Anda di halaman 1dari 52

PRESENTASI KASUS

APPENDIKTOMI DENGAN REGIONAL ANESTESI

Pembimbing :
dr. Dublianus, Sp.An
dr. Tati Maryati, Sp.An

Disusun Oleh :
Sabila Shani - 03012246
Verna Fitriani - 03012273

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
FEBRUARI 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga presentasi kasus ini yang berjudul
Appendiktomi dengan Regional Anestesia dapat diselesaikan. Presentasi kasus
ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
bagian anestesiologi di RSUD Cilegon.
Presentasi kasus ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada yang terhormat para konsulen bagian anestesiologi RSUD Cilegon dr.
Dublianus, Sp.An dan dr. Tati Maryati, Sp. An atas keluangan waktu dan
bimbingan yang telah diberikan, serta staf bagian anestesiologi yang selalu
mendukung, memberi saran, motivasi, bimbingan dan kerjasama yang baik
sehingga presentasi kasus ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun presentasi kasus ini masih
memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima
berbagai kritik dan saran yang diberikan demi kesempurnaan presentasi kasus ini.
Demikian presentasi kasus ini disusun semoga dapat bermanfaat bagi
banyak pihak dan pembaca pada umumnya.

Cilegon, Februari 2017

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................................3
BAB II. STATUS ANESTESI................................................................................4
BAB III. LAPORAN ANESTESI...........................................................................9
BAB IV. ANALISA KASUS.................................................................................13
BAB V. TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................15
BAB VI. KESIMPULAN.......................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................51

2
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan aesthesos,


persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur
lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Anestesi juga didefinisikan oleh
Oliver Wendell Holmes tahun 1948 sebagai gambaran keadaan tidak sadar yang
bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan
nyeri pembedahan.
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan yang meliputi pemberian anestesi ataupun analgesik, pengawasan
keselamatan pasien dioperasi atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi),
perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi, dan penanggulangan
nyeri.
Prinsip dalam pelaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa
tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, terdiri dari persiapan fisik dan
mental pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada
hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,
masa pemeliharaan anestesi, tahap pemulihan serta perawatan pasca operasi.
Anestesi spinal termasuk ke dalam teknik neuroaksial blok, yang terdiri dari
blokade spinal, kaudal, dan epidural. Sub Arachnoid Blok (SAB) atau anestesi
spinal adalah salah satu teknik anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan
obat anestesi lokal ke dalam ruang subarakhnoid dengan tujuan mendapatkan
analgesia setinggi dermatom tertentu sesuai yang diinginkan. Sub Arakhnoid Blok
umumnya digunakan pada operasi bagian bawah tubuh seperti ekstremitas bawah,
perineum, atau abdomen bawah. Prinsip yang digunakan adalah menggunakan obat
analgetik lokal untuk menghambat saraf sensorik untuk sementara (reversibel).
Fungsi motorik juga terhambat sebagian, kesadaran pasien tetap terjaga pada teknik
anestesi ini. Anestesi spinal dihasilkan jika menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang sub arakhnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.

3
BAB II
STATUS ANESTESI

I. IDENTITAS

Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 36 tahun
Alamat : Link. Leuweung Sawo RT 03/RW 09 Kota Bumi,
Purwakarta
Agama : Islam
Bangsa/ Suku : Sunda
Status Pernikahan : Menikah
Pendidikan Terakhir : S1
Pekerjaan : PNS
Ruang Perawatan : Bougenville
Tanggal Masuk RS : Kamis, 09 Februari 2017

II. ANAMNESIS

Autoanamnesis :

Tanggal 10 Februari 2017, pukul 07.00 WIB, di ruang Bougenville


RSUD Cilegon
Pasien merupakan pasien bedah umum dengan diagnosis suspek
Appendisitis Akut

A. Keluhan Utama

Pasien datang ke rumah sakit pada tanggal 9 Februari 2017 dengan keluhan
nyeri perut kanan bawah sejak sekitar 2 hari yang lalu.

4
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Bedah Umum RSUD Cilegon dengan keluhan nyeri
perut kanan bawah sejak 2 hari. Pasien sebelumnya mengatakan nyeri pada
ulu hati, namun sekarang nyerinya berpindah ke perut kanan bawah. Pasien
juga mengeluhkan mual, tanpa disertai muntah dan demam.
Pasien sekarang tidak sedang mengandung, haid lancar, BAK dan BAB
tidak ada keluhan.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien mengaku pernah menderita penyakit maag.

D. Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat hipertensi, penyakit jantung, gangguan ginjal, asma, maupun
diabetes melitus pada anggota keluarga yang lain disangkal oleh pasien.

E. Riwayat Kebiasaan dan Pengobatan :


Pasien mengaku tidak memiliki kebiasaan merokok ataupun minum-
minuman beralkohol. Pasien juga menyangkal memakai gigi palsu, adanya
gigi goyang maupun gigi tanggal.

F. Riwayat Tindakan Operatif


Pasien mengaku tidak pernah melakukan operasi sebelumnya.

III. PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 10 Februari, pukul 07.00 WIB)

A. Status Tanda Vital


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 92x/menit
Suhu : 37,2 oC
Pernafasan : 20 x/menit

5
TB/BB : 156cm/43kg

B. Status Generalis
Kepala : Normocephali, rambut hitam tidak mudah dicabut.
Mata : Pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+, konjungtiva
anemis -/-, sklera ikterik -/-.
Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), nafas cuping
hidung (-), sekret -/-
Telinga : Normotia, membran timpani intak +/+, nyeri tarik -
Mulut : Bibir merah kecoklatan, agak kering, sianosis (-),
sariawan (-), trismus (-) ..halitosis (-), candidiasis(-).
Lidah : Normoglossia, warna merah muda, lidah kotor (-),
tremor (-), deviasi (-)
Gigi geligi : Baik. Tidak ada pemakaian gigi palsu
Uvula : Letak di tengah, hiperemis (-)
Tonsil : T1/T1, tidak hiperemis
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis
Leher :KGB supraklavikular tidak teraba membesar,
kelenjar tiroid tidak teraba .membesar, trakea letak
normal

Thorax
Paru
Inspeksi
Bentuk dada normal, simetris dalam keadaan statis maupun dinamis,
efloresensiprimer/sekunder dinding dada (-), pulsasi abnormal (-), gerak
napas simetris, irama teratur, retraksi suprasternal (-)
Palpasi : Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris,
Ictus cordis tidak tampak.
Perkusi :Sonor di semua lapangan paru

6
Auskultasi : Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/- , S1
normal, S2 normal,reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
datar simetris, supel, bising usus (+) normal, rovsing sign (+), nyeri tekan
mc burney (+), Rebound tenderness (-), Psoas sign (-)
Ekstremitas
- Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis (-), edema (-)
- Bawah : Akral hangat, sianosis (-), edema (-), deformitas (-).
-
IV. STATUS FISIK
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik ataupun gangguan organik
lainnya dan tidak didapati adanya komplikasi pada keluhan yang dirasakan
sehingga dapat dikategorikan pasien memiliki status fisik ASA 1.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan 18-08-2016 Nilai normal


Hematologi
Hemoglobin 12,3 12-16 g/dL
Leukosit 18.050 5000-10000/L
Hematokrit 36,9 37-43%
Trombosit 260.000 150000-450000/L
Masa Pembekuan 11 5-15 menit
Masa Perdarahan 2 1-6 menit
Gol. Darah AB Rh (+)
Faal Hati
SGOT 23 <37 U/L
SGPT 19 <41 U/L
Faal Ginjal

7
Ureum 12 17-43mg/Dl
Kreatinin 0,69 0,6-1,2 mg/Dl
Seroimmunologi
HbsAg Negatif Negatif
Anti-HIV Non Reaktif Non Reaktif
Tes Darah Lain

Glukosa sewaktu 93 <200 mg/dl

Urine

Test Kehamilan HCG Negatif

VI. KESAN ANESTESI


Pasien seorang perempuan berusia 36 tahun dengan Appendisitis Akut
dengan klasifikasi ASA 1.

VII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kepada pasien meliputi :
a. Intravena fluid drip RL 500cc 20tpm
b. Informed consent mengenai tindakan appendiktomi
c. Konsul ke bagian Anestesi
d. Informed consent pembiusan : dilakukan operasi appendiktomi dengan
regional anestesi dengan klasifikasi ASA 1

VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ;
Diagnosis pre operatif : Appendisitis Akut
Status operatif : ASA 1
Jenis Operasi : Appendiktomi
Jenis Anestesi : Regional Anestesi (Sub Arachnoid Block)

8
BAB III

LAPORAN ANESTESI

A. Preoperatif
- Informed Consent (+)
- Puasa (+) kurang lebih 6-8 jam
- Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu
- IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar
- Keadaan umum tampak sakit ringan
- Kesadaran Compos Mentis
- Tanda Vital:
o Tekanan darah : 132/67 mmHg
o Pernafasan : 20 x/menit
o Nadi : 80 x/menit
o Suhu : 36,8C

B. Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Granisetron 1 mg secara bolus
intravena.

C. Tindakan Anestesi
Pasien dalam posisi duduk, kepala menunduk, kemudian menentukan lokasi
penyuntikkan di L3-4 yaitu di atas titik hasil perpotongan antara garis yang
menghubungkan crista iliaca dextra dan sinistra dengan garis vertical tulang
vertebra yang berpotongan di vertebra lumbal 4. Kemudian dilakukan tindakan
asepsis dan antisepsis dengan kassa steril dan povidone iodine. Lalu dilakukan
penyuntikan di titik L3-4 paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan
menggunakan jarum spinal no. 27, kemudian jarum spinal dilepaskan hingga
tersisa kanulnya, lalu dipastikan bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir
melalui kanul (ruang subarachnoid), kemudian obat anestesi yaitu Decain 20
mg (Bupivacain 5mg/ml + dextrose 80mg/ml) disuntikkan dengan terlebih
dahulu melakukan aspirasi untuk memastikan kanul spinal masih tetap di ruang
subarachnoid, setelah Bupivacain disuntikkan setengahnya kembali dilakukan

9
tindakan aspirasi LCS untuk memastikan kanul tidak bergeser, lalu Decain
disuntikkan semua.
Setelah itu menutup luka bekas suntikkan dengan kassa steril dan micropore.
Kemudian pasien kembali posisi berbaring di meja operasi. Sesaat setelah
pasien dibaringkan lalu dilakukan tes blokade motorik dengan cara menyuruh
pasien mengangkat kakinya dalam keadaan lurus kemudian ditanyakan kepada
pasien apakah kakinya sudah terasa berat, tidak bisa diangkat, ataupun
kesemutan. Ketidakmampuan mengangkat kaki dalam keadaan lurus
merupakan tanda keberhasilan motorik dan operasi dapat dimulai.

D. Pemantauan Selama Tindakan Anestesi


Melakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi. Yang
dipantau adalah fungsi kardiovaskular dan fungsi respirasi, serta cairan.
- Kardiovaskular: pemantauan terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi
setiap 5 menit.
- Respirasi: inspeksi pernapasan spontan kepada pasien dan saturasi oksigen
- Cairan : monitoring input cairan infus.

Lampiran Monitoring Tindakan Operasi:

Jam Tindakan Tensi Nadi Saturasi


10.30 Pasien masuk ke kamar operasi, dan 132/67 80
dipindahkan ke meja operasi
Pemasangan monitoring tekanan darah.
Infus RL terpasang pada tangan kanan.
Diberikan premedikasi Granisetron 1 mg.
10.40 Dilakukan spinal anestesi 128/64 76 99
Spinocan No. 27
Decain 20 mg sebanyak 1 ampul
Kemudian pasien dibaringkan dan dipasang
oximetry untuk monitoring nadi dan saturasi
O2.

10
Lalu dipasang canule O2 diberikanO2 : 2
liter/menit
Dilakukan skin test Cefotaxime
10.45 Operasi dimulai 121/70 71 99
Kondisi terkontrol
10.50 Kondisi terkontrol 125/60 71 99
10.55 Kondisi terkontrol 110/60 69 100
11.00 Kondisi terkontrol 110/67 75 100
11.05 Kondisi terkontrol 114/73 80 100
11.10 Kondisi terkontrol 110/80 80 99
Diberikan Tramadol 100mg secara drip
IV.
11.15 Operasi selesai 110/82 88 99
Pemberian O2 dihentikan
Pelepasan alat monitoring
Dimasukan Pronalges supp.
Pasien dipindahkan ke recovery room
11.20 Dilakukan pemasangan alat monitoring 110/68 92 100
pada recovery room

Laporan Anestesi

1. Diagnosis Pra Bedah


Appendisitis Akut
2. Diagnosis Pasca Bedah
Appendisitis Akut
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus RL 500cc
Decain 40 mg
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis pembedahan : Appendiktomi
b. Jenis Anestesi : Regional Anestesi

11
c. Teknik Anestesi :Sub Arachnoid Block , L3-4, LCS +,
spinocain no 27G
d. Mulai Anestesi : pukul 10.40 WIB
e. Mulai Operasi : pukul 10.45 WIB
f. Premedikasi : Granisetron 1 mg IV
g. Medikasi : Decain 0,5 % 20 mg,
h. Medikasi tambahan : Tramadol 100 mg, pranalges supp. 1 tab
i. Respirasi : Pernapasan spontan
j. Cairan durante operasi : RL 1000 cc
k. Pemantauan TD dan HR : terlampir
l. Selesai operasi : Pukul 11.15 WIB
5. Post Operatif
a. Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan (Recovery Room) kemudian
dibawa kembali ke ruang rawat inap.
b. Observasi tanda-tanda vital dalam batas normal :
- Keadaan umum : tampak sakit ringan
- Kesadaran : compos mentis
- TD : 117/73 mmHg
- Nadi : 82x/menit
- Saturasi oksigen : 100%
- Penilaian pemulihan kesadaran : dengan menggunakan skor Bromage.

BROMAGE SKOR

NO KRITERIA SKOR
1 Dapat mengangkat tungkai bawah 0
2 Tidak dapat menekuk lutut tetapi dapat 1
mengangkat kaki
3 Tidak dapat mengangkat tungkai bawah tetapi 2
masih dapat menekuk lutut
4 Tidak dapat mengangkat kaki sama sekali 3
Keterangan: Pasien dapat di pindah ke bangsal,
jika skor kurang dari 2
Pasien memenuhi skor Bromage yaitu <2, maka pasien dapat dipindah ke bangsal.

12
BAB IV

ANALISA KASUS

Berdasarkan anamnesis, maka pasien dapat diklasifikasikan ke dalam ASA


1, yaitu pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik ataupun gangguan organik
lainnya dan tidak didapati adanya komplikasi pada keluhan yang dirasakan.
Persiapan yang dilakukan sebelum operasi yaitu memastikan pasien dalam keadaan
sehat, memasang infus, dan pasien dalam keadaan puasa selama 6-8 jam sebelum
operasi. Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak sakit ringan dan
kesadaran compos mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu Regional
Anestesi dengan teknik Spinal Anesthesia Subarachnoid Block Sit Position. Dari
anamnesis didapatkan pasien appendisitis akut. Pasien direncanakan untuk operasi
dilakukan tindakan appendiktomi.

Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu yaitu


memastikan infus berjalan lancar, hal ini dimaksudkan karena pada saat operasi
sebagian besar obat-obatan diberikan melalui jalur intravena, kemudian
pemasangan alat-alat tanda vital seperti alat tensi dan alat saturasi yang bertujuan
untuk melihat tekanan darah pasien apakah pasien mengalami hipertensi atau
hipotensi karena beberapa obat anestesi dapat mempengaruhi perubahan tekanan
darah, dan alat saturasi bertujuan untuk memantau suplai oksigen pasien, kemudian
memastikan pasien dalam keadaan tenang dan kooperatif.

Sebelum operasi dimulai pasien diberikan obat premedikasi yaitu


Granisetron 1 mg yang diberikan secara bolus IV. Hal ini bertujuan untuk
mengurangi rasa mual, karena obat-obat anestesi dapat merangsang muntah pada
pasien. Sel-sel mukosa enterochromaffin melepaskan serotonin yang menstimulasi
reseptor-reseptor 5-HT3. Hal ini menimbulkan rangsangan aferen n. vagus dan
dapat menyebabkan vomitus.. Granisetron merupakan antiemetik yang potent
dimana efek antiemetiknya dicapai melalui kerja antagonis pada reseptor-reseptor
5-hydroxitryptamine (5-HT3) di dalam chemoreceptor trigger zone dan mungkin
pada saluran cerna bagian atas. Reseptor-reseptor serotonin tipe 5-HT3 terletak
secara perifer pada terminal nervus vagus dan sentral di dalam chemoreceptor
trigger zone di area postrema. Granisetron diindikasikan untuk pencegahan dan

13
pengobatan pada keadaan Nausea dan vomitus akut maupun tertunda yang
berhubungan dengan kemoterapi dan radioterapi serta mual dan muntah pasca
operasi.

Kemudian dilakukan anestesi kepada pasien dengan menggunakan obat


Bupivacaine 20 mg. Obat Bupivacaine adala obat anestesi lokal yang cara kerjanya
memblok generasi dan konduksi impuls saraf, dengan meningkatkan ambang
eksitasi untuk listrik pada saraf, dengan memperlambat penyebaran impuls saraf,
dan dengan mengurangi laju kenaikan dari potensial aksi. Bupivacaine mengikat
bagian saluran intraseluler natrium dan memblok masuknya natrium ke dalam sel
saraf, sehingga mencegah depolarisasi, sifatnya reversibel. Dan Bupivacaine
merupakan obat anestetik lokal yang memiliki masa kerja panjang dan mula kerja
pendek.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang didapatkan diagnosis


pasien appendisitis akut. Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan operasi
appendiktomi. Operasi berlangsung selama dua puluh lima menit. Selama operasi
diberikan cairan Ringer laktat.
Setelah operasi selesai, pasien diberikan tramadol yang merupakan opioid
sebagai analgetik yang tidak mempengaruhi kesadaran pasien dan pronalges
(ketoprofen 100mg) yang merupakan analgetik golongan NSAID diberikan secara
suppositoria utnuk mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Kondisi pasien stabil dan
pemantauan dilanjutkan di ruangan RR (Recovery Room) sampai pasien dibawa
kembali ke ruangan.

14
BAB V

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh. Anestesi juga didefinisikan oleh Oliver Wendell Holmes
tahun 1948 sebagai gambaran keadaan tidak sadar yang bersifat sementara,
karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.
Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen yaitu hipnotik
(tidak sadarkan diri = mati ingatan), analgesi (bebas nyeri = mati rasa), dan
relaksasi otot rangka (mati gerak). Untuk mencapai ke tiga target tersebut
dapat digunakan hanya dengan mempergunakan satu jenis obat, misalnya eter
atau dengan memberikan beberapa kombinasi obat yang mempunyai efek
khusus seperti tersebut di atas, yaitu obat yang khusus sebagai hipnotik, khusus
sebagai analgesi, dan khusus sebagai obat pelumpuh otot. Ketiga target
anestesia tersebut populer disebut dengan Trias anestesi. Anestesi dibagi
menjadi 2 bagian, yaitu anestesi umum (general anestesi) dan anestesi regional
(regional anestesi).

2. Klasifikasi
2.1 General Anestesi
Adalah tindakan untuk meniadakan persepsi terhadap semua rangsang.
Anestesi umum digunakan dalam berbagai tindakan pembedahan. Untuk
menimbulkan efek yang ideal perlu kombinasi dari beberapa obat. Obat
anestesi umumnya diberikan secara inhalasi atau injeksi intravena.
2.2 Regional Anestesi
Anestesi regional adalah menginjeksikan obat anestesi lokal ke sejumlah
sel saraf dengan tujuan memblokade saraf, mengantarkan sensasi dan
mencegahnya mencapai otak. Terjadi hambatan impuls nyeri suatu bagian
tubuh sementara pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu
bagian tubuh diblokir untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat
terpengaruh sebagian atau seluruhnya. Tetapi kesadaran pasien tetap terjaga.

15
3. Regional Anestesi
3.1 Pembagian Anestesi/Analgesia Regional

1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.

2. Blok perifer (blok saraf), misalnya anestesi topikal, infiltrasi lokal, blok
lapangan, dan analgesia regional intravena.

3.2 Keuntungan Anestesia Regional


1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih
murah.
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency,
lambung penuh) karena penderita sadar.
3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.

3.3 Kerugian Anestesia Regional


1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3. Sulit diterapkan pada anak-anak.
4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

3.4 Persiapan Anestesi Regional


Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum karena
untuk mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yg bisa berakibat fatal,
perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke
pembuluh darah, kemudian terjadi kolaps kardiovaskular sampai cardiac arrest.
Juga untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa
dilanjutkan dg anestesi umum.

16
4. BLOK SENTRAL
Blok neuroaksial akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan
blok motoris (tergantung dari dosis, konsentrasi, dan volume obat anestesi lokal).

4.1 Anestesi Spinal


4.1.1 Definisi
Anestesi blok subaraknoid atau biasa disebut anestesi spinal adalah tindakan
anestesi dengan memasukan obat analgetik ke dalam ruang subaraknoid di daerah
vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi hambatan rangsang sensoris mulai
dari vertebra thorakal 4.

4.1.2 Indikasi
Untuk pembedahan,daerah tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah
(daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama,
maksimal 2-3 jam.

4.1.3 Kontra indikasi


Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
A. Kontra indikasi absolut :
Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare.
: Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal
bisa terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain,
maka harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
Pasien menolak.

17
B. Kontra indikasi relatif :
Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotik. Perlu dipikirkan kemungkinan
penyebaran infeksi.
Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat
suntikan bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar
tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang
sudah ada pada pasien sebelumnya.
Kelainan psikis
Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120
menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa
bertahan hingga 150 menit.
Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea
rah jantung akibat efek obat anestesi local.
Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat
diposisikan. Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila
dilakukan berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman.

4.1.4 Struktur Anatomi Vertebra

Gambar 1. Kolumna Vertebralis

18
Tulang vertebra terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang
torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sakral. Tulang servikal, torakal dan
lumbal masih tetap dibedakan sampai usia berapapun, tetapi tulang sakral dan
koksigeus satu sama lain menyatu membentuk dua tulang yaitu tulang sakum dan
koksigeus.

Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga


berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)
memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk
perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh

Hal penting yang perlu diperhatikan dalam melakukan anestesi subaraknoid


adalah lokasi medulla spinalis didalam kolumna vertebralis. Medulla spinalis
berjalan mulai dari foramen magnum kebawah hingga menuju ke konus medularis
(segmen akhir medulla spinalis sebelum terpecah menjadi kauda equina). Penting
diperhatikan bahwa lokasi konus medularis bervariasi antara vertebra T12 hingga
L1.

Memperhatikan susunan anatomis dari vertebra, ada beberapa landmark


yang lazim digunakan untuk memperkirakan lokasi penting pada vertebra,
diantaranya adalah :

1. Vertebra C7 : Merupakan vertebra servikal dengan penonjolan yang


paling terlihat di daerah leher.
2. Papila Mamae : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra
torakal 3-4
3. Epigastrium : Lokasi ini kurang lebih berada di sekitar vertebra torakal
5-6
4. Umbilikus : Lokasi ini berada setinggi vertebra torakal 10
5. Krista Iliaka : Lokasi ini berada setinggi kurang lebih vertebra lumbalis
4-5

19
Berikut adalah susunan anatomis pada bagian yang akan dilakukan anestesi spinal.
Kutis
Subkutis : Ketebalannya berbeda-beda, akan lebih mudah mereba ruang
intervertebralis pada pasien yang memiliki lapisan subkutis yang tipis.
Ligamentum Supraspinosum: Ligamen yang menghubungkan ujung
procesus spinosus.
Ligamentum interspinosum
Ligamentum flavum : Ligamentum flavum cukup tebal, sampai sekitar 1
cm. Sebagian besar terdiri dari jaringan elastis. Ligamen ini berjalan vertikal
dari lamina ke lamina. Ketika jarum berada dalam ligamen ini, akan terasa
sensasi mencengkeram dan berbeda. Sering kali bisa kita rasakan saat
melewati ligamentum dan masuk keruang epidural.
Epidural : Ruang epidural berisi pembuluh darah dan lemak. Jika darah
yang keluardari jarum spinal bukan CSF, kemungkinan vena epidural telah
tertusuk. Jarum spinal harus maju sedikit lebih jauh.
Duramater : Sensasi yang sama mungkin akan kita rasakan saat menembus
duramater seperti saat menembus epidural.
Subarachnoid : merupakan tempat kita akan menyuntikkan obat anestesi
spinal. Pada ruangan ini akan dijumpai likuor sereberospinalis (LCS) pada
penusukan.

20
Gambar 3. Susunan anatomi ligamen vertebra
Pembuluh darah pada daerah tusukan juga perlu diperhatikan, terdapat arteri
dan vena yang lokasinya berada di sekitar tempat tusukan. Terdapat arteri Spinalis
posterior yang memperdarahi 1/3 bagian posterior medulla. Arteri spinalis anterior
memperdarahi 2/3 bagian anterior medulla. Terdapat juga adreti radikularis yang
memperdarahi medulla, berjalan di foramen intervertebralis memperdarahi radiks.
Sistem vena yang terdapat di medulla ada 2 yaitu vena medularis anterior dan
posterior.

Gambar 4. Sistem vaskular medula spinalis

21
4.1.5 Persiapan Anestesi Spinal
Persiapan yang diperlukan untuk melakukan anestesi spinal lebih sederhana
dibanding melakukan anestesi umum, namun selama operasi wajib diperhatikan
karena terkadang jika operator menghadapi penyulit dalam operasi dan operasi
menjadi lama, maka sewaktu-waktu prosedur secara darurat dapat diubah menjadi
anestesi umum.
Persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan anestesi spinal adalah :
Informed consent : Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini
(informed consent) meliputi tindakan anestesi, kemungkinan yang akan
terjadi selama operasi tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik : Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit
tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti
infeksi. Perhatikan juga adanya gangguan anatomis seperti scoliosis atau
kifosis,atau pasien terlalu gemuk sehingga tonjolan processus spinosus tidak
teraba.
Pemeriksaan laboratorium anjuran: Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit, Hb , masa protrombin (PT) dan
masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan
pembekuan darah.

Persiapan yang dibutuhkan setelah persiapan pasien adalah persiapan alat dan obat-
obatan. Peralatan dan obat yang digunakan adalah :
1. Satu set monitor untuk memantau tekanan darah, pulse oxymetri, EKG.
2. Peralatan resusitasi / anestesia umum.
3. Jarum spinal. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing,
quincke bacock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point
whitecare), dipersiapkan dua ukuran. Dewasa 26G atau 27G
4. Betadine, alkohol untuk antiseptic.
5. Kapas/ kasa steril dan plester.
6. Obat-obatan anestetik lokal.
7. Spuit 3 ml dan 5 ml.
8. Infus set.

22
4.1.6 Obat-Obatan Pada Anestesi Spinal
Obat-obatan pada anestesi spinal pada prinsipnya merupakan obat anestesi
lokal. Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan
pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Paralisis pada sel saraf akibat anestesi
lokal bersifat reversibel. Obat anestesi lokal yang ideal sebaiknya tidak bersifat
iritan terhadap jaringan saraf. Batas keamanan harus lebar, dan onset dari obat
harus sesingkat mungkin dan masa kerja harus cukup lama. Zat anestesi lokal ini
juga harus larut dalam air.
Terdapat dua golongan besar pada obat anestesi local yaitu golongan amid
dan golongan ester. Keduanya hampir memiliki cara kerja yang sama namun hanya
berbeda pada struktur ikatan kimianya. Mekanisme kerja anestesi lokal ini adalah
menghambat pembentukan atau penghantaran impuls saraf. Tempat utama kerja
obat anestesi lokal adalah di membran sel. Kerjanya adalah mengubah
permeabilitas membran pada kanal Na+ sehingga tidak terbentuk potensial aksi
yang nantinya akan dihantarkan ke pusat nyeri.
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 adalah 1.003-1.008. Anastetik
lokal dengan berat jenis sama dengan LCS disebut isobarik. Anastetik lokal dengan
berat jenis lebih besar dari LCS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat
jenis lebih kecil dari LCS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan
adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik lokal dengan
dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan
mencampur dengan air injeksi.
Berikut adalah beberapa contoh sediaan yang terdapat di Indonesia dan umum
digunakan.
Lidokain 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.003, sifat hiperbarik, dosis
20-50mg(1-2ml).
Bupivakain 0.5% dalam air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg.
Bupivakain 0.5% dalam dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15mg(1-3ml).

23
Obat anestesi lokal memiliki efek tertentu di setiap sistem tubuh manusia.
Berikut adalah beberapa pengaruh pada sistem tubuh yang nantinya harus
diperhatikan saat melakukan anestesia spinal :
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
lokal, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada sistem saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi lokal berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi lokal dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada sistem saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,
maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan
bradikardi. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting
diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi
local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi lokal memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamin
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik lokal bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan
yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi lokal.

Dalam penggunaan obat anestesi lokal, dapat ditambahkan dengan zat lain
atau adjuvant. Zat tersebut mempengaruhi kerja dari obat anestesi local khususnya
pada anestesi spinal. Tambahan yang sering dipakai adalah :

24
1. Vasokonstriktor : Vasokonstriktor sebagai adjuvant pada anestesi spinal
dapat berfungsi sebagai penambah durasi. Hal ini didasari oleh mekanisme
kerja obat anestesi local di ruang subaraknoid. Obat anestesi local
dimetabolisme lambat di dalam rongga subaraknoid. Dan proses
pengeluarannya sangat bergantung kepada pengeluaran oleh vena dan
saluran limfe. Penambahan obat vasokonstriktor bertujuan memperlambat
clearance obat dari rongga subaraknoid sehingga masa kerja obat menjadi
lebih lama.
2. Obat Analgesik Opioid : digunakan sebagai adjuvant untuk mempercepat
onset terjadinya fase anestetik pada anestesi spinal. Analgesic opioid
misalnya fentanyl adalah obat yang sangat cepat larut dalam lemak. Hal ini
sejalan dengan struktur pembentuk saraf adalah lemak. Sehingga
penyerapan obat anestesi local menjadi semakin cepat. Penelitian juga
menyatakan bahwa penambahan analgesic opioid pada anestesi spinal
menambah efek anestesi post-operasi.
3. Klonidin : Pemberian klonidin sebagai adjuvant pada anestesi spinal dapat
menambah durasi pada anestesi. Namun perlu diperhatikan karena klonidin
adalah obat golongan Alfa 2 Agonis, maka harus diwaspadai terjadinya
hipotensi akibat vasodilatasi dan penurunan heart rate.

Dosis obat anestesi regional yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi spinal
terdapat pada table dibawah ini.

Tabel 1 : Dosis Obat Untuk Anestesi Spinal[11]

25
4.1.7 Teknik Anestesi Spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja
operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien.

1. Pasang IV line. Berikan Infus Dextrosa/NaCl/Ringer laktat


sebanyak 500 - 1500 ml (pre-loading).
2. Oksigen diberikan dengan kanul hidung 2-4 L/Menit
3. Setelah dipasang alat monitor, pasien diposisikan dengan baik.
Dapat menggunakan 2 jenis posisi yaitu posisi duduk dan berbaring
lateral.
4. Raba krista. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua
krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5.
5. Palpasi di garis tengah akan membantu untuk mengidentifikasi
ligamen interspinous.
6. Cari ruang interspinous cocok. Pada pasien obesitas anda mungkin
harus menekan cukup keras untuk merasakan proses spinosus.
7. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
8. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain
1-2% 2-3ml
9. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal
besar 22G, 23G atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan
untuk jarum kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun
jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa yaitu jarum suntik biasa
10cc. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
epidural, duramater, subarachnoid. Setelah mandrin jarum spinal
dicabut, cairan serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya
disuntikkan obat analgesik ke dalam ruang arachnoid tersebut.

26
Gambar 6. Posisi lateral pada spinal anestesi Gambar 7. Posisi Duduk pada Spinal Anestesi

Teknik penusukan bisa dilakukan dengan dua pendekatan yaitu median dan
paramedian. Pada teknik medial, penusukan dilakukan tepat di garis tengah dari
sumbu tulang belakang. Pada tusukan paramedial, tusukan dilakukan 1,5cm lateral
dari garis tengah dan dilakukan tusukan sedikit dimiringkan ke kaudal.

Gambar 8. Tusukan Medial dan Paramedial

27
Setelah melakukan penusukan, tindakan berikutnya adalah melakukan
monitoring. Tinggi anestesi dapat dinilai dengan memberikan rangsang pada
dermatom di kulit. Penilaian berikutnya yang sangat bermakna adalah fungsi
motorik pasien dimana pasien merasa kakinya tidak bisa digerakkan, kaki terasa
hangat, kesemutan, dan tidak terasa saat diberikan rangsang. Hal yang perlu
diperhatikan lagi adalah pernapasan, tekanan darah dan denyut nadi. Tekanan darah
bisa turun drastis akibat spinal anestesi, terutama terjadi pada orang tua yang belum
diberikan loading cairan. Hal itu dapat kita sadari dengan melihat monitor dan
keadaan umum pasien. Tekanan darah pasien akan turun, kulit menjadi pucat,
pusing, mual, berkeringat.

4.1.8 Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Spinal

Anestesia spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah :


Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik.
Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle block) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar
dosis yang diperlukan. (BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)

28
Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan posisi
pasien.

4.1.10 Komplikasi Tindakan Anestesi Spinal


Saat melakukan anestesi spinal ada beberapa komplikasi yang harus
diperhatikan. Sesuai dengan kerja obat dan pengaruhnya pada siste tubuh seperti.
Beberapa komplikasi tersebut diantaranya adalah :
1. Komplikasi Kardiovaskular
Insiden terjadi hipotensi akibat anestesi spinal adalah 10-40%. Hipotensi
terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis, yang menyebabkan terjadi
penurunan tekanan arteriola sistemik dan vena, makin tinggi blok makin
berat hipotensi. Cardiac output akan berkurang akibat dari penurunan
venous return. Hipotensi yang signifikan harus diobati dengan pemberian
cairan intravena yang sesuai dan penggunaan obat vasoaktif seperti efedrin
atau fenilefedrin. Henti jantung bisa terjadi tiba-tiba biasanya karena terjadi
bradikardia yang berat walaupun hemodinamik pasien dalam keadaan yang
stabil. Pada kasus seperti ini,hipotensi atau hipoksia bukanlah penyebab
utama dari cardiac arrest tersebut tapi ia merupakan dari mekanisme reflek
bradikardi dan asistol yang disebut reflek Bezold-Jarisch. Pencegahan
hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan kristaloid (NaCl,
Ringerlaktat) secara cepat sebanyak 10-15ml/kgbb dalam 10 menit segera
setelah penyuntikan anesthesia spinal. Bila dengan cairan infuse cepat
tersebut masih terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti
efedrin intravena sebanyak 19 mg diulang setiap 3-4 menit sampai mencapai
tekanan darah yang dikehendaki. Bradikardia dapat terjadi karena aliran
darah balik berkurang atau karena blok simpatis, dapat diatasi dengan sulfas
atropine 1/8-1/4mg IV.

2. Blok Tinggi atau Total


Anestesi spinal tinggi atau total terjadi karena akibat dari kesalahan
perhitungan dosis yang diperlukan untuk satu suntikan. Komplikasi yang

29
bisa muncul dari hal ini adalah hipotensi, henti nafas, penurunan kesadaran,
paralisis motor, dan jika tidak diobati bisa menyebabkan henti jantung.
Akibat blok simpatetik yang cepat dan dilatasi arterial dan kapasitas
pembuluh darah vena, hipotensi adalah komplikasi yang paling sering
terjadi pada anestesi spinal. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan
sirkulasi darah ke organ vital terutama otak dan jantung, yang cenderung
menimbulkan sequel lain. Penurunan sirkulasi ke serebral merupakan faktor
penting yang menyebabkan terjadi henti nafas pada anestesi spinal total.
Walau bagaimanapun, terdapat kemungkinan pengurangan kerja otot nafas
terjadi akibat dari blok pada saraf somatic interkostal. Aktivitas saraf
phrenikus biasanya dipertahankan. Berkurangnya aliran darah ke serebral
mendorong terjadinya penurunan kesadaran. Jika hipotensi ini tidak di atasi,
sirkulasi jantung akan berkurang seterusnya menyebabkan terjadi
iskemik miokardiak yang mencetuskan aritmia jantung dan akhirnya
menyebakan henti jantung. Pengobatan yang cepat sangat penting dalam mencegah
terjadinya keadaan yang lebih serius, termasuk pemberian cairan, vasopressor,
dan pemberian oksigen bertekanan positif. Setelah tingkat anestesi spinal
berkurang, pasien akan kembali ke kedaaan normal seperti sebelum operasi.

3. Komplikasi Sistem Respirasi


Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari system respirasi saat melakukan
anestesi spinal adalah :
Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk
blok spinal tinggi.
Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi
atau karena hipotensi berat dan iskemia medulla.
Kesulitan bicara, batuk kering yang persisten, sesak nafas,
merupakan tanda-tanda tidak adekuatnya pernafasan yang perlu
segera ditangani dengan pernafasan buatan.
4. Komplikasi Gastointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis
berlebihan, pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus

30
gastrointestinal serta komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi
lumbal merupakan nyeri kepala dengan ciri khas terasa lebih berat pada
perubahan posisi dari tidur ke posisi tegak. Mulai terasa pada 24 - 48 jam
pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang bervariasi. Untuk menangani
komplikasi ini dapat diberikan obat tambahan yaitu ondansetron atau
diberikan ranitidine.
5. Nyeri Kepala (Puncture Headache)
Komplikasi yang paling sering dikeluhkan oleh pasien adalah nyeri
kepala. Nyeri kepala ini bisa terjadi selepas anestesi spinal atau tusukan
pada dural pada anestesi epidural. Insiden terjadi komplikasi ini tergantung
beberapa faktor seperti ukuran jarum yang digunakan.Semakin besar ukuran
jarum semakin besar resiko untuk terjadi nyeri kepala. Selain itu, insidensi
terjadi nyeri kepala juga adalah tinggi pada wanita muda dan pasien yang
dehidrasi. Nyeri kepala post suntikan biasanya muncul dalam 6 48 jam
selepas suntikan anestesi spinal. Nyeri kepala yang berdenyut biasanya
muncul di area oksipital dan menjalar ke retroorbital, dan sering disertai
dengan tanda diplopia, mual, dan muntah. Tanda yang paling signifikan
nyeri kepala spinal adalah nyeri makin bertambah bila pasien dipindahkan
atau berubah posisi dari tiduran/supinasi ke posisi duduk, dan akan
berkurang atau hilang total bila pasien tiduran. Terapi konservatif dalam
waktu 24 48 jam harus dicoba terlebih dahulu seperti tirah baring, rehidrasi
(secara cairan oral atau intravena), analgesic, dan suport yang kencang pada
abdomen. Tekanan pada vena cava akan menyebabkan terjadi perbendungan
dari plexus vena pelvik dan epidural, seterusnya menghentikan kebocoran
dari cairan serebrospinal dengan meningkatkan tekanan extradural. Jika
terapi konservatif tidak efektif, terapi yang aktif seperti suntikan salin ke
dalam epidural untuk menghentikan kebocoran.

6. Komplikasi Sistem Muskuloskeletal


Komplikasi yang kedua paling sering adalah nyeri punggung akibat
dari tusukan jarum yang menyebabkan trauma pada periosteal atau ruptur
dari struktur ligament dengan atau tanpa hematoma intraligamentous. Nyeri

31
punggung akibat dari trauma suntikan jarum dapat diobati secara
simptomatik dan akan menghilang dalam beberapa waktu yang singkat saja.

7. Komplikasi Sistem Neurologi


Insidensi defisit neurologi berat dari anestesi spinal adalah rendah.
Komplikasi neurologik yang paling benign adalah meningitis aseptik.
Sindrom ini muncul dalam waktu 24 jam setelah anestesi spinal ditandai
dengan demam, rigiditas nuchal dan fotofobia. Meningitis aseptic hanya
memerlukan pengobatan simptomatik dan biasanya akan menghilang dalam
beberapa hari. Sindrom cauda equina muncul setelah regresi dari blok
neuraxial. Sindrom ini mungkin dapat menjadi permanen atau bisa regresi
perlahan-lahan setelah beberapa minggu atau bulan. Ia ditandai dengan
defisit sensoris pada area perineal, inkontinensia urin dan fekal, dan derajat
yang bervariasi pada defisit motorik pada ekstremitas bawah. Komplikasi
neurologic yang paling serius adalah arachnoiditis adesif. Reaksi ini
biasanya terjadi beberapa minggu atau bulan setelah anestesi spinal
dilakukan. Sindrom ini ditandai oleh defisit sensoris dan kelemahan motorik
pada tungkai yang progresif. Pada penyakit ini terdapat reaksi proliferatif
dari meninges dan vasokonstriksi dari vasculature korda spinal. Iskemia dan
infark korda spinal bisa terjadi akibat dari hipotensi arterial yang lama.
Penggunaan epinefrin didalam obat anestesi bisa mengurangi aliran darah
ke korda spinal. Kerusakan pada korda spinal atau saraf akibat trauma
tusukan jarum pada spinal maupun epidural, kateter epidural atau suntikan
solution anestesi lokal intraneural sangat jarang, tapi tetap mungkin terjadi.
Perdarahan subaraknoid yang terjadi akibat anestesi regional sangat
jarang berlaku karena ukuran yang kecil dari struktur vaskular mayor
didalam ruang subaraknoid. Hanya pembuluh darah radikular lateral
merupakan pembuluh darah besar di area lumbar yang menyebar keruang
subaraknoid dari akar saraf. Sindrom spinal-arteri anterior akibat dari
anesthesia adalah jarang. Tanda utamanya adalah kelemahan motorik pada
tungkai bawah karena iskemia pada 2/3 anterior bawah korda spinal.
Kehilangan fungsi sensoris tidak merata adalah efek sekunder dari nekrosis

32
iskemia pada akar posterior saraf dan bukan akibat dari kerusakan didalam
korda itu sendiri. Terdapat tiga penyebab terjadinya sindrom spinal-arteri:
kekurangan suplai darah ke arteri spinal anterior karena terjadi gangguan
suplai darah dari arteri-arteri yang terganggu oleh operasi, kekurangan
aliran darah dari arteri karena hipotensi yang berlebihan, dan gangguan
aliran darah sama ada dari kongesti vena maupun obstruksi aliran.

8. Komplikasi Traktus Urinarius


Disfungsi kandung kemih dapat terjadi selepas anestesi umum
maupun regional. Fungsi kandung kencing merupakan bagian yang
fungsinya kembali paling akhir pada analgesia spinal, umumnya
berlangsung selama 24 jam. Kerusakan saraf pemanen merupakan
komplikasi yang sangat jarang terjadi.

4.2 Anestesia Epidural


4.2.1 Definisi
Anestesia atau analgesia epidural adalah blokade saraf dengan
menempatkan obat di ruang epidural. Ruang ini berada di antara ligamentum
flavum dan duramater. Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm dan di bagian posterior
kedalaman maksimal pada daerah lumbal.
Obat anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar saraf
spinal yang terletak di lateral. Awal kerja anestesi epidural lebih lambat dibanding

Gambar 10. Anestesi Epidural

33
anestesi spinal, sedangkan kualitas blokade sensorik-motorik juga lebih lemah.

Keuntungan epidural dibandingkan spinal :


Bisa segmental
Tidak terjadi headache post op
Hipotensi lambat terjadi

Kerugian epidural dibandingkan spinal :


Teknik lebih sulit
Jumlah obat anestesi lokal lebih besar
Reaksi sistemik

4.2.2 Indikasi
Indikasi analgesia epidural :
1. Untuk analgesia saja, di mana operasi tidak dipertimbangkan. Sebuah
anestesi epidural untuk menghilangkan nyeri (misalnya pada persalinan)
kemungkinan tidak akan menyebabkan hilangnya kekuatan otot, tetapi
biasanya tidak cukup untuk operasi.
2. Sebagai tambahan untuk anestesi umum. Hal ini dapat mengurangi
kebutuhan pasien akan analgesik opioid. Ini cocok untuk berbagai macam
operasi, misalnya histerektomi, bedah ortopedi, bedah umum (misalnya
laparotomi) dan bedah vaskuler (misalnya perbaikan aneurisma aorta
terbuka).
3. Sebagai teknik tunggal untuk anestesi bedah. Beberapa operasi, yang paling
sering operasi caesar, dapat dilakukan dengan menggunakan anestesi
epidural sebagai teknik tunggal. Biasanya pasien akan tetap terjaga selama
operasi.
4. Untuk analgesia pasca-operasi, di salah satu situasi di atas. Analgesik
diberikan ke dalam ruang epidural selama beberapa hari setelah operasi,
asalkan kateter telah dimasukkan.

34
5. Untuk perawatan sakit punggung. Injeksi dari analgesik dan steroid ke
dalam ruang epidural dapat meningkatkan beberapa bentuk sakit punggung.
6. Untuk mengurangi rasa sakit kronis atau peringanan gejala dalam perawatan
terminal, biasanya dalam jangka pendek atau menengah.

Ada beberapa situasi di mana resiko epidural lebih tinggi dari biasanya :
1. Kelainan anatomis, seperti spina bifida, meningomyelocele, atau skoliosis
2. Operasi tulang belakang sebelumnya (di mana jaringan parut dapat
menghambat penyebaran obat)
3. Beberapa masalah sistem saraf pusat, termasuk multiple sclerosis
4. Beberapa masalah katup jantung (seperti stenosis aorta, di mana vasodilatasi
yang diinduksi oleh obat bius dapat mengganggu suplai darah ke jantung)
Anestesi epidural sebaiknya dilakukan pada :
1. Kurangnya persetujuan
2. Gangguan pendarahan (koagulopati) atau penggunaan obat antikoagulan
(misalnya warfarin)
3. Risiko hematoma
4. Kompresi tulang belakang
5. Infeksi dekat titik penyisipan
6. Hipovolemia
Penyebaran obat pada anestesi epidural bergantung :
1. Volume obat yg disuntikan
2. Usia pasien
3. Kecepatan suntikan
4. Besarnya dosis
5. Ketinggian tempat suntikan
6. Posisi pasien
7. Panjang kolumna vetebralis

4.2.3 Teknik Anestesia Epidural :


Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.
1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.

35
2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.
3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:
jarum ujung tajam (Crawford)
jarum ujung khusus (Tuohy)

4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang


paling populer adalah teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes
tergantung.
Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance)
Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit plastik rendah
resistensi yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak 3ml. Setelah
diberikan
anestetik
Gambar 11. Jarum Anestesi Epidural
lokal pada
tempat suntikan, jarum epidural ditusuk sedalam 1-2 cm. Kemudian
udara atau NaCl disuntikkan perlahan dan terputus-putus. Sembari
mendorong jarum epidural sampai terasa menembus jaringan keras
(ligamentum flavum) yang disusul hilangnya resistensi. Setelah
yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural, lakukan uji dosis
(test dose)

36
Teknik tetes tergantung (hanging drop)
Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi pada teknik
ini menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada
tetes Nacl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural
perlahan secara lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang
kemudian disusul oleh tersedotnya tetes NaCl ke ruang epidural.
Setelah yakin, lakukan uji dosis (test dose).

5. Uji dosis (test dose)


Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah
ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang
(kontinyu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah
bercampur adrenalin 1:200.000.
Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum
sudah benar
Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat sudah masuk ke ruang
subarakhnoid karena terlalu dalam.
Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat
masuk vena epidural.

6. Cara penyuntikan: setelah yakin posisi jarum atau kateter benar, suntikkan
anestetik lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sampai tercapai dosis total.
Suntikan terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural
mendadak tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan intrakranial,
nyeri kepala dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.

7. Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6 ml/segmen yang tentunya


bergantung pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis
dikurangi sampai 50% dan pada wanita hamil dikurangi sampai 30% akibat
pengaruh hormon dan mengecilnya ruang epidural akibat ramainya
vaskularisasi darah dalam ruang epidural.

37
8. Uji keberhasilan epidural
Keberhasilan analgesia epidural :
a. blok simpatis diketahui dari perubahan suhu.
b. blok sensorik dari uji tusuk jarum.
c. blok motorik dari skala bromage

Tabel 2. Skala Bromage untuk Blok Motorik

Melipat Lutut Melipat Jari


Blok tak ada ++ ++
Blok parsial + ++
Blok hampir lengkap - +
Blok lengkap - -

Anestetik lokal yang digunakan untuk epidural


1. Lidokain (Xylokain, Lidonest)
Umumnya digunakan 1-2%, dengan mula kerja 10 menit dan relaksasi otot
baik.0.8% blokade sensorik baik tanpa blokade motorik.1.5% lazim
digunakan untuk pembedahan 2% untuk relaksasi pasien berotot.
2. Bupivakain (Markain)
Konsentrasi 0.5% tanpa adrenalin, analgesianya sampai 8 jam. Volum yang
digunakan <20ml.
Komplikasi :
1. Blok tidak merata
2. Depresi kardiovaskuler (hipotensi)
3. Hipoventilasi

38
4. Mual-muntah

Tabel 3. Obat Anestesi Epidural


4.3 Anestesia Kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena kanalis
kaudalis adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang
kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutup oleh ligamentum
sakrokoksigeal tanpa tulang yang analog dengan gabungan antara ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, dan ligamentum flavum. Ruang kaudal
berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum terminale dan kantong dura.
Indikasi : Bedah daerah sekitar perineum, anorektal misalnya hemoroid, fistula
perianal.
Kontra indikasi : Seperti analgesia spinal dan analgesia epidural.

4.3.1 Teknik anestesia kaudal :


1. Posisi pasien terlungkup dengan simfisis diganjal (tungkai dan kepala lebih
rendah dari bokong) atau dekubitus lateral, terutama wanita hamil.
2. Dapat menggunakan jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena
ukuran 20-22 pada pasien dewasa.
3. Untuk dewasa biasa digunakan volum 12-15 ml (1-2 ml/ segmen)
4. Identifikasi hiatus sakralis dengan menemukan kornu sakralis kanan dan kiri
dan spina iliaka superior posterior. Dengan menghubungkan ketiga tonjolan
tersebut diperoleh hiatus sakralis.

39
5. Setelah dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah hiatus
sakralis, tusukkan jarum mula-mula 90o terhadap kulit. Setelah diyakini
masuk kanalis sakralis, ubah jarum jadi 450-600 dan jarum didorong sedalam
1-2 cm. Kemudian suntikan NaCl sebanyak 5 ml secara agak cepat sambil
meraba apakah ada pembengkakan di kulit untuk menguji apakah cairan
masuk dengan benar di kanalis kaudalis.

Gambar 12. Teknik Anestesi Kaudal

Efek Fisiologis Blok Neuroaksial


1. Efek Kardiovaskuler :
- Akibat dari blok simpatis, akan terjadi penurunan tekanan darah
(hipotensi). Efek simpatektomi tergantung dari tinggi blok. Pada spinal, 2-6
dermatom di atas level blok sensoris, sedangkan pada epidural, terjadi blok
pada level yang sama. Hipotensi dapat dicegah dengan pemberian cairan
(pre-loading) untuk mengurangi hipovolemia relatif akibat vasodilatasi
sebelum dilakukan spinal/epidural anestesi, dan apabila telah terjadi
hipotensi, dapat diterapi dengan pemberian cairan dan vasopressor seperti
efedrin.
- Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok pada cardioaccelerator fiber
di T1-T4), dapat menyebabkan bradikardi sampai cardiac arrest.

2. Efek Respirasi:
Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok lebih dari dermatom T5)
mengakibatkan hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dan
menyebabkan terjadinya respiratory arrest. Bisa juga terjadi blok pada

40
nervus phrenicus sehingga menyebabkan gangguan gerakan diafragma dan
otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi.
3. Efek Gastrointestinal:
- Mual muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20%, sehingga menyebabkan
hiperperistaltik gastrointestinal akibat aktivitas parasimpatis dikarenakan
oleh simpatis yg terblok. Hal ini menguntungkan pada operasi abdomen
karena kontraksi usus dapat menyebabkan kondisi operasi maksimal.

5. BLOK PERIFER
Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius lokal bekerja
pada tiap bagian susunan saraf.
Anestesi lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade
lorong natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi
sepanjang saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal
setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan
lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf. Anestesi lokal sering kali
digunakan secara parenteral (injeksi) pada pembedahan kecil di mana anestesi
umum tidak perlu atau tidak diinginkan. Di Indonesia, yang paling banyak
digunakan adalah lidokain dan bupivakain.
Mekanisme kerja
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium-channel),
mencegah peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium
sehingga tidak terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya, tidak terjadi
konduksi saraf. Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin
poten. Ikatan dengan protein (protein binding) mempengaruhi lama kerja dan
konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja.
Konsentrasi minimal anestetika lokal (analog dengan MAC, minimum
alveolar concentration) dipengaruhi oleh :
1. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf
2. pH (asidosis menghambat blokade saraf)

41
3. Frekuensi stimulasi saraf
Mula kerja bergantung beberapa faktor, yaitu:
1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi
meningkat dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan
mula kerja cepat
2. Alkalinisasi anestetika lokal membuat awal kerja cepat
3. Konsentrasi obat anestetika local
Lama kerja dipengaruhi oleh:
1. Ikatan dengan protein plasma karena reseptor anestetika lokal adalah protein
2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi
3. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian

Efek samping terhadap sistem tubuh


Sistem kardiovaskular:
a. Depresi automatisasi miokard
b. Depresi kontraktilitas miokard
c. Dilatasi arteriolar
d. Dosis besar dapat menyebabkan disritmia/kolaps sirkulasi

Sistem pernafasan:
a. Relaksasi otot polos bronkus
b. Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus
c. Paralisis intercostal
d. Depresi langsung pusat pengaturan nafas

Sistem saraf pusat:


a. Parestesia lidah
b. Pusing
c. Tinitus
d. Pandangan kabur
e. Agitasi
f. Depresi pernafasan

42
g. Tidak sadar
h. Konvulsi
i. Koma
Imunologi : reaksi alergi
Sistem muskuloskeletal : miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain)

Komplikasi obat anestesi lokal


Obat anestesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik, sehingga
untuk tiap jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya. Komplikasi
dapat bersifat lokal atau sistemik

Komplikasi lokal
1. Terjadi ditempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis dan gangren.
2. Komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis
dan antisepsis.
3. Iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor yang
disuntikkan pada daerah dengan end-artery.

Komplikasi sistemik
1. Manifestasi klinis umumnya berupa reaksi neurologis dan
kardiovaskuler.
2. Pengaruh pada korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi adalah berupa
perangsangan sedangkan pengaruh pada pons dan batang otak berupa
depresi.
3. Pengaruh kardiovaskuler adalah berupa penurunan tekanan darah dan
depresi miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung.

A. Infiltrasi Lokal
Penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan sekitar tempat lesi

B. Blok Lapangan (Field Block)


Infiltrasi sekitar lapangan operasi (contoh, untuk ekstirpasi tumor kecil)

43
C. Analgesia Permukaan (Topikal)
Obat analgetika lokal dioles atau disemprot di atas selaput mukosa

D. Analgesia Regional Intravena (Bier Block)


Anestesi jenis ini dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit pada
lengan atau tungkai. Biasanya dikerjakan untuk orang dewasa dan pada lengan.

Teknik analgesia regional intravena :


1. Pasang kateter vena (venocath) pada kedua punggung tangan. Pada sisi
tangan atau lengan yang akan dibedah digunakan untuk memasukkan obat
anestetik lokal, sedangkan sisi lain untuk memasukkan obat-obat yang
diperlukan seandainya terjadi kegawatan atau diperlukan cairan infus.
2. Eksanguinasi (mengurangi darah) pada sisi lengan yang akan dibedah
dengan menaikkan lengan dan peraslah lengan secara manual atau dengan
bantuan perban elastik (eshmark bandage) dari distal ke proksimal.
Tindakan ini untuk mengurangi sirkulasi darah dan tentunya dosis obat.
3. Pasang pengukur tekanan darah pada lengan atas seperti akan mengukur
tekanan darah biasa dengan torniket atau manset ganda dan bagian
proksimal dikembangkan dahulu sampai 100 mmHg di atas tekanan
sistolik supaya darah arteri tidak masuk ke lengan dan tentunya juga darah
vena tidak akan masuk ke sistemik. Perban elastik dilepaskan.
4. Suntikkan lidokain atau prilokain 0,5% 0,6 ml/kg (bupivakain tidak
dianjurkan karena toksisitasnya besar) melalui kateter di punggung tangan
dan kalau untuk tungkai lewat vena punggung kaki dosis 1-1,2 ml/kg.
Analgesia tercapai dalam waktu 5-15 menit dan pembedahan dapat
dimulai.
5. Setelah 20-30 menit atau kalau pasien merasa tak enak atau nyeri pada
torniket, kembangkan manset distal dan kempiskan manset proksimal.
6. Setelah pembedahan selesai, deflasi manset dilakukan secara bertahap,
buka tutup selang beberapa menit untuk menghindari keracunan obat. Pada
bedah sangat singkat, untuk mencegah keracunan sistemik, torniket harus

44
tetap dipertahankan selama 30 menit untuk memberi kesempatan obat
keluar vena menyebar dan melekat ke seluruh jaringan sekitar. Untuk
tungkai jarang dikerjakan karena banyak pilihan lain yang lebih mudah dan
aman seperti blok spinal, epidural, atau kaudal.

OBAT-OBATAN

1. Granisetron
Granisetron merupakan antagonis 5HT3 yang dapat ditemukan pada
reseptor yang memediasi pusat muntah di otak (area post arema) dan juga
lambung. Ondansetron digunakan sebagai profilaksis anti mual dan muntah
dianjurkan sebelum induksi dan pascabedah terutama pada pasien dengan
riwayat mual muntah. Dosis yang direkomendasikan pada granisetron adalah 1
mg.

2. Bupivacaine

Bupivacaine (Marcain) merupakan obat anestesi lokal kelompok amida,


dengan rumus bangun sebagai berikut: 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-
piperidecarboxamide hydrochloride.
Bupivacaine adalah derivat butil dari mepivacain yang kurang lebih tiga
kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini termasuk golongan obat anestesi long
acting. Secara kimia dan farmakologis mirip lidokain. Toksisitas setaraf
dengan tetrakain. Secara komersial bupivacain tersedia dalam 5 mg/ml
solutions. Dengan kecenderungan yang lebih menghambat sensoris daripada
motoris, menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia selama
persalinan dan pasca bedah.
Farmakologi
Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang memiliki masa kerja
panjang dan mula kerja yang pendek.Seperti halnya anestesi lokal lainnya,
bupivacain menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong natrium pada
dinding saraf yang bersifat reversibel, jika digunakan pada saraf sentral atau
perifer. Anestetik lokal setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi

45
saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.
Farmakodinamik
Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah
peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga
terjadi depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten.
Ikatan dengan protein mempengaruhi lama kerja dan konstanta dissosiasi (pKa)
menentukan awal kerja. Konsentrasi minimal anestesi lokal dipengaruhi oleh :
ukuran, jenis dan mielinisasi saraf; pH (asidosis menghambat blokade saraf),
frekuensi stimulasi saraf.
Mula kerja bergantung beberapa factor, yaitu: pKa mendekati pH
fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan dapat
menembus membran sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat,
alkalinisasi anestesi lokal membuat mula kerja cepat, konsentrasi obat
anestetika lokal. Lama kerja dipengaruhi oleh : ikatan dengan protein plasma,
karena reseptor anestetika lokal adalah protein; dipengaruhi oleh kecepatan
absorpsi; dipengaruhi oleh ramainya pembuluh darah perifer di daerah
pemberian.
Indikasi
1. Anestesi Intratekal (sub-arachnoid, spinal) untuk pembedahan
2. Pembedahan di daerah abdomen selama 45 - 60 menit (termasuk operasi
Caesar)
3. Pembedahan dibidang urologi dan anggota gerak bawah selama 2- 3 jam
Kontraindikasi
1. Hipersensitif terhadap anestesi lokal jenis amida
2. Penyakit akut dan aktif pada sistem saraf, seperti meningitis, poliomyelitis,
perdarahan intrakranial, dan demyelinisasi, peningkatan tekanan
intrakranial, adanya tumor otak atau di daerah spinal
3. Stenosis spinal dan penyakit aktif (spondilitis) atau trauma (fraktur) baru
pada tulang belakang.
4. TBC tulang belakang
5. Infeksi pada daerah penyuntikan

46
6. Septikemia
7. Anemia pernisiosa dengan degenerasi kombinasi sub-akut pada medula
spinalis
8. Gangguan pembekuan darah atau sedang mendapat terapi antikoagulan
secara berkesinambungan
9. Hipertensi tidak terkontrol
10. Syok kardiogenik atau hipovolemi

Dosis
Anestesi spinal pada orang dewasa 7,5 - 20 mg. Penyebaran anestesi
tergantung pada beberapa faktor, termasuk di dalamnya volume larutan dan
posisi pasien selama dan setelah penyuntikan ke rongga sub-arachnoid. Harus
dipahami bahwa tingkat anestesi spinal yang dicapai oleh anestesi lokal tidak
dapat diperkirakan pada pasien.
Injeksi spinal hanya boleh diberikan jika ruang subarachnoid sudah
teridentifikasi secara jelas dengan ditandai keluar dan menetesnya cairan
serebrospinal yang jernih, atau terdeteksi oleh aspirasi cairan serebrospinal.
Larutan harus segera digunakan setelah ampul terbuka dan sisanya harus
dibuang.

Efek Samping
1. Sistem saraf pusat (SSP)
SSP rentan terhadap toksisitas anestetik lokal, dengan tanda-tanda
awal parestesi lidah gelisah, nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur, tinitus,
mual, muntah, tremor, gerakan koreatosis, rasa logam di mulut,
inkoherensia, kejang koma.
2. Sistem Pernafasan
Relaksasi otot polos bronkus. Henti nafas akibat paralisis nervus
phrenikus, paralise interkostal atau depresi langsung, pernafasan dalam dan
kemudian tak teratur, sesak nafas hingga apneu, hipersekresi dan
bronkospasme.
3. Sistem kardiovaskuler : vasodilatasi, hipotensi, bradikardi, nadi kecil dan

47
syok.
4. Reaksi hipersensitivitas (urtikaria, dermatitis, edema angioneurotik,
bronkospasme, status asmatikus, sinkop dan apneu)

Interaksi Obat
Bupivacaine harus digunakan secara hati-hati bila diberikan pada
penderita yang menerima obat-obat aritmia dengan aktivitas anestesi lokal,
karena efek toksiknya dapat bersifat adiktif. Toksisitasnya meningkat bila
diberikan bersama propanolol.

Tramadol
Salah satu derivate sintetik opioid adalah tramadol. Opioid
menghasilkan efek melalui interaksinya dengan reseptor opioid di susunan
saraf pusat dan saluran gastrointestinal. Opioid menghasilnkan
hiperpolarisasi sel saraf, inhibisi pelepasan saraf dan inhibisi prasinap dan
pelepasan meutransmitter. Opioid mempunyai efek klinis yaitu:

Analgesia
Pada manusia pemberian opioid akan menghasilkan efek analgesia,
rasa mengantuk, perubahan mood dan mental. Opiod menghilangkan nyeri
dengan meningkatkan ambang nyeri pada tingkat medulla spinalis dan yang
paling penting dengan mengubah presepsi nyeri di otak. Efek analgesia
yang timbul tidak berhubungan dengan hilangnya kesadaran. Roses
menghilangkan nyeri oleh opioid adalah selektif, tidak mempengaruhi
kekuatan sensoriknya. Pasien masih merasakan nyeri namun perasaan yang
ditimbulkan lebih nyaman. Nyeri nosiseptif lebih berespon terhadap efek
analgesia dari opioid dibandingkan nyeri neuropati.
Dosis yang diberikan untuk tatalaksana nyeri sedang sampai berat
pasca operasi dengan cara drip infuse 100 mg dilanjutkan 50 mg setiap 10-20
menit, bila perlu sampai 250 mg pada satu jam pertama. Dosis maintenance
50-100 mg setiap 4-6 jam. Dosis maksimal adalah 600 mg per hari.

48
3. Ketoprofen

- Diberikan secara oral, kapsul, tablet 100-200 mg/hari.


- Per-rektal 1-2 suppositoria.
- Suntikan intramuskuler 100-300mg/hari.
- Intravena per-infus dihabiskan dalam 20 menit.
Efek samping golongan NSAID
- Gangguan saluran cerna: nyeri lambung, panas, kembung, mual-muntah,
konstipasi, diare, dispepsia, perdarahan tukak lambung, ulserasi mukosa
lambung.
- Hipersensitivitas kulit: gatal, pruritus, erupsi, urtikaria, sindroma Steven-
Johnson.
- Gangguan fungsi ginjal: penurunan aliran darah ginjal, penurunan laju
filtrasi glomerulus, retensi natrium, hiperkalemia, peningkatan ureum-
kreatinin, pererenal azotemia, nekrosis papil ginjal, nefritis, sindroma
nefrotik.
- Gangguan fungsi hepar: peningkatan SGOT, SGPT, gamma globulin,
bilirubin, ikterus hepatoseluler.
- Gangguan sistem darah : trombositopenia, leukimia, anemia aplastik.
- Gangguan kardiovaskuler: akibat retensi air menyebabkan edema,
hipertensi, gagal jantung.
- Gangguan respirasi : tonus bronkus meningkat, asma.

49
BAB VI

KESIMPULAN

Pasien merupakan pasien bedah umum dengan diagnosa appendisitis akut.


Dari anemnesis pasien tidak ada keluhan dan tidak memiliki penyakit sistemik
seperti hipertensi, diabetes melitus, asma. Pasien juga tidak memakai gigi palsu dan
tidak mempunyai gigi goyang. Pasien tidak demam maupun batuk. Dari
pemeriksaan fisik maupun penunjang tidak terdapat kelainan pada pasien.
Berdasarkan American Society of anesthesiologist digolongankan dalam ASA 1.
Sebelum operasi pasien dipuasakan dahulu kurang lebih selama 6-8 jam dan
diberikan premedikasi berupa Granisetron 1 mg dan dilakukan regional anestesi
dengan teknik subarchnoid block pada L3-L4 dengan menggunakan spinal needle
dengan ukuran 27G. Kemudian dimasukkan obat Bupivacaine 20 mg. Selama
operasi berlangsung diberikan terapi cairan kurang lebih dua botol Ringer laktat
500 cc. Selain itu diberikan juga analgesik tramadol 100mg drip dan pronalges
supp. (ketoprofen 100mg) untuk mengurangi nyeri pasca operasi.

50
DAFTAR PUSTAKA

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR.2010.Petunjuk Praktis Anestesiologi.


Edisi kedua. Jakarta. Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI.
Medscape Reference Subarachnoid Spinal Block. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview.
Omoigui S. 2012.Obat-obatan Anestesia. Edisi kedua. Jakarta. Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta : CV.
Infomedika, 2004
Wrobel M, Werth M.2009. Pokok-pokok Anestesi. Edisi pertama. Jakarta.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #146.
Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #154A
NYSORA New York School of Regional Anesthesia, Subarachnoidal Block,
Available at http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-
techniques/landmark-based/spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html,
University of Pittsburgh Online Reference Subarachnoid spinal block anesthesia.
Available at http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.htm.
Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta;
Balai Penerbit FKUI, 259-72.

51

Anda mungkin juga menyukai