Anda di halaman 1dari 30

Laporan Kasus

CONGESTIVE HEART FAILURE

Pembimbing :
dr. Alwinsyah Abidin, Sp. PD-KP

Disusun Oleh :
Nabella Putri Munggaran (20360088)

Nabilah Tarisa (20360089)

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU PENYAKIT


DALAM RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
SUMATERA UTARA TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang
berjudul “Congestive Heart Failure“. Laporan kasus ini Disusun Sebagai Tugas
Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Ilmu Penyakit Dalam di Rumah
Sakit Umum Haji Medan Sumatera Utara.
Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para pengajar
di SMF Ilmu Penyakit Dalam, khususnya dr. Alwinsyah Abidin, Sp.PD-KP atas
bimbingannya selama berlangsungnya pendidikan di bagian Ilmu Penyakit Dalam
ini sehingga kami dapat menyelesaikan tugas “Laporan Kasus” ini. Kami menyadari
bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, maka dari itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki laporan kasus
ini dan untuk melatih kemampuan menulis makalah untuk selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan Laporan Kasus ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi kami yang sedang menempuh
pendidikan.

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Medan, 1 Maret 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Congestive heart failure (CHF) atau gagal jantung kongestif (GJK) adalah
ketidakmampuan jantung untuk mendistribusikan darah secara adekuat dalam rangka
pemenuhan kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi (Brunner & suddarth, 2013).
Congestive heart failure (CHF) mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi)
guna menampung darah lebih banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh atau
mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung hanya mampu memompa
darah untuk waktu yang singkat dan dinding otot jantung yang melemah tidak mampu
memompa dengan kuat (Udjianti, 2010).
Congestive heart failure adalah gagal jantung dalam jangka panjang (Lily,
1998), gagal jantung kronis didefinisikan sebagaji sindrom klinis yang kompleks yang
disertai dengan keluhan gagal jantung berupa sesak nafas, fatigue, baik dalam
keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda-tanda objektif adanya disfungsi
jantung dalam keadaan istirahat (Davis, R., 2000). Baru-baru ini didapatkan bahwa
Congestive Heart Failure terkait dengan penurunan kardiak output dan vasokonstriksi
perifer yang berlebihan (Haji dan Mohaved, 2000).
Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2012 menunjukkan, pada
tahun 2008 terdapat 17 juta atau sekitar 48% dari total kematian disebabkan oleh
gagal jantung. Berdasarkan data Kementrian Republik Indonesia pada tahun 2013,
melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2013, menunjukkan
bahwa Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif merupakan
penyakit penyebab kematian di Indonesia dengan kisaran angka 9,7% dari
keseluruhan penyakit jantung.
Berdasarkan diagnosis dokter prevalensi gagal jantung di Indonesia tahun
2013 sebesar 0,13 % atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan didiagnosis
dokter/gejala sebesar 0,3 % atau diperkirakan sekitar 530.068 orang (Sekarsari, 2016.,
Kemenkes RI 2014). Prevalensi gagal jantung di Sumatera Utara berdasarkan
diagnosis dokter tahun 2013 sebesar 0,13% atau diperkirakan sekitar 11.622 orang,
sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar
26.819 orang (Kemenkes RI, 2014).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)

Congestive Heart Failure adalah adalah suatu kondisi dimana jantung


mengalami kegagalan dalam memompa darah guna mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh
akan nutrien dan oksigen secara adekuat (Udjianti, 2010). Congestive Heart Failure
adalah suatu keadaan patofisiologi adanya kelainan fungsi jantung berakibat jantung
gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan atau
kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan ventrikel kiri (Taufan,
2016).

B. ETIOLOGI

Berbagai gangguan penyakit jantung yang mengganggu kemampuan jantung


untuk memompa darah menyebabkan gagal jantung yang biasanya diakibatkan karena
kegagalan otot jantung yang menyebabkan hilangnya fungsi yang penting setelah
kerusakan jantung, keadaan hemodinamis kronis yang menetap yang disebabkan
karena tekanan atau volume overload yang menyebabkan hipertrofi dan dilatasi dari
ruang jantung, dan kegagalan jantung dapat juga terjadi karena beberapa faktor
eksternal yang menyebabkan keterbatasan dalam pengisian ventrikel (Lailia, 2014).

Penyebab gagal jantung dapat berupa faktor dari dalam jantung itu sendiri
maupun dari luar. Faktor dari dalam lebih sering karena terjadinya kerusakan-
kerusakan yang sudah dibawa, sedangkan faktor dari luar cukup banyak, antara lain:
penyakit jantung koroner, hipertensi, dan diabetes mellitus. Terdapat tiga kondisi yang
mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu:
a. Gangguan mekanik; beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal
atau bersamaan yaitu :
- Beban volume (volume overload), misal: insufisiensi aorta atau mitral, left to
right shunt, dan transfusi berlebihan
- Beban tekanan (pressure overload), misal: hipertensi, stenosis aorta, koartasio
aorta, dan hipertrofi kardiomiopati
- Hambatan pengisian, misal: constrictive pericarditis dan Tamponade jantung
atau konstriski perikard (jantung tidak dapat diastole).
- Obstruksi pengisian bilik
- Aneurisma bilik dan disinergi bilik
- Restriksi endokardial atau miokardial
b. Abnormalitas otot jantung
- Kelainan miokardium (otot): kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal
ginjal kronik, anemia), toksin atau sitostatika.
- Kelainan disdinamik sekunder: Deprivasi oksigen (penyakit jantung koroner),
kelainan metabolic, peradangan, penyakit sistemik, dan penyakit Paru
Obstruksi Kronis
c. Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi: misalnya, irama tenang,
fibrilasi, takikardia atau bradikardia ekstrim, asinkronitas listrik.

C. KLASIFIKASI

Klasifikasi terbaru adalah berdasarkan pola disfungsi ventrikel, yaitu


adanya gangguan pada sistolik, diastolic atau pada keduanya, dan klasifikasi ini
terbukti efektif (Lailia, 2014). Gagal jantung sering diklasifikasikan sebagai
gagal jantung dengan penurunan fungsi sistolik (fraksi ejeksi) atau dengan
gangguan fungsi diastolik (fungsi sistolik atau fraksi ejeksi normal), yang
selanjutnya akan disebut sebagai Heart Failure with Preserved Ejection Fraction
(HFPEF). Selain itu, myocardial remodeling juga akan berlanjut dan
menimbulkan sindroma klinis gagal jantung. (Panggabean M. 2009)
Klasifikasi New York Heart Association paling sering digunakan untuk
menentukan pengaruh congestive heart failure pada aktivitas fisik. Pedoman
Klasifikasi Pasien Menurut New York Association (NYHA) adalah berdasarkan
fungsional jantung yaitu : (Figueroa dan Peters, 2006).
 Kelas 1 : Penderita dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.
 Kelas 2 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari
aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
 Kelas 3 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa
keluhan.
 Kelas 4 : Penderita sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas
apapun dan harus tirah baring
Sedangkan pada tahun 2001, the American College of
Cardiology/American Heart Association working group membagi kegagalan
jantung ini menjadi empat stage (Figueroa dan Peters, 2006):
 Stage A : memiliki resiko tinggi untuk terkena CHF tapi belum
ditemukan adanya kelainan struktural pada jantung.
 Stage B : sudah terdapat kelainan struktural pada jantung, akan tetapi
belum menimbulkan gejala.
 Stage C : adanya kelainan struktural pada jantung, dan sudah muncul
manifestasi gejala awal jantung, masih dapat diterapi dengan pengobatan
standard.
 Stage D : pasien dengan gejala tahap akhir jantung, dan sulit diterapi
dengan pengobatan standard.

D. PATOFISIOLOGI
Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu gangguan
mekanik (beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara tunggal atau bersamaan
yaitu beban tekanan, beban volume, tamponade jantung atau kontriksi perikard,
jantung tidak dapat diastole, obstruksi pengisian ventrikel, aneurisme ventrikel,
disenergi ventrikel, restriksi endokardial atau miokardial) dan abnormalitas otot
jantung yang terdiri dari primer (kardiomiopati, miokarditis metabolic (DM, gagal
ginjal kronik, anemia) toksin atau sitostatika) dan sekunder (iskemia, penyakit
sistemik, penyakit infiltrative, dan korpulmonal).
Gangguan irama jantung atau konduksi Menurut Soeparman (2001) beban
pengisian (preload) dan beban tekanan (afterload) pada ventrikel yang mengalami
dilatasi atau hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung
yang lebih kuat, sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan jantung yang lebih
besar meningkatkan simpatis, sehingga kadar katekolamin dalam darah meningkat
dan terjadi takikardi dengan tujuan meningkatkan curah jantung. Pembebanan jantung
yang berlebihan dapat mengakibatkan curah jantung menurun, maka akan terjadi
redistribusi cairan dan elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan
vasokontriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik vena (venous
return) ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir diastolic dan
menaikkan kembali curah jantung (Soeparman, 2001).
Dilatasi, hipertrofi, takikardi, dan redistribusi cairan badan merupakan
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan mekanisme kompensasi jantung
tersebut di atas sudah dipergunakan seluruhnya dan sirkulasi darah dalam badan
belum juga terpenuhi, maka terjadilah keadaan gagal jantung (Rang et al, 2003).
Congestive heart failure adalah gagal jantung dalam jangka panjang dapat diikuti
dengan gagal jantung kanan, demikian juga gagal jantung kanan dalam jangka
panjang dapat diikuti gagal jantung kiri (Lily, 1998) ;

1. Gagal Jantung Kiri


Gagal jantung kiri atau gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya
gangguan pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri menurun
dengan akibat tekanan akhir diastole dalam ventrikel kiri dan volume akhir diastole
dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini merupakan beban atrium kiri dalam
kerjanya untuk mengisi ventrikel kiri pada waktu diastolic, dengan akibat terjadinya
kenaikan tekanan rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang
meninggi ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena
pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka bendungan akan terjadi juga dalam
paru - paru dengan akibat terjadinya edema paru dengan segala keluhan dan tanda-
tanda akibat adanya tekanan dalam sirkulasi yang meninggi. Keadaan yang terakhir
ini merupakan hambatan bagi ventrikel kanan yang menjadi pompa darah untuk
sirkuit paru (sirkulasi kecil). Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah,
maka akan meransang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan
mengalami hipertropi dan dilatasi sampai batas kemempuannya, dan bila beban
tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung kanan, sehingga pada
akhirnya terjadi gagal jantung kiri-kanan.
2. Gagal Jantung Kanan
Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau hambatan pada
daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup ventrikel kanan tanpa didahului
oleh gagal jantung kiri. Dengan menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan
dan volume akhir diastole ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban
atrium kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastole, dengan
akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan. Tekanan dalam atrium kanan
yang meninggi akan menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dalam vena kava
superior dan inferior ke dalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan adanya
bendungan pada vena-vena sistemik tersebut (bendungan pada vena jugularis dan
bendungan hepar) dengan segala akibatnya (tekanan vena jugularis yang meninggi
dan hepatomegali). Bila keadaan ini terus berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik
yang lebih berat dengan akibat timbulnya edema tumit atau tungkai bawah dan asites
(Osama Gusbi, 2002).

Manifestasi CHF tidak hanya disebabkan karena ketidakmampuan jantung


dalam mensuplai oksigen yang adekuat ke jaringan perifer, tapi juga tergantung pada
respon sistemik dalam mengkompensasi ketidakadekuatan suplai oksigen ke jaringan.
Beberapa faktor yang menentukan cardiac output meliputi heart rate dan stroke
volume. Stroke volume ditentukan oleh preload, kontraktilitas, dan afterload.
Variabel-variabel ini penting diketahui dalam patofisiologis CHF dan potensi terapi.
Selain itu interaksi kardiopulmonary penting juga untuk diketahui dalam peranannya
dalam kegagalan jantung (Figueroa dan Peters, 2006).
Preload dapat dilihat dari jumlah volume darah yang harus dipompa oleh
jantung, kontraktilitas merupakan kemampuan memompa jantung, sedangkan
afterload merupakan kekuatan yang harus dikeluarkan oleh jantung untuk memompa
darah. Preload tidak hanya dipengaruhi oleh volume intravaskuler, tapi juga
dipengaruhi oleh keadaan restriksi saat pengisian ventrikel. Fungsi diastolic
ditentukan oleh dua faktor yaitu elastisitas dari ventrikel kiri, yang mana merupakan
fenomena yang pasif, dan relaksasi myocardial yang mana proses ini merupakan
proses yang aktif dan membutuhkan energi. Ketidaknormalan ventrikel kiri untuk
relaksasi atau elastisitasnya baik itu karena structural (contoh: hypertropi ventrikel
kiri) atau perubahan pada fungsional (contoh: iskemia) mempengaruhi juga pengisian
ventrikel (preload). Variable kedua dari stroke volume adalah kontraktilitas jantung,
Pada jantung normal fungsi sistolik fraksi ejeksi akan selalu dipertahankan diatas 50-
55%. Infark myokard akan menyebabkan myokard tidak dapat bekerja dengan baik,
hal ini dikarenakan jantung tidak dapat berkontraksi dengan baik. Jaringan yang
infark dapat diperbaiki dengan pembedahan atau dengan terapi obat-obatan. Beberapa
hal yang juga mempengaruhi kontraktilitas jantung adalah agent farmakologik
(calcium-channel blocker), hipoksemia, dan asidosis yang parah. Variabel terakhir
dari komponen stroke volume adalah afterload. Afterload biasanya dilihat dengan
pengukuran mean arterial pressure. Afterload dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
tahanan vaskuler, dan tekanan intratorakal. Bersama-sama ketiga komponen ini saling
mempengaruhi dalam patofisiologi CHF. Pada kondisi dimana terjadi penurunan
cardiac output, maka heart rate atau stroke volume harus berubah untuk menjaga
kelangsungan perfusi. Jika stroke volume tidak dapat dirubah, maka heart rate harus
ditingkatkan untuk menjaga cardiac output (Figueroa dan Peters, 2006).

Sistem neurohormonal teraktivasi pada disfungsi ventrikel dengan penurunan


cardiac output, terjadi aktivasi baroreseptor pada arkus aorta, sinus karotikus, dan
ventrikel kiri. Baroreseptor ini menstimulasi pusat regulator vasomotor pada medula,
yang mana kemudian mengaktivasi system saraf simpatis, arginin vasopressin, dan
rennin-angiotensin aldosteron system. Aktivasi system saraf simpatis dapat terlihat
dari adanya peningkatan kadar norepinephrin plasma, hasilnya dapat terlihat dari
peningkatan heart rate, kontraktilitas myocardium, vasokonstriksi perifer. Renin
angiotensin system teraktivasi pada kegagalan jantung, melalui mekanisme intrarenal,
yang distimulasi oleh perubahan tekanan atau perubahan pada kadar sodium pada
macula densa, yang kemudian menyebabkan terjadinya retensi sodium dan cairan
(Tsutsui et al, 2007).

E. DIAGNOSA

Untuk penegakan diagnosa CHF juga dapat menggunakan kriteria Framingham,


seperti yang tertera pada tabel dibawah ini, diagnosis CHF membutuhkan adanya
minimal 2 kriteria besar atau 1 kriteria utama dalam hubungannya dengan 2 kriteria
minor ; Kriteria Farmingham (Storrow, 2007)
1. Anamnesa

Anamnesis harus mencakup penilaian gaya hidup seseorang serta pengaruh


penyakit jantung terhadap kegiatan sehari-hari bila lebih bertujuan pada perawatan
penderita. Riwayat pasien sebaiknya juga mencakup riwayat mengenai keluarga
dan insidensi penyakit kardiovaskular pada keluarga tingkat pertama (orangtua dan
anak). Biasanya dijumpai gejala dan tanda penyakit jantung berikut ini pada saat
anamnesis dengan penderita penyakit jantung :

Manifestasi Klinis Umum Deskripsi


Sesak napas (juga disebut dyspnea)Sesak napas selama melakukan
aktivitas (paling sering), saat istirahat,
atau saat tidur, yang mungkin datang
tiba-tiba dan membangunkan. Pasien
sering mengalami kesulitan bernapas
sambil berbaring dan mungkin perlu
untuk menopang tubuh bagian atas dan
kepala di dua bantal. Pasien sering
mengeluh bangun lelah atau merasa
cemas dan gelisah.
Batuk atau mengi yang persisten Batuk yang menghasilkan lendir
darah warna putih atau pink.
Penumpukan kelebihan cairan dalam Bengkak pada pergelangan kaki atau
jaringan tubuh (edema) perut

Kelelahan Perasaan lelah sepanjang waktu dan


kesulitan dengan kegiatan sehari-hari,
seperti belanja, naik tangga, membawa
belanjaan atau berjalan.

Kurangnya nafsu makan dan mual Perasaan penuh atau sakit perut.

Peningkatan denyut jantung Jantung berdebar- debar (takikardi)

( American Heart Association, 2011)

2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda dari congestive heart failure adalah terdapatnya takikardi,
peninggian tekanan vena jugularis, penambahan suara jantung, ronki basah pada
paru, bengka pada pergelangan kaki, dan tungkai (Handler & Gerry, 2018). Tanda
yang biasanya akan tampak pada pasien dengan congestive gagal jantung adalah
letak apek jantung yang terletak lebih lateral (akibat pembesaran dari jantung),

adanya gallop rhytm. Suara murmur mengindikasikan adanya penyakit pada katup
jantung, misalkan regurgitasi aorta, atau mitral stenosis. Kegagalan pada jantung
kiri memberikan tanda berupa takipnea, rales atau crackles yang mana
mengindikasikan telah terjadinya edema pulmonary, perkusi yang redup pada area
paru dan penurunan suara nafas terutama pada basal paru mengindikasikan telah
terjadinya efusi pleura, dan terjadinya sianosis akibat penurunan difusi oksigen
pada kapiler pulmonary (Medical Criteria, 2005).
Pada kasus dengan kegagalan pada jantung kanan dapat menyebabkan
terjadinya kongetif hepar. Retensi cairan juga menyebabkan edema perifer dan
asites. Kegagalan pada jantung kiri dapat menyebabkan gejala berupa munculnya
dyspnea on effort. Pulmonary congestion (dengan crackles dan wheezing) dominan
muncul terutama pada keadaan akut maupun subakut (Osama, 2002). Pelebaran
dari ventrikel dapat dilihat pada saat palpasi precordial, dan denyutan dari apex
yang terletak lateral dari midclavicular line. Indikator yang dapat digunakan untuk
mengetahui adanya overload volume adalah adanya peningkatan pada Jugular
Venous Pressure (Storrow, 2007). Pemeriksaan tekanan vena jugularis (Jugular
Veinous Pressure “JVP”) merupakan salah satu tehnik untuk mendeteksi adanya
kerusakan pada sirkulasi sistem kardiovaskuler. JVP merupakan prediktor penting
dalam penyakit gagal jantung, memberikan informasi yang sangat berguna tentang
status volume cairan tubuh dan fungsi jantung (Ponikowski et al., 2016). Rata-rata
tekanan vena jugularis normal r±2, Pengukuran yang lebih dari 3 sampai 4 cm di
atas sudut sternal dianggap sebagai suatu peningkatan JVP (Ball et al., 2015).

3. Pemeriksaan Penunjang
 EKG
Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebagian
besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi LV,
gangguan konduksi, aritmia. Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien
dengan dugaan klinis gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel
(sistolik dan diastolik), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan
penyakit katub jantung dapat disingkirkan (Dickstein et al, 2008).
 Radiologi
Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung. Kardiomegali
biasanya ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic ratio / CTR (lebih
besar dari 0,5) pada tampilan postanterior. Pada pemeriksaan ini tidak dapat
menentukan gagal jantung pada disfungsi siltolik karena ukuran bisa terlihat
normal (National Clinical Guideline Centre, 2010). Pada pasien dengan dispnea,
maka gambaran foto thoraks akan sangat membatu untuk menetukan perkiraan
penyebab dari dispnea tersebut, apakah diakibatkan karena kegagalan jantung atau
karena penyakit pada paru-paru (Storrow, 2007).
(Mustafa et al, 2015).
 Echocardiografi
Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasien gagal jantung. Tes ini
membantu menetapkan ukuran ventrikel kiri, massa, dan fungsi. Kelemahan
echocardiography adalah relative mahal, hanya ada di rumah sakit dan tidak
tersedia untuk pemeriksaan skrining yang rutin untuk hipertensi pada praktek
umum (National Clinical Guideline Centre, 2010).
(Mustafa et al,
2015).

 Pemeriksaan Darah
Tes darah dirkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan menilai fungsi
ginjal sebelum terapi di mulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan gagal jantung
sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan. Pencitraan
radionuklida menyediakan metode lain untuk menilai fungsi ventrikel dan sangat
berguna ketika citra yang memadai dari ekokardiografi sulit diperoleh.
Pemindahan perfusi dapat membantu dalam menilai fungsional penyakit jantung
coroner (Ramani, 2010).
F. PENATALAKSANAAN

1. Terapi Pertama
Dapat dilakukan adalah mengoreksi atau stabilisasi berbagai keabnormalan
yang terjadi yang dapat menginduksi munculnya CHF, misalkan iskemia dapat
dikontrol dengan terapi medis, hipertensi harus selalu terkontrol, dan kelainan pada
katup jantung dapat ditangani dengan perbaikan pada katup tersebut (National
Clinical Guideline Centre, 2010).
2. Terapi Non Farmakologis
Dapat dilakukan dengan restriksi garam, penurunan berat badan, diet rendah
garam dan rendah kolesterol, tidak merokok, olahraga (National Clinical Guideline
Centre, 2010).
3. Terapi Farmakologis
I. Diuretics
Furosemid oral / IV bila tanda dan gejala kongesti masih ada, dengan dosis 1
mg/kg BB atau lebih (Firdaus I, et al 2016).

II. Vasodilator Drugs


o Nitrate (isosorbide)
o Hydralazine (terutama apabila ditambah dengan regimen digoxin dan terapi
diuretic)
o Ace inhibitors (captopril, enalapril) : obat ini bekerja dengan menghambat
conversi angiotensin 1 menjadi angiotensin 2 melalui angiotensin-
converting enzyme (ACE). ACE inhibitor (atau ARB bila batuk) bila tidak
ada kontra indikasi; dosis dinaikan bertahap sampai dosis optimal tercapai.
o ACE2 reseptor blocker (losartan) : obat ini mengeblok reseptor A2,
menyebabkan vasodilatasi dan menghambat proliferasi dari sel otot. Obat ini
biasanya digunakan pada pasien yang intolerance terhadap ACE inhibitor,
akibat efek samping yang dapat ditimbulkan yaitu batuk. (National Clinical
Guideline Centre, 2010).
III. Inotropic Drugs
Digitalis glycosides (digoxin)
IV. Beta blockers
Obat ini memiliki fungsi untuk memperbaiki fungsi ventrikel kiri, gejala, dan
functional class, serta memperpanjang survival dari pasien CHF.beta blocker juga
memiliki peranan dalam memodifikasi cytokine (interleukin-10, tumor necrosis
alpha (TNF-alpha) dan soluble TNF reseptor (sTNF-R-1 dan R2) pada pasien
dengan kardiomiopati, (Shigeyama et al., 2005).
Indikasi pemakaian beta blocker:
a. Pasien yang tergolong dalam kelas II dan III , klasifikasi NYHA.
b. Hindari terapi ini pada pasien dengan NYHA kelas I atau IV.
c. Sebelum menambahkan beta blocker, pastikan bahwa pasien stabil dan dalam
terapi standard gagal jantung.
d. Mulai pemakaian terapi beta- blocker dengan memakai dosis rendah
(carvedilol 3.125 mg PO bid; metoprolol CR/XL, 12.5 mg PO qd; bisoprolol,
1.25 mg PO qd).
e. tingkatkan dosis dengan interval waktu 2 sampai 3 minggu (carvedilol, 25-50
mg PO bid; metoprolol CR/XL, 200 mg PO qd; bisoprolol, 10 mg PO qd).
Kontraindikasi pemakaian beta blocker terapi pada CHF:
- Peningkatan berat badan
- Peningkatan dosis diuretic
- Kebutuhan untuk diuretik intravena ataupun obat inotropic
- Didapatkan keadaan yang kian memburuk dari CHF
- Bronchial asma atau emphysema
- Bradycardi
- Hipotensi
- Blok jantung derajat pertama dan ketiga
Beta blocker (Firdaus I, et al 2016) dosis kecil bila tidak ada kontra
indikasi, dosis naik bertahap Bila dosis sudah optimal tetapi laju nadi masih cepat
(>70x/menit), dengan:
- Irama sinus, dapat ditambahkan Ivabradin mulai dosis kecil 2 x 2,5mg,
maksimal 2 x 5mg.
- Irama atrialfibrilasi
- respons ventrikel cepat serta fraksi ejeksi rendah, tetapi fungsi ginjal baik,
berikan digoxin dosis rumat 0,25mg pagi.
V. Aldosterone antagonis contoh spironolactone sebaiknya dipertimbangkan pada
pasien dengan gagal jantung berat dan tidak ada kecurigaan adanya renal
insufficiency atau hyperkalemia. Mineralocorticoid Receptor Blocker
(Aldosterone Antagonist) dosis kecil bila tidak ada kontra indikasi (Firdaus I, et
al 2016).
VI. Antiarrhythmic Therapy
VII. Anticoagulant Therapy (untuk mengurangi resiko terjadinya emboli pada pasien
dengan atrial fibrilasi, tapi tidak diindikasikan pada pasien yang aktif dan tidak
punya riwayat emboli)
4. Terapi Inisiatif
a) Coronary Reperfusion, terutama pada akut gagal jantung berulang dihubungkan
dengan edema pulmonary.
b) Valvular Heart Disease.
c) Reduction ventriculoplasty meliputi eksisi pada bagian dari otot ventrikel kiri
yang diskinetik. Hal ini biasanya dilakukan pada gagal jantung kelas akhir.
d) Transmyocardial laser revascularization
e) Prosedur operasi perbaikan fungsi jantung
a. intra-aortic balloon pump
b. permanent implantable balloon pump
c. total artificial heart
f) Transplantasi Jantung (terapi paling efektif pada keadaan gagal jantung berat).
Penangan secara algoritma lihat diagram berikut ini:

(Siswanto. B, et al 2015)

BAB III
LAPORAN KASUS

No RM : 00360013
Ruangan : Jabal Rahmah
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Syaiful
Umur : 52 tahun
Status kawin : Kawin
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jl Rawa Saudara No.174, Medan Denai, Medan
RESUME
Keluhan Utama : Sesak Nafas
Telaah :

 Sesak nafas saat beraktivitas (+) 3 hari yang lalu


 Sesak nafas saat beristirahat dalam posisi terlentang (+) sejak 3 bulan yang lalu
 Nyeri dada kiri (+) yang muncul disertai dengan sesak
 Tidur terganggu (+) tidur dibantu dengan beberapa bantal
 Bengkak/Edema (+) pada tungkai kanan dan kiri
 Batuk (+) tidak berdahak dan paling sering pada malam hari
 Badan merasa kurang enak (+)
 Merasa capek/lemas (+)
 Merasa kurang sehat (+)
 Nafsu makan menurun (+)
 Malas (+)
 Pening (+)
 Nyeri yang berulang pada ulu hati (+)
 Mual (+)
 Mata berkunang – kunang (+)
 Muka pucat (+)
 Polidipsi (+)
 Poliuri (+)
 Penglihatan buram (+)
 Pekerjaan : Wirausaha
 Hygiene : Bersih
 BAB : 3x/hari, kuning kecoklatan dengan konsistensi lunak dan berampas
 BAK : 2000 ML ( pakai kateter ), kuning jernih
 RPT : DM sejak 5 tahun yang lalu, Hipertensi sejak 6 bulan yang lalu
 RPK : Tidak ada
 RPO : Captropil, Furosemide
 R. Alergi : Tidak ada
 R. Kebiasaan : Sering minum ramuan jamu dan begadang
 A. Makanan : Makan sayuran 3x/hari, daging dan ikan tidak
 A. Familiy : Anak 1, Hidup 1, Mati 0

STATUS PASIEN

Keadaan Umum Keadaan Penyakit Keadaaan Gizi


Sensorium : Apatis Anemia : Ya TB : 170 CM
Tekanan Darah : 172/100mmHg Ikterus : Tidak BB : 77 KG
Nadi : 65x/ menit Sianosis : Tidak
Nafas : 22x/menit Dysponoe : Ya RBW = 110%
Suhu : 36,8 ° C Edema : Ya Kesan : Overweight
Eritema : Tidak
Turgor : Baik IMT : 26,1 kg/cm²
Gerakan Aktif : Ya Kesan : Overweight
Sikap paksa : Tidak

PEMERIKSAAN FISIK

Kepala : Muka pucat (+), Konjungtiva Anemis (+ | +), Sklera Ikterik (- | -)

Leher : Pulsasi Vena (+), Peningkatan TVJ (R+4Cm H2O)


Thorax : - Thorax depan :
Inspeksi : Bentuk Fusiformis, Simetris
Palpasi : Fremmitus Ka = Ki, Iktus teraba (Lokalisasi : ICS VI linea
axillaris
anterior sinistra., Kuat Angkat : Ya. Melebar : Ya. Iktus Negatif :

Tidak)
Perkusi : Suara Perkusi Paru : Redup (pada paru kanan dan kiri bagian
bawah), Batas Paru Hati : Normal, Batas Jantung (Atas : ICS II
linea
parastrernalis sinistra, Kanan : ICS V linea parasternalis dextra,
Kiri : ICS VI linea axillaris anterior sinistra)
Auskultasi : Suara pernafasan : vesikuler, Suara tambahan : rhonki basah
pada
paru kanan dan kiri bagian bawah
- Thorax belakang :
Inspeksi : Bentuk Fusiformis, Simetris
Palpasi : Fremmitus Ka = Ki
Perkusi : Suara Perkusi Paru : Redup (pada paru kanan dan kiri bagian
bawah), Batas Bawah Paru : Normal
Auskultasi : Suara pernafasan : vesikuler, Suara tambahan : rhonki basah
pada paru kanan kiri bagian bawah
Abdomen : Nyeri tekan pada regio epigastric, Pekak Hati (+), Peristaltik usus 10x/menit
Ektremitas : Bengkak, Edema dan Gangguan Fungsi pada tungkai kanan dan kiri

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

 Darah : Hemoglobin (5,5 g/dl), Eritrosit (2,26 Juta/uL), Leukosit (8.300/uL),


Hematokrit (18%), Trombosit (433.000/uL), MCV (79,7 Fl), MCH
(24,3Pg), MCHC (30,4%), Eosinofil (0,6%), Basofil (0,3%), AST/SGOT
(23u/L), Ureum (112mg/dL), Kreatinin (2,7 mg/dL), Glukosa Darah (222
mg/dL).
 Urin :-
 Tinja :-
 Dll :-

DIAGNOSA
CHF ec Hypertensive Heart Disease + CKD + Anemia + DM Tipe II+ Hipertensi

TERAPI

 Aktivitas : Tirah Baring


 Diet : M2
 Medikamentosa :
 IVFD RL 20 gtt/i
 Ondansentron 4 mg/ 8 jam
 Furosemide 10 mg/ 12 jam
 Captopril 25 mg/ 3x1 hari
 Ranitidine 1 amp/ 12 jam
 Antasida syr 3x1 cth
 Omeprazole 40 mg/ 12 jam
 Amlodipin 10 mg 2x1
 Glimepirid 3 mg 1x1 ( pagi )
 ISDN 3 x 1
 Spironolakton 2 x 2,5 mg
 Rethapyl 2 x 1/2

BAB IV
DISKUSI

TEORI KASUS
Anamnesis
1. Dispnea Saat Aktivitas, (+) (+)
Istirahat, Tidur dan
Berbaring.
2. Batuk (+) (+)
3. Paroksismal nokturnal (+) (+)
dispneu
4. Mudah Lelah (+) (+)
5. Nafsu Makan Menurun (+) (+)
Pemeriksaan Fisik
1. Leher
Peningkatan JVP (+) (+)
2. Paru
Edem paru (+) (+)
Efusi pleura (+) (-)
Ronki basah paru (+) (+)
3. Jantung
Takikardi (+) (-)
Kardiomegali (+) (+)
Desah (+/-) (-)
Gallop (+) (-)
4. Eksremitas
Edema pada pergelangan kaki (+) (+)
5. Abdomen
Asites (+) (-)
Pemeriksaan penunjang
1. EKG
Takikardi (+) Tidak Dilakukan
Atrial Fibrilasi (+) Tidak Dilakukan
Aritmia Ventrikel (+/-) Tidak Dilakukan
Iskemi/infark (+/-) Tidak Dilakukan
2. Foto toraks
Efusi Pleura (+/-) Tidak Dilakukan
kardiomegali (+/-) Tidak Dilakukan
Hipertrofi ventrikel (+/-) Tidak Dilakukan
Edema intertisial (+/-) Tidak Dilakukan
Pengobatan
1. Medikamentosa
Diuretik
Loop diuretik Furosemide (+)
Furosemid
Aldosteron Antagonist Spironolakton (+)
Spironolakton
ACE Inhibitor (+)
(Captopril)
ARB (-)
(Candesarta)
β-Blocker (-)
(Bisoprolol)
Vasodilator ISDN (+)
Isosorbide Dirutrate (ISDN)
Dobutamin , Dopamine (-)
2. Non medimentosa
Istirahat (+)
BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan satu kasus Congestive Heart Failure, diagnosa ditegakkan secara
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan karena pasien
tidak bersedia, pasien ini di diagnosa CHF dengan et causa Hypertensive Heart Disease.
Setelah keadaan membaik pasien diperbolehkan untuk pulang namun tetap harus dilakukan
kontrol rutin ke rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2010. Heart Disease And Stroke Statistics-2010 Update.
Available from: http://www.americanheart.org. [Accessed September 4 2012]

Ball, J. W., Dains, J. E., Flynn, J. A., Solomon, B. S., & Stewart, R. W. 2015. Seidel’s
Guide to Physical Examination (8th ed.). New York: Elsevier.

Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Ed 12. Jakarta : EGC

Davis, R.C., Hobbs, F.D.R. and Lip, G.Y.H., 2000. Clinical review: ABC of heart
failure. BMJ, 320(9), pp.39-42.

Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2008: the Task Force for the
Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 of the
European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2008;29:2388– 2442

Figueroa MS and Peters JI. 2006. Congestive Heart Failure: Diagnosis,


Pathophysiology,Therapy, and Implications for Respiratory Care. Respir Care.
51(4), pp. 403– 412

Firdaus. I, A.U. Rahajoe, A. F. Yahya, et al 2016. Panduan Praktik Klinis (PPK) dan
clinical pathway (CP) penyakit jantung dan pembuluh darah. Edisi 1. Halaman 32-
36.

Haji S and Movahed A. 2000. Update on Digoxin Therapy in Congestive Heart


Failure. American Family Physician vol 62 no 2.

Handler, C. and Coghlan, G., 2018. Management of Cardiac Problems in Primary


Care: Heart Failure. CRC Press, page 69.

Kemetrian Kesehatan RI. 2014. Situasi Kesehatan Jantung. Jakarta

Kemenkes RI. 2013. Kementerian Kesehatan RI: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.

Lily, I. R., Faisal, B., Santoso, K. K., Poppy, S. R. 1998, Buku Ajar Kardiologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Medical CRITERIA. 2005. Framingham Criteria for Congestive Heart Failure. In turn
citing: Framingham study 1971

Mustafa, S., Yamada, A.T., Lima, F.M., Carvalho, V.M., Aiello, V.D. and Castelli,
J.B., 2015. Case 4-A 79-Year-Old Man with Congestive Heart Failure Due to
Restrictive Cardiomyopathy. Arquivos brasileiros de cardiologia, 105(4), pp.430-
439.

National Clinical Guideline Centre. 2010. Chronic Heart Failure: National Clinical
Guideline for Diagnosis and Management in Primary and Secondary Care: Partial
Update. National Clinical Guideline Centre: 34–47.

Osama GMD. 2002. Topic Review – Heart Failure. Albany Medical Review. January
2002.

Panggabean, M. 2009. Gagal jantung : Aru W. Sudoyo., Bambang S., Idrus A. Editors:
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (Jilid II edisi V). Jakarta: Interna Publishing. Hal
1583-1584

Rachma, L.N., 2014. Patomekanisme Penyakit Gagal Jantung Kongestif. El-Hayah,


4(2), pp.81-90.

Ramani GV, Uber PA, 2010. Chronic heart fail-ure: contemporary diagnosis and
management. Mayo Clin. Proc.;85:180–195.

Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M. and Moore, P.K., 2003. Pharmacology, 5th edn.
Churchill Livingstone. Edinburgh, Scotland.

Shigeyama J, Yasumura Y, Sakamoto A, et al. 2005. Increased gene expression of


collagen Types I and III is inhibited by beta-receptor blockade in patients with
dilated cardiomyopathy. Eur. Heart J. 26 (24): 2698–705.

Siswanto. B, Hersunarti. N, Erwinanto et al 2015. Buku pedoman tatalaksana gagal


jantung. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Edisi 1.
Halaman 4-9

Soeparman. 2001. Ilmu Penyakit Dalam: Gagal Jantung. Jilid II. Edisi 3. Jakarta :
FKUI. Hal 127. ISBN 0-443-07145-4.

Storrow AB. 2007. Advances in the diagnosis of chf: new markers. Modern Advances
In Emergency Cardiac Care, p. 38-46.

Taufan, N. Bunga, T.P., & Dara, K.P. 2016. Teori Asuhan Keperawatan Gawat
Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika

Tsutsui H, Matsushima S, Kinugawa S, et al. May 2007. Angiotensin II type 1 receptor


blocker attenuates myocardial remodeling and preserves diastolic function in
diabetic heart. Hypertens. Res. 30(5): 439–49.

Udjianti, W.J. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika

Ponikowski, P. Voors, A. A., Anker, S. D., Bueno, H., Cleland, J. G. F., Coats, A. J.
S., van der Meer, P. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute
and chronic heart failure. European Heart Journal, 37(27), 2129–2200.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehw 128

Anda mungkin juga menyukai