Anda di halaman 1dari 28

PENDAHULUAN

Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga pada pasien yang
berusia 45 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker). Diseluruh dunia sirosis
menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sirosis hati merupakan penyakit hati yang sering
ditemukan dalam ruang perawatan Bagian Penyakit Dalam. Perawatan di Rumah Sakit sebagian
besar kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai penyakit yang ditimbulkan seperti
perdarahan saluran cerna bagian atas, koma peptikum, hepatorenal sindrom, dan asites,
Spontaneous bacterial peritonitis serta Hepatosellular carsinoma.

PEMBAHASAN
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu dilakukan oleh seorang dokter dalam anamnesis pasiennya, meliputi :
a. Menyapa dan memperkenalkan diri dengan pasien dan keluarganya
b. Anamnesis pribadi, meliputi :
Nama pasien
Alamat dan tanggal lahir
Umur
Jenis kelamin
Status perkawinan
Tanggal masuk berobat
c. Anamnesis penyakit, meliputi :
Keluhan utama
Keluhan/ gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat
Tidak harus sejalan dengan diagnosis utama1,2

Keluhan tambahan
Urutan hal-hal yang dapat ditanya oleh seorang dokter mengenai keluhan utama dan tambahan
sesuai dengan gejala-gejala dan tanda-tanda pada pasien adalah :
1. Onset : Mulainya pasien merasakan keluhan tersebut
2. Lokasi : Daerah yang dirasakan sakit oleh pasien
3. Durasi : Lamanya sakit itu dirasakan pasien
4. Sifat : Keparahannya (ringan,sedang atau berat)
5. Penyebaran : Kemungkinan sakit dirasakan daerah tubuh yang lain
6. Waktu : Kapan-kapan saja sakit itu dirasakan.
7. Faktor-faktor yang memperberat : Tindakan-tindakan yang menambah rasa sakit tersebut
8. Faktor-faktor yang memperingan : Tindakan tindakan yang dapat membantu menghilangkan
atau mengurangkan rasa sakit.
d. Riwayat penyakit :
Riwayat penyakit : Cerita kronologis, rinci, jelas tentang keadaan pasien sebelum ada keluhan
sampai dibawa berobat
Riwayat pengobatan : Tindakan sebelumnya (suntikan, penyinaran), Pengobatan sebelumnya
dan hasilnya (macam obat dll), reaksi alergi .
Riwayat penyakit pada anggota keluarga
Riwayat penyakit terdahulu
e. Menelaah tentang :
Kondisi sosial ekonomi
Pengonsumsian alkohol

Pekerjaan
Pada penderita Sirosis hati, anamnesis yang bisa di dapat berupa :
1. Data subyektif
Keluhan perut tidak enak, mual dan nafsu makan menurun.
Mengeluh cepat lelah.
Mengeluh sesak nafas
2. Data Obyektif
Penurunan berat badan
Ikterus.
Spider naevi.
Anemia.Air kencing berwarna gelap.
Kadang-kadang hati teraba keras.
Kadar cholesterol rendah, albumin rendah.
Hematemesis (muntah darah yang berasal dari saluran cerna) dan Melena (pengeluaran feses
yang yang berwarna hitam).
Memiliki riwayat penyakit hati1
2. Pemeriksaan
a.Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Mata dan Kulit yang menguning (jaundice) disebabkan oleh akumulasi bilirubin dalam darah
Bengkak pada perut dan tungkai

Penurunan kesadaran
Kelelahan
Kelemahan
Gatal
Mudah memar karena pengurangan produksi faktor-faktor pembeku darah oleh hati yang sakit.
Erythema Palmaris dan spider nevi.
Palpasi
Hati
perkiraan besar hati, biasa hati membesar pada awal sirosis, bila hati mengecil artinya, prognosis
kurang baik. Besar hati normal selebar telapak tangannya sendiri (7-10 cm). Pada sirosis hati,
konsistensi hati biasanya kenyal/firm, pinggir hati biasanya tumpul dan ada sakit pada perabaan
hati.
Limpa
pembesaran limpa diukur dengan 2 cara :
Schuffner : hati membesar ke medial dan kebawah menuju umbilikus dan dari umbilikus ke
SIAS kanan
Hacket : bila limpa membesar ke arah bawah saja .
Perut & ekstra abdomen : pada perut diperhatikan vena kolateral dan ascites
Manifestasi diluar perut : perhatikan adanya spider navy pada tubuh bagian atas, bahu, leher,
dada, pinggang, caput medussae, dan tubuh bagian bawah. Perlu diperhatikan adanya eritema
palmaris, ginekomastia, dan atrofi testis pada pria. Bisa juga dijumpai hemoroid.
Perkusi
Cara pemeriksaan asites dengan pemeriksaan gelombang cairan (undulating fluid wave).

Teknik ini dipakai bila cairan asites cukup banyak. Prinsipnya adalah ketukan pada satu sisi
dinding abdomen akan menimbulkan gelombang cairan yang akan diteruskan ke sisi yang lain.
Pasien tidur terlentang, pemeriksa meletakkan telapak tangan kiri pada satu sisi abdomen dan
tangan kanan melakukan ketukan berulang- ulang pada dinding abdomen sisi yang lain. Tangan
kiri kan merasakan adanya tekanan gelombang.1
b. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
- Kadar Hb yang rendah (anemia), jumlah sel darah putih menurun (leukopenia), dan
trombositopenia
- Kenaikan SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase. SGOT adalah enzim yang ada di
dalam sel-sel hati dan jantung. SGOT disebut juga aspartate aminotransferase (AST). Batas
normal: 0-37 U/l, SGOT dilepaskan dalam darah ketika jantung atau hati rusak. SGPT : Serum
Glutamic Pyruvic Transaminase. Disebut juga alanine aminotransferase (ALT). Batas normal:045 U/l
- Kadar albumin rendah. Terjadi bila kemampuan sel hati menurun. : kadar albumin yang
merendah merupakan cerminan kemampuan sel hati yang kurang . Penurunan kadar albumin dan
peningkatan kadar globulin merupakan tanda kurangnya daya tahan hati dalam menghadapi
stress seperti : tindakan operasi.
- Kadar kolinesterase (CHE) yang menurun kalau terjadi kerusakan sel hati. Pemeriksaan CHE
(kolinesterase) : penting dalam menilai sel hati. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan
turun, pada perbaikan terjadi kenaikan CHE menuju nilai normal. Nilai CHE yang bertahan
dibawah nilai normal, mempunyai prognosis yang jelek.
- Masa protrombin yang memanjang menandakan penurunan fungsi hati.
- Glukosa darah yang tinggi menandakan ketidakmampuan sel hati membentuk glikogen.
- Pemeriksaan marker serologi petanda virus untuk menentukan penyebab sirosis hati seperti
HBsAg, HBeAg, HBV-DNA, HCV-RNA, dan sebagainya.

- Pemeriksaan alfa feto protein (AFP). Bila ininya terus meninggi atau >500-1.000 berarti telah
terjadi transformasi ke arah keganasan yaitu terjadinya kanker hati primer (hepatoma).
2. USG ultrasonografi
Gambaran ultrasonografi pada beberapa Sirosis hati :
Permukaan nodular
Ehopattern meningkat, heterogin
V.porta berkelok,ukuran membesar
Pada awal sirosis hepar membesar
Pada sirosis berat ukuran hati mengecil.
Splenomegali mendukung sirosis
Tanda-tanda hipertensi portal misalnya v. porta melebar, dinding kandung empedu menebal
(edema karena tekanan portal)
Yang dilihat pinggir hati, pembesaran, permukaan, homogenitas, asites, splenomegali, gambaran
vena hepatika, vena porta, pelebaran saluran empedu, daerah hipo atau hiperekoik atau adanya
SOL (space occupyin lesion). Sonografi bisa mendukung diagnosis sirosis hati terutama stadium
dekompensata, hepatoma/tumor, ikterus obstruktif batu kandung empedu dan saluran empedu,
dll.
3. Pemeriksaan radiologi dengan menelan bubur barium untuk melihat varises esofagus, untuk
konfirmasi hepertensi portal.
4. Esofagoskopi
Dapat dilihat varises esofagus sebagai komplikasi sirosis hati/hipertensi portal. endoskopi dapat
melihat langsung sumber perdarahan varises esofagus, tanda-tanda yang mengarah akan
kemungkinan terjadinya perdarahan, kemungkinan perdarahan yang lebih besar akan terjadi bila
dijumpai tanda diffus redness. Selain tanda tersebut, dapat dievaluasi besar dan panjang varises
serta kemungkinan terjadi perdarahan yang lebih besar.

5. CT scan Tomografi komputerisasi


walaupun mahal sangat berguna untuk mendiagnosis kelainan fokal, seperti tumor atau kista
hidatid. Juga dapat dilihat besar, bentuk dan homogenitas hati.
6. Angiografi
Angiografi selektif, selia gastrik atau splenotofografi terutama pengukuran tekanan vena porta.
Pada beberapa kasus, prosedur ini sangat berguna untuk melihat keadaan sirkulasi portal sebelum
operasi pintas dan mendeteksi tumor atau kista.
7. Endoscopic retrograde chlangiopancreatography (ERCP) digunakan untuk menyingkirkan
adanya obstruksi ekstrahepatik
Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan cairan asites dengan melakukan pungsi
asites. Bisa dijumpai tanda-tanda infeksi (peritonitis bakterial spontan), sel tumor, perdarahan
dan eksudat, dilakukan pemeriksaan mikroskopis, kultur cairan dan pemeriksaan kadar protein,
amilase dan lipase.
3. diagnosa
a. working diagnose
sirosis hati adalah keadaan patologik yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatic yang
berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan
nodulus regenerative.
Diagnosis pada penderita suspek sirosis hati tidak begitu sulit, gabungan dari kumpulan gejala
yang dialami pasien dan tanda yang diperoleh dari pemeriksaan fisis sudah cukup mengarahkan
kita pada diagnosis. Namun jika dirasakan diagnosis masih belum pasti, maka USG Abdomen
dan tes-tes laboratorium dapat membantu
Pada pemeriksaan fisis, kita dapat menemukan adanya pembesaran hati dan terasa keras, namun
pada stadium yang lebih lanjut hati justru mengecil dan tidak teraba. Untuk memeriksa derajat
asites dapat menggunakan tes-tes puddle sign, shifting dullness, atau fluid wave. Tanda-tanda
klinis lainnya yang dapat ditemukan pada sirosis yaitu, spider telangiekstasis (Suatu lesi vaskular
ang dikelilingi vena-vena kecil), eritema palmaris (warna merah saga pada thenar dan hipothenar

telapak tangan), caput medusa, foetor hepatikum (bau yang khas pada penderita sirosis), dan
ikterus.2,7,8
Tes laboratorium juga dapat digunakan untuk membantu diagnosis, Fungsi hati kita dapat
menilainya dengan memeriksa kadar aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil
transpeptidase, serum albumin, prothrombin time, dan bilirubin. Serum glutamil oksaloasetat
(SGOT) dan serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak begitu tinggi dan
juga tidak spesifik.9
Pemeriksaan radiologis seperti USG Abdomen, sudah secara rutin digunakan karena
pemeriksaannya noninvasif dan mudah dilakukan. Pemeriksaan USG meliputi sudut hati,
permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan
noduler, permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG
juga dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan
skrining karsinoma hati pada pasien sirosis.7
KLASIFIKASI

Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :

1. Mikronodular (nodul<3mm)
Ditandai oleh pita fibrotic tebal teratur yang menghubungkan pembuluh porta dengan vena
hepatica, dan disertai nodul-nudul regenerative kecil. Hati pada awalnya membesar dengan tepi
rata namun akhirnya mengerut akibat fibrosis progresif. Seringkali disebabkan oleh alkohol
2. Makronodular(nodul >3mm)
Lebih jarang ditemukan dan ditandai oleh pita fibrosis yang kasar dan tidak teratur dan hilangnya
arsitektur normal serta nodul regenerative yang besar. Jenis ini diyakini biasanya terjadi setelah
hepatitis virus disertai dengan nekrosis yang luas. Hati membesar dan bentuknya sangat tidak
teratur akibatnya besarnya nodul
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)

Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :

1. Sirosis hati kompensata


Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada atadiu kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat
pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati Dekompensata
Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala sudah
jelas, misalnya ; ascites, edema dan ikterus.
3. Etiologi
1. Virus hepatitis (B,C,dan D).
2. Alkohol.
3. Kelainan metabolik :
a. Hemakhomatosis (kelebihan beban besi).
b. Penyakit Wilson (kelebihan beban tembaga).
c. Defisiensi Alphal-antitripsin .
d. Glikonosis type-IV .
e. Galaktosemia.
Gejala klinis :
Keluhan yang timbul umumnya tergantung apakah sirosisnya masih dini atau sudah fase
dekompensasi. Selain itu apakah timbul kegagalan fungsi hati akibat proses hepatitis kronik aktif
atau telah terjadi hipertensi portal. Bila masih dalam fase kompensasi sempurna maka sirosis
kadangkala ditemukan pada waktu orang melakukan pemeriksaan kesehatan menyeluruh karena
memang tidak ada keluhan sama sekali. Namun, bisa juga timbul keluhan yang tidak khas seperti
badan tidak sehat, kurang semangat untuk kerja, rasa kembung, mual, mencret kadang sembelit,

tidak selera makan, BB menurun, otot-otot melemah, dan rasa cepat lelah. Banyak atau
sedikitnya keluhan yang timbul tergantung dari luasnya parenkim hati. Bila timbul ikterus maka
sedang terjadi kerusakan sel hati. Namun, jika sudah masuk ke dalam fase dekompensasi maka
gejala yang timbul bertambah dengan gejala dari kegagalan fungsi hati dan adanya hipertensi
portal.
Kegagalan fungsi hati menimbulkan keluhan seperti rasa lemah, turunnya BB, kembung dan
mual. Kulit tubuh di bagian atas, muka dan lengan atas akan bias timbul bercak mirip laba-laba
(spider nevi). Telapak tangan berwarna merah (eritema Palmaris), perut membuncit akibat
penimbunan cairan secara abnormal di rongga perut (asites), rambut ketiak dan kemaluan yang
jarang atau berkurang, buah zakar mengecil (atrofi testis), dan pembesaran payudara pada lakilaki. Bisa pula timbul hipoalbuminea, pembengkakan pada tungkai bawah sekitar tulang (edema
pretibial), dan gangguan pembekuan darah yang bermanifestasi sebagai peradangan gusi,
mimisan atau gangguan siklus haid. Kegagalan hati pada sirosis hati fase lanjut dapat
menyebabkan gangguan kesadaran akibat encephalopathy hepatic atau koma hepatic.
Tekanan portal yang normal antara 5-10 mmHg. Pada hipertensi portal terjadi kenaikan dalam
system portal yang lebih dari 15mmHg dan bersifat menetap. Keadaan ini akan menyebabkan
limpa membesar (splenomegali), pelebaran pembuluh darah kulit pada dinding perut disekitar
pusar (caput medusa), pada dinding perut yang menandakan sudah terbentuknya system
kolateral, wasir (hemoroid), dan penekanan pembuluh darah vena esophagus atau cardia (varises
esophagus) yang dapat menimbulkan muntah darah (hematemesis), atau berak darah (melena).
Kalau perdarahan yang keluar sangat banyak maka penderita bias timbul syok. Bila penyakit
akan timbul asites, encephalopathy, dan perubahan kearah kanker hati primer (hepatoma).
Tanda-tanda klinis sirosis hati (stigmata liver)
Spider naevi
Eritema palmaris
Vena kolateral
Ascites

Splenomegali
Gynecomastia
Ikterus sclera
Penjelasan beberapa gejala :
-Mual, ini bisa disebabkan karena:
Gangguan pada enzim dan organ yang menghasilkan enzim tersebut
Enzim terdiri atas bagian protesis yang mengandung vitamin atau mineral dan bagian
yang mengandung protein yang terdiri atas polipeptida. Enzim terdiri atas 6 kelas yaitu:1)
oksidoreduktase misalnya LDH (Laktat Dehidrogenase);2) Transferase misalnya alanin
aminotransferase;3) Hidrolase misalnya CHE (kolinesterase);4) Liase misalnya ALD;5)
Isomerase misalnya glukosa fosfat isomerase;6) Ligase misalnya piruvat karboksilase
Enzim umumnya terdapat di dalam sel dan bisa berada dalam struktur yang spesifik
seperti organel atau mitokondria atau juga terdapat dalam sitosol. Dalam keadaan normal
terdapat keseimbangan pembentukan dan penghancurannya. Walaupun begitu, akan selalu
terdapat sedikit enzim yang keluar ke ruangan ekstraselular. Apabila terjadi kerusakan sel atau
peningkatan permeabilitas membran sel, enzim akan banyak keluar ke ruang ekstra selular dan
dapat digunakan untuk diagnosis.
Gejala penyakit hati sangat bervariasi dari yang tanpa gejala sampai pada yang berat
sekali. Kadang dapat ditemukan keadaan dengan kelainan hati yang sangat berat tetapi gejala
yang dikeluhkan sangat sedikit. Untuk menegakkan diagnosis pasti penyakit hati, kita tidak bisa
hanya menilai salah satu pemeriksaan saja tetapi harus dimulai dengan membuat anamnesis yang
baik, melakukan pemeriksaan fisik yang teliti dan diikuti pemeriksaan morfologi dan
histopatologi hati.
Pemeriksaan enzim dapat dibagi dalam beberapa bagian:1) Enzim yang berhubungan
dengan kerusakan sel yaitu SGOT, SGPT, GLDH dan LDH;2) Enzim yang berhubungan dengan
penanda kolestasis seperti gamma GT dan fosfatase alkali;3) Enzim yang berhubungan dengan
kapasitas sintesis hati misalnya kolinesterase.

Untuk pemeriksaan penyaring, dari sekian banyak enzim-enzim itu agaknya yang paling
diperlukan adalah enzim SGPT, gamma GT dan CHE; SGPT bisa dipakai untuk melihat adanya
kerusakan sel, gamma GT untuk melihat adanya kolestasis dan CHE untuk melihat gangguan
fungsi hati.
Dalam menilai kelainan enzim kita harus berhati-hati oleh karena seringkali tidak
terdapat hubungan antara tingginya kadar enzim dengan derajat kerusakan yang terjadi. Sebagai
contoh pada keadaan hepatitis akut, meskipun kerusakan hati yang terjadi sedikit, peninggian
enzimnya sangat hebat. Pada keadaan infeksi akut tersebut yang terlihat mencolok adalah
peninggian SGPT yang lebih besar dar peninggian SGOT. Apabila terjadi kerusakan mitokondria
atau kerusakan parenkim sel maka yang terlihat meninggi adalah GLDH dan SGOT, dimana
SGOTnya akan lebih meningkat dibanding dengan SGPT.
-Cepat Lelah
Fungsi utama hati adalah pembentukan dan ekskresi empedu. Tapi yang harus diingat
selain itu adalah bahwa dari hasil metabolisme yang terjadi di hati monosakarida dari usus halus
akan diubah menjadi glikogen dan disimpan di hati (glikogenesis). Dari depot glikogen ini
disuplai glukosa secara konstan ke darah (glikogenolisis) untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
Sebagian glukosa di metabolisme dalam jaringan untuk menghasilkan tenaga dan sisanya diubah
menjadi glikogen (yang disimpan di dalam otot) atau lemak (yang disimpan dalam jaringan
subkutan). Jadi jika terjadi gangguan pada hati, maka proses metabolisme yang menghasilkan
energi ini tidak dapat berjalan dengan baik. Energi yang seharusnya bisa dipakai dan disimpan
pun jadi tidak maksimal. Itu yang bisa menyebabkan cepat lelah, selain juga mungkin pasien
juga tidak nafsu makan yang menyebabkan karbohidrat, protein dan lemak yang dibutuhkan
untuk diolah jadi energi juga tidak ada.
-Edema dan Asites
Hati mempunyai peranan besar dalam memproduksi protein plasma yang beredar di dalam
pembuluh darah, keberadaan protein plasma terutama albumin untuk menjaga tekanan onkotik
yaitu dengan mejaga volume plasma dan mempertahankan tekanan koloid osmotic dari plasma.
Akibat menurunnya tekanan onkotik maka cairan dari vaskuler mengalami ekstravasasi dan
mengakibatkan deposit cairan yang menumpuk di perifer dan keadaan ini disebut edema.

Akibat dari berubahnya tekanan osmotic di dalam vaskuler, pasien dengan sirosis hepatis
dekompensata mengalami peningkatan aliran limfatik hepatik. Akibat terjadinya penurunan
onkotik dari vaskuler terjadi peningkatan tekanan sinusoidal Meningkatnya tekanan sinusoidal
yang berkembang pada hipertensi portal membuat peningkatan cairan masuk kedalam
perisinusoidal dan kemudian masuk ke dalam pembuluh limfe. Namun pada saat keadaan ini
melampaui kemampuan dari duktus thosis dan cisterna chyli, cairan keluar ke insterstitial hati.
Cairan yang berada pada kapsul hati dapat menyebrang keluar memasuki kavum peritonium dan
hal inilah yang mengakibatkan asites. Karena adanya cairan pada peritoneum dapat
menyebabkan infeksi spontan sehingga dapat memunculkan spontaneus bacterial peritonitis yang
dapat mengancam nyawa pasien.
-Ikterus
Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase;
prehepatik, intrahepatik dan pascahepatik masih relevan, walaupun diperlukan penjelasan akan
adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin. Pentahapan yang baru
menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu:
Fase Prahepatik
1.

Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 samapai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg

berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang
matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labelled bilirubin) datang dari protein heme lainnya
yang berada terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein heme dipecah
menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan enzim hemooksigenase. Enzim
lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama
dalam sel sistem retikuloendotelial (mononuklir fagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah
merah merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin. Pembentukan early
labelled bilirubin meningkat pada beberapa kelainan dengan eritropoesis yang tidak efektif
namun secara klinis kurang penting.
2.

Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkonjugasi ini

transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui memban glomerulus,
karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis

dan beberapa bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan
albumin.
Fase Intrahepatik
3.

Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan

pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin
melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.
4.

Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi

dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida atau bilirubin konjugasi atau
bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukuronil transferase yang
menghasilkan bilirubin yang larut dalam air. Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya
menghasilkan bilirubin monoglukuronida, dengan bagian asam glukuronik kedua ditambahkan
dalam saluran empedu melalui sistem enzim yang berbeda, namum reaksi ini tidak dianggap
fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya selain diglukuronid juga terbentuk namun kegunaannya
tidak jelas.
Fase Pascahepatik
5.

Ekskresi Bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam kanaliculus bersama bahan

lainnya. Anion organik lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Di
dalam usus flora bakteri mendekonjugasi dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan
mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap
dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu dan dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai
urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak bilirubin unkonjugasi. Hal
ini menerangkan warna air seni yang gelap yang khas pada gangguan liepatoseluler atau
kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut
dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati barier darah otak atau masuk
ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan
gula melalui enzim glukuronil transferase dan larut dalam empedu cair.
Terdapat 4 mekanisme umum di mana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi:
1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan

2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati


3. Gangguan konjugasi bilirubin
4. Penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan
ekstrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik. Hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme
yang keempat terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi.
4. Epidemiologi
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada laki-laki dengan perbandingan laki-laki: wanita
sekitar 8:5, dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun, dengan
puncaknya sekitar umur 40-49 tahun. Di urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000
orang meninggal setiap tahunnya.penyebab tersering di Indonesia : Hepatitis B (40%-50%) dan
hepatitis C (30%-40%).negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketika
pada pasien yang berusia 45 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker).
Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan mencapai 360 per 100.000 penduduk. Di
seluruh dunia sirosis menempati
5. Patofisiologi
Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab dan kejadian, kejadian tersebut dapat terjadi
dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis atau perlukaan hati yang terus
menerus yang terjadi pada peminum alcohol aktif. Hati kemudian merespon kerusakan sel
tersebut dengan membentuk ekstraselular matriks yang mengandung kolagen, glikoprotein, dan
proteoglikans. Sel stellata berperan dalam membentuk ekstraselular matriks ini. Pada cedera
yang akut sel stellata membentuk kembali ekstraselular matriks ini sehingga ditemukan
pembengkakan pada hati. Namun, ada beberapa parakrine faktor yang menyebabkan sel stellata
menjadi sel penghasil kolagen. Faktor parakrine ini mungkin dilepaskan oleh hepatocytes, sel
Kupffer, dan endotel sinusoid sebagai respon terhadap cedera berkepanjangan. Sebagai contoh
peningkatan kadar sitokin transforming growth facto beta 1 (TGF-beta1) ditemukan pada pasien
dengan Hepatitis C kronis dan pasien sirosis. TGF-beta1 kemudian mengaktivasi sel stellata
untuk memproduksi kolagen tipe 1 dan pada akhirnya ukuran hati menyusut

Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya ukuran dari fenestra endotel
hepatic menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti endotel kapiler) dari sinusoid. Sel stellata
dalam memproduksi kolagen mengalami kontraksi yang cukup besar untuk menekan daerah
perisinusoidal Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata inilah yang menyebabkan
penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu proses aliran darah ke sel hati dan
pada akhirnya sel hati mati, kematian hepatocytes dalam jumlah yang besar akan menyebabkan
banyaknya fungsi hati yang rusak sehingga menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari
vena pada hati akan dapat menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan utama
penyebab terjadinya manifestasi klinis.
Mekanisme primer penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran
darah melalui hati. Selain itu, biasanya terjadi peningkatan aliran arteria splancnikus. Kombinasi
kedua faktor ini yaitu menurunnya aliran keluar melalui vena hepatika dan meningkatnya aliran
masuk bersama-sama yang menghasilkan beban berlenihan pada sistem portal. Pembebanan
sistem portal ini merangsang timbulnya aliran kolateral guna menghindari obstruksi hepatik
(varises).
Hipertensi portal ini mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal pun
menurun. Hal ini mengakibatkan aktifitas plasma rennin meningkat sehingga aldosteron juga
meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama natrium.
Dengan peningkatan aldosteron maka terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan
retensi cairan dan lama kelamaan menyebabkan asites dan juga edema.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sirosis hepatis merupakan penyakit hati menahun yang
ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul dimana terjadi pembengkakan hati.
Etiologi sirosis hepatis ada yang diketahui penyebabnya, misal dikarenakan alkohol, hepatitis
virus, malnutrisi, hemokromatis, penyakit wilson dan juga ada yang tidak diketahui penyebabnya
yang disebut dengan sirosis kriptogenik. Patofisiologi sirosis hepatis sendiri dimulai dengan
proses peradangan, lalu nekrosis hati yang meluas yang akhirnya menyebabkan pembentukan
jaringan ikat yang disertai nodul.
6. Penatalaksanaan

Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi


progressi penyakit, menghindarkan bahan-bahanyang bisa menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Tatalaksana pasien sirosis yang masih
kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan
untuk menghilangkan etiologi diantaranya : alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik
dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin,
dan obat herbal bias menghambat kolagenik.
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :

Simtomatis

Supportif, yaitu :
nonmedicamentosa)
a. Istirahat yang cukup
Sebaiknya aktivitas fisik dibatas, dan dianjurkan untuk istirahat ditempat
tidur sekurang-kurangnya setengah hari setiap harinya, terutama bagi
mereka yang asites. Bagi para penderita sirosis hati tanpa asites, dan tes
faal hati sedikit terganggu, dapat melakukan pekerjaannya selama 8 jam
sehari untuk selanjutnya dianjurkan banyak istirahat, sedangakan untuk
penderita sirosis hati dengan asites tetap dapat melakukan pekerjaannya
selama 4-6 jam. Diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan
pembentuka urin. Istilah diuresis mempunyai pengertian, 1) menunjukkan
adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan, 2) menunjukkan
jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Fungsi utama
diuretik adalah untuk memobilisasi cairan edema, yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel
kembali menjadi normal.

b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang(non misalnya : cukup kalori,


protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
Medicamentosa
c. Pengobatan berdasarkan etiologi
Misalnya, pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan
interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian
pasien dengan hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan pengobatan
IFN seperti :
a) Kombinasi IFN dengan ribavirin
Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x
seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan (1000
mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan untuk jangka
waktu 24-48 minggu.
b) Terapi induksi IFN
Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis
yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu
yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu
dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.
c) Terapi dosis IFN tiap hari
Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN dengan dosis 3
juta atau 5 juta unit tiap harisampai HCV-RNA negatif di serum dan
jaringan hati.

Penatalaksanaan Sirosis Hati bila terjadi Asites dan edema :


Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komperhensif meliputi:
Nonmedicamentosa :
a. Tirah Baring

Tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika, pada pasien asites


transudat yang berhubungan dengan hipertensi porta. Perbaikan efek diuretika
tersebut berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus
akibat tirah baring.
Tirah baring akan menyebabkan aktifitas simpatis dan sistem reninangiostensin-aldosteron menurun. Yang dimaksud dengan tirah baring disini
bukan istirahat total di tempat tidur sepanjang hari, tetapi tidur terlentang, kaki
sedikit diangkat, setelah beberapa jam setelah minum obat diuretika.2
b. Diet
Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis.
Konsumsi garam (NaCl) perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60 meq/hari.
Hiponatremia ringan sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk
memberikan diet rendah garam, mengingat hiponatremia pada pasien asites
transudat relatif. Jumlah total Na dalam tubuh sebenarnya diatas normal. Biasanya
diet rendah garam yang mengandung NaCl kurang dari 40 meq/hari tidak
diperlukan. Konsentrasi NaCl yang amat rendah justru dapat menggangu fungsi
ginjal.2
Medicamentosa :
c. Diuretika
Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai
antialdosteron, misalnya, Spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat
kalium, bekerja ditubulus distal dan menahan reabsorbsi Na. Sebenarnya potensi
natriuretik diuretika distal lebih rendah daripada diuretika loop bila etiologi
peningkatan air dan garam tidak berhubungan dengan hiperaldosteronisme.
Efektifitas obat ini lebih bergantung pada konsentrasinya di plasma, semakin
tinggi semakin efektif.

Dosis yang dianjurkan antara 100-600mg/hari. Jarang diperlukan dosis


yang lebih tinggi lagi.
Target yang sebaiknya dicapai dari tirah baring, diet rendah garam dan
terapi diuretika adalah peningkatan diuresis sehingga berat badan turun
400-800gr/hari.
Pasien yang disertai edema perifer penurunan berat badan dapat sampai
1500gr/hari.
Setelah cairan asites dapat dimobilisasi, dosis diuretika dapat disesuaikan.
Biasanya diet rendah garam dan Spironolakton masih tetap diperlukan
untuk mempertahankan diuresis dan natriuresis sehingga asites tidak
terbentuk lagi.2
Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron. Saat ini
dikenal dua macam antagonis aldosteron, yaituSpironolakton dan eplerenon. Mekanisme kerja
aldosteron adalah penghambatan kompetitif terhadap aldosteron (aldosteron adalah
mineralkortikoid endogen yang paling kuat, berperan dalam memperbesar reabsorbsi Na dan Cl
di tubuli distal serta memperbesar ekskresi kalium). Jadi, dengan pemberian antagonis
aldosteron, reabsorbsi Na+ dan K+ di hilir tubuli distal dan duktus koligentes dikurangi, dengan
demikian ekskresi K+ juga berkurang.
Eplerenon

Spironolakton

Merupakan analog spironolakton yang

Efek samping:

baru digunakan sejak tahun 2003


Eplerenon memiliki afinitas yang lebih
lemah terhadap reseptor
mineralkortikoid, androgen, dan

1) hiperkalemia, bila diberikan bersama asupan


kalium berlebih.
2) Ginekomastika

progesteron.
Eplerenon tidak menimbulkan efek

Indikasi:

samping ginekomastia dan virilisasi


1) Hipertensi dan edema yang refrakter,
Indikasi : antihipertensi dan terapi tambahan
pada gagal jantung

2) gagal jantung kronik,


3) obat pilihan untuk hipertensi

Dosis :

hiperaldosteronisme primer dan sangat bermanfaat


50-100mg/hari

pada kondisi yang disertai hiperaldosteronisme


skunder seperti asites pada sirosis hepatis dan
sindrom nefrotik.
Dosis :
Terdapat dam bentuk tablet 20, 50, dan 100 mg.
Dewasa : 25-200mg, dosis efektif 100 mg
Kombinasi :
Spironolakton 25mg + hidroklorotiazid 25mg
Spironolakton 25mg + tiabutazid 2,5 mg

Sumber : Farmakologi Dan Terapi Edisi 5,Hal:397 Jakarta:Balai Penerbit FKUI


d. Terapi Parasentesis

bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa yang intensif)
Beberapa tahun terakhir ini parasentesis kembali dianjurkan karena banyak
keuntungan dibandingkan terapi konvensional bila dikerjakan dengan baik.2
Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari, dengan catatan
harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan.3
Prosedur ini tidak dianjurkan pada Childs C yaitu: Protrombin < 40%, serum
bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan
natrium urin < 10 mmol/24 jam.3
8. Pencegahan

Hindari kelebihan minum yang mengandung alkohol: Kelebihan minum dapat


menyebabkan penimbunan lemak dalam sel-sel hati. sel hati yang berlemak dapat
menyebabkan peradangan hati. Hal ini dapat mengakibatkan parut pada hati dan akhirnya
sirosis.

Hindari hepatitis B atau C infeksi : infeksi hepatitis B atau C dapat diperoleh dari
darah yang terinfeksi atau dari orang yang terinfeksi. Hepatitis transmisi dapat
dihindari dengan menggunakan jarum sekali pakai atau dengan menghindari aktivitas
seksual sampai satu sembuh sepenuhnya. Satu juga mungkin ingin menghindari
berbagi pisau cukur, jarum, sikat gigi, alat manicure yang dapat menanggung darah
yang terinfeksi.

Mendapatkan Imunisasi : Hepatitis imunisasi dapat memberikan perlindungan


terhadap penyakit yang disebabkan oleh hepatitis.

Antibodi persiapan: Sebuah persiapan antibodi dapat memberikan perlindungan


kepada orang yang telah terkena Hepatitis B. Hal ini dapat mencegah satu dari
terinfeksi dengan penyakit itu.

Kenakan pakaian pelindung: Sebelum menggunakan bahan kimia beracun di rumah,


di kantor, atau di kebun, seseorang mungkin ingin memakai pakaian pelindung.
Pakaian tersebut dapat bertindak sebagai meliputi, mencegah racun masuk ke dalam
tubuh.
Sirosis hati dapat dicegah jika seseorang dapat melakukan perawatan yang tepat hati.

Diperlukan tindakan pencegahan disertai dengan pola hidup sehat dapat menangkap atau
memeriksa sirosis hati.
9. Komplikasi
1. Perdarahan Gastrointestinal
Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan timbul
varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah, sehingga
timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah atau
hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah
yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur
dengan asam lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena.
Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh
pecahnya varises esophagus saja. Pada tahun 1965 melaporkan dari 76 penderita Sirosis Hepatis
dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh pecahnya varises esofagii, 18% karena ulkus
peptikum dan 5% karena erosi lambung.
2. Koma hepatikum
Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma hepatikum.
Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri yang sudah sangat rusak,
sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Ini disebut sebagai koma hepatikum
primer. Dapat pula koma hepatikum timbul sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan
elektrolit, obat-obatan dan lain-lain, dan disebut koma hepatikum sekunder.

Pada penyakit hati yang kronis timbulah gangguan metabolisme protein, dan
berkurangnya pembentukan asam glukoronat dan sulfat. Demikian pula proses detoksifikasi
berkurang. Pada keadaan normal, amoniak akan diserap ke dalam sirkulasi portal masuk ke
dalam hati, kemudian oleh sel hati diubah menjadi urea. Pada penderita dengan kerusakan sel
hati yang berat, banyak amoniak yang bebas beredar dalam darah. Oleh karena sel hati tidak
dapat mengubah amoniak menjadi urea lagi, akhirnya amoniak menuju ke otak dan bersifat
toksik/iritatif pada otak. Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya
dapat timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.
3. Ulkus peptikum
Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila dibandingkan
dengan penderita normal.Beberapa kemungkinan disebutkan diantaranya ialah timbulnya
hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan
kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi makanan.
4. Karsinoma hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk
postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi adenomata
multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple.
5. Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga penderita
sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut SCHIFF, SPELLBERG infeksi yang sering timbul
pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paruparu, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun
septikemi. Perotinitis bakterial spontan, yaitu infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa
ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul
demam dan nyeri abdomen.
6. Sindrom hepatorenal (SHR)

Pasien penyakit hati yang berat misalnya sirosis hepatis (SH) dekompensata yang sering
mengalami gangguan fungsi ginjal ini, umumnya akan memperburuk prognosis pasien ini.
Gangguan fungsi ginjal pada pasien SH ini dapat disebabkan gangguan hemodinamik terutama
vasodilatasi perifer, yang diikuti aktivitas hormon vasokonstriksi dan peningkatan aktivitas
sistem saraf simpatis. Gangguan ini akan memacu retensi air dan natrium ginjal, dan penurunan
laju filtrasi glomerulus ginjal (LFG). Kelainan fungsi ginjal pada pasien SH ini bersifat
fungsional yaitu tanpa disertai perubahan morfologi fungsi ginja

10. Prognosis
Untuk memperkirakan prognosis, yakni dalam hal tingkat kematian / mortalitas dari
penderita SH dan berapa lama harapan hidupnya, kita menggunakan suatu kriteria Child-Pugh.
Kadang, kriteria ini disebut juga dengan Child-Turcotte-Pugh. Kriteria ini mengandung
beberapa komponen untuk menilai berat tidaknya komplikasi dari suatu sirosis. Komponen yang
dinilai antara lain berapa besar nilai bilirubin totalnya, nilai albumin, nilai INR, ada atau
tidaknaya asites dan seberapa terkendali asites tersebut serta apakah pasien telah mengalami
keluhan perubahan status mental atau ensefalopati hepatikum.
Klasifikasi Child Pugh
Derajat Kerusakan Minimal Sedang

Berat

Bilirubin (total)

<35>

35-50

>50 (>3)

Serum albumin

>35

30-35

<30

g/L

Nutrisi

Sempurna Mudah dikontrol

Sulit terkontrol

Ascites

Nihil

Hepatic
encephalopathy

Nihil

Dapat terkendali dengan

Tidak dapat

pengobatan

terkendali

minimal

Berat/koma

Satuan
mol/l
(mg/dL)

Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor, meliputi etiologi,
beratnya kerusakan hati, komplikasi dan penyakit lain yang menyertai. Klasifikasi child-pugh

dapat menilai prognosis pasien sirosis yang akan menjalani operasi variablenya meliputi
konsentrasi bilirubin, albumin, nutrisi, ada tidaknya asites dan esefalopati. Klasifikasi ini terdiri
dari Child A, B, dan C yang berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup
untuk pasien dengan Child A, B, dan C berturut-turut adalah 100, 80 dan 45 %.

KESIMPULAN
Sirosis hati adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar, dan
seluruh struktur hati mengalami perubahan menjadi irregular, dan terbentuknya jaringan ikat
(fibrosis) di sekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi. Secara fungsional sirosis hati
dibagi atas 2 jenis, yang pertama adalah sirosis hati kompensata, dimana pada stadium ini belum
terdapat gejala-gejala yang nyata (asimptomatis). Biasanya stadium ini ditemukan secara tidak
sengaja pada pemeriksaan screening. Yang kedua adalah sirosis hati dekompensata, pada stadium
ini gejala-gejala sudah sangat jelas, pasien merasa lemas, adanya asites, ikterus, dll.Pada stadium
inilah pasien dibawa ke tempat pelayanan kesehatan atau ke Rumah Sakit. Mengingat
pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan mengobati penyulit, maka prognosa
SH bisa jelek. Namun penemuan sirosis hati yang masih terkompensasi mempunyai prognosa
yang baik. Oleh karena itu ketepatan diagnosa dan penanganan yang tepat sangat dibutuhkan
dalam penatalaksanaan sirosis hati.

DAFTAR PUSTAKA :

1.

Jonathan Gleadle. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Edisi ke-1.


Erlangga Medical Series;2007: hlm.154-5.

2.

Davey Patrick. At a glance medicine.

3.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar penyakit


dalam: Sirosis hati. Edisi 5 Vol 1. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD; 2010: hlm. 6689.

4.

Kusumobroto O Hernomo. Buku ajar ilmu penyakit hati : Sirosis hati. Edisi I.
Jakarta:Jayabadi; 2007: hlm. 335-45.

5.

Price SA, Wilson LM. Fisiologi proses-proses penyakit: hati, saluran empedu dan
pankreas. Edisi 4 Vol 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005: hlm.
439-47.

6.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu


penyakit dalam: Sirosis hati. Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI; 2006 : hlm.445-675.

7.

Mansjoer AM. Kapita selekta kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta : Media


Aesculapius; 2005: hlm. 508-10.

8.

Mitchell RN, Kumar Vinay, Abbas AK, Fausto Nelson. Buku saku dasar patologis
penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC; 2008: hlm. 512-15.

9.

Rubenstein David, Wayne David, Bradley John. Kedokteran klinis. Edisi VI.
Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007: hlm. 247.

Sudoyo, aru W. dkk.2006. Asites, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I EdisiIV,hal:
448.Jakarta:FKUI
J. Corwinn, Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi edisi 3 halaman 657. Jakarta: EGC. 2009.

Lee,LStephanie.2006.ChirosisHepatic.http://www.emedicine.com/med/topic1121.htm, last
updated: Juli 2, 2008
Sudoyo, Aru W. 2009 .Buku ajar Ilmu penyakit dalam, ED V, jilid 1, dkk, hal 670-671, Internal
publishing,Jakarta.
Sudoyo,Aru W, dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V halaman 675. Jakarta:
InternaPublishing.
Sujono Hadi.Dr.Prof.,Sirosis Hepatis dalam Gastroenterologi. Edisi 7. Bandung ; 2002.
Yogiantoro. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Panyakit Dalam FK UI: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai