Anda di halaman 1dari 53

REFERAT

KEGAWATDARURATAN ARITMIA

Oleh:
Christin Natalia Budiono (160070200011053)
Ifa Febriariana (160070200011024)

Pembimbing:
dr. Arie Zainul Fatoni, Sp.An

LABORATORIUM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jantung adalah organ tubuh manusia yang memiliki fungsi vital, kelainan
kecil bisa berpengaruh besar pada kinerja tubuh kita. Gangguan irama jantung
adalah kelainan elektrofisiologi jantung yang dapat disebabkan oleh gangguan
sistem konduksi jantung serta gangguan pembentukan dan/atau penghantaran
impuls (Huikuri, 2011).

Aritmia merupakan suatu penyakit dengan gejala palpitasi ringan hingga


berat sehingga menimbulkan gangguan klinis. Pemahaman tentang pengenalan
gangguan irama jantung sangat penting, guna penanganan yang tepat (Hanafi,
2001).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Laurentia Mihardja tahun


2009, prevalensi penyakit jantung di Indonesia pada populasi usia 15 tahun ke
atas adalah 9.2%, dimana 5.9 % diantaranya mengalami gejala aritmia (Selmer et
al, 2012).

Kematian mendadak yang berasal dari gangguan irama jantung


diperkirakan mencapai angka 50% dari seluruh kematian karena penyakit jantung.
Gangguan irama jantung yang terjadi dapat berupa atrial fibrilasi, atrial flutter, blok
jantung, ventrikel fibrilasi, ventrikel takikardi, serta gangguan irama lainnya
(Huikiuri, 2011).

Berdasarkan sebuah penelitian di Brazil, dari keseluruhan pasien yang


datang ke Instalasi Gawat Darurat dengan dekompensasi gagal jantung 8,5%
diantaranya disebabkan oleh aritmia (Sandrigo, Fábio et al, 2008).

2
Untuk mengetahui mekanisme aritmia, dibutuhkan pengetahuan mengenai
mekanisme pembentukan dan konduksi listrik miokard dalam keadaan normal.
Pada umumnya aritmia harus diterapi untuk mencegah kondisi yang lebih buruk.
Untuk mendiagnosis aritmia dapat dilakukan dengan sinyal listrik jantung yang
biasa disebut Electrocardiogram/ECG (Hanafi, 2001).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Aritmia adalah kelainan dalam kecepatan, irama, tempat asal dari impuls,
atau kelainan elektrofisiologi jantung yang dapat disebabkan oleh gangguan
sistem konduksi jantung serta gangguan pembentukan atau penghantaran impuls
yang menyebabkan perubahan dalam urutan normal aktivitas atrium dan ventrikel
(Huikuri, 2011).
Irama jantung normal adalah irama jantung yang berasal dari nodus SA,
secara teratur dengan frekuensi 60-100x/menit. Jika irama jantung tersebut tidak
normal dikenal dengan aritmia. Jika irama tersebut memiliki frekuensi yang lambat
(<60x/menit) disebut bradikardi dan irama jantung dengan frekuensi yang lebih
cepat (>100x/menit) disebut takikardi. Irama takikardi dapat dikenali sebagai
supraventrikular jika melibatkan atrium atau AV node dan dapat dikatakan
ventikular jika berasal dari serabut purkinje atau ventrikel (Hulleman, 2012).

2.2 Epidemiologi
Angka kejadian dari aritmia sendiri beragam berdasarkan jenisnya. Seperti
pada PEA terjadi sekitar 20% dari seluruh kejadian henti jantung yang terjadi di
luar rumah sakit dan 68% beertanggung jawab atas kematian yang dimonitor di
dalam rumah sakit. Sedangkan angka kejadian dari PVD hanya 0,6% pada
mereka dengan usia < 20 tahun dan 2,7% pada pasien berusia > 50 tahun.
Berbeda lagi dengan VT dan VF, pada seluruh kejadian VT dan VF 50%
diantaranya disebabkan oleh karena penyakit jantung yang mendasari dan angka
kejadiaanyya kurang lebih 60% kejadian pada pasien NSTEMI yang masuk ke
rumah sakit dalam kurun waktu < 48 jam (American Heart Association, 2017).
Dilihat dari faktor jenis kelamin, PEA lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan dengan pria, alasan dari predileksi ini tidak diketahui secara jelas
penyebabnya, namun kemungkinan besar oleh karena etiologi yang
menyebabkannya. Pasien dengan usia lebih dari 70 tahun lebih beresiko untuk
menglamai PEA sebagai penyebab dari henti jantung. Entah hasil akhr dari pasien

4
dengan PEA ini bergantung pada usia atau tidak, namun usia yang lebih lanjut
diasosiasikan dengan outcome yang lebih buruk.
Sedangkan menurut Sandrigo Mangini dan Fábio Serra Silveira et al, dari
keseluruhan pasien yang datang ke Instalasi Gawat Darurat dengan
dekompensasi gagal jantung, 8,5% diantaranya disebabkan oleh aritmia.

Gambar 2.1 Distribusi berdasarkan dekompensasi gagal jantung (Mangini, 2008).

2.3 Klasifikasi
Aritmia

Tanpa nadi Dengan nadi

Pulseless
Electrical Bradikardi Takikardi
Activity

Hemodinamik Hemodinamik
Asistol
stabil stabil

Hemodinamik Hemodinamik
tidak stabil tidak stabil

Gambar 2.2 Algoritma Aritmia

5
2.3.1 Aritmia Tanpa Nadi (Cardiac Arrest)

Gambar 2.3 Algoritme resusitasi jantung (American Heart Association, 2016).

Berdasarkan American Heart Assosciation, bila ditemukan seorang tanpa


nadi, maka resusitasi jantung paru sebaiknya dilakukan sembari memanggil
penolong dan meminta defibrillator. Setelah defibrillator datang, maka tempelkan
elektroda pad dari defibrillator di bawah klavikula kanan dan pada apeks jantung.
Maka defibrillator akan otomatis mengidentifikasi apakah henti jantung yang terjadi
shockable atau tidak. Bila PEA/asistole maka kita hanya dapat memberikan RJP
dan pengecekan nadi setiap 2 menit serta pemberian epinefrin setiap 3-5 menit
dan pertimbangkan tatalaksana advanced airway hingga pasien ROSC atau bila
irama jantung menjadi shockable (VF atau VT tanpa nadi) dapat dilakukan
defibrillator, RJP dan pemberian epinefrin setiap 3-5 menit yang diselingi dengan
pemberian amiodarone. Bila pasien telah ROSC dan mampu bernafas spontan,
posisikan pasien pada recovery position (Jones, 2014).

6
2.3.1.1 Pulseless Electrical Activity (PEA)

Impuls konduksi jantung terjadi dengan teratur tetapi tidak menghasilkan


kontraksi miokard (kondisi ini dulunya disebut disosiasi elektromekanik), pengisian
ventrikel yang tidak mencukupi selama diastole, atau kontraksi yang tidak efektif
(Jones, 2014).

Etiologi :
• Hipovolemia
• Hipoksia
• Ion hidrogen (asidosis)
• Hypokalemia / hyperkalemia
• Hipotermia
• Tension pneumotoraks
• Tamponade, jantung
• Racun (yaitu, overdosis obat, konsumsi)
• Trombosis, paru (embolisme)
• Trombosis, koroner (ACS) (Jones, 2014).

Clinical Manifestations :
• Kolaps, tidak responsif
• Apnea
• Tidak ada denyut nadi yang terdeteksi dengan palpasi
• Tekanan darah sistolik sangat rendah (Jones, 2014).

Gambar 2.4 Pulseless Electrical Activity (PEA) (American Heart Association, 2016)

7
Kriteria EKG :
• Ritme yang menunjukkan aktivitas elektrik (bukan VT VF / pulseless)
• Biasanya irama sinus normal
• Bisa sempit (QRS <0,12 detik) atau lebar (QRS ≥0,12 detik); cepat (> 100
denyut per menit) atau lambat (<60 kali per menit)
• Sempit QRS dan detak jantung cepat kebanyakan disebabkan oleh etiologi
noncardiac; QRS lebar dan detak jantung lambat sebagian besar disebabkan
oleh etiologi jantung (Jones, 2014).

Tatalaksana :
1. Penilaian respon
• Tidak ada pernafasan atau hanya terdapat pernafasan agonal saja dan tidak
ada denyut.
2. Panggil bantuan
3. C-A-B : Compression, Airway, Breathing
• Mulailah RJP, awali dengan kompresi
• Berikan oksigen
4. Pasang AED atau defibrilator-monitor manual sesegera mungkin setelah
tersedia tanpa mengiterupsi kompresi
• Ketika alat telah terpasang, hentikan RJP untuk menilai irama.
- AED : Tidak disarankan untuk diberikan kejut listrik
- Defibrilator-monitor manual : irama teratur (PEA), jangan lakukan defibrilasi
5. Sesegera lanjutkan RJP, mulailah dengan kompresi
• Berikan 5 siklus RJP (2menit) tanpa terputus
• Selama RJP, dapatkan akses IV/IO
• Siapkan dosis vasopressor (epinephrine atau vasopressin)
6. Hentikan RJP. Nilai irama
• AED : Tidak disarankan untuk diberikan kejut listrik
• Defibrilator-monitor manual : irama teratur (PEA), jangan lakukan defibrilasi
7. Jika tetap PEA, maka segera lanjutkan RJP, mulailah dengan kompresi.
• Berikan 5 siklus RJP (2menit) tanpa interupsi
• Pasang alat bantu jalan nafas tingkat lanjut (ET, LA, King LT, atau
Combitube) jika penanganan jalan napas dasar tidak adekuat.

8
- Pastikan pemasangan selang sudah benar tanpa menginterupsi RJP
- Setelah pemasangan dipastikan benar, lakukan kompresi dada tanpa
terputus, minimal 100 kali/menit selama 2 menit. Berikan napas buatan
sebanyak 8-10 kali/menit dengan kecepatan 1 napas setiap 6-8 detik
(Jones, 2014).
8. Obat-obatan
• Berikan epinephrine 1mg
- 10 mL 1:10.000 IV/IO
- Lanjutkan dengan bilas 20 mL IV
- Ulangi setiap 3-5 menit jika diperlukan
• Dosis tunggal vasopressin 40 unit IV/IO dapat menggantikan dosis pertama
atau dosis kedua epinephrine
• Jika terdapat akses IV/IO dan pada pasien terpasang ETT, maka hentikan
kompresi dan injeksikan 2,0-2,5mg (1:1.000) epinephrine yang dilarutkan dalam
5-10mL saline normal atau air steril langsung ke dalam ETT setiap 3-5menit
sampai akses IV/IO tersedia. Setelah pemberian obat melalui ETT, lanjutkan
dengan 5 ventilasi berturut-turut untuk menyebarkan obat ke dalam saluran
napas kecil agar dapat diabsorbsi ke dalam pembuluh darah pulmonal,
kemudian lanjutkan kompresi.
9. Lanjutkan RJP, periksa irama setiap 2 menit.
• Jika tetap PEA, maka segera lanjutkan RJP, periksa irama setiap 2 menit
• Berikan epinephrine setiap 3-5menit
10. Selama RJP, pertimbangkan dan beri terapi kemungkinan penyebab PEA
yang reversible:
- Hipokalemia/hiperkalemia
- Hipovolemia
- Hipoksia
- Hipotermia
- Hidrogen ion (asidosis)
- Tension pneumothoraks
- Trombosis (pulmonal atau koroner)
- Tamponade jantung
- Toksin

9
11. Jika irama berubah menjadi VF, VT tanpa denyut, atau asistol, ikuti alogaritme
untuk VF, VT tanpa denyut atau asistol
12. Jika irama berubah menjadi irama EKG yang stabil dengan ROSC :
• Pantau dan nilai ulang kondisi pasien
• Persiapkan pemindahan ke unit perawatan kritis. Pasien akan memerlukan
perawatan yang menyeluruh (Jones, 2014).

2.3.1.2 Asistol

Etiologi :
• Kematian
• Iskemia jantung
• Hipoksia karena berbagai penyebab (tidak ada oksigen, apnea, asfiksia)
• Sengatan listrik besar/ shock (misalnya sambaran petir) (Jones, 2014).

Clinical Manifestations :
• Kolaps ; tidak responsif
• Apnea
• Tidak ada denyut nadi atau tekanan darah
• Kematian

Gambar 2.5 Asistol (American Heart Association, 2016)

Kriteria EKG :
• Rate : Tidak ada aktivitas ventrikel yang terlihat (P wave asystole) terjadi hanya
dengan adanya impuls atrium (gelombang P)
• Rhythm: Tidak ada ventrikel yang terlihat

10
• PR: Tidak dapat ditentukan; terkadang gelombang P terlihat, tetapi gelombang R
tidak ada
• Kompleks QRS: Tidak ada defleksi yang terlihat dengan kompleks QRS (American
Heart Association, 2016).

Tatalaksana :
1. Penilaian respon
• Tidak ada pernafasan atau hanya terdapat pernafasan agonal saja dan tidak
ada denyut.
2. Panggil bantuan
3. C-A-B : Compression, Airway, Breathing
• Mulailah RJP, awali dengan kompresi
• Berikan oksigen
4. Pasang AED atau defibrilator-monitor manual sesegera mungkin setelah
tersedia tanpa mengiterupsi kompresi
• Ketika alat telah terpasang, hentikan RJP untuk menilai irama.
- AED : Kejut listrik (shock) tidak disarankan
- Defibrilator-monitor manual : Tidak ada aktivitas listrik (garis mendatar atau
hanya terdapat irama agonal saja), jangan lakukan defibrilasi
5. Sesegera lanjutkan RJP, mulailah dengan kompresi
• Berikan 5 siklus RJP (2menit) tanpa terputus
• Selama RJP, dapatkan akses IV/IO
• Siapkan dosis vasopressor (epinephrine)
6. Hentikan RJP. Nilai irama
• AED : Tidak disarankan untuk diberikan kejut listrik
• Defibrilator-monitor manual : Tidak ada aktivitas listrik, jangan lakukan
defibrilasi
7. Jika tetap asistol, maka segera lanjutkan RJP, mulailah dengan kompresi.
• Berikan 5 siklus RJP (2menit) tanpa interupsi
• Pasang alat bantu jalan nafas tingkat lanjut (ET, LMA, King LT, atau
Combitube) jika penanganan jalan napas dasar tidak adekuat.
- Pastikan pemasangan tabung sudah benar tanpa menginterupsi RJP

11
- Setelah pemasangan dipastikan sudah benar, lakukan kompresi dada
tanpa terputus, minimal 100 kali/menit selama 2 menit. Berikan napas
buatan sebanyak 8-10 kali/menit dengan kecepatan 1 napas setiap 6-8
detik (Jones, 2014).
8. Obat-obatan
• Berikan epinephrine 1 mg/kg
- 10 mL 1:10.000 IV/IO
- Lanjutkan dengan bilas 20 mL IV
- Ulangi setiap 3-5 menit jika diperlukan
• Dosis tunggal vasopressin 40 unit IV/IO dapat menggantikan dosis pertama
atau dosis kedua epinephrine
• Jika terdapat akses IV/IO dan pada pasien terpasang ETT, maka hentikan
kompresi dan injeksikan 2,0-2,5mg/kg (1:1.000) epinephrine yang dilarutkan
dalam 5-10 mL saline normal atau air steril langsung ke dalam ETT setiap 3-5
menit sampai akses IV/IO tersedia. Setelah pemberian obat melalui ETT,
lanjutkan dengan ventilasi berturut-turut untuk menyebarkan obat ke saluran
napas kecil agar dapat diabsorpsi pembuluh darah pulmonal, kemudian
lanjutkan kompresi.
9. Lanjutkan RJP, periksa irama setiap 2 menit.
• Jika tetap asistol, maka segera lanjutkan RJP, periksa irama setiap 2 menit
• Berikan epinephrine setiap 3-5menit
10. Selama RJP, pertimbangkan dan beri terapi kemungkinan penyebab yang
reversible:
- Hipokalemia/hiperkalemia
- Hipovolemia
- Hipoksia
- Hipotermia
- Hidrogen ion (asidosis)
- Tension pneumothoraks
- Trombosis (pulmonal atau koroner)
- Tamponade jantung
- Toksin

12
11. Jika irama tetap asistol, maka pertimbangkan apakah protokol resusitasi yang
sesuai telah dilakukan dengan baik dan penyebab reversibelnya telah
terindentifikasi. Jika prosedur sudah dilakukan dengan benar, maka ikuti
kebijakan setempat mengenai lamanya waktu resusitasi (kapan menghentikan
usaha resusitasi)
12. Jika irama berubah menjadi VF, VT tanpa denyut, atau asistol, ikuti alogaritme
untuk VF, VT tanpa denyut.
13. Jika irama berubah menjadi irama yang teratur tanpa denyut, maka ikuti
alogaritme untuk PEA.
14. Jika irama berubah menjadi irama EKG yang stabil dengan ROSC :
• Pantau dan nilai ulang kondisi pasien
• Persiapkan pemindahan ke unit perawatan kritis. Pasien akan memerlukan
perawatan yang menyeluruh (Jones, 2014).

2.3.2 Aritmia dengan Nadi


Berdasarkan dari hemodinamiknya, aritmia dengan nadi dibagi menjadi 2 yaitu
aritmia dengan hemodinamik stabil dan tidak stabil.
Hemodinamik dikatakan tidak stabil bila ditemui keadaan berikut pada pasien:
 Syok – hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg), pucat, beerkeringat,
menggigil, ekstremitas yang basah, penurunan kesadaran
 Pingsan
 Iskemia myokard
 Gagal jantung (American Heart Association, 2016).

2.3.2.1 Aritmia Takikardi


Berikut algoritma penanganan untuk aritmia takikardi dengan hemodinamik
stabil dan tidak stabil:

13
Gambar 2.6 Algoritma penanganan untuk aritmia takikardi (Soar, 2015)

Pada Gambar 2.6 dapat dilihat bahwa bila kita menemukan pasien aritmia
dengan nadi, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah melakukan primary
survey, pemberian oksigen bila diperlukan dan pemasangan akses vena, observasi
tanda-tanda vital beserta EKG, dan cari penyebab aritmia. Aritmia takikardi seperti
yang dijelaskan sebelumnya bahwa dibagi menjadi hemodinamik stabil dan tidak
stabil. Hemodinamik pasien dikatakan tidak stabil apabila pasien mengalami syok,
pingsan, iskemia jantung, gagal jantung. Apabila ada gejala hemodinamik tidak stabil
maka dapat dilakukan DC tersinkronasi hingga maksimal 3x dan dapat dibarengi
dengan pemberian amiodarone 300 mg IV selama 10-20 menit dilanjutkan kembali
dengan DC shock dan dilanjutkan dengan amiodarone 900 mg IV selama 24 jam
(Soar, 2015).
Bila hemodinamik stabil, maka perlu dilakukan identifikasi apakah kompleks
QRS sempit, bila ditemukan kompleks QRS >0,12 detik, maka perlu dipertimbangkan
apakah nadi pasien regular atau tidak, bila nadi ireguler, segeralah cari bantuan pada
ahlinya karena ada kemungkinan bahwa pasien mengalami AF dengan bundle branch
block, pre-excited AF, atau VT polimorfik. Namun apabila nadi normal dan

14
teridentifikasi bahwa pasien mengalami VT, maka berikan amiodarone dengan dosis
300 mg selama 20-60 menit dilanjutkan dengan amiodarone 900 mg selama 24 jam,
namun bila SVT dengan bundle branch block teridentifikasi, maka dapat diberikan
adenosine (Soar, 2015).
Lain halnya tatalaksana bila ditemukan pasien dengan kompleks QRS yang
sempit, bila ditemukan nadi yang regular dapat diberikan adenosine dengan dosis 6
mg bolus, bila kondisi tidak membaik maka dapat dinaikkan dosisnya menjadi 12 mg
hingga aliran listrik jantung kembali normal, bila nadi masih ireguler, maka
pertimbangkan AF pada pasien dan perimbangkan untuk pemberian β-blocker,
diltiazem, dan bila dicurigai terdapat gagal jantung pertimbangkan pemberian digoksin
dan amiodarone (Soar, 2015).
Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai masing-masing jenis aritmia
takikardi, dapat dilihat di bawah ini:

2.3.2.1.1 Ventricular Fibrillation


Ventrikel terdiri atas miokardium normal bergantian dengan miokardium
iskemik, cedera, atau infark, yang mengarah ke pol asynchronous depolarisasi
ventrikel dan repolarisasi. Tanpa depolarisasi ventrikel yang teratur,ventrikel tidak
dapat berkontraksi sebagai satu kesatuan, dan tidak dapat menghasilkan output
jantung. Sehingga jantung "bergetar" dan tidak memompa darah (American Hear
Association, 2016).

Etiologi :
• ACS menyebabkan area iskemik miokardium
• VT Stabil ke VT tidak stabil, tidak terawat
• Kompleks ventrikel prematur (PVCs) dengan fenomena R-on-T
• Kelainan beberapa obat, elektrolit, atau asam-basa yang memperpanjang periode
refrakter relatif
• Perpanjangan QT primer atau sekunder
• Elektrokusi, hipoksia (American Heart Association, 2016).

15
Clinical Manifestations :
• Nadi menghilang dengan awitan VF
• Nadi mungkin hilang sebelum onset VF jika prekursor umum untuk VF, VT cepat,
berkembang sebelum VF
• Tutup, tidak responsive
• Agonal gasps atau apnea
• Kematian mendadak (American Heart Association, 2016).

Gambar 2.7 Ventricular Fibrillation (American Heart Association, 2016)

Kriteria EKG :
• QRS kompleks: Tidak dapat ditentukan; tidak ada P, QRS, atau gelombang T yang
dapat ditemukan; undulations terjadi antara 150 dan 500 per menit
• Rhythm: Tidak tentu; pola defleksi tajam (puncak) dan bawah
• Amplitudo: Diukur dari puncak ke bawah; sering digunakan secara subyektif untuk
menggambarkan VF fine (puncak ke bawah 2 sampai <5 mm), medium (5 sampai
<10 mm), coarse (10 hingga <15 mm), atau sangat kasar (> 15 mm) (American
Heart Association, 2016).

Tatalaksana :
1. Penilaian respon
• Tidak ada pernafasan atau hanya terdapat pernafasan agonal saja dan tidak
ada denyut.
2. Panggil bantuan
3. C-A-B : Compression, Airway, Breathing
• Mulailah RJP, awali dengan kompresi

16
• Berikan oksigen
4. Defibrilasi
• Pasang AED atau defibrilator-monitor manual sesegera mungkin setelah
tersedia tanpa mengiterupsi kompresi.
• Ketika alat telah terpasang, hentikan RJP dan nilai irama.
- AED : jika disarankan untuk diberikan kejut listrik, maka lakukan defibrilasi
sesuai dengan anjuran AED
- Defibrilator-monitor manual :
Defibrilator manual bifasik : Lakukan defibrilasi pada 120-200J (gunakan
energi yang spesifik pada alat sesuai petunjuk pabrik pembuat jika
diketahui, atau gunakan 200J jika diketahui)
Defibrilator manual monofasik : Lakukan defibrilasi pada 360J
5. Sesegera lanjutkan RJP, mulailah dengan kompresi
• Berikan 5 siklus RJP (2menit) tanpa terputus
• Selama RJP, dapatkan akses IV/IO
• Siapkan dosis vasopressor (epinephrine atau vasopressin)
6. Defibrilasi
• Hentikan RJP
• Nilai irama
• Jika irama tetap shockable, maka ikuti anjuran AED atau lakukan defibrilasi:
- Defibrilasi manual bifasik : Lakukan defibrilasi dengan energi yang sama
atau lebih tinggi
- Defibrilasi manual monofasik : Lakukan defibrilasi dengan energi 360J
7. Segera lanjutkan RJP, mulailah dengan kompresi.
• Berikan 5 siklus RJP (2menit) tanpa terputus
• Pasang alat bantu jalan nafas tingkat lanjut (ET, LMA, King LT atau Combitube)
jika penanganan alat bantu jalan napas dasar tidak adekuat.
- Pastikan pemasangan selang sudah benar tanpa menginterupsi RJP
- Setelah pemasangan dipastikan sudah benar, lakukan kompresi dada
tanpa terputus, minimal 100 kali/menit selama 2 menit. Berikan napas
buatan sebanyak 8-10 kali/menit dengan kecepatan 1 napas setiap 6-8
detik (Jones, 2014).

17
8. Obat-obatan
• Berikan epinephrine 1 mg/kg
- Berikan 10 mL 1:10.000 IV/IO
- Lanjutkan dengan bilas 20 mL IV
- Ulangi setiap 3-5 menit jika diperlukan
• Dosis tunggal vasopressin 40 unit IV/IO dapat menggantikan dosis pertama
atau dosis kedua epinephrine
• Jika terdapat akses IV/IO dan pada pasien terpasang ETT, maka hentikan
kompresi dan injeksikan 2,0-2,5mg/kg (1:1.000) epinephrine yang dilarutkan
dalam 5-10 mL saline normal atau air steril langsung ke dalam ETT setiap 3-5
menit sampai akses IV/IO tersedia. Setelah pemberian obat melalui ETT,
lanjutkan dengan ventilasi berturut-turut untuk menyebarkan obat ke saluran
napas kecil agar dapat diabsorpsi pembuluh darah pulmonal, kemudian
lanjutkan kompresi.
9. Lanjutkan RJP, periksa irama setiap 2 menit.
10. Defibrilasi
• Jika irama tetap shockable, maka ikuti anjuran AED atau lakukan defibrilasi
dengan energi bifasik yang sama atau lebih tinggi , 360 monofasik
11. Segera lanjutkan RJP, periksa irama setiap 2 menit
12. Obat-obatan
• Pertimbangan obat aritmia untuk irama VF atau VT tanpa denyut yang tidak
membaik dengan pemberian kejut istrik
- Berikan amiodarone 5mg/kg IV/IO
- Jika amiodarone tidak tersedia atau pasien diketahui memiliki alergi, maka
berikan lidocaine 1,0-1,5 mg/kg IV/IO
• Ulangi terapi aritmia untuk VF atau VT tanpa denyut yang tidak membaik
dengan pemberian kejut listrik
- Amiodarone 150mg IV/IO dalam 3-5menit (gunakan hanya sekali)
- Jika menggunakan lidocaine, berikan 0,5-0,75 mg/kg IV/IO dan ulangi
setiap 5-10 menit jika diperlukan, dosis maksimal 3 mg/kg
• Pertimbangan pemberian magnesium sulfat 1-2 g (2-4 mL larutan 50%) yang
dilarutkan dalam 10 mL D5W IV/IO, berikan selama 1-2 menit hanya untuk
henti jantung yang diseabkan oleh hipomagnesemia atau torsade de pointes

18
13. Selama RJP, pertimbangkan dan beri terapi kemungkinan penyebab yang
reversible:
- Hipokalemia/hiperkalemia
- Hipovolemia
- Hipoksia
- Hipotermia
- Hidrogen ion (asidosis)
- Tension pneumothoraks
- Trombosis (pulmonal atau koroner)
- Tamponade jantung
- Toksin
14. Jika irama berubah menjadi asistol atau PEA, maka ikuti alogaritme untuk asistol
atau PEA
15. Jika irama berubah menjadi irama EKG yang stabil dengan ROSC :
• Pantau dan nilai ulang kondisi pasien
• Persiapkan pemindahan ke unit perawatan kritis. Pasien akan memerlukan
perawatan yang menyeluruh (Jones, 2014).

2.3.2.1.2 Sinus Takikardi


Definisi takikardia sinus adalah apabila laju sinus melebihi 100 kpm. umumnya
terjadi sebagai respon terhadap stimulus fisiologis seperti kegiatan olah raga atau
terdapat stimulus yang berlebihan seperti hipertiroid (American Heart Association,
2016).

Etiologi :
• Olahraga normal
• Hipoksemia
• Demam
• Hipovolemia
• Stimulasi adrenergik, kecemasan
• Hipertiroidisme
• Anemia
• Nyeri (American Heart Association, 2016).

19
Clinical Manifestations :
• Tidak ada spesifik untuk takikardia
• Gejala dapat muncul karena penyebab takikardia (demam, hipovolemia)

Gambar 2.8 Sinus Takikardi (American Heart Association, 2016)

Kriteria EKG :
• Rate :> 100 denyut per menit
• Rhythm: Sinus
• PR: Biasanya <0,20 detik
• P untuk setiap kompleks QRS
• Kompleks QRS: Mungkin normal atau lebar jika ada kelainan mendasar (American
Heart Association, 2016).

Tatalaksana :
Untuk Hemodinamik stabil :
1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia

20
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Sambil memberi terapi pada pasien, pertimbangkan penyebab takikardia yang
stabil
3. Jika pasien stabil dan asimptomatik atau stabil dengan gejala minor
4. Manuver vagal
• QRS <0,12 detik
• Lakukan manuver vagal
• Tempat es pada wajah pasien
• Minta pasien menahan napas sambil membungkuk
• Minta pasien meniup sedotan yang ujungnya ditutup
• Lakukan pemijatan sinus karotis (hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
berkualifikasi) (Jones, 2014).

Untuk Hemodinamik tidak stabil :


1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia, tetapi jangan menunda kardioversi jika
pasien sangat tidak stabil
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Pertimbangkan penyebab takikardia yang stabil

21
3. Pastikan bahwa tanda dan gejala yang serius berkaitan dengan takikardi
• Jika pasien tidak stabil dengan tanda dan gejala yang serius dan denyut
jantungnya >150 kali/menit, siapkan untuk kardiversi tersinkronisasi segera
• Pasien dengan kesehatan jantung yang baik biasanya stabil jika kecepatan
ventrikel <150 kali/menit, kan tetapi pasien dengan penyakit jantung dapat tidak
stabil jika denyut jantungnya <150 kali menit
• Penting untuk menilai gejala pasien selain memantau denyut jantung sebagai
kriteria kardioversi
4. Kardioversi
• Pramedikasi pasien dengan sedatif ditambah analgesik ketika memungkinkan
• Pasang defibrilator pada mode tersinkronisasi (Sync)
• Lakukan kardioversi tersinkronisasi :
• Takikardi kompleks QRS-sempit regular (SVT atau flutter atrium) secara umum
memerlukan energi yang lebih rendah, energi 50-100J bifasik sering kali sudah
mencukupi. Pada alat monofasik, energi awal adalah 200J
• A-fib (takikardi kompleks-sempit iiregular) memerlukan dosis energi awal 120-
200J bifasik atau 200J monofasik
• Takikardi kompleks QRS-lebar regular (VT monomorfik) biasanya merespons
baik dengan energi awal 100J bifasik atau monofasik
5. Periksa monitor, jika tetap takikardi :
• Atur ulang (reset) mode sync pada defibrilator-monitor
• Pastikan sedasi/analgesik sudah adekuat
• Naikkan energi dan ulangi kardioversi
• Nilai ulang monitor dan kondisi pasien
6. Obat-obatan
• Untuk takikardi re-entry kompleks-sempit regular pada pasien yang tidak stabil,
jika kardioversi tidak dapat dilakukan dengan segera, maka pertimbangkan
pemberian adenosine sebelum kardioversi
• Berikan adenosine 6 mg IV pada vena antecubiti atau vena besar lainnya
dengan cepat selama 1-3 detik, yang segera diikuti dengan pemberian 20 mL
bolus saline normal

22
• Jika irama tidak terkonversi dalam 1-2 menit, maka ulangi pemberian
adenosine 12 mg IV
• Jika irama masih belum terkonversi, dosis adenosine ketiga 12 mg IV dapat
diberikan setelah 1-2 menit, maksimal 30 mg
7. Jika berubah menjasi henti denyut, maka identifikasikan irama dan diikuti
alogaritme untuk VF/VT, PEA, atau asistol (Jones, 2014).

2.3.2.1.3 Atrial Fibrillation


Atrial fibrillation adalah takiaritmia supraventricular yang khas, dengan aktivasi
atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis atrium
(Americana Heart Association, 2016).
Etiologi :
• Sindroma koroner akut
• Penyakit arteri koroner
• Gagal jantung kongestif
• Penyakit pada katup mitral dan trikuspid
• Hipoksia, emboli paru akut
• Drug-induced: digoksin atau quinidine, beta agonist, teofilin
• Sepsis
• Hipertensi
• Hipertiroid (American Heart Association, 2016).

Gambar 2.9 Atrial Fibrillation (American Heart Association, 2016)

23
Kriteria EKG :
Rate :
• Respons ventrikel luas terhadap undulasi atrium yang terjadi antara 300 dan 400 per
menit
• Bisa normal atau lambat jika atrioventrikula r (AV) konduksi nodal tidak normal
(misalnya, “sick sinus syndrome”)
Rhytm: Irregular (klasik "irregularly regular")
Gelombang P:
• Gelombang atrial fibrilasi yang kacau saja
• Menciptakan baseline variabel
PR: Tidak bisa diukur
QRS: Tetap <0,12 detik kecuali kompleks QRS terdistorsi oleh gelombang fibrilasi
atau flutter oleh defek konduksi melalui ventrikel (American Heart Association, 2016).

Tatalaksana :
● Untuk Hemodinamik stabil :
1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Sambil memberi terapi pada pasien, pertimbangkan penyebab takikardia yang
stabil

24
3. Jika pasien stabil dan asimptomatik atau stabil dengan gejala minor
4. Manuver vagal
• QRS <0,12 detik
• Lakukan manuver vagal
• Tempat es pada wajah pasien
• Minta pasien menahan napas sambil membungkuk
• Minta pasien meniup sedotan yang ujungnya ditutup
• Lakukan pemijatan sinus karotis (hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
berkualifikasi)
5. Obat-obatan
• QRS <0,12 detik dan tetap takikardia
• Berikan adenosine 6 mg IV selama 1-3 detik pada vena antecubiti atau vena
besar lainnya
Segera ikuti dengan pemberian 20 mL bolus saline normal
• Jika irama berubah, maka kemungkinan adalah SVT
• Jika irama tetap teratur dan tidak berubah dalam 1-2 menit, maka ulangi
pemberian adenosine 12 mg IV
• Jika irama masih belum berubah, maka dosis ketiga adenosine 12 mg IV dapat
diberikan setelah 1-2 menit, maksimal 30 mg
• Jika irama masih belum berubah atau tidak teratur, maka kemungkinannya
adalah A-flutter, takikardia atrium, MAT, takikardia junctional, atau A-fib
6. Konsultasikan pada ahli (dokter spesialis)
7. Jika irama berubah, maka observasi pasien dan beri terapi bila terjadi kekambuhan
dengan adenosine, dilitiazem, atau beta-bloker. Konsultasikan pada ahli (dokter
spesialis) (Jones, 2014).

● Untuk Hemodinamik tidak stabil :


1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen

25
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia, tetapi jangan menunda kardioversi
jika pasien sangat tidak stabil
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Pertimbangkan penyebab takikardia yang stabil
3. Pastikan bahwa tanda dan gejala yang serius berkaitan dengan takikardi
• Jika pasien tidak stabil dengan tanda dan gejala yang serius dan denyut
jantungnya >150 kali/menit, siapkan untuk kardiversi tersinkronisasi segera
• Pasien dengan kesehatan jantung yang baik biasanya stabil jika kecepatan
ventrikel <150 kali/menit, kan tetapi pasien dengan penyakit jantung dapat tidak
stabil jika denyut jantungnya <150 kali menit
• Penting untuk menilai gejala pasien selain memantau denyut jantung sebagai
kriteria kardioversi
4. Kardioversi
• Pramedikasi pasien dengan sedatif ditambah analgesik ketika memungkinkan
• Pasang defibrilator pada mode tersinkronisasi (Sync)
• Lakukan kardioversi tersinkronisasi :
• Takikardi kompleks QRS-sempit regular (SVT atau flutter atrium) secara umum
memerlukan energi yang lebih rendah, energi 50-100J bifasik sering kali sudah
mencukupi. Pada alat monofasik, energi awal adalah 200J
• A-fib (takikardi kompleks-sempit iiregular) memerlukan dosis energi awal 120-
200J bifasik atau 200J monofasik
• Takikardi kompleks QRS-lebar regular (VT monomorfik) biasanya merespons
baik dengan energi awal 100J bifasik atau monofasik
5. Periksa monitor, jika tetap takikardi :
• Atur ulang (reset) mode sync pada defibrilator-monitor
• Pastikan sedasi/analgesik sudah adekuat
• Naikkan energi dan ulangi kardioversi

26
• Nilai ulang monitor dan kondisi pasien
6. Obat-obatan
• Untuk takikardi re-entry kompleks-sempit regular pada pasien yang tidak stabil,
jika kardioversi tidak dapat dilakukan dengan segera, maka pertimbangkan
pemberian adenosine sebelum kardioversi
• Berikan adenosine 6 mg IV pada vena antecubiti atau vena besar lainnya
dengan cepat selama 1-3 detik, yang segera diikuti dengan pemberian 20 mL
bolus saline normal
• Jika irama tidak terkonversi dalam 1-2 menit, maka ulangi pemberian adenosine
12 mg IV
• Jika irama masih belum terkonversi, dosis adenosine ketiga 12 mg IV dapat
diberikan setelah 1-2 menit, maksimal 30 mg
7. Jika berubah menjasi henti denyut, maka identifikasikan irama dan diikuti
alogaritme untuk VF/VT, PEA, atau asistol (Jones, 2014).

2.3.2.1.4 Atrial Flutter


Impuls mengambil arah melingkar di sekitar atrium, membentuk gelombang flutter.
Etiologi :
• Sindroma koroner akut
• Penyakit arteri koroner
• Gagal jantung kongestif
• Penyakit pada katup mitral dan trikuspid
• Hipoksia, emboli paru akut
• Drug-induced: digoksin atau quinidine, beta agonist, teofilin
• Sepsis
• Hipertensi
• Hipertiroid (American Heart Association, 2016).

27
Gambar 2.10 Atrial Flutter (American Heart Association, 2016)
Kriteria EKG :
Rate:
• Atrial rate : 220-350 denyut per menit.
• Respons ventrikel adalah fungsi blok nodus AV atau konduksi impuls atrium.
• Respons ventrikel jarang terjadi > 150 hingga 180 beats karena batas AV konduksi
Rhytm:
• Reguler
• Ritme ventrikel sering teratur
• Pengaturan rasio untuk irama atrium, misalnya 2: 1 atau 4: 1
Gelombang P:
• Tidak ada gelombang P yang terlihat
• Gelombang flutter dalam pola “sawtooth” (gigi gergaji) klasik
PR: • Tidak bisa diukur
QRS: • Tetap <0,12 detik kecuali kompleks QRS terdistorsi oleh gelombang fibrilasi
atau flutter oleh defek konduksi melalui ventrikel (American Heart Association, 2016).

Tatalaksana :
● Untuk Hemodinamik stabil :
1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek

28
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Sambil memberi terapi pada pasien, pertimbangkan penyebab takikardia yang
stabil
3. Jika pasien stabil dan asimptomatik atau stabil dengan gejala minor
4. Manuver vagal
• QRS <0,12 detik
• Lakukan manuver vagal
• Tempat es pada wajah pasien
• Minta pasien menahan napas sambil membungkuk
• Minta pasien meniup sedotan yang ujungnya ditutup
• Lakukan pemijatan sinus karotis (hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
berkualifikasi)
5. Obat-obatan
• QRS <0,12 detik dan tetap takikardia
• Berikan adenosine 6 mg IV selama 1-3 detik pada vena antecubiti atau vena
besar lainnya
Segera ikuti dengan pemberian 20 mL bolus saline normal
• Jika irama berubah, maka kemungkinan adalah SVT
• Jika irama tetap teratur dan tidak berubah dalam 1-2 menit, maka ulangi
pemberian adenosine 12 mg IV
• Jika irama masih belum berubah, maka dosis ketiga adenosine 12 mg IV
dapat diberikan setelah 1-2 menit, maksimal 30 mg
• Jika irama masih belum berubah atau tidak teratur, maka kemungkinannya
adalah A-flutter, takikardia atrium, MAT, takikardia junctional, atau A-fib
6. Konsultasikan pada ahli (dokter spesialis)

29
7. Jika irama berubah, maka observasi pasien dan beri terapi bila terjadi kekambuhan
dengan adenosine, dilitiazem, atau beta-bloker. Konsultasikan pada ahli (dokter
spesialis) (Jones, 2014).

● Untuk Hemodinamik tidak stabil :


1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia, tetapi jangan menunda kardioversi jika
pasien sangat tidak stabil
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Pertimbangkan penyebab takikardia yang stabil
3. Pastikan bahwa tanda dan gejala yang serius berkaitan dengan takikardi
• Jika pasien tidak stabil dengan tanda dan gejala yang serius dan denyut
jantungnya >150 kali/menit, siapkan untuk kardiversi tersinkronisasi segera
• Pasien dengan kesehatan jantung yang baik biasanya stabil jika kecepatan
ventrikel <150 kali/menit, kan tetapi pasien dengan penyakit jantung dapat tidak
stabil jika denyut jantungnya <150 kali menit
• Penting untuk menilai gejala pasien selain memantau denyut jantung sebagai
kriteria kardioversi
4. Kardioversi
• Pramedikasi pasien dengan sedatif ditambah analgesik ketika memungkinkan
• Pasang defibrilator pada mode tersinkronisasi (Sync)
• Lakukan kardioversi tersinkronisasi :

30
• Takikardi kompleks QRS-sempit regular (SVT atau flutter atrium) secara umum
memerlukan energi yang lebih rendah, energi 50-100J bifasik sering kali sudah
mencukupi. Pada alat monofasik, energi awal adalah 200J
• A-fib (takikardi kompleks-sempit iiregular) memerlukan dosis energi awal 120-
200J bifasik atau 200J monofasik
• Takikardi kompleks QRS-lebar regular (VT monomorfik) biasanya merespons
baik dengan energi awal 100J bifasik atau monofasik
5. Periksa monitor, jika tetap takikardi :
• Atur ulang (reset) mode sync pada defibrilator-monitor
• Pastikan sedasi/analgesik sudah adekuat
• Naikkan energi dan ulangi kardioversi
• Nilai ulang monitor dan kondisi pasien

6. Obat-obatan
• Untuk takikardi re-entry kompleks-sempit regular pada pasien yang tidak stabil,
jika kardioversi tidak dapat dilakukan dengan segera, maka pertimbangkan
pemberian adenosine sebelum kardioversi
• Berikan adenosine 6 mg IV pada vena antecubiti atau vena besar lainnya
dengan cepat selama 1-3 detik, yang segera diikuti dengan pemberian 20 mL
bolus saline normal
• Jika irama tidak terkonversi dalam 1-2 menit, maka ulangi pemberian adenosine
12 mg IV
• Jika irama masih belum terkonversi, dosis adenosine ketiga 12 mg IV dapat
diberikan setelah 1-2 menit, maksimal 30 mg
7. Jika berubah menjasi henti denyut, maka identifikasikan irama dan diikuti
alogaritme untuk VF/VT, PEA, atau asistol (Jones, 2014).

2.3.2.1.5 Accessory-Mediated SVT


“Reentry phenomenon” : Impuls berulang berulang kali di nodus AV karena
rangkaian ritme yang tidak normal memungkinkan gelombang depolarisasi berjalan
dalam lingkaran. Biasanya depolarisasi perjalanan antegrade (maju) melalui jalur
abnormal dan kemudian melingkar kembali retrograde melalui jaringan konduksi
"normal" (American Heart Association, 2016).

31
Etiologi :
• Jalur konduksi aksesori terjadi pada banyak pasien SVT.
• Untuk orang sehat, banyak faktor yang dapat memicu SVT: kafein, hipoksia, rokok,
stres, kecemasan, kurang tidur, banyak obat-obatan.
• Frekuensi SVT meningkat pada pasien yang tidak sehat dengan penyakit arteri
koroner, penyakit paru obstruktif kronik, dan gagal jantung kongestif (American Heart
Association, 2016).

Clinical Manifestations :
• Palpitasi dirasakan oleh pasien saat onset; menjadi cemas, tidak nyaman
• Toleransi latihan rendah dengan tingkat sangat tinggi
• Gejala takikardia tidak stabil dapat terjadi (American Heart Association, 2016).

Gambar 2.10 Accessory-Mediated SVT (American Heart Association, 2016)

Kriteria EKG :
• Rate: Melebihi batas atas sinus takikardia saat istirahat (> 220 detak per menit),
jarang <150 denyut per menit, sering hingga 250 denyut per menit
• Rhythm: Reguler
• Gelombang P: Jarang terlihat karena laju cepat menyebabkan gelombang P
“tersembunyi” di gelombang T sebelumnya atau sulit dideteksi karena asalnya rendah
di atrium
• Kompleks QRS: Normal, sempit (American Heart Association, 2016).

32
Tatalaksana :
Untuk Hemodinamik stabil :
1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Sambil memberi terapi pada pasien, pertimbangkan penyebab takikardia yang
stabil
3. Jika pasien stabil dan asimptomatik atau stabil dengan gejala minor
4. Manuver vagal
• QRS <0,12 detik
• Lakukan manuver vagal
• Tempat es pada wajah pasien
• Minta pasien menahan napas sambil membungkuk
• Minta pasien meniup sedotan yang ujungnya ditutup
• Lakukan pemijatan sinus karotis (hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
berkualifikasi) (Jones, 2014).

Untuk Hemodinamik tidak stabil :


1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?

33
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia, tetapi jangan menunda kardioversi jika
pasien sangat tidak stabil
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Pertimbangkan penyebab takikardia yang stabil
3. Pastikan bahwa tanda dan gejala yang serius berkaitan dengan takikardi
• Jika pasien tidak stabil dengan tanda dan gejala yang serius dan denyut
jantungnya >150 kali/menit, siapkan untuk kardiversi tersinkronisasi segera
• Pasien dengan kesehatan jantung yang baik biasanya stabil jika kecepatan
ventrikel <150 kali/menit, kan tetapi pasien dengan penyakit jantung dapat tidak
stabil jika denyut jantungnya <150 kali menit
• Penting untuk menilai gejala pasien selain memantau denyut jantung sebagai
kriteria kardioversi
4. Kardioversi
• Pramedikasi pasien dengan sedatif ditambah analgesik ketika memungkinkan
• Pasang defibrilator pada mode tersinkronisasi (Sync)
• Lakukan kardioversi tersinkronisasi :
• Takikardi kompleks QRS-sempit regular (SVT atau flutter atrium) secara umum
memerlukan energi yang lebih rendah, energi 50-100J bifasik sering kali sudah
mencukupi. Pada alat monofasik, energi awal adalah 200J
• A-fib (takikardi kompleks-sempit iiregular) memerlukan dosis energi awal 120-
200J bifasik atau 200J monofasik
• Takikardi kompleks QRS-lebar regular (VT monomorfik) biasanya merespons
baik dengan energi awal 100J bifasik atau monofasik
5. Periksa monitor, jika tetap takikardi :
• Atur ulang (reset) mode sync pada defibrilator-monitor

34
• Pastikan sedasi/analgesik sudah adekuat
• Naikkan energi dan ulangi kardioversi
• Nilai ulang monitor dan kondisi pasien
6. Obat-obatan
• Untuk takikardi re-entry kompleks-sempit regular pada pasien yang tidak stabil,
jika kardioversi tidak dapat dilakukan dengan segera, maka pertimbangkan
pemberian adenosine sebelum kardioversi
• Berikan adenosine 6 mg IV pada vena antecubiti atau vena besar lainnya
dengan cepat selama 1-3 detik, yang segera diikuti dengan pemberian 20 mL
bolus saline normal
• Jika irama tidak terkonversi dalam 1-2 menit, maka ulangi pemberian adenosine
12 mg IV
• Jika irama masih belum terkonversi, dosis adenosine ketiga 12 mg IV dapat
diberikan setelah 1-2 menit, maksimal 30 mg
• Lidokain. Indikasi: dapat diberikan pada kasus-kasus takikardi atau takiaritmia
dan henti jantung dengan irama VF/VT sebagai terapi alternatif amiodaron. Cara
pemberian: dosis awal 1-1.5 mg/kgBB, bisa diulang 10-15 menit kemudian,
dengan dosis maksimum sebanyak 3 kali atau total dosis 3 mg/kgBB, pada
kasus henti jantung dosis tunggal 1,5 mg/kgBB/IV. Perhatian: pemberian
dihentikan jika menimbulkan tanda-tanda toksisitas, dosis dikurangi pada psien
dengan fungsi hati yang menurun, maupun fungsi ventrikel yang menurun.
Pemberian dengan tujuan pencegahan infark miokard akut tidak disarankan.
• β Blocker. Golongan Penyekat β yang dapat diberikan antara lain:
• Propanolol. Indikasi : dapat diberikan pada kasus takikardi atau takiaritmia,
angina pectoris tidak stabil, dan infark miokard akut sebagai anti angina. Cara
pemberian : total dosis 0.5 mg-1 mg/kgBB selama 1 menit diulang sampai total
0,1 mikrogram/kgBB/menit, diberikan IV lambat dibagi dalam 3 pemberian
dengan interval waktu 2-3 menit, dosis oral 10-20 mg selama 6-18 jam.
Perhatian : dapat menyebabkan depresi miokard, tidak boleh diberikan pada
blok AV derajat II dan III, syok kardiogenik, dan asma
• Metoprolol. Indikasi : dapat diberikan pada kasus takikardi atau takiaritmia,
angina pectoris tidak stabil, dan infark miokard akut sebagai anti angina. Cara
pemberian: dosis awal 5 mg IV setiap 5 menit secara lambat dan dapat diulang

35
3 kali. Dititrasi sesuai dengan denyut jantung dan tekanan darah, dosis oral 25-
50 mg selama 6-12 jam, kemudian setelah 2-3 hari dinaikkan 2 kali dosis awal,
dapat dititrasi sampai dosis 200 mg/hari. Perhatian : dapat menyebabkan
depresi miokard,tidak boleh diberikan pada blok AV derajat II dan III, syok
kardiogenik, dan asma.
7. Jika berubah menjasi henti denyut, maka identifikasikan irama dan diikuti
alogaritme untuk VF/VT, PEA, atau asistol (Jones, 2014).

2.3.2.1.6 Ventrikel Takikardi


Ventrikel takikardi adalah ventrikel ekstrasistol yang timbul ≥ 4x berturut-turut.
Merupakan salah satu aritmia lethal (berbahaya) karena mudah berkembang menjadi
ventrikel fibrilasi dan dapat menyebabkan henti jantung (cardiac arrest). Ventrikel
takikardi sendiri dibagi menjadi dua, yaitu ventrikel takikardi polimorfik dan ventrikel
takikardi monomorfik (American Heart Association, 2016).

Etiologi
Ventrikel takikardi disebabkan oleh berbagai keadaan yang mengganggu
konduksi jantung, seperti kurangnya pasokan O2 akibat gangguan pada pembuluh
darah coroner, gagal jantung, dan keracunan digitalis (American Hear Association,
2016).

Kriteria dan Manifestasi Klinis


Manifestasi dari VT adalah menurunnya nadi yang lama-lama akan menjadi
VT atau VF tanpa nadi. Gejala dari menurunnya cardiac output (orthostasis, hipotensi,
perfusi yang buruk, syncope, dsb) muncul sebelum terjadinya pulseless arrest
(American Heart Association, 2016).

36
Kriteria EKG untuk VT polimorfik antara lain:

VT Polimorfik VT Monomorfik

Nadi nadi ventrikel > 100x/menit; biasanya 120-


100x/menit; biasanya 250x/menit
120-125x/menit.
Ritme ventrikel regular atau Ritme ventrikel reguler
ireguler; tidak aada
aktivitas atrial.
PR Nonexistent Tidak ada
Gelombang P jarang terlihat tapi ada; Jarang terlihat tapi ada
VT adalah bentuk
disosiasi dari AV
Kompleks QRS Variasi yang beragam Lebar dan abnormal,
dan secara inkosisten Nampak seperti kompleks
terlihat di kompleks PVC ≥ 0,12 detik, dengan
QRS gelombang T yang lebar.

Fusion beats: Kompleks


QRS hybrids (sebagian
normal, sebagian
ventrikuler)
Nonsustained VT: bertahan
< 30 detik dan tidak
membutuhkan intervensi
Tabel 2.1 Perbedaan VT monomorfik dan VT polimorfik (American Heart Association, 2016)

37
Gambar 2.12 VT Monomorfik (American Heart Association, 2016)

Gambar 2.13 VT Polimorfik (American Heart Association, 2016)


Tatalaksana VT Monomorfik :
Hemodinamik Stabil :
1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
• Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?

38
• Sambil memberi terapi pada pasien, pertimbangkan penyebab takikardia yang
stabil
3. Jika pasien stabil dan asimptomatik atau stabil dengan gejala minor
4. Obat-obatan
• QRS ≥0,12 detik
• Jika VT monomorfik, maka berikan amiodarone 150mg IV/IO selama 10 menit
• Dapat diulang setiap 10 menit jika diperlukan
• Mulailah pemberian infus 1 mg/menit selama 6 jam, yang diikuti dengan 0,5
mg/menit selama 18 jam. Jangan melebihi 2,2 g dalam 24 jam
• Jika monomorfik, regular, dan dicurigai menjadi SVT dengan penyimpangan dari
normal (aberans), maka berikan adenosine 6 mg IV selama 1-3 detik pada vena
antecubiti atau vena besar lainnnya
• Segera ikuti dengan pemberian 20 mL bolus saline normal
• Jika irama dengan singkat melambat atau berubah menjadi irama sinus, maka
kemungkinannya adalah SVT
• Jika adenosine tidak memberikan efek, maka iramanya ken=mungkinan adalah
VT monomorfik atau fibrilasi atrium dengan praektasi dan harus diterapi dengan
amiodarone
5. Konsultasikan pada ahli (dokter spesialis)

Hemodinamik tidak stabil :

1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia, tetapi jangan menunda kardioversi jika
pasien sangat tidak stabil
• Ukur tekanan darah dan denyut

39
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Pertimbangkan penyebab takikardia yang stabil
3. Pastikan bahwa tanda dan gejala yang serius berkaitan dengan takikardi
• Jika pasien tidak stabil dengan tanda dan gejala yang serius dan denyut
jantungnya >150 kali/menit, siapkan untuk kardiversi tersinkronisasi segera
• Pasien dengan kesehatan jantung yang baik biasanya stabil jika kecepatan
ventrikel <150 kali/menit, kan tetapi pasien dengan penyakit jantung dapat tidak
stabil jika denyut jantungnya <150 kali menit
• Penting untuk menilai gejala pasien selain memantau denyut jantung sebagai
kriteria kardioversi
4. Kardioversi
• Pramedikasi pasien dengan sedatif ditambah analgesik ketika memungkinkan
• Pasang defibrilator pada mode tersinkronisasi (Sync)
• Lakukan kardioversi tersinkronisasi :
• Takikardi kompleks QRS-sempit regular (SVT atau flutter atrium) secara umum
memerlukan energi yang lebih rendah, energi 50-100J bifasik sering kali sudah
mencukupi. Pada alat monofasik, energi awal adalah 200J
• A-fib (takikardi kompleks-sempit iiregular) memerlukan dosis energi awal 120-
200J bifasik atau 200J monofasik
• Takikardi kompleks QRS-lebar regular (VT monomorfik) biasanya merespons
baik dengan energi awal 100J bifasik atau monofasik
5. Periksa monitor, jika tetap takikardi :
• Atur ulang (reset) mode sync pada defibrilator-monitor
• Pastikan sedasi/analgesik sudah adekuat
• Naikkan energi dan ulangi kardioversi
• Nilai ulang monitor dan kondisi pasien
6. Obat-obatan
• Untuk takikardi re-entry kompleks-sempit regular pada pasien yang tidak stabil,
jika kardioversi tidak dapat dilakukan dengan segera, maka pertimbangkan
pemberian adenosine sebelum kardioversi

40
• Berikan adenosine 6 mg IV pada vena antecubiti atau vena besar lainnya
dengan cepat selama 1-3 detik, yang segera diikuti dengan pemberian 20 mL
bolus saline normal
• Jika irama tidak terkonversi dalam 1-2 menit, maka ulangi pemberian adenosine
12 mg IV
• Jika irama masih belum terkonversi, dosis adenosine ketiga 12 mg IV dapat
diberikan setelah 1-2 menit, maksimal 30 mg
7. Jika berubah menjasi henti denyut, maka identifikasikan irama dan diikuti
alogaritmw untuk VF/VT, PEA, atau asistol (Jones, 2014).

Tatalaksana VT Polimorfik :
Hemodinamik Stabil :
1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Sambil memberi terapi pada pasien, pertimbangkan penyebab takikardia yang
stabil
3. Jika pasien stabil dan asimptomatik atau stabil dengan gejala minor
4. Obat-obatan
• QRS ≥0,12 detik
• Jika VT monomorfik, maka berikan amiodarone 150mg IV/IO selama 10 menit
• Dapat diulang setiap 10 menit jika diperlukan

41
• Mulailah pemberian infus 1 mg/menit selama 6 jam, yang diikuti dengan 0,5
mg/menit selama 18 jam. Jangan melebihi 2,2 g dalam 24 jam
• Jika monomorfik, regular, dan dicurigai menjadi SVT dengan penyimpangan dari
normal (aberans), maka berikan adenosine 6 mg IV selama 1-3 detik pada vena
antecubiti atau vena besar lainnnya
• Segera ikuti dengan pemberian 20 mL bolus saline normal
• Jika irama dengan singkat melambat atau berubah menjadi irama sinus, maka
kemungkinannya adalah SVT
• Jika adenosine tidak memberikan efek, maka iramanya ken=mungkinan adalah
VT monomorfik atau fibrilasi atrium dengan praektasi dan harus diterapi dengan
amiodarone
5. Konsultasikan pada ahli (dokter spesialis) (Jones, 2014).

Hemodinamik tidak stabil :

1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia, tetapi jangan menunda kardioversi jika
pasien sangat tidak stabil
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Pertimbangkan penyebab takikardia yang stabil
3. Pastikan bahwa tanda dan gejala yang serius berkaitan dengan takikardi
• Jika pasien tidak stabil dengan tanda dan gejala yang serius dan denyut
jantungnya >150 kali/menit, siapkan untuk kardiversi tersinkronisasi segera

42
• Pasien dengan kesehatan jantung yang baik biasanya stabil jika kecepatan
ventrikel <150 kali/menit, kan tetapi pasien dengan penyakit jantung dapat tidak
stabil jika denyut jantungnya <150 kali menit
• Penting untuk menilai gejala pasien selain memantau denyut jantung sebagai
kriteria kardioversi
4. Kardioversi
• Pramedikasi pasien dengan sedatif ditambah analgesik ketika memungkinkan
• Pasang defibrilator pada mode tersinkronisasi (Sync)
• Lakukan kardioversi tersinkronisasi :
• Takikardi kompleks QRS-sempit regular (SVT atau flutter atrium) secara umum
memerlukan energi yang lebih rendah, energi 50-100J bifasik sering kali sudah
mencukupi. Pada alat monofasik, energi awal adalah 200J
• A-fib (takikardi kompleks-sempit iiregular) memerlukan dosis energi awal 120-
200J bifasik atau 200J monofasik
• Takikardi kompleks QRS-lebar regular (VT monomorfik) biasanya merespons
baik dengan energi awal 100J bifasik atau monofasik
5. Periksa monitor, jika tetap takikardi :
• Atur ulang (reset) mode sync pada defibrilator-monitor
• Pastikan sedasi/analgesik sudah adekuat
• Naikkan energi dan ulangi kardioversi
• Nilai ulang monitor dan kondisi pasien
6. Obat-obatan
• Untuk takikardi re-entry kompleks-sempit regular pada pasien yang tidak stabil,
jika kardioversi tidak dapat dilakukan dengan segera, maka pertimbangkan
pemberian adenosine sebelum kardioversi
• Berikan adenosine 6 mg IV pada vena antecubiti atau vena besar lainnya
dengan cepat selama 1-3 detik, yang segera diikuti dengan pemberian 20 mL
bolus saline normal
• Jika irama tidak terkonversi dalam 1-2 menit, maka ulangi pemberian adenosine
12 mg IV
• Jika irama masih belum terkonversi, dosis adenosine ketiga 12 mg IV dapat
diberikan setelah 1-2 menit, maksimal 30 mg

43
7. Jika berubah menjasi henti denyut, maka identifikasikan irama dan diikuti
alogaritmw untuk VF/VT, PEA, atau asistol (Jones, 2014).

2.3.2.1.7 Torsade de Pointes (TdP)


Torsade de pointes berasal dari bahasa Perancis yang berarti “Twisting of
Spikes” atau kurang lebih seperti tali yang digelombangkan. Torsade depointes
adalah salah satu bentuk dari ventrikel takikardi polimorfik yang dihubungkan dengan
adannya interval QT yang memanjang sebelumnya dan biasanya diinisiasi oleh
gelombang premature dan sifatnya umumnya bersifat sementara tetapi ddapat
menyebabkan hemodinamik tidak stabil dan dapat berdegenerasi ke VF (American
Heart Association, 2016).

Etiologi
TdP paling sering terjadi pada pasien dengan QT interal yang memanjang
yang disebabkan oleh berbagai sebab, antara lain seperti:
• Drug-induced: antidepresan trisiklik, procainamide, sotalol, amiodarone, ibutilide,
dofetilide, digoksin, dsb.
• Kelainan metabolic dan elektrolik (American Heart Association, 2016).

Manifestasi Klinis dan Kriteria


Manifestasi klinis dari TdP adalah kecenderungan kepada deteriorasi
mendadak menjadi VT tanpa nadi atau VF. Selain itu terdapat tanda-tanda dari
penurunan cardiac output (orthostatis, hipotensi, syncope, dsb) dan juga
ditemukannya torsade yang stabil (American Heart Association, 2016).
Sedangkan kriteria dari TdP dapat dilihat dari rekam jantung EKG dimana nadi
atrial tidak bias ditentukan, sedangkan nadi ventrikularnya 150-250 kompleks/menit.
Ritmenya adalah ritme ireguler ventrikel, tiidak ditemukannya PR interval maupun
gelombang P dan juga kompleks QRS akan menemukan gambaran spindle-node
pattern yang khas (American Heart Association, 2016).

44
Gambar 2.14 Torsades de Pointes (American Heart Association, 2016)

Tatalaksana
Hemodinamik Stabil :
1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Sambil memberi terapi pada pasien, pertimbangkan penyebab takikardia yang
stabil
3. Jika pasien stabil dan asimptomatik atau stabil dengan gejala minor
4. Obat-obatan
• QRS ≥0,12 detik
• Jika VT monomorfik, maka berikan amiodarone 150mg IV/IO selama 10 menit
• Dapat diulang setiap 10 menit jika diperlukan
• Mulailah pemberian infus 1 mg/menit selama 6 jam, yang diikuti dengan 0,5
mg/menit selama 18 jam. Jangan melebihi 2,2 g dalam 24 jam

45
• Jika monomorfik, regular, dan dicurigai menjadi SVT dengan penyimpangan dari
normal (aberans), maka berikan adenosine 6 mg IV selama 1-3 detik pada vena
antecubiti atau vena besar lainnnya
• Segera ikuti dengan pemberian 20 mL bolus saline normal
• Jika irama dengan singkat melambat atau berubah menjadi irama sinus, maka
kemungkinannya adalah SVT
• Jika adenosine tidak memberikan efek, maka iramanya ken=mungkinan adalah
VT monomorfik atau fibrilasi atrium dengan praektasi dan harus diterapi dengan
amiodarone
5. Konsultasikan pada ahli (dokter spesialis) (Jones, 2014).

Hemodinamik tidak stabil :

1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D dengan cepat
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia, tetapi jangan menunda kardioversi jika
pasien sangat tidak stabil
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?
• Pertimbangkan penyebab takikardia yang stabil
3. Pastikan bahwa tanda dan gejala yang serius berkaitan dengan takikardi
• Jika pasien tidak stabil dengan tanda dan gejala yang serius dan denyut
jantungnya >150 kali/menit, siapkan untuk kardiversi tersinkronisasi segera
• Pasien dengan kesehatan jantung yang baik biasanya stabil jika kecepatan
ventrikel <150 kali/menit, kan tetapi pasien dengan penyakit jantung dapat tidak
stabil jika denyut jantungnya <150 kali menit

46
• Penting untuk menilai gejala pasien selain memantau denyut jantung sebagai
kriteria kardioversi
4. Kardioversi
• Pramedikasi pasien dengan sedatif ditambah analgesik ketika memungkinkan
• Pasang defibrilator pada mode tersinkronisasi (Sync)
• Lakukan kardioversi tersinkronisasi :
• Takikardi kompleks QRS-sempit regular (SVT atau flutter atrium) secara umum
memerlukan energi yang lebih rendah, energi 50-100J bifasik sering kali sudah
mencukupi. Pada alat monofasik, energi awal adalah 200J
• A-fib (takikardi kompleks-sempit iiregular) memerlukan dosis energi awal 120-
200J bifasik atau 200J monofasik
• Takikardi kompleks QRS-lebar regular (VT monomorfik) biasanya merespons
baik dengan energi awal 100J bifasik atau monofasik
5. Periksa monitor, jika tetap takikardi :
• Atur ulang (reset) mode sync pada defibrilator-monitor
• Pastikan sedasi/analgesik sudah adekuat
• Naikkan energi dan ulangi kardioversi
• Nilai ulang monitor dan kondisi pasien
6. Obat-obatan
• Untuk takikardi re-entry kompleks-sempit regular pada pasien yang tidak stabil,
jika kardioversi tidak dapat dilakukan dengan segera, maka pertimbangkan
pemberian adenosine sebelum kardioversi
• Berikan adenosine 6 mg IV pada vena antecubiti atau vena besar lainnya
dengan cepat selama 1-3 detik, yang segera diikuti dengan pemberian 20 mL
bolus saline normal
• Jika irama tidak terkonversi dalam 1-2 menit, maka ulangi pemberian adenosine
12 mg IV
• Jika irama masih belum terkonversi, dosis adenosine ketiga 12 mg IV dapat
diberikan setelah 1-2 menit, maksimal 30 mg
7. Jika berubah menjasi henti denyut, maka identifikasikan irama dan diikuti
alogaritme untuk VF/VT, PEA, atau asistol (Jones, 2014).

47
2.3.2.2 Aritmia Bradikardi
Berikut algoritma penanganan dari aritmia bradikardi dengan hemodinamik stabil
dan tidak stabil:

Gambar 2.15 Algoritma Aritmia Bradikardi (American Heart Association, 2016)

Sinus bradikardi adalah kondisi dimana jantung penderita berdetak


<60x/menit dimana biasanya orang dewasa normalmemilik detak jantung 60-
100x/menit (Soar et al., 2015).

Etiologi
• terkadang normal pada orang-orang dengan keadaan umum baik
• kejadian vasovagal, seperti muntah, maneuver valsava, syncope
• Sindroma coroner akut yang mempengaruhi sirkulasi ke nodus SA; paling
sering adalah inferior acute myocardial infarctions
• adverse drug effects, seperti β-blockers atau calcium channel blockers,
digoksin, quinidine (American Heart Association, 2016).

48
Gambar 2.16 Sinus Bradikardi (American Heart Association, 2016)

Manifestasi Klinis dan Kriteria


Pasien dengan sinus bradikardi tidak menunjukkan gejala saat istirahat,
namun dengan meningkatnya aktivitas dan disfungsi nodus sinus, nadi lambat yang
persisten akan menyebabkan gejala seperti mudah lelah, shortness of breath, kepala
berputar, syncope, kongesti paru, dan dema paru. Dari EKG akan ditemukan nadi <
60x/menit (ketika bergejala dan bradikardi merupakan penyebab dari gejala, maka
biasanya nadi < 50x/menit) dengan ritme sinus regular. PR regular, 0,12-0,20 detik.
Gelombang P normal. Kompleks QRS akan mengalami pemendekan; < 0,12 detik
(seringnya <0,11 detik) tanpa ada kelainan dari konduksi intraventrikular (American
Heart Association, 2016).

Tatalaksana
1. Penilaian respons
2. Lakukan survei primer A-B-C-D
 Jalan napas paten?
 Pernapasan adekuat?
• Nilai kecepatan dan kedalaman pernapasan
• Ukur saturasi oksigen
• Berikan oksigen jika saturasi oksigen <94%. Titrasi untuk memberikan efek
• Sirkulasi (perfusi) adekuat?
• Pasang monitor jantung untuk mengindentifikasi irama
Pasang EKG 12 sendapan jika tersedia
• Ukur tekanan darah dan denyut
• Dapatkan akses IV
• Diagnosis banding?

49
3. Jika pasien stabil dan asimptomatik dengan denyut jantung <50kali/menit:
• Pantau dan observasi adanya perubahan
4. Obat-obatan
• Jika pasien simptomatik dengan tanda-tanda perfusi yang buruk, maka mulailah
terapi :
Berikan atropine 0,5mg IV setiap 3-5menit, dosis total maksimal 3mg.
• Pada sinus bradikardi, irama junctional escape, atau blok AV derajat dua
Wenckebach/Mobitz tipe I, atropine biasanya efektif
• Pada AV blok derajat dua Mobitz tipe II atau blok AV derajat tiga, atropine
biasanya tidak efektif, siapkan pacu jantung transkutan (transcutaneous
pacing,TCP)
5. Pacu jantung transkutan (TCP)
• Jika pasien gagal merespons atropine, maka berikan sedasi dan mulailah TCP
• TCP merupakan tindakan sementara
• Pasien yang sadar akan memerlukan sedasi dan analgesik
6. Obat-obatan
• Jika pasien mengalami hipotensi dengan bradikardi berat walaupun sudah
diberikan atropine dan TCP tidak tersedia atau tidak efektif, maka lakukan
inisiasi terapi obat :
• Infus dopamine berkelanjutan
Mulailah dengan 2-10mcg/kg/menit (dosis kronotropik atau denyut jantung)
Campur 400mg/250mL dalam saline normal, larutan Ringer laktat, atau D5W
(1600 mcg/mL) atau gunakan larutan komersial yang sudah dilarutkan
• Terapi alternatif : infus epinephrine, 2-10mcg/menit IV
Tambahankan 1 mg 1:1.000 dalam 500 mL saline normal dan infuskan 1-5
mL/menit
7. Konsultasikan pada ahli (doker spesialis) (Jones, 2014).

2.4 Resusitasi Jantung Paru (RJP)


Resusitasi jantung paru-paru atau CPR adalah tindakan pertolongan pertama
pada orang yang mengalami henti napas karena sebab-sebab tertentu. Resusitasi
jantung paru (RJP) ini bertujuan untuk membuka kembali jalan napas yang
menyempit atau tertutup sama sekali (American Heart Association, 2016).

50
Resusitasi jantung paru yang baik akan memenuhi kriteria berikut:
1. Kompresi dada addekuat (minimal dengan kedalaman 5 cm dan cepat 100-
120x/menit)
2. Minimal interupsi saat kompresi
3. Hindari ventilasi berlebihan
4. Bertukarlah dengan orang lain bila lelah saat memberikan kompresi atau
bergantian setiap 2 menit
5. Jika tidak memiliki alat bantuan jalan napas, berikan bantuan komresi-ventilasi
30:2
6. Kapnografi bentuk gelombang secara kuantitatif
• Jika PetCO2 < 10 mmHg, tingkatkan kualitas RJP
7. Tekanan intra-arteri
• Jika fase relaksasi (diastolic) tekanannya < 20 mmHg, tingkatkan kualitas RJP
(American Heart Association, 2016).
Tanda-tanda keberhasilan RJP :
1. Dada harus naik dan turun dengan setiap tiupan (ventilasi)
2. Pupil bereaksi atau tampak berubah normal (pupil harus mengecil saat
diberikan cahaya)
3. Denyut jantung kembali terdengar Reflek pernapasan spontan
4. Dapat terlihat Kulit penderita pucat berkurang atau kembali normal
5. Penderita dapat menggerakkan tangan atau kakinya
6. Penderita berusaha untuk menelan
7. Penderita menggeliat atau memberontak (American Heart Association,
2016).
Resusitasi jantung paru ini diberikan kepada pasien hingga pasien ROSC
(Return of Spontaneous Circulation) atau hingga pertolongan medis datang, atau
hingga penolong lelah, bisa juga diberikan hingga pasien dinyatakan meninggal
(American Heart Association, 2016).

51
BAB III
KESIMPULAN

Aritmia adalah kelainan dalam kecepatan, irama, tempat asal dari impuls, atau
kelainan elektrofisiologi jantung yang dapat disebabkan oleh gangguan system
konduksi jantung serta gangguan pembentukan atau penghantaran impuls yang
menyebabkan perubahan dalam urutan normal aktivitas atrium dan ventrikel.
Klasifikasi aritmia dapat dibedakan kedalam beberapa jenis, antara lain
aritmia takikardi dan bradikardi. Durasi kompleks QRS digunakan untuk membedakan
takikardi kompleks QRS sempit (durasi QRS ≤0,12 detik) dari takikardi kompleks QRS
lebar (durasi QRS>0,12 detik). Takikardi dengan kompleks QRS yang sempit (≤0,12
detik) berasal dari situs di atas sistem konduksi AV (Atriovetrikular). Takikardia
supraventrikular ini meliputi sinus takikardia, takikardia atrium, takikardia
supraventrikular paroksismal, atrial flutter, dan atrial fibrillation. Takikardi dengan
kompleks QRS yang lebar (>0,12 detik) berasal dari situs di bawah sistem konduksi
AV (Atriovetrikular), meliputi ventrikular takikardi, ventrikular fibrilasi, torsade de
pointes.
Penatalaksanaan aritmia dalam bidang medis dibagi menjadi yaitu terapi medis
dan terapi mekanis. Dalam terapi medis obat-obat antiaritmia meliputi sodium channel
blocker, beta adrenergik blokade, prolong repolarisation, calcium channel blocker.
Dalam terapi mekanis terdapat kardioversi, defibrilasi, defibrillator segera
menggunakan kekuatan 200 joule bifasik, bila tidak ada perbaikan dapat dilanjutkan
dengan kekuatan 360 joule monofasik.

52
DAFTAR PUSTAKA

AHA. 2016. ACLS Provider Manual Supplementary Material. ACLS Core Rhythms.
H.V, Huikuri, et all. 2011. The New England Journal of Medicine : Sudden Death Due
to Cardiac Arrhythmias.http://content.nejm.org/cgi/content/full/345/20/1473.html.
Hanafi B. Trisnohadi. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Ed. 3. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI
Jones, Shirley A. 2014. ACLS, CPR, and PALS: Clinical Pocket Guide. Pennsylvania:
F. A. Davis Company
Mangini, Sandrigo. dkk. 2008. Decompensated Heart Failure in the Emergency
Departement of Cardiology Hospital. Brazil: Arquivos Brasileiros de
Cardiologia. Vol. 90. No.6: 5-6.
Selmer Christian, Jonas Bjerring Olesen, Morten Lock Hansen, Jesper Lindhardsen,
Anne-Marie Schjerning Olsen, Jesper Clausager Madsen, Jens Faber, Peter
Riis Hansen, Ole Dyg Pedersen, Christian Torp-Pedersen, Gunnar Hilmar
Gislason. 2012. The Spectrum of Thyroid Disease and Risk of New Onset
Atrial Fibrillation: A Large Population Cohort Study. BMJ Publishing Group.
Soar,Jasmeet. dkk. 2015. Adult Advanced Life Support. United Kingdom:
Resuscitation Council (UK).
Zimmerman F.H. 2010. Diagnostic Criteria, Clinical Electrocardiography Review and
Study Guide. 2nd Edition New York: Mc Graw Hill: p.1-8

53

Anda mungkin juga menyukai