Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberkulosis yang merupakan bakteri

aerob.Penyakit ini biasanya menyerang organ paru, tetapi dapat menyebar hampir

seluruh bagian tubuh, seperti otak, ginjal, tulang, dan kelenjar getah bening.

Sampai saat ini, penyakit TB masih menjadi permasalahan dunia. Berdasarkan

data WHO diperkirakan telah terjadi 8,8 juta kasus baru pada tahun 2010 (berkisar

antara 8,5–9,9 juta) dengan rasio 128 kasus tiap 100.000 penduduk. Angka

prevalensi TB paru diperkirakan berjumlah 12 juta kasus di dunia. Di Indonesia,

TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di

Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan

jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Depkes RI

menyatakan bahwa hasil survey dari seluruh rumah sakit terdapat 220.000 pasien

penderita TB pertahun atau 500 penderita perhari dan setiap tahunnya terdapat

528.000 kasus baru TB di Indonesia.

Tuberkulosis Paru (TB) merupakan penyakit global yang mempengaruhi

sepertiga populasi dunia. Menurut World Health Organization (WHO, 2015),

secara global ada 9,6 juta kasus TB baru, diantaranya 3,2 juta wanita dan 1,5 juta

diantaranya meninggal disebabkan oleh TB. Pada tahun 2011, sekitar 60% kasus

TB baru diseluruh dunia berada di Asia. Di Taiwan, kejadian TB sekitar 57 kasus

per 100 ribu penduduk. Pengobatan anti-tuberkulosis yang cepat dan tepat

1
2

merupakan intervensi yang paling penting dan efektif untuk mengendalikan

penyebaran (Chang et al, 2014). Di Indonesia menurut WHO (2015), terdapat 1

juta kasus TB baru pertahunnya dan menyebabkan kematian 100 ribu pasien.

Penanggulangan penyakit Tuberkulosis di Indonesia sudah berlangsung

sejak lama.Sejak tahun 1909, penanggulangan penyakit Tuberculosis dilakukan

secara nasional melalui Puskesmas dengan penyediaan obat secara

gratis.Program ini dinilai kurang berhasil akibat kurangnya kesadaran pasien

untuk melakukan pengobatan secara teratur. Sedang pengobatan yang tidak teratur

dan kombinasi obat yang tidak lengkap diduga dapat menimbulkan kekebalan

ganda kuman Tuberkulosis terhadap obat anti Tuberkulosis. Pengobatan kasus TB

merupakan salah satu strategi utama dalam pengendalian TB karena dapat

memutuskan rantai penularan. Pada tahun 1994, WHO meluncurkan strategi

pengendalian TB untuk diimplementasikan secara internasional, yaitu DOTS

(Direct Observe Treatment Short-course). Pada 2006, WHO menetapkan strategi

baru untuk menghentikan TB yang bertujuan untuk mengintensifkan

penanggulangan TB, menjangkau semua pasien, dan memastikan tercapainya

target Millennium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. Pengobatan TB

paru memerlukan jangka waktu sekitar 6 – 9 bulan.Semua penderita mempunyai

potensi tidak patuh untuk berobat dan minum obat. Penggunaan obat yang benar

sesuai dengan jadwal (kepatuhan) sangat penting untuk menghindari timbulnya

TB paru yang resisten terutama pada fase lanjutan setelah penderita merasa

sembuh. Penderita meminum obat harus teratur sesuai petunjuk dan

menghabiskan obat sesuai waktu yang ditentukan berturut-turut tanpa putus.


3

Pekerjaan lebih banyak dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dan

tingkat/ derajat keterpaparan tersebut serta besarnya risiko menurut sifat

pekerjaan, lingkungan kerja, dan sifat sosial-ekonomi karyawan pada pekerjaan

tertentu. Pekerjaan juga mempunyai hubunganyang erat dengan status sosial

ekonomi, sedangkan berbagai jenis penyakit yang timbul dalam keluarga sering

berkaitan dengan jenis pekerjaan yang mempengaruhi pendapatan keluarga (Nur

Nasry, 2008).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Syafri, dkk (2015)

menyebutkan bahwa rumah yang memiliki kondisi pencahayaan yang kurang

berisiko 8,125 kali lebih besar tertular TB paru dibandingkan rumah responden

yang memiliki pencahayaan yang baik . Selain itu kepadatan penduduk, luas

ventilasi, kelembapan dan suhu juga menjadi salah satu faktor lingkungan yang

mempengaruhi TB. Dimana kepandatan penduduk yang tidak baik memiliki

resiko sebesar 13,5 kali dibandingkan rumah yang mempunyai kepadatan hunian

yang baik, luas ventilasi yang kurang baik memiliki resiko sebesar 30,5 kali

dibandingkan rumah yang mempunyai luas ventilasi yang baik, suhu ruangan

yang tidak baik memiliki resiko sebesar 27,5 kali dibandingkan rumah yang

mempunyai suhu ruangan yang baik dan kelembapan yang kurang baik memiliki

resiko 84,3 kali dibandingkan rumah yang mempunyai kelembapan yang baik

(Siregar dkk, 2012).

Berdasarkan data puskesmas Kampa periode November 2021 – Februari

2022 terdapat 10 orang yang menderita TB Paru. Dari 10 pasien tersebut belum

terdapat data puskesmas yang menggambarkan kejadian tuberculosis paru

terhadap gambaran dari pekerjaan, sosial ekonomi dan lingkungan. Oleh karena
4

itu, penulis tertarik untuk mengetahui gambaran kejadian dari pekerjaan, sosial

ekonimi dan lingkungan pada penderita TB paru di UPT Puskesmas Kampa

periode 2021 – 2022.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah pada penelitian ini

adalah “Gambaran kejadian tuberkulosis paru di UPT Puskesmas Kampa periode

November 2021— Februari 2022”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum.

Tujuan umum penelitian ini adalah ntuk mengetahui gambaran umum

tuberculosis paru di UPT Puskesmas Kampa periode November 2021 –

Februari 2022.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui Angka kejadian tuberkulosis paru berdasarkan

pekerjaan

b. Untuk mengetahui Angka kejadian tuberkulosis paru berdasarkan status

sosial ekonomi

c. Untuk Mengetahui Angka kejadian tuberculosis paru berdasarkan

lingkungan
5

D. Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk melihat gambaran kejadian

tuberculosis paru di UPT Puskesmas Kampa periode November 2021— Februari

2022.

E. Manfaat Penulisan

1. Teoritis.

Manfaat teoritis dalam penelitian ini disarankan untuk memperkuat ilmiah

atau teori dalam praktik Ilmu Paru yang telah ada. terutama tentang gambaran

kejadian tuberculosis paru di UPT Puskesmas Kampa.

2. Praktis

a. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam

mengambil keputusan yang optimal dalam meningkatkan kelangsungan

progam pelayanan kesehatan dalam mengatasi masalah TB Paru di

masyarakat dalam bentuk pelayanan di UPT Puskesmas Kampa.

b. Bagi Pelayanan Kesehatan Puskesmas

Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi petugas kesehatan yang

bertugas di institusi pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas) untuk

memberikan masukan pada keluarga mengenai pentingnya gambaran

kejadian TB Paru pada keluarga pasien.


6

c. Bagi Masyarakat

Bagi masyarakat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

kepada masyarakat tentang perlu dan pentingnya pengetahuan tentang TB

paru.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Definisi Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang umum dan sering

mematikan yang disebabkan oleh mikobakterium, biasanya Mycobacterium

Tuberculosis pada manusia, yang ditandai dengan pembentukan granuloma

pada jaringan yang terinfeksi, sebagian besar kuman TB menyerang paru,

tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya termasuk meningen, ginjal,

tulang, dan nodus limfe. Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru tetapi

juga dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh.Hal ini menyebar melalui

udara, ketika orang yang memiliki penyakit batuk, bersin, atau meludah.

Kebanyakan infeksi pada manusia dalam hasil infeksi, asimtomatik laten, dan

sekitar satu dari sepuluh infeksi laten pada akhirnya berkembang menjadi

penyakit aktif, yang jika dibiarkan tidak diobati membunuh lebih dari

setengah dari korban. Kuman M. tuberculosis berbentuk batang, mempunyai

sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu

disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan

sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat

yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant,

tertidur lama selama beberapa tahun. Basil tuberkel ini berukuran 0,3x2

sampai 4mm, ukurannya lebih kecil dari pada sel darah merah.

7
8

Gambar 1. Mycobacterium tuberculosis

2. Epidemiologi

Hingga saat ini, TB masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia.

Mycobacterium tuberkulosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia.

Pada Tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB

karena pada sebagian besar negara di dunia penyakit TB tidak terkendali.Hal

ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan terutama

penderita menular (BTA positif). Pada tahun 1995 diperkirakan setiap tahun

terjadi sekitar 9 juta penderita baru TB dengan kematian 3 juta orang. Di

negara-negara berkembang, kematian TB merupakan 25% dari seluruh

kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TB

berada di negara berkembang 75% penderita TB adalah kelompok usia

produktif (15–50 tahun).

Beban TB di Indonesia masih sangat tinggi, khususnya mengenai

kesembuhan yang ada. TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit

menular dan merupakan peringkat ketiga dalam daftar 10 penyakit pembunuh

tertinggi di Indonesia yang menyebabkan sekitar 88.000 kematian setiap

tahunnya.Secara Regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia

dikelompokan kedalam 3 wilayah, yaitu:


9

a. Wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk

b. Wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000

penduduk

c. Wilayah Indonesia timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000

penduduk

Gambar 2. Insiden TB di dunia (WHO, 2004)

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.

Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah

India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB

didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru

dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per

100.000 penduduk.

3. Etiologi

Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

tuberkulosis.Bakteri ini berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak

berspora dan tidak berkapsul. Ukuran panjang sekitar 1–4 µm dan lebar 0,3–

0,6 µm. Mycobacterium terdiri dari lapisan lemak yang cukup tinggi (60%).

Penyusun utama dinding sel bakteri adalah asam mikolat, kompleks waxes,
10

Trehalosa Dimicolat, dan Mycobacterial Sulfolipids yang berperan dalam

virulensi. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah

polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomatan. Struktur dinding sel

yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri bersifat tahan asam.

4. Patogenesis

a. Tuberkulosis Primer

Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran pernapasan akan

bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk fokus primer. Fokus

primer ini mungkin akan timbul dibagian mana saja dalam paru, berbeda

dengan sarang reaktivasi. Dari fokus primer akan tampak peradangan

saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan

tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus

(limfadenitis regional). Fokus primer bersama-sama dengan limfangitis

regional disebut dengan kompleks primer. Kompleks primer ini akan

mengalami salah satu dari dibawah ini:

1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali.

2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas, antara lain sarang

Ghon, garis fibrotik, dan sarang perkapuran di hilus.

3) Menyebar dengan cara :

a) Perkontinuitatum, yaitu meyebar ke sekitarnya.

b) Bronkogen, baik dari paru yang bersangkutan maupun ke paru

disebelahnya atau tertelan.


11

c) Hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya

tahan tubuh, jumlah, dan virulensi kuman. Fokus yang

ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak

terdapat imunitas yang adekuat penyebaran ini akan

menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis

milieratau meningitis tuberkulosis. Penyebaran ini dapat

menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya

tulang, ginjal, adrenal, genital, dan sebagainya.

b. Tuberkulosis Post Primer

Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun kemudian

setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15–40 tahun.

Tuberkulosis post primer dimulai dengan sarang dini yang umumnya

terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior. Sarang ini

awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil yang akan mengikuti

salah satu jalan sebagai berikut:

1) Direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

2) Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan

dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi

pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk pengapuran. Sarang

tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk perkejuan

dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3) Sarang pneumonia meluas dan membentuk jaringan kaseosa.

Kavitasakan muncul dengan dibatukkannya jaringan kaseosa keluar.


12

Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan

menjadi tebal (kavitas sklerotik).

5. Klasifikasi

a. Berdasarkan Organ yang Terkena

1) Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan

(parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar

pada hilus.

2) Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya

pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe,

tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,

dan lain–lain.

b. Berdasarkan Pemeriksaan Laboratorium

1) Tuberkulosis paru BTA positif

 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

positif

 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukan gambaran tuberkulosis

 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

TB positif
13

 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

2) Tuberkulosis paru BTA negatif

 Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

 Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis.

 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

c. Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya

1) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT

atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2) Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya

pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan

sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA

postif (apusan atau kultur).

3) Kasus setelah putus berobat (default) adalah pasien yang telah

berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4) Kasus setelah gagal (failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan

dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan

kelima atau lebih selama pengobatan.

5) Kasus pindahan (transfes in) adalah pasien yang dipindahkan dari

UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan

pengobatannya.
14

6) Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan

diatas. Dalam kasus ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan

hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan

ulangan.

6. Diagnosis

a. Gambaran klinis

Gambaran klinis penderita tuberkulosis paru dibagi menjadi dua

golongan, yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.

1) Gejala respiratorik, meliputi:

a) Batuk >3 minggu/ batuk darah.

 Pada awal terjadinya penyakit, kuman akan berkembang

biak di jaringan paru. Batuk baru akan terjadi bila bronkus

telah terlibat. Batuk merupakan akibat dari terangsangnya

bronkus yang bersifat iritatif. Kemudian akibat terjadinya

peradangan, batuk berubah menjadi produktif karena

diperlukan untukmembuang produk-produk ekskresi dari

peradangan. Sputum dapat bersifat mukoid atau purulen.

 Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah. Berat

atau ringannya batuk darah tergantung dari besarnya

pembuluh darah yang pecah. Gejala batuk darah tidak selalu

terjadi pada setiap penderita tuberkulosis paru, kadang-

kadang merupakan suatu tanda perluasan proses tuberkulosis


15

paru. Batuk darah tidak selalu ada sangkut-paut dengan

terdapatnya kavitas pada paru.

b) Sesak napas

Pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak napas.

Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,

yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru, TB paru

dengan efusi pleura yang massif, atau TB paru dengan penyakit

kardiopulmoner yang mendasarinya.

c) Nyeri dada

Nyeri dada bersifat tumpul. Adanya nyeri menggambarkan

keterlibatan pleura yang kaya akan persyarafan. Kadang-kadang

hanya berupa nyeri menetap yang ringan. Dapat juga disebabkan

regangan otot karena batuk.

2) Gejala sistemik, meliputi:

a) Demam

Biasanya subfebris menyerupai demam influenza.Tetapi,

kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-410C.Serangan

demam pertama dapat sembuh sebentar, kemudian dapat timbul

kembali.Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam

influenza ini sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari

serangan demam.Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya

tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman

tuberkulosis yang masuk.


16

b) Keringat di malam hari tanpa disertai aktivitas

c) Anoreksia dan penurunan berat badan

Penyakit tuberkulosis paru bersifat radang menahun. Gejala

malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu

makan sehingga membuat badan penderita makin kurus

(penurunan berat badan).

b. Pemeriksaan Fisik

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas

kelainan struktur paru.Pada awal perkembangan penyakit umumnya sulit

untuk ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan.

 Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, namun kadang terdapat

retraksi rongga dada, difragma dan mediastinum.

 Palpasi : Fremitus biasanya meningkat.

 Perkusi : Tergantung dari beratnya TB, bisa dari pekak sampai

redup.

 Auskultasi : Suara nafas bronchial, amforik, suara nafas lemah,

ronkhi basah

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakan diagnosis, menilai

keberhasilan pengobatan, dan menentukan potensi penularan.Pemeriksaan

dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan tiga

spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang

berturutan berupa Sewaktu – Pagi – Sewaktu (SPS)


17

 S (sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang

berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah

pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

 P (pagi): dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada

petugas di UPK.

 S (sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat

menyerahkan dahak pagi.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dalam skala IUATLD

(International Union Against Tuberkulosis and Lung Disease):

 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif.

 Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapang pandang hanya disebutkan

dengan jumlah kuman yang ditemukan.

 Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (+1).

 Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (+2).

 Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (+3).

d. Pemeriksaan Radiologi

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakan dengan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks.

Namun, pada kondisi tertentu, pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan

sesuai dengan indikasi sebagai berikut:


18

1) Hanya satu dari tiga spesimen dahak SPShasilnya BTA positif. Pada

kasus ini, pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung

diagnosis TB paru BTA positif

2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah tiga spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya negatif dan tidak

ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT.

3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penangan khusus, seperti pneumothoraks, pleuritis

eksudatif, efusi perikarditis, atau efusi pleural dan pasien yang

mengalami batuk berdarah berat untuk menyingkirkan bronkiektasis

atau aspergiloma.

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi aktif akan tampak

bayangan berawan di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan

segmen superior lobus bawah. Dapat ditemukan juga kavitas atau

bayangan bercak milier. Pada lesi TB inaktif tampak gambaran fibrotik,

kalsifikasi dan penebalan pleura.

Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan radiologis

TB paru adalah foto toraks posisi posteroanterior dan lateral. Kelainan

radiologis tuberkulosis paru menurut klasifikasi The National

Tuberkulosis Assosiation of the USA (1961) adalah sebagai berikut:

1) Minimal lesion

 Infiltrat kecil tanpa kaverne

 Menenai sebagian kecil dari satu paru atau keduanya


19

 Jumlah keseluruhan paru yang ditemui tanpa memperhitungkan

distribusi, tidak lebih dari luas antara pesendian chondrosternal

kedua sampai corpus vertebra torakalis V (kurang dari 2 sela

iga).

2) Moderately advanced lesion

Dapat mengenai sebelah paru atau kedua paru tetapi tidak melebihi

ketentuan sebagai berikut:

 Bercak infiltrat tersebar tidak melebihi volume sebelah paru

 Infiltrat yang mengelompok yang luasnya tidak melebihi 1/3

volume sebelah paru

 Diameter kaverne bila ada tidak melebihi dari 4 cm.

3) Far advanced lesion

Far advanced lesionmerupakan lesi yang melewati moderately

advanced lesion atau ada kavernae yang sangat besar.


20

Gambar 1. Alur Diagnosis TB paru

7. Penatalaksanaan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan


21

mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT).

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam

jumlah yang cukup, dan dosis yang tepat sesuai dengan kategori

pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian

OAT Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan

sangat dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan

langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas

Minum Obat (PMO).

c. Pengobatan TB dilakukan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan

lanjutan.

1) Tahap awal (intensif)

Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu

diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi

obat.Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,

biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2

minggu.Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

2) Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk

membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya

kekambuhan.
22

Tabel 1. Obat Anti Tuberkulosis

Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)


Jenis OAT Sifat
Harian 3x seminggu

Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4 – 6) 10 (8 – 12)

Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8 – 12) 10 (8 – 12)

Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20 – 30) 35 (30 – 40)

Streptomicin (S) Bakterisid 15 (12 – 18) 15 (12 – 18)

Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15 – 20) 30 (20 – 35)

Panduan OAT dan kategorinya:

a. Kategori 1 (2HRZE / 4H3R3)

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

 Pasien baru TB paru BTA positif.

 Pasien TB paru BTA negatif foto thoraks positif.

 Pasien TB ekstra paru.

Tabel 2

Tabel 3
23

b. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati

sebelumnya:

 Pasien kambuh.

 Pengobatan pasien gagal.

 Pasien dengan pengobatan setalah putus berobat (default).

Tabel 4.

c. OAT sisipan (HRZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti panduan paket untuk tahap

intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 5. Dosis KDT untuk sisipan


24

8. Evaluasi Pengobatan

a. Evaluasi Klinis

Pasien dievaluasi secara periodikterhadap respons pengobatan, ada

tidaknya efek samping obat, dan ada tidaknya komplikasi penyakit.

Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, dan pemeriksaan fisik.

b. Evaluasi Bakteriologi

Evaluasi bakteriologik bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya

konversi dahak. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis yaitu

pada :

 Sebelum pengobatan dimulai.

 Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif).

 Pada akhir pengobatan.

Bila ada fasilitas biakan dilakukan pemeriksan biakan dan uji

kepekaan.

c. Evaluasi radiologi

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada :

 Sebelum pengobatan.

 Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan

kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan).

 Pada akhir pengobatan.

d. Evaluasi pada pasien yang telah sembuh


25

Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi

minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh.Hal ini dimaksudkan

untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis

BTA dahak dan foto toraks (sesuai indikasi/bila ada gejala).

Tabel 6. Tindak Lanjut Evaluasi Pemeriksaan Dahak

9. Pekerjaan

Menurut penelitian Syafri (2015), proporsi jenis pekerjaan responden

menunjukkan bahwa dari 38 responden, 28,9% tidak bekerja dan 71,1%

memiliki pekerjaan yang menghasilkan pendapatan. Pada responden kasus

penderita TB Paru BTA + 31,6% tidak bekerja dan proporsi jenis pekerjaan

paling banyak 36,8% adalah buruh (buruh tani, buruh kayu pembuat kusen,

pintu, jendela rumah dan buruh pabrik). Jenis pekerjaan menentukan faktor

risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di

lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan


26

mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis

udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya

gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.

10. Pendapatan Keluarga

Pendapatan merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat

kesejahteraan masyarakat sebagai hasil pembangunan. Perubahan pendapatan

akan mempengaruhi pengeluaran. Di negara berkembang tingkat pendapatan

penduduk masih rendah dan pengeluaran untuk makan merupakan bagian

terbesar dari seluruh pengeluaran Rumah tangga. Akan tetapi untuk negara

yang sudah maju pengeluaran terbesar bukan untuk makan, melainkan untuk

biaya kesehatan, pendidikan, olah raga, pajak dan jasa-jasa atau pengeluaran

non makan lainnya (Putra, 2011).

Menurut Elvina Karyadi (2002) dari SEAMEO-TROPMEND pusat

kajian gizi regional Universitas Indonesia dari hasil penelitiannya menyatakan

bahwa ekonomi lemah atau miskin mempengaruhi seseorang mendapatkan

penyakit TB Paru. Hal ini disebabkan daya tahan tubuh yang rendah, begitu

juga kebutuhan akan rumah yang layak huni tidak di dapatkan, ditambah

dengan penghuni yang ramai dan sesak. Keadaan ini akan mempermudah

penularan penyakit terutama penyakit saluran pernafasan seperti penyakit TB

Paru.

Menteri Tenaga Kerja RI 1999 melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja

Nomor: PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum Regional (UMR), telah

menetapkan besaran upah minimum yang bias diperoleh pekerja berdasarkan


27

wilayah. Pendapatan yang dihasilkan oleh keluarga selama 1 bulan yang

berada di kawasan tingkat kabupaten menggunakan Upah Minimum

Kabupaten (UMK) sebagai standar pendapatan minimum keluarga. UMK

Kabupaten Kampar tahun 2021 sebesar Rp.3.023.840,- dan UMK Kabupaten

Kampar tahun 2022 sebesar Rp.3.047.470,-

11. Faktor Lingkungan Rumah

Adapun faktor lingkungan rumah yang dimaksud sebagai variable penelitian

yaitu :

a. Kelembaban Udara

Kelembaban udara adalah presentase jumlah kandungan air dalam

udara. Kelembaban terdiri dari 2 jenis yaitu Kelembaban Absolut dan

Kelembaban Nisbi (Relatif). Kelembaban absolut adalah berat uap air per

unit volume udara, sedangkan kelembaban nisbi adalah banyaknya uap

air dalam udara pada suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada

saat udara jenuh denga uap air pada temperatur tersebut. Secara umum

penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer.

Dalam SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) yang menjelaskan

tentang indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang

memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-70 % dan

kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 %

atau > 70 % (Depkes RI, 2001).

Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat

kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang


28

lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme,

antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut

dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang

tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering

sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Bakteri

Mycobacterium tuberculosa seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh

dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air

membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang

esensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri (Gould

dan Brooker, 2003).

Selain itu menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara yang

meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen

termasuk bakteri tuberkulosis.

b. Ventilasi Rumah

Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang

menyenangkan dan menyehatkan manusia. Berdasarkan kejadiannya,

maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:

1) Ventilasi Alam Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu:

daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara

karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini mengandalkan

pergerakan udara bebas (angin), temperatur udara dan

kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin,

maka ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai

hasil sifat poros dinding ruangan, atap dan lantai.


29

2) Ventilasi Buatan Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan

dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat

tersebut diantaranya adalah kipas angin dan AC (air conditioner).

Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut :

a) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan,

sedangkan luas lubang ventilasi insidentil ( dapat dibuka dan

ditutup) minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi

10% dari luas lantai rumah.

b) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah

atau pabrik, knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.

c) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan

lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini

jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar, misalnya

lemari, dinding, sekat dan lain-lain. Secara umum, penilaian

ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas

ventilasi dan luas lantai rumah dengan menggunakan Role meter.

Menurut indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang

memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan

luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <

10% luas lantai rumah (Depkes RI, 2001). Rumah dengan luas

ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa

pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar (1990) dan

Notoatmodjo (2003), salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga


30

aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi

rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat

kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi

oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang

bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya

ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan

karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan

penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi

media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-

bakteri pathogen termasuk kuman tuberkulosis. Selain itu, fungsi

kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari

bakteribakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis,

karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus.

Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir

(Notoatmodjo, 2003).

c. Pencahayaan Alami

Pencahayaan alami ruangan rumah adalah penerangan yang

bersumber dari sinar matahari (alami), yaitu semua jalan yang

memungkinkan untuk masuknya cahaya alamiah. Misalnya melalui

jendela atau genting kaca (Notoatmodjo, 2003). Cahaya berdasarkan

sumbernya dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu cahaya alamiah dan cahaya

buatan.

Cahaya matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteri-

bakteri patogen di dalam rumah, misalnya bakteri penyebab penyakit


31

TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk

cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-

kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam

ruangan rumah. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela diusahakan

agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak

terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini, disamping sebagai

ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya (Notoatmodjo,2007).

Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan

agar sinar matahari lebih lama menyinari lantai (bukan menyinari

dinding), maka sebaiknya jendela itu harus di tengah-tengah tinggi

dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan

dengan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat secara sederhana,

yakni dengan melubangi genteng biasa pada waktu pembuatannya,

kemudian menutupnya dengan pecahan kaca (Notoatmodjo,2007).

d. Kepadatan Penghuni Rumah

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah

dengan jumlah anggota keluarga dalam suatu rumah tinggal. Persyaratan

kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m²

per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari

kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan

sederhana, minimum 9 m²/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum

3 m²/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk

suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga
32

yang menjadi penderita penyakit tuberkulosis sebaiknya tidak tidur

dengan anggota keluarga lainnya.

Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan

ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi

syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan

jumlah penghuni 9 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi

syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah

penghuni < 9 m²/orang (Lubis dalam penelitian Evi Naria, 2008).

Kepadatan penghuni dalam suatu rumah tinggal akan memberikan

pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan

jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal

ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya konsumsi

oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi,

terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang

lain (Notoatmodjo, 2003).

Menurut penelitian Atmosukarto dari Litbang Kesehatan (2000),

didapatkan data bahwa :

1) Rumah tangga yang penderita mempunyai kebiasaan tidur dengan

balita mempunyai resiko terkena TB 2,8 kali dibanding dengan yang

tidur terpisah.

2) Tingkat penularan TB di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi,

dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan kepada 2-3

orang di dalam rumahnya.


33

3) Besar risiko terjadinya penularan untuk tangga dengan penderita lebih

dari 1 orang adalah 4 kali dibanding rumah tangga dengan hanya 1

orang penderita TB.

12. Komplikasi

Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi baik sebelum

pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai

pengobatan.Beberapa komplikasi yang akan timbul adalah:

a. Batuk darah.

b. Pneumotoraks.

c. Gagal nafas.

d. Efusi pleura.

B. GAMBARAN UMUM UPT PUSKESMAS KAMPA

1. Administrasi Pemerintahan

UPT Puskesmas Kampa merupakan Puskesmas di kecamatan kampa

yang secara geografis terletak pada jalur yang strategis karena terletak dalam

jalur perdagangan antara Riau Sumbar dan Riau Sumatera Utara.

Dalam pelaksanaan program kesehatan, puskesmas juga berkoordinasi

dengan kantor camat Kampa dan lintas sektoral lainnya seperti Polsek, Dinas

P&K, Poskeswan, pertanian dan Kantor Urusan Agama. Selain itu,

puskesmas juga menjalin kerja sama yang baik dengan fasilitas rujukan dan

bermitra dengan sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama lainnya yang

ada di wilayah kerja UPT Puskesmas Kampa secara struktur pemerintahan

berada di bawah naungan Dinas Kesehatan Kabupaten.


34

Adapun Struktur Organisasi kerja Puskesmas Kampa dipimpin oleh

seorang Kepala Puskesmas dan dibantu 1 orang Kepala Tata Usaha dan 93

staff .

2. Keadaan Geografis

Wilayah kerja UPT Puskesmas Kampa meliputi 9 desa yaitu, desa

Kampar, Pulau Rambai, Koto Perambahan, Pulau Birandang, Sei Putih, Deli

Makmur, Sawah baru, Sei Tarap dan Tanjung Bungo.

Batas wilayah kerja puskesmas kampa:

Utara : Kecamatan Tapung

Timur : Kecamatan Tambang

SelataN : Kecamatan Kampar Kiri Hilir

Barat : Kecamatan Kampar dan Rumbio Jaya

Gambar 4. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Kampa


35

3. Keadaan Demografi

Jumlah penduduk yang besar bukan hanya merupakan modal tetapi juga

merupakan beban di dalam pembangunan, karenanya pembangunan diarahkan

kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia seiring dengan laju

pertumbuhan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan

penduduk. Penduduk kecamatan Kampa berdasarkan hasil registrasi penduduk

tahun 2020 berjumlah 23. 810 jiwa.

4. Gambaran Puskesmas Kampa

a. Visi dan Misi Puskesmas

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor : 375/MENKES/SK/V/2009 tentang rencana pembangunan

jangka panjang bidang kesehatan tahun 2005-2025, yang merumuskan

visi yang ingin di capai melalui pembangunan kesehatan adalah

“INDONESIA SEHAT 2025”.

Sehubungan hal tersebut, maka UPT Puskesmas Kampa

menetapkan visi yang ingin di capai yaitu : “Terwujudnya masyarakat

Kampa yang mandiri untuk hidup sehat, pada tahun 2021”.

Untuk mewujudkan visi UPT Puskesmas Kampa , maka ditetapkan misi

Puskesmas Kampa yaitu sebagai berikut :

1) Mendorong kemandirian masyarakat dan keluarga, diwilayah kerja

puskesmas Kampa untuk hidup sehat.

2) Memelihara dan meningkatkan, pelayanan kesehatan yang bermutu,

merata dan terjangkau.


36

3) Memelihara dan meningkatkan, kesehatan individu, keluarga dan

masyarakat, beserta lingkungan.

b. Sarana kesehatan

UPT Puskesmas Kampa mempunyai 5 puskesmas pembantu

(Pustu) disamping sarana kesehatan lainnya. Jumlah seluruh sarana

kesehatan yang ada di wilayah kerja UPT Puskesmas Kampa adalah

sebagai berikut :

1) Puskesmas Induk : 1 Unit

2) Puskesmas Pembantu : 5 Pustu

3) Posbindu : 9 Unit

4) Posyandu : 20 posyandu

5) Keadaan Sarana Kesehatan

6) Keadaan Bangunan Puskesmas : Baik

7) Listrik : Baik

a) Sumber : PLN

b) Waktu nyala : 24 jam

8) Sarana komunikasi : Ada

9) Kestersediaan kendaraan dinas : Tersedia

10) Sarana kesehatan lingkungan puskesmas

a) Air bersih : Ada, memenuhi syarat

b) Jamban keluarga : Ada, memenuhi syarat

c) Sarana pembuangan air limbah : Ada, memenuhi


37

c. Fungsi Puskesmas

Ada 3 fungsi utama yang diemban puskesmas dalam melaksanakan

pelayanan kesehatan dasar kepada seluruh target sasaran masyarakat di

wilayah kerjanya, yakni sebagai berikut :

1) Pusat Penggerak pembangunan berwawasan kesehatan

a) Berupaya menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah

kerjanya agar menyelenggarakan pembangunanya berwawasan

kesehatan

b) Aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari

penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah

kerjanya.

c) Mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan

penyakit tanpa menagabaikan penyembuhan dan pemulihan.

2) Pusat pemberdayaan masyarakat

Berupaya agar perorangan dapat diberdayakan terutama pemuka

masyarakat, keluarga dan masyarakat untuk hidup sehat.

a) Memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri

sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat

b) Berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan

termasuk pembiayaan.

3) Pusat pelayanan kesehatan strata pertama

Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama (primer)

secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (continue)

mencakup :
38

a) Pelayanan kesehatan perorangan

b) Pelayanan kesehatan masyarakat

d. Tujuan Puskesmas

Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh UPT

Puskesmas Kampa adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan

kesehatan nasional yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di

wilayah kerja Puskesmas Kampa agar terwujud derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya dalam rangka mewujudkan Indonesia sehat 2025.

5. Program Puskesmas

Pelaksanaan program kesehatan di UPT Puskesmas Kampa dapat

Kelompokkan kedalam dua program utama puskesmas yaitu program

kesehatan dasar dan program kesehatan pengembangan.

a. Program kesehatan dasar

Program kesehatan dasar merupakan program wajib yang harus

dilaksanakan oleh puskesmas program kesehatan dasar terdiri dari enam

program, yang biasa disebut dengan istilah program basic six. Program

kesehatan dasar di puskesmas terdiri atas :

1) Program promosi kesehatan

Program promosi kesehatan dilaksanakan untuk meningkatkan

pengetahuan dan menumbuhkan sikap positif (kemauan) dan

perilaku kesadaran individu, keluarga dan masyrakat secara mandiri


39

untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan sendiri

dan lingkungannya.

Kegiatan program promosi kesehatan yang dilakukan meliputi

penyuluhan kesehatan, pembinaan usaha kesehatan berbasis

masyarakat (UKBM), pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat

(PHBS), dan koordinasi dengan lintas program yang terkait seperti

usaha kesehatan sekolah (UKS), usaha Kesehatan gigi sekolah

(UKGS) dan usaha kesehatan gigi masyarakat (UKGMD).

2) Program kesehatan lingkungan

Tujuan program kesehatan lingkungan adalah untuk

mewujudkan lingkungan hidup yang sehat agar masyarakat dapat

terlindungi dari ancaman dan bahaya penyakit ysng berasal dari

lingkungan.

Kegiatan program kesehatan lingungan meliputi pengawasan

dan pembinaan Sarana Air Bersih (SAB), pengawasan dan

pembinaan jamban keluarga, pengawasan dan pembinaan tempat

umum (TTU)/ TPM/pestisida, pelayanan klinik sanitasi, penyuluhan

kesehatan lingkungan.

3) Program kesehatan ibu dan anak (KIA) dan keluarga berencana

(KB)

Tujuannya adalah untuk meningkatkan status kesehatan ibu

dan anak sejaka dalam kandungan. Sasaran program ini adalah ibu

hamil, ibu melahirkan dan bayinya serta ibu menyusui dan wanita

usia subur.
40

Kegiatan yang dilaksanakan yaitu pelayanan KIA/KB meliputi

ANC, PNC, perawatan Neonatus , pelayanan KB, penyuluhan

KIA/KB, kelas ibu hamil dan program deteksi dini tumbuh

kembang pada anak balita.

4) Program perbaikkan gizi masyarakat

Dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi

masyarakat melalui penemuan dan perbaikkan/ penangggulangan

gizi buruk terutama pada balita dan ibu hamil.

Kegiatan ini meliputi pembinaan posyandu, pemantauan status

gizi (PSG), pemantauan pengungguna garama beriodium, asi

eksklusif, pemberian kapsul vitamain A pada bayi balita dan ibu

hamil, penyuluhan gizi ,kegiatan pemberian makanan balita.

5) Program pemberantasan penyakit menular dan penyakit tidak

menular

Tujuan pemberantasan penyakit menular adalah untuk

mencegah terjadinya dan tersebarnya penyakit menular serta

menurunkan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat

penyakit menular sehingga tidak terjadi masalah kesehatan

masyarakat.

Kegiatannya P2M meliputi : P2 TB, P2 KUSTA, P2

malaria,P2 DBD, P2 ISPA, P2 Diare, Imunisasi, Surveilans dan

pelaksanaan pemberian obat pencegahan penyakit filariasis tahun ke

empat.
41

6) Program posbindu penyakit tidak menular (PTM)

Sebuah kegiatan yang melibatkan peran serta masyarakat/

sumberdaya masyarakat (UKBM) dalam upaya pengendalian factor

resiko berupa deteksi dini, pemantauan dan tindak lanjut dini faktor

resiko penyakit tidak menular secara mandiri dan

berkesinambungan dan semua kegiatan dibawah pembinaan

puskesmas.

7) Program kesehatan pengembangan

a) Program pelayanan kesehatan usia lanjut (USILA)

Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan status

kesehatan pada usia lanjut untuk mencapai derajat kesehatan

yang optimal. Kegiatan kesehatan lansia adalah pendataan

sasaran lansia, penjaringan kesehatan lansia, pelayanan

kesehatan, penyuluhan kesehatan lansia dan kegiatan lainnya

seperti senam lansia.

b) Program perawatan kesehatan keluarga (Perkesmas)

Program ini berbentuk kunjungsn rumh terhadap keluarga-

keluarga yang memiliki resiko tinggi mendapatkam masalah

kesehatan seperti keluarga yang memiliki bayi,balita, lansia,

penderita penyakit kronis dll.

Tujuan dari program ini adalah agar individu dapat mengenali

masalah kesehatan yang terjadi pada diri dan keluarganya

secaradini dan dapat memilihalternatif pilihan pemecahan

masalah kesehatan yang terjadi tersebut.


42

c) Program kesehatan dan olahraga (Kesoga)

Bentuk program ini adalah pembinaan yang dilakukkan

terhadap kelompok-kelompok olahraga yang ada di kecamatan

Kampar kiri.

d) Program kesehatan jiwa

Dilaksanakan dalam bentuk sosialisasi dan screening terhadap

kasus kejiwaan serta kasus yang merujuk pada pendekatan

personal terhadap pasien yang dianggap memerlukan

konseling lanjutan serta memberikan edukasi kepada keluarga

pasien.

e) Program kesehatan indra

Dilaksanakan dalam bentuk upaya promosi agar kesehatan

indra (mata dan telinga) ikut menjadi salah satu skala prioritas

kesehatan pada masyarakat.

f) Program usaha kesehatan kerja (UKK)

Dilaksanakan dalam bentuk pelayanan kesehatan terhadap

tenaga kerja yang berada diwilayah kerja

g) Program usaha kesehatan sekolah (UKS)

Suatu upaya yang dilakukan dalam rangka pembinaan

kesehatan anak usia sekolah, untuk menumbuhkan dan

mewujudkan kemandirian anak agar hidup sehat. Sasaran

program ini adalah murid sekolah SD, SLTP,SLTA dan

lingkungan sekolahnya.
43

C. KERANGKA TEORI

Kerangka teori adalah rangkuman dari penjabaran teori yang sudah diuraikan

sebelumnya dalam bentuk naratif, untuk memberikan batasan tentang teori yang

dipakai sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan (Hidayat, 2014).

Faktor Predisposisi
.
Pejamu (Manusia)
1. Kebiasaan merokok
2. Karakteristik Pasien TB Paru:
 Umur
 Jenis Kelamin
 Pendidikan
 Pekerjaan
 Pendapatan Keluarga/ Kejadian TB Paru di UPT
Ekonomi
Puskesmas Kampa
Faktor Pendukung
Lingkungan
 Kepadatan Hunian
 Luas Ventilasi
 Pencahayaan
 Kelembaban
 Suhu
Skema 2.1 Kerangka Teori

D. KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep merupakan justifikasi ilmiah topic yang dipilih sesuai

dengan identifikasi masalah. Kerangka konsep harus didukung landasan teori

yang kuat serta ditunjang oleh informasi yang bersumber pada berbagai laporan

ilmiah, hasil penelitian, jurnal penelitian, dan lain-lain (Hidayat, 2014).

Variabel Independen
Variabel Dependen
 Pekerjaan
 Pendapatan/ Ekonomi Kejadian TB Paru di UPT
 Lingkungan (Kepadatan
Puskesmas Kampa
Hunian dan Luas Ventilasi)
44

E. HIPOTESIS

Hipotesis adalah jawaban sementara penelitian, patokan duga, atau dalil

sementara yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian (Notoatmojo,

2010).

1. Ada hubungan Pekerjaan dengan kejadian TB Paru di UPT Puskesmas

Kampa

2. Ada hubungan Pendapatan/ Ekonomi dengan kejadian TB Paru di UPT

Puskesmas Kampa

3. Ada hubungan Kepadatan Hunian dengan kejadian TB Paru di UPT

Puskesmas Kampa

4. Ada hubungan Luas Ventilasi dengan kejadian TB Paru di UPT Puskesmas

Kampa.
45

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-

sectional untuk mengetahui gambaran kejadian Tuberkulosis Paru di UPT

Puskesmas Kampa Periode November 2021 – Februari 2022. Rancangan

cross sectional merupakan rancangan penelitian dengan melakukan

pengukuran atau pengamatan variabel independen dan variabel dependen

dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Notoatmojo, 2012). Pada

penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi penderita tuberculosis

berdasarkan pekerjaan, ekonomi, dan lingkungan.

Rancangan Penelitian

Penelitian Dimulai

Menentukan sampel pasien TB di


UPT Puskesmas Kampa Periode
November 2021-Februari 2022

Pekerjaan, Pendapatan/ Ekonomi,


Lingkungan (Kepadatan Hunian
dan Luas Ventilasi) Melakukan
pengamatan Hasil pengamatan
bersamaan
Kejadian TB Paru di UPT
Puskesmas Kampa Hasil analisis

Skema 3.1 Rancangan Penelitian

45
46

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

a. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah kerja UPT Puskesmas Kampa

b. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Maret-April 2022.

3. Populasi dan Sample

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek (misalnya manusia, klien) yang

memenuhi kriteria untuk di jadikan subjek penelitian (Nursalam, 2017).

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien TB yang didiagnosis

pada bulan November 2021-Februari 2022 yaitu sebanyak 10 orang.

b. Sampel

Sampel adalah sebuah gugus atau sejumlah tertentu anggota himpunan

yang dipilih dengan cara tertentu agar mewakili populasi (Supardi, 2013).

Besar sampel dalam penelitian ini adalah 10 orang.

c. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah teknik total

sampling. Data yang dikumpulkan menggunakan kuisioner yang

diberikan kepada 10 orang responden.

4. Definisi Operasional

Definisi Operasional berfungsi untuk menyederhanakan arti kata atau

pemikiran tentang ide, kata-kata yang digunakan agar orang lain memahami

maksudnya sesuai keinginan penelitian (Notoatmojo, 2012).


47

 Variabel bebas (X) yaitu Pekerjaan, Pendapatan/ Ekonomi, Lingkungan

(Kepadatan Hunian dan Luas Ventilasi)

 Variabel terikat (Y) yaitu Kejadian TB Paru di UPT Puskesmas Kampa.

a. Pekerjaan

Pekerjaan yang dilakukan responden sehari-hari sebagai mata

pencaharian utama. Pekerjaan juga menjadi salah satu faktor karena

lingkungan pekerjaan dan apa yang dilakukan oleh pekerjaan tersebut,

seperti pekerjaan diluar ruangan.

b. Ekonomi/ Pendapatan

Penghasilan responden dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 3

kategori, yaitu ekonomi kelas kebawah < Rp.1.000.000, ekonomi kelas

menengah Rp. 1.000.000- 3.000.000, ekonomi kelas atas > Rp.

3.000.000. Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas penghasilan rendah dan

termasuk dalam kelompok social ekonomi rendah. Berdasarkan

permenkes (2016) dikatakan bahwa TB banyak menyerang kelompok

social ekonomi yang rendah.

c. Lingkungan

Lingkungan yang di lakukan pada penelitian ini terhadap responden

berdasarkan kepadatan hunian, dan luas ventilasi.


48

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

a. Pengolahan Data (Editing)

Menggunakan data primer yaitu berupa Laporan Novmber 2021—

Februari 2022 di UPT Puskesmas Kampa Timur sehingga dapat diproses

lebih lanjut dan data sekunder dengan membagikan kuesioner.

b. Pengkodean (Coding)

Usaha mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada menurut macamnya,

menjadi bentuk yang lebih ringkas menggunakan kode.

c. Pemasukan Data (Entry)

Memasukkan data ke dalam perangkat komputer sesuai dengan kriteria.

d. Pembersihan Data (Cleaning data)

e. Data yang telah di masukkan kedalam komputer diperiksa kembali untuk

mengkoreksi kemungkinan kesalahan.


49

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2022 di wilayah kerja

UPT Puskesmas Kampa dengan jumlah Responden 10 orang. UPT Puskesmas

Kampa merupakan Puskesmas di kecamatan kampa yang secara geografis terletak

pada jalur yang strategis karena terletak dalam jalur perdagangan antara Riau

Sumbar dan Riau Sumatera Utara. Dalam pelaksanaan program kesehatan,

puskesmas juga berkoordinasi dengan kantor camat Kampa dan lintas sektoral

lainnya seperti Polsek, Dinas P&K, Poskeswan, pertanian dan Kantor Urusan

Agama. Selain itu, puskesmas juga menjalin kerja sama yang baik dengan fasilitas

rujukan dan bermitra dengan sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama lainnya

yang ada di wilayah kerja UPT Puskesmas Kampa secara struktur pemerintahan

berada di bawah naungan Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar. Adapun Struktur

Organisasi kerja Puskesmas Kampa dipimpin oleh seorang Kepala Puskesmas dan

dibantu 1 orang Kepala Tata Usaha dan 93 staff. Wilayah kerja UPT Puskesmas

Kampa meliputi 9 desa yaitu, desa Kampar, Pulau Rambai, Koto Perambahan,

Pulau Birandang, Sei Putih, Deli Makmur, Sawah baru, Sei Tarap dan Tanjung

Bungo. Batas wilayah UPT Puskesmas Kampa sebelah Utara berbatasan dengan

Kecamatan Tapung, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kampar Kiri

Hilir, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kampar dan Rumbio Jaya, dan

sebelah Timur berbatasan denganKecamatan Tambang. Penduduk kecamatan

Kampa berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2020 berjumlah 23. 810 jiwa.

(Profil Puskesmas kampa, 2020)

49
50

B. Hasil Penelitian
1. Karakteristik Responden
Tabel 4.1 Karakteristik Responden TB Paru di UPT Puskesmas
Kampa Periode November 2021-Februari 2022

Karakteristik Jumlah (%)


Jenis Kelamin
Laki-laki 6 60
Perempuan 4 40
Jumlah 10 100
Usia (Tahun)
1-10 Tahun 0 0
11-20 Tahun 0 0
21-30 Tahun 1 10
31-40 Tahun 3 30
41-50 Tahun 4 40
51-60 Tahun 1 10
61-70 Tahun 1 10
Jumlah 10 100
Status Pernikahan
Menikah 10 100
Belum Menikah 0 0
Jumlah 10 100
Pendidikan
SD 2 30
SMP 4 40
SMA 3 30
Perguruan Tinggi 1 10
Jumlah 10 100

Berdasarkan table 5.2.1 diperoleh keterangan bahwa dari 10 responden

terdapat 6 responden (60 %) laki-laki, 4 Responden (40%) berusia 41-50

tahun, 10 responden (100%) menikah, dan 4 responden (40%) berpendidikan

tamatan SMP.

2. Analisis Univariat

Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 10 orang. Analisis

Univariat dalam penelitian ini yaitu Pekerjaan, Status sosial ekonomi,dan

Lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh distribusi responden TB


51

paru di UPT Puskesmas Kampa periode November 2021- Februari 2022 dapat

dilihat dari table dibawah ini :

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden TB Paru Berdasarkan


Pekerjaan di UPT Puskesmas Kampa Periode November
2021-Februari 2022

Persentase
No Variabel Independen Frekuensi (n)
(%)
1 Pekerjaan
a. Tidak Bekerja 2 20
b. Bekerja (PNS/ TNI/ POLRI/ Swasta/ 8 80
Wiraswasta/ Buruh)
Total 10 100

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat dari 10 responden, sebagian besar

yaitu 8 responden (80%) bekerja, dan sebagian kecil yaitu 2 responden (20%)

tidak bekerja.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden TB Paru Berdasarkan


Status Sosial Ekonomi di UPT Puskesmas Kampa Periode
November 2021-Februari 2022

Persentase
No Variabel Independen Frekuensi (n)
(%)
1 Status Sosial Ekonomi (Pendapatan)
a. Ekonomi Kelas Kebawah 6 60
b. Ekonomi Kelas Menengah 3 30
c. Ekonomi Kelas Atas 1 10
Total 10 100

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat dari 10 responden, sebagian besar

yaitu 6 responden (60%) memiliki ekonomi kelas kebawah, 3 responden

(30%) memiliki ekonomi kelas menengah, dan sebagian kecil yaitu 1

responden (10%) memiliki kelas ekonomi keatas.


52

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden TB Paru Berdasarkan


Kepadatan Hunian di UPT Puskesmas Kampa Periode
November 2021-Februari 2022

Persentase
No Variabel Independen Frekuensi (n)
(%)
1 Lingkungan Kepadatan Hunian
a. Tidak Memenuhi Syarat ( < 9 m 2/ orang) 7 70
b. 2
Memenuhi Syarat ( ≥ 9 m / orang) 3 30
Total 10 100

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat dilihat dari 10 responden, sebagian besar

yaitu 7 responden (70%) tinggal di lingkungan kepadatan hunian yang tidak

memenuhi syarat, dan sebagian kecil yaitu 3 responden (30%) tinggal di

lingkungan kepadatan hunian yang memenuhi syarat.

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden TB Paru Berdasarkan Luas


Ventilasi di UPT Puskesmas Kampa Periode November
2021-Februari 2022

Persentase
No Variabel Independen Frekuensi (n)
(%)
1 Lingkungan Kepadatan Hunian
a. Tidak Memenuhi Syarat ( < 9 m 2/ orang) 7 70
b. Memenuhi Syarat ( ≥ 9 m 2/ orang) 3 30
Total 10 100

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat dari 10 responden, sebagian besar

yaitu 7 responden (70%) tinggal di lingkungan luas ventilasi yang tidak

memenuhi syarat, dan sebagian kecil yaitu 3 responden (30%) tinggal di

lingkungan luas ventilasi yang memenuhi syarat.


53

BAB V
PEMBAHASAN

A. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Gambaran Pekerjaan Pasien TB Paru di UPT Puskesmas Kampa

Responden pada penelitian ini menunjukkan sebagian besarnya yaitu 8

responden (80 %) bekerja dan hanya sebagian kecil yaitu 2 responden (20 %)

yang tidak bekerja. Hubungan pekerjaan dengan kejadian masalah kesehatan

disebabkan adanya risiko pekerjaan, orang yang bekerja disuatu tempat akan

terkena penyakit berdasarkan paparan yang dialaminya.

Penderita TB paru yang dirawat inap sebagian besar bekerja sebagai

Petani dan buruh/ karyawan yang notabenenya lebih cenderung mendapatkan

paparan polusi tinggi dan tingkat kelelahan yang besar. Tingkat kelelahan

yang diterima dengan jumlah yang besar memungkinkan seseorang

mengalami penurunan imun tubuh ditambah lagi dengan asupan energi yang

kurang akan meningkatkan risiko untuk terjangkitnya TB paru.

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa jenis

pekerjaan dapat berperan didalam timbulnya penyakit melalui beberapa faktor

(Notoatmodjo,2011).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan seseorang yang bekerja

cenderung lebih berisiko terinfeksi TB Paru dikarenakan seseorang yang

bekerja akan mudah terpapar dengan orang disekitarnya dan status pekerjaan

juga berkaitan dengan sosial ekonomi seseorang dimana dapat memberikan

kontribusi terhadap kemudahan terinfeksi TB paru. Mengingat TB paru erat

sekali kaitannya dengan sosial ekonomi, sehingga perlunya pemerintah

53
54

melakukan perbaikan lapangan pekerjaan yang memadai dan sesuai dengan

keterampilan yang dimiliki masyarakat. Selain itu hendaknya pekerja

memperhatikan alat pelindung diri seperti masker dan sarung tangan ketika

bekerja diluar ruang yang terpapar langsung dengan sumber-sumber penyebab

TB paru seperti polusi dan sampah.

2. Gambaran Status Sosial Ekonomi/ Pendapatan Pasien TB Paru di UPT

Puskesmas Kampa

Hasil Penelitian dari 10 responden, sebagian besar yaitu 6 responden

(60%) memiliki ekonomi kelas kebawah, 3 responden (30%) memiliki

ekonomi kelas menengah, dan sebagian kecil yaitu 1 responden (10%)

memiliki kelas ekonomi keatas.

Upah minimum Kabupaten Kampar sesuai dengan keputusan yang

dipublikasikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi

Kalimantan Barat adalah sebesar Rp.3.048.000 sedangkan rata-rata

pendapatan responden adalah sebesar < RP 1.000.000.

Tingkat sosial ekonomi yang rendah dikarenakan penghasilan yang

minim atau kurang untuk mencukupi kehidupan sehari-hari terutama

pemenuhan kebutuhan gizinya, lingkungan rumah yang sehat dan kemampuan

pembiayaan dalam bidang kesehatan karena masih terfokus atas kebutuhan

pokoknya. Keadaan status gizi dan penyakit infeksi merupakan pasangan yang

terkait. Penderita infeksi sering mengalami anoreksia, penggunaan waktu yang

berlebih, penurunan gizi atau gizi kurang akan memiliki daya tahan tubuh

yang rendah dan sangat peka terhadap penularan penyakit. Pada keadaan gizi
55

yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun sehingga kemampuan

dalam mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi seperti TB paru menjadi

menurun. Demikian juga sebaliknya seseorang yang menderita penyakit

kronis, seperti TB paru umumnya status gizinya mengalami penurunan.

Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan tingkat pendapatan

yang rendah erat kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk peningkatan

gizi baik, pemanfaatan kesehatan yang berkualitas, dan pememnuhan syarat

rumah sehat sehingga risiko penularan dan menularkan TB paru semakin

besar. Oleh karena itu, perlunya peningkatan pemahaman untuk pemenuhan

gizi seimbang juga tidak selalu dengan harga yang mahal, sehingga peran

tenaga kesehatan dan pemerintah untuk menyebarluaskan informasi mengenai

fortifikasi makanan dengan yang lebih sederhana dan terjangkau oleh seluruh

lapisan masyarakat dalam pemenuhan kalori dan protein serta kekurangan zat

besi karena dapat meningkatkan risiko terkena TB paru. Kemudian

peningkatan kualitas kesehatan bagi masyarakat tidak mampu serta bantuan

perumahan dari pemerintah agar terpenuhinya syarat rumah sehat.

3. Gambaran Lingkungan TB Paru di UPT Puskesmas Kampa

a. Gambaran Lingkungan Kepadatan hunian Pasien TB Paru di UPT

Puskesmas Kampa

Hasil penelitian diperoleh dari 10 responden, sebagian besar yaitu

7 responden (70%) tinggal di lingkungan kepadatan hunian yang tidak

memenuhi syarat, dan sebagian kecil yaitu 3 responden (30%) tinggal di

lingkungan kepadatan hunian yang memenuhi syarat.


56

Berbagai penelitian membuktikan adanya kaitan antara kepadatan

hunian dengan TB paru, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh

Nurwitasari (2015) yang menyatakanbahwa kedekatan merupakan faktor

risiko TB paru. Dimana Akamal (2013) juga menyatakan hal yang sama

dalam penelitiannya bahwa penularan tuberkulosis sangat dipengaruhi

kepadatan suatu hunian dikarenakan penularan tuberkulosis melalui

droplet, sehingga jika ada salah satu penghuni positif tuberkulosis maka

penyakit akan cepat menyebar ke penghuni lainnya.

Berdasarkan Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang

persyaratan kesehatan rumah tinggal menunjukkan luas ruang tinggal

menunjukkan luas ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan lebih

dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak yang berusia

kurang dari 5 tahun. Jumlah penghuni rumah yang banyak akan semakin

menambah bibit penyakit dan mempercepat penularan penyakit proses

pertukaran udara bersih akan terpenuhi.

Menurut Prabu dalam Soemirat (2000), luas lantai bangunan rumah

sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai

bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya

agar tidak menyebabkan overload. Persyaratan kepadatan hunian untuk

seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2 /orang. Luas minimum per

orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang

tersedia .

Semakin banyaknya penghuni rumah, semakin meningkat pula

kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan


57

tumbuh dan berkembang biak lebih bagi mycobacterium tubrculosis.

Degan demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh

penghuni rumah melalui saluran pernapasan (Depkes RI, 2002).

Dari segi kesehatan, kepadatan hunian mempunyai pengaruh besar

terhadap kesehatan masyarakat, karena kepadatan mempengaruhi

timbulnya suatu penyakit maupun kematian akibat penyakit menular.

Kepadatan juga dianggap sebagai faktor risiko terjadinya penyakit

tuberkulosis paru karena kedekatan membuat penghuni melakukan

kontak dengan udara yang terkontaminasi bakteri yang menyebabkan

infeksi.

b. Gambaran Lingkungan Luas Ventilasi Pasien TB Paru di UPT

Puskesmas Kampa

Hasil penelitian diperoleh dari 10 responden, sebagian besar yaitu

7 responden (70%) tinggal di lingkungan luas ventilasi yang tidak

memenuhi syarat, dan sebagian kecil yaitu 3 responden (30%) tinggal di

lingkungan luas ventilasi yang memenuhi syarat.

Penelitian yang dilakukan Murtiningsih (2014) ada hubungan yang

bermakna antara luas ventilasi rumah terhadap TB paru. Begitu pula

dengan penelitian Widiyarsih (2014), menyatakan ada hubungan antara

ventilasi dengan tuberkulosis paru.

Hasil observasi pada saat melakukan penelitian ditemukan kamar

tidur penderita dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat

kesehatan dikarenakan terdapat lubang angin yang kecil, sebagian


58

penderita menutup ventilasi dengan plastik bening dan sebagiannya

dengan triplek. Menurut Notoatmodjo (2011) ventilasi mempunyai

fungsi, fungsi utama adalah untuk menjaga aliran udara dalam rumah

tersebut tetap sejuk.

Ventilasi merupakan salah satu faktor pendukung rumah sehat

sebagai tempat pergantian udara dalam ruang. Ventilasi dalam rumah

membantu kualitas udara dalam ruangan, temperatur ruang yang

memenuhi syarat.Ventilasi juga mempengaruhi proses dilusi udara serta

mengencerkan konsentrasi kuman TBC dan kuman lain, dimana kuman

tersebut akan terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet

(Whardana, 2006).

Ventilasi yang tidak memenuhi syarat akan mengakibatkan

terhalangnya proses pertukaran udara dan sinar matahari ke dalam rumah

akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat

keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. Selain itu ventilasi

yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan memberikan dampak pada

proses pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban

didalam ruangan (Budiman, 2011).

Ventilasi yang memenuhi syarat memungkinkan adanya pergantian

udara dalam kamar, sehingga dapat mengurangi kemungkinan penularan

pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman. Kamar

dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat menyebabkan kuman

selalu dalam konsentrasi tingi sehingga memperbesar penularan kepada

orang lain. Ventilasi rumah yang tidak cukup menyebabkan aliran udara
59

tidak terjaga sehingga kelembaban udara didalam ruangan naik dan

kondisi ini menjadi media yang baik bagi perkembangan kuman

petogen. Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar,

diperlukan minimum luas lubang ventilasi tetap 10% dari luas lantai

(Simbolon, 2007).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, ventilasi merupakan salah

satu faktor pendukung rumah sehat sebagai tempat pergantian udara

dalam ruang. Ventilasi dalam rumah membantu kualitas udara dalam

ruangan, temperatur ruang yang memenuhi syarat. Ventilasi juga

mempengaruhi proses dilusi udara serta mengencerkan konsentrasi

kuman TBC. Ventilasi yang memenuhi syarat memungkinkan adanya

pergantian udara dalam kamar, sehingga dapat mengurangi

kemungkinan penularan pada orang lain seiring dengan menurunnya

konsentrasi kuman.

Melihat permasalahan yang ada, sebaiknya masyarakat untuk

memaksimalkan fungsi dari ventilasi dengan tidak menghalangi ventilasi

sebagai jalur pergantian udara. Ada baiknya juga masyarakat untuk

menanam pepohonan disekitar rumah agar udara menjadi sejuk, namun

jangan sampai menutupi ventilasi di rumah.

B. Keterbatasan Penelitian

Berdasarkan pada pengalaman langsung peneliti dalam proses penelitian ini,

ada beberapa keterbatasan yang dialami dan dapat menjadi beberapa faktor yang

agar dapat untuk lebih diperhatikan bagi peneliti-peneliti yang akan datang dalam
60

lebih menyempurnakan penelitiannya karena penelitian ini sendiri tentu memiliki

kekurangan yang perlu terus diperbaiki dalam penelitian-penelitian kedepannya.

Beberapa keterbatasan dalam penelitian ini antara lain:

1. Pada faktor lingkungan variable yang peneliti teliti hanya 2 variabel yaitu

kepadatan hunian dan luas ventilasi. Sedangkan variable lain seperti

pencahayaan rumah, kelembaban udara dan suhu dalam ruangan tidak peneliti

teliti dikarenakan keterbatasan alat dan waktu persiapan dalam penelitian ini.

2. Dalam proses pengambilan data, informasi yang diberikan responden melalui

kuesioner terkadang tidak menunjukkan pendapat responden yang sebenarnya,

hal ini terjadi karena kadang perbedaan pemikiran, anggapan, dan pemahaman

yang berbeda tiap responden, juga faktor lain seperti faktor kejujuran dalam

pengisian pendapat responden dalam kuesionernya.


61

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang Gambaran Kejadian TB Paru di

UPT Puskesmas Kampa periode November 2021-Februari 2022 maka dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Dari status pekerjaan dari 10 responden, sebagian besar yaitu 8 responden

(80%) bekerja dan hanya sebagian kecil yaitu 2 responden (20%) tidak

bekerja. Seseorang yang bekerja cenderung lebih berisiko untuk terinfeksi

TB paru. Mengingat TB paru erat sekali kaitannya dengan sosial ekonomi,

sehingga perlunya pemerintah melakukan perbaikan lapangan pekerjaan

yang memadai dan sesuai dengan keterampilan yang dimiliki masyarakat.

Selain itu hendaknya pekerja memperhatikan alat pelindung diri seperti

masker dan sarung tangan ketika bekerja diluar ruang yang terpapar
61
langsung dengan sumber-sumber penyebab TB paru seperti polusi dan

sampah.

2. Menurut tingkat ekonomi diketahui dari 10 responden, sebagian kecilnya

yaitu 1 responden (10%) memiliki tingkat ekonomi kelas atas, 3 responden

(30%) memiliki tingkat ekonomi kelas menengah, dan sebagian besar

yaitu 6 responden (60%) memiliki tingkat ekonomi kelas bawah. Rata-rata

pendapatan responden sebesar Rp 1.270.000 dengan pendapatan terendah

sebesar Rp 500.000 dan pendapatan tertinggi 3.400.000. Tingkat

pendapatan yang rendah erat kaitannya dengan kemampuan seseorang

untuk peningkatan gizi baik, pemanfaatan kesehatan yang berkualitas, dan


62

pememnuhan syarat rumah sehat sehingga risiko penularan dan

menularkan TB paru semakin besar. Oleh karena itu, perlunya peningkatan

pemahaman untuk pemenuhan gizi seimbang juga tidak selalu dengan

harga yang mahal, sehingga peran tenaga kesehatan dan pemerintah untuk

menyebarluaskan informasi mengenai fortifikasi makanan dengan yang

lebih sederhana dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dalam

pemenuhan kalori dan protein serta kekurangan zat besi karena dapat

meningkatkan risiko terkena TB paru. Kemudian peningkatan kualitas

kesehatan bagi masyarakat tidak mampu serta bantuan perumahan dari

pemerintah agar terpenuhinya syarat rumah sehat.

3. Diketahui tingkat kepadatan penguni rumah dari 10 responden, sebagian

besar yaitu 7 rumah responden (70%) memiliki kepadatan hunian yang

tidak memenuhi syarat, sedangkan sebagian kecilnya yaitu 3 rumah

responden (30%) memiliki kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Rata-

rata jumlah anggota dalam rumah responden sebanyak 5 orang, paling

sedikit 3 orang dan paling banyak 7 orang yang tinggal bersama

responden.

4. Diketahui dari 10 responden, hanya sebagian kecilnya yaitu 3 rumah

responden (30%) memiliki luas ventilasi yang memenuhi syarat,

sedangkan sebagian besarnya yaitu 7 rumah responden (70%) memiliki

luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat. Rata-rata luas ventilasi 4 m2.

Melihat permasalahan yang ada, sebaiknya masyarakat untuk

memaksimalkan fungsi dari ventilasi dengan tidak menghalangi ventilasi

sebagai jalur pergantian udara. Ada baiknya juga masyarakat untuk


63

menanam pepohonan disekitar rumah agar udara menjadi sejuk, namun

jangan sampai menutupi ventilasi di rumah.

5. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan variabel yang lebih

mempengaruhi terjadinya tuberkulosis paru yaitu variabel pekerjaan,

karena terbukti dari 10 orang responden yang positif tuberkulosis paru 8

orang yang bekerja dan 2 orang yang tidak bekerja ( 8 : 2). Sementara dari

variabel lingkungan dari 10 responden yang positif 7 responden yang

memiliki lingkungan tidak memenuhi syarat dan 3 respon yang

memenuhi syarat( 7:3). Dan dari variabel social ekonomi di jumpai 6

responden tingkat ekonomi kebawah, 3 responden tingkat ekonomi

menengah, 1 responden tingkat ekonomi keatas ( 6:3:1).

B. Saran

1.Mengingat TB paru erat sekali kaitannya dengan pekerjaan, sehingga perlunya

pemerintah melakukan perbaikan lapangan pekerjaan yang memadai dan sesuai

dengan keterampilan yang dimiliki masyarakat. Selain itu hendaknya pekerja

memperhatikan alat pelindung diri seperti masker dan sarung tangan ketika

bekerja diluar ruang yang terpapar langsung dengan sumber-sumber penyebab TB

paru seperti polusi dan sampah.

2. Berdasarkan keterangan diatas, dapat disimpulkan tingkat pendapatan yang

rendah erat kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk peningkatan gizi baik.

Sehingga Perlunya peningkatan pemahaman untuk pemenuhan gizi seimbang juga

tidak selalu dengan harga yang mahal, dan peran tenaga kesehatan dan

pemerintah untuk menyebarluaskan informasi mengenai fortifikasi makanan


64

dengan yang lebih sederhana dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat

dalam pemenuhan kalori dan protein serta kekurangan zat besi karena dapat

meningkatkan risiko terkena TB paru. Kemudian peningkatan kualitas kesehatan

bagi masyarakat tidak mampu serta bantuan perumahan dari pemerintah agar

terpenuhinya syarat rumah sehat.

3. Masyarakat yang memiliki anggota keluarga dalam satu rumah yang menderita

tuberculosis paru diharapkan dapat membudayakan PHBS dalam kehidupan

sehari-hari, juga masyarakat dapat lebih memperhatikan kondisi lingkungan fisik

rumah yang sehat.


65

DAFTAR PUSTAKA

Fredric, L.C dan Barry, M.B. (2014). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Gagal
Ginjal Kronik Volume 3 (Edisi 13). Jakarta: EGC.

Department of Health. (2015). Guideline Treatment of Tuberculosis in Renal


Disease. Version 3.0.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013, Laporan


Nasional Riskesdas. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2006). Tuberkulosis Pedoman Diagnosis


dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 67 tahun 2016 tentang


penanggulangan tuberkulosis.

Romanowski, K., Clark, E.G., Levin, A., Cook, V.J., Johnston, J.C. (2016).
Tuberculosis and Chronic Kidney Disease: An Emerging Global Syndemic.
Available From: http://www.kidney-international.com/article/S0085-
432538(16)300539/pdf#article//S0085-2538(16)30053-9/fulltext?
mobileUi=1.

Amril, Y., 2002. Keberhasilan Directly Observed Therapy (DOT) Pada


Pengobatan TB Paru Kasus Baru di BP4 Surakarta. Tesis. Jakarta : Bagian
Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI.

Bahar, A., 2000. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor
Soeparman . jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI hal. 715–727.

Gitawati, R., & Nani S., 2002. Study Kasus Hasil Pengobatan Tuberkulosis Paru
di Sepuluh Puskesmas di DKI Jakarta 1996 – 1999. Cermin Dunia
Kedokteran. 137 : 1-20.

Hasmi, 2006. Hubungan Lingkungan Perumahan, Pengetahuan, dan Perilaku


Penderita TB Paru dengan Kasus Baru TB Paru dalam Rumah di
Kabupaten Kebumen. Tesis. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

65
66

Intang, B., 2004. Evaluasi Faktor Penentu Kepatuhan Minum Obat Anti
Tuberkulosis di Puskesmas Kabupaten Maluku Tenggara. Tesis.
Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Mansyur, S., 2001. The Pattern of Antituberculosis Drugs in Pulmonary


Tuberculosis Patients, Tuberculosis Outpatients Clinic Pesahabatan
Hospital. Jakarta : Jurnal Respirologi Indonesia. 21 : 24 – 26.

Siregar, Melisah Pitri. 2012. Hubungan Karakteristik Rumah Dengan Kejadian


Penyakit Tuberkulosis Paru DI Puskesmas Simpang Kiri Kota
Subulassalam Tahun 2012. Jurnal USU. Diakses dari
https://jurnal.usu.ac.id/index.php/lkk/article/viewFile/1219/619

Anda mungkin juga menyukai