Disusun oleh:
Sabila Shani
030.12.246
Pembimbing :
dr. Harmon Mawardi, Sp.A
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas berkat,
rahmat, dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
Tatalaksana Ikterus Neonatorum
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi
Asih. Selain itu, laporan kasus ini juga ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi
penulis dan para pembaca.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Harmon Mawardi,SpA selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus
ini, serta kepada dokter-dokter pembimbing lain yang telah membimbing penulis. Penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan anggota Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak untuk dukungan dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, kritik
maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Sabila Shani
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................... 2
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 3
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... 4
BAB 1 PENDAHULUAN ............. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 6
2.1 Definisi.................................................................................................................. 6
2.2 Klasifikasi ............................................................................................................. 6
2.3 Etiologi.................................................................................................................. 7
2.4 Faktor Risiko......................................................................................................... 9
2.5 Metabolisme Bilirubin .......................................................................................... 11
2.6 Diagnosis............................................................................................................... 12
2.7 Tatalaksana ........................................................................................................... 14
Farmakoterapi ....................................................................................................... 21
Fototerapi .............................................................................................................. 22
Transfusi Tukar ..................................................................................................... 31
2.8 Komplikasi Hiperbilirubin .................................................................................... 40
2.9 Pencegahan ........................................................................................................... 40
2.10Prognosis. ............................................................................................................. 41
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 43
JURNAL HIPERBILIRUBIN ............................................................................................... 44
4
BAB I
PENDAHULUAN
Hiperbilirubinemia atau ikterik atau kuning merupakan salah satu keadaan klinis
yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir / BBL.1 Lebih dari 85 % bayi cukup
bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupannya disebabkan oleh
keadaan ini.2 Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, tanda ini
timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Z bilirubin IX ) yang berwarna kuning
pada mukosa (paling mudah ditemui pada sklera) dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal
dari degradasi heme yang merupakan komponen Hemoglobin.1 Pada masa transisi setelah
lahir, hati belum maksimal dalam proses glukoronidasi bilirubin. Keadaan ini akan
menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi meningkat didalam darah. Pada
kebanyakan BBL, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan proses transisional yang
normal atau fisiologis, tetapi pada beberapa bayi dan keadaan, terjadi peningkatan yang
berlebihan, sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian
pada bayi dan apabila bayi tersebut bertahan, maka akan terjadi gejala sisa / sequel
neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dapat dibedakan
apakah ikterik atau kuning merupakan keadaan fisiologis atau patologis dan dimonitor
untuk mencegah berkembang menjadi hiperbilirubinemia berat.1,2
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan
kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi.
Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi
bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang
terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan (luminal). Pemberian
substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin),
mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi
tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin.
Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan
Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan
konjugasi dan ekskresi bilirubin.3,4
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ikterus neonatorum didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total 5 mg/dl (86
mol/L). Ikterik atau jaundice ditandai dengan pewarnaan kuning pada kulit, sklera, dan
mukosa lainnya akibat penumpukan bilirubin yang tak terkonjugasi pada jaringan.3 Ikterik
pada neonatus atau bayi baru lahir akan terlihat bila kadar bilirubin serum antara 5-7
mg/dl.4
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar
deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari
presentil 90 %.4
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut Excess Physiological Jaundice. Dan digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus >95% (menurut Normogram Bhutani).5
2.2 Klasifikasi
Hiperbilirubinemia pada neonatus dibagi menjadi 2 keadaan, yakni bersifat
fisiologis dan non fisiologis atau patologis.3
Hiperbilirubinemia fisiologis
Umumnya terjadi pada BBL, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu
pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapatkan susu formula kadar
bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 pertama
kehidupan dan akan menurun cepat dalam 2-3 hari diikuti penurunan lambat
sebesar 1 mg/dL selama 1-2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapatkan
ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai 7-14 mg/dL dan penurunan lebih
lambat dalam kurun waktu 2-4 minggu bahkan 6 minggu. Pada bayi prematur,
awitan ikterik terjadi lebih dini, kadar bilirubin pada neonatus prematur dapat
mencapai 10-12 mg/dL pada hari ke-5 dan masih dapat naik spontan menjadi > 15
mg/dL tanpa adanya kelainan metabolisme bilirubin.2,3 Kadar normal bilirubin tali
pusat kurang dari 2 mg/dL dan berkisar antara 1,4-1,9 mg/dL.2
Hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis
6
Keadaan dibawah ini menandakan kemungkinan hiperbilirubinemia non-
fisiologis dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut3 :
Awitan ikterik sebelum usia 24 jam
Peningkatan bilirubin serum yang membutuhkan fisioterapi
Peningkatan bilirubin total serum > 5 mg/dL/jam
Peningkatan bilirubin terkonjugasi > 2mg/dL
Bayi menunjukan tanda kesakitan seperti muntah, letargi, kesulitan minum,
penurunan berat badan, apneu, takipnu, dan instabilitas suhu.
Ikterik yang bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau menetap > 2
minggu pada bayi prematur.
2.3 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat
dibagi5,6 :
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah rhesus ABO, golongan darah lain,
defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan tersembunyi dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler- Najjar). Penyebab lain seperti
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel
hepar.
c. Gangguan transportasi bilirubin dalam darah yang terikat pada albumin
kemudian diangkut ke hepar
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat.
Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas
dalam darah yang mudah melekat ke susunan saraf pusat.
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan seperti atresia bilier.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
7
Adapun pembagian etiologi berdasarkan letak terjadinya kelainan dalam
metabolisme bilirubin ialah7,8 :
1 Ikterus pra-hepatik
Ikterus yang terjadi akibat produksi bilirubin yang meningkat, yang terjadi pada
hemolisis eritrosit (ikterus hemolitik). Kapasitas sel hati untuk mengadakan konjugasi
terbatas apalagi bila disertai oleh adanya disfungsi sel hati. Akibatnya bilirubin indirek
akan meningkat dalam sirkulasi. Dalam batas tertentu bilirubin direk juga meningkat dan
akan segera diekskresikan ke dalam saluran pencernaan, sehingga akan didapatkan
peninggian kadar urobilinogen di dalam tinja.
Peningkatan kadar bilirubin dapat disebabkan oleh :
- Kelainan pada sel darah merah.
- Infeksi seperti malaria, sepsis, dan lain-lain.
- Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti obat-obatan, maupun yang
berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfusi dan
eritroblastosis fetalis.
2 Ikterus intra-hepatik
Kerusakan sel hati akan menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu, sehngga
bilirubin direk akan meningkat. Kerusakan sel hati juga akan menyebabkan bendungan di
dalam hati sehingga bilirubin darah akan menyebabkan peninggian kadar bilirubin
konjugasi di dalam aliran darah. Bilirubin direk bersifat larut dalam air sehingga mudah
diekskresikan ginjal melalui urin. Adanya sumbatan intra-hepatik akan menyebabkan
penurunan ekskresi bilirubin dalam saluran pencernaan yang kemudian akan menyebabkan
tinja berwarna pucat, karena sterkobilinogen menurun. Kerusakan sel hati dapat terjadi
pada :
- Hepatitis (oleh virus, bakteri, parasit).
- Sirosis hepatis
- Tumor
- Bahan kimia seperti : fosfor, arsen.
- Penyakit lain seperti : hemokromatosis, hipertiroid.
3 Ikterus pasca-hepatik (obstruktif)
Bendungan dalam saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin
konjugasi yang larut dalam air. Sebagai akibat bendungan, bilirubin ini akan mengalami
regurgitasi kembali ke dalam sel hati dan terus memasuki sirkulasi. Selanjutnya akan
masuk ke ginjal dan diekskresikan oleh ginjal sehingga dapat ditemukan bilirubin dalam
8
urin. Sebaliknya karena ada bendungan, maka pengeluaran bilirubin ke dalam saluran
pencernaan berkurang, maka pengeluarann bilirubin ke dalam saluran pencernaan
berkurang, sehingga tinja akan berwarna dempul akibat berkurangnya sterkobilin.
Urobilinogen dalam tinja dan dalam urin akan menurun. Akibat penimbunan bilirubin
direk, maka kulit dan sklera akan berwarna kuning kehijauan. Kulit akan terasa gatal.
Penyumbatan empedu (kolestasis) dibagi dua, yaitu intra-hepatik apabila penyumbatan
terjadi di antara hepatosit dan duktus koledokus, dan ekstra-hepatik bila sumbatan terjadi
di dalam duktus koledokus. 6-8
9
2.4 Faktor Risiko
10
2.5 Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga yang merupakan bentuk akhir dari
pemecahan katabolisme heme sel darah merah melalui proses reaksi oksidasi-reduksi.
Bilirubin berasal dari katabolisme protein heme, dimana 75% berasal dari penghancuran
eritrosit dan 25% berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya
seperti mioglobin, sitokrom, katalase dan peroksidase. Metabolisme bilirubin meliputi
pembentukan bilirubin, transportasi bilirubin, asupan bilirubin, konjugasi bilirubin, dan
ekskresi bilirubin.2,5,10
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati,
dan organ lain. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin
oleh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen
serta pada pH normal bersifat tidak larut.2,5,10
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat dengan
albumin serum ini tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar.
Bilirubin yang terikat pada albumin bersifat nontoksik.2,5,10
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit,
albumin akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel
membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan
sitotoksik lainnya. Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin yang tak
terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.2,5,10
Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang
larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate
glucoronosyl transferase (UDPG-T). Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam
kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali
ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya.2,5,10
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam
kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feces.
Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat
direarsorbsi, kecuali dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim
beta-glukoronidase yang terdapat dalam usus. Rearsorbsi kembali bilirubin dari saluran
cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi disebut sirkulasi enterohepatik.2,5,10
11
Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup
bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80% bilirubin
yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar
per kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih
pendek.2,5,10
Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus
biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di
pihak lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin.
Selain itu, kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehingga menambah
hiperbilirubinemia dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.2,5,10
2.6 Diagnosis
2.6.1 Anamnesis
Berikut anamnesis yang dapat ditanyakan tentang beberapa riwayat yang dapat
menuntun kepada kepastian penyebab dari ikterik atau hiperbilirubinemia pada neonatus4 :
12
Riwayat keluarga yang kuning atau ikterik, gejala anemia, operasi limfa, dan
menderita penyakit defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD).
Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan galakosemia,
deifisiensi alfa-I-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert,
sindrom Crigler-Najjar tipe I dan II, atau fibrosis kistik.
Riwayat saudara dengan ikterik atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan
inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice.
Riwayat sakit dan penyulit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi
virus atau toksoplasma.
Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, dapat berpotensi menggeser ikatan
bilirubin dengan albumin (seperti sulfonamide) atau mengakibatkan hemolisis pada
bayi dengan defisiensi G6PD (seperti sulfonamide, nitrofurantoin, anti malaria
seperti klorokuin atau primakuin).
Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan pendarahan atau
hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan
ketidakmampuan hati memetabolisme bilirubin atau akibat pendarahan
intraktranial. Keterlambatan klem tali pusat dapat menyebabkan polisitemia
neonatal dan peningkatan bilirubin.
Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk
berkepanjangan
Pemberian air susu ibu (ASI), harus dibedakan antara breast-milk jaundice dan
breast-feeding jaundice.
Breast-feeding jaundice adalah ikterik yang disebabkan oleh kekurangan
asupan ASI. Biasanya timbul pada hari ke-2 atau 3 pada masa dimana
produksi ASI belum terlalu banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai
masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah / BBLR), hal ini tidak perlu
dikhawatirkan, karena bayi mempunyai cadangan lemak coklat, glikogen,
dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam tanpa
asupan ASI. Walaupun demikian keadaan ini dapat memacu terjadinya
hiperbilirubinemia yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik
akibat kurangnya asupan ASI. Ikterik pada bayi ini tidak selalu disebabkan
oleh breast-feeding jaundice, karena mungkin sekali merupakan bentuk dari
hiperbilirubinemia fisiologis. 4,5
13
Breast-milk jaundice adalah ikterik yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI)
itu sendiri. Insiden pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian
besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk
jaundice, bilirubin terus menerus meningkat, bahkan dapat mencapai 20-30
mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan. Bilirubin akan turun secara
drastia dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan
kembali naik tapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi
menunjukan penambahan berat badan yang baik, fungsi hati yang normal,
dan tidak terbukti adanya hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang
70% pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang
menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga timbul
akibat terhambatnya uridin difosfat glukoronil transferase (UDPG-T) oleh
hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-alpha 2-beta-diol yang
ada didalam ASI sebagian ibu. 4,5
14
Gambar 3. Letak pembagian menurut wilayah timbulnya ikterik menurut Kramer.4
15
2. Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi
eritrosit dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, dilengkapi dengan
hitung retikulosit.
3. Golongan darah Rhesus, dan direct Coombs test dari ibu dan bayi untuk mencari
penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan rhesus negatif harus menjalani
pemeriksaan gologan darah, rhesus, dan direct coombs test segera setelah lahir.
4. Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
5.
Pada ikterik yang berkepanjangan, dilakukan uji fungsi hati, pemeriksaan urin
untuk mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi
kongenital, sepsis, defek metabolik, atau kecurigaan hipotiroid.4
16
2.7 Tatalaksana
Prinsip umum tata laksana hiperbilirubinemia adalah berdasarkan etiologi, yaitu
sebagai berikut4 :
1. Semua obat atau faktor yang mengganggu metabolisme bilirubin, ikatan bilirubin
dengan albumin, atau integritas sawar darah otak harus dihentikan.
2. Pada Breast-feeding jaundice tata laksananya meliputi:
- Pantau jumlah ASI yang diberikan
- Pemberian ASI sejak lahir minimal 8 kali sehari
- Pemberian air putih, air gula, dan formula pengganti tidak diperlukan
- Pemantauan kenaikan berat badan serta frekuensi buang air kecil dan buang
air besar.
- Jika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, perlu dilakukan penambahan
volume cairan dan stimulasi produksi ASI dengan melakukan pemerasan
payudara.
- Pemeriksaan komponen ASI dilakukan apabila hiperbilirubinemia menetap
> 6 hari, kadar bilirubin >20 mg/dL, atau riwayat terjadi breast-feeding
jaundice pada anak sebelumnya.
a. Breast-milk jaundice. Terdapat dua pendapat mengenai tata laksana breast-milk
jaundice.
1) American Academy of Pediatrics tidak menganjurkan penghentian ASI dan
merekomendasikan agar ASI terus diberikan.4
2) Gartner dan Aurbach menyarankan penghentian ASI sementara untuk memberi
kesempatan hati dapat mengkonjugasi bilirubin indirek yang berlebihan.
Apabila kadar bilirubin tidak turun maka pengentian ASI dilanjutkan sampai 24
jam dan dilakukan pengukuran kadar bilirubin tiap 6 jam. Bila kadar bilirubin
tetap meningkat setelah penghentian ASI selama 24 Jam, maka jelas
penyebabnya bukan karena ASI. Air susu ibu kembali diberikan sambil mencari
penyebab hiperbilirubinemia yang lain. Jadi penghentian ASI untuk sementara
adalah menegakkan diagnosis.
Panduan terapi sinar untuk breast-feeding jaundice dan breast-milk jaundice mengacu pada
Diagram I.
o Bayi yang terbukti terdapat hipotiroid harus mendapat subsitusi hormon.
o Bayi dengan penyakit hemolitik : hati-hati terhadap kemungkinan hemolitik berat
yang membutuhkan transfusi tukar. Panduan untuk terapi sinar dan transfusi tukar
17
sesuai dengan Diagram I dan 2. Bayi dengan penyakit hemolitik masuk kedalam
kelompok bayi dengan faktor risiko.
Panduan untuk terapi sinar dan transfusi tukar untuk bayi dengan usia gestasi >35
minggu yang dianut di Departemen IKA FKUI/RSCM mengacu pada diagram yang
diajukan oleh American Academy of Pediatrics (AAP) tahun 2004 ( lihat Diagram I dan
2). 4
18
Diagram 1. Panduan terapi sinar untuk bayi dengan usia gestasi 35 minggu4.
Keterangan :
> Bilirubin yang digunakan adalah bilirubin serum total. Jangan menggunakan nilai
bilirubin tak terkonjugasi ataupun bilirubin terkonjugasi.
> Terdapat faktor risiko seperti penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia,
letargi, instabilitas suhu, sepsis, asidosis atau kadar albumin < 3 g/dL.
> Untuk bayi dengan usia gestasi 35-37 minggu, digunakan kurva risiko medium (medium
risk). Untuk bayi dengan usia gestasi mendekati 35 minggu, dapat dipertimbangkan untuk
menginversi pada kadar bilirubin serum total yang lebih rendah dari cut-off point,
sedangkan bayi dengan usia gestasi mendekati 37 minggu dapat dipertimbangkan untuk
menginversi pada kadar bilirubin serum total yang lebih tinggi dari cut-off point.
> Pada kadar bilirubin serum total lebih rendah 2-3 mg/dL dari cut-off point, dapat
dipertimbangkan terapi sinar konvensional dirumah. Namun, terapi sinar dirumah tidak
boleh dilakukan pada bayi yang memiliki faktor resiko.
19
Diagram 2. Panduan transfusi tukar untuk bayi dengan usia 35 minggu4.
Keterangan:
> Transfusi tukar segera direkomendasikan untuk bayi yang menunjukan tanda
ensefalopati bilirubin akut (hipertoni, arching, retrocollis, opistotonus, demam, high
pitched cry) atau bila bilirubin serum total 5 mg/dL diatas garis yang ditentukan.
> Terdapat faktor resiko seperti penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia,
letargi, instabilitas suhu, sepsis, asidosis.
> Periksa albumin serum dan hitung rasio bilirubin/albumin
> Bilirubin yang digunakan adalah bilirubin serum total
20
FARMAKOTERAPI
a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi bayi dengan rhesus yang
berat dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan
tindakan transfusi tukar. 4,5,10,13
21
FOTOTERAPI
Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh
seorang perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi
bayi yang mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat
menghilang dibandingkan bayi bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan
tersebut mulai melakukan penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap
hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya terbukti bahwa disamping pengaruh sinar
matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar
bilirubin pada bayi bayi prematur lainnya.4,6,13
Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler
superfisial dan ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat
diekstraksikan tanpa metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin,
menyatakan bahwa fototerapi merupakan obat perkutan.3 Bila fototerapi menyinari kulit,
akan memberikan foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat,
sinar akan diserap oleh bilirubin dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat
pada reseptor.10,11,13
Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi
fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah
bentuk molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z
akan berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa
22
diekskresikan. Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih
polar dan bisa diekskresikan dari hati ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau
membutuhkan pengangkutan khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung
20% dari jumlah bilirubin serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama
penting dalam mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu
fotooksidasi melalui proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana
lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum. Lumirubin
diekskresikan melalui empedu dan urin karena bersifat larut dalam air.4,5,13
Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus
kurang bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi.
Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur
pada neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan,
sesuai dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP).4
Sinar Fototerapi
Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan
suatu gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut
frekuensi dan panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik.
Spektrum dari sinar tampak ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan
ungu. Masing masing dari sinar memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.11
23
Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin
adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam
menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar
hijau. Intensitas sinar adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat
permukaan tubuh yang terpapar. Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas
fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka semakin cepat penurunan kadar bilirubin
serum.Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai W/cm2/nm.11
24
berjarak 10 cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus
diposisikan di pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.4,11
Tabel 4. Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit
(>37 minggu )11
25
Cara Kerja4,11,13
1. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut
dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin.
Kriteria Alat4,11,13
1. Menggunakan panjang gelombang 425-475 nm.
2. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm.
3. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi.
4. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12),
cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes .
26
4. Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar
daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin kepada
bayi.
27
15. Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus:
16. Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL
17. Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar, persiapkan
kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk
transfusi tukar. Sertakan contoh darah ibu dan bayi.
18. Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari.
19. Setelah terapi sinar dihentikan:
20. Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila
memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode klinis.
21. Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas nilai untuk memulai
terapi sinar , ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi langkah ini pada setiap
penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil pemeriksaan atau perkiraan
melalui metode klinis berada di bawah nilai untuk memulai terapi sinar.
22. Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak
ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.
23. Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa kembali bayi bila
bayi bertambah kuning
Komplikasi Fototerapi4,5
Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan
terapi sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut
yang terlihat selama ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan
memperhatikan tata cara pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas.
28
Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain dikemukankan karena
meningkatnya peristaltik usus (Windorfer dkk, 1975). Bakken (1976)
mengemukakan bahwa diare yang terjadi akibat efek sekunder yang terjadi pada
pembentukan enzim lactase karena meningkatnya bilirubin indirek pada usus.
Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare.
Teori ini masih belum dapat dipertentangkan.
Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut flea bite rash di daerah muka,
badan dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada
beberapa bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome
(Kopelman dkk, 1976). Hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan
dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini
tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
Gangguan retina
Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan (Noel dkk 1966).
Pnelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi
mata pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih
diteruskan.
Gangguan pertumbuhan
Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics 1970).
Lucey (1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat menemukan
gangguan tumbuh kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar. Meskipun
demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi yang tepat
selama waktu yang diperlukan.
Kenaikan suhu
Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan kenaikan
suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan sebagian
lampu yang dipergunakan.
Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan
menghilang dengan sendirinya.
Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.
29
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat
tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
30
TRANSFUSI TUKAR
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang
dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang
dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).4,13
Indikasi 4,13,14
31
5. Asidosis serta gangguan cairan dan elektrolit berat, seperti hiperkalemia,
hipernatremia atau kelebihan cairan. Pada kasus ini dilakukan transfusi tukar
parsial isovolumetrik.
6. Pengaturan kadar hemoglobin. Pada polisitemia dilakukan transfusi tukar parsial
dengan garam fisiologis atau plasma untuk menurunkan kadar hemoglobin,
sedangkan pada anemia berat yang potensial menimbulkan gagal jantung, seperti
pada hidrops fetalis, dilakukan transfusi tukar parsial dengan packed red cells
(PRC).
Hari ke-1 15 13
Hari ke-2 25 15
Hari ke-3 30 20
Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa
dirujuk secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai
kadar di atas, sertakan contoh darah ibu dan bayi. 4,13
Tabel 7. Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah
32
<> > > 1000 10-12
1000-1500 12-15
1500-2000 15-18
2000-2500 18-20
Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:
a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>
b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi
sinar
c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 13
gr/dL
d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
adekuat dengan terapi sinar.4,13
Kontraindikasi4
Transfusi tukar merupakan kontraindikasi jika pemasangan line intra vena lebih
berbahaya daripada manfaat transfusi tukar.
Peralatan4,13
1. Radian warmer
2. Peralatan dan obat-obat resusitasi
3. Alat monitor lengkap (nadi, respirasi, suhu, saturasi dan tekanan darah)
4. Peralatan untuk pemasangan kateter arteri dan vena umbilikal
5. Orogastrik tube, dipasang ke bayi
6. Spuit 10 atau 20 cc
7. Kalsium glukonas
8. NaCl : heparin 1 UI/cc
9. Wadah untuk pembuangan darah (bisa dari botol infus) yang telah dihubungkan
dengan set infus makro.
33
Asisten
Diperlukan asisten steril untuk membantu prosedur transfusi, serta asisten non steril
untuk mengawasi bayi dan mencatat volume transfusi tukar.14
1. Tipe darah
a. Inkompatibilitas Rh. Gunakan darah tipe O-Rh negatif, dengan titer anti A
dan anti B rendah. Harus di cross matched dulu dengan darah ibu. Pada bayi
dengan inkompatibilitas Rhesus berat (seperti hidrops fetalis), darah harus
tersedia sebelum kelahiran.
b. Inkompatibilitas ABO. Gunakan darah tipe O-Rh sesuai dengan ibu dan bayi
atau Rh negatif, dengan titer anti A dan anti B rendah. Darah harus di cross
matched dulu dengan darah ibu dan bayi.
c. Inkompatibilitas golongan darah minor (seperti anti Kell, anti Duffy).
Gunakan golongan darah yang sesuai dan darah harus di cross matched dengan
darah ibu.
d. Hiperbilirubinemia karena sebab lain. Sepsis, gangguan metabolic ataupun
hemolisis lain yang tidak disebabkan oleh kelainan isoimunitas, gunakan
golongan darah yang sesuai dan darah harus di cross matched dengan darah
bayi.
2. Kesegaran dan penyimpanan darah.
a. Dianjurkan untuk menggunakan darah segar (kurang dari 72 jam) yang
diawetkan dengan sitrat (citrate phosphate dextrose/CPD). Dua hal ini akan
memastikan pH daarah >7,0.
b. Hematokrit yang di kehendaki untuk bayi adalah 50-70%. Ini bisa diminta ke
bank darah. Selama prosedur darah harus digoyang pelan secara periodik, untuk
menjaga hematokrit tetap konstan.
c. Kadar kalium darah donor harus diperiksa jika bayi asfiksia, sedang syok atau
ada gangguan ginjal. Jika kadar kalium >7 mEq/L, ganti dengan darah yang
lebih baru atau gunakan washed eritrosit.
3. Jumlah darah yang di gunakan
a. Double Volume.
34
Darah yang ditransfusi tukar sebanyak dua kali lipat volume darah bayi. Bayi
cukup bulan mempunyai volume darah 80ml/kgBB, sedangkan bayi prematur
95ml/kgBB. Jumlah ini dikali dua, menjadi jumlah darah yang harus ditransfusi
tukar.
b. Transfusi Tukar Parsial.
Pada polisistemia, dilakukan transfusi tukar dengan NaCl 0,9% atau plasma,
sedangkan pada anemia digunakan PRC.
35
Pada kasus hidrops fetalis berat, teknik ini merupakan pilihan, karena fluktuasi
volume minimal, sehingga gangguan miokardium juga minimal.
c. Transfusi tukar parsial
Dilakukan dengan plasma atau PRC, sesuai indikasi (polisistemia atau anemia
berat).
Pelaksanaan 4,13,14
1. Jelaskan tentang prosedur dan minta informed consent kepada orang tua.
2. Puasakan bayi selama 3-4 jam sebelum transfusi tukar dimulai. Pasang OGT untuk
mengosongkan lambung dan alirkan (buka tutupnya) selama prosedur. Tindakan ini
berguna untuk dekompresi, mencegah regurgitas serta aspirasi cairan lambung.
3. Tidurkan bayi terlentang dan tahan posisinya dengan baik (tahan dengan erat, tetapi
tidak ketat, dengan bantuan bantal pasir ataupun plester ke tempat tidur). Jangan
lupa pasang urine collector.
4. Lakukan prosedur seperti tindakan mayor (lihat prosedur pemasangan kateter
umbilikal), kemudian pasang kateter vena umbilikal untuk teknik push and pull,
serta arteri atau vena umbilikal untuk teknik isovolumetrik.
5. Siapkan unit darah. Pastikan bahwa darah tersebut memang benar untuk pasien,
golongan darah cocok, dan temperature cocok. Kalau masih dingin, hangatkan ke
suhu tubuh (tidak lebih dari 37o C), jangan terlalu panas karena bisa menyebabkan
hemolisis.
6. Selanjutnya pasang darah ke set infuse, pastikan posisi three way stopcock berada
pada posisi yang tepat sebelum memulai prosedur.
a. Untuk teknik pull-push, pasang set transfusi di jalur vena (umbilicus atau vena
besar lain) dengan bantuan four way stopcock. Kalau tidak ada bisa diganti
dengan 2 buah three way stopcock yang dipasang seri. Di outlet stopcock
tersebut, dipasang satu buah spuit 10 atau 20 cc, darah yang akan ditransfusikan
dan set infuse untuk darah kotor. Pasang set transfusi sedemikian rupa sehingga
stopcock akan berotasi searah jarum jam dengan urutan (1) tarik darah dari
pasien (2) buang ke tempat darah kotor (3) ambil darah baru dan (4) masukkan
dengan perlahan. Jika vena umbilikal tidak bisa digunakan, teknik pull-push
boleh dilakukan di arteri umbilikal dengan syarat ujung kateter berada di bagian
bawah aorta (di bawah lumbal 3)
36
b. Untuk teknik isovolumetrik, jalur vena dipasang satu buah three way stopcock
yang dihubungkan dengan satu buah spuit 10 atau 20 cc dan darah yang akan
ditransfusikan, sedangkan di jalur arteri, three way stopcock dihubungkan
dengan satu buah spuit 10 atau20 cc dan set infuse untuk tempat darah kotor.
c. Darah kotor. Jika jalur arteri tidak bisa ditemukan, alternative dari teknik ini
adalah dengan penggunaan dua vena. Vena besar untuk menarik darah,
sedangkan vena perifer untuk memasukkan darah. Bilas jalur penarikan dengan
NaCl-heparin 1UI/cc tiap 10-15 menit sekali untuk mencegah bekuan.
7. Mulailah prosedur transfusi tukar dengan perlahan, volume keluar masuk darah
disesuaikan dengan berat badan bayi (lihat table), rata-rata 5 ml/kgBB. Volume
perkali (aliquots), minimal 5cc dan maksimal 20cc.
Berat badan Volume perkali (ml)
>3 kg 20
2-3 kg 15
1-2 kg 10
850 g 1 kg 5
<850 g 1-3
Perhatian 13,14
1. Lakukan transfusi tukar dengan setting perawatan intensif. Pantau keadaan umum
bayi. Hentikan atau perlambat kecepatan transfusi tukar jika bayi menjadi tidak
stabil.
2. Sitrat di dalam darah transfusi tukar bisa mengikat kalsium, sehingga bisa
menurunkan kadar kalsium ion. Untuk mencegah hipokalsemia, kalsium glukonas
harus selalu tersedia. Beberapa kepustakaan menganjurkan pemberian 1cc kalsium
glukonas/100cc darah, tetapi kepustakaan lain menganjurkan untuk memeriksa
kadar kalsium atau meliat adanya gejala hipokalsemia, seperti pemanjangan
interval QT pada monitor EKG, untuk pemberian kasium glukonas. Bersihkan dulu
jalur transfusi dengan NaCl-heparin 1UI/cc sebelum pemberian kalsium glukonas.
37
3. Juka transfusi tukar dilakukan dengan teknik push-pull di vena umbilikal, pastikan
ujung caterer berada di vena cava inferior atau di atrium kanan, tidak di sekitar
vena porta. Gangguan aliran vena porta menyebabkan penurunan sirkulasi usus
(mesentrika) dan bisa menimbulkan enterokolitis nekrotikans.
4. Pada bayi yang tidak stabil, transfusi tukar harus dilakukan dengan sangat perlahan.
Peningkatan kadar oksigen (FiO2) sering diperlukan pada pasien dengan ventilasi
mekanik.
5. Gunakan darah segar untuk transfusi tukar. Darah yang sudah lama berpotensi
menimbulkan hiperkalemia karena lisis sel eritrosit.
6. Jika darah menjadi sulit untuk ditarik keluar/masuk, jangan dipaksa. Coba bilas
dengan 1-2cc NaCl : heparin 1UI/cc, jika tidak bisa, ganti stopcock dan seluruh
sambungannya. Literature lain menganjurkan untuk membilas kateter (terutama
kateter arteri) dengan heparin tiap 10-15 menit untuk mencegah bekuan.
7. Sebelum dan sesudah transfusi tukar, lakukan pemeriksaan darah perifer lengkap
dan kimia darah (kalsium, natrium, kalium, klorida, AGD dan kadar glukosa)
8. Tetap lakukan fototerapi intensif sebelum dan sesudah transfusi tukar pada kelainan
dengan hiperbilirubinemia. Monitor kadar bilirubin serum setelah 2, 4, dan 6 jam
setelah transfusi, kemudian berkala tiap 6 jam. Rebound bisa terjadi setelah 2-4
jam.
9. Obat-obat yang diberikan sebelum transfusi harus diulang pemberiannya, kecuali
digoksin. Digoksin tidak perlu diulang kecuali ada perburukan status kardiak atau
kadar digoksin serum terlalu rendah.
10. Pemberian antibiotik profilaksis bisa dipertimbangkan sebelum prosedur.
11. Periksa kadar glukosa darah selama prosedur berlangsung dan lanjutkan pada menit
ke 10, 30 dan 60 menit paska prosedur.
12. Tetap puasakan bayi selama minimal 4 jam (bisa lebih, tergantung kondisi
hemodinamik)
38
3. Gangguan factor pembekuan (koagulopati), disebabkan oleh trombositopenia atau
menurunnya kadar factor pembekuan.
4. Gangguan elektrolit seperti hiperkalemia, hipernatremia dan hipokalsemia.
5. Asidosis metabolic, bisa muncul sekunder karena darah donor sudah tidak segar.
6. Alkalosis metabolic karena terambatnya pembersihan sitrat dari hati.
7. Enterokolitis nekrotikans. Kateter vena imbilikal harus secepatnya dilepas, kecuali
masih di perlukan. Untuk memastikan tidak adanya illeus paska prosedur,
dianjurkan untuk menunda minum sampai 24 jam setelah prosedur.
8. Gangguan kardiovaskuler, seperti aritmia atau arrest
9. Graft versus host disease.
39
2.8 Komplikasi Hiperbilirubin
Salah satu komplikasi yang dapat terjadi ialah bilirubin ensefalopati yang
menunjukkan manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksik bilirubin pada saraf
pusat yakni basal ganglia dan nukleus batang otak.12 keadaan ini tampak pada minggu
pertama sesudah bayi lahir dan dipakai istilah akut bilirubin ensefalopati. Sedangkan
untuk istilah kern ikterus merupakan perubahan neuropatologi yang ditandai pigmen
bilirubin pada beberapa daerah otak terutama basal ganglia, pons, dan serebelum. Kern
ikterus digunakan untuk keadaan klinis yang kronik dengan sequel permanen karena
toksik bilirubin.11
Manifestasi yang dapat muncul yakni fase awal tampak letargi, hipotonik, dan
refleks hisap yang buruk. Fase intermediate ditandai keadaan stupor yang berat,
hipertoni, dan iritabilitas. Tahap selanjutnya bayi akan demam, high-pitched cry,
kemudian akan hipotoni dan drowsiness. Manifestasi kern ikterus akan membuat bayi
berkembang menjadi bentuk athenoid cerebral palsy, gangguan dengar, paralisis
upward gaze, dll.11,12
2.9 Pencegahan
Setiap bayi yang baru lahir harus dievaluasi terhadap kemungkinan mengalami
hiperbilirubinemia berat. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan
memeriksa kadar bilirubin serum total atau pengkajian terhadap faktor resiko secara
klinis. Dengan memeriksa bilirubin serum total dan memplot hasilnya pada
nomogram, kita dapat mengetahui apakah bayi berada pada zona resiko rendah,
menengah, atau tinggi untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat (Diagram 3). Studi
terbaru menyatakan bahwa kombinasi kadar bilirubin sebelum dipulangkan dan usia
gestasi merupakan indikator terbaik untuk mencegah terjadinya hiperbilirubinemia
berat.12
Saat ini tersedia alat nonivasif untuk memperkirakan kadar bilirubin pada kulit dan
jaringan subkutan, yaitu transcutaneus bilirubinometer (BilliCheck, Minolta JM).
Hasil yang didapat akan berbeda dari kadar bilirubin serum total, karena bilirubin yang
diukur bukan bilirubin dalam serum, melainkan bilirubin yang terdeposisi pada
jaringan. Belum ada studi yang mempelajari apakah bilirubin serum atau bilirubin
kulit yang lebih akurat dalam menggambarkan deposisi bilirubin pada susunan saraf
pusat. Hasil pemeriksaan transcutaneus bilirubinometer dipengaruhi oleh usia gestasi,
40
keadaan sakit, edema, dan pigmentasi kulit. Penggunaan kadar bilirubin transkutan
membutuhkan nomogram sendiri. Setiap ibu hamil harus menjalani pemeriksaan
golongan darah dan Rhesus.12
2.10 Prognosis
Ikterus baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui
sawar darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau
ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa
neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus
gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi
dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan
epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai
gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan
memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita
hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan
fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman
pendengarannya.10-12
41
BAB III
KESIMPULAN
Ikterus merupakan disklorisasi pada kulit atau organ lain akibat penumpukan
bilirubin. Bila ikterus terlihat pada hari ke 2-3 dengan kadar bilirubin indirek 5-6 mg/dl
dan untuk selanjutnya menurun hari ke 5-7 kehidupan maka disebut ikterus fisiologis
sedangkan ikterus patologis yaitu bila bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih
besar dari 5 mg/dl / 24 jam pertama kehidupan yang selanjutnya dapat terjadi
kernikterus/ensefalopati bilirubin bila tidak didiagnosa dan ditangani secara dini.
Gejala klinik yang dapat ditimbulkan antara lain letargik, nafsu makan yang
menurun dan hilangnya refleks moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim ditemukan
tanda-tanda kernikterus jarang timbul pada hari pertama terjadinya kernikterus.
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Wong RJ, et al. Neonatal Jaundice : Bilirubin Physiology and Clinical Chemistry.
NeoReviews 2007;8:58-67.
2. Blackburn ST. Bilirubin Metabolism, Maternal, Fetal, & Neonatal Physiology, A Clinical
Perspective. 3rd Ed. Saunders, Missouri;2007.
3. Martin CR, Cloherty JP. Neonatal Hyperbilirubinemia. Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark
AR, Editors Manual of Neonatal Care. 6th Ed. Philadelphia: Lippincot Williams &
Wilkins:2008.h.185-221.
4. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation . Pediatrics. 2004;1
14:297-316.
5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Neonatologi. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak
Indonesia: Jakarta. 2010.p.256.
6. Lauer BJ, Spector ND. Hyperbilirubinemia in the newborn. Pediatrics in Review 2011;
32:341-52.
7. Evans D. Neonatal Jaundice. Clinical Evidence 2007;06;319-24.
8. Yaworski A, Van Meer A, Wong Eric. Neonatal Hyperbilirubinemia. Pediatr Rev
2012;33:291-302.
9. Phyllis A, et al. Neonatal Hyperbillirubinemia. N Engl J Med, Vol.344, No.8. February 22,
2001.
10. Kliegman, Robert M. 2004. Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam : Behrman
RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook Of Pediatrics. 17Th Edition.
Philadelphia, Pennsylvania : Saunders
11. American Academy of Pediatrics. Phototherapy to Prevent Severe Neonatal
Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks Gestation. Pediatrics
2011;128:1047-58.
12. Madan A. Mc Mahon JR. Stevenson DK. Neonatal Hyperbilirubinemia. In : Taeusch HW.
Ballard RA. Gleason CA. Editors. Averys Disease of Newborn. 8th Ed. Philadelphia : WB
Saunders CO. 2005; p1226-53.
13. Hansen, Thor WR. Neonatal Jaundice Treatment & Management. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/974786-treatment. Accessed on: October 16th, 2017.
14. Royal Hobart Hospital, Hobart. Clinical Practice Guidelines. Exchange Transfusion:
Neonatal Guideline, 2009.
43
Jurnal Hiperbilirubinemia
44