Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

HUBUNGAN ANTARA WAKTU TINDAKAN DENGAN

PROGNOSIS EDH

Disusun oleh:

M. Rizky Putra A. 160070200111080

Atid Nurus Silmi 160070200111016

Ifa Febriariana 160070200111024

Pembimbing:

Dr. Med, dr. Tommy Alfandy Nazwar, SpBS

dr. Dimas Prasetyo

LABORATORIUM ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018
Lembar Persetujuan

HUBUNGAN ANTARA WAKTU TINDAKAN DENGAN

PROGNOSIS EDH

Disusun oleh:

M. Rizky Putra A. 160070200111080

Atid Nurus Silmi 160070200111016

Ifa Febriariana 160070200111024

Disetujui untuk dibacakan pada:

Hari : Rabu

Tanggal : 11 Juli 2018

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Med, dr. Tommy Alfandy Nazwar, SpBS dr. Dimas Prasetyo
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cedera kepala adalah suatu keadaan non – kongenital dan non –

degeneratif yang terjadi pada otak yang disebabkan oleh energi mekanik dari

luar yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang

bersifat sementara atau permanen dan dapat disertai penurunan kesadaran atau

tidak. Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada pada kepala,

mulai dari bagian terluar (SCALP) hingga bagian terdalam (Intrakranial) (Astuti et

al, 2016). Cedera kepala mempunyai angka kejadian yang masih relatif tinggi.

Data pasien trauma kepala yang masuk instalasi gawat darurat baik akibat

kekerasan maupun kecelakaan terus meningkat setiap waktunya. Di Amerika tiap

tahunnya didapatkan 1.500.000 kasus cedera kepala, sekitar 50.000 meninggal,

dan 80.000 mengalami kecacatan. Berdasarkan data, 2% dari seluruh kasus

cedera kepala adalah Epidural Hematoma (EDH), dan sekitar 5-15% pada pasien

dengan cedera kepala berat adalah EDH (Balafif, 2013).

EDH merupakan suatu akumulasi atau penumpukan darah akibat trauma

dan bisa juga spontan namun jarang terjadi yang berada diantara tulang

tengkorak bagian dalam di ruang antara tabula interna dan duramater. EDH akan

menempati ruang dalam intrakranial, sehingga perluasan yang cepat pada lesi ini

dapat menimbulkan penekanan pada otak yang dapat mengakibatkan terjadinya

penurunan kesadaran, kecacatan baik bersifat reversible maupun irreversible

dan bahkan kematian (Liebeskind et al, 2010). Meskipun demikian, EDH adalah

bentuk cedera kepala yang mudah dirawat dan sering dikaitkan dengan
prognosis yang baik. Kemajuan dalam pencitraan CT scan telah membuat

konfirmasi diagnosis EDH dengan cepat dan akurat. Pasien dengan EDH yang

memenuhi kriteria bedah dan mendapat intervensi bedah dengan cepat dapat

memiliki prognosis yang sangat baik jika ada kerusakan otak primer yang

mendasar akibat peristiwa traumatis (Maugeri et al, 2015).

Sebagian besar EDH (70-80%) berlokasi di daerah temporoparietal, di

mana bila biasanya terjadi fraktur calvaria yang berakibat robeknya arteri

meningea media atau cabang-cabangnya, sedangkan 10% EDH berlokasi di

frontal maupun oksipital. Volume EDH biasanya stabil dan mencapai volume

maksimum hanya beberapa menit setelah trauma, tetapi pada 9%

penderita ditemukan progresifitas perdarahan sampai 24 jam pertama (Price,

2017). Oleh karenanya, penilaian neurologis sangat penting dalam menangani

kasus – kasus EDH. Perhatian harus ditingkatkan pada tingkat kesadaran yang

diukur dengan Glasgow Coma Score (GCS), ukuran pupil, dan tanda lateralisasi

seperti hemiparesis atau plegia. Beberapa penelitian membuktikan bahwa

perbaikan GCS berkorelasi positif dengan cepatnya tindakan yang diberikan

pada pasien EDH (Mayr et al, 2012).

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, kiranya penting bagi

kalangan medis (terutama dokter) untuk mempelajari epidural hematoma supaya

dapat mendiagnosis dan merujuk pasien dengan lebih baik lagi sehingga dapat

memperbaiki prognosis dan kualitas hidup pasien. Penulis referat ini diharapkan

dapat membantu pencapaian tujuan tersebut.

1.2. Tujuan Penulisan


Tujuan dari penulisan tinjauan pustaka adalah untuk mengetahui tentang

epidemiologi, etiologi, manifestasi klinik, penegakan diagnosis, tatalaksana,

komplikasi dan prognosis EDH

1.3. Batasan Masalah

Referat ini membahas tentang epidemiologi, etiologi, manifestasi klinis,

penegakan diagnosis, perawatan, tatalaksana, dan prognosis EDH

1.4 Manfaat

Manfaat yang dapat diambil dari pembuatan makalah referat ini antara lain

sebagai berikut.

1. Dapat memberikan tambahan khasanah ilmu pengetahuan tentang EDH.

2. Dapat menjadi referensi dan rujukan untuk mendiagnosis serta

melakukan penatalaksanaan EDH bagi para tenaga kesehatan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Otak Secara Umum

Otak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit dan tulang yang

membungkusnya. Sebagian masalah pada otak merupakan akibat langsung dari

cedera kepala. Tepat di atas tengkorak terletak galea aponeurotika, suatu

jaringan fibrosa, padat dapat di gerakkan dengan bebas, yang memebantu

menyerap kekuatan trauma eksternal. Di antara kulit dan galea terdapat suatu

lapisan lemak dan lapisan membrane dalam yang mengandung pembuluh-

pembuluih besar. Bila robek pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi dan

dapat menyebabkan perdarahan yang berarti pada penderita dengan laserasi

pada kulit kepala. Tepat di bawah galea terdapat ruang subaponeurotik yang

mengandung vena emisaria dan diploika. Pembuluh-pembuluh ini dapat

membawa infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, yang jelas

penting untuk membersihkan dan debridement kulit kepala yang seksama bila

galea terkoyak. Pada orang dewasa, tengkorak merupakan ruangan keras yang

tidak memungkinkan perluasan intracranial (Munir, 2015).

Tulang terdiri dari dua dinding atau tabula yang di pisahkan oleh tulang

berongga. Dinding luar di sebit tabula eksterna, dan dinding bagian dalam di

sebut tabula interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan

isolasi yang lebih besar, dengan bobot yang lebih ringan . tabula interna
mengandung alur-alur yang berisiskan arteria meningea anterior, media, dan

posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak menyebabkan tekopyaknya salah satu

dari arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang di akibatkannya, yang tertimbun

dalam ruang epidural, dapat manimbulkan akibat yang fatal kecuali bila di

temukan dan diobati dengan segera. Pelindung lain yang melapisi otak adalah

meningen. Ketiga lapisan meningen adalah dura mater, arachnoid, dan pia mater

(Anderson, 2008).

1. Dura mater cranialis, lapisan luar yang tebal dan kuat. Terdiri atas dua

lapisan:- Lapisan endosteal (periosteal) sebelah luar dibentuk oleh

periosteum yang membungkus dalam calvaria- Lapisan meningeal

sebelah dalam adalah suatu selaput fibrosa yang kuat yang berlanjut

terus di foramen mágnum dengan dura mater spinalis yang

membungkusmedulla spinalis

2. Arachnoidea mater cranialis, lapisan antara yang menyerupai sarang

laba-laba

3. Pia mater cranialis, lapis terdalam yang halus yang mengandung banyak

pembuluh darah.

Gambar 2.1 Anatomi lapisan kepala (Patton and Thibodeau, 2013.)


Di dalam otak terdapat rongga otak yang disebut ventrikel, yang mana

terbagi menjadi 4, yaitu ventrikel I (lateralis kiri), ventrikel II (lateralis kanan),

ventrikel III, dan ventrikel IV. Antara ventrikel I dan II dihubungkan oleh foramen

interventrikulare, sedangkan antara ventrikel I-II dan ventrikel III dihubungkan

oleh foramen Monroi, ventrikel III dan IV dihubungkan oleh foramen aquaductus

silvii (foramen terpanjang dan sering mengalami obstruksi). Ventrikel IV dan

ruangan subarachnoid dihubungkan oleh foramen Magendi (di medial) dan 2

foramen Luscha (di lateral).

Otak mendapat darah dari sistem vaskular yang disbeut circulus Willisi

yang terdiri dari sirkulasi anterior dan sirkulasi posterior. Sirkulasi anterior berasal

dari arteri carotis interna yang kemudian bercabang menjadi arteri cerebri media

dan arteri cerebri anterior. Sedangkan sirkulasi posterior berasal dari arteri

basilaris yang merupakan kelanjutan arteri basilaris yang kemudian bercabang

menjadi arteri cerebri posterior (Munir, 2015).


Gambar 2.2. Arteri-arteri otak setelah sebagian lobus temporales dilepaskan; tampak bawah.

(Gambar diambil dari Sobotta)

Gambar 2.3 Cincin arteri otak. Circulus arteriosus cerebri (Willisi). (Gambar diambil dari Sobotta).

2.2 Definisi

Epidural hematoma (EDH) adalah perdarahan yang terjadi di ruang

epidural yaitu antara periosteum dan duramater, yang mana dapat terjadi pada

intrakranial (EDH) maupun pada medula spinalis (SEDH). Epidural hematoma

yang terjadi pada intrakranial terjadi pada sekitar 2% pasien dengan trauma

kapitis ringan-sedang dan 5-15% pasien dengan trauma kapitis berat. EDH

dianggap sebagai komplikasi yang paling serius dari trauma kepala, karena

membutuhkan diagnosis dan tindakan operatif yang segera (Munir, 2015;

Liebeskind et al., 2017).

2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 2% kasus trauma kepala mengakibatkan EDH (sekitar

40.000 kasus per tahun) dan sekitar 10% mengakibatkan koma. Berdasarkan

persebaran data internasional menurut usia, EDH jarang terjadi pada individu

yang berusia <2 tahun, dan jarang pula terjadi pada individu yang berusia >60

tahun karena lapisan duramaternya telah melekat dengan kuat pada calvaria,

namun dilaporkan 60% penderita EDH adalah individu yang berusia 20 tahun,

dengan insiden laki-laki dibanding perempuan memiliki perbandingan 4:1. Angka

mortalitas yang berkaitan dengan EDH telah diperkirakan mencapai 5-50%

berdasarkan pada tingkat kesadaran dan lokasi perdarahan. Pasien pre-operatif

dengan trauma kapitis berat (GCS 3-8) memiliki resiko mortalitas sekitar 20%,

Pasien pre-operatif dengan tingkat kesadaran trauma kapitis sedang (GCS 9-12)

memiliki resiko mortalitas sekitar 9%, sedangkan pasien pre-operatif dengan

trauma kapitis ringan (GCS 13-15) hampir tidak memiliki resiko mortalitas bila

segera ditangani dengan tepat. EDH bilateral memiliki resiko mortalitas sekitar

15-20%, sedangkan EDH fossa posterior memiliki resiko martalitas sekitar 26%

(Mumenthaler, 2006; Hao Chen et al., 2012).

2.3 Etiologi dan Faktor Resiko

Penyebab paling sering EDH adalah kejadian trauma. Perdarahan

biasanya terjadi akibat trauma aselerasi-deselerasi yang dapat menyebabkan

fraktur. Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya

lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi

yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang

merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio). Sumber utama

perdarahan berasal dari arteri meningeal, terutama pada regio temporal, yang

kemudian mengalir ke dalam ruang antara duramater dan tengkorak (Ullman,

2016).
Gambar 2.2 EDH dan SDH (Tito, 2011).

Gambar 2.4 EDH dan SDH (Tito, 2011).

2.4 Patofisiologi

Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan duramater.

Perdarahan ini lebih sering terjadi akibat robekan pada arteri meningea media.

Robekan ini sering terjadi bila terdapat fraktur pada tulang tengkorak yang

bersangkutan.

Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen

spinosum dan jalan antara duramater dan tulang di permukaan dan tulang di

permukaan dan os cranium. Perdarahan tersebut menimbulkan hematoma

epidural (Mumenthaler, 2006).

Hematoma yang membesar menimbulkan efek desak ruang yang akan

menyebabkan defisit neurologi baik fokal maupun global.

Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa

terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau

terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam
waktu beberapa jam, penderita akan merasakan nyeri kepala yang progresif

memberat, kemudia kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan

kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan disebut lucid

interval (Toncay, 2002; Mumenthaler, 2006).

2.5. Penegakkan Diagnosis

2.5.1 Manifestasi Klinis

Perdarahan epidural merupakan perdarahan ekstra-aksial, terjadi di luar

jaringan otak. Perdarahan epidural berlangsung cepat karena berasal dari arteri

yang bertekanan tinggi. Perdarahan epidural pada fase awal tidak bergejala atau

bertanda. Baru setelah hematoma bertambah besar, akan terlihat tanda

pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami

nyeri kepala, mual, dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala

yang sangat menonjol dari epidural hematom yaitu menurunnya kesadaran

secara progresif.

Manifestasi klinis yang paling tampak pada kejadian EDH adalah adanya

penurunan kesadaran. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak

memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Salah satu cara untuk mengukur

tingkat kesadaran dengan hasil seobjektif mungkin adalah menggunakan GCS

(Glasgow Coma Scale). GCS dipakai untuk menentukan derajat cidera kepala.

Reflek membuka mata, respon verbal, dan motorik diukur dan hasil pengukuran

dijumlahkan jika kurang dari 13, makan dikatakan seseorang mengalami cidera

kepala, yang menunjukan adanya penurunan kesadaran. (Liebeskind et al.,

2010).
Pada EDH perdarahan berasal dari arteri, maka darah akan terpompa

terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau

terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam

waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif

memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua

penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan

disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang

ringan pada Epidural hematom. Jika pada subdural hematoma cedera primernya

hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer berat tidak

terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah

mengalami fase sadar. Peningkatan tekanan intrakranial yang diakibatkan

pendesakan oleh EDH akan menimbulkan gejala seperti muntah, nyeri kepala,

papil edema, herniasi, dan cushing response berupa bradikardia, hipertensi, dan

depresi pernafasan. Gejala ini bersifat progresif sehingga harus segera ditangani

(Gean et al., 2010)

2.5.2 Pemeriksaan Penunjang

 Studi laboratorium

Dari studi laboratorium dapat dilihat antara lain :

o Hitung darah lengkap (CBC) : untuk pemantauan infeksi dan menilai

hematokrit dan trombosit untuk risiko perdarahan lebih lanjut.

o Prothrombin time (PT) / Activated partial thromboplastin time (APTT) :

untuk mengidentifikasi perdarahan diathesis.

o Serum kimia, termasuk elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin,

dan glukosa : untuk mengkarakterisasi kelainan metabolik yang dapat

mempersulit klinis.

o Jenis dan jumlah penyediaan darah : untuk mempersiapkan transfusi

yang diperlukan karena kehilangan darah atau anemia.


 Pemeriksaan Radiologi

Salah satu pemeriksaan radiologis yang harus dilakukan pada EDH

apabila tersedia adalah CT SCAN. CT scan adalah pemeriksaan pilihan dan gold

standard dalam evaluasi EDH. Pemeriksaan MRI juga juga bis dilakukan untuk

melihat cedera pada tulang belakang.(Liebeskind et al., 2014)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan

potensi cedera intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian

saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk

bikonveks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang

homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral.

Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi

pada stage yang akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari

pembuluh (McDonald et al., 2010).

Gambar 2.5 CT scan pada EDH memberikan gambaran hiperdens berbentuk bikonveks

(Knipe and Craig. 2017)


CT scan non kontras pada kepala tidak hanya untuk memvisualisasi

patah tulang tengkorak, tetapi juga langsung menunjukkan gambar sebuah

hematoma epidural. CT scan juga dapat menggambarkan pengumpulan udara

dan pergeseran parenkim otak. Penurunan klinis harus segera dilakukan

pencitraan ulang dengan CT scan.

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang

menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater.

MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi serta menunjukkan

evolusi dari hematoma epidural, meskipun modalitas pencitraan ini

mungkin tidak sesuai untuk pasien dalam kondisi tidak stabil . MRI

merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan

diagnosis (McDonald et al., 2010).

Gambar 2.6 Gambaran EDH pada MRI (McDonald et al., 2010).

2.6. Tatalaksana

Primary Survey merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan dalam

menangani pasien EDH. Pengecekan primary survey yang terdiri dari airway,
breathing, circulation, disability, dan exposure dapat mencegah tidak sampai

terjadi hipoventilasi dan hipovolemia yang dapat menyebabkan secondary brain

damage. Tindakan yang selanjutnya dilakukan adalah sebagai berikut

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital

Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan darah yang dapat

menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang pipa naso/orofaringeal

dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena

: guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline

2. Mengurangi edema otak

Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:

a. Hiperventilasi.

Bertujuan untuk menurunkan PaO2 darah sehingga mencegah

vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat

membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi

kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, PaO2 dipertahankan > 100 mmHg

dan PaCO2 diantara 2530 mmHg.

b. Cairan hiperosmoler.

Umumnya digunakan cairan Manitol per infus untuk “menarik” air dari

ruang intersel ke dalam ruang intra-vaskular untuk kemudian dikeluarkan

melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol

diberikan melalui intravena dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat

mungkin pada penderita dengan ancaman herniasi uncal dan

peningkatan TIK (Siswanto, 2015). Cara ini berguna pada kasus-kasus

yang menunggu tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan


kemungkinan efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang)

setelah beberapa jam atau keesokan harinya.

c. Kortikosteroid.

Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak

beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan

bahwa kortikosteroid tidak/kurang ber-manfaat pada kasus cedera kepala.

Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan

sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi :

Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus yang diikuti

dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan

dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.

d. Barbiturat.

Digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat

ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun;

karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan

kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya

dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat (Sidharta, 2005; Christanto,

2004).

Terapi diatas adalah terapi penunjang yang harus diikuti dengan terapi

definitive yaitu dengan tindakan operasi. EDH adalah kasus emergensi yang

perlu tindakan segera untuk kraniotomi dengan tujuan melakukan evakuasi

hematoma dan menghentikan perdarahan. Berdasarkan teori biomolekular

golden period tindakan terapi definitif harus dilakukan kurang dari 6 jam setelah

kejadian, karena 6 jam merupakan batas terjadinya immediate necrotic cell death

menuju delayed apoptotic cell death (Trimurtulu, 2008).


Trepanasi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang bertujuan

mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Dalam praktek medis,

trepanasi ini dilakukan untuk untuk menurunkan tekanan intrakranial yang

disebabkan oleh trauma dan membuang gumpalan darah yang berada di dalam

kepala. Operasi dilakukan bila terdapat :

 Volume hematoma > 25 ml

 Keadaan pasien memburuk

 Pendorongan garis tengah > 5 mm

 fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan

kedalaman >1 cm

 Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk

functional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi

operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak

ruang. Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

 25 cc = desak ruang supra tentorial

 10 cc = desak ruang infra tentorial

 5 cc = desak ruang thalamus

Sedangkan untuk indikasi evakuasi life saving adalah efek massa signifikan :

 Penurunan klinis

 Efek massa dengan volume ≥ 25 cc dengan midline shift ≥ 5 mm

dengan penurunan klinis yang progresif

 Tebal epidural hematoma ≥ 1 cm dengan midline shift ≥ 5 mm dengan

penurunan klinis yang progresif


2.9. Prognosis

2.9.1 Skor awal Glasgow Coma Scale

Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat

terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan

faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosis (Sasatrodiningrat

et al., 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Astuti et al (2016),

menunjukkan terdapatnya hubungan yang positif namun lemah antara

GCS awal pasien masuk dengan dengan kondisi pasien ketika pulang

dari rumah sakit. Jadi, semakin baik GCS pasien saat masuk maka

semakin baik juga prognosis EDH pada pasien tersebut.

2.9.2 Waktu Respon Penanganan

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa semakin cepat

pemberian penanganan pada EDH maka kondisi pasien akan semakin

baik. Penelitian yang dilakukan oleh Haselbeger et al (1988) menunjukkan

bahwa pasien EDH yang dilakukan tindakan operasi sebelum 2 jam pasca

hilang kesadaran memiliki angka kematian sebesar 17% dan sembuh

dengan baik sebesar 67%, sedangkan pasien yang ditangani lebih lama

memiliki angka kematian sebesar 56% dan sembuh dengan baik sebesar

13%.

Penelitian yang dilakukan oleh Balafif (2013), juga menunjukkan

bahwa pasien yang dilakukan trepanasi kurang dari 6 jam didapatkan

hidup 100% dan tidak ada yang meninggal dunia. Sedangkan pasien

yang dilakukan trepanasi dalam kurun waktu 6 – 12 jam setelah kejadian

didapatkan 8 pasien hidup (61,5%) dan 5 pasien meninggal dunia

(38,5%). Pada trepanasi yang dilakukan dalam waktu 12 – 18 jam

didapatkan 2 pasien (28,6%) hidup dan 5 pasien (71,4%) meninggal


dunia, dan pada pasien pasien EDH yang dilakukan trepanasi dalam

waktu 18-24 jam didapatkan 2

pasien (66,7%) hidup dan 1 pasien (33,3%) meninggal dunia. Sedangkan

pasien EDH yang dilakukan trepanasi dalam waktu > 24 jam tidak

didapatkan pasien hidup dan 5 pasien (100%) meninggal dunia.

Hal ini dikarenakan keterlambatan tindakan trepanasi EDH akan

mengakibatkan edema serebri dan peningkatan tekanan intracranial yang

dapat menyebabkan cedera otak sekunder sehingga akan memperburuk

outcome (Balafif, 2013).


BAB 3

KESIMPULAN

Cedera kepala adalah suatu keadaan non – kongenital dan non –

degeneratif yang terjadi pada otak yang disebabkan oleh energi mekanik dari

luar yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang

bersifat sementara atau permanen dan dapat disertai penurunan kesadaran atau

tidak dan sampai saat ini angka kejadian cedera kepala masih sangat tinggi.

Salah satu kasus cedera kepala yang paling sering terjadi adalah EDH.

EDH merupakan suatu akumulasi atau penumpukan darah akibat trauma

dan bisa juga spontan namun jarang terjadi yang berada diantara tulang

tengkorak bagian dalam di ruang antara tabula interna dan duramater. EDH akan

menempati ruang dalam intrakranial, sehingga perluasan yang cepat pada lesi ini

dapat menimbulkan penekanan pada otak yang dapat mengakibatkan terjadinya

penurunan kesadaran, kecacatan baik bersifat reversible maupun irreversible

dan bahkan kematian.

EDH akan memberikan prognosis yang baik jika cepat ditangani.

Menegakkan diagnose EDh saat ini juga bukanlah hal yang sulit dengan dibantu

oleh CT scan. Berbagai penelitian yang sudah disebutkan sebelumnya juga

memberikan pernyataan bahwa semakin cepat ditangani maka hasil pada pasien

EDH akan semakin baik. Oleh karenanya, sebagai dokter kita harus dapat cepat

mendiagnosa dan memberikan tatalaksana yang tepat guna memperbaiki pasien

– pasien dalam kondisi EDH.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmed S et al. 2009. Out come in Head Injured patients :Experience at a level 1

Trauma Centre. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT) 2009; 6(2): 119-

122.

Anderson S. McCarty L. 2008. Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi.

Anugrah P. EGC, Jakarta, 1014-1016

Araujo JLV et al. 2012. Epidemiological analysis of 210 cases of surgically

treated traumatic extradural hematoma. Rev. Col. Bras. Cir. 2012; 39(4):

268-271 Indian journal of neurotrauma 2008;2:75-79.

Arbour R. 2004. Intracranial Hypertension. Critical care nurse, 2004;24:19-32

Arnold CD. 2013. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Outcome Pasien

Pasca Operasi Hematoma Epidural (EDH). Laporan Tugas Akhir Program

Pendidikan Dokter Spesialis. Fakultas Kedokteran Unervesitas Andalas.

Astuti E, Saanin S, Edison. 2016. Hubungan Glasgow Coma Scale Dengan

Glasgow Outcome Scale Berdasarkan Lama Waktu Tunggu Operasi

Pada Pasien Perdarahan Epidural. Majalah Kedokteran Andalas. Vol.

39(2): 50-57

Balafif F. 2013. Hubungan Respond Time Trepanasi Hematoma Epidural pada

Cedera Kepala Berat dengan Outcome. Laporan Tugas Akhir S1.

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.


Bricolo AP et al. 1984. Extradural hematoma toward zero mortality.

Neurosurgery. 1984 Jan;14(1):8-12.

Bullock MR et al. 2006. Surgical Management of Acute Epidural Hematomas.

Neurosurgery Vol. 58: S2-7 – S2-15.

Cheung et al. 2007. Outcome of traumatic extradural haematoma in Hong Kong.

Injury. 2007 Jan;38(1):76-80. Epub 2006 Nov 13.

Christanto. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Ed IV. Jakarta : Media Aeskulapius

Dawodu ST, Campagnolo DI, Yadav RR. 2011. Traumatic Brain Injury (TBI) –

Definition, Epidemiologi, Pathophysiology. http://emedicine.medscape.

com/article/326510-overview#showall. Diakses pada tanggal 14

November 2017.

Hao Chen et al., 2012. Clinical Study: Progressive Epidural Hematoma in Patient

with Head Trauma: Incidence, outcome and risk factor.

Http//dx.doi.org/10.1155/2012/134505 Chinna: Shanghai Jiaotong

University.

Gerdes KL. 2011. Some Mechanism of Traumatic Brain Injury.

http://www.nebraskabraininjurylawyer.com/how.html. Diakses pada

tanggal 21 November 2017.

Graaff VD. 2001. Human Anatomy. 6th ed. McGraw-Hill Science, p. 393-396.
Guha A. 2004. Management of traumatic brain injury: some current evidence and

applications. Postgrad Med J 2004;80:650-653.

Khaled CN, Raihan MZ, Ashadullah ATM. Surgical Management of Traumatic

Extradural Haematoma: Experiences with 610 Patients and Prospective

Analysis. Indian journal of neurotrauma 2008;2:75-79.

Knipe Henry, Craig Hacking. 2017. Extradural haematoma vs subdural

haematoma. https://radiopaedia.org/articles/extradural-haematoma-vs-

subdural-haematoma. Diakses pada tanggal 6 Juli 2018

Koseoglu A, Dagtekin A, Ozkan A, Kara E, Avci E, Atici A, Bagdatoglu C.

Epidural Hematoma in The Newborn Infant : A Case Report. J Neurol Sci

[Turk] 2010;27:161-164.

Liebeskind DS, Lutsterp HL, Hogan EL. 2010. Epidural Hematoma.

http://emedicine.medscape.com/article/1137065-overview#a0199.

Diakses pada tanggal 19 November 2017.

Loftus CM. 2008. Neurosurgical Emergencies, 2nd ed. Thieme, New York, p. 53-

67.

Lumongga F. 2007. Meninges dan Cerebrospinal Fluid.

http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2044/1/09E01466.pd

f. Diakses pada tanggal 22 November 2017.


Madiyono B, Moeslichan MS, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. 2002.

Perkiraan Besar Sampel Dalam: Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.

Sagung Seto, Jakarta, hal.259-287.

Mayr R, Troyer S, Kastenberger T, et al. The impact of coagulopathy on the

outcome of traumatic epidural hematoma. Arch Orthop Trauma Surg. 2012

Jun 8.

Marcella A, Madera MD, Narayan RK, Shelly D. Timmons MD. 2010. Traumatic

Brain Injury. http://www.merckmanuals.com/professional/injuries_

poisoning/traumatic_brain_injury_tbi/traumatic_brain_injury.html. Diakses

pada tanggal 3 Desember 2015.

Maugeri R, Anderson DG, Graziano F, Meccio F, Visocchi M, Iacopino DG.

Conservative vs. Surgical Management of Post-Traumatic Epidural

Hematoma: A Case and Review of Literature. Am J Case Rep. 2015 Nov

14. 16:811-7.

McDonald DK, Lin EC, Naul LG. 2011. Imaging in Epidural Hematoma.

http://emedicine.medscape.com/article/340527-overview#showall.

Diakses pada tanggal 04 November 2017.

Mumenthaler, Mark. 2006. Fundamentals of Neurology, Germany. Page 90-91.


Munir, Badrul. 2015. Neurologi Dasar. Jakarta: Sagung Seto. Hlm 19-23; 360-

366.

Olivera D. 2011. Intracranial pressure and Cerebral Perfusion.

http://openanesthesia.org/index.php?title=Intracranial_Pressure_and_Cer

ebral_Perfusion.Diakses pada tanggal 21 Desember 2015.

Patton KT, Thibodeau GA. 2013. Anatomy and physiology, ed 8, St. Louis,
Mosby

Price, Daniel. 2017. Epidural Hematoma in Emergency Medicine Clinical


Presentation. American College of Emergency Physicians. California.

Rehman L, Khattak A, Naseer A, Musthaq. 2008. Outcome of Acute Traumatic

Extradural Haematoma. Journal of The College of Physicians and

Surgeons Pakistan 2008, Vol. 18 (12): 759-762.

Roka YB et al. Post Traumatic Epidural Hematoma: Outcome analysis inb 68

consecutive unselected cases. Nepal Journal of Neuroscience Vol 1: 6-9.

Sakas D, Bullock M, Teasdale G. 1995. One-year outcome following craniotomy

for traumatic hematoma in patients with fixed dilated pupils. J Neurosurg

82: p961-5.

Sidharta P, Mardjono M. 2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.


Singh S, Ramakrishnaiah RH, Hegde SV, Glasier CM. Compression of the

posterior fossa venous sinuses by epidural hemorrhage simulating venous

sinus thrombosis: CT and MR findings. Pediatr Radiol. 2016 Jan. 46 (1):67-

72.

Standring S. 2004. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice,

39th ed. Elsevier churchill livingstone, Philadelphia, p. 275-285.

Tito R.T. 2011, Subdural hematoma and epidural hematoma. Brain and spain
injury law blog, titolooffice.com

Toncay, Kaner. 2002. Case Report, Post Operative Spinal Epidural Hematoma

Resulting in Cauda Syndrome: a Case Report and The Review of The

Literature. http://www/casejournal.com/content/5/1/581.

Trimurtulu. 2008. Hypoxic Ischemic Encephalopathy: How this Brain Damage is

Caused and Treated. http://www.medicalgeek.com/pediatrics/19174-

hypoxic-ischemic-encephalopathy-how-brain-damage-caused.html.

Diakses pada tanggal 04 November 2017.

Ullman, Jamie. 2016. Epidural Hematomas. Department of Neurosurgery,


Elmhurst Hospital Center. New York.

Anda mungkin juga menyukai