OF PEDIATRIC DIPTHERIA
01 PENDAHULUAN 04 DISKUSI
02 METODE 05 KESIMPULAN
03 HASIL 06 SARAN
PENDAHULUAN
Difteri, berasal dari bahasa Yunani, “diphtera” yang artinya kulit, pertama kali
diidentifikasi oleh Hippocrates. Difteri merupakan penyakit akut, fatal, Infeksi bakteri
Corynebacterium diphtheria yang dapat menghasilkan toxin. Penyakit ini hampir
sepenuhnya ter-eradikasi di negara-negara berkembang, termasuk negara-negara di Eropa.
Namun, difteri masih menjadi salah satu penyebab kematian pada anak-anak di negara-
negara berkembang dan meskipun kejadiannya telah menurun, sekitar 80-90% dari kasus
beban global. Pada tahun 2015, India berkontribusi 2.365 (52,21%) dari 4.530 kasus difteri
yang dilaporkan secara global.
PENDAHULUAN
WHO melaporkan bahwa jumlah kasus difteri pada tahun 2013 adalah sebesar 4.680,
yang tersebar luas dan sebagian besar terkonsentrasi di benua Asia, termasuk India (3.313
kasus), Indonesia (775 kasus), Iran (190 kasus), Pakistan (183 kasus), dan Nepal (103
kasus). Indonesia merupakan negara tertinggi kedua yang memiliki kasus difteri
terbanyak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa status imunisasi yang rendah, tinggal
didaerah ramai, migrasi, atau kombinasi dari inang, agen, dan lingkungan dapat
mempengaruhi insidens difteri. Faktor gizi, kebiasaan orang tua, dan kebersihan diri anak
juga dapat mempengaruhi kejadian difteri.
PENDAHULUAN
Penyakit ini sebagian besar terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun, tetapi juga
dapat terjadi pada anak di atas 5 tahun (5-19 tahun) dan pada orang dewasa.
Wabah difteri di Indonesia dilaporkan sekitar 593 kasus yang didokumentasikan oleh
dinas kesehatan provinsi antara tanggal 1 Januari hingga 1 November 2017, kejadian
difteri terjadi di Kalimantan Timur pada anak usia 1-10 tahun. Karena studi tentang
difteri anak masih minim di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makasar. Maka
peneliti melakukan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui spektrum klinis dan
dampak difteri anak pada fasilitas ini.
PENDAHULUAN
Inclusion :
• Pasien < dari 18 tahun
• Dirawat di bangsal anak RS Exclusion :
Wahidin Sudirohusodo
• Suspek, probable, atau
terkonfimasi difteri • Pasien difteri yang tidak
berdasarkan definisi WHO Lengkap rekam medisnya
METODE
(CDC)
METHODS
Status gizi berdasarkan dengan Waterlow (berat badan / persentil tinggi badan) dan WHO
(berat badan / tinggi badan SD) kriteria dan kategori gizi baik adalah [> 90 / (+2 SD) - (-2 SD)],
gizi kurang [70-90 / (<- 2 SD) - (- 3 SD)], gizi buruk [<70 / (- 3 SD)], kelebihan berat badan
(Overweight) [> 110 / (> (+ 2 SD) - (+ 3 SD)], dan obesitas [> 120 / (+ 3SD)].
METHODS
Data lain yang diperoleh dari rekam medis adalah usia, jenis kelamin, status gizi, status
imunisasi, hasil kultur usap tenggorokan, komplikasi, intervensi medis, dan dampak (selamat
atau mati). Semua pasien diberikan antibiotik yang sesuai dan anti-difteri serum (ADS) di
bangsal pediatri dan pasien dengan komplikasi diberikan penanganan di manajemen unit
perawatan intensif anak sesuai pedoman WHO.
METHODS
STATISTICAL ANALYSIS :
SPSS
Spektrum Klinis :
Statistik deskriptif
Spektrum Klinis :
uji Chi-square
RESULT
• Usia diambil mulai dari usia 9 bulan hingga 17 tahun
• Mayoritas di atas 5 tahun
• Rasio perbandingan laki-laki : perempuan 1.54:1
dengan 17/28 anak laki-laki
RESULT
DISCUSSION
• Usia rata-rata 6,15 tahun, Mayoritas pasien berusia di atas 5 tahun
(16/28), 6 tahun
serupa
Namun, Khan et al. menyebutkan bahwa lebih banyak anak laki-laki (69,64%) daripada
anak perempuan (30,36%), dengan rasio 2,29: 1.
DISCUSSION
24/28 telah melakukan imunisasi lengkap, sedangkan 4/28 tidak melakukan imunisasi dasar ataupun
ulangan.
berbeda
Meshram et al. (4,25% diimunisasi lengkap, 57,45% diimunisasi sebagian, dan 38,30% belum
diimunisasi). Basavaraja et al. (48,3% diimunisasi lengkap dan 48,3% tidak diimunisasi), dan Ratageri
et al. (42% diimunisasi lengkap, 16% sebagian diimunisasi, dan 42% tidak diimunisasi).
DISCUSSION
Semua pasien dalam penelitian ini mengalami demam, pseudomembran di tenggorokan, dan sakit
tenggorokan, diikuti dengan pembesaran tonsil, disfagia, batuk, sakit kepala, suara serak, dan bull neck.
Ratageri et al. melaporkan bahwa presentasi klinis yang paling umum pada pasien mereka adalah
pseudomembran (100%), demam (92,8%), limfadenopati serviks (92,8%), diikuti dengan sakit tenggorokan
(64,2%), leher bengkak (42,8%), disfagia (35,7%), bull neck (28,5%), dan halitosis (21,4%). sedangkan
penelitian Meshram et al. melaporkan, nyeri tenggorokan (95,74%), tonsil membesar (80,85%), kesulitan
bernapas (68,08%), disfagia (59,57%), bull neck (48,94%), dan suara berubah (36,17%).
DISCUSSION
Miokarditis ditemukan pada 4/28 pasien, sebagai satu-satunya komplikasi yang teramati
Meshram et al. menemukan miokarditis pada 42,55% pasien dan berbagai penelitian lain di India
ditemukan insidens miokarditis difteri dari 16-66%. Basavaraja et al. menunjukkan bahwa dari 45,16% pasien
dengan bull neck, 71,4% meninggal; dan dari 41,9% pasien dengan miokarditis, 76,9% meninggal. Namun,
pada penelitian kami dari 25% pasien dengan bull neck, 57,1% meninggal, sedangkan semua pasien dengan
miokarditis meninggal. Khan et al. melaporkan bahwa dari 16% pasien dengan miokarditis, 8,92% meninggal.
DISCUSSION
Miokarditis ditemukan pada 4/28 pasien, sebagai satu-satunya komplikasi yang teramati
Meshram et al. menemukan miokarditis pada 42,55% pasien dan berbagai penelitian lain di India
ditemukan insidens miokarditis difteri dari 16-66%. Basavaraja et al. menunjukkan bahwa dari 45,16% pasien
dengan bull neck, 71,4% meninggal; dan dari 41,9% pasien dengan miokarditis, 76,9% meninggal. Namun,
pada penelitian kami dari 25% pasien dengan bull neck, 57,1% meninggal, sedangkan semua pasien dengan
miokarditis meninggal. Khan et al. melaporkan bahwa dari 16% pasien dengan miokarditis, 8,92% meninggal.
DISCUSSION
Keterlibatan jantung pada difteri disebabkan oleh eksotoksin yang diproduksi oleh
Corynebacterium diphtheria. Mortalitas pada penelitian kami lebih tinggi dari yang dilaporkan
oleh penelitian-penelitan sebelumnya dan mungkin disebabkan oleh ukuran sampel kami yang
berbeda atau beberapa pasien kami terlambat datang ke rumah sakit, kondisi memburuk dan
sekarat sebelum mendapatkan penanganan yang optimal.
DISCUSSION
Hasil buruk pada pasien dalam penelitian ini secara signifikan berkaitan
dengan kurangnya imunisasi dasar atau ulangan (P= 0,000), gizi buruk (P=
0,000), bull neck (P= 0,000), miokarditis (P= 0,000), dan lama dirawat di rumah
sakit < 5 hari (P= 0,001). Anak-anak dengan status gizi buruk mungkin memiliki
defisiensi imun sehingga respon terhadap vaksin berkurang. Maka dari itu, kunci
untuk menghindari mortalitas pada difteri anak adalah dengan meningkatkan
status gizi dan melakukan imunisasi lengkap.
CONCLUSION
Kesimpulan, spektrum klinis dan dampak difteri pada anak di Rumah Sakit
Wahidin Sudirohusodo, Makassar relatif berbeda dengan yang dilaporkan dari
negara lain.
Angka mortalitas pada penelitian ini adalah sebesar14.3%, mayoritas tidak
memiliki status imunisasi dasar yang tidak lengkap atau imunisasi ulangan, gizi
buruk, dan memiliki bull neck, miokarditis, dan lama dirawat di rumah sakit < dari 5
hari.
Mortalitas tinggi terjadi pada miokarditis, oleh karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan dini dan tatalaksana adekuat dengan ADS untuk mengurangi
mortalitas.
SARAN