PENDAHULUAN
C. Pemeriksaan Bakteriologik
1. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquorcerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3
hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm
atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila
ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek
(difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di
gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat
ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek
dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus
dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir
permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat
pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui
jasa pos. Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
a. Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat
bagian tengahnya.
b. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian
tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml.
c. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada
satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak.
d. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus.
e. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam
kantong plastik kecil.
f. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal
pengambilan dahak.
h. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.
3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
- Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
- Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali
pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative: BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative: ulang BTA 3 kali kecuali bila
ada fasilitas foto toraks, kemudian
bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) :
1) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
2) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
3) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
4) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
5) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst atau Skala
Bronkhorst (BR) :
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.
b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan
metode konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti,
dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga
Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT).Untuk mendeteksi MOTT
dapat digunakanbeberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan,
menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupunpencampuran dengan
cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto
toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk
(multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
1. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang
berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru .Gambaran radiologik
luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikavitas dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
2. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti
proses penyakit.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) :
1. Lesi minimal ,bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang
terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan
prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas
2. Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.
E. Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara
konvensional.Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru
yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah
metode radiometrik.M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang
kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya
oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan
diagnosis dan melakukan uji kepekaan.
2. Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat
mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis.Salah satu masalah
dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi.Cara
pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih
memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan
diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang
benar dan sesuai standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR
positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis
TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis TB.
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan /
spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstra paru
sesuai dengan organ yang terlibat.
3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda :
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat
mendeteksi respon humoral berupa proses antigenantibodi yang terjadi.
Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan
antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam
serum.Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5
antigen spesifik yangberasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis,
diantaranya antigen M.tb 38 kDa.Ke 5 antigen tersebutdiendapkan
dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik
(2 antigen diantaranyadigabung dalam 1 garis) disamping garis
kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan
kebantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis
antigen. Apabila serum mengandung antibodyIgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan
membentuk garis warna merahmuda. Uji dinyatakan positif bila setelah
15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat
garisantigen pada membran.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia.Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang
direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini
kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum
tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang
memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan
warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah.
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi
serologi yang terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan
serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak
variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis.
F. Pemeriksaan Lain
1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis.Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis
adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan
pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis TB.Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan
jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening
(KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope
dan Veen Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal biopsy/TTB, biopsy paru terbuka).
d. Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua
dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis.
Di Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin
sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji
ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila
kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV
uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
Gambar 6. Alur Diagnosis TB Paru
2.7 Penatalaksanaan11,12,13
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan.Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat
utama dan tambahan.
A. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping
OAT KDT.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang penting
untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug resistant
tuberculosis).Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB
merupakan prioriti utama WHO.International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat tunggal
dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998.Dosis
obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel
3.
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis
yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk
dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi
dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah
sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
B. Tatalaksana TB Anak
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis.Pada anak-anak batuk bukan merupakan gejala
utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis TB anak perlu
kriteria lain dengan menggunakan sistem skor .
Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI telah membuat Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu
pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.Pedoman tersebut secara
resmi digunakan oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis
TB anak.Lihat tabel 8.tentang sistem pembobotan (scoring system) gejala dan
pemeriksaan penunjang.
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah
skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis
kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi
pleura, foto tulang dan sendi,
funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya.
Tabel 8. Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan
penunjang TB
Parameter 0 1 2 3 Jumlah
Kontak TB Tidak Laporan BTA (+)
jelas keluarga, BTA
(-) atau tidak
tahu, BTA tidak
jelas
Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat badan/ Bawah garis merah Klinis gizi buruk
keadaan gizi (KMS) atau BB/U (BB/U < 60%)
< 80 %
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1 cm, jumlah > 1,
kelenjar linfe tidak nyeri
koli, aksila,
inguinal
Pembengkakan Ada pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto toraks Normal/ Kesan TB
tidak jelas
Jumlah
Catatan :
a. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
b. Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
c. Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis.
d. Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan
badan.
e. Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
1. Tanda bahaya:
a. kejang, kaku kuduk
b. penurunan kesadaran
c. kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibbus, koksitis
Gambar 7. Alur Tatalaksana Pasien TB Anak Pada Unit Pelayanan
Kesehatan Dasar
E. Terapi Pembedahan
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan)
dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
F. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya
setiap 1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
a. Sebelum pengobatan dimulai
b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
c. Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensiEvaluasi
radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
3. Pada akhir pengob
D. STANDAR KETENAGAAN
Ketenagaan dalam program penanggulangan TB memiliki standar-standar
yang menyangkut kebutuhan minimal (jumlah dan jenis tenaga) untuk
terselenggaranya kegiatan program TB di suatu unit pelaksana.
Unit PelayananKesehatan
1) Puskesmas
Puskesmas Rujukan Mikroskopis dan Puskesmas Pelaksana
Mandiri : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1
dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1 tenagalaboratorium.
Puskesmas satelit : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih
terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugasTB
Puskesmas Pembantu : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih
terdiri dari 1 perawat/petugasTB.
2) Rumah Sakit UmumPemerintah
RS kelas A :kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari
6 dokter, 3 perawat/petugas TB, dan 1 tenagalaboratorium
RS kelas B :kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari
6 dokter, 3 perawat/petugas TB, dan 1 tenagalaboratorium
RS kelas C :kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari
4 dokter, 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenagalaboratorium
RS kelas D, RSTP dan BP4 :kebutuhan minimal tenaga pelaksana
terlatih terdiri dari 2 dokter, 2 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga
laboratorium
RS swasta :menyesuaikan.
3) Dokter Praktek Swasta, minimal telahdilatih
Tingkat Kabupaten/Kota
1) Supervisor/Supervisor terlatih pada Dinas Kesehatan, jumlah tergantung
beban kerja yang secara umum ditentukan jumlah puskesmas, RS dan
UPK lain diwilayah kerjanya serta tingkat kesulitan wilayahnya. Secara
umum seorang supervisor membawahi 10 – 20 UPK. Bagi wilayah yang
memiliki lebih dari 20 UPK dapat memiliki lebih dari
seorangsupervisor.
2) Gerdunas-TB/Tim DOTS/Tim TB, dan lain-lainnya, jumlah tergantung
kebutuhan.
Tingkat Provinsi
1) Supervisor/Supervisor terlatih pada Dinas Kesehatan, jumlah tergantung
beban kerja yang secara umum ditentukan jumlah puskesmas, RS dan
UPK lain diwilayah kerjanya serta tingkat kesulitan wilayahnya. Secara
umum seorang supervisor membawahi 10-20 kabupaten/kota. Bagi
wilayah yang memiliki lebih dari 20 kabupaten/kota dapat memiliki
lebih dari seorangsupervisor.
2) Koordinator DOTS RS yang bertugas mengkoordinir dan membantu
tugas supervisi program pada RS dapat ditunjuk sesuai
dengankebutuhan.
3) Gerdunas-TB/Tim DOTS/Tim TB, dan lain-lainnya, jumlah tergantung
kebutuhan.
4) Tim Pelatihan: 1 koordinator pelatihan, 5 fasilitator pelatihan (untuk 25
orang peserta).
F. KEBIJAKAN
a. Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas
desentralisasi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program
dalam kerangka otonomi yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,
tenaga, sarana danprasarana).
b. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS
c. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
penanggulanganTB.
d. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinyaMDR-TB.
e. Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan
oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah
Sakit Pemerintah dan swasta, Rumah SakitParu (RSP), Balai Pengobatan
Penyakit Paru Paru (BP4), Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktek
Swasta(DPS)
f. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja sama
dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan
swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB
(GerdunasTB).
g. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan
untuk peningkatan mutu pelayanan danjejaring.
h. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan kepada
pasien secara cuma-cuma dan dijaminketersediaannya.
i. Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yang
memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerjaprogram.
j. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan
kelompok rentan terhadapTB.
k. Penanggulangan TB harus berkolaborasi dengan penanggulanganHIV.
l. PasienTBtidakdijauhkandarikeluarga,masyarakatdanpekerjaannya.
m. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalamMDGs.
BAB III
METODE KEGIATAN
3.1 Ruang Lingkup
Mini Project ini dilaksanakan di RW 12 yang berada di dalam area Kelurahan
Bintaro, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
3.2 Desain
Mini Project ini menggunakan desain studi cross sectional untuk mengetahui
pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat terhadap penyakit Tuberkulosis.
3.3 Analisis Penyebab Masalah
Hal yang mendasari timbulnya kesenjangan antara hasil yang diharapkan
dengan hasil yang dicapai dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Untuk membantu
menentukan kemungkinan penyebab masalah dapat dipergunakan diagram tulang ikan
(fish bone). Untuk menganalisa penyebab masalah manajemen puskesmas, digunakan
pola pendekatan sistem dan pendekatan mutu. Pendekatan sistem meliputi input
( Man, Method, Money, Machine, Material ), proses ( P1 : Perencanaan, P2 :
Penggerakkan dan Pelaksanaan, P3 : Pengawasan, Pengendalian, dan Penilaian ) dan
lingkungan.
Tabel 13. Kemungkinan penyebab masalah manajemen Puskesmas dengan
Pendekatan system
INPUT PENYEBAB MASALAH
MAN Minimnya SDM untuk melakukan screening aktifuntuk
(Tenaga Kerja) menemukan suspek TB paru pada masyarakat.
Beban kerja yang merangkap.
MONEY
(Pembiayaan)
Tidak ada pengalokasian dana khusus untuk penyuluhan.
Namun hal ini tidak dirasa sebagai kendala.
PROSES KEKURANGAN
P1 Penemuan kasus aktif baru dilakukan pada akhir tahun.
Belum adanya perencanaan berkelanjutan terhadap petugas
untuk mendapatkan pelatihan dalam kegiatan penemuan
kasus secara aktif.
P2 Kerjasama antar lintas program TB dengan promkes belum
berjalan
P3 Kurangnya monitoring dan follow up bagi pasien yang di
duga suspek TB
Tidak ada evaluasi proses tentang deteksi dini suspek TB.
PROSES KEKURANGAN
Lingkungan Kurangnya pengetahuan warga mengenai penyakit TB
Kurangnya pengetahuan warga mengenai lingkungan dan
rumah sehat
Stigma negatif masyarakat terhadap pasien TB
MATERIAL -
MACHINE
Tidak tersedia tempat untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium
P3
Kurangnya monitoring dan follow up bagi
pasien yang di duga suspek TB
Tidak ada evaluasi proses tentang deteksi
dini suspek TB.
PROSES
54
2. Sikap terhadap
upaya pencegahan
penularan TB (5
soal)
55
3.6 Subjek
3.6.1 Populasi Target
Populasi target adalah masyarakat RW 12 Kelurahan Bintaro, Kecamatan
Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
3.6.3 Sampel
Sampel Mini Project merupakan populasi terjangkau yang memenuhi kriteria
inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi.
3.9 Instrumen
Instrumen yang digunakan dalam rangka pengambilan data mini project ini
menggunakan kuesioner. Adapun informasi yang tercakup dalam kuesioner
meliputi data dasar (nama, usia, jenis kelamin, alamat, riwayat penyakit) dan
pertanyaan yang berkaitan untuk menilai pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat/kader mengenai program TB.
56
3.10 Cara Pengambilan Data
3.10.1 Alur
Penyusunan
proposal
Pelaksanaan
Populasi terjangkau
57
3.11.2 Entry Data
Setelah diverifikasi, data akan diklasifikasikan menurut jenisnya.
Kegiatan Waktu
58
BAB IV
HASIL DAN DISKUSI
Usia
Remaja Akhir 5
Dewasa 2
Lansia 3
Pendidikan terakhir
SD 3
SMP 1
SMA 4
Perguruan Tinggi 2
Pekerjaan
Tidak bekerja 7
Bekerja 3
59
4.2 Penilaian Terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Responden di RW
12 Terhadap Tuberkulosis Paru
Berdasarkan kuesioner mengenai pengetahuan, sikap, dan perilaku
terhadap tuberkulosis paru yang diisi oleh 10 orang responden di RW 12,
didapatkan hasil sebagai berikut:
60
Gambar 12. Diagram sikap dan perilaku
61
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Melihat ketiga aspek yang kami amati, yakni pengetahuan, sikap dan
perilaku, dapat disimpulkan bahwa secara umum, masyarakat di RW 12
Kelurahan Bintaro memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang baik
mengenai penyakit Tuberkulosis paru secara umum. Pengetahuan mengenai
TB sangatlah penting untuk membantu meningkatkan deteksi dini TB di dalam
masyarakat. Selain petugas medis yang telah terlatih, adanya masyarakat yang
mengetahui hal-hal mendasar mengenai TB beserta apa yang harus dilakukan,
ternyata sangat membantu dalam menemukan kasus TB, karena mereka dapat
melaporkan dan memotivasi orang sekitar lingkungan tempat tinggal mereka
yang memiliki gejala TB untuk berobat. Menurut data yang dimiliki
Puskesmas Kelurahan Bintaro, RW 12 merupakan salah satu wilayah dengan
penderita TB terbanyak di Kelurahan Bintaro. Namun karena kurangnya
proses penjaringan TB secara aktif menyebabkan kurangnya jumlah pasien
yang diobati, yang akhirnya menyebabkan capaian kasus baru yang diobati di
Puskesmas Kelurahan Bintaro hanya 16,66%, jauh sekali dari target
capaiannya yaitu 100%.
Adapun keterbatasan pada kegiatan ini meliputi terbatasnya jumlah
subjek penelitian dan variasi variabel yang diteliti. Penulis menyarankan untuk
dilakukannya penelitian lebih lanjut dengan jumlah responden yang lebih
banyak dan wilayah yang lebih luas agar dapat mencakup seluruh populasi
kelurahan Bintaro dan melihat faktor – faktor lain yang mempengaruhi
pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat mengenai Tuberkulosis paru,
seperti status sosioekonomi, dukungan keluarga, dan dukungan tenaga
kesehatan untuk mereka memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat.
Penulis juga menyarankan untuk melakukan analisis bivariat untuk melihat
hubungan antarvariabel.
62
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, perlu untuk
dilakukan konseling aktif (terutama kepada pasien dan keluarga pasien) agar
meningkatkan inisiatif masyarakat untuk segera berobat atau membawa
anggota keluarganya yang memiliki gejala TB ke puskesmas untuk dilakukan
screening TB dan diberikan pengobatan TB. Selain itu diharapkan adanya
kerjasama lintas program antara program TB dan program promkes, dengan
penyuluhan yang rutin dan terjadwal untuk meningkatkan pengetahuan
masyarakat. Diperlukan penyampaian penyuluhan dengan tema dan media
informasi yang lebih menarik, misalnya dengan menampilkan video
bergambar, dialog interaktif dengan menampilkan pasien sebagai narasumber
dan fun game. Dengan penyuluhan dan tema yang bervariasi ini, diharapkan
masyarakat lebih mudah menyerap dan memahami materi penyuluhan yang
diberikan, sehingga masyarakat yang memiliki pengetahuan yang mendasar
mengenai TB dapat berperan aktif dalam membantu para praktisi medis
khususnya di Puskesmas Kelurahan Bintaro dengan melaporkan apabila ada
anggota keluarga maupun tetangga mereka yang memiliki gejala yang sesuai
dengan gejala TB.
Selain itu, perlu dibentuk tim khusus untuk menjaring dan melakukan
edukasi secara langsung ke rumah serta wilayah pemukiman warga yang
dicurigai TB. Untuk itu dapat memanfaatkan peran aktif masyarakat dengan
membentuk tim JUMANTUK (Juru Pemantau Batuk) yang terdiri dari kader-
kader yang ditunjuk oleh pemegang program di Puskesmas Kelurahan Bintaro,
dan telah diberikan pelatihan sebelumnya. Selain dapat menjaring penderita
TB, para kader ini juga diharapkan dapat menjadi PMO dilingkungan tempat
tinggalnya. Kemudian setiap bulannya perlu diadakan evaluasi rutin terhadap
kinerja program TB secara keseluruhan, agar seluruh kegiatan dapat terpantau,
kerjasama tim yang baik dapat tercipta, dan diharapkan capaian program TB
akan meningkat hingga mencapai target.
63
DAFTAR PUSTAKA
64
15. Mulyadi, RR. Syahruddin, E. Hubungan Sikap dengan Prevalensi Masalah
Kesehatan Respirasi pada Masyarakat Perumahan di Kelurahan Bintaro.
FKUI. 2014.
16. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Di Indonesia. PDPI. 2013. Available at:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html. Accessed on 6th Desember
2015.
17. Mulyadi, RR. Syahruddin, E. Hubungan Sikap dengan Prevalensi Masalah
Kesehatan Respirasi pada Masyarakat Perumahan di Kelurahan Bintaro.
FKUI. 2014
18. Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. 2016. Available at :
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINS
I_2016/11_DKI_Jakarta_2016.pdf
19. Hadi H. Hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu tentang
pencegahan penyakit TB Paru dengan kejadian TB paru anak usia 0-14 tahun,
UNNES; 2011.
65
LAMPIRAN
KUESIONER PENELITIAN(19)
Nomor Responden :
Identitas:
Alamat :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Petunjuk:
Pada bagian I dan II lingkari satu jawaban yang dirasa paling tepat
Pada bagian III dan IV beri tanda centang (√) pada pernyataan yang
dianggap benar.
66
2. Apa penyabab penyakit TB paru?
a. Kuman/ bakteri
b. Udara kotor
c. Asap rokok
5. Apakah orang yang tinggal serumah dengan penderita TB paru tidak akan tertular?
a. Ya b. tidak
67
9. Cara membuang dahak yang tidak benar adalah :
a. Meludah di kamar mandi
b. Meludah di wastafel kemudian disiram dengan air mengalir
c. Meludah sembarangan
68
II. Sikap tentang Pencegahan TB Paru
No Pertanyaan SS S TS STS
69
III. Perilaku Masyarakat Tentang Pencegahan TB Paru
70
Dokumentasi Kegiatan
71