Anda di halaman 1dari 38

TUGAS REFERAT

LEPTOSPIROSIS

Disusun oleh :

Putu Wiwik Yulandari

19710064

Dokter Pembimbing :

dr. Irma wesprimawati, Sp.PD.

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD IBNU SINA GRESIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2020

1
LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Leptospirosis

Jenis : Referat

Penyusunan : Putu Wiwik Yulandari, S. Ked

NPM : 19710064

Bidang Studi : Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing : dr. Irma Wesprimawati, Sp. PD

Telah diperiksa dan disetujui oleh


pembimbing

Tanggal, 16 November 2020

Pembimbing

2
dr. Irma Wesprimawati, Sp. PD

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan rasa
lega, pada akhirnya tugas referat ini dapat selesai pada waktunya sebagai salah satu
syarat yang harus dipenuhi dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Dokter
Muda di SMF Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Ibnu Sina Gresik.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa tugas referat ini memiliki banyak


kekurangan baik dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di masa
mendatang. Harapan kami semoga tugas referat ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua. Amin.

Gresik, 14 November
2020

3
Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul................................................................................................ i
Lembar Pengesahan........................................................................................ ii
Kata Pengantar............................................................................................... iii
Daftar Isi......................................................................................................... iv

BAB I Pendahuluan .................................................................................. 1


BAB II Tinjauan Pustaka............................................................................ 3
1. Definisi................................................................................... 3
2. Epidemiologi .......................................................................... 3
3. Etiologi................................................................................... 5
4. Patogenesis............................................................................. 7
5. Patofisiologi............................................................................ 8
6. Manifestasi Klinis................................................................... 14
7. Diagnosis................................................................................ 21
8. Pemeriksaan Penunjang.......................................................... 24
9. Diagnosis Banding.................................................................. 26
10. Penatalaksanaan...................................................................... 26
11. Komplikasi ............................................................................. 28
12. Prognosis................................................................................. 27
BAB III Kesimpulan.................................................................................... 31

Daftar Pustaka................................................................................................ 32

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh

dunia. Di daerah tropis dan subtropis yang lembab, di mana dapat ditemukan

di sebagian besar negara berkembang. Besarnya masalah di daerah tropis dan

subtropis dapat sebagian besar disebabkan kondisi iklim dan lingkungan,

tetapi kemungkinan besar juga kontak dengan lingkungan Leptospira

terkontaminasi yang disebabkan oleh, misalnya, praktek pertanian lokal dan

pembuangan limbah perumahan dan miskin, semua yang menimbulkan

banyak sumber infeksi. Di negara-negara dengan iklim sedang, leptospirosis

selain diperoleh secara lokal, penyakit ini juga dapat diperoleh dari wisatawan

luar negeri, dan terutama oleh mereka yang mengunjungi daerah tropis.

International Leptospirosis Society rnenyatakan Indonesia sebagai

negara dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia

untuk morlalitas. Di Indonesia Leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa

Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu,

Riau, Sumatera Batat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada kejadian banjir besar di

5
Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan

20 kematian. Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa

kesulitan dalam melakukan diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan

sederhana memakai mikroskop biasa dapat dideteksi adanya gerakan

leptospira dalam urine. Diagnostik pasti ditegakkan dengan ditemukannya

leptospira pada daerah atau urine atau ditemukannya hasil serologi positif.

Untuk dapat berkembang biak, leptospira memerlukan lingkungan optimal

serta tergantung pada suhu yang lembab, hangat serta pH air tanah yang

netral, dimana kondisi ini ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis.

Gejala penyakit ini sangat bervariasi mulai dari gejala infeksi ringan

sampai dengan gejala infeksi berat dan fatal. Dalam bentuk ringan,

leptospirosis dapat menampilkan gejala seperti influenza disertai nyeri kepala

dan mialgia. Dalam bentuk parah (disebut sebagai Weil’s syndrome),

leptospirosis secara khas menampilkan gejala ikterus, disfungsi renal, dan

diatesis hemoragika.

Diagnosis leptospirosis seringkali terlewatkan sebab gejala klinis

penyakit ini tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji

laboratorium. Dalam dekade belakangan ini, kejadian luar biasa leptospirosis

di beberapa negara, seperti Asia, Amerika Selatan dan Tengah, serta Amerika

Serikat menjadikan penyakit ini termasuk dalam the emerging infectious

diseases.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri

patogen yang disebut Leptospira, yang ditularkan baik secara langsung atau

tidak langsung dari hewan ke manusia. Oleh karena itu penyakit ini

merupakan sebuah penyakit zoonosis. Namun penularan dari manusia ke

manusia sangat jarang terjadi. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama

seperti Mud fever, Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever,

Infectious jaundice, Field fever, Cane cutter dan lain-lain.

Leptospirosis disebabkan oleh spirochaeta leptospira

icterohaemorrha-giae yang hidup pada ginjal dan urine tikus. Penyakit ini

pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas

tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit

dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai "Weil's

Disease". Pada tahun 1915 Inada dan Ido berhasil membuktikan bahwa

"Weil's Disease" disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae.

2.2. Epidemiologi Leptospirosis

Leptospirosis terjadi di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua

Antartika tetapi lebih sering di daerah tropis dan subtropis dengan curah hujan

yang tinggi. Penyakit ini ditemukan terutama di tempat manusia sering kontak

7
dengan urin hewan yang terinfeksi atau lingkungan yang tercemar urin hewan

yang terinfeksi.

Leptospira bisa menyerang hewan peliharaan seperti anjing, babi,

lembu, kuda, kucing hingga tikus, musang, maupun kelelawar. Di dalam

tubuh hewan peliharaan tersebut, Leptospira hidup di ginjal dan air kemih.

Tikus merupakan vector utama dari L. Icterohaemorrhagica, penyebab utama

leptospirosis pada manusia.

Jumlah kasus pada manusia di seluruh dunia belum diketahui secara

pasti. Menurut laporan yang tersedia saat ini, insiden berkisar kurang lebih

0,1-1 per 100.000 orang setiap tahun di tempat beriklim (temperate climates)

dan 10-100 per 100.000 di daerah tropis lembab. Selama wabah dan dalam

kelompok risiko tinggi paparan, insiden penyakit dapat mencapai lebih dari

100 per 100.000.

Di Indonesia Leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat,

Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau,

Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi

Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada kejadian banjir besar di

Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan

20 kematian.

8
2.3. Etiologi Leptospirosis

Leptospira adalah bakteri yang dapat bersifat patogen (yaitu memiliki

potensi untuk menyebabkan penyakit pada hewan dan manusia) atau saprofit

(yaitu hidup bebas dan umumnya dianggap tidak menimbulkan penyakit).

Leptospira patogen hidup dalam tubulus ginjal hewan tertentu. Leptospira

saprofit ditemukan di banyak jenis lingkungan basah atau lembab mulai dari

air dan tanah lembab hingga air keran.

Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili

treponemataceae, suatu mikroorganisme spirochaeta, yang berbeda dari

spirochaeta lain oleh karena kehadiran kait. Ciri khas organisme ini yakni

berbelit tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 mikrometer, dengan spiral yang

sangat halus lebarnya 0,1 -0,2 mikrometer.

Gambar 1. Gambaran Leptospira

9
Salah satu ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu

kait. Terdapat gerak rotasi aktif tetapi tidak ditemukan adanya flagella.

Spirochaeta ini terlalu tipis terlihat di bawah biasa mikroskop. Dark-field

mikroskop yang paling sering digunakan untuk mengamati leptospira, namun

hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Semua leptospira mirip

dengan perbedaan yang kecil sehingga morfologi tidak membantu untuk

membedakan antara leptospira patogen dan saprofit atau antara berbagai

leptospira patogen. Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus

untuk tumbuh dan membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat

kultur yang positif. Dengan medium Fletcher's dapat tumbuh dengan baik

sebagai obligat aerob.

Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam

23. Beberapa serovar L.interrogans yang dapat menginfeksi manusia di

antaranya adalah L. Icterohaemorrhagiae, L.manhao L. Javanica, L. bufonis,

L. copenhageni, dan lain-lain. Serovar yang paling sering menginfeksi

manusia ialah L. icterohaemorrhagiae dengan reservoir tikus, L. canicola

dengan reservoir anjing, L. pomona dengan reservoir sapi dan babi.

Kuman leptospira bersifat aquatic micro-organism dan slow-growing

anaerobes, bentuknya berpilin seperti spiral, tipis, organisme yang dapat

bergerak cepat dengan kait di ujungnya dan 2 flagella periplasmik yang dapat

menembus ke jaringan. Panjangnya 6-20 µm dan lebar 0,1 µm. Kuman ini

10
sangat halus tapi dapat dilihat dengan mikroskop lapangan gelap dan

pewarnaan perak.

Kuman leptospira dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1

bulan. Tetapi dalam air laut, selokan dan air kemih yang tidak diencerkan

akan cepat mati. Kuman leptospira hidup dan berkembang biak di tubuh

hewan. Semua hewan bisa terjangkiti. Paling banyak tikus dan hewan

pengerat lainnya, selain hewan ternak. Hewan piaraan, dan hewan liar pun

dapat terjangkit.

2.4. Patogenesis Leptospirosis

Leptospira masuk kedalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir,

memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke

jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon imunologi baik secara selular

maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibodi

spesifik.

Cara penularan leptospira ialah dari manusia yang terinfeksi melalui

kontak dengan air, tanah, atau lumpur yang telah terkontaminasi oleh urin

hewan yang telah terfinkesi leptospira. Infeksi tersebut terjadi jika terjadi

luka/erosi pada kulit ataupun selaput lendir. Air tergenang atau mengalir

lambat yang terkontaminasi urin hewan yang terinfeksi terhadap penularan

11
penyakit ini. Bahkan terkadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang

yang sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di

laboratorium. Ekspos yang lama pada genangan air yang terkontaminasi

terhadap kulit yang utuh, juga dapat menularkan leprospira. Orang-orang yang

mempunyai resiko tinggi mendapat penyakit ini adalah pekerja-pekerja di

sawah, pertanian, perkebunan, petemakan, pekerja tambang, pekerja di rumah

potong hewan atau orang-orang yang mengadakan perkemahan di hutan,

dokter hewan.

Gambar 2. Tranmisi dan Manifestasi leptospira

2.5. Patofisiologi Leptospirosis

12
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan

toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa

organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel

kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbadaan antaraderajat gangguan fungsi

organ dengan kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histology

yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional

yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan

bukan berasal dari struktur organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan

infiltrasi dari sel monosit, limfosit dan sel plasma.

Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan

yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di ginjal,

leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke

dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan

meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi

sebagai komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira

adalah ginjal, hati, otot dan pembuluh darah.

a. Kelainan spesifik pada organ

 Ginjal

Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear

merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi

tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat

13
nekrosis tubular akut. Adanya peranan nefrotoksisn, reaksi

immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisis dan invasi

langsung mikro organism juga berperan menimbulkan

kerusakan ginjal.

 Hati

Hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan

infiltrasi sel limfosit fokal dan proliferasi sel kupfer dengan

kolestasis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian

ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini

terdapat diantara sel-sel parenkim.

 Jantung

Epikardium, endokardium dan miokardium dapat

terlibat. Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa

interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan

plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil.

Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan

endikarditis.

 Otot

Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa

fokal nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot

14
yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung

leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.

 Pembuluh darah

Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat

terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan.

Sering ditemukan perdarahan atau petechie pada mukosa,

permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah

kulit.

 Susunan saraf pusat

Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal

(CSS) dan dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis

terjadi sewaktu terbentuknya respon antibody, tidak pada saat

masuk CSS. Diduga terjadinya meningitis diperantarai oleh

mekanisme immunologis. Terjadi penebalan meningen dengan

sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis

yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering

disebabkan oleh L. canicola.

b. Patofisiologi Keterlibatan Ginjal pada Infeksi Leptospirosis

15
Gangguan pada ginjal merupakan komplikasi yang sering

terjadi pada pasien dengan manifestasi klinis leptospirosis berat

ditandai dengan kerusakan intersisial dan tubular. Faktor utama yang

mendasari pathogenesis AKI pada leptospirosis adalah aksi

nefrotoksik langsung leptospira dan respon imun yang diinduksi

toksin. Perubahan hemodinamik, jaundis, dan rhabdomyolisis juga

berperan dalam perjalanan gagal ginjal akut leptospirosis. 

Gambar 3. Patofisiologi Gagal Ginjal Akut pada Leptospirosis

Pada infeksi leptospira, terdapat tiga buah mekanisme

terjadinya gagal ginjal akut:

1. Invasi/nefrotoksik langsung oleh leptospira.

16
Invasi ini menyebabkan kerusakan tubulus dan

glomerulus sebagai efek langsung dari migrasi leptospira yang

menyebar hematogen menuju kapiler peritubuler munuju

jaringan intersitium, tubulus dan lumen tubulus. Kerusakan ini

jaringan sendiri belum jelas apakah hanya efek migrasi atau

juga terdapat kaitan dengan efek endotoksin leptospira.

2. Reaksi imunologis yang berlangsung cepat

Adanya kompleks imun (terjadi pada fase imun infeksi

leptospira) dalam sirkulasi dan endapan komplemen serta

adanya electron dence bodies pada glomerulus membuktikan

adanya proses immune-complex glomerulonephritis, dan

terjadi tubulo intersitial nefritis (TIN).

3. Reaksi non spesifik terhadap infeksi (seperti infeksi yang lain)

menyebabkan iskemia ginjal

Iskemia ginjal terjadi karena hipovolemia dan hipotensi

akibat adanya:

- Intake cairan yang kurang

- Meningkatnya evaporasi oleh karena demam

17
- Pelepasan kinin, histamine, serotonin, prostaglandin

semua ini akan menyebabkan peningkatan

permeabilitas kapiler sehingga terjadi kebocoran

albumin dan cairan ekstravaskuler.

- Pelepasan sitokin akibat kerusakan endotel yang

menyebabkan permeabilitas sel dan vaskuler

meningkat.

- Hipovolemia dan hemokonsentrasi akan merangsang

RAA dan menyebabkan vasokonstriksi.

- Hiperfibrinogenemia akibat kerusakan endotel kapiler

(DIC) menyebabkan viskositas darah meningkat.

Iskemia ginjal juga dapat mengakibatkan

glomerulonefristis, TIN dan invasi kuman yang menyebabkan

terjadinya nekrosis yang menghasilkan kondisi gagal ginjal

akut sehingga terjadi pelepasan mediator inflamasi (TNF-α, IL-

I, PAF, PDGF-β, TXA2, LTC4, TGF-β) dan

terekspresinya leucosyite adhesion molecules yang akan

meregulasi fungsi leukosit sebagai respon adanya renal injury.

Patofisiologi inilah yang mendasari terjadinya gagal ginjal akut

seperti yang ditunjukkan pada manifestasi leptospirosis berat

18
atau disebut Weil’s Syndrome yang ditandai dengan ikterus,

gagal ginjal, perdarahan dan miokarditis dengan aritmia.

2.6. Manifestasi Klinis

Masa inkubasi leptospirosis antara 2-26 hari, biasanya 7-13 hari dan

rata-rata 10 hari. Leptospirosis mempunyai 3 fase penyakit yang khas, yaitu

fase leptospiremia dan fase imun. Gambaran klinis leptospirosis dibagi atas 3

fase yaitu: fase leptospiremia, fase imun dan fase penyembuhan.

a. Fase Leptospiremia

Fase leptospiremia ditandai dengan adanya leptospira di dalam

darah dan cairan serebrospinal, berlangsung secara tiba-tiba dengan

gejala awal sakit kepala biasanya di frontal, rasa sakit pada otot yang

hebat terutama pada paha, betis dan pinggang disertai nyeri tekan.

Mialgia dapat diikuti dangan hiperestesi kulit, demam tinggi yang

disertai menggigil, juga didapati mual dengan atau tanpa muntah

disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai penurunan

kesadaran. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif,

dan ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat dijumpai adanya

konjungtiva suffusion dan fotofobia. Pada kulit dapat dijumpai rash

yang berbentuk makular, makulopapular atau urtikaiia. Kadang-

19
kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta limfadenopati.

Fase ini berlangsung 4-7 hari. Jika cepat ditangani pasien akan

membaik, suhu akan kembali normai, penyembuhan organ-organ yang

terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada

keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh

bebas demam selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam kembali.

b. Fase Imun

Fase lmun ditandai dengan peningkatan titer antibodi, dapat

timbul demam yang mencapai suhu 40oC disertai menggigil dan

kelemahan umum. Terdapat rasa sakit yang menyeluruh pada leher,

perut dan otot-otot kaki terutama otot betis. Terdapat perdarahan

berupa epistaksis, gejala kerusakan pada ginjal dan hati, uremia,

ikterik. Perdarahan paling jelas terlihat pada fase ikterik, purpura,

ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi merupakan manifestasi

perdarahan yang paling sering. Conjunctiva injection dan conjuntival

suffusion dengan ikterus merupakan tanda patognomosis untuk

leptospirosis. Terjadinya meningitis merupakan tanda pada fase ini,

walaupun hanya 50% gejala dan tanda meningitis, tetapi pleositosis

pada CSS dijumpai pada 50-90% pasien. Tanda-tanda meningeal dapat

menetap dalam beberapa minggu, tetapi biasanya menghilang setelah

1-2 hari. Pada fase ini leptospira dapat dijumpai dalam urin.

20
Jika tubuh dapat melawan infeksi leptospira, fase

penyembuhan biasanya terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan

patogenesis yang belum jelas. Gejala klinis pada penelitian ditemukan

berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri otot, ikterik, sakit

kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta

splenomegali.

Manifestasi klinis penyakit ini sangat bervariasi. Biasanya,

ditunjukkan dalam empat kategori klinis yang luas:

 penyakit seperti influenza ringan;

 Weil’s Syndrome ditandai dengan ikterus, gagal ginjal, perdarahan dan

miokarditis dengan aritmia;

 meningitis / meningoencephalitis;

 perdarahan paru dengan gagal napas.

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan

berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, penyakit

ini dibagi menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis

ikterik.

1) Leptospirosis anikterik

Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam

ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan

21
menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi

pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri

otot terutama di daerah betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga

akibat kerusakan otot sehingga creatinin phosphokinase pada sebagian

besar kasus akan meningkat, dan pemeriksaan cretinin phosphokinase

ini dapat untuk membantu diagnosis klinis leptospirosis. Akibat nyeri

betis yang menyolok ini, pasien kadang-kadang mengeluh sukar

berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar

pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan

nyeri tekan di daerah betis. Dapat juga ditemukan limpadenopati,

splenomegali, hepatomegali dan rash macupapular. Kelainan mata

berupa uveitis dan iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis

anikterik maupun ikterik.

Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah

meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan

diagnosisnya. Dalam fase leptospiremia, bakteri leptospira bisa

ditemukan di dalam cairan serebrospinal, tetapi dalam minggu kedua

bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi (fase imun).

Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak

berobat karena keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien,

penyakit ini dapat sembuh sendiri (self-limited) dan biasanya gejala

kliniknya akan menghilang dalam waktu 2-3 minggu. Karena

22
gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit demam akut lain, maka

pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis anikterik harus

dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di

daerah endemik.

Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of

unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan

Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis anikterik harus mencakup

penyakit-penyakit infeksi virus seperti influenza, HIV serocon version,

infeksi dengue, infeksi hanta virus, hepatitis virus, infeksi

mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik seperti demam

tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.

2) Leptospirosis ikterik

Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama

leptospirosis berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi

perdarahan merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada

leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun

menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase

leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis

serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status

imunologik dan nutrisi penderita serta kecepatanmemperoleh terapi

yang tepat. Leptospirosis adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.

23
Keterlibatan ginjal pada komplikasi leptospirosis sangat

bervariasi dari insufisiensi ginjal ringan sampai gagal ginjal akut

(GGA) yang fatal. Gagal ginjal akut pada leptospirosis disebut

sindroma pseudohepatorenal. Selama periode demam ditemukan

albuminuria, piuria, hematuria, disusul dengan adanya azotemia,

bilirubinuria, urobilinuria.

Gambar 4. Ginjal yang terinfeksi leptospira

Bentuk gagal ginjal akut pada leptospirosis:

a. Gagal ginjal akut oliguria

Temasuk disini adalah produksi urine <600ml/24jam

dan penderita sudah dalam keadaan hidrasi yang baik, kadar

kreatinin darah >2gr%. Terjadi kira-kira pada 54% penderita

leptospirosis, dan mempunyai mortalitas yang tinggi serta

24
prognosis yang kurang baik. Faktor-faktor yang meramalkan

prognosis kurang baik adalah:

- Adanya oliguri atau anuri yang berlangsung lama.

disebut anuri bila produksi urin <100ml/24jam

- BUN selalu meningkat >60mg%/24jam

- Ratio ureum urine: ureum darah, tidak meingkat.

b. Gagal ginjal akut non-ologuri

Terdapat 50% dari leptospirosis, produksi urine

>600ml/24jam, mortalitas lebih rendah dibandingkan GGA

oliguri. GGA oliguri mempunyai prognosis yang kurang baik,

dengan mortalitas 50-90%.

Perubahan abnormal elektrolit dan hormone pada GGA leptospirosis:

a. Hipokalemia, terjadi oleh karena peningkatan “fractional

urinary excretion” (Fe) kalium yang diikuti FeNa. Hal ini oleh

karena sekresi K+ meningkat dan adanya gangguan reabsorbsi

Natrium oleh tubulus proximal. Fe K+ dan FeNa berkorelasi

dengan beratnya GGA.

b. Hormon kortisol dan aldosteron meningkat dan akan

meningkatkan eksresi kalium lewat urine. Sehingga makin

menambah hipokalemia, sehingga perlu penambahan kalium.

25
c. CD3, CD4 menurun, Limfosit B meningkat, bersifat reversible.

2.7. Diagnosis Leptospirosis

Diagnosis klinis sulit ditegakkan karena presentasi yang bervariasi dan

tidak spesifik. Pada umumnya diagnosis awal leptosirosis sulit, karena pasien

biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza,

sindroma syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatetesis

hemoragik, bahkan beberapa kasus datang sebagai pankreatitis. Leptospirosis

kurang dapat terdiagnosis karena:

a) sulit untuk mengkonfirmasi diagnosis;

b) sering dibingungkan dengan penyakit, misalnya dengue dan demam

berdarah lain, penyakit yang sangat umum di daerah tropis;

c) gejala klinis sering kali ringan dan tidak diselidiki di laboratorium.

Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien,

apakah termasuk kelompok risiko tinggi. Gejala/keluhan didapati demam

yang muncul mendadak, sakit kepala terutama di bagian frontal, nyeri otot,

mata merah/fotofobia, mual atau muntah.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, bradikardia, nyeri tekan otot,

hepatomegali dan lain-lain. Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin bisa

dijumpai lekositosis, normal atau sedikit menunurun disertai gambaran

neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai

proteinuria, leukosituria dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin

26
direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. Ureum dan kreatinin juga

bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat

pada 50% kasus. Diagnosa pasti dengan isolasi leptospira dari cairan tubuh

dan serologi.

Kultur dilakukan dengan mengambil spesimen dari darah atau CCS

segera pada awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan

mengambil spesimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotik.

Kultur urine diambil setelah 2-4 minggu onset penyakit. Pada spesimen yang

terkontaminasi, inokulasi hewan dapat digunakan. Selain itu juga dapat

dilakukan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya leptospira dengan

cepat adalah dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), silver

stain atau fluroscent antibody stain, dan mikroskop lapangan gelap.

Pada komplikasi leptospirosis dengan gagal ginjal akut akan

didapatkan gambaran histopatologi dengan pemeriksaan mikroskop elektron:

1. pada GGA oliguri, Nampak adanya gambaran obstruksi tubulus,

nekrosis tubulus dan endapan komplemen pada membrane basalis

glomerulus, dan infiltrasi sel radang pada jaringan interstitialis.

2. Pada GGA non-oliguri, Nampak edema pada tubulus dan jaringan

interstitium tanpa adanya nekrosis. Duktus kolektiferus pars medularis

resisten terhadap vasopressin, sehingga tidak mampu memekatkan urin

dan terjadi poliuria.

27
Tabel 1. Kriteria WHO oleh Feine untuk Diagnosis Leptospirosis

28
2.8. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan laboratorium umum

 Pemeriksaan darah

- Pemeriksaan darah rutin : leukositosis normal atau

menurun.

- Hitung jenis leukosit : peningkatan netrofil.

29
- Trombositopenia ringan.

- LED meninggi.

 Pemeriksaan fungsi hati

 Jika tidak ada gejala ikterik  fungsi hati normal.

 Gangguan fungsi hati : SGOT, SGPT dapat meningkat.

 Kerusakan jaringan otot  kreatinin fosfokinase meningkat 

peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit,

rata-rata mencapai 5 kali nilai normal.

 Pemeriksaan urine

Pada pemeriksaan urine didapatkan perubahan sedimen urine

(leukosituria, eritrosit meningkat dan adanya torak hialin atau

granuler). Pada leptospirosis ringan bisa terdapat proteinuria dan pada

leptospirosis berat dapat terjadi azotemia.

 Pemeriksaan laboratorium khusus

Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan

diagnosa leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk

mendeteksi keberadaan kuman leptospira atau pada kasus berat

ditemui anemia hipokrom mikrositik akibat perdarahan yang biasa

terjadi pada stadium lanjut perjalanan penyakit.

2.8. Diagnosa Banding

30
Leptospirosis anikterik dapat di diagnosis banding dengan influenza,

demam berdarah dengue, malaria, pielonefritis, meningitis aseptik viral,

keracunan makanan/bahan kimia, demam tifoid, demam enterik.

Leptospirosis ikterik dapat di diagnosis banding dengan malaria

falcifarum berat, hepatitis virus, demam tifoid dengan komplikasi berat,

haemorrhagic fevers with renal failure, demam berdarah virus lain dengan

komplikasi.

2.9. Tatalaksana Leptospirosis

Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan

mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, perdarahan dan gagal ginjal sangat

penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal umumnya dengan spontan

akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa

pasien membutuhkan tindakan hemodialisa temporer. Pemberian antibiotik

harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari setelah

onset cukup efektif.

Untuk kasus lepirospirosis berat, pemberian intra vena penicillin G,

amoxicliin, ampisilin atau erihomisin dapat diberikan. Sedangkan untuk

kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotikaoral tetrasiklin, doksisiklin,

ampisitin atauamoksisilinmaupun sefalosforin. Sampai saat ini penisilin masih

merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu diingat bahwa anti-biotika

bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiraemia). Pada

31
pemberian penisilin, dapat muncul reaksi Jarisch - Herxherimer 4 sampai 6

jam setelah pemberian intra vena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti

leptospira. Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan

komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur

sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi

azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.

Pada komplikasi dengan gagal ginjal akut dapat diberikan terapi

suportif diantaranya:

 Hidrasi cairan yang mengandung elektrolit sampai tercapai hidrasi

yang baik, pengawasan elektrolit dan kesetimbangan cairan per 24

jam;

 Administrasi deuritika (jika bisa yang bersifat hemat kalium karena

kemungkinan adanya peningkatan hormon kortisol dan aldosteron

yang meningkatkan ekskresi kalium), untuk mengubah tipe oligouria

menjadi poliuria (memperbaiki prognosis);

 Administrasi agen dopaminergik untuk memperbaiki perfusi ginjal;

 Peptida natriuretik atrial;

 Untuk preservasi integritas sel: calcium channel blocker;

 Stimulasi generasi sel (asam amino termasuk glisin dan growth factor)

 Pemberian nutrisi yang adekuat juga akan membantu dengan

mempertimbangkan: meminimalkan kesetimbangan nitrogen negatif,

asupan kalori yang mencukupi, mencegah volume overload;

32
 Pemberian antibiotika dengan tujuan eradikasi leptospira disesuaikan

dengan ketersediaan preparat dan sebagai standar adalah penicillin;

 Dapat diberikan preparat antipriteik seperti parasetamol untuk gejala

demam yang timbul;

 Pada azotemia/uremia berat dapat dilakukan dialysis. Adapun indikasi

untuk melakukan dialisis pada kasus leptspira dengan gagal ginjal akut

adalah:

 Hiperkatabolik, produksi ureum > 60 mg/24 jam

 Hiperkalemia, serum kalium > 6 meq/L

 Asidosis metabolik, HCO3 < 12 meq/L

 Perdarahan

 Kadar ureum yang sangat tinggi disertai gejala klinik.

2.10. Komplikasi Leptospirosis

 Gagal Ginjal Akut

Keterlibatan ginjal pada gagal ginjal akut sangat bervariasi dari

insufisiensi ginjal ringan sampai gagal ginjal akut (GGA) yang fatal.

Gagal ginjal akut pada leptospirosis disebut sindroma

pseudohepatorenal. Selama periode demam ditemukan albuminuria,

piuria, hematuria, disusul dengan adanya azotemia, bilirubinuria,

urobilinuria.

33
 Perdarahan Paru

Kelainan paru berupa hemorrhagic pneumonitis,

patogenesisnya tidak jelas diduga akibat dari endotoksin langsung

yang kemudian menyebabkan kersakan kapiler. Hemoptisis terjadi

pada awal septicemia. Perdarahan terjadi pada leura, alveoli,

trakheobronkhial, kelainan berupa: kongesti septum paru, perdarahan

alveoli yang multifocal, infiltrasi sel mononuclear.

 Liver Failure

Terjadinya ikterik pada hari ke 4-6, dapat juga terjadi pada hari

ke-2 atau ke-9. Pada hati terjadi nekrosis sentrolobuler dengan

proliferasi sel Kupfer. Terjadi ikterik pada leptospirosis disebabkan

oleh beberapa hal antara lain:

- Kerusakan sel hati.

- Gangguan fungsi ginjal, yang akan menurunkan sekresi

bilirubin, sehingga meningkatkan kadar bilirubin darah.

- Terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis

intravaskuler akan meningkatkan kadar bilirubin.

- Proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intrahepatik.

Kerusakan parenkim hati disebabkan antara lain: penurunan

hepatic flow dan toksinyang dilepas leptospira.

34
 Perdarahan gastrointestinal

Perdarahan terjadi akibat adanya lesi endotel kapiler.

 Shock

Infeksi akan menyebabkan terjadinya perubahan homeostasis

tubuh yang mempunyai peran pada timbulnya kerusakan jaringan,

perubahan ini adalah hipovolemia, hiperviskositas koagulasi.

Hipovolemia terjadi akibat intake cairan yang kurang, meningkatnya

permeabilitas kapiler oleh efek dari bahan-bahan mediator yang

dilepaskan sebagai respon adanya infeksi. Koagulasi intravaskuler,

sifatnya minor, terjadi peningkatan LPS yang akan mempengaruhi

keadaan pada mikrosirkulasi sehingga terjadi stasis kapiler dan anoxia

jaringan. Hiperviskositas, akibat dari peleasan bahan-bahan mediator

terjadi permeabilitas kapiler meningkat, keadaan ini menyebabkan

hipoperfisi jaringan sehingga menyokong terjadinya disfungsi organ.

 Miokarditis

Komplikasi pada kardiovaskuler pada leptospirosis dapat

berupa gangguan sistem konduksi, miokarditis, perikarditis,

endokarditis, dan arteritis koroner. Manifestasi klinis miokarditis

sangat bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk yang berat berupa

gagal jantung kongesif yang fatal. Keadaan ini diduga sehubungan

dengan kerentanan secara genetic yang berbeda-beda pada setiap

penderita.

35
 Enchepalophaty

Didapatkan gejala meningitis atau meningoenchepalitis, nyeri

kepala, pada cairan cerebrospinalis (LCS) didapatkan pleositosis,

santokrom, hitung sel leukosit 10-100/mm3, sel terbanyak sel leukosit

neutrofil atau sel mononuclear, glukosa dapat normal atau rendah,

protein meningkat (dapat mencapai 100mg%). Kadang-kadang

didapatkan tanda-tanda menngismus tanpa ada kelainan LCS,

sindroma Gullian Barre. Pada pemeriksaan patologi didapatkan:

infiltrasi leukosit pada selaput otak dan LCS yang pleositosis.

2.11. Prognosis Leptospirosis

Prognosis gagal ginjal akut pada leptospirosis biasanya baik kecuali

jika ada komplikasi beberapa organ. Komplikasi pulmoner,

hiperbilirubinemia, oliguria-anuri, diare, hyperkalemia, umur lanjut, dan

adanya infeksi atau penyakit yang mendasari dapat memperburuk prognosis

dengan kisaran presentasi mortalitas antara 12-36%. Pada kasus dengan

ikterus, angka kematian 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia

lanjut mencapai 30 sampai 40%.

36
BAB III

KESIMPULAN

Leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri patogen

yang disebut Leptospira. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira

icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus. Selain itu manusia juga

dapat terinfeksi melalui kontak dengan air, atau tanah, lumpur yang telah

terkontaminasi oleh urin hewan yang telah terfinkesi leptospira. Infeksi tersebut

terjadi jika terjadi luka/erosi pada kulit ataupun selaput lendir.

Manifestasi klinis penyakit leptospirosis ini sangat bervariasi. Biasanya,

ditunjukkan dalam empat kategori klinis yang luas yaitu penyakit seperti influenza

ringan, Weil’s Syndrome, meningitis/meningoencephalitis dan perdarahan paru

dengan gagal napas. sehingga diagnosis klinis sulit karena presentasi yang bervariasi

dan tidak spesifik.

Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi

yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur sebagaimana pada

penanggulangan gagal ginjal secara umum. Pencegahan leptospirosis bisa dilakukan

dengan memotong jalur sumber infeksi, memotong jalur penularan, dan jalur pejamu

manusia.

37
DAFTAR PUSTAKA

Lukman Z. 2016. Leptospirosis. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Indonesia jurnal IPD CDK-243 vol. 43 no. 8 th. 2016.
Elizabeth De Francesco Daher, Krasnalhia Lívia Soares de Abreu, Geraldo Bezerra
da Silva Junior. 2010. Leptospirosis-associated acute kidney injury. J Bras
Nefrol 2010;32(4):400-407
Putra, Adityas Mahendra. 2008. Keterlibatan Multiorgan Pada Penderita
Leptospirosis Berat. Artikel Karya Tulis Ilmiah, Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro: Semarang.
PAPDI. 2005. Ilmu Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta. p.1823-1825.
WHO. 2003. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and
Control. International Leptospirosis Society.
Lestariningsih. 2002. Gagal Ginjal Akut Pada Leptospyrosis. Kumpulan Makalah
Simposium Leptospirosis. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
Zein Umar. 2006. “Leptospirosis”. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi 4.
FKUI: Jakarta. Hal.1845.
Sion ML et al. 2002. Acute renal failure caused by leptospirosis and hantavirus
infection in an urban hospital. European Journal of Internal Medicine 13,
264-8.

38

Anda mungkin juga menyukai