Anda di halaman 1dari 37

Stadium Tetanus

Berdasarkan gejala klinisnya maka stadium klinis tetanus dibagi menjadi stadium klinis pada anak dan stadium klinis pada orang dewasa.

Stadium klinis pada anak.

Terdiri dari :

Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trisnus (3 cm) belum ada kejang rangsang, dan belum ada kejang spontan.

Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm), kejang rangsang, dan belum ada kejang spontan.

Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm), kejang rangsang, dan kejang spontan.

Stadium klinis pada orang dewasa. Terdiri dari :

Stadium 1

trisnus

Stadium 2

opisthotonus

Stadium 3

kejang rangsang

Stadium 4

kejang spontan

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Abletts :

a. Derajat I (ringan)

Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.

b. Derajat II (sedang)

Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia ringan

c. Derajat III (berat)

Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi

d. Derajat IV (sangat berat)

Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.

Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.

Derajat penyakit tetanus Derajat I (tetanus ringan)


Trismus (lebar antar gigi sama atau lebih 2 cm) Kekakuan umum Tidak dijumpai kejang Tidak dijumpai gangguan respirasi

Derajat II (tetanus sedang)


Trismus (lebar kurang dari 1 cm) Kekakuan umum makin jelas Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan

Derajat III a. tetanus berat

Trismus berat (kedua baris gigi rapat)

Otot sangat spastis, timbul kejang spontan Takipnea, takikardia Apneic spell (spasme laryng)

Derajat III b. tetanus dengan gangguan saraf otonom


Gangguan otonom berat Hipertensi berat dan takikardi, atau Hipotensi dan bradikardi Hipertensi berat atau hipotensi berat

Berdasarkan 1. Kekakuan terus sekelompok menerus, otot

tipe Tetanus yang dekat dengan awal invasi kelainan

tetanus local kuman general

-Nyeri

unyreling

-anti toksin yang beredar tidak cukup menetralkan toksin yang menumpuk di sekitar tempat masuk -Dapat -Tetanus 2. berlangsung beberapa minggu atau bulan hilang tanpa bekas 1% sefalik

ringan, Tetanus

kematian

Port

dentre

di

kepala,

leher,

mata,

telinga

atau

(jarang)

pasca

tonsilektomi hari

Inkubasi

1-2

- Kelumpuhan saraf II (optikus), IV (troklearis), VII (fasialis), IX (glosofaringeus), X (S. vagus), XI 3. (hipoglosus), sendiri Prognosis Tetanus atau kombinasi jelek generalisata

- Port dentri: luka tusuk dalam, furunkulosis, cabut gigi, embedded splinter, ulkus dekubiti, tusukan jarum tidak mengenai steril, fraktura komplikata yang otot menjadi supuratif skelet

seluruh

- Tanda: irritable, trismus (kekakuan otot wajah) muka meringis, sulit menelan, kaku kuduk, otot punggung epistotonus (punggung melengkung) dengan lengan fleksi dan abduksi, kaku otot abdomen, disfagia, fotofobia

- Kejang generalisata mudah timbul dengan pacu ringan seperti :sentuhan angina, suara, cahaya terang, hentakan tempat tidur, rabaan

- uji laboratorium tidak mempunyai peran diagnostic

Ascending Tetanus

Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya mengenai tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP.

Etiologi

Penyakit tetanus disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang dapat masuk melalui luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar, luka operasi yang tidak dirawat dan tidak dibersihkan dengan baik, caries gigi, pemotongan tali pusat yang tidak steril, dan penjahitan luka robek yang tidak steril. Penginfeksian kuman Clostridium tetani lebih mudah bila klien belum terimunisasi.

Penyebab

Sumber infeksi biasanya sebagian besar 65% adalah luka, yang sering adalah kecil misalnya, kayu atau logam pecahan, duri. Ulkus kulit kronis adalah sumber pada sekitar 5% kasus, dan dalam sisa kasus, tidak ada sumber jelas diidentifikasi. Menurut data Centers for Disease Control and Prevention (CDC) amerika serikat tahun 1982-84 penyebab tersering adalah sebagai berikut:

Terinfeksi laserasi atau luka tusukan (69%) Terinfeksi luka kronis dan abses (20%) Paparan melalui penyalahgunaan obat intravena (3%) Neonatus (1%) Lain atau tidak dapat diidentifikasi penyebab (7%)

Kemungkinan penyebab tidak biasanya berhubungan dengan tetanus

otitis media luka bakar Benda asing Intranasal kornea lecet Benda asing di tubuh Gigi atau prosedur bedah

Faktor predisposisi: 1. Umur tua atau anak-anak 2. Luka yang dalam dan kotor 3. Belum terimunisasi C.Patofisiologi Tetanus Suasana yang memungkinkan organisme anaerob berploriferasi dapat disebabkan berbagai keadaan antara lain :

Luka yang terjadi karena tusukan paku , besi, kaleng/ bekas tusuk sate yang kotor cenderung tertutup dan menyebab keadaan kotoran anaerob didalam luka,merupakan media yang sangat baik bagi kuman clostridium tetani .

1). Luka tusuk dalam, misalnya luka tusuk karena paku, kuku, pecahan kaleng, pisau, cangkul dan lain-lain. 2). Luka karena kecelakaan kerja (kena parang0, kecelakaan lalu lintas. 3). Luka ringan seperti luka gores, lesi pada mata, telinga dan tonsil.

luka-luka seperti Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:

- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.

- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap

- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek

- Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap baik.

Temuan laboratorium :

- Lekositosis ringan

- Trombosit sedikit meningkat

- Glukosa dan kalsium darah normal

- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat

- Enzim otot serum mungkin meningkat

- EKG dan EEG biasanya normal

- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

TETANUS

Definisi:

Penyakit tetanus addalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh kuman Cloctradium tetani yang dimanifestasikan berupa kejang otot proksimal, diikuti oleh kekuatan otot seluruh tubuh. Kekuatan tonos otot ini selalu tampak pada otot maseter dan otot otot rangka.

Definisi

Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang.

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium tetani, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman. Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot rangka.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani,yang ditandai dengan gejala kekakuan dan kejang otot.(Ritharwan,2004)

II.

Etiologi:

Clastradium tetani adalah kuman berbentuk batang, rangping berukuran 2-5x0,4-0-0,5 milimikron. Kuman ini berspora termasuk dalam golongan gram positif dan hidup anaerob. Spora dewasamempunyai bagian yang bergenderang ( drum stick). Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neorotoksik. Toksik ini (tetanuspasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang otot daqn syaraf ferefer setempat. Toksin labil pada pemanasan pada suhu 65 derajat celcius akan hancur dalamwaktu5 menit. Disamping itu dikenal juga tetanolisin yang bersifat hemolisis yang perannya kurang berani dalam proses hemolisis.

Clostridium tetani

C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanoysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat memengaruhi tetanus. Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat.

III.

Epidmiologi

Di Amerika rata-rata usia pasien tetanus berkisar antara 50 s.d 57 tahun. Tetanus juga dapat menyerang semua golongan umur : bayi (tetanus neonatorum). Dewasa muda (biasanya pecandu narkotik) Kuman ini bisa tersebar luas diseluruh tanah terutama tanah garapan yang berasal dari kotoran hewan.

IV.

Patofisiologi

Penyebaran toksin

Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut :

1. Masuk ke dalam otot

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik

Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.

3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.

Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otototot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.

4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.

Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan dan tekanan oksigen ke jaringan seluruh yang bagian rendah. tubuh

Selanjutnya, toksin akan

diproduksi

menyebar

melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang belakang. Akhirnya menyebar ke SSP. Gejala klinis yang ditimbulakan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter. Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin, neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin, menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap

rangsangan sensoris. Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter (trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada dada, perut dan mulai timbul kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta kekakuan dari otot leher.

Tetanospasmin pada system saraf otonom juga verpengaruh, sehingga terjadi gangguan pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran cerna, saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan saraf ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan mekanik, kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola dengan teliti.

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme, bekerja pada beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :

pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.

dari refleks synaptik di spinal cord.

cerebral ganglioside.

Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.

Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .

Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:

1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat

2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.

V.

Gejala

Klinis

Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari. Timbulnya gejala klinis biasanya mendadak yang didahului oleh ketegangan otot pada rahang dan leher. Timbul kesukaran membuka mulut, (trismus) karena spasmus otot masseter. Kejang ototini akan berlanjut kekuduk dinding perut dan sepanjang tulang belakang. Bila serangan toksik sedang sering tampak rimus sardonikus karena spasmus otot muka dengan gambaran alis tertarik keatasdan sudut mulut tertarik keluar dankebawah , bibir tertekan kuat pada gigi . Gambaran umum yang khas pada tetanus adalah berupa badan kaku dengan epistotonus ,tungkaidalam keadaan ektensi, lengan kaku dan tangan mengapel, biasanya kesadaran tetap baik.

Secara umumdalam kurun waktu kurang lebih 48 jam penyakit tetanus menjadi nyata terlihat 1. Tetanus dengan : karena gambaran spasmus klinis otot-otot sebagai matikatoris ( berikut otot :

pengunyah).

2. Kaku kuduk sampai epistotonus ( karena ketegangan otot-otot erector tungkai). 3. Ketegangan otot dinding perut (perut kaku seperti papan).

4. Kejang tonis teritama bila dirangsang karena toksin yang tendapat di komus anterior. 5. Resus sardonikos karena spasme otot muka ( alis tertarik keatas,sudut muka tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan kuat pada gigi)

6. Kerusakan menelan, gelisah ,mudah terrangsang, nyeri kepala, nyeri anggota badan 7. Spasme yang khas yaitu badan kaku dengan epitotonus, ektrimitas inferior dalam

keadaan

ektensi,

lengan

kaku

dan

tangan

mengepal

kuat

8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. 9. Panas biasanya tidak terlalu tinggi.

10. Biasanya terdapat leukositisis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.

Menurut 1. trismus

beratnya ( 3cm)

gejala tampa

dapat kejang

dibedakan tonik

dalam umum

stadium

meskipun

dirangsang.

2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang tonik umum bila dirangsang. 3. Trismus ( 1 cm) dengan kejang tonik umum spontan

Penilaian Gardasi 1. 2. > <

tetanus

berdasarkan Penyakit Masa 2 hari hari hari hari 15 Tempat hari -

Phillip

skore

: :

inkubasi Nilai infeksi Nilai

: 5 4 3 2 1 : 5 4 3

2-5 6-8 11-14

Umbilikus Kepala/leher Badan

3. 4. -

Ektrimitas Ektrimitas Ektrimitasd Ektrimitas Tidak

atas bawah atas bawah diketahui

proksimal proksimal distal distal -

3 3 2 2 1 :

Imunisasi Belum Mungkin Pernal Pernah > < 10 10 pernah pernah th th lengkap Faktor Trauma Trauma Trauma Trauma A.S.A yg mengancam berat sedang ringan derajat 1 yang yang penyerta jiwa Nilai lalu lalu Nilai

10 8 4 2 0 : 10 8 4 2 1

Imunisasi

Faktor-faktor 5. Reflek

yg

mempengaruhi Derajat

prognosa spasme umum Nilai

penyakit

: : 5

Epistotonus spasme terbatas

4 3

Reflek

6. 7. 8. > 38,3 37,8 37,2 37,7 <

Spastisitas Trismus Frekue3nsi Spontan Spontan > < 3 3 x x

umum -

spasme

2 1 :

/ / spontan / 12

15 15

menit menit jam Badan

Nilai

5 4 3

Kadsang-kadang 6 x Suhu 38,9 derajat 38,9 38,2 37, 37,1 7

1 :

celcius derajat derajat derajat derajat Pernapasan celcius celcius

Nilai

10 8 4 2 0 :

celcius celcius

Tracheostomy Henti Henti Henti napas napas napas Normal setiap kadang hanya

konvulsi setelah selama -

Nilai

10 8 4 2 0

konvulsi konvulsi

VI.

Pemeriksaan

Laboratorium

Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang didapat peningkatan tekanan cairan otak.

VII. 1. a. Merawat dan

Penatalaksanaan Umum membersihkan luka dgn

: : sebaik-baiknya

b. Diet cukup ka;lori dan protein ( bentuk makanan tergantungpada kemampuan membuka mulut dan menelan ).

c. Isolasi klien untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tidakan thd klien d. e. 2. Oksigen dan pernapasan buatan dan cairan tracheotomy dan kalau lainnya perlu. elektrolit. :

Mengatur

keseimbangan Obat-obatan

a. Anti toksin . Tetanus Imun Glubolin (TIG ) lebih dianjurkan pemakainnya di bandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Disis initial TIG

adalah 5000 U IM ( disis harian 500 6000 U ). Kalau tidak adaTIG diberi ATS dgn b. Beberapa obat yg dosis 5000 U IM Anti dapat diberikan dan 5000 U IV. kejang. :

Obat Diasepam 0,5 300 25 50

Dosis 10 100 mg/kg 400 75 mg BB mg/4 mg / 4 /4 /24

Efek jam jam jam jam IM IM IM IM Sopor,

samping koma ada

Meprobamat Klorpromasin Fenobarbital

Tidak

Hipotensi nafas

Depresi

VIII. Dipengaruhi a. b. c. d. e. f. g. Periode Adanya Masa Neonatus oleh berbagai inkubasi dan Frekuensi Kenaikan Pengobatan trismus penyulit spasme dan otot suhu usia faktor yg

Prognosis yg dapat pendek tua kejang badan yg kejang pernafasan yg dan semakin obstruksi jalan (lebih memperburuk ( dari yg yg 7 55 keadaan hari th yaitu

: : ). ) sering tinggi terlambat sering nafas

PROGNOSIS

Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih baik dari tetanus umum.

Sistem Skoring

Skor 1 Masa inkubasi Awitan penyakit Tempat masuk <> <>

Skor 0 > 7 hari > 48 jam

Tali pusat, uterus, fraktur Selain tempat tersebut

terbuka,

postoperatif,

bekas suntikan IM Spasme Panas badan (per rektal) Takikardia dewasa neonatus (+) > 38,4 0C (> 40 0C) > 120 x/menit > 150 x/menit (-) < 38,4 0C ( < 40 0C) <> <>

Dikutip dari Habermann, 1978, Bleck, 1991

Tabel klasifikasi untuk prognosis Tetanus

Tingkat Ringan Sedang Berat Sangat berat

Skor 0-1 2-3 4 5-6

Prognosis <> 10 20 20 40 > 50

Dikutip dari Bleck, 1991

Catatan : Tetanus sefalik selalu dinilai berat atau sangat berat

Tetanus neonatorum selalu dinilai sangat berat

Komplikasi

Dystonia, Tardive Gangguan ventilasi paru, Aspirasi pneumonia, Bronkopneumonia, atelektasis Emfisema mediastinal, pneumotoraks, Sepsis, Fraktur vertebra atau fraktur tulang paha.

1. Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di rongga mulut. Hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi. 2. Asfiksia. 3. Atelektasis karena obstruksi secret. 4. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi.

Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis metabolik.

Diagnosa banding

Trismus akibat abses gigi, abses parafaring/retrofaring/peritonsiler Sepsis neonatorum, meningitis bakterialis, ensefalitis, rabies keracunan striknin, efek simpang fenotiazin, tetani, epilepsi.

PENATALAKSANAAN

1. Non-farmakologi 1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, 2. Diet TKTP. Pemberian tergantung kemampuan menelan. Bila trismus, diberikan lewat sonde parenteral. 3. Isolasi pada ruang yang tenang, bebas dari rangsangan luar. 4. Menjaga jalan nafas agar tetap efisien. 5. Mengatur cairan dan elektrolit.

1. Dasar

a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.

1. Antibiotik

Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.

Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari.

Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari.

Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G.

Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang.

Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral.

Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.

2. Perawatan luka

Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.

b. Netralisasi toksin

1. Anti tetanus serum

Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.

Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.

2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)

Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 30006000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul gejala.

Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.

Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka.

c. Menekan efek toksin pada SSP

1. Benzodiazepin

Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.

2. Barbiturat

Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.

3. Fenotiazin

Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi. Dosis Anak anak

Jenis Obat Fenobarbital

Dosis Orang Dewasa

Mula mula 60 100 mg IM, 3 x 100 mg IM kemudian 6 x 30 mg per oral.

(Luminal) Maksimum 200 mg/hari Klorpromazin 4 6 mg/kg BB/hari, mula mula 3 x 25 mg IM IM, kemudian per oral (Largactil) Diazepam Mula mula 0,5 1 mg/kg BB 3 x 10 mg IM IM, kemudian per oral 1,5 4 (Valium) mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6 dosis

Klorhidrat

3 x 500 100 mg per rectal

2. Umum

Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.

Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.

Bantuan ventilator diberikan pada :

1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV 2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi konservatif dan PaO2 <> 3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.

Terapi suportif

Bebaskan jalan nafas Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi pasien)

Pemberian oksigen Perawatan dengan stimulasi minimal Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak memperkuat kejang

Bantuan nafas pada tetanus berat atau tetanus neonatorum Pemantauan/monitoring kejang dan tanda penyulit

Tetanus ringan dan sedang

Diberikan pengobatan tetanus dasar

Tetanus sedang

Terapi dasar tetanus Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi) Pemberian cairan parenteral, bila perlu nutrisi secara parenteral.

Tetanus berat/sangat berat

Terapi dasar seperti di atas Perawatan dilakukan di ICU, diperlukan intubasi atau tracheostomi Balans cairan dimonitor secara ketat. Apabila spasme sangat hebat (tetanus berat), perlu ventilasi mekanik dengan

pankuronium bromida 0,02 mg/kg bb intravena, diikuti 0,05 mg/kg bb/kali, diberikan tiap 2-3 jam.

Apabila terjadi aktifitas simpatis yang berlebihan, berikan b-blocker seperti propanolol/a dan b- blocker labetalol.

Pencegahan

Imunisasi aktif

Imunisasi dasar DPT diberikan tiga kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu, ulangan pada umur 18 bulan dan 5 tahun (lihat Bab Jadwal Imunisasi).

Eliminasi tetanus neonatorum dilakukan dengan imunisasi TT pada ibu hamil, wanita usia subur, minimal 5 x suntikan toksoid. (untuk mencapai tingkat TT lifelong-card).

Pencegahan pada luka


Luka dibersihkan, jaringan nekrotik dan benda asing dibuang Luka ringan dan bersih: Bila Imunisasi lengkap : tidak perlu ATS atau tetanus imunoglobulin, Bila Imunisasi tidak lengkap : imunisasi aktif DPT/DT.

Luka sedang/berat dan kotor: Bila Imunisasi (-)/tidak jelas : ATS 3000-5000 U, atau tetanus imunoglobulin 250-500 U. Toksoid tetanus pada sisi lain. Bila Imunisasi (+), lamanya sudah > 5 tahun : ulangan toksoid, ATS 3000-5000 U, tetanus imunoglobulin 250-500 U.

INDIKASI IMMUNISASI

LUKA BERSIH DATA VAKSINASI Tetanus Toksoid Tidak pernah atau mendapat tidak Ya Tidak Tetanus Antitoksin

LUKA KOTOR Tetanus Toksoid Tetanus Atoksin

vaksinasi diketahui Satu kali

Ya

Ya

mendapat Ya Tidak Ya Ya

vaksinasi tetanus Dua kali mendapat Ya vaksinasi tetanus Tiga kali mendapat Tidak/Ya vaksinasi tetanus Tidak Tidak/Ya Tidak/Ya Tidak Ya Ya

Prinsip prinsip Umum Profilaksis

Pertimbangan individual penderita. Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis luka, dan riwayat imunisasi.

Debridemen. Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang nekrotik dan benda asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.

Imunisasi aktif. Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan dosis sebanyak 0,5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut turut. DPT (Dephteri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada usia 2 6 bulan dengan dosis sebesar 0,5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan berturut turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM, dan antara umur 5 6 tahun 1 x 0,5 cc IM.

Tetanus toksoid. Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pmberian booster di atas.

Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun, terakhir.

Imunisasi Pasif. ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu) maupun antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 1500 IU per IM, dan untuk anak adalah 750 IU per IM.

Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusia), terkenal di pasaran dengan nama Hypertet. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara dengan 1500 IU ATS), sedang untuk anak anak adalah 125 IU per IM. Hypertet diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan.

Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita, dan status imunisasi.

Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif, merupakan keharusan untuk diimunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan sekali kali secara IV.

Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.

Tindakan profilaksis

Belum Jenis Luka sebagian Ringan, bersih Mulai

IA

atau Mendapat IA yang lengkap 1 5 tahun atau IA 5 10 tahun Toks. 0,5 cc > 10 tahun Toks. 0,5 cc

melengkapi

toks. 0,5 cc hingga lengkap Berat, bersih, atau ATS 1500 IU cenderung tetanus Toks. 0,5 cc Cenderung tetanus, ATS 1500 IU debrimen Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU Toks. 0,5 cc Toks. 0,5 cc ATS 1500 IU

terlambat,m tidak bersih

atau Toks. 0,5 cc

ABT

Toks. 0,5 cc

Hingga ABT

lengkap

ABT

Keterangan :

ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU. Pada anak anak dosis ATS

dosis dewasa

IA

Imunisasi aktif (dengan toksoid)

Toks =

Toksoid (vaksin serap tetanus)

ABT =

antibiotika dosis tinggi yang sesuai untuk Clostridium tetani

DAFTAR PUSTAKA

1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam : Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213. 2. Sumiardi Karakata, Bob Bachsinar; Bedah Minor, edisi 2,J akarta : Hipokrates,1995 3. bedah : UNPAD, 2000

4.

Hendarwanto. llmu Penyakit Dalam, jilid 1, Balai Penerbit FK UI, Jakarta: 2001, 49- 51.

5. 322. 6. 7. 8.

Mardjono, mahar. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta:2004.

http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview BUKU Ajar Ilmu Bedah . De Jong dkk. Ed 2 , Jakarta, 2004

9. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871 10. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson Textbook of Pediatrics Vol 1 17th edition W.B. Saunders Company. 2004 11. Udwadia FE, Tetanus. Bombay: Oxford University Press, 1993 : 305 12. Soedarmo, Sumarrno S.Poowo; Garna, Herry; Hadinegoro Sri Rejeki S, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi & Penyakit Tropis, Edisi pertama, Ikatan Dokter Anak Indonesia. 13. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157

Anda mungkin juga menyukai