh membeda-bedakan pasien dengan
memandang status sosial, jenis kelamin, jenis penyakit, ataupun sistem organ
yang sakit. Semua adalah pasien yang harus dilayani secara profesional.
Perilaku dokter harus tetap dalam batas-batas kewenangan dan selalu mentaati
kewajiban yang digariskan oleh hukum yang berlaku.
Pelayanan kedokteran keluarga yang menjunjung tinggi etika, moral,
dan hukum pada pasien ini sudah dilakukan.
8. Sadar biaya dan sadar mutu
Pelayanan kedokteran keluarga harus mempertimbangkan biaya yang
akan dikeluarkan pasien tetapi tidak boleh menurunkan mutu pelayanan
kepada pasien. Pasien ini memiiki jaminan kesehatan nasional yaitu BPJS
sehingga untuk pembiayaan pengobatan pasien sudah tertangani.
9. Dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan
Pelayanan kedokteran keluarga harus dapat diaudit dan
dipertanggungjawabkan karena merupakan upaya peningkatan kualitas
pelayanan dan sama sekali bukan upaya untuk memata-matai peraktik dokter.
Oleh karena itu, dokter dituntut untuk melakukan pelayanan kesehatan yang
sesuai standar pelayanan agar dapat dipertanggungjawabkan.
Pelayanan kedokteran keluarga yang dilakukan beberapa telah sesuai
dengan standar pelayanan medis dokter keluarga sehingga dapat
dipertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA

Amin Z, Bahar S. 2006. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV.
Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 998-1005,
1045-9.
Anonym. 2003. Prevalence and Incidence of Tuberculosis, (Cureresearch), Available:
http://www.Cureresearch.com/Tuberculosis/Prevalence.htm
Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB (GTNP TB). 2007. Buku Pedoman
Nasional Penanggulangan TB. edisi 2. cetakan pertama. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia, Citra Grafika, Jakarta.
Price. A,Wilson. L. M. 2004. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC : 852-64.
DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai