Anda di halaman 1dari 25

Laporan Kasus

KEJANG PADA STROKE

Pembimbing :
dr. Desi Nurani Y, Sp.S

Penyusun :
Sabila Shani
030.12.246

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT UMUM KARDINAH
PERIODE 20 JUNI 2016 30 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
LAPORAN KASUS
1. 1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. C
Usia : 65 thn
Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 01/07/1951
Alamat : Karanganayar RT 07/03, Dukuhturi, Kab. Tegal
Status perkawinan : Sudah menikah
Agama : Islam
No. RM : 834614

1.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan anak pasien, pada tanggal 16 Juli 2016 di
Ruang ICU, RS Kardinah Tegal.

Keluhan Utama: OS datang ke IGD tanggal (14/07/2016, pukul 11.55) dengan keluhan kejang
15x sejak 1 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang: OS datang ke IGD RS Kardinah dengan keluhan kejang sebanyak
kurang lebih 15x, sejak 1 hari SMRS. Durasi kejang dikatakan oleh anak pasien sekitar 2 menit.
Dan sebelumnya pasien belum pernah mengalami kejang. Tidak ada muntah, diare, demam
tinggi, maupun sakit kepala yang berat sebelum kejang ini terjadi. Os juga mengalami lemas
pada anggota gerak sebelah kanan sejak 7 hari SMRS. Gejala lemas ini timbul mendadak. OS
juga mengatakan bahwa gejala lemasnya ini dimulai dari bawah ke atas. Dikatakan oleh anak
pasien bahwa sebelumnya pasien tidak ada demam selama dirumah dan juga tidak ada bicara
pelo. OS juga terdapat keluhan pusing +, batuk -, sesak -, kejang -, mual -, muntah -, dan nyeri
perut -. BAK dan BAB pasien lancar tidak ada gangguan. Riwayat trauma pada kepala pun
disangkal namun pasien sempat jatuh sekitar 4 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu: OS memiliki riwayat HT yang dikontrol ke mantri. OS juga


memiliki riwayat DM. OS tidak memiliki riwayat stroke sebelumnya, maupun pengobatan TB.

2
Riwayat Pengobatan: obat hipertensi dan DM dari mantri

Riwayat Keluarga: Dikeluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama

Riwayat Kebiasaan: OS tidak memiliki kebiasaan makan makanan berlemak, minum kopi,
rokok, dan minum-minum alkohol.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


GCS: E4V2M5
Kesan Sakit: Tampak sakit sedang
Tanda Vital:
T: 140/90 mmHg N: 88x/menit S: 36oC P: 20x/menit
Status Generalis:
Kepala: Tidak ada jejas -, deformitas - pada kepala. Ukuran normocephali
Wajah: simetris, tidak tampak sesak, tampak lemas dan pucat, tidak sianosis.
Mata: Bentuk normal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor,
reflek cahaya (+/+), kornea jernih, eksopthalmus (-/-)
Hidung: Bentuk normal, deviasi septum (-), sekret (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
Telinga: Normotia, fistel(-), meatus akustikus eksterna lapang, secret (-/-), serumen (+/+)
sedikit
Mulut: labioschiziz (-), palatoschiziz (-), bibir sianosis (-), bibir kering (-), trismus (-),
faring hiperemis (-), uvula ditengah hiperemis (-), arcus faring simetris
Leher: Trakea teraba ditengah, KGB serta kelenjar tiroid tidak teraba membesar.

Paru-paru:

Inspeksi : bentuk simetris pada saat statis & dinamis, retraksi (-),
Palpasi : vocal fremitus simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-) wheezing (-/-)

Jantung:

Inspeksi : pulsasi Ictus cordis tidak tampak


Palpasi : pulsasi ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung tidak dinilai
Auskultasi : S1 S2 normal regular, murmur (-), gallop (-)

3
Abdomen:

Inspeksi : datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Supel
Perkusi : Timpani
Genitalia : Tidak dilakukan

Ektremitas: simetris, eutrofi, akral hangat, crt<2, edema (diseluruh ekstremitas)

Genitalia: tidak dilakukan pemeriksaan

Status Neurologis

GCS: E4V2M5
Kesadaran: Compos mentis

Gerakan abnormal: Tidak ada

a. Rangsangan Meningeal:
o Brudzinsky 1 :-
o Brudzinsky 2 :-
o Kernig :-
o Kaku kuduk :-
o Laseque :-

b. Nervus Cranialis:

N I (Olfaktorius) : Tidak dilakukan pemeriksaan


N II (Optikus)
o Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Warna : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Funduskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Lapang pandang : Tidak dilakukan pemeriksaan

N III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)


o Gerakan bola mata : Tidak dilakukan pemeriksaan

4
o Ptosis : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Pupil : Isokor, bulat, 3mm / 3mm
o Refleks Pupil
o langsung : +/+
o tidak langsung : +/+
N V (Trigeminus)
o Sensorik : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Motorik : Tidak dilakukan pemeriksaan
o Refleks kornea : Tidak dilakukan Pemeriksaan
N VII (Fasialis)
o Sensorik (indra pengecap) : Tidak dilakukan Pemeriksaan
o Motorik
o Angkat alis : tidak kooperatif
o Menutup mata : tidak kooperatif
o Menyeringai : tidak kooperatif
o Gerakan involunter : -/-
N. VIII (Vestibulocochlearis)
o Keseimbangan
o Nistagmus : Tidak Dilakukan pemeriksaan
o Tes Romberg : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
o Pendengaran
o Tes Rinne : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
o Tes Schwabach : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
o Tes Weber : Tidak Dilakukan Pemeriksaan.
N IX, X (Glosofaringeus, Vagus)
o Refleks menelan : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
o Refleks batuk : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
o Refleks muntah : Tidak Dilakukan Pemeriksaan
o Posisi uvula : Tidak Dilakukan pemeriksaan

5
o Posisi arkus faring : Simetris
N XII (Hipoglosus)
o Tremor lidah :-
o Ujung lidah saat dijulurkan :-
o Fasikulasi :-

c. Pemeriksaan Motorik
1. Refleks
a. Refleks Fisiologis
Biceps : N/N
Triceps : N/N
Achiles : N/N
Patella : N/N
b. Refleks Patologis
Babinski : -/+
Oppenheim : -/+
Chaddock : -/+
Gordon : -/+
Schaeffer : -/+
Hoffman-Tromner : -/+
2. Kekuatan Otot

3 1
Ekstremitas Superior Dextra Ekstremitas Superior Sinistra
3 1
Ekstremitas Inferior Dextra Ekstremitas Inferior Sinistra

3. Tonus Otot
a. Hipotoni : - /-
b. Hipertoni : -/-

6
d. Sistem Ekstrapiramidal
1. Tremor : -
2. Chorea : -
3. Balismus : -
Tidak ditemukan saat dilakukan pemeriksaan
e. Susunan Saraf Otonom
Inkontinensia :-
Hipersekresi keringat :-

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium darah

Pemeriksaan (12/6/2016) Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi
CBC
Hemoglobin 14,1 13,7 17,7 g/dl
Hematokrit 42,6 42 52 %
Trombosit 734 150 521 ribu/uL
Leukosit 24,6 4,4 11,3 ribu/uL
Eritrosit 5,5 4,1 5,1 juta/uL
RDW 15,9 11,5 14,5 %
MCV 78,0 80 96 Unit
MCH 25,8 28 33 Pcg
MCHC 33,1 33 36 g/dL
Diff Count
Neutrofil 83,8 50 70 %
Limfosit 8,5 25 40 %
Monosit 5,1 28 %
Eosinofil 2 24 %
Basofil 1,1 01 %
Laju Endap Darah
LED 1 Jam 17 0 20 mm/jam
LED 2 Jam 36 0 35 mm/jam

Elektrolit
Natrium 135,1 136-145 mmol/L
Kalium 5,37 3,3-5,1 mmol/L
Klorida 100,9 98-106 mmol/L

7
Kimia Klinik
SGOT 24,5 13-35 U/L
SGPT 13,6 7-35 U/L
Ureum 54 12,8-42,8 mg/dL
Creatinine 1,3 0,6-1,1 mg/dL
Albumin 4,65 3,2 4,8 g/dL

GDS (di ugd) = 417 mg/dL

CT SCAN Kepala tanpa kontras

Deskripsi:
Tak tampak lesi hiperdens pada lobus parietalis posterior dextra dan sinistra dengan
densitas semi LCS
Lesi berhubungan dengan corpus posterior vert. lateral dextra dan sinistra

8
Gyrus dan sulcus normal
Sistema ventrikel dan fissura sylvii tak menyempit
Struktur mediana tak durasi

Kesan: Parencephali lobus parietalis posterior dextra dan sinistra

1.5 RESUME

OS datang ke IGD RS Kardinah dengan keluhan kejang sebanyak kurang lebih 15x, sejak 1 hari
SMRS. Durasi kejang dikatakan oleh anak pasien sekitar 2 menit. Dan sebelumnya pasien belum
pernah mengalami kejang. Tidak ada muntah, diare, demam tinggi, maupun sakit kepala yang
berat sebelum kejang ini terjadi. Os juga mengalami lemas pada anggota gerak sebelah kanan
sejak 7 hari SMRS. Gejala lemas ini timbul mendadak. OS juga mengatakan bahwa gejala
lemasnya ini dimulai dari bawah ke atas. Dikatakan oleh anak pasien bahwa sebelumnya pasien
tidak ada demam selama dirumah dan juga tidak ada bicara pelo. OS juga terdapat keluhan
pusing +, batuk -, sesak -, kejang -, mual -, muntah -, dan nyeri perut -. BAK dan BAB pasien
lancar tidak ada gangguan. Riwayat trauma pada kepala pun disangkal namun pasien sempat
jatuh sekitar 4 hari SMRS.

Didapatkan tanda vital T: 140/90, N: 88x, S: 36OC, P: 20x. Dari hasil Status generalis dalam
batas normal. Status generalis didapatkan GCS (E4V2M6). Tidak terdapat peningkatan reflex
fisiologis, dan tanda rangsang meningeal negatif. Refleks patologis positif pada anggota gerak
sebelah kiri.

Dari hasil lab darah hematologi didapatkan leukositosis, trombositosis, neutrofilia, LED 2 jam
meningkat. Elektrolit darah didapatkan hiponatremia, hiperkalemia, ureum dan creatinin
meningkat. Untuk hasil CT scan didapatkan kesan parencephali lobus parietalis posterior dextra
dan sinistra.

1.6 DIAGNOSIS

Diagnosis klinis : Status focal generelized tonic clonic seizure (acute symptomatic
seizure), hiperglikemia, hemiparese sinistra.
Diagnosis topik : Hemisphere cerebri dekstra
Diagnosis etiologi : Stroke infark/non hemoragik trombotik

9
1.7 TATALAKSANA

Medikamentosa

O2
IVFD RL 20 tpm
Inj. Fenitoin 4 amp dalam Nacl 100ml maintenance 3 x 1 amp IV drip dlm NaCl
100ml, atau fenitoin oral 3 x 100 mg.
Inj. Piracetam 1 x 12gr
Inj. Citicolin 2 x 1gr IV
Inj. Mecobalamin 2 x 1 amp IV
Clopidogrel 1 x 75 mg

Non Medikamentosa

Bed rest
Fisioterapi

1.8 PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad bonam


Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad malam

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kejang


Kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau disertai dengan
perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan akibat pelepasan aktivitas listrik
berlebihan di otak. Epilepsi adalah kondisi dimana terjadi kejang berulang karena ada proses
yang mendasari tanpa provokasi dan biasanya tidak terduga. 8 Intractable seizure adalah kejang
dimana penggunaan obat - obatan tidak cukup kuat untuk menangani kejang. Status epileptikus

10
adalah kejang yang lebih dari 30 menit atau berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai
pemulihan kesadaran.9

2.2. Klasifikasi Kejang


Kejang dapat diklasifikasikan menjadi8 :
a) Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan satu hemisfer serebri
(pada daerah yang terbatas dan terlokalisir di korteks). Kejang parsial dapat berkembang menjadi
kejang umum pada seseorang yang mengalami kejang. Kejang parsial dapat dikelompokkan
menjadi:

a) Kejang parsial simpleks


Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa disertai dengan
perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan perubahan aktivitas motorik yang
abnormal, sering terlihat pola aktivitas motorik yang tetap pada wajah dan ekstremitas atas saat
episode kejang terjadi. Walaupun kejang parsial simpleks sering ditandai dengan perubahan
abnormal dari aktivitas motorik, perubahan abnormal dari sensorik, autonom, dan psikis.
Biasanya sering pula timbul gejala atau sensasi awal dari kejang (Aura) yang terdiri dari rasa
tidak nyaman pada epigastrium, ketakutan, dan halusinasi.
b) Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari persepsi dan sensasi,
dan disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang ini diakibatkan penyebaran cetusan pada
jaringan otak secara bilateral, kearah basal pada bagian frontal dan sistem limbik. Sekitar 80%
kejang ini berasal dari lobus temporal dan sisanya dari lobus frontal serta occipital. Pada saat
kejang, pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti mengecap ngecap, jatuhnya
air liur keluar dari mulut, dan seringkali disertai mual dan muntah.

c) Kejang parsial dengan kejang umum sekunder


Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan menimbulkan gejala seperti
kejang umum. Kejang parsial dengan kejang umum sekunder biasanya menimbulkan gejala
seperti kejang tonik klonik. Hal ini sulit dibedakan dengan kejang tonik klonik.

11
b) Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan kedua hemisfer
serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang umum dapat dikelompokkan
menjadi:
1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering terjadi. Kebanyakan
kejang ini memiliki onset yang tiba tiba, namun pada beberapa kasus kejang ini didahului oleh
aura (motorik atau sensorik). Aura nya terdiri dari ansietas,irritabilitas,penurunan konsentrasi dan
rasa sakit pada kepala. Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat, terdapat dilatasi kedua pupil,
dan kontraksi otot otot yang disertai dengan rigiditas otot yang progresif. Sering juga disertai
dengan inkontinensia urin atau inkontinensia tinja. Kemudian pada fase klonik, terjadi gerakan
menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi yang disertai spasme pada ekstremitas. Terjadi
perubahan kesadaran selama episode kejang berlangsung dan bisa berlanjut hingga beberapa saat
setelah kejang berhenti.
2. Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik. Pada hal ini tiba
tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat rigiditas otot yang progresif.

3. Kejang klonik
Kejang klonik ditandai dengan gerakan yang menyentak, repetitif, tajam, lambat.

4. Kejang mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan menyentak, involunter, mendadak, dan cepat.
Kejang tipe ini dapat terjadi hingga ratusan kali per hari.

5. Kejang atonik
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba tiba (drop attack).

6. Kejang absens

12
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau disebut juga petit
mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens tipikal ditandai dengan berhentinya
aktivitas motorik secara tiba tiba, kehilangan kesadaran sementara secara singkat yang disertai
dengan tatapan kosong. Sering tampak kedipan mata berulang saat episode kejang terjadi.
Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik. Sedangkan pada kejang absens atipikal ditandai
dengan gerakan seperti hentakan berulang yang bisa ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan
disertai dengan perubahan kesadaran7.

c) Kejang tak terklasifikasi


Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang tidak dapat
dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial.6
2.3. Etiologi dan Faktor resiko10
Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan
ekstrakranial.
1. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Penyebab
intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan sekunder dapat disebabkan karena
neoplasma intrakranial, kelainan kongenital seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan
ensefalitis, trauma kepala, dan perdarahan intracranial.
2. Ekstrakranial
Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan metabolisme seperti
hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati, uremia, hiperproteinemia, hiperlipidemia,
hipotiroid, dan hipoksia. Penyebab ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis
keganasan ke otak.

Faktor resiko :
Trauma kepala, stroke, ensefalitis virus, alkohol, Alzheimer, ketidakseimbangan
elektrolit, meningitis, cedera kepala sedang, tumor, gangguan metabolik, infeksi sistim saraf
pusat, anomali kongenital, penyakit serebrovaskular, penyakit degeneratif.

2.4. Patofisiologi10

13
a) Kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan
muatan listrik yang berlebihan.
b) Berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat
(GABA).
c) Meningkatnya eksitasi sinaptik oleh neurotransmitter asam glutamat dan
aspartat melalui jalur eksitasi berulang.

2.5 Hubungan stroke dengan kejadian kejang

Stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak tiba-
tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan serangkaian reaksi
biokimia, yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel otak. Kematian jaringan otak dapat
menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh jaringan itu.11

Andai kata otak kita anggap sebagai pusat komputer yang secara elektronik
mengendalikan seluruh aktivitas badan kita, serangan kejang pada epilepsy adalah wujud
lepasnya muatan listrik abnormal secara bersamaan dan tidak terprogram dari sekumpulan sel-sel
otak atau dari seluruh otak. Akibat lepasnya muatan listrik secara tidak terkontrol ini adalah
kejang-kejang yang bisa dimulai dari lengan atau tungkai kemudian menyebar ke seluruh
tubuh.12

Sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-tiba melepaskan
muatan listriknya ini disebabkan karena ada perubahan baik anatomis (struktur/bentuk) maupun
biokimiawi pada sel-sel itu atau pada lingkungan di sekitarnya. Perubahan terjadi akibat trauma
fisik/ benturan/ memar pada otak, berkurangnya aliran darah/ zat asam akibat penyempitan
pembuluh darah, pendesakan/ rangsangan oleh tumor, dan yang terpenting (dan baru akhir-akhir
ini diketahui) adalah proses sklerosis, yaitu jaringan otak yang mengalam "pengerasan akibat
dari digantikannya selsel saraf/ neuron oleh selsel penyokong/ sel-sel glia/ jaringan parut.12

2.6 Definisi Stroke


Stroke adalah suatu sindrom yang ditandai dengan gejala dan atau tanda klinis yang
berkembang dengan cepat yang berupa gangguan fungsional otak fokal maupun global secara
mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam yang tidak disebabkan oleh sebab lain

14
selain penyebab vaskuler. Definisi ini mencakup stroke akibat infark otak (stroke iskemik),
perdarahan intraserebral (PIS) non traumatic, perdarahan intraventrikuler dan beberapa kasus
perdarahan subarachnoid (PSA).13,14
Gejala neurologis fokal adalah gejala-gejala yang muncul akibat gangguan di daerah
yang terlokalisir dan dapat teridentifikasi. Misalnya kelemahan unilateral akibat lesi di traktus
kortikospinalis. Gangguan non fokal/ global misalnya adalah terjadinya gangguan kesadaran
sampai koma. Gangguan neurologi non fokal tidak selalu disebabkan oleh stroke. Ada banyak
penyebab lain yang mungkin menyebabkannya. Oleh karena itu gejala non fokal tidak
seharusnya diinterpretasikan sebagai akibat stroke kecuali bila disertai gangguan neurologis
fokal.13,16,17

2.7 Klasifikasi Stroke


Dikenal bermacam-macam klasifikasi stroke. Semuanya berdasarkan atas gambaran
klinik, patologi anatomi, system pembuluh darah dan stadiumnya. Dasar klasifikasi yang
berbeda-beda ini perlu, sebab setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan
prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa. Adapun klasifikasi tersebut, antara
lain:13,14,15
Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:
I. Stroke Iskemik
a. Transient Ischemic Attack (TIA)
b. Trombosis serebri
c. Embolia serebri
II. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intra serebral
b. Perdarahan subarachnoid
Berdasarkan stadium/ pertimbangan waktu:

a. Serangan iskemik sepintas/ TIA


Pada bentuk ini gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam

b. RIND

15
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih lama dari
24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu.

c. Progressing stroke atau stroke in evolution


Gejala neurologik yang makin lama makin berat

c. Completed stroke
Gejala klinis sudah menetap.

2.8 Post Stroke Seizures

Dewasa ini, Stroke adalah penyebab tersering dari kejang, dan juga kejang adalah sekuel
neurologic tersering dari serangan stroke. Sekitar 10% dari pasien stroke memiliki episode
serangan kejang, mulai dari onset serangan pertama kali hingga beberapa tahun kemudian.4

a) Definisi18
Post stroke seizures
Merupakan suatu episode kejang, dengan frekuensi tunggal ataupun multiple yang terjadi
setelah serangan stroke dan diduga berhubungan dengan adanya kerusakan otak yang reversible
ataupun ireversibel akibat stroke, terlepas dari kapan onset munculnya episode kejang setelah
stroke.
Post stroke epilepsi
Kejang berulang yang terjadi setelah serangan stroke diagnosis sebagai epilepsy. Definisi
yang paling umum digunakan adalah Epilepsi pasca-stroke (EPS) diidefinisikan sebagai dua atau
elbih episode kejang spontan tanpa provokasi yang terjadi 1 minggu setelah serangan stroke.
Secara umum, kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai early onset seizures dan late onset
seizures. Kejang yang terjadi dalam waktu 24-48 jam, minggu, atau kurang dari 2 minggu. Late
onset seizures didefinsikan sebagai kejang yang terjadi setidaknya dua minggu setelah serangan
stroke.

b) Klasfikasi dan patogenesis4


Kejang pasca serangan stroke diklasfikasikan menjadi early onset dan late onset,
mengacu kepada onset munculnya serangan kejang setelah terjadi iskemia pada otak. Batas

16
waktu 2 minggu pasca munculnya serangan stroke telah dijadikan acuan sebagai pembeda antara
kejang late onset atau early onset.
Serangan kejang yang paling awal dari early onset seizure adalah 1 sampai 2 hari pasca
serangan akut iskemi. Hampir setengah (43%) dari pasien dengan serangan kejang pasca stroke
terjadi 24 jam pasca serangan stroke. Begitu pula dengan serangan kejang pasca stroke
hemoragik juga lebih banyak terjadi antara 24 jam pasca serangan.

Selama terjadinya kerusakan otak akibat iskemia, terjadi penumpukan dari kadar natrium
dan kalsium di intrasel yang menyebabkan terjadinya depolarisasi dari potensial transmembran
dan juga efek-efek yang muncul dipicu oleh peningkatan kalsium. Terjadinya perpindahan lokal
dari ion-ion ini akan menurunkan batas ambang dari kejang. Mekanisme penyebab paling kuat
adalah adanya peningkatan kadar glutamate akibat kematian sel yang bersifat eksitotoksisitas
terhadap ambang kejang. Obat-obatan antiglutaminergik dapat berperan juga sebagai
meuroprotektif, selain sebagai terapi untuk mengobati kejang.

Semakin besar disfungsi metabolic lokal yang terjadi memiliki hubungan yang relevan
dengan semakin awalnya onset kejang yang muncul. Pada pasien dengan regio iskemik hipoksia
yang luas, terjadi pengeluaran neurotransmitter eksitotoksik dalam jumlah besar di ekstraseluler.
Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, terjadi peningkatan eksitabilitas potensial
transmembran, yang diasumsikan sebagai penurunan ambang kejang dari hewan tersebut.
Jaringan antara daerah penumbra dan daerah jaringan yang masih viable yeng berdekatan dengan
daerah infark pada stroke iskemik, merupakan jaringan yang iritabel terhadap impuls listrik dan
diduga merupakan suatu titik focus dari aktifitas kejang.

Selain akibat lokal iskemik, global hipoperfusi juga dapat menyebabkan aktifitas kejang.
Hipoksik-iskemik ensefalopati adalah salah penyebab tersering dari status epileptikus dan
merupakan suatu indikasi prognosis buruk.

Pada late onset seizures. Dilakukan penelitian dengan menggunakan kontras, terjadi
perubahan persisten dari eksitablitas neuron. Penggantian sel parenkim otak yang sehat dengan
neuroglia dan sel imun diduga berperan untuk membentuk terjadinya sikatriks atau parut pada
parenkim otak. Dan perlu digaris bawahi bahwa adanya lesi permanen ini menjelaskan tingginya
frekuensi epilepsy pada pasien dengan late onset seizures dari pada early onset seizures. Pada
pasien dengan stroke iskemik, epilepsy berkembang pada sekitar 35 % pasien dengan early onset

17
seizures dan 90 % pasien dengan late onset seizures. Pada pasien dengan stroke hemoragik,
epilepsy berkembang pada 29 % pasien dengan early onset seizures, dibandingkan dengan 93%
pasien dengan late onset seizures.

Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang berpengaruh pada kejang pasca
serangan stroke. Kejang pasca serangan stroke lebih sering berkembang pada pasien yang
memiliki lesi luas yang melibatkan banyak lobus otak dari pada yang hanya mengenai satu lobus.
Namun bagaimanapun, stroke yang hanya melibatkan daerah subkortikal sekalipun, kadang-
kadang dapat berhubungan dengan kejang. Dari penelitian terbaru, dengan mengandalkan pada
teknik neuroimaging dengan sensitifitas rendah, kemungkinan tidak dapat mendeteksi lesi yang
berukuran kecil yang dapat menyebabkan suatu aktifitas elektrik patologis.

Bila dianalogikan dengan keterlibatan kortikal pada stroke iskemik, lobus yang terkena
dianggap sebagai lokasi sumber epileptogenic pada pasien dengan perdarahan intraserebral. Dari
penelitian serial pada 123 pasien, insiden kejang tertinggi terjadi pada perdarahan di struktur
lobus kortikal (54%). Insiden lebih rendah terjadi pada perdarahan di basal ganglia (19%).
Kejang tidak muncul pada perdarahan yang terjadi di thalamus. Perdarahan yang terjadi akibat
thrombosis venous cerebral juga dapat menimbulkan gejala kejang. Perdarahan parenkimal
bahkan kortikal yang berasal dari kongestif vena lokal juga sering menyebabkan aktifitas kejang.

Mekanisme terjadinya kejang yang di inisiasi oleh perdarahan memang tidak dapat
dipungkiri. Produksi hasil metabolisme darah, seperti hemosiderin, dapat menyebabkan
terjadinya iritasi fokal pada cerebri yang dapat menyebabkan kejang. Penelitian pada hewan
menunjukan, penumpukan ion besi pada korteks serebri dapat menyebabkan epileptic fokal. Pada
pasien dengan perdarahan subarachnoid, terjadi perdarahan yang masuk ke basal sisterna yang
secara langsung dapat berkontak dengan lobus temporal dan frontalis. Pasien dengan perdarahan
subarachnoid juga memiliki kemungkinan adanya perdarahan dalam komponen intraparenkimal.

Satu-satunya predictor klinis pada pasien kejang pasca stroke iskemik adalah keparahan
dari deficit neurologis yang terjadi pada pasien tersebut. Semakin parah kerusakan otak ataupun
deficit neurologis yang terjadi dapat memprediksikan kemungkinan terjadinya kejang.
Berdasarkan penelitian epidemiologi oleh Oxfordshire Community Stroke Project, hanya sekitar
3 % dari 225 pasien yang memiliki onset setelah 1 bulan pasca serangan stroke. Pasien ini

18
menunjukan adanya suatu deficit neurologis berat dan memiliki stroke luas yang melibatkan
kortikal area yang luas.

Beberapa faktor risiko dari kejang setelah terjadi perdarahan subarachnoid mencakup
aneurisma arteri cerebral media, hematom intraparenkimal, infark cerebri, riwayat hipertensi, dan
ketebalan dari clotting di sisterna.

Lesi Vascular dapat menyebabkan terjadinya kejang dengan mekanisme yang berbeda.
Kejang yang terjadi akibat arteriovena malformasi dan aneurisma muncul ketika lesi tersebut
rupture. Namun lesi vascular saja dapat menyebabkan kejang dengan secara langsung mengiritasi
jaringan parenkim otak disekitarnya.

Kejang yang muncul pada kasus lesi vascular yang telah dilakukan tindakan
revaskulariasi, paling sering muncul pada tindakan carotid endarterecomy pada kasus stenosis
arteri carotis eksternal yang berat. Hal ini disebut sebagai reperfusion syndrome. Reperfusion
syndrome pertama kali di paparkan oleh sundt dkk, terdiri dari aktifitas kejang fokal sementara,
serangan nyeri kepala migraine atipikal, dan perdarahan intracranial. Meskipun trias klinis
tersebut sering tidak muncul. Onset dari syndrome ini muncul antara beberapa hari hingga 3
minggu pasca tindakan revaskularisasi. Dan sering ditandai dengan gejala awal dengan keluhan
nyeri kepala ipsilateral.

c) Faktor Risiko18
Jenis stroke seperti apa yang menyebabkan pasien cenderung untuk berkembang menjadi
epilepsy pasca stroke. Insiden tertinggi adalah pada stroke dengan lesi hemoragik dan lokasi lesi
merupakan faktor penentu penting dari insiden kejang pasca stroke. Tidak ada pemeriksaan
diagnostik tunggal. Menggunakan kombinasi modalitas diagnostik dapat berguna dalam
menentukan penyebabn kejang dalam banyak kasus.

19
Tabel 2. Daftar faktor risiko dari subtype stroke yang memiliki kemungkinan episodic kejang
pasca serangan.18

d) Manifestasi klinik4
Mengingat bahwa penyebab paling banyak dari kejang pasca stroke adalah lesi fokal,
maka tipe kejang poststroke yang paling umum muncul adalah tipe kejang fokal (parsial). Dari
penelitian terhadap 90 pasien dengan early onset seizures, tipe kejang parsial simple adalah yang
paling sering muncul (61%), diikuti dengan kejang umum sekunder (28%). Pada penelitian yang
lain juga membagi bahwa pada early onset seizures, lebih sering terjadi kejang parsial,
sedangkan pada late onset seizures lebih sering terjadi kejang umum sekunder. Kebanyakan
kejang berulang yang muncul adalah dari jenis yang sama seperti episode presentasi, dan
cenderung kambuh dalam kurun waktu rata-rata 1 tahun.

20
Dalam penelitian dalam jumlah besar pada kasus kejang poststroke, 9 % memiliki
episode status epileptikus. Status epileptikus ini hanya berhubungan dengan dengan tingkat
disabilitas fungsional, namun tidak berhubungan dengan tingkat kematian, tipe stroke (iskemik
atau hemoragik), topografi (keterlibatan kortikal), ukuran lesi, ataupun dari gelombang EEG.
Gejala kejang pada reperfusi syndrome biasanya muncul diawali dengan kejang fokal
terlebih dahulu lalu diikuti dengan kejang generalisata sekunder. Aktifitas kejang selalu muncul
pada daerah vascular ipsilateral yang dilakukan pembedahan. Kadang-kadang, status epileptikus
dapat terjadi kemudian.

e) Diagnostik4
Holmes menemukan pasien yang memiliki atau mengeluarkan gelombang periodic
lateralizing epiletiform dan bilateral independent periodic lateralizing epiletifoorm pada
pemeriksaan EEG setelah serangan stroke sangat rentan berkembang menjadi kejang. Pasien
yang memiliki gelombang focal spikes juga memiliki risiko hingga 78% menjadi kejang.
Gelombang perlambatan focal, perlambatan difus, dan temuan normal pada EEG berhubungan
dengan risiko rendah mengalami kejang pasca stroke dengan kemungkinan 20%, 10%, dan 5%.
Pemeriksaan penunjang lain, khususnya neuroanatomical imaging, yang dapat menemukan
adanya keterlibatan kortikal lebih prediktif untuk memprediksi terjadinya epilepsy dari pada
hanya dengan pemeriksaan EEG tunggal.
Gelombang perlambatan fokal pada EEG kemungkinan menggambarkan adanya suatu
daerah jaringan iskemik ataupun infark yang luas disertai dengan keterlibatan korteks serebri dan
territorial subkortikal. Sebagai tambahan pemeriksaan penunjang, EEG dapat membantu untuk
pemeriksaan awal pada pasien yang memiliki gejala neurologic fokal yang buruk pasca serangan
stroke. Pada pasien tertentu, perlambatan fokal dapat mengkonfirmasi adanya iskemia pada
hemisfer otak dan menyangkal adanya kejang yang sedang berlangsung sebagai penjelasan untuk
sindrom neurologis akut. Gambaran EEG yang normal tidak secara pasti mengekslusi iskemi
cerebral, khususnya di daerah subkortikal atau subtentorial serebri ataupun aktifitas kejang yang
hilang timbul (intermittent).
Kejang pasca stroke ini dapat menggambarkan adanya suatu infark atau iskemi yang
dapat ditemukan dengan pemeriksaan neuroimaging. Penelitian dari landsberg dkk. menunjukan
adanya temuan abnormal dari hasil MRI pada 3 pasien dengan status epileptikus parsial.

21
f) Penatalaksanaan18
Saat ini sedikit penelitian yang membandingkan efek dari jenis-jenis obat antiepilepsi
yang berbeda pada pasien kejang pascastroke, namun saat ini monoterapi dapat digunakan untuk
mengontrol kejang pada 88% dari total pasien kejang post stroke. Karbamazepin yang paling
umum digunakan. Lamotrigin baik ditoleransi pada kasus epilepsi yang baru didiagnosa
khusunya pada pasien dengan usia lanjut dan dapat membuat periode bebas kejang yang lebih
lama dari pada Karbamezepin. Benzodiazepin, khususnya lorazepam, berguna pada saat kejang
sedang berlangsung.
Pilihan monoterapi harus disesuaikan dengan setiap pasien dengan mempertimbangkan
rute pemberian, interaksi dengan obat lain dan komorbiditas. Perlu perhatian lebih pada saat
meresepkan obat anti epilepsi pada populasi usia lanjut karena mereka lebih cenderung untuk
mengkonsumsi obat lain, contoh pada beberapa obat, misalnya. warfarin dan digoxin, sehingga
meningkatkan risiko interaksi obat melalui enzim hati berupa induksi atau penghambatan.
Perubahan fisiologis pada orang tua cenderung memberi efek kepada farmakokinetik obat anti
epilepsi dan mengganggu pengeluaran obat. Pasien dengan gangguan ginjal atau hati mungkin
memerlukan penyesuaian dosis. Pilihan obat juga dapat dibatasi oleh efek samping, paling
sering sedasi.
Ada beberapa studi yang menunjukkan adanya hubungan antara OAE tertentu dan
gangguan pemulihan pasca stroke dan mereka menyarankan untuk menghindari penggunaan
fenitoin, fenobarbital dan benzodiazepin dalam masa pemulihan pasca stroke jika
memungkinkan.

Manajemen dengan menggunakan OAE diatur oleh prinsip-prinsip standar manajemen


epilepsi.
Ketika monoterapi dari OAE lini pertama gagal, diagnosis etiologi harus diperiksa
kembali dan memberikan monoterapi dengan OAE lini kedua.
Penggantian Obat memerlukan penurunan dosis secara perlahan (tidak diganti
secara langsung) ketika ingin diganti dengan obat regimen yang lain
Terapi kombinasi mungkin diperlukan tapi kurang disukai karena meningkatkan risiko
efek samping dan interaksi obat.

22
g) Prognosis18
Ada bukti yang bertentangan mengenai prognosis pada pasien dengan kejang pasca
stroke. Studi saat ini setuju bahwa keparahan stroke merupakan faktor yang paling penting dalam
menentukan hasil dari pada pasien stroke. Dikatakan bahwa pasien dengan early onset seizures
memiliki hasil yang buruk disertai dengan tingkat kematian yang tinggi di rumah sakit,
sedangkan late onset seizures nerhubungan dengan tingkat kecacatan yang tinggi dan perburukan
kognitif. Hal ini juga menentukan bahwa epilepsi memiliki dampak negatif pada kualitas hidup
terkait kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

23
1. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British Columbia Medical
Association. 2010.
2. Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical Guidelines. NSW
Department of Health. 2009.
3. Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child With a
Simple Febrile Seizure. Pediatrics. 2011 Feb:2(127);390-394

4. Feigin, Valery. 2006. Stroke, Panduan Bergambar Tentang Pencegahan dan Pemulihan
Stroke. 2nd ed. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
5. Yastroki. 2007. Stroke Dapat Timbulkan Epilepsi. http://www.yastroki.or.id. (24 mei
2016)
6. Seizure in Ishemic Stroke. Kim, Benny S. and Sila, Cathy. Burlington : Springer Science ,
2015.
7. Fauci A, Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al. Epilepsy. Di
Dalam: Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Edition: McGraw Hill. 2008.
8. Friedman M.J, Sharrieff G. Q. Seizures in Children. Pediatric Clin N Am. 2006;53:257-
277
9. Breton A. N. Seizures: Stages, Types, and Care. 10th Emergency & Critical Care UK
Annual Congress. 2013
10. Jauch. 2005. Stroke. http://www.wikipedia.htm. (20 mei 2016)
11. Arif M., Suprohaita., Wahyu I.W & Wiwiek S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
ke3 jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. pp: 1726.
12. Misbach HJ. Stroke: Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1999.
13. Gofir A. Manajemen Stroke: Evidence Based Medicine. Jakarta: Pustaka Cendekia Press,
2009.
14. Goldszmidt AJ, Caplan LR. Stroke Essentials. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 2009.
15. Brass LM. Stroke. Available at http://www.med.yale.edu/library/heartbk/18.pdf. Accessed
on 10th January 2012.
16. Smith WS, Johnston SC. Cerebrovascular Diseases. In: Harrisons Neurology in Clinical
Medicine. California: University of California, San Framsisco, 2006: 233-271.

24
17. Post-stroke epilepsy. Boovalingam, P, et al., et al. Leicester : gmjournal, 2012.

25

Anda mungkin juga menyukai