Pembimbing :
dr. Dublianus, Sp.An
dr. Tati Maryati, Sp.An
Disusun Oleh :
Sabila Shani - 03012246
Verna Fitriani - 03012273
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga presentasi kasus ini yang berjudul
Appendiktomi dengan Regional Anestesia dapat diselesaikan. Presentasi kasus
ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
bagian anestesiologi di RSUD Cilegon.
Presentasi kasus ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat para konsulen bagian anestesiologi RSUD Cilegon dr.
Dublianus, Sp.An dan dr. Tati Maryati, Sp. An atas keluangan waktu dan
bimbingan yang telah diberikan, serta staf bagian anestesiologi yang selalu
mendukung, memberi saran, motivasi, bimbingan dan kerjasama yang baik
sehingga presentasi kasus ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun presentasi kasus ini masih
memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima
berbagai kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan presentasi kasus ini.
Demikian presentasi kasus ini disusun semoga dapat bermanfaat bagi
banyak pihak dan pembaca pada umumnya.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................3
BAB II. STATUS ANESTESI................................................................................4
BAB III. LAPORAN ANESTESI...........................................................................9
BAB IV. ANALISA KASUS.................................................................................13
BAB V. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................15
BAB VI. KESIMPULAN.......................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................51
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
STATUS ANESTESI
I. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 36 tahun
Alamat : Link. Leuweung Sawo RT 03/RW 09 Kota Bumi,
Purwakarta
Agama : Islam
Bangsa/ Suku : Sunda
Status Pernikahan : Menikah
Pendidikan Terakhir : S1
Pekerjaan : PNS
Ruang Perawatan : Bougenville
Tanggal Masuk RS : Kamis, 09 Februari 2017
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis :
A. Keluhan Utama
Pasien datang ke rumah sakit pada tanggal 9 Februari 2017 dengan keluhan
nyeri perut kanan bawah sejak sekitar 2 hari yang lalu.
4
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Bedah Umum RSUD Cilegon dengan keluhan nyeri
perut kanan bawah sejak 2 hari. Pasien sebelumnya mengatakan nyeri pada
ulu hati, namun sekarang nyerinya berpindah ke perut kanan bawah. Pasien
juga mengeluhkan mual, tanpa disertai muntah dan demam.
Pasien sekarang tidak sedang mengandung, haid lancar, BAK dan BAB
tidak ada keluhan.
5
TB/BB : 156cm/43kg
B. Status Generalis
Kepala : Normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut.
Mata : Pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+, konjungtiva
anemis -/-, sklera ikterik -/-.
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), nafas cuping
hidung (-), sekret -/-
Telinga : Normotia, membran timpani intak +/+, nyeri tarik -
Mulut : Bibir merah kecoklatan, agak kering, sianosis (-),
sariawan (-), trismus (-) ..halitosis (-), candidiasis(-).
Lidah : Normoglossia, warna merah muda, lidah kotor (-),
tremor (-), deviasi (-)
Gigi geligi : Baik. Tidak ada pemakaian gigi palsu
Uvula : Letak di tengah, hiperemis (-)
Tonsil : T1/T1, tidak hiperemis
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
Leher :KGB supraklavikular tidak teraba membesar,
kelenjar tiroid tidak teraba .membesar, trakea letak
normal
Thorax
Paru
Inspeksi
Bentuk dada normal, simetris dalam keadaan statis maupun dinamis,
efloresensiprimer/sekunder dinding dada (-), pulsasi abnormal (-), gerak
napas simetris, irama teratur, retraksi suprasternal (-)
Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris,
Ictus cordis tidak tampak.
Perkusi :Sonor di semua lapangan paru
6
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/- , S1
normal, S2 normal,reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
datar simetris, supel, bising usus (+) normal, rovsing sign (+), nyeri tekan
mc burney (+), Rebound tenderness (-), Psoas sign (-)
Ekstremitas
- Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), edema (-)
- Bawah : Akral hangat, sianosis (-), edema (-), deformitas (-).
-
IV. STATUS FISIK
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik ataupun gangguan organik
lainnya dan tidak didapati adanya komplikasi pada keluhan yang dirasakan
sehingga dapat dikategorikan pasien memiliki status fisik ASA 1.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
7
Ureum 12 17-43mg/Dl
Kreatinin 0,69 0,6-1,2 mg/Dl
Seroimmunologi
HbsAg Negatif Negatif
Anti-HIV Non Reaktif Non Reaktif
Tes Darah Lain
Urine
VII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kepada pasien meliputi :
a. Intravena fluid drip RL 500cc 20tpm
b. Informed consent mengenai tindakan appendiktomi
c. Konsul ke bagian Anestesi
d. Informed consent pembiusan : dilakukan operasi appendiktomi dengan
regional anestesi dengan klasifikasi ASA 1
VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ;
Diagnosis pre operatif : Appendisitis Akut
Status operatif : ASA 1
Jenis Operasi : Appendiktomi
Jenis Anestesi : Regional Anestesi (Sub Arachnoid Block)
8
BAB III
LAPORAN ANESTESI
A. Preoperatif
- Informed Consent (+)
- Puasa (+) kurang lebih 6-8 jam
- Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu
- IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar
- Keadaan umum tampak sakit ringan
- Kesadaran Compos Mentis
- Tanda Vital:
o Tekanan darah : 132/67 mmHg
o Pernafasan : 20 x/menit
o Nadi : 80 x/menit
o Suhu : 36,8C
B. Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Granisetron 1 mg secara bolus
intravena.
C. Tindakan Anestesi
Pasien dalam posisi duduk, kepala menunduk, kemudian menentukan lokasi
penyuntikkan di L3-4 yaitu di atas titik hasil perpotongan antara garis yang
menghubungkan crista iliaca dextra dan sinistra dengan garis vertical tulang
vertebra yang berpotongan di vertebra lumbal 4. Kemudian dilakukan tindakan
asepsis dan antisepsis dengan kassa steril dan povidone iodine. Lalu dilakukan
penyuntikan di titik L3-4 paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan
menggunakan jarum spinal no. 27, kemudian jarum spinal dilepaskan hingga
tersisa kanulnya, lalu dipastikan bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir
melalui kanul (ruang subarachnoid), kemudian obat anestesi yaitu Decain 20
mg (Bupivacain 5mg/ml + dextrose 80mg/ml) disuntikkan dengan terlebih
dahulu melakukan aspirasi untuk memastikan kanul spinal masih tetap di ruang
subarachnoid, setelah Bupivacain disuntikkan setengahnya kembali dilakukan
9
tindakan aspirasi LCS untuk memastikan kanul tidak bergeser, lalu Decain
disuntikkan semua.
Setelah itu menutup luka bekas suntikkan dengan kassa steril dan micropore.
Kemudian pasien kembali posisi berbaring di meja operasi. Sesaat setelah
pasien dibaringkan lalu dilakukan tes blokade motorik dengan cara menyuruh
pasien mengangkat kakinya dalam keadaan lurus kemudian ditanyakan kepada
pasien apakah kakinya sudah terasa berat, tidak bisa diangkat, ataupun
kesemutan. Ketidakmampuan mengangkat kaki dalam keadaan lurus
merupakan tanda keberhasilan motorik dan operasi dapat dimulai.
10
Lalu dipasang canule O2 diberikanO2 : 2
liter/menit
Dilakukan skin test Cefotaxime
10.45 Operasi dimulai 121/70 71 99
Kondisi terkontrol
10.50 Kondisi terkontrol 125/60 71 99
10.55 Kondisi terkontrol 110/60 69 100
11.00 Kondisi terkontrol 110/67 75 100
11.05 Kondisi terkontrol 114/73 80 100
11.10 Kondisi terkontrol 110/80 80 99
Diberikan Tramadol 100mg secara drip
IV.
11.15 Operasi selesai 110/82 88 99
Pemberian O2 dihentikan
Pelepasan alat monitoring
Dimasukan Pronalges supp.
Pasien dipindahkan ke recovery room
11.20 Dilakukan pemasangan alat monitoring 110/68 92 100
pada recovery room
Laporan Anestesi
11
c. Teknik Anestesi :Sub Arachnoid Block , L3-4, LCS +,
spinocain no 27G
d. Mulai Anestesi : pukul 10.40 WIB
e. Mulai Operasi : pukul 10.45 WIB
f. Premedikasi : Granisetron 1 mg IV
g. Medikasi : Decain 0,5 % 20 mg,
h. Medikasi tambahan : Tramadol 100 mg, pranalges supp. 1 tab
i. Respirasi : Pernapasan spontan
j. Cairan durante operasi : RL 1000 cc
k. Pemantauan TD dan HR : terlampir
l. Selesai operasi : Pukul 11.15 WIB
5. Post Operatif
a. Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan (Recovery Room) kemudian
dibawa kembali ke ruang rawat inap.
b. Observasi tanda-tanda vital dalam batas normal :
- Keadaan umum : tampak sakit ringan
- Kesadaran : compos mentis
- TD : 117/73 mmHg
- Nadi : 82x/menit
- Saturasi oksigen : 100%
- Penilaian pemulihan kesadaran : dengan menggunakan skor Bromage.
BROMAGE SKOR
NO KRITERIA SKOR
1 Dapat mengangkat tungkai bawah 0
2 Tidak dapat menekuk lutut tetapi dapat 1
mengangkat kaki
3 Tidak dapat mengangkat tungkai bawah tetapi 2
masih dapat menekuk lutut
4 Tidak dapat mengangkat kaki sama sekali 3
Keterangan: Pasien dapat di pindah ke bangsal,
jika skor kurang dari 2
Pasien memenuhi skor Bromage yaitu <2, maka pasien dapat dipindah ke bangsal.
12
BAB IV
ANALISA KASUS
13
pengobatan pada keadaan Nausea dan vomitus akut maupun tertunda yang
berhubungan dengan kemoterapi dan radioterapi serta mual dan muntah pasca
operasi.
14
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh. Anestesi juga didefinisikan oleh Oliver Wendell Holmes
tahun 1948 sebagai gambaran keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.
Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen yaitu hipnotik
(tidak sadarkan diri = mati ingatan), analgesi (bebas nyeri = mati rasa), dan
relaksasi otot rangka (mati gerak). Untuk mencapai ke tiga target tersebut
dapat digunakan hanya dengan mempergunakan satu jenis obat, misalnya eter
atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek
khusus seperti tersebut di atas, yaitu obat yang khusus sebagai hipnotik, khusus
sebagai analgesi, dan khusus sebagai obat pelumpuh otot. Ketiga target
anestesia tersebut populer disebut dengan Trias anestesi. Anestesi dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu anestesi umum (general anestesi) dan anestesi regional
(regional anestesi).
2. Klasifikasi
2.1 General Anestesi
Adalah tindakan untuk meniadakan persepsi terhadap semua rangsang.
Anestesi umum digunakan dalam berbagai tindakan pembedahan. Untuk
menimbulkan efek yang ideal perlu kombinasi dari beberapa obat. Obat
anestesi umumnya diberikan secara inhalasi atau injeksi intravena.
2.2 Regional Anestesi
Anestesi regional adalah menginjeksikan obat anestesi lokal ke sejumlah
sel saraf dengan tujuan memblokade saraf, mengantarkan sensasi dan
mencegahnya mencapai otak. Terjadi hambatan impuls nyeri suatu bagian
tubuh sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu
bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi kesadaran pasien tetap terjaga.
15
3. Regional Anestesi
3.1 Pembagian Anestesi/Analgesia Regional
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, dan analgesia regional intravena.
16
4. BLOK SENTRAL
Blok neuroaksial akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan
blok motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi, dan volume obat anestesi lokal).
4.1.2 Indikasi
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,
maksimal 2-3 jam.
17
B. Kontra indikasi relatif :
Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotik. Perlu dipikirkan kemungkinan
penyebaran infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar
tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang
sudah ada pada pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120
menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa
bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea
rah jantung akibat efek obat anestesi local.
Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman.
18
Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan
lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.
19
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.
Kutis
Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1
cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal
dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa
sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat
melewati ligamentum dan masuk keruang epidural.
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah
tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.
20
Gambar 3. Susunan anatomi ligamen vertebra
Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri
dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks.
Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan
posterior.
21
4.1.5 Persiapan Anestesi Spinal
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana
dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan
karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi
menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi
anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah :
Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan
terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau
kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak
teraba.
Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT) dan
masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan
pembekuan darah.
Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan obat-
obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, pulse oxymetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set.
22
4.1.6 Obat-Obatan Pada Anestesi Spinal
Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipnya merupakan obat anestesi
lokal. Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi
lokal bersifat reversibel. Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat
iritan terhadap jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat
harus sesingkat mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi lokal ini
juga harus larut dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid
dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya
berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi lokal ini adalah
menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja
obat anestesi lokal adalah di membran sel. Kerjanya adalah mengubah
permeabilitas membran pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi
yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 adalah 1.003-1.008. Anastetik
lokal dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobarik. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat
jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan
adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik lokal dengan
dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan
mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan.
Lidokain 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hiperbarik, dosis
20-50mg(1-2ml).
Bupivakain 0.5% dalam air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg.
Bupivakain 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15mg(1-3ml).
23
Obat anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada sistem tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anestesia spinal :
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
lokal, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada sistem saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi lokal berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi lokal dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada sistem saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,
maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan
bradikardi. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting
diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi
local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamin
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan
yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi lokal.
Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan dengan zat lain
atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :
24
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme
kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local
dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi
lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat
onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini
sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin
adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya
hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.
Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi spinal
terdapat pada table dibawah ini.
25
4.1.7 Teknik Anestesi Spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.
26
Gambar 6. Posisi lateral pada spinal anestesi Gambar 7. Posisi Duduk pada Spinal Anestesi
Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.
27
Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan
monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motorik pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan darah
bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belum
diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan
keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat,
pusing, mual, berkeringat.
28
Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi
pasien.
29
bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran,
paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung.
Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas
pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering
terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan
sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung
menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor
penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total.
Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas
terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf
phrenikus biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,
sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya
menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah
terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor,
dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal
berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi.
30
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi
lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada
perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24 - 48 jam
pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Untuk menangani
komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau
diberikan ranitidine.
5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri
kepala. Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan
pada dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung
beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar ukuran
jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi
terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang
dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 48 jam
selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya
muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering disertai
dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan
nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan
atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan
berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam
waktu 24 48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi
(secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada
abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan
dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran
dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika
terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke
dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.
31
punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat diobati secara
simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat saja.
32
iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari kerusakan didalam
korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri:
kekurangan suplai darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan
suplai darah dari arteri-arteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan
aliran darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan
aliran darah sama ada dari kongesti vena maupun obstruksi aliran.
33
anestesi spinal, sedangkan kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih lemah.
4.2.2 Indikasi
Indikasi analgesia epidural :
1. Untuk analgesia saja, di mana operasi tidak dipertimbangkan. Sebuah
anestesi epidural untuk menghilangkan nyeri (misalnya pada persalinan)
kemungkinan tidak akan menyebabkan hilangnya kekuatan otot, tetapi
biasanya tidak cukup untuk operasi.
2. Sebagai tambahan untuk anestesi umum. Hal ini dapat mengurangi
kebutuhan pasien akan analgesik opioid. Ini cocok untuk berbagai macam
operasi, misalnya histerektomi, bedah ortopedi, bedah umum (misalnya
laparotomi) dan bedah vaskuler (misalnya perbaikan aneurisma aorta
terbuka).
3. Sebagai teknik tunggal untuk anestesi bedah. Beberapa operasi, yang paling
sering operasi caesar, dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi
epidural sebagai teknik tunggal. Biasanya pasien akan tetap terjaga selama
operasi.
4. Untuk analgesia pasca-operasi, di salah satu situasi di atas. Analgesik
diberikan ke dalam ruang epidural selama beberapa hari setelah operasi,
asalkan kateter telah dimasukkan.
34
5. Untuk perawatan sakit punggung. Injeksi dari analgesik dan steroid ke
dalam ruang epidural dapat meningkatkan beberapa bentuk sakit punggung.
6. Untuk mengurangi rasa sakit kronis atau peringanan gejala dalam perawatan
terminal, biasanya dalam jangka pendek atau menengah.
Ada beberapa situasi di mana resiko epidural lebih tinggi dari biasanya :
1. Kelainan anatomis, seperti spina bifida, meningomyelocele, atau skoliosis
2. Operasi tulang belakang sebelumnya (di mana jaringan parut dapat
menghambat penyebaran obat)
3. Beberapa masalah sistem saraf pusat, termasuk multiple sclerosis
4. Beberapa masalah katup jantung (seperti stenosis aorta, di mana vasodilatasi
yang diinduksi oleh obat bius dapat mengganggu suplai darah ke jantung)
Anestesi epidural sebaiknya dilakukan pada :
1. Kurangnya persetujuan
2. Gangguan pendarahan (koagulopati) atau penggunaan obat antikoagulan
(misalnya warfarin)
3. Risiko hematoma
4. Kompresi tulang belakang
5. Infeksi dekat titik penyisipan
6. Hipovolemia
Penyebaran obat pada anestesi epidural bergantung :
1. Volume obat yg disuntikan
2. Usia pasien
3. Kecepatan suntikan
4. Besarnya dosis
5. Ketinggian tempat suntikan
6. Posisi pasien
7. Panjang kolumna vetebralis
35
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:
jarum ujung tajam (Crawford)
jarum ujung khusus (Tuohy)
36
Teknik tetes tergantung (hanging drop)
Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi pada teknik
ini menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada
tetes Nacl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural
perlahan secara lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang
kemudian disusul oleh tersedotnya tetes NaCl ke ruang epidural.
Setelah yakin, lakukan uji dosis (test dose).
6. Cara penyuntikan: setelah yakin posisi jarum atau kateter benar, suntikkan
anestetik lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sampai tercapai dosis total.
Suntikan terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural
mendadak tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan intrakranial,
nyeri kepala dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.
37
8. Uji keberhasilan epidural
Keberhasilan analgesia epidural :
a. blok simpatis diketahui dari perubahan suhu.
b. blok sensorik dari uji tusuk jarum.
c. blok motorik dari skala bromage
38
4. Mual-muntah
39
5. Setelah dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah hiatus
sakralis, tusukkan jarum mula-mula 90o terhadap kulit. Setelah diyakini
masuk kanalis sakralis, ubah jarum jadi 450-600 dan jarum didorong sedalam
1-2 cm. Kemudian suntikan NaCl sebanyak 5 ml secara agak cepat sambil
meraba apakah ada pembengkakan di kulit untuk menguji apakah cairan
masuk dengan benar di kanalis kaudalis.
2. Efek Respirasi:
Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok lebih dari dermatom T5)
mengakibatkan hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dan
menyebabkan terjadinya respiratory arrest. Bisa juga terjadi blok pada
40
nervus phrenicus sehingga menyebabkan gangguan gerakan diafragma dan
otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi.
3. Efek Gastrointestinal:
- Mual muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20%, sehingga menyebabkan
hiperperistaltik gastrointestinal akibat aktivitas parasimpatis dikarenakan
oleh simpatis yg terblok. Hal ini menguntungkan pada operasi abdomen
karena kontraksi usus dapat menyebabkan kondisi operasi maksimal.
5. BLOK PERIFER
Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja
pada tiap bagian susunan saraf.
Anestesi lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade
lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi
sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal
setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan
lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf. Anestesi lokal sering kali
digunakan secara parenteral (injeksi) pada pembedahan kecil di mana anestesi
umum tidak perlu atau tidak diinginkan. Di Indonesia, yang paling banyak
digunakan adalah lidokain dan bupivakain.
Mekanisme kerja
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium-channel),
mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium
sehingga tidak terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya, tidak terjadi
konduksi saraf. Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin
poten. Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja dan
konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja.
Konsentrasi minimal anestetika lokal (analog dengan MAC, minimum
alveolar concentration) dipengaruhi oleh :
1. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf
2. pH (asidosis menghambat blokade saraf)
41
3. Frekuensi stimulasi saraf
Mula kerja bergantung beberapa faktor, yaitu:
1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi
meningkat dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan
mula kerja cepat
2. Alkalinisasi anestetika lokal membuat awal kerja cepat
3. Konsentrasi obat anestetika local
Lama kerja dipengaruhi oleh:
1. Ikatan dengan protein plasma karena reseptor anestetika lokal adalah protein
2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi
3. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian
Sistem pernafasan:
a. Relaksasi otot polos bronkus
b. Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus
c. Paralisis intercostal
d. Depresi langsung pusat pengaturan nafas
42
g. Tidak sadar
h. Konvulsi
i. Koma
Imunologi : reaksi alergi
Sistem muskuloskeletal : miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain)
Komplikasi lokal
1. Terjadi ditempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis dan gangren.
2. Komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis
dan antisepsis.
3. Iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor yang
disuntikkan pada daerah dengan end-artery.
Komplikasi sistemik
1. Manifestasi klinis umumnya berupa reaksi neurologis dan
kardiovaskuler.
2. Pengaruh pada korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi adalah berupa
perangsangan sedangkan pengaruh pada pons dan batang otak berupa
depresi.
3. Pengaruh kardiovaskuler adalah berupa penurunan tekanan darah dan
depresi miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung.
A. Infiltrasi Lokal
Penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan sekitar tempat lesi
43
C. Analgesia Permukaan (Topikal)
Obat analgetika lokal dioles atau disemprot di atas selaput mukosa
44
tetap dipertahankan selama 30 menit untuk memberi kesempatan obat
keluar vena menyebar dan melekat ke seluruh jaringan sekitar. Untuk
tungkai jarang dikerjakan karena banyak pilihan lain yang lebih mudah dan
aman seperti blok spinal, epidural, atau kaudal.
OBAT-OBATAN
1. Granisetron
Granisetron merupakan antagonis 5HT3 yang dapat ditemukan pada
reseptor yang memediasi pusat muntah di otak (area post arema) dan juga
lambung. Ondansetron digunakan sebagai profilaksis anti mual dan muntah
dianjurkan sebelum induksi dan pascabedah terutama pada pasien dengan
riwayat mual muntah. Dosis yang direkomendasikan pada granisetron adalah 1
mg.
2. Bupivacaine
45
saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.
Farmakodinamik
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah
peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga
terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten.
Ikatan dengan protein mempengaruhi lama kerja dan konstanta dissosiasi (pKa)
menentukan awal kerja. Konsentrasi minimal anestesi lokal dipengaruhi oleh :
ukuran, jenis dan mielinisasi saraf; pH (asidosis menghambat blokade saraf),
frekuensi stimulasi saraf.
Mula kerja bergantung beberapa factor, yaitu: pKa mendekati pH
fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan dapat
menembus membran sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat,
alkalinisasi anestesi lokal membuat mula kerja cepat, konsentrasi obat
anestetika lokal. Lama kerja dipengaruhi oleh : ikatan dengan protein plasma,
karena reseptor anestetika lokal adalah protein; dipengaruhi oleh kecepatan
absorpsi; dipengaruhi oleh ramainya pembuluh darah perifer di daerah
pemberian.
Indikasi
1. Anestesi Intratekal (sub-arachnoid, spinal) untuk pembedahan
2. Pembedahan di daerah abdomen selama 45 - 60 menit (termasuk operasi
Caesar)
3. Pembedahan dibidang urologi dan anggota gerak bawah selama 2- 3 jam
Kontraindikasi
1. Hipersensitif terhadap anestesi lokal jenis amida
2. Penyakit akut dan aktif pada sistem saraf, seperti meningitis, poliomyelitis,
perdarahan intrakranial, dan demyelinisasi, peningkatan tekanan
intrakranial, adanya tumor otak atau di daerah spinal
3. Stenosis spinal dan penyakit aktif (spondilitis) atau trauma (fraktur) baru
pada tulang belakang.
4. TBC tulang belakang
5. Infeksi pada daerah penyuntikan
46
6. Septikemia
7. Anemia pernisiosa dengan degenerasi kombinasi sub-akut pada medula
spinalis
8. Gangguan pembekuan darah atau sedang mendapat terapi antikoagulan
secara berkesinambungan
9. Hipertensi tidak terkontrol
10. Syok kardiogenik atau hipovolemi
Dosis
Anestesi spinal pada orang dewasa 7,5 - 20 mg. Penyebaran anestesi
tergantung pada beberapa faktor, termasuk di dalamnya volume larutan dan
posisi pasien selama dan setelah penyuntikan ke rongga sub-arachnoid. Harus
dipahami bahwa tingkat anestesi spinal yang dicapai oleh anestesi lokal tidak
dapat diperkirakan pada pasien.
Injeksi spinal hanya boleh diberikan jika ruang subarachnoid sudah
teridentifikasi secara jelas dengan ditandai keluar dan menetesnya cairan
serebrospinal yang jernih, atau terdeteksi oleh aspirasi cairan serebrospinal.
Larutan harus segera digunakan setelah ampul terbuka dan sisanya harus
dibuang.
Efek Samping
1. Sistem saraf pusat (SSP)
SSP rentan terhadap toksisitas anestetik lokal, dengan tanda-tanda
awal parestesi lidah gelisah, nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur, tinitus,
mual, muntah, tremor, gerakan koreatosis, rasa logam di mulut,
inkoherensia, kejang koma.
2. Sistem Pernafasan
Relaksasi otot polos bronkus. Henti nafas akibat paralisis nervus
phrenikus, paralise interkostal atau depresi langsung, pernafasan dalam dan
kemudian tak teratur, sesak nafas hingga apneu, hipersekresi dan
bronkospasme.
3. Sistem kardiovaskuler : vasodilatasi, hipotensi, bradikardi, nadi kecil dan
47
syok.
4. Reaksi hipersensitivitas (urtikaria, dermatitis, edema angioneurotik,
bronkospasme, status asmatikus, sinkop dan apneu)
Interaksi Obat
Bupivacaine harus digunakan secara hati-hati bila diberikan pada
penderita yang menerima obat-obat aritmia dengan aktivitas anestesi lokal,
karena efek toksiknya dapat bersifat adiktif. Toksisitasnya meningkat bila
diberikan bersama propanolol.
Tramadol
Salah satu derivate sintetik opioid adalah tramadol. Opioid
menghasilkan efek melalui interaksinya dengan reseptor opioid di susunan
saraf pusat dan saluran gastrointestinal. Opioid menghasilnkan
hiperpolarisasi sel saraf, inhibisi pelepasan saraf dan inhibisi prasinap dan
pelepasan meutransmitter. Opioid mempunyai efek klinis yaitu:
Analgesia
Pada manusia pemberian opioid akan menghasilkan efek analgesia,
rasa mengantuk, perubahan mood dan mental. Opiod menghilangkan nyeri
dengan meningkatkan ambang nyeri pada tingkat medulla spinalis dan yang
paling penting dengan mengubah presepsi nyeri di otak. Efek analgesia
yang timbul tidak berhubungan dengan hilangnya kesadaran. Roses
menghilangkan nyeri oleh opioid adalah selektif, tidak mempengaruhi
kekuatan sensoriknya. Pasien masih merasakan nyeri namun perasaan yang
ditimbulkan lebih nyaman. Nyeri nosiseptif lebih berespon terhadap efek
analgesia dari opioid dibandingkan nyeri neuropati.
Dosis yang diberikan untuk tatalaksana nyeri sedang sampai berat
pasca operasi dengan cara drip infuse 100 mg dilanjutkan 50 mg setiap 10-20
menit, bila perlu sampai 250 mg pada satu jam pertama. Dosis maintenance
50-100 mg setiap 4-6 jam. Dosis maksimal adalah 600 mg per hari.
48
3. Ketoprofen
49
BAB VI
KESIMPULAN
50
DAFTAR PUSTAKA
51