Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama
kesehatan yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian
(mortalitas).Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta
pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia.1
Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010)
sekitar 8,8 juta (antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Masih
berdasarkan data pada tahun 2010, diperkirakan pula sebanyak 1,1 juta
kematian (rentang antara 0,9-1,2 juta) terjadi akibat tubeculosis pada
penderita TB dengan HIV negatif dan sebanyak 0,35 juta kematian (rentang
0.32-0.39 juta ) yang terjadi akibat TB pada penderita dengan HIV positif.
Hal yang perlu dicermati adalah penurunan jumlah absolut kasus TB sejak
tahun 2006, diikuti dengan penurunan insidensi kejadian dengan angka
estimasi kematian sejak tahun 2002. Dan sekitar 10 juta anak-anak di tahun
2009 menjadi yatim piatu karena orang tua yang mengidap TB.2
Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak
di dunia setelah India dan Cina.Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000
kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di
Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi
pada lebih dari 70% usia produktif (15-50 tahun).3
Besar dan luasnya permasalahan akibat TB mengharuskan kepada
semua pihak untuk dapatberkomitmen dan bekerjasama dalam melakukan
penanggulangan TB.Kerugian yangdiakibatkannya sangat besar, bukan hanya
dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspeksosial maupun
ekonomi.Dengan demikian TB merupakan ancaman terhadap cita-
citapembangunan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara
menyeluruh.Karenanya perangterhadap TB berarti pula perang terhadap
kemiskinan, ketidakproduktifan, dan kelemahan akibatTB.
Mengingat jumlah penderita TB masih banyak dan menjadi penyebab
kematian yang termasuk tinggi serta timbulnya komplikasi dan/atau beban

1
fisik maupun psikis terhadap pasien, maka upaya yang paling baik adalah
melakukan pencegahan.

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui pendekatan kedokteran keluarga pada pasien dengan
Tuberkulosis di Puskesmas Puntikayu tahun 2019.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi masalah-masalah pada pasien secara holistik.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap masalah
pasien.
3. Melakukan tatalaksana kasus TB Paru pada pasien secara
komprehensif.

1.3. Manfaat Penulisan


1.3.1. Manfaat Teoritis
a. Bagi institusi
Diharapkan laporan kasus ini dapat menambah bahan referensi dan
studi kepustakaan tentang penatalaksanaan kasus melalui pendekatan
kedokteran keluarga.
b. Bagi penulis selanjutnya
Diharapkan laporan kasus ini dapat dijadikan sebagai landasan atau
acuan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.

1.3.2. Manfaat Praktis


Diharapkan laporan kasus ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk melatih
keterampilan dan menambah pengalaman dalam pelayanan kesehatan
dengan menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis.Sebagian besar kuman Mycobacterium
tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh
lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh

2
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi
hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity).
Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi kronis dan berakhir dengan
kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif.4
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang
diserang kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru
dan tuberkulosis ekstra paru.Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan
tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium),
kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain.1

2.1.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010)
sekitar 8,8 juta (antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Masih
berdasarkan data pada tahun 2010, diperkirakan pula sebanyak 1,1 juta
kematian (rentang antara 0,9-1,2 juta) terjadi akibat tubeculosis pada
penderita TB dengan HIV negatif dan sebanyak 0,35 juta kematian (rentang
0.32-0.39 juta ) yang terjadi akibat TB pada penderita dengan HIV positif.
Hal yang perlu dicermati adalah penurunan jumlah absolut kasus TB sejak
tahun 2006, diikuti dengan penurunan insidensi kejadian dengan angka
estimasi kematian sejak tahun 2002. Dan sekitar 10 juta anak-anak di tahun
2009 menjadi yatim piatu karena orang tua yang mengidap TB.2
Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 terdapat 5.7 kasus TB paru
baru setara dengan 65% angka prediksi di tahun 2011. India dan China
memberikan kontribusi 40% total penderita baru TB dan Afrika menyumbang
24% pasien baru. Secara global angka keberhasilan terapi pada penderita baru
TB dengan sputum BTA positif adalah 87% di tahun 2009 MDR-TB
dideteksi mencapai 46.000 kasus. Walaupun jauh dibawah angka estimasi
yakni 290.000 kasus, MDR-TB masih menjadi tantangan besar hingga saat
ini.2
Survei prevalensi TB yang dilakukan di enam propinsi di Indonesia
pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TB di Indonesia

3
berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TB
Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2010, angka insiden TB di
Indonesia pada tahun 2009 mencapai 430.000 kasus, dan dengan 62.000
kasus berakhir dengan kematian.5
Sedangkan sebuah studi yang dilakukan oleh Rao et al dari
Universitas Queensland berdasarkan data epidemiologi tahun 2007-2008
menunjukkan bahwa angka kematian akibat tuberculosis di Indonesia sangat
tinggi terutama di propinsi Papua.6
Berdasarkan data WHO tahun 2011 prevalensi TB di Indonesia
mencapai 1.200.000 kasus atau 484 kasus per 100.000 p
opulasi dengan angka mortalitas mencapai 91.000 kasus atau 38 orang
per 100.000 populasi. Insidensi TB mencapai 540.000 kasus atau 226 kasus
per 100.000 populasi dengan 29.000 kasus TB HIV positif. 2
Diperkirakan telah terdapat 440.000 kasus dari multi-drug resistant
TB(MDR-TB) pada tahun 2008. Keempat negara yang memiliki jumlah kasus
MDR-TB tertinggi adalah China (100.000 kasus), India (99.000 kasus),
Federasi Rusia (38.000 kasus), dan Afrika Selatan (13.000 kasus). Dan pada
Oktober 2011, 77 negara dan wilayah telah melaporkan setidaknya terdapat
satu kasus dari extensively drug-resistant TB (XDR-TB).7

2.1.3 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan suatu bakteri berbentuk basil
non spora berukuran 0.5-3 μm.Gram netral dan bersifat tahan asam.Sifat
tahan asamnya disebabkan oleh banyaknya kandungan asam mikolik, asam
lemak rantai panjang dan beberapa unsur lemak lainnya.Asam mikolik
tersebut terikat dalam struktur arabinogalactan dan peptidoglikan yang
menyebabkan permeabilitas dinding sel bakteri sangat rapat sehingga
menurunkan kerja antibiotik. Lipoarabinomannan juga merupakan suatu
struktur bakteri yang berperan dalam proses interaksi dan pertahanan diri
dalam makrofag. Oleh sebab itu bakteri ini dapat diwarnai dengan carbol
fuchsin dan dipanaskan.Mycobacteriun tuberculosis biasanya ditemukan di
udara, tanah, bahkan air. Mycobacterium tuberculosis tumbuh lambat dan
berkembang biak dalam 18-24 jam. Mycobacteriun tuberculosis biasanya
akan tampak membentuk koloni dalam agar sekitar 2-5 minggu.8,9,13

4
Mycobacterium tuberculosis dan varian mycobacterium lainnya
tampak serupa namun berbeda dalam tes biokimia. Mycobacterium bovis
biasanya terdapat pada susu basi dan varian mycobacterium lainnya
menyerang hewan pengerat. Biasanya varian lain lebih sering ditemukan di
Afrika.10
Kultur Agar yang biasa digunakan untuk kultur M. tuberculosis dapat
berupa kultur pada atau kultur cair yang may berbasis telur seperti
Löwenstein–Jensen, BACTEC, Middlebrook 7H10/ 7H11. Kultur M.
Tuberculosis pada medium cair tergolong lebih cepat.10

2.1.4 Patofisiologi
Proses Penularan
M. tuberculosis ditularkan melalui udara dalam bentuk aerosolisasi
±3000 droplet nukleus berukuran 5-10 µm yang dapat dikeluarkan pada saat
batuk, bersin bahkan saat bercakap-cakap, terutama pada pasien dengan
Tuberculosis saluran pernapasan. Droplet tersebut mengering dengan cepat,
bertahan di udara selama beberapa jam dan masuk kedalam saluran nafas.
Resiko terjangkitnya M. Tuberculosis tergantung pada jumlah M.
Tuberculosis yang masih bertahan hidup di udara.Penularan secara outdoor
biasanya lebih rendah daripada diruangan tertutup dimana pertukaran udara
diluar ruangan berlangsung baik dan ekspose trehadap sinar ultraviolet jauh
lebih tinggi.Penularan juga dapat terjadi melalui alat-alat intervensi seperti
bronchoscopy atau intubasi endotracheal.Selain melalui udara, penularan juga
dapat terjadi melalui abses yang mengandung M. Tuberculosis.Faktor yang
mempengaruhi kerentanan tertularnya Mycobacterium tuberculosis adalah
lamanya kontak dengan penderita, dan derajat keparahan penyakit. Pasien
dengan smear negatif cenderung lebih aman terutama pasien dengan TB
ekstra paru.8,9,10
Proses Infeksi
Dropet nukleus cukup kecil untuk masuk kedalam saluran nafas dan
mampu bertahan dari proses filtrasi di saluran nafas atas. Sekali terhirup,
droplet nukleus dapat mencapai alveoli untuk melakukan invasi dan
menimbulkan infeksi. Pada sekitar 5 % pasien yang terinfeksi, M.
Tuberculosis mampu berkembang biak dalam jangka waktu mingguan hingga

5
bulanan dan dapat memberikan pembesaran limfonodus perihilar dan
peritracheal serta dapat memberikan gambaran pneumonia lobaris dan
merangsang terjadinya reaksi serosa serta efusi pleura. 8,9,10
M. tuberculosis kemudian ditelan oleh makrofag alveolar melalui
proses introduksi yang melibatkan aktivasi komplemen C3b.
Liporabinomannan yang terdapat dalam dinding M. Tuberculosis mampu
menghambat peningkatan ion Ca2+ yang dapat menyebabkan terjadinya
gangguan pada jalur calmodulin yang akan menimbulkan gangguan fusi
phagosom dan lisosom sehingga tidak ada percampuran antara bakteri dengan
lisosom yang menyebabkan bakteri dapat bertahan dan berkembang biak
didalam makrofag. Selain itu faktor yang dapat mendukung pertumbuhan M.
Tuberculosis didalam makrofag adalah adanya gen protektif antara lain katG
yang memproduksi enzim katalase/peroksidase yang dapat melindungi
M.tuberkulosis dari proses oksidatif, gen rpoV yang merupakan gen “induk”
dari beberapa protein penting M. Tuberculosis. Dua gen ini merupakan gen
yang penting dalam proses virulensi M. Tuberculosis. Selain itu gen lain
seperti erp membantu proses pembentukan protein untuk multiplikasi.8,9,10
Makrofag yang terinfeksi mengeluarkan sitokin seperti TNF α dan IL-
1 serta sitokin lainnya untuk merangsang Monosit dan Limfosit T terutama
CD4+ yang akan membentuk IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag
lainnya. Proses ini dikenal sebagai Macrophage Activating response
sedangkan sel CD4+ Th2 akan memproduksi IL 4, IL 5, IL 10 dan IL 13 dan
merangsang sistem imun humoral. Sel Dendritik juga berperan dalam
mempresentasikan antigen dan merangsang proses imun lebih jauh didalam
limfonodus. Tahapan ini dikenal sebagai proses Cell Mediated Immunity.Pada
tahapan ini pasien dapat menunjukkan gambaran delayed-type-
hypersensitivity terhadap protein tuberkulin. Reaksi ini dapat timbul 48-96
jam setelah injeksi tuberkulin dan bertahan hingga 6 minggu namun sekitar
20 % pasien tidak bereaksi terhadap tes tuberkulin.8,9,10
Pada jaringan, Makrofag tersebut dapat membentuk sel raksasa berinti
banyak dan akan membentuk granuloma yang dikelilingi oleh limfosit dan
makrofag yang teraktifasi. Pada granuloma, pertumbuhan M. Tuberculosis
dapat terhambat karena lingkungan yang rendah oksigen dan derajat

6
keasaman yang rendah. Ketika mengalami proses penyembuhan dapat
terbentuk fibrosis. Proses ini dikenal sebagai Tissue Damaging Reponse.
Dalam jangka waktu tahunan, granuloma dapat meluas dan membentuk
kalsifikasi dan akan tampak dalam gambaran radiologi sebagai densitas
radioopaque pada lapangan paru atas, apex paru (fokus Simon), atau
limfonodus perihilar. Focus granuloma juga dapat ditemukan pada jaringan
lainnya tergantung seberapa luas penyebaran M. Tuberculosis.8,9,10
Pada kasus tertentu, pada pusat lesi, material kaseosa mencair, dinding
bronchial dan pembuluh darah menjadi rusak dan terbentuklah kavitas.Pada
materi caseosa yang mencair terdapat basil M. Tuberculosis dalam jumlah
besar yang dapat menyebar ke jaringan paru lainnya dan dapat keluar saluran
nafas melalui batuk dan berbicara.8,9,10
Bila tidak timbul penyakit, maka telah terjadi keseimbangan antara
sistem imun dan reaksi patologis dari M. Tuberculosis.Faktor yang dapat
menimbulkan terjadinya aktivasi M. Tuberculosis adalah kekuatan sistem
imun. Sekitar 10% pasien dengan imunokompeten biasanya akan menderita
tuberculosis. 8,9,10
Pada pasien dengan infeksi laten, infeksi dapat teraktivasi dalam
jangka waktu beberapa tahun, aktivasi dapat terjadi pada hampir semua
jaringan karena M. Tuberculosis menyebar secara limfogen. Lokasi tertentu
yang lebih sering terjadi reaktivasi adalah jaringan paru.Rekativasi muncul
pada fokus granuloma terutama pada apeks paru.Fokus kaseosa yang besar
dapat membentuk kavitas pada parenkim paru.8,9,10
Semakin banyak jumlah basil M. Tuberculosis yang ditularkan maka
semakin infeksius.Hal ini dapat dilihat dari jumlah M. Tuberculosis pada
sediaan tahan asam. M. tuberculosis dapat dideteksi pada sputum yang
mengandung sedikitnya 104 M. Tuberculosis. Pada pasien dengan TB paru
berkavitas biasanya lebih infeksius.9
2.1.5 Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko untuk menderita TB adalah:
1. Jenis kelamin.
Penyakit TB dapat menyerang laki-laki dan perempuan. Hampir tidak
ada perbedaan di antara anak laki dan perempuan sampai pada umur
pubertas .

7
2. Status gizi.
Telah terbukti bahwa malnutrisi akan mengurangi daya tahan tubuh
sehingga akan menurunkan resistensi terhadap berbagai penyakit termasuk
TB. Faktor ini sangat berperan pada negara-negara miskin dan tidak mengira
usia.11
3. Sosioekonomi.
Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat yang berasal dari
kalangan sosioekonomi rendah. Lingkungan yang buruk dan permukiman
yang terlampau padat sangat potensial dalam penyebaran penyakit TB.11
4. Pendidikan.
Rendahnya pendidikan seseorang penderita TB dapat mempengaruhi
seseorang untuk mencari pelayanan kesehatan. Terdapat beberapa penelitian
yang menyimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai pendidikan rendah
akan berpeluang untuk mengalami ketidaksembuhan 5,5 kali lebih besar
berbanding dengan orang yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih
tinggi.11
5. Faktor-faktor Toksis.
Merokok, minuman keras, dan tembakau merupakan faktor penting
dapat menurunkan daya tahan tubuh.12

2.1.6 Manifestasi Klinis


Gejala yang muncul awalnya bersifat non spesifik, biasanya ditandai
dengan demam baik subfebris hingga febris dan keringat malam, berat badan
yang menurun, anoreksia, dan merasa lemas. Pada 80 % kasus ditemukan
demam dan tidak adanya demam bukan berati tuberculosis dapat dihilangkan.
Dalam sebagian besar kasus, batuk non produktif biasanya muncul minimal
selama 2 minggu dan selanjutnya diikuti oleh batuk produktif dengan sputum
yang purulen bahkan diikuti bercak darah.Hemoptisis yang masif biasanya
muncul sebagai destruksi pembuluh darah pada kavitas terutama pembuluh
darah yang berdilatasi pada dinding kavitas (Rasmussen's aneurysm). Nyeri
dada biasa juga dirasakan terutama pada pasien dengan lesi pada pleura.
Lebih lanjut biasanya pasien akan sesak nafas dan diikuti dengan adult
respiratory distress syndrome (ARDS).8,9,10,13

8
Temuan pemeriksaan fisis cukup terbatas pada TB paru. Terkadang
abnormalitas tidak ditemukan pada pemeriksaan thorax. Bunyhi ronkhi biasa
ditemukan terutama karena peningkatan produksi sputum. Bunyi wheezing
juga terkadang ditemukan akibat obstruksi parsial bronkus dan bunyi
amphoric klasik pada kavitas. Terkadang bunyi pernafasan terdengar redup
yang berarti menunjukkan ada proses abnormalitas yang cukup parah sebagai
komplikasi dari infeksi tuberculosis. Pada keadaan tertentu pasien juga dapat
menunjukkan wajah yang pucat serta clubbing finger.8,13
2.1.7 Penegakkan Diagnosis
Pemeriksaan foto thoraks PA merupakan pemeriksaan yang rutin
dilakukan untuk evaluasi tuberculosis paru. Gambaran yang biasanya muncul
adalah bercak infiltrat terutama kavitas yang biasanya dapat ditemukan pada
19% hingga 50%. Gambaran lainnya yang biasa muncul adalah infiltrat lobus
dan interstitial serta limfadenopati. Pada segmen apeks paru biasa ditemukan
gambaran densitas radiopak yang menandakan terbentuknya fibronodular.
Pada tahap lanjut lesi ini dapat menjadi kavitas dengan gambaran radiologi
kavitas yang berdinding tipis. Pada TB paru rekativasi, daerah yang paling
sering tampak kelainan yakni, apeks dan segmen posterior lobus kanan, apeks
dan segmen posterior lobus kiri, dan segemen superior lobus bawah Lesi pada
daerah ini lebih sering terlihat pada pasien dengan diabetes. Efusi pleura pada
tuberculosis paru tahap dini juga dapat terlihat terutama pada perkembangan
penyakit yang progresif. CT scan biasanya dapat dilakukan untuk
menentukan luasnya penyebaran lesi namun biasanya tidak memberikan
gambaran khas pada infeksi tahap dini.10,14

Gambar 1. Gambaran radiologis infeksi TB pada paru.


(dikutip dari kepustakaan nomor 14.)

9
Pada gambar kiri terdapat gambaran kavitas serta bercak berawan pada
lapangan paru kanan atas, sedangkan gambaran CT scan menunjukkan
penyebaran bahan infeksius dari kavitas ke sistem tracheobronchial.14

Gambar 2. TB paru primer


(dikutip dari kepustakaan nomor 14)
Pada gambar diatas, gambar kiri menunjukkan gambaran limfadenopati
hilar pada lapangan paru kanan sedangkan gambar kanan adalah gambaran
CT scan yang menunjukkan limfadenopati hilar kanan.

Gambar 3. TB paru post primer pada pasien dengan immunodefisiensi.


(Dikutip dari kepustakaan nomor 14)

Gambar kiri tampak kavitas dan bercak berawan pada kedua lapangan
atas paru dan pada CT scan terdapat gambaran cavitas pada kedua lapangan
paru.
Dalam hasil analisis laboratorium darah dapat ditemukan leukositosis,
limfositik leukopenia atau neutrofilik leukopenia. Ditemukan pula anemia

10
normositik normokrom dan hiponatremia terutama pada pasien dengan
penyebaran lesi yang luas.10
Apusan sputum dan kultur merupakan pemeriksaan yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis dengan sensitivitas 40-60%. Pada
pasien suspek tuberculosis paru, tiga sampel sputum diambil yakni sewaktu,
pada pagi hari dan sewaktu. Pada pasien dengan tuberculosis paru, sputum
dapat diperoleh dengan proses ekspektorasi atau nebulisasi dengan saline
hipertonik, bilasan bronkus atau bahkan dengan bronchoscopy.10,15
Induksi sputum dianggap sebagai salah satu cara yang umum dilakukan
untuk mendapatkan sputum, terutama dalam keadaan yang tidak
memungkinkan dilakukannya pengambilan sputum. Pada penelitian yang
dilakukan di Bangladesh menunjukkan bahwa sputum yang diinduksi dengan
nebulisasi Salin 3% memberikan sensitifitas dan spesifitas yang sama dengan
teknik diagnosa menggunakan bilasan bronkus.15,16
Pengambilan sputum dengan fibreoptic bronchoscopy (FOB) dan
transbronchial lung biopsy (TBLB) biasanya sangat membantu dalam
menegakkan diagnosa TB. Walaupun demikian FOB merupakan metode yang
invasif dan membutuhkan tenaga ahli untuk melakukannya.Selain itu FOB
dapat berkontribusi meningkatkan penularan TB.15,16
Pada anak-anak, aspirasi cairan lambung juga dapat digunakan untuk
mendiagnosa TB dan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Aspirasi
nasofaringeal, induksi sputum, apusan laring juga dapat dilakukan.17
Pemeriksaan apusan sputum dilakukan dengan menggunakan metode
tahan asam Ziehl-Neelsen atau Kinyoun dimana bakteri akan tampak bewarna
kemerahan dengan latar belakang biru dan putih. Metode pewarnaan lainnya
seperti auramine juga dapat dilakukan, dengan pewarnaan ini maka
Mycobacterium tuberculosis yang terwarna akan dapat berpendar pada
sinaran Ultra Violet. Mycobacterium tuberculosis akan tampak berwarna
kuning muda. Akan tetapi hasil apusan sputum bergantung pada jumlah
bakteri yang ditemukan pada sampel sehingga dianggap kurang sensitif.8,9,10

11
Gambar 4. Basil Tahan Asam Mycobacterium Tuberculosis
(Dikutip dari kepustakaan nomor 8)

Kultur merupakan gold standard untuk menegakkan diganosis akan


tetapi hal ini membutuhkan waktu yang lama. Spesimen diinokulasi di kultur
Löwenstein-Jensen atau Middlebrook 7H10 dan diinkubasi pada suhu 37°C.
Karena pertumbuhannya lambat maka kultur harus ditunggu 4-8 minggu.
Selain dari penampakan koloninya yang berwarna persik, tes biokimia juga
penting untuk menentukan jenis mycobacterium. Teknik kultur yang cepat
sedang dikembangkan untuk memotong waktu pemeriksaan.8,9
Analisa cairan tubuh juga dapat dilakukan apabila terjadi infeksi
tuberculosis ekstra paru seperti analisa cairan pleura, pericardium dan
peritoneal. Biasanya akan ditemukan cairan yang sifatnya eksudat dengan
kadar glukosa yang normal hingga rendah. Sampel tersebut dapat digunakan
untuk apusan, dan kultur untuk penegakan diagnosa. Nilai spesifiknya
mencapai 65% pada cairan peritoneal, 75% pada cairan perikardium dan 85%
pada cairan pleura. Biopsi biasa dilakukan terutama untuk mendapatkan bukti
adanya pembentukan granuloma. 8,9
Pada umumnya diagnosis biasa di tegakkan berdasarkan gejala, temuan
radiologi dan respon terhadap pengobatan empiris tanpa konfirmasi kultur.
Akan tetapi melihat insidensi resistensi obat yang tinggi maka pemeriksaan
kultur dan tes sensitivitas perlu dilakukan.Secara umum, Mycobacterium
tuberculosis perlu diperiksa senstivitas terhadap isoniazid, rifampin, dan
ethambutol.Pemeriksaan terhadap sensitivitas obat lainnya juga perlu
dilakukan guna mencegah resistensi dan kegagalan pengobatan.8,9

12
2.1.8 Tatalaksana
Pada pasien yang baru pertama kali menderita Tuberkulosis
Rekomendasi pertama adalah pemberian 2HRZE/4HR kecuali pada
penderita TB sistem saraf pusat, TB tulang yang membutuhkan terapi lebih
lama.Rekomendasi kedua adalah pemberian 2HRZE/6HE. Pemberian tiga
kali seminggu Isoniazid dan Rifampicin(2HRZE/4(HR)3) pada fase lanjutan
merupakan pilihan lain yang dapat dilakukan namun perlu dilakukan
pemantauan ketat menelan obat. Pemberian regimen tiga kali seminggu baik
pada fase intensif maupun fase lanjutan (2(HRZE)3/4(HR)3) merupakan
alternatif terakhir yang dapat diberikan asalkan pasien tidak tinggal dalam
lingkungan yang rentan dengan infeksi HIV. Secara umum pemberian
regimen pengobatan setiap hari lebih diutamakan karena angka keberhasilan
pengobatan lebih tinggi dibanding dengan metode pemberian 3 kali
seminggu.21
WHO tidak lagi menyarankan pemberian ethambutol pada fase
intensif pasien dengan TB non-kavitas, BTA Negatif atau TB ekstraparu pada
pasien dengan HIV negatif.Namun demikian, walaupun masih tergolong
lemah bukti, pada pasien yang tinggal di negara dengan resistensi isoniazid
yang tinggi, pemberian Ethambutol pada fase lanjutan dapat dipertimbangkan
walaupun dengan resiko gangguan visual yang tinggi.21
Pada pasien TB yang positif mengidap HIV dan pasien yang tinggal
dalam lingkungan beresiko tinggi terinfeksi HIV, regimen yang diberikan
adalah regimen harian baik pada fase intensif dan lanjutan.Pada keadaan
tertentu dimana pasien tidak dapat menerima terapi harian, pemberian obat
tiga kali seminggu tetap dapat dipertimbangkan. 21

Tabel 1.Dosis Antituberculosis pada dewasa.


(dikutip dari kepustakaan nomor 21)

13
Monitoring Terapi
Pada pasien TB paru baik pasien baru maupun pasien relaps yang
ditangani dengan regimen lini pertama, pemeriksaan sputum dilakukan
setelah fase intensif selama 2 bulan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa
hasil apusan tahan asam bukan merupakan indikator utama untuk menentukan
kegagalan terapi.21
Bila pasien menunjukkan hasil positif pada smear bulan kedua, makan
pemeriksaan smear tahan asam dilanjutkan pada bulan ketiga. Bila hasil pada
bulan ketiga masih menunjukkan hasil positif maka harus dilakukan kultur
sputum dan tes sensitivitas antibiotik. Pemeriksaan tetap dilanjutkan hingga
bulan ke 5 dan ke 6.Bila masih positif maka pengobatan dianggap gagal. 21

Tabel 2. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB baru dengan regimen lini
pertama
(dikutip dari kepustakaan nomor 21)

Pada pasien yang diobati dengan regimen rifampicin, bila hasil smear
ditemukan positif pada fase intensif yang sudah selesai, tidak
direkomendasikan untuk memperpanjang fase intensif. 21
Pada pasien yang sudah pernah mendapat pengobatan sebelumnya,
pasien perlu menjalani tes kultur sputum dan sensitivitas antibiotik rifampicin
dan isoniazid sebelum memulai pengobatan. Di negara dengan tes sensitivitas

14
antiobitik yang rutin dilakukan, regimen pengobatan mengacu pada hasil tes
sedangkan pada negara yang jarang menjalankan tes sensitivitas antibiotik,
pengobatan didasarkan pada empirisme atau regimen MDR-TB. 21
Regimen yang dapat diberikan pada pasien dengan relaps dengan
pengobatan lini pertama adalah 2HRZES/1HRZE/5HRE dengan catatan
bahwa negara tersebut tergolong negara dengan insidensi MDR yang
rendah.21

Tabel 3. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB retreatmendengan regimen


lini pertama
(dikutip dari kepustakaan nomor 21)

Saat ini obat kombinasi tetap atau Fixed Drug Combination (FDC)
sering digunakan walaupun dalam kenyataanya WHO belum mengkaji lebih
lanjut mengenai FDC. Akan tetapi WHO tetap merekomendasikan
penggunaan FDC untuk mencegah insidensi obat yang tidak terminum yang
berujung pada resistensi pengobatan.21
Penatalaksanaan TB Dengan Infeksi HIV
Banyak pendapat mengenai bagaimana pemberian anti tuberculosis
pada penderita HIV, berbagai pendapat berkembang mengenai apakah
pemberian antiretroviral sebaiknya diberikan bersamaan atau beberapa
minggu berikutnya.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Daine et al terhadap 809 pasien
membandingkan antara kelompok penderita TB-HIV positif dengan CD4+
<250 per milimeter cubic yang diberi ART 2 minggu setelah terapi TB
dimulai dengan kelompok yang diberi anti TB 8-12 minggu kemudian. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan keparahan penyakit
karena AIDS terhadap kedua kelompok namun pada kelompok dengan

15
CD4+<50 pemberian ART lebih dini memperlambat munculnya keparahan
penyakit karena AIDS.22
Penelitian oleh Salim et al terhadap 642 pasien di Afrika Selatan
menunjukkan bahwa pemberian ART 4 minggu pasca dimulainya terapi
tuberculosis pada pasien dengan CD4+ T-cell <50 per cubic millimeter
memperlambat keparahan penyakit karena AIDS.23
Sedangkan studi yang dilakukan Francois et al terhadap 661 pasien di
Kamboja menunjukkan bahwa pemberian ART 2 minggu sejak dimulainya
terapi tuberculosis meningkatkan angka survivalitas pada pasien dengan
CD4+ T-cell 200 per cubic millimeter atau lebih rendah.22
WHO tetap menganjurkan pemberian antiretroviral 8 minggu setelah
terapi TB dimulai terlepas dari jumlah CD4+ penderita dan berbagai
penelitian terbaru lainnya. ART yang dianjurkan adalah lini pertama yang
mengandung dua jenis nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTIs)
ditambah satu jenis nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI).Atau agen ART terbaru lainnya seperti protease inhibitors sebagai
pengobatan lini kedua. NRTI pilihan antara lain zidovudine (AZT) atau
tenofovir disoproxil fumarate (TDF), kombinasi dengan lamivudine (3TC)
atau emtricitabine (FTC). Untuk NNRTI, WHO merekomendasikan efavirenz
(EFV) atau nevirapine (NVP) (23). Pada pasien TB, regimen ART yang
direkomendasikan harus mengandung efavirenz (EFV) karena interaksinya
dengan obat TB tergolong rendah namun tidak dianjurkan pada
kehamilan.Regimen AZT +3TC + NVP atau TDF +3TC atau FTC + NVP
atau triple NRTI regimen (AZT+3TC+ABC atau AZT+3TC+TDF)
direkomendasi bila efavirenz tidak memungkinkan untuk diberikan.21
Efek Samping Pengobatan
Obat Anti Tuberculosis sering menimbulkan gangguan hepar ditandai
dengan peningkatan enzim hati. Faktor resiko yang mungkin menimbulkan
hepatotoksisitas pada pasien yang menjalani pengobatan TB antara lain usia
muda, jenis kelamin wanita, infeksi TB dengan apusan BTA positif, status
gizi, level albumin seperti yang dipaparkan dalam penelitian yang dilakukan
oleh Rajani et al pada 50 penderita TB di Kathmandu tahun 2006.24
Neuritis optik merupakan efek samping yang dapat muncul pada
penggunaan ethambutol terutama neuritis retrobulbar.Pada studi dengan

16
hewan menunjukkan bahwa ethambutol menimbulkan toksisitas pada
ganglion saraf retina pada tikus.Hal ini didasari pada teori jalur eksitotoksik
dimana terjadi peningkatan glutama endogen yang dapat menyebabkan
kerusakan sel. Ethambutol juga dapat menyebabkan penurunan kalsium
sitosilik, peningkatan kalsium mitokondira dan meningkatkan membran
potensial mitokondria yang dapat mengganggu fungsi mitokondria. Selain itu
ethambutol juga dapat menyebabkan penipisan serat saraf di retina 26,27.
Pada Retina Pigmented Epithelial, keterlibatan isozim PKCδ yang
diinduksi oleh ethambutol menyebabkan perlambatan proliferasi sel, dan
menggangu siklus sel. Hal ini juga berhubungan dengan peningkatan
apoptosis pada sel epitel berpigmen pada retina. Toksisitas bergantung pada
dosis dan durasi yang diberikan.25
Isoniazid dimetabolisme di hati melalui asetilasi oleh N-acetyl
transferase yang mennghasilkan acetylisoniazid.Acetylisoniazid dihidrolisa
menjadi asam isonicotinic dan acetylhydrazine yang keduanya akan
diekskresi di urin. Acetylhydrazine akan dimetabolisme menjadi bahan
reaktif yakni hydrazine yang menyebabkan hepatotoksisitas. INH dapat
mengganggu metabolisme pyridoxin dan meningkatkan pengeluaran
pyridoxin ke urin.Metabolit hydrazine menghambat secara kompetitif enzim
pyridoxine kinase yang mengkonversi pyridoxine menjadi pyridoxal phospate
yang berujung pada terhambatnya produksi neurotransmitter inhibitor yakni
GABA.Hal ini menjelaskan mengapa isoniazid dapat menimbulkan kejang.
Selaini itu, mekanisme ini menyebabkan terjadinya neuropati defisiensi.28
Pasien dinyatakan sembuh apabila tidak ditemukan BTA pada
pewarnaan tahan asam dibandingkan dengan sebelum pengobatan. Terapi
dikatakan gagal apabila sudah menjalani terapi intensif dan lanjutan namun
hasil BTA tetap positif pada bulan ke lima atau bulan berikutnya. Pasien
default adalah pasien dengan terapi yang terinterupsi selama minimal dua
bulan berturut-turut.21

2.1.9 Komplikasi
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan
menimbulkan komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis,
efusi pleura, empiema, laringitis, ususPoncet’s arthropathy. Sedangkan

17
komplikasi lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan
parenkim paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom
gagal napas (sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB).29
2.1.10 Program Penanggulangan TBC Paru di Puskesmas
Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh,
puskesmas menjalankan beberapa program pokok salah satunya adalah
Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) seperti program
penanggulangan TB Paru yang dilakukan dengan strategi DOTS dan
Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan
TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara
bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di
seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) terutama Puskesmas yang di
integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar.30
Fokus utama Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS)
adalah penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada
penderita TBC tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TBC
dan dengan demikian menurunkan insidens TBC di masyarakat. Menemukan
dan menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TBC. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS
sebagai strategi dalam penanggulangan TBC sejak tahun 1995. Bank Dunia
menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang
paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat
dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya.30
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk
dukungan dana.
b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis.
c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka
pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO).
d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur,
menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin.

18
e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja
program secara keseluruhan.

2.1.11 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara:
a. Terapi pencegahan.
b. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan.
c. Pemberian imunisasi BCG pada bayi usia 0-11 bulan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kuman tuberkulosis. Pemberian
proflaksis INH pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB
dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada evaluasi dengan
tidak didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis TB.30
Terapi pencegahan:
Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat
yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5
mg/kg BB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan.30

2.2 Pendekatan Kedokteran Keluarga


2.2.1. Definisi
Dokter keluarga adalah dokter yang mengutamakan penyediaan
pelayanan komprehensif bagi semua orang yang mencari pelayanan
kedokteran dan mengatur pelayanan oleh provider lain bila diperlukan.
Dokter ini adalah seorang generalis yang menerima semua orang yang
membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa adanya pembatasan usia, gender,
ataupun jenis penyakit.31
Pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran yang
menyeluruh yang memusatkan pelayanannya kepada keluarga sebagai suatu
unit, di mana tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak
dibatasi oleh golongan umur atau jenis kelamin pasien, juga tidak boleh oleh
organ tubuh atau jenis penyakit tertentu saja.31
Adapun ciri-ciri profesi dokter keluarga sebagai berikut:31
1. Mengikuti pendidikan dokter sesuai standar nasional.
2. Pekerjaannya berlandaskan etik profesi.
3. Mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan.
4. Pekerjaannya legal melalui perizinan.
5. Anggota-anggotanya belajar sepanjang hayat.
6. Anggota-anggotanya bergabung dalam suatu organisasi profesi.

19
7. Melayani penderita tidak hanya sebagai orang perorang, melainkan
sebagai anggota satu keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat
sekitarnya.
8. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan memberikan
perhatian kepada penderita secara lengkap dan sempurna, jauh
melebihi jumlah keseluruhan keluhan yang di sampaikan.
9. Mengutamakan pelayanan kesehatan guna meningkatkan derajat
seoptimal mungkin, mencegah timbulnya penyakit dan mengenal serta
mengobati sedini mungkin.
10. Mengutamakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan
berusaha memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya. dan
11. Menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan kesehatan tingkat
pertama dan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan lanjutan.32

2.2.2. Karakteristik Pelayanan Kedokteran Keluarga


Pelayanan dokter keluarga mempunyai beberapa karakteristik salah
satunya menurut Ikatan Dokter Indonesia melalui Muktamar ke-18 di
Surakarta sebagai berikut:31
1. Yang melayani penderita tidak hanya sebagai orang per orang, tetapi
sebagai anggota satu keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat
sekitarnya.
2. Yang memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan
memberikan perhatian kepada penderita secara lengkap dan sempurna,
jauh melebihi jumlah keseluruhan keluhan yang disampaikan.
3. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan guna meningkatkan derajat
kesehatan seoptimal mungkin, mencegah timbulnya penyakit dan
mengenal serta mengobati penyakit sedini mungkin.
4. Yang mengutamakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
dan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut sebaik-baiknya.
5. Yang menyediakan dirinya sebagai tempat pelayanan kesehatan
tingkat pertama dan bertanggung jawab pada pelayanan kesehatan
lanjutan.31

Dokter keluarga adalah dokter yang mengutamakan penyediaan


pelayanan komprehensif bagi semua orang yang mencari pelayanan
kedokteran, dan mengatur pelayanan oleh provider lain bila diperlukan.
Dokter ini adalah seorang generalis yang menerima semua orang yang

20
membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa adanya pembatasan usia, gender,
ataupun jenis penyakit. Dikatakan pula bahwa dokter keluarga adalah dokter
yang mengasuh individu sebagai bagian dari keluarga dan dalam lingkup
komunitas dari individu tersebut.Tanpa membedakan ras, budaya, dan
tingkatan sosial.Secara klinis, dokter ini berkompeten untuk menyediakan
pelayanan dengan sangat mempertimbangkan dan memerhatikan latar
belakang budaya, sosioekonomi, dan psikologis pasien. Dokter ini
bertanggung jawab atas berlangsungnya pelayanan yang komprehensif dan
berkesinambungan bagi pasiennya.31
Menurut WONCA (1991) dokter keluarga adalah dokter yang
mengutamakan penyediaan pelayanan komprehensif bagi semua orang yang
mencari pelayanan kedokteran, dan mengatur pelayanan oleh provider lain
bila diperlukan. Dokter ini adalah seorang generalis yang menerima semua
orang yang membutuhkan pelayanan kedokteran tanpa adanya pembatasan
usia, gender, ataupun jenis penyakit. Dikatakan pula bahwa dokter keluarga
adalah dokter yang mengasuh individu sebagai bagian dari keluarga dan
dalam lingkup komunitas dari individu tersebut.Tanpa membedakan ras,
budaya, dan tingkatan sosial.Secara klinis, dokter ini berkompeten untuk
menyediakan pelayanan dengan sangat mempertimbangkan dan
memerhatikan latar belakang budaya, sosioekonomi, dan psikologis pasien.
Dokter ini bertanggung jawab atas berlangsungnya pelayanan yang
komprehensif dan berkesinambungan bagi pasiennya.31
Menurut The American Academy of Family Physician (1969),
pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran yang menyeluruh
yang memusatkan pelayanannya kepada keluarga sebagai suatu unit, di mana
tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi oleh
golongan umur atau jenis kelamin pasien, juga tidak boleh oleh organ tubuh
atau jenis penyakit tertentu saja.31
Pelaksana pelayanan dokter keluarga dikenal dengan dokter keluarga
(family doctor, family physician). Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
mendefinisikan dokter keluarga adalah dokter yang dapat memberikan
pelayanan kesehatan yang berorientasi komunitas dengan titik berat kepada
keluarga, ia tidak hanya memandang penderita sebagai individu yang sakit

21
tetapi sebagai bagian dari unit keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif,
tapi bila perlu aktif mengunjungi penderita dan keluarganya.31
Sedangkan Kolese Dokter Indonesia menterjemahkan secara kimiawi
sebagai berikut:31
1. Dokter keluarga adalah dokter yang dididik secara khusus untuk
bertugas di lini terdepan sistem pelayanan kesehatan, bertugas
mengambil langkah awal penyelesaian semua masalah yang mungkin
dipunyai pasien.
2. Melayani individu dalam masyarakat tanpa memandang jenis
penyakitnya ataupun karakter personal dan sosialnya dan
memanfaatkan semua sumber daya yang tersedia dalam sistem
pelayanan kesehatan untuk semaksimal mungkin kepentingan pasien.
3. Berwenang secara mandiri melakukan tindak medis mulai dari
pencegahan, diagnosis, pengobatan, perawatan dan asuhan paliatif,
menggunakan dan memadukan ilmu-ilmu biomedis, psikologi medis
dan sosiologi medis.31

Dalam menetapkan masalah serta faktor yang mempengaruhi,


digunakan konsep Mandala of Health.Dipahami bahwa dokter tidak dapat
melihat pasien hanya fisiknya saja.Karena setiap manusia juga terdiri dari
fisik, jiwa dan spiritnya. Setiap manusia tinggal bersama manusia lain dan
juga berinteraksi dengan lingkungannya (fisik, tempat tinggal, pekerjaan,
lingkungan sosial, budaya dan sebagainya). Karena itu pada saat pasien
mengeluh gangguan kesehatan, perlu dikaji faktor-faktor disekitarnya yang
mungkin memicu atau menyebabkan gejala tersebut muncul selain
kemungkinan masalah pada biomediknya.31
Pendekatan penegakan diagnosis berupa pendekatan multi aspek,
yaitu Diagnosis Holistik.Diagnosis holistik, terdiri dari:31
1. Aspek 1 (aspek individu): keluhan utama, harapan, kekhawatiran
pasien ketika datang
2. Aspek 2 (aspek klinik): diagnosis klinis dan diagnosis bandingnya
3. Aspek 3 (aspek internal): faktor internal pasien yg memicu
penyakit/masalah kesehatannya, (misal: usia, perilaku kesehatan,
persepsi kesehatan, dan sebagainya).
4. Aspek 4 (aspek eksternal pasien): dokter menulis (keadaan keluarga,
lingkungan psikososial & ekonomi keluarga, keadaan lingkungan

22
rumah& pekerjaan yang memicu atau menjadi hazsard pada
penyakit/masalah ini atau kemungkinan dapat menghambat
penatalaksanaan penyakit/masalah kesehatan yang ada.
5. Aspek 5 (aspek fungsional): dokter menilai derajat fungsional pasien
pada saat ini.31
Begitu pula pada saat perencanaan penatalaksanaan masalah
kesehatan, dengan memperhitungkan faktor-faktor disekitar pasien, dokter
perlu memiliki perencanaan pencegahan mulai dari pencegahan primer,
sekunder, tersier untuk pasien dan keluarganya.31

Gambar5.The Mandala of Health: A Model of Human Ecosystem31


2.2.3. Azas-Azas atau Prinsip-Prinsip Pelayanan Kedokteran Keluarga
Prinsip-prinsip pelayanan dokter keluarga di Indonesia mengikuti
anjuran WHO dan WONCA.Prinsip-prinsip ini juga merupakan simpulan
untuk dapat meningkatkan kualitas layanan dokter primer dalam
melaksanakan pelayanan kedokteran. Prinsip pelayanan atau pendekatan
kedokteran keluarga adalah memberikan atau mewujudkan sebagai berikut:31
1. Pelayanan yang holistik dan komprehensif
2. Pelayanan yang kontinu.
3. Pelayanan yang mengutamakan pencegahan.
4. Pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif.
5. Penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian integral dari
keluarganya.
6. Pelayanan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan
lingkungan tempat tinggalnya.
7. Pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan hukum.
8. Pelayanan yang dapat diaudit dan dapat dipertanggungjawabkan.
9. Pelayanan yang sadar biaya dan sadar mutu.31

2.2.4. Klasifikasi Tingkat Kesejahteraan Keluarga

23
Tahapan keluarga sejahtera dibedakan atas 5 tingkatan menurut
BKKBN (2011) sebagai berikut:31
1. Keluarga pra sejahtera
Keluarga-keluarga yang belum dapat memenui kebutuhan
dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan agama, pangan, sandang,
papan, kesehatan, dan keluarga berencana.31
2. Keluarga sejahtera tahap I
Keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal tetapi belum dapat memenuhi keseluruhan
kebutuhan sosial psikologisnya, seperti kebutuhan akan pendidikan,
interaksi dalam keluarga, interaksi dengan lingkungan tempat tinggal,
dan transportasi.31
3. Keluarga sejahtera tahap II
Keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan fisik
dan sosial-psikologisnya, akan tetapi belum dapat memenuhi
keseluruhan kebutuhan pengembangannya, seperti kebutuhan untuk
menabung dan informasi.31
4. Keluarga sejahtera tahap III
Keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh
kebuthan fisik, sosial-psikologis, dan pengembangan, namun belum
dapat memberikan sumbangan secara teratur kepada masyarakat
sekitarnya, misalnya dalam bentuk sumbangan materil dan keuangan,
serta secara aktif menjadi pengurus lembaga di masyarakat yang ada.31
5. Keluarga sejahtera tahap III plus
Keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh
kebutuhannya serta memiliki kepedulian dan kesertaan yang tinggi
dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga disekitarnya.31

2.2.5. Penentuan Sehat/Tidaknya Keluarga (APGAR)


Tingkat kepuasan anggota keluar dapat dinilai dengan APGAR
keluarga. APGAR keluarga merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
mengukur sehat tidaknya suatu keluarga yang dikembangkan oleh Rosen,
Geyman, dan Leyton. Lima fungsi pokok yang dinilai dalam tingkat
kesehatan keluarga sebagai berikut.31
1. Adaptasi (Adaptation)

24
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima
bantuan yang diperlukannya dan anggota keluarga lainnya.31
2. Kemitraan (Partnership)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap
berkomunikasi, turun rembuk dalam mengambil keputusan dan atau
menyelesaikan suatu masalah yang sedang dihadapi dengan anggota
keluarga lainnya.31
3. Pertumbuhan (Growth)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan
yang diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan atau
kedewasaan setiap anggota keluarga.31
4. Kasih sayang (Affection)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih
sayang serta interaksi emosional yang berlangsung dalam keluarga.31
5. Kebersamaan (Resolve)
Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap
kebersamaan dalam membagi waktu, kekayaan, dan ruang antar
keluarga.31

2.2.6. Pola Pikir dan Pola Tindak Dokter Keluarga/Dokter Layanan Primer
Dokter keluarga bertanggung jawab meningkatkan derajat kesehatan
mitranya, dan ia berhubungan dengan mitranya di kala sehat maupun di kala
sakit. Tanggung jawab ini mengharuskan dokter keluarga menyediakan
program pemeliharaan kesehatan bagi mitranya yang sehat, dan program
pengobatan atau pemulihan bagi mitranya yang sedang jatuh sakit. Program
ini harus spesifik dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setiap mitranya.
Hal ini dapat dipenuhi bila pola pikir dan pola tindaknya mengacu pada
pendekatan Medifa yang menata alur pelayanan dokter keluarga dalam 4
kegiatan (assessment – targeting – intervention – monitoring) yang
membentuk satu siklus pelayanan terpadu.31
1. Penilaian profil kesehatan pribadi (Assessment)
Dokter keluarga mengawali upaya pemeliharaan mitranya
dengan melakukan penilaian komprehensif terhadap faktor risiko dan
kodisi kesehatan dengan tujuan memperoleh profil kesehatan pribadi
dari mitranya.31
2. Penyusunan program kesehatan spesifik (Targeting)

25
Tersedianya profil kesehatan ini memberi kesempatan kepada
dokter keluarga untuk mempelajari masalah kesehatan yang dimiliki
mitranya, sehingga dokter keluarga dapat menyusun program
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan spesifik setiap mitra.31
3. Intervensi proaktif (Intervention)
Dengan demikian setiap mitra, apakah ia dalam kondisi sehat,
menyandang faktor risiko atau sakit, secara proaktif akan diajak
mengikuti program pemeliharaan kesehatan yang sepesifik dengan
kebutuhannya. Melalui program proaktif ini diharapkan mitra yang
sehat dapat tetap sehat, yang saat ini menyandang faktor risiko dapat
dikurangi kemungkinan jatuh sakit berat di kemudian hari, dan yang
saat ini menderita suatu penyakit dapat segera pulih, dicegah
terjadinya komplikasi, atau diupayakan agar kecacatan seminimal
mungkin. Bila diperlukan si mitra akan dirujuk ke spesialis.31
4. Pemantauan kondisi kesehatan (Monitoring)
Selanjutnya pelaksanaan program dan hasilnya akan dipantau
dan dievaluasi terus menerus dan menjadi masukan bagi dokter
keluarga untuk meningkatkan kualitas program dan memotivasi
mitranya (monitoring).31

2.2.7. Bentuk dan Fungsi Keluarga


Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari
suami-sitri, atau suami-istri dan anak, atau ayah dengan anak atau ibu dengan
anak.31
Bentuk keluarga dibagi menjadi 9 macam yaitu sebagai berikut.16
1. Keluarga inti (nuclear family)
Keluarga yang terdiri dari suami, istri, serta anak-anak
kandung.31
2. Keluarga besar (extended family)
Keluarga yang disamping terdiri dari suami, istri, dan anak-
anak kandung, juga terdiri dari sanak saudara lainnya, baik menurut
garis vertikal (ibu, bapak, kakek, nenek, mantu, cucu, cicit) dan
ataupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar) yang dapat
berasal dari pihak suami atau istri.31
3. Keluarga campuran (blended family)
Keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak kandung
serta anak-anak tiri.31

26
4. Keluarga menurut hukum umum (common law family)
Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang tidak terikat
dalam perkawinan sah serta anak-anak mereka yang tinggal
bersama.31
5. Keluarga orang tua tunggal (single parent family)
Keluarga yang terdiri dari pria atau wanita, mungkin karena
telah bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak pernah
menikah, serta anak-anak mereka tinggal bersama.31
6. Keluarga hidup bersama (commune family)
Keluarga yang terdiri dari pria, wanita, dan anak-anak yang
tinggal bersama, berbagi hal dan tanggung jawab serta memiliki
kekayaan bersama.31
7. Keluarga serial (serial family)
Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah
dan mungkin telah mempunyai anak, tetapi kemudian bercerai dan
masing-masing menikah lagi serta memiliki anak-anak dengan
pasangan masing-masing, semuanya mengganggap sebagai satu
keluarga.31
8. Keluarga gabungan (composite family)
Keluarga yang terdiri dari suami dengan beberapa istri dan
anak-anaknya atau istri dengan beberapa suami dan anak-anaknya
yang hidup bersama.31
9. Keluarga tinggal bersama (whabilation family)
Pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ada ikatan
perkawinan.31

2.2.8. Keluarga dan Kesehatan


Kesehatan dan penyakit selalu berhubungan dengan keempat hal
berikut:31
1. Kepribadian
2. Gaya hidup
3. Lingkungan fisik
4. Hubungan antar manusia31

2.2.9. Pengaruh Keluarga Terhadap Kesehatan


Keluarga sangat berpengaruh terhadap kesahatan diantaranya:31
1. Penyakit keturunan
a. Interaksi antara faktor genetik (fungsi reproduksi) dan faktor
lingkungan (fungsi-fungsi keluarga lainnya).

27
b. Muncul dalam perkawinan (tahap awal dan siklus kehidupan
keluarga).
c. Perlu marriage counseling dan screening31
2. Perkembangan bayi dan anak
Jika dibesarkan dalam lingkungan keluarga dengan fungsi-
fungsi yang sakit akan mengganggu perkembangan fisik dan
perilaku.16
3. Penyebaran penyakit
a. Penyakit infeksi
b. Penyakit neurosis31
4. Pola penyakit dan kematian
Hidup membujang atau bercerai mempengaruhi angka
kesakitan dan kematian.31
5. Proses penyembuhan penyakit
Penyembuhan penyakit kronis pada anak-anak pada keluarga
dengan fungsi keluarga yang sehat lebih baik dibandingkan pada
keluarga dengan fungsi keluarga sakit.31

2.3 Rumah Sehat


2.3.1. Definisi
Rumah adalah struktur fisik terdiri dari ruangan,halaman dan area
sekitarnya yang dipakai sebagaitempat tinggal dan sarana pembinaan
keluarga.33 Rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat
berlindung, dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani
serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan keluarga dan individu.34

2.3.2. Kriteria Rumah Sehat


Persyaratan kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman
meliputi parameter sebagaiberikut:35
1. Lokasi
a. Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran
sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah
gempa, dan sebagainya;
b. Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA)
sampah atau bekas tambang;
c. Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah
kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan.
2. Kualitas udara

28
Kualitas udara ambien di lingkungan perumahan harus bebas dari
gangguangas beracun dan memenuhi syarat baku mutu lingkungan
sebagai berikut:

29
a. Gas H2S dan NH3 secara biologis tidak terdeteksi;
b. Debu dengan diameter kurang dari 10 µg maksimum 150 µg/m3;
c. Gas SO2 maksimum 0,10 ppm;
d. Debu maksimum 350 mm3/m2 per hari.
3. Kebisingan dan getaran
a. Kebisingan dianjurkan 45 dB.A, maksimum 55 dB.A;
b. Tingkat getaran maksimum 10 mm/detik .
4. Kualitas tanah di daerah perumahan dan pemukiman
a. Kandungan Timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg;
b. Kandungan Arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg;
c. Kandungan Cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg;
d. Kandungan Benzo(a)pyrene maksimum 1 mg/kg.
5. Prasarana dan sarana lingkungan
a. Memiliki taman bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga
dengankonstruksi yang aman dari kecelakaan;
b. Memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan
vektorpenyakit;
c. Memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi
jalan tidakmengganggu kesehatan, konstruksi trotoar tidak
membahayakan pejalan kakidan penyandang cacat, jembatan
harus memiliki pagar pengaman, lampupenerangan jalan tidak
menyilaukan mata;
d. Tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air
yangmemenuhi persyaratan kesehatan;
e. Pengelolaan pembuangan tinja dan limbah rumah tangga harus
memenuhipersyaratan kesehatan;
f. Pengelolaan pembuangan sampah rumah tangga harus memenuhi
syaratkesehatan;
g. Memiliki akses terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi,
tempatkerja, tempat hiburan, tempat pendidikan, kesenian, dan
lain sebagainya;
h. Pengaturan instalasi listrik harus menjamin keamanan
penghuninya;
i. Tempat pengelolaan makanan (TPM) harus menjamin tidak
terjadikontaminasi makanan yang dapat menimbulkan keracunan.
6. Vektor penyakit
a. Indeks lalat harus memenuhi syarat;
b. Indeks jentik nyamuk dibawah 5%.
7. Penghijauan

30
Pepohonan untuk penghijauan lingkungan pemukiman merupakan
pelindung dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan dan
kelestarian alam.35

2.3.3. Kesehatan Rumah Tinggal


Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal adalah sebagai berikut:35
1. Bahan Bangunan
a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang
dapat membahayakan kesehatan, antara lain: debu total tidak lebih
dari 150 µg m3, asbestos kurang dari 0,5 fiber/m3 /jam, timah
hitam tidak melebihi 300 mg/kg bahan;
b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan
berkembangnya mikroorganisme patogen.
2. Komponen dan penataan ruang rumah
Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis
sebagaiberikut:
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan;
b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar
cuci kedap airdan mudah dibersihkan;
c. Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan
kecelakaan;
d. Bumbung rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus
dilengkapidengan penangkal petir;
e. Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang
tamu, ruangkeluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur,
ruang mandi dan ruangbermain anak;
f. Ruang dapur harus dilengkapi dengan sarana pembuangan asap.
3. Pencahayaan
Pencahayaan alam atau buatan langsung atau tidak langsung dapat
menerangiseluruh bagian ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan
tidak menyilaukan.
4. Kualitas udara
Kualitas udara di dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai
berikut:
a. Suhu udara nyaman berkisar antara l8°C sampai 30°C;
b. Kelembaban udara berkisar antara 40% sampai 70%;
c. Konsentrasi gas SO2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam;
d. Pertukaran udara;
e. Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/8 jam;
f. Konsentrasi gas formaldehide tidak melebihi 120 mg/m3
5. Ventilasi

31
Luas penghawaan atau ventilasi a1amiah yang permanen minimal
10% dariluas lantai.
6. Binatang penular penyakit
Tidak ada tikus bersarang di rumah.
7. Penyediaan air bersih
a. Tersedia sarana air bersih dengan kapasitas minimal 60
l/orang/hari;
b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih
dan/atau airminum
8. Sarana penyimpanan makanan
Tersedianya sarana penyimpanan makanan yang aman dan hygiene.
9. Limbah
a. Limbah cair berasal dari rumah, tidak mencemari sumber air,
tidakmenimbulkan bau dan tidak mencemari permukaan tanah.
b. Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan bau, tidak
menyebabkanpencemaran terhadap permukaan tanah dan air
tanah.
10. Kepadatan hunian ruang tidur
Luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih
dari dua orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah
umur 5 tahun.35

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas
Nama : Ny. Nuraini
Umur : 70 tahun
Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 13 Januari 1949
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Belum Menikah
Alamat : Jalan Srijaya Komplek PEMDA TK.1 55 Blok
F nomor 07 RT. 020 RW. 007 Kelurahan
Srijaya, Kecamatan Alang-alang Lebar,
Palembang
Agama : Islam

32
3.2. Subjektif
Autoanamnesis pasien pada hari Selasa, 9 April 2019 Pukul 09;30 WIB

1. Keluhan Utama
Kontrol untuk mengambil obat.

2. Keluhan Tambahan
Tidak ada

3. Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak +6 bulan yang lalu, pasien mengalami keluhan batuk berdahak
yang hilang timbul. Dahak berwarna putih hingga kekuningan. Batuk disertai
sesak. Pasien menyangkal mengalami demam, menggigil, dan berkeringat
pada malam hari. Pasien merasa tubuhnya mengurus, dalam 1 bulan selama
terjadi keluhan. Tidak terdapat keluhan muncul benjolan di tubuh pasien.
Sebelumnya, pasien berobat dan meminum obat batuk namun batuk tidak
kunjung mereda.
Satu bulan yang lalu, pasien dan keluarga pergi berobat ke puskesmas.
Dokter menyarankan untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium pada pasien.
Pemeriksaan dilakukan adalah Tes Cepat Molekuler (TCM) dengan
sampel dahak. Hasil pemeriksaan pasien adalah BTA negatif. Dokter
puskesmas tetap menyarankan pasien untuk melakukan rontgen thorakx di
Rumah Sakit Myria dan pada pemeriksaan foto thoraks didapatkan hasil
kardiomegali dengan aorta elongasi e.c HHD, Infiltrat di lapangan atas dan
bawah kedua lapang paru. Dengan begitu pasien didiagnosis Tb paru. Pasien
disarankan untuk rutin kontrol ke puskesmas untuk pengobatan Tb paru.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit Tb paru : (-)
Riwayat penyakit asma : (-)
Riwayat penyakit jantung : (-)
Riwayat penyakit diabetes mellitus : (-)
Riwayat penykit hipertensi : (+)

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit Tb paru : (-)
Riwayat penyakit asma : (-)
Riwayat penyakit jantung : (-)
Riwayat penyakit diabetes mellitus : (-)
Riwayat penykit hipertensi : (+)

6. Riwayat Pengobatan

33
Pasien mengonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dalam Kombinasi
Dosis Tetap (KDR) sejak 1 bulan yang lalu setelah didiagnosis Tb paru.Dosis
OAT KDT pasien sebanyak tiga tablet satu kali makan per hari selama 2
bulan tahap intensif dan 4 bulan tahap lanjutan.

7. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengatakan tidak pernah berolahraga. Kebiasan merokok
disangkal pasien, dan tidak pernah meminum minuman alkohol.

8. Riwayat Pekerjaan
Pekerjaan pasien adalah ibu rumah tangga, sebelumnya pasien
merupakan seorang penjahit pakaian namun sudah tidak menekuni
pekerjaannya lagi.

9. Riwayat Higiene
- Pasien mandi dua kali sehari dengan air PAM dan menggunakan
sabun.
- Pasien mengganti pakaian setiap hari.
- Pasien menggunakan handuk dan pakaian sendiri, tidak bercampur
dengan orang lain.

10. Riwayat Nutrisi


Pasien makan tiga kali sehari sebanyak 1 piring setiap kali makan
dengan nasi putih, daging, telur, ayam, susu, ikan, tahu, tempe dan sayur yang
paling sering dikonsumsi serta minum 6 gelas/hari. Pasien jarang
mengkonsumsi

11. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien adalah seorang yang belum menikah. Pasien tinggal di rumah
kakak kandungnya bersama dengan suami dari kakak pasien. Sehingga
terdapat 3 anggota yang tinggal bersama dalam satu rumah. Pasien tinggal di
daerah padat penduduk, rumah pasien berukuran 10m x 7m
Lantai tersusun dari ubin. Dinding rumah terbuat dari batu bata dan
semen dan dilapisi dengan cat. Atap rumah terbuat dari genteng, dan atap
tidak berhubungan dengan ruangan karena terdapat plafon. Secara
keseluruhan, terdapat 1 ruangan besar sebagai ruang keluarga, 1 ruang tamu
berkuran 3m x 4m, terdapat 3 kamar tidur berukuran sama-sama berukuran
3m x 2m, 1 ruang dapur satu buah kamar mandi ukuran 2,5 m x 1,5 m.

34
Seluruh ruangan dibatasi dengan dinding batu bata. Jendela dan ventilasi
terdapat semua di ruang, terdapat 8 jendela dengan tiap jendela berukuran
200x100 cm dengan ventilasi. Terdapat 2 pintu masuk dengan tiap pintu
berukuran 1m x 2m.Rumah cukup mendapatkan pencahayaan sinar matahari.
Rumah pasien memiliki fasilitas 1 buah MCK dengan jamban duduk
didalam rumah. MCK digunakan untuk semua anggota keluarga.Sumber air
berasal dari PDAM dan didalam kamar mandi memiliki bak penampung air.
Kerapian tata letak barang-barang di rumah baik sehingga terkesan tidak
berantakan.Kebersihan rumah di luar rumah terlihat baik.
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan kepala keluarga
berkisar Rp. 3.000.000 per bulan dan pasien mengatakan keluarga yang lain
sesekali membantu biaya di rumah.
Pasien dan keluarga memiliki satu buah mobil, perlengkapan rumah
tangga, peralatan elektronik berupa 2 buah televisi, 3 buah kipas angin, 1
buah kulkas, dan 1 buah rice cooker, 1 buah oven
Terdapat tempat sampah di luar rumah. Limbah dapur dibuang ke
tempat sampah di depan rumah pasien.
Hubungan antar anggota keluarga terjalin baik, pasien juga sering
mengikuti kegiatan bersama warga di lingkungannya.
Sosial : Harmonis
Ekonomi : Menengah ke atas
Lingkungan : Baik

12. Riwayat Keluarga


GENOGRAM

35
Laki-laki (hidup)

Wanita (hidup)

Penderita TB

3.3. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 130/70 mmHg
Nadi : 76 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,9C
Berat badan : 48 kg
Tinggi badan : 155 cm
IMT : 19 kg/m2 (Status Gizi Baik)
Keadaan Spesifik
Kepala : normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut.
- Mata : edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-), sklera
ikterik (-), pupil isokor.
- Hidung : sekret (-/-), rhinore (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
- Telinga : nyeri tekan (-/-), otorea (-/-)
- Mulut : gusi berdarah (-), stomatitis (-), tonsil T1-T1
- Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
Thoraks
- Paru
- Inspeksi : simetris, retraksi (-/-), sikatrik (-/-)
- Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri sama
- Perkusi : sonor
- Auskultasi : vesikuler (+/+) normal, wheezing (-/-), rhonki (-/-)
- Jantung
- Inspeksi : iktus cordis (-)
- Palpasi : iktus cordis tidak teraba (+), thrill (-)
- Perkusi : batas jantung atas ICS II, batas jantung kiri bawah
ICS VI linea midclavicula sinistra, batas jantung kanan bawah ICS V
linea parasternalis dextra.
- Auskultasi : murmur (-), gallop (-)
Abdomen
- Inspeksi : datar, striae (-)
- Palpasi : lemas, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
- Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal
Genitalis : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : akral hangat (+/+), edema (-/-)

36
3.4. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 21/2/2019 :
HIV : Negatif
Tes Cepat Molekuler :
Tanggal 11/12/2018 : BTA (-)

Tanggal 20/12/2018 :
Foto Thoraks
Hasil ;
- Jantung ukuran kesan membesar ke kiri, CTR > 50%
- Aorta elongasi, mediastinum superior tidak melebar
- Trakea ditengah, hilus kanan kiri tidak menebal
- Tampak infiltrat diatas dan bawah kedua lapang paru
- Sinus kostofNurainikus kanan kiri lancip, diafragma kanan kiri licin
- Tulang-tulang kesan intak, tak tampak fraktur
- Jaringan lunak baik.
Kesan :
o Kardiomegali dengan aorta elongasi e.c. HHD
o Infiltrat di lapangan atas dan bawah kedua lapang paru DD/ TB
paru, pneumonia

37
3.5. Diagnosis Banding
Tb paru kasus baru
Pneumonia

3.6. Diagnosis Kerja


TB Paru Kasus Baru

3.7. Penatalaksanaan
- Promotif dan Preventif
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016
Tentang Penanggulangan Tuberkulosis

1. Strategi penanggulangan TB dalam pencapaian eliminasi nasional TB


meliputi:
a. Penguatan kepemimpinan program TB di kabupaten/kota
1) Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
2) Regulasi dan peningkatan pembiayaan
3) Koordinasi dan sinergi program
b. Peningkatan akses layanan TB yang bermutu
1) Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public-
private mix)
2) Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
3) Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM,
MTBS, PAL, dan lain sebagainya
4) Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat/saran diagnostik
yang baru
5) Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau Case
holding
6) Bekerja sama dengan asuransi kesehatan dalam rangka
Cakupan Layanan Semesta (health universal coverage).
c. Pengendalian faktor risiko
1) Promosi lingkungan dan hidup sehat.
2) Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB
3) Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB

38
4) Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan
cakupan dan keberhasilan pengobatan yang tinggi
d. Peningkatan kemitraan TB melalui Forum Koordinasi TB
1) Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat
2) Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di
daerah
e. Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TB
1) Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan
masyarakat
2) Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan
kasus, dan dukungan pengobatan TB
3) Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya
kesehatan berbasis keluarga dan masyarakat
f. Penguatan manajemen program (health system strenghtening)
1) SDM
2) Logistik
3) Regulasi dan pembiayaan
4) Sistem Informasi, termasuk mandatory notification
5) Penelitian dan pengembangan inovasi program

2. Kebijakan Penanggulangan TB di Indonesia


a. Penanggulangan TB dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam
kerangka otonomi daerah dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat
manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,
tenaga, sarana dan prasarana).
b. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan pedoman standar
nasional sebagai kerangka dasar dan memperhatikan kebijakan global
untuk PenanggulanganTB.
c. Penemuan dan pengobatan untuk penanggulangan TB dilaksanakan oleh
seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang meliputi
Puskesmas, Klinik, dan Dokter Praktik Mandiri (DPM) serta Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang meliputi: Rumah Sakit

39
Pemerintah, non pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai
Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM).
d. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB disediakan oleh
pemerintah dan diberikan secara cuma-cuma.
e. Keberpihakan kepada masyarakat dan pasien TB. Pasien TB tidak
dipisahkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. Pasien memiliki
hak dan kewajiban sebagaimana individu yang menjadi subyek dalam
penanggulangan TB
f. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui penggalangan kerjasama dan
kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan
masyarakat melalui Forum Koordinasi TB.
g. Penguatan manajemen program penanggulangan TB ditujukan
memberikan kontribusi terhadap penguatan sistem kesehatan nasional.
h. Pelaksanaan program menerapkan prinsip dan nilai inklusif, proaktif,
efektif, responsif, profesional dan akuntabel
i. Penguatan Kepemimpinan Program ditujukan untuk meningkatkan
komitmen pemerintah daerah dan pusat terhadap keberlangsungan
program dan pencapaian target strategi global penanggulangan TB yaitu
eliminasi TB tahun 2035.

3. Penanggulangan TB diselenggarakan melalui kegiatan:


a. Promosi kesehatan;
Promosi kesehatan adalah berbagai upaya yang dilakukan terhadap
masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk meningkatkan dan
memelihara kesehatan mereka sendiri.
Dalam promosi kesehatan dalam penanggulangan TB diarahkan untuk
meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai
pencegahan penularan, pengobatan, pola hidup bersih dan sehat (PHBS),
sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku sasaran program TB terkait
dengan hal tersebut serta menghilangkan stigma serta diskriminasi
masyakarat serta petugas kesehatan terhadap pasien TB.
Promosi kesehatan untuk Penanggulangan TB dilakukan disemua
tingkatan administrasi baik pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai
dengan fasilitas pelayanan kesehatan.

40
Promosi TB selain dapat dilakukan oleh petugas khusus juga dapat
dilakukan oleh kader organisasi kemasyarakatan yang menjadi mitra
penanggulangan TB.
Dalam pelaksanaaannya promosi kesehatan harus
mempertimbangkan:
1. Metode komunikasi, dapat dilakukan berdasarkan:
a. Teknik komunikasi, terdiri atas:
1) metode penyuluhan langsung yaitu kunjungan rumah,
pertemuan umum, pertemuan diskusi terarah (FGD), dan
sebagainya; dan
2) metode penyuluhan tidak langsung dilakukan melalui media
seperti pemutaran iklan layanan masyarakat di televisi, radio,
youtube dan media sosial lainnya, tayangan film, pementasan
wayang, dll.
b. Jumlah sasaran dilakukan melalui pendekatan perorangan, kelompok
dan massal.
c. Indera Penerima
1) Metode melihat/memperhatikan.
Pesan akan diterima individu atau masyarakat melalui
indera penglihatan seperti: pemasangan spanduk, umbul-
umbul, poster, billboard, dan lain-lain.
2) Metode mendengarkan.
Pesan akan diterima individu atau masyarakat melalui
indera pendengaran seperti dialog interaktif radio, radio spot,
dll.
3) Metode kombinasi.
Merupakan kombinasi kedua metode di atas, dalam hal
ini termasuk demonstrasi/peragaan. Individu atau masyarakat
diberikan penjelasan dan peragaan terlebih dahulu lalu
diminta mempraktikkan, misal: cara mengeluarkan dahak.
2. Media Komunikasi

41
Media komunikasi atau alat peraga yang digunakan untuk
promosi penanggulangan TB dapat berupa benda asli seperti obat
TB, pot sediaan dahak, masker, bisa juga merupakan tiruan dengan
ukuran dan bentuk hampir menyerupai yang asli (dummy). Selain
itu dapat juga dalam bentuk gambar/media seperti poster, leaflet,
lembar balik bergambar karikatur, lukisan, animasi dan foto, slide,
film dan lain-lain.
3. Sumber Daya
Sumber daya terdiri dari petugas sebagai sumber daya manusia
(SDM), yang bertanggung jawab untuk promosi, petugas di
puskesmas dan sumber daya lain berupa sarana dan prasarana serta
dana.

b. Surveilans TB
Surveilans TB merupakan salah satu kegiatan untuk memperoleh data
epidemiologi yang diperlukan dalam sistem informasi program
penanggulangan TB.
Sistem informasi program pengendalian TB adalah seperangkat
tatanan yang meliputi data, informasi, indikator, prosedur, perangkat,
teknologi dan sumber daya manusia (SDM) yang saling berkaitan dan
dikelola secara terpadu untuk mengarahkan tindakan atau keputusan yang
berguna dalam mendukung pembangunan nasional.
Informasi kesehatan adalah data kesehatan yang telah diolah atau
diproses menjadi bentuk yang mengandung nilai dan makna yang berguna
untuk meningkatkan pengetahuan dalam mendukung pembangunan
kesehatan. Informasi kesehatan untuk program pengendalian TB adalah
informasi dan pengetahuan yang memandu dalam melakukan penentuan
strategi, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program TB.
Terdapat 2 jenis surveilans TB, yaitu: Surveilans berbasis indikator
(berdasarkan data pelaporan), dan Surveilans berbasis kejadian (berupa
survei: periodik dan sentinel).
1. Surveilans Berbasis Indikator.

42
Surveilans berbasis indikator dilaksanakan dengan menggunakan
data layanan rutin yang dilakukan pada pasien TB. Sistem surveilans ini
merupakan sistem yang mudah, murah dan masih bisa dipercaya untuk
memperoleh informasi tentang TB.
Hasil surveilans berdasarkan data rutin ini perlu divalidasi dengan
hasil dari surveilans periodik atau surveilans sentinel.
Data yang dikumpulkan harus memenuhi standar yang meliputi:
a. Lengkap, tepat waktu dan akurat.
b. Data sesuai dengan indikator program.
c. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah
diintegrasikan dengan sistim informasi kesehatan yang generik.
Data untuk program Penanggulangan TB diperoleh dari sistem
pencatatan-pelaporan TB. Pencatatan menggunakan formulir baku secara
manual didukung dengan sistem informasi secara elektronik, sedangkan
pelaporan TB menggunakan sistem informasi elektronik. Penerapan
sistem informasi TB secara elektronik disemua faskes dilaksanakan
secara bertahap dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya di
wilayah tersebut.
Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik menggunakan
Sistem Informasi TB yang berbasis web dan diintegrasikan dengan
sistem informasi kesehatan secara nasional dan sistem informasi publik
yang lain.
2. Surveilans Berbasis Kejadian
a. Surveilans Berbasis Kejadian Khusus
Dilakukan melalui kegiatan survei baik secara periodik
maupun sentinel yang bertujuan untuk mendapatkan data yang
tidak diperoleh dari kegiatan pengumpulan data rutin.
Kegiatan ini dilakukan secara cross-sectional pada kelompok
pasien TB yang dianggap dapat mewakili suatu wilayah tertentu.
Kegiatan ini memerlukan biaya yang mahal dan memerlukan
keahlian khusus. Hasil dari kegiatan ini dapat digunakan untuk
mengkalibrasi hasil surveilans berdasar data rutin.

43
Contoh: survei prevalensi TB Nasional, sero survei prevalensi
HIV diantara pasien TB, survei sentinel TB diantara ODHA,
surveiresistensi OAT, survei Knowledge Attitude Practice (KAP)
untuk pasien TB dan dokter praktek mandiri (DPM), dan survei
lain-lain.
Pemilihan metode surveilans yang akan dilaksanakan disuatu
daerah/wilayah tergantung pada tingkat epidemi TB di
daerah/wilayah tersebut, kinerja program TB secara keseluruhan,
dan sumber daya (dana dan keahlian) yang tersedia.

b. Surveilans Berbasis Kejadian Luar Biasa


Meliputi surveilans untuk kasus-kasus TB lintas negara
terutama bagi warga negara Indonesia yang akan berangkat
maupun yang akan kembali ke Indonesia (haji dan TKI). Hal ini
dilakukan karena mobilisasi penduduk yang sangat cepat dalam
jumlah besar setiap tahunnya tidak menguntungkan ditinjau dari
penanggulangan penyakit tuberkulosis. Hal ini bisa menyebabkan
terjadinya penyebaran penyakit dari satu wilayah ke wilayah lain
dan/atau dari satu negara ke negara lain dalam waktu yang cepat;
juga penyebaran internal dalam rombongan tersebut.
Upaya pengawasan pasien TB yang akan menunaikan ibadah
haji atau TKI yang akan berangkat keluar negeri maupun kembali
ke Indonesia memerlukan sistem surveilans yang tepat.

c. Pengendalian faktor risiko


Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis (M.tb).
Seorang pasien TB, khususnya TB paru pada saat dia bicara, batuk dan
bersin dapat mengeluarkan percikan dahak yang mengandung M.tb.
Orang-orang disekeliling pasien TB tsb dapat terpapar dengan cara
mengisap percikan dahak. Infeksi terjadi apabila seseorang yang rentan
menghirup percik renik yang mengandung kuman TB melalui mulut atau
hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai alveoli.

44
Pencegahan dan pengendalian risiko bertujuan mengurangi sampai
dengan mengeliminasi penularan dan kejadian sakit TB di masyarakat.
Upaya yang dilakukan adalah:
1. Pengendalian Kuman Penyebab TB
a. Mempertahankan cakupan pengobatan dan
keberhasilan pengobatan tetap tinggi
b. Melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta
(komorbid TB) yang mempermudah terjangkitnya TB,
misalnya HIV, diabetes, dll.
2. Pengendalian Faktor Risiko Individu
a. Membudayakan PHBS atau Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat, makan makanan bergizi, dan tidak merokok
b. Membudayakan perilaku etika berbatuk dan cara
membuang dahak bagi pasien TB
c. Meningkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan
kualitas nutrisi bagi populasi terdampak TB
d. Pencegahan bagi populasi rentan
1)Vaksinasi BCG bagi bayi baru lahir
2)Pemberian profilaksis INH pada anak di bawah
lima tahun
3)Pemberian profilaksis INH pada ODHA selama
6 bulan dan diulang setiap 3 tahun
4)Pemberian profilaksis INH pada pasien dengan
indikasi klinis lainnya seperti silikosis
3. Pengendalian Faktor Lingkungan
a. Mengupayakan lingkungan sehat
b. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas
perumahan dan lingkungannya sesuai persyaratan baku
rumah sehat
4. Pengendalian Intervensi daerah berisiko penularan
a. Kelompok khusus maupun masyarakat umum yang
berisiko tinggi penularan TB (lapas/rutan, masyarakat

45
pelabuhan, tempat kerja, institusi pendidikan
berasrama, dan tempat lain yang teridentifikasi
berisiko.
b. Penemuan aktif dan masif di masyarakat (daerah
terpencil, belum ada program, padat penduduk).
5. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Mencegah penularan TB pada semua orang yang terlibat
dalam pemberian pelayanan pada pasien TB harus menjadi
perhatian utama. Semua fasyankes yang memberi layanan TB harus
menerapkan PPI TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi
segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang yang
dicurigai atau dipastikan menderita TB.

d. Penemuan dan penanganan kasus TB


1. Pengobatan TB
a. Tujuan Pengobatan TB adalah:
1)Menyembuhkan pasien dan memperbaiki
produktivitas serta kualitas hidup.
2)Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB
atau dampak buruk selanjutnya.
3)Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
4)Menurunkan risiko penularan TB.
5) Mencegah terjadinya dan penularan TB resistan obat.
b. Prinsip Pengobatan TB:
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting
dalam pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya
paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut kuman TB
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
1) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang
tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi.
2) Diberikan dalam dosis yang tepat.

46
3) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh
PMO (Pengawas Menelan Obat) sampai selesai
pengobatan.
4) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup,
terbagi dalam dua (2) tahap yaitu tahap awal serta tahap
lanjutan, sebagai pengobatan yang adekuat untuk mencegah
kekambuhan.

c. Tahapan Pengobatan TB
1) Tahap Awal:
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan
pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif
menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan
pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu pertama.
2) Tahap Lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa
sisa kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman
persister sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan
e. Pemberian kekebalan
Salah satu upaya pencegahan mencegah kesakitan atau sakit yang
berat adalah dengan memberikan kekebalan berupa vaksinasi dan
pengobatan pencegahan (profilaksis).
A. Pemberian Kekebalan (Imunisasi) BCG
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guérin) adalah vaksin hidup yang
dilemahkan yang berasal dari Mycobacterium bovis. Pemberian

47
vaksinasi BCG berdasarkan Program Pengembangan Imunisasi
diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada bayi >
2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk pemberian
vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program Pemberian
Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin BCG
efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan
TB meningitis yang sering didapatkan pada usia muda. Vaksinasi
BCG ulang tidak direkomendasikan karena tidak terbukti memberi
perlindungan tambahan.
Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu Bayi terlahir
dari ibupasien TB BTA positif
1. Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif
pada trimester3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui
plasenta, cairan amnion maupun hematogen. Sedangkan bayi
yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama masa
neonatal berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada
kedua kondisi tersebut bayi sebaiknya dirujuk. Vaksinasi BCG
dilakukan sesuai alur tata laksana bayi yang lahir dari ibu
terduga TB atau ibu sakit TB
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Vaksinasi BCG tidak boleh diberikan pada bayi yang terinfeksi
HIV karena meningkatkan risiko BCG diseminata. Di daerah
yang endemis TB/HIV, bayi yang terlahir dari ibu dengan HIV
positif namun tidak memiliki gejala HIV boleh diberikan
vaksinasi BCG. Bila pemeriksaan HIV dapat dilakukan, maka
vaksinasi BCG ditunda sampai status HIVnya diketahui.

f. Pemberian obat pencegahan.


1. Pengobatan Pencegahan dengan INH
Sebagai salah satu upaya pencegahan TB aktif pada ODHA,
pemberian pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) dapat
diberikan pada ODHA yang tidak terbukti TB aktif dan tidak ada
kontraindikasi terhadap INH. Dosis INH yang diberikan adalah 300
mg per hari dengan dosis maksimal 600 mg per hari, ditambah

48
Vitamin B6 25 mg per hari selama 6 bulan. Obat tetap diberikan
sampai 6 bulan, walaupun kasus indeks meninggal, pindah atau BTA
kasus indeks sudah menjadi negatif. Yang berperan sebagai pengawas
minum obat adalah orang tua atau anggota keluarga pasien.
2. Pengobatan pencegahan dengan Rifapentine dan Isoniazid.
Saat ini telah terdapat pilihan pengobatan pencegahan dengan
Rifapentin dan Isoniazid. Sebagai catatan, obat ini tidak
direkomendasikan penggunaannya pada anak berusia < 2 tahun dan
anak dengan HIV AIDS dalam pengobatan ARV.
3. Pemberian Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) pada
ODHA
Pengobatan Pencegahan dengan INH (PP INH) bertujuan
untuk mencegah TB aktif pada ODHA, sehingga dapat menurunkan
beban TB pada ODHA. Jika pada ODHA tidak terbukti TB dan tidak
ada kontraindikasi, maka PPINH diberikan yaitu INH diberikan
dengan dosis 300 mg/hari dan B6 dengan dosis 25mg/hari sebanyak
180 dosis atau 6 bulan.
4. Pemberian Pengobatan Pencegahan dengan Kotrimoksasol (PPK)
pada ODHA
Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol bertujuan untuk
mengurangi angka kesakitan dan kematian pada ODHA dengan atau
tanpa TB akibat IO. Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol
relatif aman dan harus diberikan sesuai dengan Pedoman Nasional
PDP serta dapat diberikan di unit DOTS atau di unit PDP

- Kuratif
1. Farmakologis
 OAT KDT RHZE 1 x 3 KDT tab
 Vit B Komp 1 x 1 tab
 Amlodipin 5mg 1 x 1 tab

2. Non Farmakologis
 Menjaga kebersihan lingkungan rumah
 Membuka jendela di rumah agara sinar matahari dapat masuk
 Menjemur bantal, kasur tiap pagi setelah tidur malam

49
 Menggunakan masker sekali pakai baik di luar maupun di dalam
rumah
 Modifikasi gaya hidup: makan makanan yang bergizi.

- Rehabilitatif
1. Istirahat yang cukup.
2. Mengkonsumsi obat secara teratur

3.8. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia

BAB IV
PEMBAHASAN PEMBINAAN KELUARGA

4.1. Analisis Kunjungan Rumah (Home Visite)


Home Visite dilakukan ke rumah pasien yang beralamat di Jalan Srijaya
Komplek PEMDA TK.1 55 Blok F nomor 07 RT. 020 RW. 007 Kelurahan
Srijaya Kecamatan Alang-alang Lebar Palembang pukul 19.30-10.30 WIB

4.1.1. Karakteristik Dermografi Keluarga


Nama Kepala Keluarga : Tn. Abror Zein
Alamat : Jalan Srijaya Komplek PEMDA TK.1 55 Blok F
nomor 07 RT. 020 RW. 007 Kelurahan Srijaya
Kecamatan Alang-alang Lebar Palembang
Bentuk Keluarga : Keluarga Besar (Extended Family)

Tabel 4.Anggota Keluarga Tn. Abror Zein


No. Nama Kedudukan L/P Umur Pendidikan Pekerjaan Ket.
1. Abror Zein Kepala keluarga L 77 tahun S1 Pensiunan -
2. Nurjanah Istri P 72 tahun SMA IRT -
3. Nuraini Adik P 70 tahun SMA IRT -

4.1.2. Identifikasi Fungsi Keluarga


a. Fungsi fisiologis dalam keluarga (APGAR)

50
Tabel 5.APGAR Score Tn. Abror Zein Terhadap Keluarga
Sering/ Kadang- Jarang/
APGAR ScoreTn. Abror Zein Terhadap Keluarga
Selalu kadang Tidak
Saya puas dengan keluarga saya karena masing-
A masing anggota keluarga sudah menjalankan 
kewajiban sesuai dengan seharusnya.
Saya puas dengan keluarga saya karena dapat
P membantu memberikan solusi terhadap 
permasalahan yang saya hadapi.
Saya puas dengan kebebasan yang diberikan
G keluarga saya untuk mengembangkan 
kemampuan yang saya miliki.
Saya puas dengan kehangatan / kasih sayang
A 
yang diberikan keluarga saya.

Saya puas dengan waktu yang disediakan


R 
keluarga untuk menjalin kebersamaan

Total 10

Tabel 6.APGAR Score Ny. Nurjanah Terhadap Keluarga


Sering/ Kadang- Jarang/
APGAR ScoreNy. Nuraini Terhadap Keluarga
Selalu kadang Tidak
Saya puas dengan keluarga saya karena masing-
A masing anggota keluarga sudah menjalankan 
kewajiban sesuai dengan seharusnya.
Saya puas dengan keluarga saya karena dapat
P membantu memberikan solusi terhadap 
permasalahan yang saya hadapi.
Saya puas dengan kebebasan yang diberikan
G keluarga saya untuk mengembangkan 
kemampuan yang saya miliki.
Saya puas dengan kehangatan / kasih sayang
A 
yang diberikan keluarga saya.

Saya puas dengan waktu yang disediakan


R 
keluarga untuk menjalin kebersamaan

Total 10

Tabel 7.APGAR Score Ny. Nuraini Terhadap Keluarga


Sering/ Kadang- Jarang/
APGAR ScoreNy. Nuraini Terhadap Keluarga
Selalu kadang Tidak
Saya puas dengan keluarga saya karena masing-
A masing anggota keluarga sudah menjalankan 
kewajiban sesuai dengan seharusnya.

51
Saya puas dengan keluarga saya karena dapat
P membantu memberikan solusi terhadap 
permasalahan yang saya hadapi.
Saya puas dengan kebebasan yang diberikan
G keluarga saya untuk mengembangkan 
kemampuan yang saya miliki.
Saya puas dengan kehangatan / kasih sayang
A 
yang diberikan keluarga saya.

Saya puas dengan waktu yang disediakan


R 
keluarga untuk menjalin kebersamaan

Total 10

APGAR Score keluarga Tn. Abror Zein dinilai berdasarkan 3 dari 3


anggota keluarga.

APGAR Score Keluarga Tn. Abror Zein berdasarkan 3 dari 3


anggota keluarga = (10+10+10) = 10
Kesimpulan: Keluarga dapat dinilai baik.
Fungsi fisiologis keluarga dapat dikatakan sehat. Anggota keluarga lain
siap membantu apabila salah satu dari angota keluarga mengalami
masalah.

b. Fungsi patologis
Tabel 7. SCREEM Keluarga Tn. Abror Zein
Sumber Patologis

Ny. Nuraini sehari sering bertegur sapa dengan


Social -
tetangga sekitar rumah.

Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya kurang, hal


ini dapat dilihat dari pergaulan sehari-hari baik dalam
keluarga maupun di lingkungan. Ny. Nuraini dan
Culture -
keluarga jarang mengikuti kegiatan di masyarakat
seperti kondangan, menghadiri hajatan, kegiatan gotong
royong, pengajian.

Religious Dalam keluarga ini pemahaman agama kurang baik. -

Status ekonomi keluarga ini tergolong menengah ke


bawah. Kebutuhan primer dapat tercukupi, walaupun
Economic -
kebutuhan sekunder tidak semua nya tercukupi.

52
Latar belakang pendidikan tergolong rendah. Ny.
Educational Nuraini beserta suami tamat SD. Keluarga biasanya -
melihat berita/acara lain dari TV.
Bila ada anggota keluarga yang sakit, segera dibawa
Medical ke puskesmas. Keluarga menggunakan BPJS untuk +
pembiayaan kesehatan.

Berdasarkan penilaian SCREEM Keluarga Tn. Abror Zein, didapatkan:


- Fungsi Patologis Culture (-)
Tidak terdapat fungsi patologis culture pada keluarga. Ny. Nuraini
walaupun menghabiskan waktunya seharian di rumah saja. Tetapi hal
tersebut tidak menyebabkan Ny. Nuraini dan keluarga jarang
mengikuti kegiatan di masyarakat berupa kondangan,

- Fungsi patologis Religious (-)


Dalam keluarga ini pemahaman agama baik. Semua anggota
keluarga rutin menjalankan ibadah shalat 5 waktu.

- Fungsi patologis Economic (-)


Status ekonomi keluarga ini tergolong menengah ke atas. Sehingga
masalah ekonomi jarang dialami.

- Fungsi patologis Educational (-)


Tingkat edukasi pada keluarga tergolong tinggi, dimana Tn. Abror
Zein adalah seorang sarjana dan anggota keluarga lainnya pendidikan
terakhirnya adalah SMA

Kesimpulan:
Keluarga Tn. Abror Zein tidak memiliki fungsi patologis baik dari
segi kultural, agama, ekonomi dan edukasi.

4.1.3. Identifikasi Lingkungan Rumah


1. Gambaran Lingkungan Rumah
Pasien tinggal di daerah padat penduduk, rumah pasien berukuran
13m x 8m. Lantai tersusun dari ubin. Dinding rumah bagian depan
terbuat dari batu bata yang dilapisi semen, sedangkan rumah bagian
belakang dinding terbuat dari batu bata disemen dan dicat. Atap rumah
terbuat dari genteng, dan berhubungan dengan ruangan. Secara

53
keseluruhan, terdapat 1 ruangan besar sebagai ruang keluarga 1 ruang
tamu berkuran 4m x 3m, terdapat 3 kamar tidur berukuran sama-sama
berukuran 4m x 3m, 1 ruang dapur dan 1 kamar mandi berukuram 3m x
2,5 m.Terdapat 2 pintu utama dengan tiap pintu berukuran 1x2 m2.
Seluruh ruangan dibatasi dengan dinding batu bata.
Jendela dan ventilasi terdapat di ruang tamu, terdapat 10 jendela
dengan tiap jendela berukuran 100x150 cm2 dengan ventilasi. Semua
jendela sering dibuka sehingga pencahayaan yang masuk ke dalam
rumah dapat dikatakan cukup memadai. Kebersihan cukup baik.
Sirkulasi udara didalam rumah berjalan baik. Di rumah terdapat tempat
sampah diluar rumah dan sampah dikumpulkan dalam kantung plastik
besar sehingga sampah tidak berserakan.
Rumah pasien memiliki fasilitas 1 buah MCK dengan jamban leher
angsa didalam rumah. MCK digunakan untuk semua anggota keluarga. Sumber
air berasal dari PDAM dan didalam kamar mandi memiliki bak penampung air.
Kerapian tata letak barang-barang di rumah baik sehingga tidak terkesan
berantakan. Kebersihan rumah baik.

2. Denah Rumah

WC DAPUR
GARASI
KAMAR RUANG
PASIEN KAMAR
MAKAN

RUANG KAMAR
KELUARGA

RUANG TAMU

54
4.1.4. Daftar Masalah dan Pembinaan Keluarga
1. Masalah Organobiologik
Tidak ditemukan masalah organobiologik pada penderita.
2. Masalah Psikologik
Tidak ditemukan masalah psikologik pada penderita.
3. Masalah Dalam Keluarga
Tidak ditemukan masalah keluarga pada penderita

4.1.5. Pembinaan Keluarga


a. Edukasi Terhadap Pasien
1. Memberikan psikoterapi edukatif, yaitu memberikan informasi dan
edukasi tentang penyakit yang diderita, faktor risiko, gejala, dampak,
faktor penyebab, cara pengobatan, prognosis, dan risiko kekambuhan
agar pasien tetap taat meminum obat dan segera datang ke dokter
bila timbul gejala serupa dikemudian hari. Selain itu, harus
dijelaskan pula bahwa pengobatan akan berlangsung lama, adanya
efek samping obat dan pengaturan dosis obat hanya boleh diatur oleh
dokter.
2. Memberikan psikoterapi suportif dengan memotivasi penderita untuk
terus minum obat secara teratur dan menjaga pola makan yang sehat
serta berkeinginan untuk sembuh (melatih gerakan fisik agar tidak
terjadi kelemahan/kelumpuhan permanen akibat tubuh tidak
digerakkan).
3. Memberikan informasi agar selalu mengontrol tekanan serta tidak
malas untuk beraktifitas karena kelemahan pada tubuh.

b. Edukasi Terhadap Keluarga


1. Informasi dan edukasi mengenai penyakit yang diderita pasien,
gejala, kemungkinan penyebab, dampak, faktor-faktor pemicu
kekambuhan, dan prognosis sehingga keluarga dapat memberikan
dukungan kepada penderita.
2. Meminta keluarga untuk mendukung penderita, mengajak penderita
berinteraksi dan beraktivitas serta membantu hubungan sosial
penderita.
3. Meminta keluarga untuk selalu mengingatkan penderita untuk
kontrol rutin dan minum obat secara teratur.
4. Meminta keluarga untuk selalu mengontrol tekanan darah serta
membantu pasien untuk beraktifitas.

55
5. Memberikan pengertian pada keluarga agar menjaga suasana
hubungan sosial dan keluarga dalam suasana yang harmonis.
6. Membina hubungan kasih sayang dan keharmonisan dalam keluarga,
sering mengajak penderita berbincang dan bersenda gurau.

4.1.6. Pemantauan dan Evaluasi


Home visite pertama dilakukan pada tanggal 2 Apri 2019, home visite
kedua dilakukan pada tanggal 9 April 2019.
Pemantauan dilakukan pada saat home visite pertama, melengkapi
status pasien, melakukan reanamnesis, pemeriksaan fisik, pembuatan
perangkat penilaian keluarga, membuat diagnostik holistik sesuai pendekatan
kedokteran keluarga, termasuk profil kesehatan keluarga.
Evaluasi dilakukan pada home visite ke-2 pada 9 April 2019. Pada
saat kunjungan yang kedua, pasien tampak sehat dan tidak ada gangguan
GAYA HIDUP
dalam beraktifitas. Pasien tidak batuk-batuk, tidak ada keluhan sesak nafas.
Rendahnya
Pasien merasa nafsu makan asupan dan tubuh terasa lebih bugar. Obat
meningkat
nutrisi
pasien rutin diminum tiap hari. Pasien sudah terbiasa dengan efek samping
dari obat OAT, sehingga efek samping tersebut sudah tidak mengganggu
pasien lagi. FAMILY
LINKUNGAN PSIKO-
SOSIAL-EKONOMI

Pendapatan cukup
PERILAKU KESEHATAN memenuhi kebutuhan
primer, Kehidupan sosial
Berobat jika ada keluhan baik
dan/atau obat habis

PELAYANAN
KESEHATAN
LINGKUNGAN KERJA
Jarak rumah-Puskesmas Pasien perempuan,
dekat, Sering berobat
27 tahun, diagnosis Pasien di rumah saja
untuk mengambil obat
Tb paru kasus baru, mengurus rumah
kontrol konsumsi tangga
OAT

4.1.7. Diagnosis Holistik


Dalam menetapkan masalah serta LINGKUNGAN
faktor yang mempengaruhi,
FISIK Rumah
kecil, tinggal ramai dalam
digunakan konsep Mandala of Health. Diagnosis holistic
satu yang ditegakan pada
rumah,pemukiman
FAKTOR BIOLOGI
padat, kurang ventilasi,
pasien adalah sebagai berikut: kerapian dan
Tidak ada
kebersihan.Lingkungan
sekitar kotor

56
Komunitas -- Pemukiman
padat dengan sanitasi kurang
Gambar 4.1. Mandala of Health
Pada poin I, alasan kedatangan pasien yaitu kontrol berobat OAT.
Pasien khawatir selama rutin minum obat takut lupa untuk meminum obat.
Pada poin II, diagnosis kerja yang ditegakkan adalah Tuberkulosis
Paru Kasus Baru

57
Pada poin III, didapatkan masalah perilaku berupa pasien berobat
bila ada keluhan dan obat habis.
Pada poin IV, tidak didapatkan masalah dari lingkungan fisik pasien
makan dengan nutrisi cukup, status gizi baik. Dari segi ekonomi, pendapatan
keluarga dapat memenuhi kebutuhan primer, pendapatan dari kepala keluarga
dan anaknya. Rumah yang cukup luas dan terdapat 3 orang dalam satu rumah.
Ventilasi rumah cukup sehingga sinar matahari bisa masuk, pencahayaan baik
dan tidak terasa lembap. Jamban cukup bersih, lingkungan sekitar tidak kotor.
Pada poin V, ditetapkan skala fungsional pasien derajat 2 yaitu
pasien tidak mengalami banyak kesulitan, dan bisa melakukan aktifitas kerja
dengan baik.

4.1.8. Penatalaksanaan
A. Promotif
Memberikan informasi mengenai gambaran umum TB paru,
Hipertiroid dan faktor risiko lain, sehingga keluarga diharapkan dapat
memutuskan upaya pencegahan secara mandiri apa yang akan
dilakukan.

B. Preventif
Memberikan informasi mengenai upaya pencegahan yang dapat
dilakukan sehingga tidak mencetuskan dan tidak memperparah
kondisinya, misalnya:
- Periksa kesehatan secara rutin dan ikuti anjuran dokter
- Atasi penyakit dengan pengobatan yang tepat dan teratur
- Tetap diet sehat dengan gizi seimbang
- Upayakan beraktifitas fisik dengan aman
- Hindari rokok, alkohol dan zat karsinogenik lainnya

C. Kuratif
Farmakologis
 OAT KDT RHZE 1 x 3 KDT tab
 Vitamin B6 2 x 1 tab
 Farmabec 2 x 1 tab

Non farmakologis
 Menjaga kebersihan lingkungan rumah
 Membuka jendela di rumah agara sinar matahari dapat masuk
 Menjemur bantal, kasur tiap pagi setelah tidur malam

58
 Menggunakan masker sekali pakai baik di luar maupun di dalam
rumah
 Modifikasi gaya hidup: makan makanan yang bergizi.

D. Rehabilitatif
- Meminta keluarga mengingatkan pasien dan membantu pasien
untuk melakukan aktifitas fisik walaupun ringan dan makan
makanan yang bergizi.
- Menganjurkan pasien rutin kontrol ke Puskesmas dan melakukan
pengecekan tekanan darah dan kekuatan otot tubuh yang
mengalami kelemahan secara berkala.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan
Diagnosis pada pasien ini adalah TB Paru kasus baru yang
dipengaruhi oleh salah satunya adalah faktor lingkungan dan ekonomi. Untuk
penanganan kasus ini bukan hanya dari terapi farmakologis saja tetapi juga
diperlukan edukasi pada pasien dengan menggunakan metode pendekatan
dokter keluarga. Salah satunya dengan menggunakan prinsip pelayanan yang
holistik dan komprehensif, kontinu, mengutamakan pencegahan, koordinatif
dan kolaboratif, penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian
integral keluarga, mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan

59
lingkungan tempat tinggal, menjunjung tinggi etika dan hukum, dapat diaudit
dan dipertanggung jawabkan, serta sadar biaya dan sadar mutu.
Ny. Nuraini pertama kali didiagnosis TB Paru di Puskesmas Puntikayu
Palembang yang didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksan penunjang. Setiap 1 bulan sekali pasien mengambil obat dan
kontrol kondisi penyakitnya ke puskesmas. Ny. Nuraini kontrol untuk
mengambil obat dan dipantau berat badan dan pemeriksaan fisik paru di
Puskesmas Puntikayu Palembang, diberikan edukasi promotif dan preventif
agar pengobatan TB paru tuntas. Dengan di lakukannya edukasi berupa
pengetahuan preventif dan promotif kepada pasien serta dukungan
farmakoterapi dan edukasi. Setelah satu bulan pengobatan OAT Kategori I,
keadaan Ny. Nuraini makin membaik, nafsu makan meningkat, dan tubuh
terasa lebih bugar.

5.2. Saran
5.2.1. Mahasiswa
Setelah memahami kondisi pasien dan keluarga dengan pendekatan
metode kedokteran keluarga, mahasiswa disarankan dapat berperan aktif
mentatalaksana kondisi pasien dan keluarga lebih lanjut. Dikhususkan dalam
upaya promotif dan preventif, mahasiswa disarankan dapat ikut serta beperan
dalam konseling pasien dan keluarga, mengajak pasien dan keluarga dalam
upaya kesehatan, termasuk intervensi kesehatan lainnya yang memerlukan
pemantauan langsung agar kondisi kesehatan pasien dan keluarga menjadi
lebih baik.

5.2.2. Puskesmas
Disarankan untuk pihak puskesmas, dalam kunjungan rumah ada
baiknya juga dilibatkan lebih dari 1 pihak puskesmas yang berkunjung
sebagai pengawas minum obat dan intervensi kesehatan lainnya yang
memerlukan pemantauan langsung. Hal ini diharapkan agar pasien minum
obat dengan cara yang lebih baik/benar, teratur dalam pengawasan, serta
mengamankan pasien dari obat-obat yang mungkin dikonsumsi secara pribadi
(obat resep mandiri/tanpa resep) yang mungkin tidak/kurang dianjurkan oleh
dokter pemberi farmakoterapi.

60
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI., 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta


2. World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2011. Geneva
World Health Organization. 2011
3. Blanc L, Falzon D, Fitzpatrick C et al. In: Global tuberculosis control 2010.
Geneva; WHO Press; 2010
4. Daniel, T.M. 1999. Tuberkulosis. Dalam : Asdie, A.H., (Editor edisi bahasa
Indonesia). Harrison prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. edisi 13. EGC,
Jakarta, Indonesia. Hal 799-808
5. World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2010. Geneva
World Health Organization. 2010
6. Rao, C. Kosen, S. Bisara, D. Usman, Y. Adair, T. Djaja, S. Suhardi, S.
Soemantri, S. Lopez, AD. Tuberculosis mortality differentials in Indonesia
during 2007-2008: evidence for health policy and monitoring. Int J Tuberc Lung
Dis. 2011 Dec;15(12):1608-14.

61
7. World Health Organization. Multi drug and extensively drug 2010 global report
on surveillance and response. Geneva: World Health Organization 2011
8. Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene
Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis in:
Harrison principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw Hill. 2008
9. Iseman, Michael D. Chapter 345 Tuberculosis in: Goldman, Lee. Ausiello,
Dennis. Cecil medicine 23rd edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008.
10. Fitzpatrick, Lisa K. Braden, Christopher. Chapter 294 Tuberculosis in: Humes,
David. Dupont, Herbert L. Kelley textbook of medicine USA: Lippincott
Williams & Wilkins 2000.
11. Croft, J., Norman, H., Fred, M., 2002.Tuberkulosis Klinik. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Widya Medik.
12. Richard, E.B, Victor. C.V. 1995.Ilmu Kesehatan Anak Bahagian II (Nelson
Pediatric Textbook). Edisi ke-15. Jakarta: EGC Saunder.
13. Baliga, Ragavendra. Hough, Rachel. Haq, Iftikhar. Crash course internal
medicine. United Kingdom: Elsevier Mosby. 2007.
14. Eastman et all. Getting started in clinical radiology from image to diagnosis.
Germany:Thieme. 2006
15. Ganguly KC, Hiron MM, Mridha ZU, Biswas M, Hassan MK, Saha SC,
Rahman MM. Comparison of sputum induction with bronchoalveolar lavage in
the diagnosis of smear negative pulmonary tuberculosis. Mymensingh Med J.
2008 Jul;17(2):115-23.
16. Mohan A, Sharma SK. Fibreoptic bronchoscopy in the diagnosis of sputum
smear-negative pulmonary tuberculosis: current status. Indian J Chest Dis Allied
Sci. 2008 Jan-Mar;50(1):67-78.
17. Coulter JB. Diagnosis ofpulmonary tuberculosis in young children.Ann Trop
Paediatr. 2008 Mar;28(1):3-12.
18. Dinnes J, Deeks J, Kunst H, Gibson A, Cummins E, Waugh N, Drobniewski F,
Lalvani A. A systematic review of rapid diagnostic tests for the detection of
tuberculosis infection. Health Technol Assess. 2007 Jan;11(3):1-196.
19. Nataraj G. Newer diagnostics for detection of multidrug-resistant tuberculosis. J
postgrad Med 2011;57:267-269
20. Rachow, Andrea. Zumla, Alimuddin. Heinrich, Norbert. Rojas-Ponce,Gabriel.
Mtafya,Bariki. Reither, Klaus et al. Rapid and accurate detection of
mycobacterium mtuberculosis in sputum samples by cepheid xpert mtb/rif assay
—a clinical validation study. PLoS ONE 6(6): e20458.
doi:10.1371/journal.pone.0020458. 2011

62
21. World Health Organization. Treatment of tuberculois, guidelines. Geneva: World
Health Organization. 2011
22. Havlir, Diane V. Kendall, Michelle A. Ive, Prudence. Kumwenda, Johnstone.
Swindells, Susan. Qasba, Sarojini S. Luetkemeyer, Anne F. Hogg, Evelyn et al.
Timing of antiretroviral therapy. N Engl J Med 2011;365:1482-91
23. Abdool Karim, Salim S. Naidoo, Kogieleum. Grobler, Anneke. Padayatchi,
Nesri. Baxter, Cheryl. Gray, Andrew L. integration of antiretroviral therapy with
tuberculosis treatment. N Engl J Med 2011;365:1492-501.
24. Shakya, Rajani. B.S, Rao. Shrestha, Bhawana. Evaluation of risk factors for
antituberculosis drugs- induced hepatotoxicity in nepalese population.
Kathmandu University Journal Of Science, Engineering And Technology Vol.Ii,
No.1, February, 2006.
25. RYC, Chan. AKH Kwok. Ocular toxicity of ethambutol. Hong Kong Med J
2006;12:56-60
26. Heng JE, Vorwerk CK, Lessell E, Zurakowski D, Levin LA, Dreyer EB.
Ethambutol is toxic to retinal ganglion cells via an excitotoxic pathway. Invest
Ophthalmol Vis Sci. 1999 Jan;40(1):190-6.Fe
27. Chai SJ, Foroozan R. Decreased retinal nerve fibre layer thickness detected by
optical coherence tomography in patients with ethambutol-induced optic
neuropathy. Br J Ophthalmol. 2007 Jul;91(7):895-7. Epub 2007 Jan 10.
28. Hazardous Substances Data Bank. Isoniazid [online] downloaded from
http://toxnet.nlm.nih.gov/cgi-bin/sis/search/r?dbs+hsdb:@term+@rn+54-85-3
29. Amin, Z dan Bahar, A. 2007. Pengobatan TB Paru. Jakarta: EGC.
30. Depkes RI, 2008, Pedoman Nasional Penggulangan Tuberkulosis, Jakarta
31. Prasetyawati, A.K. 2010. KedokteranKeluarga. Jakarta. Rineka Cipta.
32. World Stroke Organization. 2016. WHO Global Non-Communicable Diseases
Action Plan 2013-2020. Geneva. World Stroke Organization.
33. Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Pemukiman. http://www.bphn.go.id/data/documents/92uu004.pdf. Diakses pada
tanggal 10Maret 2019.
34. WHO. 2001. Kesehatan Lingkungan. Dalam: Keman, S. 2005. Kesehatan
Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan No. 2.
No. 1 Juli 2005.
35. Keputusan Menteri Kesehatan No.829/Menkes/SK/VII/1999.

63
LAMPIRAN

64
65
66
67
68
69
70
71

Anda mungkin juga menyukai