Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Penyakit Ginjal Kronik

Disususn Oleh :

Laotesa Rammang

112019147

Dokter Pembimbing :

dr. Hendra Dwi Kurniawan, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT


DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
PERIODE 4 JANUARI - 6 FEBRUARI 2021

1
Daftar Isi

Halaman

Definisi Penyakit Ginjal Kronis…………………………………………………………………...3


Epidemiologi ……………………………………………………………………………………...4
Klasifikasi ………………………………………………………………………………………...5
Patofisiologi ………………………………………………………………………………………6
Manifestasi Klinis …………………………………………………………………………………
7
Pendekatan Diagnostik ……………………………………………………………………………7
Penatalaksanaan …………………………………………………………………………………. 9
Prognosis ………………………………………………………………………………………...23
Daftar Pustaka …………………………………………………………………………………...23

Daftar Tabel
Halaman
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Nilai Laju Filtrasi Glomerulus
……….5
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Nilai Albumin Urin
……………………5
Tabel 3. Pedoman Pengobatan Hipertensi pada Pasien Gagal Ginjal
Kronik…………………….10
Tabel 4. Pedoman Pengobatan Diabetes pada Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis………….
11

Tabel 5. Pedoman Pengobatan Dislipidemia pada Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik………
13

Tabel 6. Pedoman Pengaturan Gaya Hidup pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik……………….
16

Tabel 7. Pedoman Pengukuran dan Pengobatan Proteinuria pada Pasien Penyakit Ginjal
Kronis.18
Tabel 8. Pedoman Penilaian dan Pengobatan Abnormalitas Metabolisme Mineral pada Pasien
dengan Penyakit Ginjal Kronik…………………………………………………………………..20

2
Tabel 9. Pedoman Persediaan Permulaan Terapi Pengganti Ginjal pada Pasien Penyskit Ginjal
Kronik……………………………………………………………………………………………22

Definisi Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik (PGK) juga disebut dengan gagal ginjal kronik menggambarkan
penurunan fungsi ginjal secara bertahap. Ginjal berperan dalam menyaring limbah dan cairan
yang berlebihan dari darah, dimana akhirnya akan dieksresikan melalui urin. Pada saat penyakit
ginjal kronis sudah mencapai tahap lanjut, kadar cairan, elektrolit dan limbah yang berlebihan
akan menumpuk didalam tubuh.1 Gagal ginjal juga didefinisikan dengan kerusakan ginjal atau
kadar filtrasi glomerulus (LFG) <60 mL/min/1,73 m2 selama minimal 3 bulan tanpa ada
penyebab yang jelas.2 Kerusakan ginjal pada kebanyakan kasus gagal ginjal sering disertai
dengan albuminuria. GFR dapat dihitung menggunakan rumus Cockroft-Gault atau studi
Modification of Diet in Renal Disease (MDRD)2 Rumus adalah seperti berikut :

i) Rumus Cockroft-Gault3
LFG=( 140−usia ) x Berat badan ¿ ¿
 Hasilnya dikali 0,85 jika pasien berjenis kelamin perempuan

ii) Studi MDRD3


LFG=175 x SCr[−1.154] x usia[ −0.203] x ( 0,742 jika perempuan ) x (1,21 jika berkulit hitam)

Tahap keparahan penyakit ginjal diklasifikasikan kepada 5 tahap tergantung kadar LFG.2
Pada penyakit ginjal kronik tahap awal, beberapa tanda dan gejala mungkin dapat terlihat.
Penyakit ginjal kronik mungkin tidak dapat dideteksi pada tahap awal sampai fungsi ginjal
terganggu secara signifikan. Tujuan pengobatan penyakit ginjal kronik adalah untuk
memperlambatkan perkembangan penyakit dengan mengobati penyebab dasar. Penyakit ginjal
kronis dapat berkembang menjadi gagal ginjal stadium akhir atau end stage renal disease
(ESRD) yang bersifat fatal jika tidak dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal.1

3
Epidemiologi

Data mengenai penyakit ginjal didapatkan dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas),
Indonesian Renal Registry (IRR) dan sumber data lain. Riskesdas 2013 mengumpulkan data
responden yang didiagnosis dokter menderita penyakit gagal ginjal kronis, juga beberapa faktor
risiko penyakit ginjal yaitu hipertensi, diabetes melitus dan obesitas.4
Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis
sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi penyakit ginjal kronis di negara-
negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), tahun 2006, yang
mendapatkan prevalensi PGK sebesar 12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013 hanya menangkap
data orang yang terdiagnosis PGK sedangkan Sebagian besar PGK di Indonesia baru terdiagnosis
pada tahap lanjut dan akhir.4 Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat
seiring dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-40 tahun
dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) dan kuintil indeks
kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3%.4 Sedangkan provinsi dengan
prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo dan Sulawesi
Utara masing-masing 0,4%.
IRR adalah kegiatan pengumpulan data yang berkaitan dengan data pasien yang
menjalani dialisis, transplantasi ginjal serta data epidemiologi penyakit ginjal dan hipertensi di
Indonesia. Data IRR dari 249 renal unit yang melapor, tercatat 30.554 pasien aktif menjalani
dialisis pada tahun 2015, Sebagian besar adalah pasien gagal ginjal kronik.4 Sedangkan menurut
penyakit penyebabnya, yang terbanyak adalah akibat penyakit ginjal hipertensi dan nefropati
diabetika.
Secara global, penyebab PGK terbesar adalah diabetes melitus. Di Indonesia, sampai
dengan tahun 2000, penyebab terbanyak adalah glomerulonephritis, namun beberapa tahun
terakhir menjadi hipertensi berdasarkan data IRR.4 Namun, belum dapat dipastikan apakah
memang hipertensi merupakan penyebab PGK atau hipertensi akibat penyakit ginjal tahap akhir,

4
karena data IRR didapatkan dari pasien hemodialisis yang Sebagian merupakan pasien dengan
penyakit ginjal akhir.

Klasifikasi

Pengukuran fungsi ginjal terbaik adalah dengan mengukur LFG. LFG dapat dilihat secara
langsung atau melalui perhitungan berdasarkan nilai pengukuran kreatinin, jenis kelamin dan
umur.5 Hasil estimasi pengukuran LFG dapat dinilai melalui bersihan ginjal dari suatu penanda
filtrasi. Salah satu penanda tersebut yang sering digunakan dalam praktis klinis adalah kreatinin
serum. Menurut Chronic Kidney Disease Improving Global Outcomes (CKDIGO), klasifikasi
dapat dibagi menjadi :

Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Nilai Laju Filtrasi Glomerulus. 5

Berdasarkan albumin didalam urin yaitu albuminuria, penyakit ginjal kronis dibagi menjadi :

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Nilai Albumin Urin. 5

* berhubungan dengan remaja dan dewasa


** termasuk nephrotic syndrom, dimana biasanya ekskresi albumin > 2200mg/ 24 jam

5
Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya, proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan
growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan
tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.6 Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya
diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak
aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sclerosis dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis-renin-angiotensin-aldosteron, Sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor β (TGF-β).6,7 Beberapa hal yang juga dianggap
berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sclerosis dan
fibroisis glomerulus maupun tuberointersitial.

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian
secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif yang ditandai
dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. 7 Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien
masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Pada LFG sebesar 30% mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nocturia,
badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.7 Sampai pada LFG dibawah

6
30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain-lain.
Pasien juga mudah terkena infeksi pada saluran kemih, saluran nafas dan saluran cerna. Selain
itu, dapat juga terjadi gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada
LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialysis atau
transplantasi ginjal.6,7 Pada stadium ini, pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Manifestasi Klinis

Manifestasi yang didapatkan pada pasien penyakit ginjal kronis tergantung kepada stadium
penyakit tersebut, antaranya :

i) Stadium Awal Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal tidak menunjukkan tanda dan gejala pada stadium awal. Hal ini karena, tubuh
masih lagi mampu mengatasi penurunan fungsi ginjal yang signifikan. 8 Penyakit ginjal dapat
didiagnosis pada stadium ini jika hasil pemeriksaan rutin terhadap kondisi lain seperti
pemeriksaan darah atau urin, menunjukkan adanya nilai yang abnormal. Jika dapat dideteksi
pada stadium awal, pengobatan dan pemeriksaan rutin yang dilakukan untuk tujuan pengamatan
dapat mencegah progresifitas penyakit.

ii) Stadium Akhir Penyakit Ginjal Kronik

Beberapa gejala dapat terjadi jika penyakit ginjal tidak dapat dideteksi pada stadium awal
atau kondisinya memburuk meskipun sudah diobati. Gejalanya adalah penurunan berat badan
dan nafsu makan, bengkak pada tungkai atas atau bawah karena adanya retensi cairan (edema),
sesak nafas, kelelahan, hematuria, peningkatan frekuensi buang air kecil terutama pada malam
hari, sulit tidur, gatal, kram otot, pusing dan disfungsi ereksi pada laki-laki. 8 Stadium ini dikenali
dengan gagal ginjal, end-stage renal disease atau established renal failure. Stadium ini
memerlukan pengobatan dengan dialisis atau transplantasi ginjal.

Pendekatan Diagnosis

Pendekatan diagnosis yang dapat dilakukan pada pasien suspek penyakit ginjal kronik adalah :

7
i. Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :

a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi tractus urinarius,
batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritematous Sistemik (LES) dan
lain-lain.9
b) Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nocturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
pericarditis, kejang-kejang sampai koma.
c) Gejala komplikasi antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
ii. Gambaran Laboratoris

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :

a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari.


b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan
penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Cockroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.9
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hyponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic.
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, isostenuria.

iii. Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :

a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.


b) Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter
glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap
ginjal yang sudah mengalami kerusakan.9
c) Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi.

8
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa dan klasifikasi.
e) Pemeriksaan renografi dilakukan apabila ada indikasi.

iv. Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis
dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.9 Biopsy ginjal indikasi-kontra dilakukan
pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil (contracted kidney), ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas dan
obesitas.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada kasus gagal ginjal kronis adalah tergantung kepada penyebab yang
mendasari. Tujuan utama pengobatan diberikan adalah untuk mengendalikan gejala,
mengurangkan komplikasi dan memperlambat perjalanan penyakit.10

Rekomendasi Klinis

i. Rujukan Pasien Dewasa dengan Penurunan Fungsi Ginjal

Pedoman untuk petugas pelayanan primer dan para spesialis dalam merujuk pasien dengan
penyakit ginjal kronik ke spesialis nefrologi telah tersedia.11 Kebanyakan kasus penyakit ginjal
kronik non-progresif dapat diobati tanpa harus merujuk ke bagian spesialis nefrologi. Rujukan ke
spesialis nefrologi biasanya direkomendasikan pada pasien dengan gagal ginjal akut, kadar LFG
dibawah 30 mL/min/1,73 m2, penurunan fungsi ginjal secara progresif, rasio protein urin dengan
kreatinin lebih besar dari 100 mg/mmol (kira-kira 900 mg/24j) atau rasio albumin urin dengan

9
kreatinin lebih besar dari 60 mg/mmol (kira-kira 500 mg/24j), ketidakmampuan untuk mencapai
target pengobatan atau adanya perubahan fungsi ginjal yang drastis.

ii. Hipertensi

Hipertensi sering berhubungan dengan penyakit ginjal kronik. Hipertensi terjadi pada lebih
dari 75% pasien dengan penyakit ginjal kronik pada stadium manapun.9,11 Hipertensi merupakan
penyebab dan akibat kepada penyakit ginjal kronis. Bagian pedoman ini memfokuskan pada
penatalaksanaan hipertensi pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Aspek ini termasuk target
tekanan darah, terapi inisial untuk gagal ginjal kronik proteinuria dan non-proteinuria dan
pengobatan hipertensi yang berhubungan dengan diabetes dan penyakit vaskular ginjal.

Tabel 3. Pedoman Pengobatan Hipertensi pada Pasien Gagal Ginjal Kronik.11

Aspek Keterangan
Pasien tanpa Diabetes  Pada pasien penyakit ginjal kronik dengan proteinuria
(rasio albumin terhadap
kreatinin dalam urin ≥ 30 mg/mmol), terapi
antihipertensi harus terdiri dari ACE inhibitor (derajat
A) atau angiotensin-receptor inhibitor pada kasus
intoleransi terhadap ACE inhibitor (derajat D).
 Tekanan darah harus mencapai sasaran yaitu < 130/80
mmHg (Derajat C).
Pada pasien penyakit ginjal kronik non-proteinuria (rasio
albumin terhadap kreatinin < 30 mg/mmol), terapi
antihipertensi harus termasuk dari ACE inhibitor (derajat B),
β-blocker (pasien yang berusia 60 tahun kebawah; derajat B)
atau long-acting calcium-channel blocker (grade B).

Pasien dengan Diabetes  Terapi antihipertensi harus termasuk baik ACE


inhibitor (derajat A) atau angiotensin-receptor blocker
(derajat A)
 Tekanan darah seharusnya ditargetkan dibawah 130
mmHg untuk sistolik (derajat C) dan dibawah 80

10
mmHg untuk diastolic (Derajat B)

Pasien dengan Penyakit Hipertensi renovaskular harus dirawat seperti pada pasien
Vaskular Ginjal bukan diabetes, penyakit ginjal kronik nonproteinuria.
Tindakan kewaspadaan harus diambil pada penggunaan ACE
inhibitor atau angiotensin-receptor blocker karena adanya
risiko gagal ginjal akut (derajat D).
iii. Diabetes

Pasien dengan diabetes dapat meningkatkan risiko penyakit ginjal kronik dan penyakit
kardiovaskular. Pengendalian kadar gula darah pada pasien penyakit ginjal kronik akan lebih
sukar karena adanya peningkatan atau perubahan sensitivitas terhadap regimen konvensional,
anjuran diet yang bervariasi dan masalah kepatuhan pengobatan. 11 Karena itu, penting bagi
tenaga klinis untuk mengetahui kepentingan pengendalian gula darah pada pasien ini. Pada saat
ini, adanya keterbatasan bukti tentang pedoman pengobatan pasien diabetes pada populasi
penyakit ginjal kronik. Rekomendasi dalam tabel 4 ini tidak bermaksud untuk menggantikan
pedoman dari Canadian Diabetes Association tetapi lebih memfokuskan pada perawatan yang
spesifik terhadap pasien dengan penyakit ginjal kronik. Informasi tambahan dapat dilihat pada
pedoman praktis klinis dari Canadian Diabetes Association.

Tabel 4. Pedoman Pengobatan Diabetes pada Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronis.11

Aspek Keterangan
Pengendalian Glikemik  Sasaran pengendalian glikemik, dimana dapat dicapai
dengan aman, seharusnya mengikuti Canadian Diabetes
Association Guideline (HbA1C <7,0%, glukosa plasma
puasa 4 – 7 mmol/L) (Derajat B)
 Pengendalian glikemik harus menjadi sebagian dari
strategi terapi yang membahas tentang pengendalian
tekanan darah dan risiko kardiovaskular, mendukung
penggunaan ACE inhibitor, angiotensin receptor
blocker, statins dan asam asetilsalisil (Derajat A).

11
Penggunaan Metformin pada Diabetes Melitus Tipe 2

 Metformin dianjurkan pada kebanyakan pasien diabetes


tipe 2 dengan penyakit ginjal kronis derajat 1 atau 2 yang
masih mempunyai fungsi ginjal yang stabil dan menetap
selama 3 bulan terakhir (Derajat A).
 Metformin dapat diteruskan pada pasien penyakit ginjal
kronis derajat 3 yang stabil (Derajat B).

Rekomendasi Praktis Klinis.

Metformin harus dihentikan apabila adanya perubahan akut pada


fungsi ginjal atau kondisi yang mendorong kepada perubahan
tersebut (dehidrasi atau rasa tidak nyaman pada gastrointestinal)
atau menyebabkan hipoksia (gagal jantung atau sistem respirasi).
Perawatan khusus harus dilakukan untuk pasien yang
mengkonsumsi ACE inhibitor, angiotensin-receptor blocker,
nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) atau diuretik,
atau setelah pemberian kontras intravena karena risiko gagal
ginjal akut sehingga akumulasi asam laktat pada pasien ini.
Pilihan agen lain untuk  Menyesuaikan pilihan agen yang menurunkan glukosa
menurunkan glukosa (termasuk insulin) pada pasien, tingkat fungsi renal dan
komorbiditas (opini derajat D).
 Risiko hipoglikemia harus dinilai secara teratur pada
pasien yang mengkonumsi insulin atau insulin
secretagogues. Pasien ini harus diajarkan tentang
bagaimana untuk mengenali, mendeteksi dan merawat
hipoglikemia (Derajat D)
 Rekomendasi Praktek Klinis : Sulfonylurea jangka
pendek (gliclazide) lebih direkomendasikan berbanding
jangka panjang.

12
Metformin adalah obat oral agen hipoglikemik yang efektif dan murah yang
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan berat
badan lebih dan berat badan normal. Metformin telah dibuktikan efektif pada pasien obesitas dan
non-obesitas. Terdapat banyak kekhawatiran mengenai keamanan metformin pada pasien
penyakit ginjal kronis, terutama risiko terjadi asidosis laktat. Sebuah tinjauan Cochrane dari 206
penelitian termasuk 47,846 pasien yang menggunakan metformin tidak menemukan kasus laktat
asidosis fatal maupun tidak fatal. Beberapa laporan kasus metformin terkait laktat asidosis
menyatakan bahwa metformin mungkin menjadi kopresipitan asidosis laktat, karena kasusnya
lebih sering pada gagal ginjal akut (sering dipercepat dengan angiotensin-converting enzyme
inhibitor atau NSAIDs) atau terkait dengan penyakit utama lain seperti gagal hepatik, sepsis,
obstruksi usus dan syok.

iv. Dislipidemia
Didapatkan peningkatan prevalensi dislipidemia pada setiap stadium pasien penyakit ginjal
kronik. Oleh itu, skrining, evaluasi dan intervensi terapeutik untuk mengawal dislipidemia
merupakan hal yang penting. Namun begitu, kebanyakan percobaan klinis mengeksklusikan
pasien penyakit ginjal kronik yang menyebabkan hasil yang didapatkan adalah terbatas.
Meskipun begitu, pedoman ini berusaha untuk menyebutkan pertanyaan utama terkait lipid yang
abnormal pada pasien penyakit ginjal kronis. Terdapat beberapa data mengenai frekuensi
pengukuran lipid optimal pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.11 Oleh karena itu, kelompok
kerja merekomendasikan pedoman sedia ada untuk dirujuk oleh populasi umum. Analisis
kelompok kecil dari penelitian telah menunjukkan bahwa terapi statin dapat menurunkan risiko
kardioaskular pada pasien penyakit ginjal kronis stadium 1 hingga 3. Belum ada bukti yang
mendukung pemantauan serial rutin dari kreatinin kinase dan alanin aminotransferase pada
pasien dengan gagal ginjal kronik yang menerima terapi statin dosis rendah sampai sedang.

Tabel 5. Pedoman Pengobatan Dislipidemia pada Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik. 11
Aspek Keterangan
Skrining  Profil lipid puasa (kolesterol total, LDL, HDL dan
trigliserida) harus diukur pada dewasa dengan penyakit
ginjal kronis stadium 1 hingga 3 (Derajat A)
 Profil lipid puasa harus diukur pada dewasa dengan penyakit

13
ginjal kronik stadium 4 hanya jika hasil mempengaruhi
pilihan untuk memulai atau mengubah pengobatan lipid
(Derajat D).
Frekuensi Pengukuran  Profil lipid harus diukur setelah berpuasa pada malam hari
Profil Lipid (durasi 12 jam) (Derajat A).
 Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan
trigliserida harus diukur.
 Profil lipid puasa harus diukur tidak lebih dari 6 minggu
setelah terapi farmakologi dimulai atau diubah. Setelah itu,
profil lipid harus diamati setiap 6 hingga 12 bulan jika hasil
dapat mempengaruhi keputusan terapi (Derajat D)
Pengobatan  Terapi statin harus dimulai pada pasien dengan penyakit
ginjal kronik stadium 1 hingga 3 berdasarkan pedoman lipid
untuk populasi umum (Derajat A).
 Pada pasien penyakit ginjal kronis stadium 1 hingga 3,
tenaga klinis harus memikirkan untuk meningkatkan dosis
statin berdasarkan pedoman lipid untuk populasi umum
(Derajat B).
 Tenaga klinis harus mempertimbangkan untuk memulai
terapi statin pada pasien penyakit ginjal kronis stadium 4 dan
titrasi dosis untuk mencapai kadar kolesterol LDL <2,0
mmol/L dan rasio kolesterol total terhadap kolesterol HDL
adalah <4,0 mmol/L (Derajat B).
 Gemfibrozil (1200mg/hari) dipertimbangkan sebagai terapi
alternatif terhadap statin pada pasien penyakit ginjal kronik
(stadium 1-3) yang mempunyai risiko kardiovaskular sedang
atau tinggi dengan kadar kolesterol HDL yang rendah (<1,0
mmol/L) (Derajat B).
 Trigliserida puasa >10mmol/L pada semua stadium penyakit
ginjal kronis harus diobati dengan perubahan gaya hidup
serta ditambahkan dengan gemfibrozil atau niasin, seperti

14
dibutuhkan untuk mengurangi risiko pankreatitis akut
(Derajat D). Data terbaru tidak mendukung pengobatan
hipertrigliseridemia sebagai strategi dalam menurunkan
risiko kardiovaskular (Derajat A)
Pemantauan efek  Pemantauan kreatinin kinase dan alanine aminotransferase
samping pengobatan secara rutin tidak diperlukan untuk pasien penyakit ginjal
kronik yang asimptomatik dan mengkonsumsi statin dengan
dosis rendah hingga sedang (ð 20mg/hari simvastatin atau
atorvastatin, atau dosis yang sama dengan statin lainnya)
(Derajat A).
 Kreatinin kinase dan alanine aminotransferase harus diukur
tiap 3 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik
stadium 4 yang mengkonsumsi statin dosis sedang hingga
tinggi (>40mg/hari simvastatin atau atorvastatin, atau statin
lain dengan dosis sama) (Derajat D).
 Statin dan fibrate tidak bisa diberikan secara bersamaan pada
pasien penyakit ginjal kronik stadium 4 karena adanya risiko
rabdomiolisis (Derajat D).
 Gemfibrozil selamat untuk digunakan pada pasien penyakit
ginjal kronik. Sediaan fibrate lain (fenofibrate) harus
dihindari atau dosis diturunkan secara signifikan pada pasien
penyakit ginjal kronik stadium 2 hingga 4 karena
peningkatan risiko toksisitas (Derajat D).

v. Pengaturan Gaya Hidup


Pada bagian pedoman ini menekankan pengaturan gaya hidup pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal. Oleh karena penyakit ginjal kronik mempunyai faktor risiko yang sama dengan
penyakit kardiovaskular dan diabetes, modifikasi gaya hidup seperti kebiasaan merokok,
obesitas, konsumsi alkohol, olahraga dan diet adalah penting untuk dilakukan. Pengambilan
protein dalam pemakanan telah difokuskan dalam beberapa penelitian. 11 Namun begitu,
didapatkan adanya keterbatasan bukti yang menunjukkan bahwa pembatasan pengambilan
protein jangka panjang (<0,70 g/kg/hari) dapat memperlambat perjalanan penyakit. Namun

15
begitu, asupan protein yang terkontrol (0,80-1,0 g/kg/hari) direkomendasikan. Tidak didapatkan
penelitian tentang pembatasan garam terhadap terjadinya penyakit ginjal kronik. Namun begitu,
keuntungan dari pembatasan garam terhadap progresifitas penyakit dan pengendalian hipertensi
telah termasuk dalam pedoman.

Tabel 6. Pedoman Pengaturan Gaya Hidup pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik.11

Aspek Keterangan
Berhenti Merokok  Penghentian merokok harus didorong untuk mengurangkan
risiko terjadinya penyakit gagal ginjal dan ESRD, dan untuk
menurunkan risiko penyakit kardiovaskular.
Penurunan Berat Badan  Pasien obesitas (IMT >30,0kg/m2) dan berat badan lebih
(IMT 25,0-29,9 kg/m2) harus diberikan dukungan untuk
menurunkan IMT untuk mengurangkan risiko penyakit ginjal
kronik dan ESRD (Derajat D).
 Mempertahankan IMT yang sehat (IMT 18,5 – 22,9); lingkar
pinggang <102 cm pada laki-laki, <88 cm pada perempuan)
direkomendasikan untuk mencegah hipertensi (Derajat C)
atau untuk menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
(Derajat B). kesemua pasien berat badan lebih disertai
hipertensi harus diberi peringatan untuk menurunkan berat
badan (Derajat B).
Asupan protein  Asupan protein yang terkontrol (0,80-1,0 g/kg/hari)
direkomendasikan pada dewasa dengan penyakit ginjal
kronik.
 Pembatasan protein yaitu <0,70 g/kg/hari harus disertai
dengan pemantauan klinis dan petanda defisiensi nutrisi
(Derajat D).
Pengambilan Alkohol  Untuk menurunkan tekanan darah, konsumsi alkohol pada
pasien normotensi dan hipertensi harus sesuai dengan
pedoman Canadian untuk peminum risiko rendah. Dewasa
sehat harus membatasi pengambilan alkohol kepada 2 gelas
atau kurang per hari, dan setiap konsumsi tidak boleh

16
melebihi 14 gelas standar setiap minggu untuk laki-laki dan
9 standar setiap minggu untuk wanita (Derajat B).

Olahraga  Seseorang tanpa hipertensi (untuk menurunkan kemungkinan


menderita hipertensi) atau seseorang dengan hipertensi
(untuk menurunkan tekanan darah) harus didorong untuk
melakukan olahraga sederhana (berjalan, bersepeda atau
berenang) selama 30 hingga 60 menit, 4 hingga 7 kali
seminggu (Derajat D). olahraga intensitas tinggi tidak lagi
efektif pada pasien penyakit ginjal kronis.
Asupan Garam  Untuk mencegah hipertensi, asupan garam dalam makanan
<100mmol/hari direkomendasikan.
 Pasien dengan hipertensi harus membatasi asupan garam
kepada 65-100 mmol/hari (Derajat B).

vi. Proteinuria

Proteinuria termasuk dalam pedoman karena ia merupakan petanda kepada kerusakan ginjal
dan merupakan faktor risiko yang penting dalam progresifitas penyakit ginjal kronik, begitu juga
dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.11 Adanya proteinuria dalam 2 dari 3 sampel
urin diperlukan untuk menentukan proteinuria persisten pada LFG. Metode skrining yang
dianjurkan untuk proteinuria adalah pengukuran rasio protein urin terhadap kreatinin atau
albumin terhadap kreatinin secara acak. Pada saat ini, skrining proteinuria pada berdasarkan
populasi tidak direkomendasikan. ACE inhibitor dan angiotensin-receptor blockers terbukti
efektif dalam menurunkan ekskresi protein. Terapi non-farmakologis dikatakan kurang efektif.
Tingkat proteinuria dimana terapi ACE inhibitor dan angiotensin-receptor blockers harus
dimulai sudah dinyatakan pada pasien dengan hipertensi (Tabel 3) dan pada pasien dengan
diabetes melitus (Tabel 4). Pada pasien tanpa hipertensi atau diabetes, tidak ada bukti yang
mencukupi untuk menentukan pada tingkat LFG apa terapi tersebut harus dimulakan. Namun
begitu, terdapat penelitian yang menunjukkan manfaat pengobatan ACE inhibitor dibandingkan
pengobatan antihipertensi konvensional pada pasien dengan >1g proteinuria per hari (rasio
protein terhadap kreatinin sekitar 100 mg/mmol)

Tabel 7. Pedoman Pengukuran dan Pengobatan Proteinuria pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis. 11

17
Aspek Keterangan
Pengukuran Proteinuria  Skrining proteinuria harus dilakukan pada semua pasien
yang berisiko penyakit ginjal ( Pasien diabetes, hipertensi,
penyakit vaskular, penyakit autoimun, LFG < 60
mL/min/m2 atau edema) (Derajat D)
 Skrining harus dilakukan menggunakan sampel urin
sewaktu untuk mengukur rasio protein terhadap kreatinin
atau albumin terhadap kreatinin. Pada pasien diabetes,
pemeriksaan rasio albumin terhadap kreatinin harus
dilakukan untuk tujuan skrining penyakit ginjal (Derajat
B).
 Rasio protein kreatinin > 100 mg/mmol atau rasio albumin
kreatinin > 60 mg/mmol harus dianggap sebagai ambang
batas yang mengindikasikan seseorang berisiko tinggi
terhadap ESRD (Derajat D).
Pengobatan  Dewasa dengan diabetes dan albuminuria persisten (rasio
albumin kreatinin > 2,0 mg/mmol pada laki-laki, > 2,8
mg/mmol pada wanita) harus diberikan ACE inhibitor atau
angiotensin-receptor blockers untuk memperlambatkan
perjalanan penyakit.
 ACE inhibitor atau angiotensin-receptor blockers adalah
obat pilihan (DOC) untuk menurunkan proteinuria.
 Pada pasien tertentu, aldosterone-receptor antagonists
dapat menurunkan proteinuria.
 Pembatasan protein dalam pemakanan dan penurunan berat
badan (untuk pasien IMT tinggi) dapat memberikan
manfaat terhadap penurunan proteinuria.

vii. Anemia

18
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik.9 Anemia pada PGK terutama
disebabkan oleh defisiensi eritropoeitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia
adalah defisiensi besi, kehilangna darah (misalnya perdarahan saluran cerna, hematuri), masa
hidup eritrosit yang pendek akibat terjadi hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansia uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia
dimulai saat kadar hemoglobin ≤10 g% atau hematokrit ≤30%, meliputi evaluasi terhadap status
besi (kadar besi serum/serum ion, kapasitas ikat besi total/ Iron Binding Capacity, ferritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain
sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab
lain bila ditemukan. Pemberian eritropoeitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.11 Dalam
pemberian EPO ini, status besi harus dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfusi pada
penyakit ginjal kronis harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat
mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran
hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11 hingga 12 g/dL.

viii. Metabolism mineral

Fungsi ekskretori ginjal memainkan peran yang penting dalam mempertahankan


keseimbangna kalsium dan fosfat.9 Oleh karena, penyakit ginjal kronis dapat menyebabkan
terjadinya hiperfosfatemia dan hipokalsemia, maka pedoman ini memfokuskan kepada penilaian
dan pengobatan abnormalitas mineral. Perubahan metabolic ini berperan dalam patofisiologi
kalsifikasi vaskular dan penyakit tulang. Penyakit tulang lebih berpotensi untuk terjadi karena
adanya asidosis dimana dapat dirawat menggunakan bikarbonat oral. Ginjal merupakan bagian
dari 1-hidroksilasi dari 25 hidroksivitamin kepada bentuk aktif, 1,25-dihidroksivitamin D
(kalsitriol).11 Oleh karena fungsi renal menurun pada penyakti ginjal kronis, defisiensi kalsitriol
memicu hyperplasia kelenjar paratiroid dan peningkatan sintesis hormon paratiroid, yang pada
akhirnya menyebabkan hiperparatiroid sekunder. Pada saat ini, bukti kesan abnormal metabolism
mineral atau hasil pengobatan terhadap pasien penyakit ginjal kronis yang tidak menerima
dialisis adalah terbatas. Rekomendasi ini dibuat berdasarkan data dari pasien yang menerima
dialisis. Namun begitu, penyataan adalah terbatas karena diperlukan data berbasis bukti
(evidence based). Penelitian pada populasi umum dan populasi penyakit ginjal kronis dengan

19
dialisis mendapatkan adanya hubungan antara abnormalitas metabolik dengan penyakit ginjal
kronik dan risiko mortalitas. Namun, seiring berjalannya waktu, tidak didapatkan adanya
penelitian yang membuktikan pengendalian metabolik yang baik memberi efek terhadap
kelangsungan hidup. Modifikasi pemakanan direkomendasikan pada awal pengobatan dikuti
dengan terapi pengikat kalsium terkandung fosfat (kalsium glukonat atau kalsium asetat).

Tabel 8. Pedoman Penilaian dan Pengobatan Abnormalitas Metabolisme Mineral pada Pasien dengan
Penyakit Ginjal Kronik.11

Aspek Keterangan
Penilaian dan Target Terapeutik  Kalsium serum, fosfat dan homon
paratiroid harus diukur pada pasien
dewasa penyakit ginjal kronik stadium
4 dan 5, dan pasien dewasa penyakit
ginjal kronis stadium 3 dengan fungsi
ginjal menurun secara progresif.
 Kadar serum fosfat harus
dipertahankan dalam rentang normal.
 Kadar serum kalsium harus
dipertahankan dalam rentang normal.
 Kadar hormone paratiroid bisa
meningkat, namun target nilai
hormone paratiroid intak tidak
diketahui.
Pilihan Pengobatan  Pembatasan fosfat dalam pemakanan
harus dilakukan secara terus-menerus
untuk mengobati hiperfosfatemia.
 Terapi pengikat kalsium terkandung
fosfat (kalsium karbonat atau kalsium
asetat) harus diberikan apabila
pembatasan diet fosfat gagal
mengawal hiperfosfatemia dan tidak
didapatkan hiperkalsemia.

20
 Jika terjadinya hiperkalsemia, dosis
pengikat kalsium terkandung fosfat
atau analog vitamin D harus
dikurangkan.
 Hipokalsemia harus diobati jika pasien
mempunyai symptom atau jika terkait
dengan peningkatan kadar hormone
paratiroid.
 Pikirkan pemberian analog Vitamin D
jika kadar hormone paratiroid intak
serum > 53 pmol/L. Terapi harus
dihentikan jika hiperkalsemia atau
hiperfosfatemia terbentuk atau kadar
hormone paratiroid < 10,6 pmol/L.
Analog vitamin D harus digunakan
dengan pengawasan spesialis yang
kompeten.
 Tidak didapatkan bukti yang
mencukupi untuk merekomendasikan
penggunaan pengikat fosfat yang tidak
terkandung kalsium, analog novel
vitamin D atau kalsimimetik.

ix. Terapi Pengganti Ginjal

Meskipun tujuan utama pedoman dan rekomendasi ini adalah untuk memperlambat
progresifitas penyakit dan komplikasi, namun terdapat beberapa pasien yang memerlukan
pengganti ginjal untuk memperpanjang hidup.11 Tujuan pedoman ini adalah untuk
menggambarkan aspek edukasi, perawatan dan proses yang diperlukan untuk mengoptimalkan
persediaan pasien terhadap terapi pengganti ginjal. Dokter dan tenaga klinis harus menyadari
kepentingan persiapan dan waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan perawatan ini.
Transplantasi ginjal dari donor hidup harus dijadikan sebagai pilihan pertama pada pasien yang
21
layak yang memerlukan terapi transplantasi ginjal. Hasil dari donor ginjal yang sudah meninggal
dibuktikan lebih baik secara signifikan dibandingkan dialisis. Pada pasien penyakit ginjal kronis
yang progresif dengan rencana hemodialisis, membuat rencana untuk akses vaskular merupakan
komponen penting dari perawatan persediaan pasien ESRD. Rencana perawatan termasuk
melakukan pemeriksaan yang terperinci (venous mapping dan hindari punktur vena atau
pengukuran tekanan darah pada lengan yang tidak dominan sebagai persediaan pembuatan
akses). Pada waktu ini, perawat harus dikoordinasikan oleh nefrologis. Diskusi pemantauan
akses vaskular, pencegahan infeksi dan penanganan komplikasi telah termasuk didalam pedoman
praktek klinis hemodialisis dari Canadian Society of Nephrology. Dialisis yang berterusan atau
frekuensi tinggi seperti hemodialisis nokturnal atau dialisis peritoneal, adalah hemodialisis
alternatif yang diterima 3 kali tiap minggu dan harus diberikan pada pasien yang sesusi
berdasarkan keperluan dan ketersediaan.9

Tabel 9. Pedoman Persediaan Permulaan Terapi Pengganti Ginjal pada Pasien Penyskit Ginjal Kronik. 11

Aspek Keterangan
Komponen  Jika layak, pasien dengan LFG < 30mL/min/m2 harus
Perawatan sebelum menerima perawatan dengan pengaturan tenaga klinis yang
Dimulai terdiri dari dokter, perawat, dietisian dan pekerja sosial.
 Program edukasi predialisis harus termasuk modifikasi
gaya hidup, penanganan pengobatan, pemilihan modalitas
dan akses vaskular serta pilihan untuk transplantasi ginjal.
Waktu Inisiasi  Belum ada bukti yang merekomendasikan pada nilai LFG
berapa terapi pengganti ginjal harus dimulai pada pasien
penyakit ginjal kronik tanpa komplikasi (Derajat D)
 Pasien dengan LFG < 20 mL/min/m2 mungkin memerlukan
inisiasi terapi pengganti ginjal jika ada salah satu kondisi
tersebut ; gejala uremia (setelah menyingkirkan penyebab
lain), komplikasi metabolic refraktori (hiperkalemia,
asidosis), volume berlebihan (ditandai edema atau
hipertensi) atau penurunan status nutrisi (diukur dari serum
albumin, massa tubuh tanpa lemak) yang refrakter terhadap
intervensi pemakanan (Derajat D).

22
 Transplantasi ginjal donor hidup tidak harus dilakukan
melainkan LFG sudah dibawah 20 mL/min/m 2 dan terdapat
bukti kerusakan ginjal yang progresif dan ireversibel
selama 6 hingga 12 bulan (Derajat D).

Prognosis

Menurut Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012, prognosis pasien
penyakit ginjal stadium 1 dan 2 dengan kadar ekskresi albumin dibawah 30 mg/g adalah baik.
Kesemua pasien PGK stadium 4 dan 5 tanpa mengira kadar ekskresi albumin mempunyai
prognosis yang buruk karena kebanyakan pasien harus menjalani terapi pengganti ginjal.12

Daftar Pustaka

1. Mayo Clinic. Patient Care and Health Information: Chronic kidney disease. 2019; Mayo
Foundation for Medical Education and Research. [Diakses 15 Januari 2021]. Tersedia
dari https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/chronic-kidney-disease/symptoms-
causes/syc-20354521.
2. Levey, Andrew, Eckardt, Kai-Uwe, Tsukamoto dkk. Definition and classification of
chronic kidney disease: a position statement from Kidney disease improving global
outcomes (KDIGO): Kidney international. 2005;67.doi:2089-100. 10.1111/j.1523-
1755.2005.00365.x.
3. Zasra R, Harun H, Azmi S. Indikasi dan persiapan hemodialisis pada penyakit ginjal
kronis. Jurnal Kesehatan Andalas.2018:hal 1
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi penyakit ginjal kronis. InfoDatin.
2017; Hal.5-7
5. Aulia. Diagnosis, klasifikasi, pencegahan, terapi penyakit ginjal kronis. 2017;
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [Diakses 16 Januari 2021]. Tersedia dari
http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-p2ptm/dki-jakarta/diagnosis-klasifikasi-pencegahan-
terapi-penyakit-ginjal-kronis.

23
6. Skorecki K, Jacob G, Brenner BM. Chronic renal failure. Harrison’s principle of internal
medicine. In: Kasper, Braunwald, Fauci; 16(1). New York:Mcgraw Hill.2005. hal 1551-
61
7. Wei W, Chan L. chronic renal failure: manifestation and pathogenesis. In; Schier RW,
editors. Renal and electrolyte disorders. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins. 2003. Hal 456-97
8. National Health Service. Symptoms of chronic kidney disease. 2019. National Health
Service United Kingdom. [Diakses 16 Januari 2021]. Tersedia dari
https://www.nhs.uk/conditions/kidney-transplant/
9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam: Penyakit ginjal kronik. Jakarta. 2009;5(2): hal 1037
10. Mayo Clinic. Chronic kidney disease: treatment. 2019; Mayo Foundation for Medical
Education and Research. [Diakses 17 Januari 2021]. Tersedia dari
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/chronic-kidney-disease/diagnosis-
treatment/drc-20354527
11. Levin A, Hemmelgam B, Culleton B, Tobe S et al. Guidelines for the management of
chronic kidney disease. Canadian medical association. 2008;179(11):hal 1155-60
12. Levey AS, Coresh J, Nahas ML, Astor BC et al. The definition, classification and
prognosis of chronic kidney disease: a KDIGO controversies conference report. Hal 9

24

Anda mungkin juga menyukai