Anda di halaman 1dari 41

BAB I PENDAHULUAN

Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Definisi gagal yaitu relatif terhadap kebutuhan metabolik tubuh, penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium, gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulasi dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi pompanya.1 Angka kejadian CHF semakin meningkat dari tahun ke tahun, tercatat 1,5% sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita CHF dan 700.000 diantaranya harus dirawat di rumah sakit per tahun. Faktor risiko terjadinya gagal jantung yang paling sering adalah usia lanjut, 75 % pasien yang dirawat dengan CHF berusia antara 65 dan 75 tahun. Terdapat 2 juta kunjungan pasien rawat jalan per tahun yang menderita CHF, biaya yang dikeluarkan diperkirakan 10 miliar dollar per tahun. Faktor risiko terpenting untuk CHF adalah penyakit arteri koroner dengan penyakit jantung iskemik. Hipertensi adalah faktor risiko terpenting kedua untuk CHF. Faktor risiko lain terdiri dari kardiomiopati, aritmia, gagal ginjal, dan penyakit katup jantung.2 Dengan data perkembangan seperti ini, penyakit jantung kongestif oleh kelainan katup akan menyebabkan permasalahan yang signifikan bagi masyarakat global dan bukan tidak mungkin dalam kurun beberapa tahun kedepan angka statistik ini akan bergerak naik jika para praktisi medis khususnya tidak segera memperhatikan faktor risiko utama yang menjadi awal mula penyakit ini. Dengan demikian perlu adanya penanganan dari segala aspek baik secara biomedik maupun biopsikososial. Dan untuk itu kasus ini diangkat sebagai salah satu bentuk

tanggung jawab sebagai praktisi medis agar dapat mengenal penyakit ini lebih rinci sebelum benar-benar mengaplikasikan teori pengobatan yang rasional.

BAB II LAPORAN KASUS I IDENTITAS PASIEN Nama Jenis kelamin Umur Alamat Pekerjaan Status Agama Tanggal MRS RM : Tn.B : Laki-laki : 65 tahun : Camba : Pensiunan : Menikah : Islam : 12 Agustus 2013 : 152075

II. STATUS PRESENT Anamnesis Keluhan Utama : Autoanamnesis : Sesak Nafas

Anamnesis Terpimpin : Sesak Nafas dialami sejak 2 bulan yang lalu dan memberat 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan setelah melakukan aktivitas, seperti Berjalan, naik tangga. Sesak terus-menerus. Terutama saat Berbaring. Pasien sering terbangun pada malam hari karena sesaknya. Pasien lebih nyaman tidur dengan menggunakan 3 Bantal. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca. Nyeri dada dirasakan kadang-kadang. Nyeri dada sebelah kiri menjalar ke lengan kiri dan dagu, terasa tertindih beban berat. Pasien semakin membatasi aktivitas fisik karena bila banyak bergerak pasien merasa sesak dan sakit dada.

Anamnesis Sistematis : Demam (-) Kejang (-) Batuk (+) kadang-kadang pada alam hari, Lendir (-) Mual (-) Muntah (-) Nyeri Perut (-) Nyeri Ulu Hati (-) Edema Ekstremitas (-) Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat asma, alergi, gastritis, stroke, dan Diabetes mellitus disangkal Pasien menderita tekanan darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu, tidak terkontrol obat. Riwayat sering Nyeri dada sejak 2 tahun yang

lalu.Riwayat dirawat di RS Salewangang sejak 1 tahun yang lalu dengan diagnosis PJK+HT. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat darah tinggi, Diabetes mellitus, penyakit jantung, asma disangkal

I.3 PEMERIKSAAN FISIK Status Generalisasi : Sakit Berat/Obesitas 1/Compos Mentis Tinggi badan : 160 cm Berat Badan : 75 kilogram IMT =BB/TB2 = 75/1,602 = 29,2 kg/m2 (Obesitas 1) Status Vitalis : T : 160/100 mmHg P : 24 x/menit KEPALA: Ekspresi : Biasa N : 100 x/menit S : 36,5C

Simetris muka : Simetris kiri = kanan Deformitas Rambut : (-) : hitam lurus, alopesia (-)
4

MATA: Eksoptalmus/Enoptalmus Gerakan Kelopak Mata Konjungtiva Sklera Kornea Pupil : (-) : Ke segala arah : Edema (-) : Anemis (-) : Ikterus (-) : Jernih : Bulat isokor

TELINGA: Pendengaran Tophi : Dalam batas normal : (-)

Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-) HIDUNG: Perdarahan Sekret MULUT: Bibir Lidah Tonsil Faring Gigi geligi Gusi LEHER: Kelenjar getah bening Kelenjar gondok DVS Pembuluh darah Kaku kuduk Tumor DADA: Inspeksi : : Tidak ada pembesaran : Tidak ada pembesaran : R+2 cmH2O : Tidak ada kelainan : (-) : (-) : Pucat (-), kering (-) : Kotor (-),tremor (-), hiperemis (-), kandidiasis oral (-) : T1 T1, hiperemis (-) : Hiperemis (-) : Dalam batas normal : Dalam batas normal, Perdarahan (-) : (-) : (-)

Bentuk Pembuluh darah Sela iga Lain lain : (-)

: Simetris kiri = kanan : Tidak ada kelainan : Dalam batas normal

PARU Palpasi Fremitus raba Nyeri tekan Perkusi Paru kiri Paru kanan Batas paru-hepar Batas paru belakang kanan Batas paru belakang kiri Auskultasi : : Bronkovesikuler : Rh +/+, Wh -/: : kiri = kanan : (-) : : Sonor : Sonor : ICS VI dekstra anterior : CV Th. X dekstra : CV Th. XI sinistra

Bunyi pernapasan Bunyi tambahan JANTUNG: Inspeksi Palpasi Perkusi

: Ictus cordis tidak tampak : Ictus cordis tidak teraba : Pekak, Batas jantung kesan melebar 1 jari lateral Linea

Midclavicularis sinistra ICS VI Auskultasi PERUT: Inspeksi Auskultasi Palpasi : Datar, ikut gerak napas, tumor (-) : Peristaltik (+), kesan normal : Nyeri tekan (-), Massa tumor (-) Perkusi Hepar tidak teraba Lien tidak teraba. : Bunyi jantung I/II redup, bunyi gallop (+)

: Timpani, pekak hepar (+)

ALAT KELAMIN Tidak dilakukan pemeriksaan ANUS DAN REKTUM Tidak dilakukan pemeriksaan PUNGGUNG Palpasi Nyeri ketok Auskultasi Gerakan Lain lain : Nyeri tekan (-), Massa tumor (-) : (-) : BP: bronkovesikuler, Rh -/-, Wh -/: Dalam batas normal : (-)

EKSTREMITAS: Edema Deformitas : -/: -/-

I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG : PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA: EKG: Kesan: -Old Miokard Infark Sinus Rhythm Left Axis Deviation Q Patologis. Lead II, III, AVR, AVF, AVL, V1-V6

I.5 ASSESSMENT CHF NYHA II ec. PJK Hipertensive Heart Disesase Hipertensi Grade II

I.6 PLANNING Pengobatan: Diet rendah lemak


7

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm Fasorbid 10 mg 3 x 1 Aspilet 80 mg 1 x 1 Fasorbid 5 mg / Sub Lingual -- Bila Nyeri Dada Captopril 25 mg 1-1-1 Bisoprolol 5 mg 1-0-0 Furosemide 40 mg 1-0-0 Clopidogrel 75 mg 0-0-1 Pasang Catheter urin Balance Cairan

Rencana Pemeriksaan : Darah rutin Laju endap darah PT/APTT GOT/GPT Ureum, Creatinin HBsAg, Anti HCV GDS Enzim CK/CKMB Foto Thorax Echocardiografi Quad ad vitam : Dubia at Bonam Quad ad sanationam : Dubia at Bonam Quad ad functionan: Dubia at Bonam

PEMERIKSAAN PENUNJANG Tanggal 12 Agustus 2013 No Pemeriksaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Hemoglobin Eritrosit Trombosit Leukosit Ureum Kreatinin SGOT SGPT Cholesterol total HDL LDL Trigliserida GDS Hasil 14,4 g/dl 4.270.000 181.000 11.400/mm3 29 mg/dl 1,1 mg/dl 75 U/I 46 U/I 202 mg/dl 34 mg/dl 126 mg/dl 208 mg/dl 117 mg/dl

I.7 FOLLOW UP TANGGAL 2/08/2013 T : 160/100 N : 100 x/i P : 20 x/i S : 36,8 C PERJALANAN PENYAKIT S: Sesak Napas (+) Demam (-) Nyeri perut (-) Nyeri Ulu Hati (-) Mual (-), muntah (-) BAB :Biasa BAK : lancar O: SS / GK / CM Anemis (-), ikterus (-) MT (-), NT (-), DVS R+2 cmH2O BP : vesikuler, BT : Rh +/+ , Wh -/ BJ : I/II redup . Gallop (+) Peristaltik (+)kesan N, Hepatomegali (-) Splenomegali (-) Ext : Edema -/-, peteki -/Rencana periksa: EKG Echokardiografi Foto Thorax Dr,UL Ur/Kr SGOT/SGPT Profil Lipid GDP/GDS INSTRUKSI DOKTER P: Diet Rendah Lemak IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm Fasorbid 10 mg 3 x 1 Aspilet 80 mg 1 x 1 Fasorbid 5 mg/ SL Captopril 25 mg 1-1-1 Bisoprolol 5 mg 1-0-0 Furosemide 40 mg 10-0 Clopidogrel 75 mg 00-1

Nyeri Dada kadang-kadang (+) -

A: CHF NYHA II ec.PJK HHD HT grade II

10

3/08/2013 T : 140/100 N : 84 x/i P : 18 x/i S : 36,5 C

S: Sesak Napas (+) Demam (-)

P: Diet Rendah Lemak IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm Fasorbid 10 mg 3 x 1 Aspilet 80 mg 1 x 1 Fasorbid 5 mg/ SL Captopril 25 mg 1-1-1 Bisoprolol 5 mg 1-0-0 Furosemide 40 mg 10-0 Clopidogrel 75 mg 00-1

Nyeri Dada kadang-kadang (+) Nyeri perut (-) Nyeri Ulu Hati (-) Mual (-), muntah (-) BAB :Biasa BAK : lancar O: SS / GK / CM Anemis (-), ikterus (-) MT (-), NT (-), DVS R+2 cmH2O BP : vesikuler, BT : Rh +/+ , Wh -/ BJ : I/II redup . Gallop (+) Peristaltik (+)kesan N, Hepatomegali (-) Splenomegali (-) Ext : Edema -/-, peteki -/-

Rencana periksa: EKG Echokardiografi Foto Thorax Dr,UL Ur/Kr SGOT/SGPT Profil Lipid GDP/GDS

A: CHF NYHA II ec.PJK HHD HT grade II

11

4/08/2013 T : 140/100 N : 80 x/i P : 20 x/i S : 36,5 C

S: Sesak Napas (+)

P:

Nyeri Dada kadang-kadang (+) Demam (-) Nyeri perut (-) Nyeri Ulu Hati (-) Mual (-), muntah (-) BAB :Biasa BAK : lancar O: SS / GK / CM Anemis (-), ikterus (-) MT (-), NT (-), DVS R+2 cmH2O BP : vesikuler, BT : Rh +/+ , Wh -/ BJ : I/II redup . Gallop (+) Peristaltik (+)kesan N, Hepatomegali (-) Splenomegali (-) Ext : Edema -/-, peteki -/-

Diet Rendah Lemak IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm Fasorbid 10 mg 3 x 1 Aspilet 80 mg 1 x 1 Fasorbid 5 mg/ SL Captopril 25 mg 1-1-1 Bisoprolol 5 mg 1-0-0 Furosemide 40 mg 10-0 Clopidogrel 75 mg 00-1

A: CHF NYHA II ec.PJK HHD HT grade II

12

5/08/2013 T : 140/100 N : 80 x/I P : 18 x/i S : 36,7 C

S: Sesak Napas (+) Demam (-)

P: Diet Rendah Lemak IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm Fasorbid 10 mg 3 x 1 Aspilet 80 mg 1 x 1 Fasorbid 5 mg/ SL Captopril 25 mg 1-1-1 Bisoprolol 5 mg 1-0-0 Furosemide 40 mg 10-0 Clopidogrel 75 mg 00-1

Nyeri Dada kadang-kadang (+) Nyeri perut (-) Nyeri Ulu Hati (-) Mual (-), muntah (-) BAB :Biasa BAK : lancar O: SS / GK / CM Anemis (-), ikterus (-) MT (-), NT (-), DVS R+2 cmH2O BP : vesikuler, BT : Rh +/+ , Wh -/ BJ : I/II redup . Gallop (+) Peristaltik (+)kesan N, Hepatomegali (-) Splenomegali (-) Ext : Edema -/-, peteki -/-

A: CHF NYHA II ec.PJK HHD HT grade II

13

6/08/2013 T : 130/90 N : 80 x/i P : 20 x/i S : 36,6 C

S: Sesak Napas (+)

P:

Nyeri Dada kadang-kadang (+) Demam (-) Nyeri perut (-) Nyeri Ulu Hati (-) Mual (-), muntah (-) BAB :Biasa BAK : lancar O: SS / GK / CM Anemis (-), ikterus (-) MT (-), NT (-), DVS R+2 cmH2O BP : vesikuler, BT : Rh +/+ , Wh -/ BJ : I/II redup . Gallop (+) Peristaltik (+)kesan N, Hepatomegali (-) Splenomegali (-) Ext : Edema -/-, peteki -/-

Diet Rendah Lemak IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm Fasorbid 10 mg 3 x 1 Aspilet 80 mg 1 x 1 Fasorbid 5 mg/ SL Captopril 25 mg 1-1-1 Bisoprolol 5 mg 1-0-0 Furosemide 40 mg 10-0 Clopidogrel 75 mg 00-1

A: CHF NYHA II ec.PJK HHD HT grade II

14

1.8 RESUME Seorang laki laki berusia 65 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan utama Sesak Napas dialami sejak 2 bulan yang lalu dan memberat 3 hari sebelum masuk rumah sakit. . Sesak dirasakan setelah melakukan aktivitas, seperti Berjalan, naik tangga. Sesak terus-menerus. Terutama saat Berbaring. Pasien sering terbangun pada malam hari karena sesaknya. Pasien lebih nyaman tidur dengan menggunakan 3 Bantal. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca. Nyeri dada dirasakan kadang-kadang. Nyeri dada sebelah kiri menjalar ke lengan kiri dan dagu, terasa tertindih beban berat. Pasien semakin membatasi aktivitas fisik karena bila banyak bergerak pasien merasa sesak dan sakit dada. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat asma, alergi, gastritis, stroke, dan Diabetes mellitus disangkal Pasien menderita tekanan darah tinggi sejak 5 tahun yang lalu, tidak terkontrol obat. Riwayat dirawat di RS Salewangang sejak 1 tahun yang lalu dengan diagnosis PJK+HT.

Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat darah tinggi, Diabetes mellitus, penyakit jantung, asma disangkal

Pemeriksaan Fisik: Tanda vital: tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 124 x/menit, pernapasan 32 x/menit, suhu axilla 38,3C. Hasil pemeriksaan fisik pada kepala, leher, toraks, dan ekstremitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen Hepar tidak teraba. Lien tidak teraba. Peristaltik kesan normal.

15

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien dapat dicurigai menderita Infark Miokard Lama

I.9 ANALISIS KASUS Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan / atau kemampuannya hanya ada kalau disertau peninggian volume diastolik secara abnormal. Faktor predisposisi gagal jantung adalah penyakit yang menimbukan penurunan fungsi ventrikel (seperti penyakit arteri koroner, hipertensi, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah atau penyakit jantung kongenital) dan keadaan yang membatasi pengisian ventrikel (stenosis mitral, kardiomiopati, atau penyakit perikardial). Faktor pencetus termasuk mieningkatnya asupan garam,

ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal jantung, infark miokard akut (mungkin yang tersembunyi), serangan hipertensi, aritmia akut, infeksi atau demam, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, dan endokarditis infektif.

Manifestasi Klinis Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan, gagal jantung terbagi atas gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, dan gagal jantung kongestif. Gejala dan tanda yang timbul pun berbeda, sesuai dengan pembagian tersebut. Pada gagal jantung kiri terjadi dyspnea deffort , fatig, ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventricular heaving, bunyi derap S3 dan S4, pernafasan Cheyne Stokes, takikarsi, pulsus alternans, ronki dan kongesti vena pulmonalis. Pada gagal jantung kanan timbul fatig, edema, liver engorgement, anoreksia, dan kembung. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan hipertrofi jantung kanan, heaving ventrikel kanan, irama derap atrium kanan, murmur, tanda tanda penyakit paru kronik, tekanan vena jugularis meningkat, bunyi P2 mengeras, asites, hidrotoraks, peningkatan tekanan vena, hepatomegali,

16

dan edema pitting. Sedang pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan. New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas : Kelas 1 Kelas 2 : Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari hari tanpa keluhan. Kelas 3 : Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan Kelas 4 : Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring

Diagnosis Gagal Jantung Kongestif (Kriteria Framingham) Kriteria mayor 1. Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea 2. Peningkatan tekanan vena jugularis 3. Ronki basah tidak nyaring 4. Kardiomegali 5. Edema paru akut 6. Irama derap S3 7. peningkatan tekanan vena >16 cm H2O 8. Refluks hepatojugular

Kriteria Minor 1. edema pergelangan kaki 2. Batuk malam hari 3. Dyspnea deffort 4. Hepatomegali 5. Efusi pleura 6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum 7. Takikardi (>120x/menit)

17

Kriteria mayor atau minor Penurunan berat badan >4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi

Diagnosis ditegakkan dari 2 kriteria mayor; atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor harus ada pada saat yang bersamaan.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan foto torkas dapat mengarah ke kardiomegali, corakan vaskular paru menggambarkan kranialisasi, garis Kerley A/B, infiltrat prekordial kedua paru, dan efusi pleura. Fungsi elektrokardiografi (EKG) untuk melihat penyakit yang mendasari seprti infark miokard dan aritmia. Pemeriksaan lain seperti pemeriksaan Hb, elektrolit, ekokardiografi, angiografi, fungsi ginjal, dan fungsi tiroid dilakukan atas indikasi.

Penatalaksanaan 1. Memperbaiki oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat / pembatasan aktivitas. 2. Memperbaiki kontraktilitas otot jantung. Mengatasi keadaan yang reversibel, termasuk tiroktoksikosis, miksedema, dan aritmia. Digitalisasi : a. Dosis digitalis : 1. Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5 2 mg dalam 4 6 dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2 x 0,5 mg selama 2 4 hari. 2. Digoksin iv 0,75 1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam. 3. Cedilanid iv 1,2 1,6 mg dalam 24 jam b. Dosis penunjang untuk gagal jantung ; digoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien usia lanjut dan gagal jantung disesuaikan.

18

c. Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg. d. Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat : 1. Digoksin : 1 1,5 mg iv perlahan lahan 2. Cedilanid 0,4 0,8 mg iv perlahan lahan

Cara pemberian digitalis Dosis dan cara pemberian digitalis bergantung pada beratnya gagal jantung. Pada gagal jantung berat dengan sesak nafas hebat dan takikardia lebih dari 120/menit, biasanya diberikan digitalisasi cepat. Pada gagal jantung ringan diberikan digitalisasi lambat. Pemberian digitalisasi per oral paling sering dilakukan karena paling aman. Pemberian dosis besar tidak selalu perlu, kecuali bila diperlukan efek maksimal secepatnya, misalnya pada fibrilasi atrium rapid response. Dengan pemberian oral dosis biasa (pemeliharaan, kadar terapeutik dalam plasma dicapai dalam waktu 7 hari. Pemberian secara intravena hanya dilakukan pada keadaan darurat, harus dengan hati hati, dan secara perlahan lahan.

Kontraindikasi pemberian digitalis Keadaan keracunan digitalis berupa bradikardia,

gangguan irama, dan konduksi jantung berupa AV blok derajat II dan III atau ekstrasistolik ventrikular lebih dari 5 kali per menit. Gejala lain yang ditemui pada intoksikasi digitalis adalah anoreksia, mual, muntah, diare dan gangguan penglihatan. - Kontraindikasi relatif : penyakit kardiopulmonal, infark miokard akut (hanya diberi per oral), idiopathic hypertrophic subaortic stenosis, gagal ginjal (dosis obat

19

lebih rendah), miokarditis hebat, hipokalemia, penyakit paru obstruktif kronik, dan penyertaan obat yang menghambat konduksi jantung. 3. Menurunkan beban jantung Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam, diuretik dan vasodilator a. Diet rendah garam Pada gagal jantung dengan NYHA kelas IV, penggunaan diuretik, digoksin dan penghambat angiotensin

converting enzyme (ACE) diperlukan mengingat usia harapan hidup yang pendek. Untuk gagal jantung kelas II dan III diberikan : 1. Diuretik dalam dosis rendah atau menengah (furosemid 40 80 mg) 2. Digoksin pada pasien dengan fibrilasi atrium maupun kelainan irama sinus 3. Penghambat ACE (kaptopril mulai dosis 2 x 6,25 mg atau setara penghambat ACE yang lain, dosis ditingkatkan secara bertahap dengan memperhatikan tekanan darah pasien); isosorbid dinitrat (ISDN) pada pasien dengan kemampuan aktivitas yang terganggu atau adanya iskemia yang menetap, dosis dimulai 3 x 10 15 mg. Semua obat ini harus dititrasi secara bertahap. 4.

b. Diuretik Yang digunakan furosemid 40 80 mg. Dosis penunjang rata rata 20 mg. Efek samping berupa hipokalemia dapat diatasi dengan suplai garam kalium atau diganti dengan spironolakton. Diuretik lain yang dapat digunakan

20

antara lain hidroklorotiazid, klortalidon, triamteren, amilorid dan asam etakrinat. Dampak diuretik yang mengurangi beban awal tidak mengurangi curah jantung atau kelangsungan hidup, tapi merupakan pengobatan garis pertama karena mengurangi gejala dan perawatan di rumah sakit. Penggunaan penghambat ACE bersama diuretik hemat kalium maupun suplemen kalium harus berhati hati karena

memungkinkan timbulnya hiperkalemia.

c. Vasodilator - Nitrogliserin 0,4 0,6 mg sublingual atau 0,2 2 ug/kgBB/menit iv - Nitroprusid 0,5 1 ug/kgBB/menit iv - Prazosin per oral 2 5 mg - Penghambat ACE : kaptopril 2 x 6,25 mg Dosis ISDN adalah 10 40 mg peroral atau 5 15 mg sublingual setiap 4 6 jam. Pemberian nitrogliserin secara intravena pada keadaan akut harus dimonitor ketat dan dilakukan di ICCU. Kaptopril sebaiknya dimulai dari dosis kecil 6,25 mg. Untuk dosis awal ini perlu diperhatikan efek samping hipotensi yang harus dimonitor dalam 2 jam pertama setelah pemberian. Jika secara klinis tidak ada tanda tanda hipotensi maka dosis dapat ditingkatkan secara bertahap sampai 3 x 25 100 mg. Kaptopril dapat menimbulkan hipoglikemia dan gangguan fungsi ginjal. Dosis awal enalapril 2 x 2,5 mg dapat dinaikkan perlahan lahan sampai 2 x 10 mg.

21

PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSIF

Penyakit jantung hipertensif ditegakkan bila dapat dideteksi hipertrofi ventrikel kiri sebagai akibat langsung dari peningkatan bertahap tahanan pembuluh perifer dan beban akhir ventrikel kiri. Faktor yang menentukan hipertrofi ventrikel kiri adalah derajat dan lamanya peningkatan diastolik. Pengaruh faktor genetik di sini lebih jelas. Fungsi pompa ventrikel kiri selama hipertensi berhubungan erat dengan penyebab hipertrofi dan terjadinya aterosklerosis sekunder.

Patofisiologi Pada stadium permulaan hipertensi, hipertrofi yang terjadi adalah difus (konsentrik). Rasio massa dan volume akhir diastolik ventrikel kiri meningkat tanpa perubahan yang berarti pada fungsi pompa efektif ventrikel kiri. Pada stadium selanjutnya, karena penyakit berlanjut terus, hipertrofi menjadi tak teratur, dan akhirnya akibat terbatasnya aliran darah koroner, menjadi eksentrik. Berkurangnya rasio antara massa dan volume jantung akibat peningkatan volume diastolik akhir adalah khas pada jantung dengan hipertrofi eksentrik. Hal ini diperlihatkan sebagai penurunan secara menyeluruh fungsi pompa (penurunan fraksi ejeksi, peningkatan tegangan dinding ventrikel pada saat sistolik, peningkatan konsumsi oksigen otot jantung, serta penurunan efek mekanik pompa jantung). Diperburuk lagi bila disertai dengan penyakit jantung koroner. Walaupun tekanan perfusi koroner meningkat, tahanan pembuluh koroner juga meningkat sehingga cadangan aliran darah koroner berkurang. Perubahan hemodinamik sirkulasi koroner pada hipertensi berhubungan erat dengan derajat hipertrofi otot jantung. Ada 2 faktor utama penyebab penurunan cadangan aliran darah koroner, yaitu : 1. Penebalan arteriol koroner, yaitu bagian dari hipertrofi umum otot polos pembuluh darah resistensi arteriol (arteriolar resistance vessels) seluruh badan. Kemudian terjadi retensi garam dan air yang mengakibatkan

22

berkurangnya compliance perifer.

pembuluh ini dan meningkatnya tahanan

2. Peningkatan hipertrofi mengakibatkan berkurangnya kepadatan kapiler per unit otot jantung bila timbul hipertrofi eksentrik. Peningkatan jarak difusi antara kapiler dan serat otot yang hipertrofi menjadi faktor utama pada stadium lanjut dari gambaran hemodinamik ini.

Jadi faktor koroner pada hipertensi berkembang menjadi penyakit, meskipun tampak sebagai penyebab patologis yang utama dari gangguan aktivitas mekanik ventrikel kiri.

Manifestasi Klinis Pemeriksaan yang paling sederhana adalah palpasi. Pada hipertrofi konsentrik lama, iktus bertambah. Bila telah terjadi dilatasi ventrikel kiri, iktus kordis bergeser ke kiri bawah. Pada auskultasi pasien dengan hipertrofi konsentrik dapat ditemukan S4 dan bila sudah terjadi dilatasi jantung didapatkan tanda tanda insufisiensi mitral relatif. Pada stadium dini hipertensi, tampak tanda tanda akibat rangsangan simpatis yang kronik. Jantung berdenyut cepat dan kuat. Terjadi hipersirkulasi yang mungkin diakibatkan peningkatan aktivitas sistem neurohumoral disertai hipervolemia. Pada stadium selanjutnya, timbul mekanisme kompensasi pada otot jantung berupa hipertrofi ventrikel kiri yang masih difus dan peningkatan tahanan pembuluh darah perifer. Gambaran klinis seperti sesak nafas adalah salah satu gejala gangguan fungsi diastolik, dan peningkatan tekanan pengisian ventrikel walaupun fungsi sistolik masih normal. Bila berkembang terus, terjadi hipertrofi eksentrik dan akhirnya menjadi dilatasi ventrikel kemudian timbul gejala payah jantung. Stadium ini kadangkala disertai dengan gangguan sirkulasi pada cadangan aliran darah koroner dan akan memperburuk kelainan fungsi mekanik / pompa jantung yang selektif.

23

Pemeriksaan Penunjang Pada foto toraks posisi posteroanterior pasien hipertrofi konsentrik, besar jantung dalam batas normal. Pembesaran jantung ke kiri terjadi bila sudah ada dilatasi ventrikel kiri. Terdapat elongasi aorta pada hipertensi yang kronik dan tanda tanda bendungan pembuluh paru pada stadium payah jantung hipertensi. Pemeriksaan laboratorium darah rutin yang diperlukan adalah ht serta ureum dan kreatinin untuk menilai fungsi ginjal. Selain itu juga elektrolit untuk melihat kemungkinan adanya kelainan hormonal aldosteron.

Pemeriksaan laboratorium urinalisis juga diperlukan untuk melihat adanya kelainan pada ginjal. Pada EKG tampak tanda tanda hipertrofi ventrikel kiri dan strain. Ekokardiografi dapat mendeteksi hipertrofi ventrikel kiri secara dini mencakup kelainan anatomik dan fungsional jantung pasien hipertensi asimtomatik yang belum didapatkan kelaina pada EKG dan radiologi. Perubahan perubahan yang dapat terlihat adalah sebagai berikut : 1. Tanda tanda hipersirkulasi pada stadium dini, seperti hiperkinesis, hipervolemia 2. Hipertrofi yang difus (konsentrik) atau yang iregular eksentrik. 3. Dilatasi ventrikel yang dapat merupakan tanda tanda payah jantung, serta tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat. 4. Tanda tanda iskemia seperti hipokinesis dan pada stadium lanjut adanya diskinetik.

Penatalaksanaan Pengobatan ditujukan untuk menurunkan tekanan darah menjadi normal, mengobati payah jantung karena hipertensi, mengurangi morbiditas dan mortalitas terhadap penyakit kardiovaskular, dan menurunkan faktor risiko terhadap penyakit kardiovaskular semaksimal mungkin. Untuk menurunkan tekanan darah dapat ditinjau 3 faktor fisiologis yaitu, menurunkan isi cairan intravaskular dan Na darah dengan diuretik,

24

menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan respons kardiovaskular terhadap rangsangan adrenergik dengan obat dari golongan antisimpatis, dan menurunkan tahanan perifer dengan obat vasodilator.

PENYAKIT JANTUNG KORONER Penyakit jantung koroner/ penyakit arteri koroner (penyakit jantung artherostrofik) merupakan suatu manifestasi khusus dan arterosclerosis pada arteri koroner. Plaque terbentuk pada percabangan arteri yang ke arah aterion kiri, arteri
25

koronaria kanan dan agak jarang pada arteri sirromflex. Aliran darah ke distal dapat mengalami obstruksi secara permanen maupun sementara yang di sebabkan oleh akumulasi plaque atau penggumpalan. Sirkulasi kolateral berkembang di sekitar obstruksi arteromasus yang menghambat pertukaran gas dan nutrisi ke miokardium. Kegagalan sirkulasi kolateral untuk menyediakan supply oksigen yang adekuat ke sel yang berakibat terjadinya penyakit arteri koronaria, gangguan aliran darah karena obstruksi tidak permanen (angina pektoris dan angina preinfark) dan obstruksi permanen (miocard infarct). Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit. Walaupun laju mortalitas menurun sebesar 30% dalam dua dekade terakhir, sekitar 1 diantara 25 pasien yang tetap hidup pada perawatan awal, meninggal dalam tahun pertama setelah IMA, Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak stabil, IMA tanpa elevasi ST (NSTEMI) dan IMA dengan elevasi ST (STEMI).

II.2 . Patofisiologi STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada

26

sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisura, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid. Pada STEMI gambaran patologik klasik terdiri dari trombus merah kaya fibrin, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberi respons terhadap terapi trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, serotonin, epinefrin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan Tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuens asam amino pada protein adesi yang larut (integrin) seperti vWF dan fibrinogen, di mana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin.

27

Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik. II.3 Diagnosis Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 1 mm, minimal pada 2 sandapan yang berdampingan. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim.

1. Anamnesis Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung. Selanjutnya perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya, serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM, dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga, Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI dapat terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur. Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sbb: Lokasi: sub/retrosternal, prekordial Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas, dan dipelintir

28

Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah makan Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas

2. Pemeriksaan fisis Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Seperempat pasien infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi). Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 0C dapat dijumpai pada minggu pertama pasca STEMI. 3. Elektrokardiografi (EKG) Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan

29

elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard nongelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.

4. Laboratorium Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker. Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard). CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase (LDH)

30

Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.

II.3. Penatalaksanaan Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.

1. Tatalaksana awal Tatalaksana pra-rumah sakit. Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI a.l: Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih Melakukan terapi reperfusi Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko

31

rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI. 2. Tatalaksana umum Oksigen. Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. Nitrogliserin (NTG). Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen dengan menurunkan preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung dapat diberikan NTG intravena. NTG IV juga dapat diberikan untuk mengendalikan hipertensi dan edema paru. Terapi nitrat harus dihindarkan pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan fosfodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat. Mengurangi/menghilangkan nyeri dada. Mengurangi/menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung. Morfin. Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl

32

0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg IV. Aspirin. Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg. Penyekat beta. Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat, mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung >60 kali/menit, tekanan darah

sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan rhonki <10 cm dari diafragma. 15 menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100 mg tiap 12 jam. Terapi reperfusi. Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran terapi reperfusi adalah doorto-needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.

II.4. Seleksi strategi reperfusi Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi, antara lain:

33

.1. Waktu onset gejala Waktu onset untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan trombus sangat tergantung waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis menurunkan angka kematian. Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi paten, kurang lebih tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2-3 jam setelah gejala. 2. Risiko STEMI Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien dengan syok kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik. 3. Risiko perdarahan Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.

4. Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian

34

menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard rekuren nonfatal atau stroke dianalisis, superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard nonfatal berulang.

Percutaneous Coronary Intervention (PCI) Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif daripada fibrinolisis dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan panjang yang lebih baik. Dibandingkan fibrinolisis, PCI lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada minimal 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa RS. Fibrinolisis Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik a.l: tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rpA). Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok, yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti streptokinase. Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 (menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal), karena perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan panjang.

35

tPA dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain sepeti rPA dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik. 5. Obat fibrinolitik Streptokinase (SK). Merupakan fibrinolitik nonspesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi sering ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakkkranial yang rendah. Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase). GUSTO-1 trial

menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA disbanding SK. Namun harganya lebih mahal dari SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi. Reteplase (retavase). INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO trial III, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang. Tenekteplase (TNKase). Keuntungannya mencakup memperbaiki

spesifisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap PAI-1. Laporan awal dari TIMI 10 B menunjukkan TNKase memiliki laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.

II.5 Terapi Farmakologis 1. Antitrombotik

36

Tujuan

primer

pengobatan

adalah

untuk

memantapkan

dan

mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Obat anti trombin standar yang digunakan dalam praktik klinis adalah unfractionated heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000 U) dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam). APTT selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali. Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low-molecular-weight heparin (LMWH). Pada penelitian ASSENT-3 enoksaparin dengan tenekteplase dosis penuh memperbaiki mortalitas, reinfark di RS dan iskemia refrakter di RS. 2. Penyekat beta (Beta-blocker) Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera bila obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik atau riwayat asma).

3. Inhibitor ACE

37

Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE yang jelas. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark inferior, riwayat infark sebelumnya dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI (pasien dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg). Mekanismenya melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark. Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan dengan pemeriksaan pencitraan menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif. Penelitian klinis dalam tatalaksana pasien gagal jantung termasuk data dari penelitian pada pasien STEMI menunjukkan bahwa ARB mungkin bermanfaat pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri menuru

II.6 Komplikasi dan Prognosis


38

IMA dapat memberikan komplikasi seperti aritmia (takiaritmia, bradiaritmia), disfungsi ventrikel kiri, hipotensi, gagal jantung, syok kardiogenik, perikarditis dan lain-lain.

Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan klasifikasi Killip:

Kelas I II III IV

Definisi Tidak ada tanda gagal jantung kongestif + S3 dan/atau ronki basah di basal paru Edema paru akut Syok kardiogenik

Proporsi pasien 40-50% 30-40% 10-15% 5-10%

Mortalitas(%) 6 17 30-40 60-80

Klasifikasi Killip pada IMA

39

Skor risiko TIMI merupakan salah satu dari beberapa stratifikasi risiko pasien infark dengan ST elevasi, yakni:

Faktor risiko (bobot) Usia 65-74 (2) atau usia >75 (3) DM/HT/angina (1) SBP<100 (3) HR >100 (2) Klasifikasi killip II-IV (2) Berat <67 kg (1) ST elevasi anterior atau LBBB (1) Waktu ke reperfusi >4jam (1) (skor maksimum 14 poin)

Skor risiko/mortalitas 30 hari (%) 0(0,8) / 1(1,6) 2(2,2) 3(4,4) 4(7,3) 5(12,4) 6(16,1) 7(23,4) 8(26,8) >8(35,9) Risk score untuk STEM I

40

REFERENSI 1. Alwi I. Infark miokard akut dengan elevasi ST. Dalam: Sudoyo Aru W, dkk (editor), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV: 1615-25.

2. Thomas A. Pearson, MD, PhD; Steven N. Blair, PED; Stephen R. Daniels, MD, PhD; Robert H. Eckel, MD; Joan M. Fair, RN, PhD; Stephen P. Fortmann, MD; Consensus Panel Guide to Comprehensive Risk Reduction for Adult Patients Without Coronary or Other Atherosclerotic Vascular Diseases in AHA Guidelines for Primary Prevention of Cardiovascular Disease and Stroke: 2002 Update.

3. Cannon Christopher P, Braunwald Eugene. ST-Elevation Myocardial Infarction.In Kasper DL, Braunwald E, Fauchi AS et. Al (editor). Harrisons Principle of Internal Medicine 17 ed,Mc GrawHill: 2008. 152732.

41

Anda mungkin juga menyukai