Anda di halaman 1dari 45

Case Report Session

*Kepaniteraan Klinik Senior/ G1A219026

**Pembimbing/ dr. Mirna Marhami Iskandar, Sp.S

STROKE NON HEMORAGIK

Desri Zelpian Putra, S.ked*

dr. Mirna Marhami Iskandar, Sp.S **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUD RADEN MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session

STROKE NON HEMORAGIK

DISUSUN OLEH

Desri Zelpian Putra

G1A219026

Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Raden Mattaher/ Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Jambi, Oktober 2020

PEMBIMBING

dr. Mirna Marhami Iskandar, Sp.S


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT sebab karena
rahmatNya, laporan kasus atau case report sesion yang berjudul “STROKE NON
HEMORAGIK” ini dapat terselesaikan. Laporan kasus ini dibuat agar penulis dan
teman–teman sesama koass periode ini dapat memahami tentang gejala klinis yang
sering muncul ini. Selain itu juga sebagai tugas dalam menjalankan Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu penyakit Saraf RSUD Raden Mattaher Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Mirna Marhami


Iskandar,Sp.S selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan
khususnya pembimbing dalam laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa
laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
agar lebih baik kedepannya. Akhir kata, semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi
kita semua dan dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, Oktober 2020

penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Stroke merupakan penyakit kegawatdaruratan yang bersifat akut dan salah
satu penyebab kecacatan dan kematian tertinggi di beberapa negara di dunia. Pada
tahun 2013m terdapat sekitar 25,7 juta kasus stroke, dengan hampir separuh kasus
(10,3 juta kasus) merupakan stroke pertama. Sebanyak 6,5 juta pasien mengalami
kematian dan 11,3 juta pasien mengalami kecacatan.1
Stroke adalah suatu gangguan neurologis akut dikarenakan adanya
gangguan sirkulasi darah otak yang terjadi secara mendadak dalam beberapa detik
sampai beberapa jam yang menimbulkan defisit neurologi fokal maupun global
sesuai daerah yang terkena. Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun
2013 yang dilakukan di 33 provinsi oleh Departemen Kesehatan RI diketahui
pravalensi stroke di Indonesia meningkat dari 8,3% pada tahun 2007 menjadi
12,1% pada tahun 2013.2
Berdasarkan patogenesisnya, stroke dibagi menjadi dua, yaitu stroke non
hemoragik dan stroke hemoragik. Persentase stroke non hemoragik lebih tinggi
dibandingkan dengan stroke hemoragik. Berdasarkan laporan American Heart
Association tahun 2016 mendapatkan stroke non hemoragik mencapai 87% serta
sisanya adalah perdarahan intraserebral dan subarakhnoid. Sedangkan angka
kematian stroke non hemoragik 11,3% relatif lebih kecil dibandingkan stroke
hemoragik.1
Stroke non hemoragik adalah Stroke non-hemoragik adalah kumpulan tanda
klinis disfungsi atau kerusakan jaringan otak yang disebabkan kurangnya/ tidak
adanya aliran darah ke otak disebabkan oleh trombus atau embolus sehingga
mengganggu kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak.1
Faktor risiko terjadinya stroke terbagi lagi menjadi faktor risiko yang dapat
diubah dan faktor risiko yang tidak dapat diubah. Dimana faktor risiko yang tidak
dapat diubah tidak dapat dikontrol pengaruhnya terhadap kejadian stroke,
diantaranya yaitu faktor keturunan (genetik), ras, umur dan jenis kelamin.
Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah yaitu hipertensi, diabetes melitus,
hiperkolesterolemia, stress, merokok, obesitas (kegemukan), asam urat. Dari
banyaknya faktor yang memengaruhi kejadian stroke hipertensi yang secara
signifikan memengaruhi kejadian stroke. Pemeriksaan faktor risiko dengan cermat
dapat memudahkan seorang dokter untuk menemukan penyebab terjadinya stroke.3
Pentingnya mengetahui gejala dan tanda dari penderita stoke dapat
menurunkan angka kematian dan kecacatan. Penangan yang tepat dan cepat dapat
menyelamatkan daerah iskemik sehingga tidak menimbulkan perluasan daerah
infark pada stroke non hemoragik dan menjaga tekanan intrakranial pada stroke
hemoragik.
BAB II
Laporan Kasus

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. D
Usia : 42 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Sungai bayung, suka jaya
Pekerjaan : IRT
MRS : 19 Oktober 2020

DAFTAR MASALAH

No Masalah Aktif Tanggal Masalah Pasif Tanggal


1 Kelemahan anggota 19 Oktober
gerak sebelah kiri 2020
2 Parase N.VII sentra 19 Oktober
2020
3 Hipertensi stage II 19 Oktober
2020

II. DATA SUBYEKTIF (Anamnesis tanggal 19 Oktober 2020)


Anamnesis : Autoanamnesis dan alloanamnesis
1. Keluhan Utama : Kelemahan anggota gerak sebelah kiri mendadak sejak ± 2
bulan SMRS.
2. Riwayat penyakit Sekarang
a. Lokasi Anggota gerak kiri
b. Onset ± 2 bulan SMRS terjadi secara
mendadak
c. Kualitas Tangan kiri dan kaki kiri pasien dapat melawan
gaya gravitasi dan mampu melawan tahanan
d. Kuantitas Pasien tidak dapat berjalan normal, pasien
menyeret kaki kirinya
e. Kronologi Pasien datang dengan keluhan kelemahan pada
anggota gerak kiri yang mendadak sejak ± 2
bulan SMRS. Keluhan dirasakan secara
mendadak saat pasien terbangun dari tidurnya.
Kelemahan pada anggota gerak kiri membuat
pasien tidak bisa berjalan. Keluhan tidak
berkurang walaupun sedang istirahat. Keluhan
juga disertai dengan mulut yang miring ke kiri
pada saat diam dan tertinggal pada saat
tersenyum, lipatan senyum kiri tidak ada, bicara
tidak jelas dan lidah terjatuh kearah kiri.
Keluhan tidak disertai nyeri kepala (-),
penurunan kesadaran (-), mual muntah (-),
kejang (-), demam (-), gangguan penciuman (-),
gangguan pengecapan (-), gangguan
pendengaran dan keseimbangan (-), gangguan
penglihatan (-), rasa baal atau kesemutan (-),
kekauan leher (-), BAB dan BAK dalam batas
normal, nyeri dada (-). Dikarena keluhan
tersebut tidak membaik, 5 jam kemudian pasien
pergi ke tukang urut untuk mengobati
keluhannya tetapi keluhan tersebut tidak
berkurang. Keesokan harinya pasien berobat ke
puskesmas dan dirawat inap selama 1 hari dan
hanya diberikan obat darah tinggi saja, tetapi
pasien lupa nama obatnya. Setelah pasien
pulang dari puskesmas, pasien terapi tradisional
selama 1 bulan dan setelah 3 minggu menjalani
terapi pasien mulai bisa berjalan. Saat ini pasien
datang ke poli dikarenakan keluhan kelemahan
anggota gerak sebelah kiri belum menghilang.

h.Gejala yang menyertai Mulut merot ke kiri, lidah deviasi ke kiri


3. Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat keluhan serupa (-)
- Riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol

- Riwayat DM disangkal
- Riwayat Penyakit Jantung disangkal
- Riwayat trauma sebelumnya tidak ada
- Riwayat kolesterol dan asam urat disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat penyakit yang sama (-)
 Riwayat penyakit hipertensi (-)
 Riwayat penyakit diabetes melitus (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)

5. Riwayat Sosial Ekonomi :


 Pasien merupakan seorang perempuan yang berkerja sebagai IRT.
 Pasien sudah menikah
 Pasien tidak merokok
 Pasien tidak pernah minum alkohol.
III. PEMERIKSAAN FISIK (OBJEKTIF)
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 19 Oktober 2020
1. Keadaan Umum dan Tanda Vital
 Kesadaran : Composmentis GCS : 15 ( E4 V5 M6)
 Tekanan Darah : 150/90 mmHg
 Nadi : 80 kali/ menit
 Respirasi : 20 kali/ menit, pernapasan regular
 Suhu : 36,6 °C

2. Status Generalis
 Kepala : Normocephal (+)
 Mata : Edema palpebra (-/-), conjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor,  ± 3 mm/
± 3 mm, refleks cahaya (+/+),
 THT : Dalam batas normal
 Mulut : Mulut mencong ke kiri(+), bibir sianosis (-), mukosa
kering (-), lidah deviasi ke kiri, lidah hiperemis (-), T1-T1, faring
hiperemis (-).
 Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)
 Dada : Simetris ka=ki
 Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavikula
Perkusi : Batas atas : ICS II Linea Parasternalis Sinistra
Batas kiri : ICS V Linea Mid Clavicula sinistra
Batas kanan : ICS IV Linea Parasternalis Dextra
Auskultasi : BJ I dan BJ II regular, gallop (-), murmur (-)
 Paru :
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), fremitus
taktil sama kanan dan kiri
Perkusi : Fremitus vokal sama kiri dan kanan, Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-), massa (-).
Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium (-), undulasi (-),
shifting dullness (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Alat kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Ekstremitas :
Superior : Akral hangat, edema (-)/(-), CRT < 2 dtk
Inferior : Akral hangat, edema (-)/(-), CRT < 2 dtk

3. Status Psikitus : dalam batas normal

4. Status Neurologi
1. Kesadaran kualitatif : Komposmentis
2. Kesadaran kuantitatif (GCS) :15 (E4M6V5)
3. Kepala
a. Bentuk : Normocephal
b. Simetri : (+)
c. Pulsasi : (-)
4. Tanda Rangsang meningeal
a. Kaku kuduk :-
b. Brudzinsky 1 :-
c. Brudzinsky 2 :-
d. Brudzinsky 3 : -|-
e. Brudzinsky 4 : -|-
f. Laseque : -/-
g. Kernig : -/-
a. Nervus kranialis
Nervus Kranialis Kanan Kiri
N I (Olfaktorius)
Subjektif Baik Baik
Objektif (dengan bahan) Baik Baik
N II (Optikus)
Tajam penglihatan Baik Baik
Lapangan pandang Baik Baik
Melihat warna Baik Baik
Funduskopi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III (Okulomotorius)
Sela mata Simetris Simetris
Ptosis Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Normal Normal
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso/endotalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil :
bentuk Bulat, isokor, 3 mm Bulat, isokor, 3 mm
reflex cahaya + +
reflex konvergensi + +
Melihat kembar - -
N IV (Trochlearis)
Pergerakan bola mata ke Normal Normal
bawah-dalam
Diplopia - -
N V (Trigeminus)
Motorik
Otot Masseter Normal Normal
Otot Temporal Normal Normal
Otot Pterygoideus Normal Normal
Sensorik
Oftalmikus Normal Normal
Maksila Normal Normal
Mandibula Normal Normal
N VI (Abdusen)
Pergerakan bola mata Normal Normal
(lateral)
Diplopia - -
N VII (Fasialis)
Mengerutkan dahi Simetris Simetris
Menutup mata Normal Normal
Memperlihatkan gigi Normal Gigi kiri tidak terlihat
Bersiul Normal Normal
senyum Plica nasolabial dextra Normal
mendatar
Sensasi lidah 2/3 depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N VIII (Vestibularis)
Suara berbisik Normal Normal
Detik arloji Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne test + +
Weber test Tidak ada lateralisasi Tidak ada lateralisasi
Swabach test Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
N IX (Glossofaringeus)
Sensasi lidah 1/3 blkg Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks muntah + +
N X (Vagus)
Arkus faring Simetris
Berbicara Baik
Menelan Baik
Refleks muntah Baik
Nadi Normal
N XI (Assesorius)
Menoleh ke kanan + +
Menoleh ke kiri + +
Mengangkat bahu + +
N XII (Hipoglosus)
Kedudukan lidah Deviasi ke kiri
dijulurkan
Atropi papil -
Disartria -
Tremor -
b. Badan dan Anggota Gerak
1. Badan
Motorik Kanan Kiri
Respirasi Simetris Simetris
Duduk Normal Normal
Bentuk kolumna Normal Normal
Vertebralis

Sensibilitas
Taktil dalam batas normal
Nyeri dalam batas normal
Thermi tidak dilakukan

Refleks
Reflek kulit perut atas Tidak dilakukan
Reflek kulit perut tengah Tidak dilakukan
Reflek kulit perut bawah Tidak dilakukan
Reflek kremaster Tidak dilakukan

2. Anggota Gerak atas


Motorik Kanan Kiri
Pergerakan Normal Menurun
Kekuatan 5 4
Tonus Normal Normal

Sensibilitas
Taktil dalam batas normal dalam batas normal
Nyeri dalam batas normal dalam batas normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks Fisiologis
Biseps + ++
Triseps + ++

Refleks Patologis
Hoffman-Tromner - -

3. Anggota gerak bawah


Motorik Kanan Kiri
Pergerakan Normal Menurun
Kekuatan 5 4
Tonus Normal Normal

Sensibilitas
Raba dalam batas normal dalam batas normal
Nyeri dalam batas normal dalam batas normal
Thermi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Refleks Fisiologis
Patella + ++
Achilles + ++

Refleks Patologis
Babinsky - -
Oppenheim - -
Chaddock - -
Schaefer - -
Rosolimo - -

b. Gerakan Abnormal
Tremor : (-)
Atetosis : (-)
Miokloni : (-)
Khorea : (-)
Rigiditas : (-)

c. Alat Vegetatif
Miksi : Tidak ada kelainan
Defekasi : Tidak ada kelainan

d. Koordinasi, gait dan keseimbangan


Cara berjalan : Tidak dilakukan
Romberg Test : Tidak dilakukan
Disdiadokokinesis : Tidak dilakukan
Dismetri : Tidak dilakukan
Ataxia : Tidak dilakukan
Rebound Phenomena : Tidak dilakukan

e. Pemeriksaan Penunjang :
Tidak dilakukan

Diagnosa Klinis : -Hemiparesis sinistra


-Parese N.VII sentral
-Parese N.XII sentral
Diagnosa Topis : Hemisfer cerebri dextra
Diagnosa Etiologi : Suspect Stroke non hemoragik
Diagnosa sekunder : -Hipertensi grade II

Diagnosa banding : Stroke hemoragik


Tatalaksana :
Non Medikamentosa :
 Pemantuan kesadaran dan tanda vital
 Pemantauan perkembangan gejala defisit neurologis
 Edukasi keluarga :
a. Penjelasan mengenai stroke iskemik, resiko dan komplikasi selama perawatan
b. Penjelasan mengenai faktor resiko dan pencegahan stroke berulang
c. Penjelasan mengenai gejala stroke, dan yang harus dilakukan sebelum dibawa
ke RS
d. Membantu pasien untuk melatih bagian anggota gerak yang mengalami
kelemahan
e. Edukasi untuk mencegah stroke berulang seperti
 Menjaga tekanan darah terkontrol : kelola stres, olahraga, menjaga
berat badan yang ideal, membatasi konsumsi natrium dan alkohol,
mengkonsumsi obat antihipertensi
 mengurangi konsumsi makanan berlemak dan banyak mengandung
purin untuk mencegah pasien memiliki kolesterol dan asam urat yang
tinggi
 Menjaga kadar gula darah : mengurangi menkonsumsi makanan dan
minuman yang manis dan mengkonsumsi obat diabetes melitus dan
pantau gula darah karena pasien memiliki faktor resiko terjadinya DM.

Medikamentosa :
Po. Aspilet 1x80 mg
Po. Amlodipin 1x 5mg
Po. Mecobalamin 3x500 mg
Po. Lansoprazole 1x 30 mg

V. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Stroke


Stroke menurut WHO adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang
disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan
dapat menimbulkan cacat atau kematian.1

3.2 Epidemiologi
Stroke adalah penyebab kematian kedua terbesar di dunia dan penyebab paling
umum ketiga dari disability-adjusted life-years (DALYs).9
Pada tahun 2013, stroke iskemik menyumbang:
 67% dari 10,3 juta stroke baru yang terjadi di seluruh dunia.
  71% dari sekitar 25,7 juta orang yang selamat dari stroke.
 51% dari 6,5 juta kematian akibat stroke.
  58% dari 113 juta DALY karena stroke.
Organisasi Kesehatan Dunia telah meramalkan bahwa DALY yang hilang
akibat stroke akan meningkat dari 38 juta pada 1990 menjadi 61 juta pada 2020.

Gambar 1. Epidemiologi Stroke Iskemik


Perbedaan geografis
Ada perbedaan geografis dalam beban stroke, pada negara-negara berpenghasilan
rendah dan menengah menanggung beban stroke terbesar. Pada tahun 2013, jumlah
kematian akibat stroke adalah 4,85 juta di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah dibandingkan 1,6 juta di negara-negara berpenghasilan tinggi. Demikian
juga, jumlah DALY di negara-negara berkembang adalah 91,4 juta dibandingkan
21,5 juta di negara-negara berpenghasilan tinggi.9

Gambar 2. Distribusi proporsional stroke iskemik

Perbedaan jenis kelamin


Kejadian global yang lebih tinggi dari stroke iskemik tetapi tidak haemorrhagic
dilaporkan pada pria dibandingkan pada wanita. Tingkat kejadian pada wanita telah
menurun secara signifikan antara tahun 1990 dan 2013, tetapi pada pria
penurunannya tidak signifikan. Jumlah DALY yang hilang karena stroke adalah
serupa pada pria dan pada wanita, meskipun DALY yang hilang telah meningkat
pada kedua jenis kelamin dari 1990-2013.9

3.3 Etiologi
a. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi dapat
juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.10
a) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
 Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian kanan
dengan bagian kiri atrium atau ventrikel;
 Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan
gangguan pada katup mitralis;
 Fibralisi atrium;
 Infark kordis akut;
 Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
 Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung
miksomatosus sistemik;
b) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
 Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.
 Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.
 Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit “caisson”).
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-
sided circulation (emboli paradoksikal).Penyebab terjadinya emboli kardiogenik
adalah trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan),
trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung
kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-3% stroke emboli diakibatkan oleh
infark miokard dan 85% di antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinya
infark miokard.11

a. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus
Willisi dan sirkulus posterior).Tempat terjadinya trombosis yang paling sering
adalah titik percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri
karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi
aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis
(ulserasi plak), dan perlengketan platelet. Penyebab lain terjadinya trombosis
adalah polisetemia, anemia sickle sel, displasia fibromuskular dari arteri serebral,
dan vasokonstriksi yang berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses
yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan terjadinya
stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).11
Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis: 12
1. Serangan Iskemia Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Pada bentuk ini gejalah neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit
(RIND).
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam,
tapi tidak lebih dari seminggu.
3. Stroke progresif (Progressive Stroke/Stroke in evolution)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
4. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Gejala klinis sudah menetap. Kasus completed stroke ini ialah hemiplegi
dimana sudah memperlihatkan sesisi yang sudah tidak ada progresi lagi. Dalam
hal ini, kesadaran tidak terganggu

Berdasarkan subtipe penyebab :13


a. Stroke lakunar
Terjadi karena penyakit pembuluh halus hipersensitif dan
menyebabkan sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam
atau kadang-kadang lebih lama. Infark lakunar merupakan infark yang
terjadi setelah oklusi aterotrombotik salah satu dari cabang-cabang
penetrans sirkulus Willisi, arteria serebri media, atau arteri vertebralis dan
basilaris. Trombosis yang terjadi di dalam pembuluh-pembuluh ini
menyebabkan daerah-daerah infark yang kecil, lunak, dan disebut lacuna.
Gejala-gejala yang mungkin sangat berat, bergantung pada kedalaman
pembuluh yang terkena menembus jaringan sebelum mengalami trombosis.
b. Stroke trombotik pembuluh besar
Sebagian besar dari stroke ini terjadi saat tidur, saat pasien relative
mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Gejala dan tanda
akibat stroke iskemik ini bergantung pada lokasi sumbatan dan tingkat
aliran kolateral di jaringan yang terkena. Stroke ini sering berkaitan dengan
lesi aterosklerotik.
c. Stroke embolik
Asal stroke embolik dapat dari suatu arteri distal atau jantung.
Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit
neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit.
Biasanya serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Pasien dengan stroke
kardioembolik memiliki risiko besar menderita stroke hemoragik di
kemudian hari.
d. Stroke kriptogenik
Biasanya berupa oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar
tanpa penyebab yang jelas walaupun telah dilakukan pemeriksaan
diagnostik dan evaluasi klinis yang ekstensif.

3.4 Faktor risiko


Faktor risiko dari stroke iskemik diklasifikasikan dalam dua bentuk utama yaitu
faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah.
a. Faktor risiko yang tak dapat diubah
1. Usia
Usia adalah salah satu faktor risiko yang penting dari stroke. Insiden
stroke akan meningkat pada individual dengan usia diatas 55 tahun.15
Setengah dari insiden stroke timbul pada pasien dengan usia 70-75 tahun.
Walaupun demikian, 3-4% angka insiden stroke dapat terjadi pada usia yang
lebih muda yaitu pada usia 15-45 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Cyntia et al. yang dilakukan di RSUD solok selatan, sebanyak 81,25%
insiden stroke terjadi pada penderita dengan usia lebih dari 50 tahun dengan
distribusi 45,83% stroke iskemik dan hanya sebanyak 18,75% penderita
dengan usia dibawah 50 tahun dengan distribusi 15,63% stroke iskemik.5,14
2. Jenis kelamin
Secara jenis kelamin pria memiliki faktor risiko sebesar 25% untuk
terjadinya stroke dibandingkan wanita. Walaupun demikian, jumlah insiden
stroke pada wanita lebih banyak dibandingkan pada pria. Ini dikarenakan,
wanita memiliki masa hidup yang lebih panjang dibandingkan pria. 15 Dari
penelitian yang dilakukan oleh BEACH pada periode tahun 2000 sampai
tahun 2013, prevalensi stroke di Australia berdasarkan jenis kelamin
ditemukan bahwa prevalensi kejadian stroke lebih tinggi pada pria
dibandingkan pada wanita dengan prevalensi masing-masingnya 0,24% dan
0,16%.16, 17
Sementara itu dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinata et al
pada tahun 2013, didapatkan bahwa angka kejadian stroke lebih tinggi pada
wanita dibandingkan dengan pria dengan prevalensi sebesar 54,17% pada
wanita dan 45,83% pada pria. Namun, dari beberapa penelitian menunjukkan
hasil yang berbeda.5,18
3. Ras dan etnis
Terdapat perbedaan yang besar dari faktor risiko terjadinya stroke dari
setiap etnis atau ras. Etnis asli Afrika memiliki potensial terjadinya semua
jenis stroke dibandingkan dengan etnis kaukasia. Etnis Afrika memiliki
faktor risiko 1,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan etnis Kaukasia dan
faktor risiko tersebut lebih tinggi lagi pada stroke hemoragik. Selain itu, dari
hasil yang dilaporkan bahwa etnis Asia Timur dan Afrika Amerika memiliki
faktor risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan etnis Kaukasia.19
4. Riwayat keluarga dan Genetik
Data dari Framingham Heart Study (FHS) menyebutkan bahwa
kejadian stroke pada individu akan meningkat sebanyak 3 kali apabila
terdapat riwayat orang tua terkena stroke pada usia 65 tahun. Individu
dengan kuintil tertinggi pada FRS dengan terdapat riwayat kejadian stroke
pada orang tua pada usia 65 tahun memiliki faktor risiko sebesar 25% untuk
terjadinya stroke. Bila dibandingkan dengan individudengan kuintil tertinggi
pada Framingham Risk Score (FRS) tapi tidak terdapatnya riwayat keluarga
hanya memiliki faktor risiko sebesar 7,5% untuk terjadinya stroke.4
Selain itu, terdapat juga faktor genetik yang ikut berperan dalam
kejadian stroke. Sebagaimana halnya pada penyakit sickle cell, penyakit
inimemiliki risiko yang besar untuk terjadinya stroke pada masa kanak-kanak
dengan prevalensi sebanyak 11% terjadinya infark serebri pada usia 20
tahun. Variasi dari polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) juga berperan
dalam peningkatan risiko stroke. Sebagai contoh, variasi dari SNP pada
kromosom 9p21 memiliki hubungan dengan kejadian stroke khususnya pada
stroke pada pembuluh darah besar.19

b. Faktor risiko yang dapat diubah


1. Hipertensi
Tekanan darah adalah salah satu faktor risiko yang penting pada
stroke baik pada stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Tekanan darah
yang tinggi atau hipertensi berkontribusi dalam patogenesis stroke melalui
inisiasi dan akselerasi dari vaskulopati intraserebral.20Hipertensi juga dapat
memperburuk keadaan aterosklerosis sehingga dapat meningkatkan kejadian
stroke 3 sampai 4 kali lipat. Selain itu, risiko ini semakin meningkat pada
pasien dengan isolated systolic hypertension .21 Rata-rata sebanyak 77%
penderita dengan serangan stroke pertama memiliki tekanan darah lebih
besar dari 140/90 mmhg.4 Kejadian hipertensi juga tidak terlepas dari faktor
usia. Kejadian hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya
usia.20
Dari hasil penelitian yang dilakukan di RSUD Solok Selatan oleh
Dinata et al. (2013), didapatkan bahwa prevalensi hipertensi baik derajat 1
dan 2 pada pasien stroke memiliki angka sebesar 82,30% yang diantaranya
43,76% pada pasien stroke iskemik dan 38,54% pada pasien stroke
hemoragik. Selain itu, data yang didapatkan dari UK Stroke
Association(2015) menyebutkan bahwa hipertensi memberikan kontribusi
atas 54% kejadian stroke di Inggris, Wales dan Irlandia Utara.5,18
2. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus (DM) diperkirakan meningkatkan risiko terjadinya
stroke iskemik sebesar 2 sampai 4 kali dibandingkan dengan individual tanpa
diabetes. DM juga akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas setelah
terjadinya stroke.Selain itu, kejadian DM pada pasien stroke akan
meningkatkan risiko terjadinya rekurensi dari stroke tersebut. Pada pasien
DM, umumnya terjadinya stroke trombus lakunar. Walaupun demikian, tak
selalu ditemukannya stroke jenis ini pada pasien DM.19
Mekanisme terjadinya stroke sekunder pada pasien diabetes diduga
disebabkan oleh serebrovaskular aterosklerosis dan cardioemblism. Pada
pasien diabetes dengan komplikasi retinopati dan neuropati, risiko terjadinya
stroke iskemik akan semakin meningkat.21Dari penelitian menyebutkan
bahwa terdapat kejadian hiperglikemia sebanyak 30-40% pada pasien stroke
iskemik akut. Keadaan hiperglikemia dihubungkan dengan hasil fungsional
yang buruk melalui perburukan dari kerusakan iskemik yang sudah ada
dengan cara gangguan dari rekanalisasi dan peningkatan reperfusi dari
bagian yang rusak.Kejadian diabetes ini berkontribusi pada kejadian stroke
di Inggris, Wales dan Irlandia Utara sebesar 20%.18
Namun, gangguan metabolisme glukosa dan stroke iskemik pada
dasarnya mempunyai hubungan yang bidireksional. Pada pasien diabetes
seperti yang sudah disebutkan diatas, akan meningkatkan risiko terjadinya
stroke. Di lain hal, kejadian stroke akan menimbulkan kelainan dari
metabolisme glukosa yang nantinya sangat berhubungan dengan prognosis
pada pasien stroke.
3. Fibrilasi atrium
Fibrilasi atrium merupakan suatu supraventrikular takiaritmia yang
ditandai dengan aktivasi dan kontraksi atrium yang cepat dan tak
terkoordinasi.8 Kontraksi yang abnormal dari jantung akan menyebabkan
aliran darah yang tidak laminar pada atrium kiri. Aliran darah yang
terganggu akan menyebabkan terbentuknya bekuan darah, sehingga apabila
bekuan darah tersebut lepas dari tempat melekatnya akan menyebabkan
embolisasi pada arteri serebri atau bagian lain dari arteri.19
Kejadian fibrilasi atrium meningkatkan risiko stroke sebanyak 5 kali
lipat pada semua umur.4 Sementara itu, rata-rata 15% dari seluruh kejadian
stroke dihubungkan dengan fibrilasi atrium tanpa adanya penyakit katup
jantung.9Risiko terjadinya emboli pada penderita fibrilasi atrium juga akan
semakin meningkat apabila terdapat hubungan dengan faktor risiko stroke
lainnya seperti hipertensi, DM, dan usia diatas 75 tahun.21

4. Dislipidemia
Ketidakseimbangan lipid darah juga berperan dalam peningkatan
risiko terjadinya stroke walaupun tidak memainkan peranan yang penting.19
Ketidakseimbangan ini berupa penurunan maupun penaikan dari beberapa
profil lipid pada darah. Peningkatan kadar LDL dapat menyebabkan
terjadinya penimbunan kolesterol didalam sel sehingga terjadi pengerasan
pada endotel pembuluh darah, proses ini disebut aterosklerosis. Ini
dikarenakan fungsi LDL yang bersifat membawa kolesterol dari hati kedalam
sel. Sedangkan fungsi HDL yaitu membawa koleterol dari dalam sel menuju
hati, sehingga apabila terjadi penurunan pada kadar HDL maka akan
menyebabkan tertimbunnya kolesterol di dalam sel dan pada akhirnya akan
mendukung terjadinya pembentukan plak.5
Peningkatan kolesterol dapat dihubungkan dengan kejadian stroke
iskemik.Walaupun demikian, terdapat perbedaan patogenesis dari setiap
subtipe stroke iskemik. Peningkatan kolesterol total dihubungkan dengan
kejadian aterosklerosis pada arteri karotis dan kejadian infark serebral
dikarenakan penyakit pada arteri besar.
Namun menurut Elkind (2010) dalam penelitiannya, kadar kolesterol
non-HDL (LDL, VLDL, IDL) memang memiliki hubungan dengan risiko
terjadinya stroke iskemik. Sedangkan kadar HDL, trigliserida, dan
apolipoprotein tak memiliki hubungan dengan risiko terjadinya stroke
iskemik. Lain halnya dengan data yang didapatkan dari Honolulu Heart
Program dan NHLBI, data tersebut menunjukkan bahwa kadar HDL yang
rendah dapat meningkatkan risiko terjadinya stroke pada lelaki jepang.
Walaupun demikian, dari sebuah meta-analisis dari 23 studi pada wilayah
asia pasifik tidak menunjukkan adanya hubungan antara rendahnya kadar
HDL dan risiko stroke.4

3.5 Patogenesis dan patofisiologi stroke iskemik


Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, stroke iskemik terjadi
ketika tidak adekuatnya suplai darah pada salah satu bagian otak. Tidak
adekuatnya suplai ini dapat terjadi karena adanya hambatan pada aliran darah
menuju otak yang dapat disebabkan oleh adanya trombosis maupun emboli.
Pada dasarnya, pembentukan plak aterosklerosis-lah yang memudahkan
terjadinya kedua hal tersebut.
Aterosklerosis adalah inflamasi kronik pada tunika intima pembuluh darah
yang disebabkan oleh akumulasi lipid sehingga terjadi penebalan ke dalam
lumen pembuluh darah. Aterosklerosis memiliki peranan penting sebagai
penyebab dari beberapa penyakit seperti infark miokard, stroke iskemik, dan
penyakit arteri perifer. Erosi atau ruptur pada plak aterosklerosis ini akan
menyebabkan terbentuknya trombus sehingga memudahkan terjadinya iskemik
akut.21
Aterosklerosis sering mengenai bagian bifurkasio arteri, ini dikarenakan
turbulensi yang besar pada daerah tersebut. Turbulensi yang besar pada daerah
bifurkasio akan menyebabkan terbentuknya lesi pada daerah ini sehingga
memudahkan terjadinya penyelipan lipid kedalam intima.22Lokasi tersering
ditemukannya plak aterosklerosis pada pembuluh darah otak terdapat pada
arteri basilaris, arteri karotis interna, arteri serebral posterior, arteri serebral
anterior, dan arteri serebral media.23
Pembentukan plak aterosklerosis bergantung kepada beberapa faktor risiko.
Faktor risiko ini dapat dibagi menjadi risiko mayor dan risiko minor. Faktor
risiko mayor dibagi menjadi dua yaitu, faktor risiko yang dapat diubah dan
tidak dapat diubah. Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan meliputi usia,
jenis kelamin, riwayat keluarga dan kelainan genetik. Dan pada faktor risiko
yang dapat dikendalikan meliputi, hiperlipidemia, hipertensi, merokok, dan
diabetes. Sedangkan faktor risiko minor yaitu, kegemukan, kurangnya
aktivitas, stres, chlamydia pneumonia, dan lain-lain.Lesi aterosklerosis
diklasifikasikan dalam 3 bentuk tahapan yaitu, endapan lemak atau fatty streak,
plak fibrosa atau plak ateromatosa, dan lesi komplikata.Pada umumnya, bercak
perlemakan atau fatty streak sudah terbentuk pada usia yang lebih muda.
Bercak perlemakan ini dapat ditemukan pada semua anak usia lebih dari 10
tahun. Namun, bercak perlemakan ini merupakan lesi yang tidak meninggi
sehingga tidak terjadi gangguan aliran darah.24
Sedangkan plak fibrosa atau plak ateroma adalah penebalan tunika intima
yang sudah meninggi. Plak fibrosa ini terdiri dari inti pusat lipid dan sisa-sisa
(debris) sel nekrotik yang ditutupi oleh jaringan fibromaskular yang banyak
mengandung kolagen dan sel-sel otot polos. Plak ateroma ini biasanya muncul
setelah dekade ketiga. Pada usia 20-30 tahun, plak ateroma jarang sekali
terlihat pada arteri karotis atau vertebrobasilaris. Setelah usia 30 tahun, plak
aterosklerosis ini dapat dilihat di berbagai tempat. Plak ateroma muncul lebih
awal pada arteri karotis interna dan arteri koroner dibandingkan arteri-arteri
eksstrakranial dan vertebrobasilaris. Sedangkan setelah usia 50 tahun,
pembentukan plak ateroma ini cenderung mengenai arteri-arteri serebral yang
kecil.
Pembentukan plak aterosklerosis diduga diawali oleh akumulasi
apolipoprotein b yang mengandung lipoprotein yang didominasi oleh LDL
pada tunika intima pembuluh darah. Pada awalnya, terjadi kerusakan sel
endotel pembuluh darah karena terpaparnya sel endotel ini oleh zat-zat iritan.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan kerusakan endotel ini adalah merokok,
hipertensi, diabetes, peningkatan kadar LDL, penurunan kadar HDL, dan
autoimun.25 Setelah itu, Partikel LDL sangat rentan untuk masuk kedalam
tunika intima. Pada matriks ekstraseluler ini, partikel LDL bergabung dengan
proteoglikan. Produksi lipoprotein lipase yang dihasilkan oleh matriks
ekstraseluler akan memudahkan terjadinya penjebakkan LDL di tunika intima
ini. Selain lipoprotein lipase, fosfolipase dan sfingomyelinase juga berperan
dalam penjebakkan LDL pada tunika intima. Setelah terjebak di tunika intima,
partikel LDL diserang oleh enzim seperti NADPH oksida dan
myeloperoksidase. Penyerangan terhadap enzim ini akan mengubah partikel
LDL menjadi partikel LDL teroksidasi. LDL teroksidasi ini akan menyebabkan
stimulasi pada sitokin dan menginhibisi produksi dari NO. 26 Selama modifikasi
LDL, terjadi pelepasan fosfolipid teroksidase dan hal ini akan mengaktifkan sel
endotel dan makrofag. Pengaktifan tersebut akan memicu produksi kemokin
dan pengekspresian molekul adhesi dari leukosit. Kedua hal tersebut bersama-
sama memicu pergerakan monosit dan sel T kedalam intima. Monosit yang
masuk kedalam intima akan diubah menjadi makrofag oleh growth factor
lokal.22
Didalam intima, molekul LDL yang teroksidasi akan bergabung dengan
makrofag melalui scavenger receptor yang terdapat pada makrofag. Keduanya
akan memulai akumulasi kolesterol dan pada akhirnya akan berubah menjadi
sel busa.22 Terbentuknya sel busa ini akan memproduksi lebih banyak oksigen
radikal, menginisiasi sel T, dan menyekresi mediator-mediator inflamasi
tambahan yang berperan dalam kerusakan yang progresif pada lumen pembuluh
darah. Ketika sel busa berakumulasi dalam jumlah yang besar, maka
terbentuklah endapan lemak atau fatty streak.Makrofag lainnya pada intima
akan menginisiasi produksi mediator-mediator proinflamasi, termasuk TNF, IL-
1, radikal bebas, dan faktor protrombosit.22
Kemudian sel T yang masuk kedalam intima akan mengenal antigen yang
dipresentasikan oleh makrofag. Pengaktifan sel limfosit T didalam intima akan
menyebabkan dihasilkannya sitokin tipe Th-1, seperti interferon gamma, TNF,
dan limfotoksin yang secara keseluruhan merupakan proaterogenik yang kuat.
Sitokin ini juga dapat mengaktifkan makrofag. Dengan masuknya dan
pengaktifan makrofag dan sel T akan menyebabkan akumulasi lipid di intima
mengarah kepada proses inflamasi kronik dari aterosklerosis.22
Selain itu, makrofag teraktivasi dan trombosit juga akan melepaskan growth
factor yang menyebabkan perpindahan otot polos dari media ke
intima.25Growth factor ini juga akan menyebabkan proliferasi dari otot polos.
Sel otot polos yang berada pada daerah kerusakan endotel akan berproliferasi,
dan menghasilkan kolagen. Kemudian akan bermigrasi kebagian atas dari
endapan lemak yang nantinya akan membatasi lesi dari lumen pembuluh darah.
Pada tahap ini, endapan lemak atau fatty streak menjadi plak ateroma atau plak
fibrosa. Plak fibrosa dapat mengalami pengerasan apabila terjadinya
penimbunan kalsium ke dalam plak fibrosa.25
Proses aterosklerosis biasanya diam selama berbulan-bulan, tahun, dan
bahkan beberapa dekade, dan kemungkinan tidak akan timbul gejala klinis
yang bermakna. Bagaimanapun juga, apabila suatu saat permukaan plak rusak,
oklusi trombotik dari arteri dapat terjadi. Terjadinya ruptur atau erosi pada plak
akan menstimulasi aterotrombosis dengan cara pemaparan material-material
trombogenik yang terdapat didalam plak, seperti fosfolipid, faktor-faktor
jaringan, molekul-molekul matriks kepada faktor-faktor koagulasi dan
trombosit. Agrerasi trombosit yang terbentuk pada permukaan yang tepapar
bersifat stabil dikarenakan terdapatnya benang-benang fibrin. Faktor-faktor
jaringan, yang diekspresikan pada sel otot polos vaskular dan makrofag yang
terdapat pada plak aterosklerosis adalah inisiator primer dari kaskade koagulasi
darah yang mengarah kepada formasi fibrin. Aterostrombus akan meluas
dengan cepat dan bisa menyumbat lumen pembuluh darah dalam hitungan
menit, yang nantinya akan menyebabkan iskemia dan infark.

Langkah-langkah utama kaskade iskemia serebral


Oklusi akut yang terdapat pada pembuluh darah otak akan menyebabkan
terjadinya penurunan aliran darah kepada bagian otak yang bersangkutan.
Besarnya pengurangan aliran darah otak bergantung kepada fungsi aliran darah
kolateral dan ini bergantung pada anatomi vaskular setiap individu, daerah
terjadinya oklusi, dan tekanan darah sistemik. Aliran darah otak (CBF)
normalnya berkisar 50mL/100 g jaringan otak per menit. Pengurangan alirah
darah otak menjadi <10 mL/g jaringan per menit sampai 0 akan menyebabkan
kematian jaringan otak dalam waktu 4-10 menit, <16-18 mL/100 g jaringan
setiap menitnya akan menyebabkan terjadinya infarksi dalam waktu satu jam,
dan <20 mL/100 g jaringan per menit akan menyebabkan terjadinya iskemia
tanpa terjadinya infarksi kecuali terjadinya perpanjangan waktu dalam
beberapa jam atau hari. Sebagai tambahan, disfungsi serebral terjadi saat
reduksi CBF dalam rentang 16-20 mL/100 g jaringan otak per menit.
Kegagalan pompa ion dan hilangnya homeotasis ion terjadi pada saat adanya
reduksi 10-12 mL/100 g jaringan otak per menit.26
Sel-sel saraf sangat tergantung pada metabolisme oksidatif dalam
menghasilkan ATP dalam jumlah yang besar untuk menunjang kebutuhan
energi. Pengurangan aliran darah menghambat dua komponen utama yang
sangat dibutuhkan dalam pembentukan energi ini, yakni oksigen dan glukosa.
Namun, sel-sel saraf dapat mengkompensasi pembentukan ATP dengan cara
alternatif yaitu oxygen-independent pathway yang lebih dikenal dengan
glikolisis (pengkonversian glukosa menjadi piruvat dan laktat). Bagaimanapun
juga, tanpa adanya reperfusi yang adekuat dan segera, strategi melalui
glikolisis tak mencukupi dalam penyuplaian energi yang dibutuhkan sehingga
pada akhirnya akan menyebabkan gangguan fungsi dan kematian sel. Seperti
mekanisme injuri lainnya, kekurangan energi lebih nyata terjadi pada inti
iskemik dibandingkan dengan bagian penumbra .27
Salah satu penggunaan energi pada sel adalah untuk mengatur gradien ion
transmembran. Hal ini terjadi karena mitokondria gagal membentuk ATP,
kegagalan pembentukan energi ini akan mengakibatkan gradien ion akan
menghilang. Kegagalan ini menyebabkan pompa ion membran seperti Na +/K+-
ATPase yang membutuhkan 2/3 energi yang dihasilkan dan yang bertanggung
jawab dalam mengatur konsentrasi K+ intrasel, gagal melakukan fungsinya.
Sebagai konsekuensinya, K+ merembes keluar dari sel dan mendepolarisasi sel-
sel yang bersebelahan, mengaktivasi voltage-gated ion channels, peninggian
kadar kalsium, dan pelepasan neurotransmiter. Tingginya kadar K+
ekstraseluler bersamaan dengan glutamat akan menyebabkan cortical
spreading depression (CSD), suatu fenomena elektrik yang berhubungan
dengan depolarisasi saraf dan astrofit, yang mana menggunakan energi lebih
banyak lagi dan dapat memperluas daerah.27
Selama iskemia, konsentrasi kalsium sitosol dapat meningkat sampai 1000
kali. Masuknya Ca2+ ke dalam sel terjadi saat iskemia serebral sebagai hasil
dari turunnya kadar ATP dan depolarisasi membran, yang mengarah kepada
pembukaan voltage-dependent calcium channels (VDCC) dan pembalikan dari
pertukaran Na+-Ca2+. Selain itu, pemasukan Ca2+ juga dapat terjadi melalui
voltage-sensitive glutamate receptor-gated channel, kanal transient receptor
potensial (TRP) juga dapat masuk melalui acid-sensitive ion channels yang di
aktivasi oleh produksi ion H+ dari proses glikolisis. Peningkatan natrium
intraseluler yang diakibatkan tidak berfungsinya Na+/K+-ATPase menyebabkan
pertukaran Na+/Ca2+, yang mana normalnya mengekspor Ca2+ dari dalam sel
melawan gradien konsentrasinya menjadi kebalikannya yaitu memasukkan
Ca2+ kedalam sel. Sebagai tambahan, Ca2+ akan merangsang pengeluaran Ca2+
yang lebih besar dari retikulum endoplasma. Saat terjadinya peningkatan Ca2+
intraseluler, kapasitas buffer-Ca2+ dari organel-organel (mitokondria dan
retikulum endoplasma) dan protein pengikat Ca2+, keduanya menjadi
kewalahan. Selanjutnya akan terjadi pengaktivasian dari protease katabolik,
lipase, dan nuklease, terganggunya fungsi mitokondria, dan kematian sel.27
Kata excitotoxicity mengacu kepada efek patogen dari perangsangan
neurotransmiter, terutama glutamat. Iskemia akan menyebabkan terjadinya
excitotoxicity melalui depolarisasi yang menginduksi pelepasan glutamat dari
sinaps, melepaskan glutamat melalui kebalikan dari ambilan glutamat dari
astrosit, dan mengaktivasi voltage-sensitive glutamate receptor-gated channels.
Setelah terjadinya pelepasan glutamat dari sinaps, kelebihan kadar glutamat
ekstraseluler menghasilkan neurotoksisitas dengan mengaktifkan reseptor
glutamat pada post sinaps yang dapat mengakibatkan pemasukan Ca2+ kedalam
sel-sel saraf. Reseptor-resesptor utama yang terlibat dalam excitotoxicity adalah
N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan reseptor ionotropic. Aliran masuk Ca 2+
melalui reseptor NMDA berkontribusi dalam disregulasi dari Ca 2+ itu sendiri.
Sebagai tambahan, pemasukan Ca2+ melalui reseptor ini dihubungkan kepada
aktivasi dari nitric oxide synthase (NOS1) neuron, yang mana menghasilkan
gasotransmiter yang dikenal dengan Nitric Oxide (NO). Keberadaan NO
berkontribusi dalam kerusakan nitrosative. Sebaliknya, NO yang dihasilkan
oleh endothelial nitric oxide synthase (NOS3) memberikan perlindungan pada
keadaan iskemia, yang berfungsi sebagai vasodilator.27
Beberapa efek toksik dari iskemia dimediasi melalui produksi dari reactive
oxygen species (ROS) dan nitrogen-containing species (RNS). Produksi radikal
bebas ini dikarenakan terjadinya disfungsi dari mitokondria dan degradasi
membran lemak. ROS dapat langsung bereaksi dengan makromolekul yang
terdapat pada sel-sel otak yang menyebabkan kerusakan dari protein, lipid, dan
DNA, dan juga dapat mengoksidasi reduktan berat molekul rendah, seperti
glutathione (GSH), askorbat, dan alpha-tocopherol. ROS dan RNS, Keduanya
mencakup anion superoksida (O2-) dan NO, yang mana apabila terjadi
penggabungan dari keduanya akan menghasilkan peroksinitrit (ONOO-) yang
sangat merusak DNA. Selain merusak DNA, efek lainnya adalah
penghambatan dari enzim yang dihasilkan oleh mitokondria dan fungsi
mitokondria itu sendiri, mengaktivasi kanal ion, menyebabkan terjadinya
modifikasi kovalen dari berbagai protein, dan memicu jalur kematian sel.27
Kematian sel iskemik mungkin terjadi karena beberapa mekanisme,
tergantung seberapa besar lokasi yang terkena dan seberapa lama waktu yang
terjadi. Kematian sel terjadi sangat cepat pada inti infarksi dan lebih lambat
terjadi pada bagian penumbra dan ketika terjadinya reperfusi. Kematian sel
yang cepat pada inti iskemik ditandai dengan nekrosis, pembengkakan dari sel-
sel dan organel, rupturnya membran, dan keluarnya kandungan intraseluler ke
ekstraseluler. Iskemia serebral akan merangsang respon inflamasi yang
melibatkan astrosit dan mikroglia pada awalnya dan diikuti oleh neutrofil,
limfosit, dan monosit. Inflamasi dimulai saat terjadinya oklusi pada pembuluh
darah dan diperkuat pada saat terjadinya kematian sel pada parenkim otak.
mediator-mediator molekular yang diinduksi oleh inflamasi akibat iskemia
termasuk diantaranya molekul-molekul adhesi, sitokin, kemokin, dan protease.
Walaupun respon inflamasi awal yang terjadi saat iskemia akan memprovokasi
terjadinya kerusakan sekunder, proses inflamasi yang berikutnya diperkirakan
sebagai proktektor dari sel-sel saraf atau berkontribusi dalam perbaikan
jaringan.27

3.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Manifestasi klinis yang ditemukan sesuai pada bagian otak yang terjadi
iskemia. Tampilan umum yang sering terjadi adalah kelumpuhan yang lateral
pada kaki atau lengan, kelemahan otot wajah, kelainan berbicara (afasia atau
disartria), kehilangan penglihatan (kehilangan penglihatan monokular atau
homonymous hemianopia), penurunan kesadaran, ataksia, diplopia, vertigo, dan
nyeri kepala.16
Langkah pertama dalam mengidentifikasi stroke dengan benar adalah
penilaian neurologis yang cepat dan menyeluruh yang terdiri dari riwayat dan
pemeriksaan neurologis. Tanda-tanda vital harus dinilai lebih sering, dengan
perhatian terpusat pada tekanan darah dan denyut jantung. Penilaian kadar
glukosa darah juga penting untung dinilai dikarenakan kedua kondisi
hipoglikemi dan hiperglikemi damat bermanifestasi klinis seperti defisit
neurologis akut, yang menyerupai stroke. Berdasarkan pemeriksaan fisik,
beberapa cara yang telah divalidasi dapat menilai temuan klinis dari pasien.
Beratnya stroke sangat bergantung kepada besarnya volume otak yang
terpengaruh. Sebagaimana skoring yang telah dikeluarkan oleh NHISS (The
National Institute of Health Stroke Scale), skor ini membantu untuk
menentukan derajat stroke dan prediktor keluaran (outcome) pada pasien
stroke. Apabila didapatkan total skor 5 diindikasikan sebagai stroke derajat
ringan, total skor 6-20 diindikasikan sebagai stroke derajat sedang, dan total
skor 20 diindikasikan sebagai stroke derajat berat.28Sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan, yang diantaranya adalah pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiologi. Pada pemeriksaan laboratorium meliputi tes glukosa darah, penilaian
panel metabolisme dasar, pemeriksaan darah lengkap, enzim jantung, dan
penilaian koagulasi. 12 sadapan EKG seharusnya dilakukan pada semua pasien
stroke, ini merupakan tingkat evidensi kelas 1 dengan rekomendasi level B.
Setelah pasien dalam kondisi stabil, pemeriksaan seperti profil lipid dan
hemoglobin A1c seharusnya dilaksanakan untuk penilaian faktor risiko. Jika
tidak terdapat etiologi yang teridentifikasi, penilaian laboratorium yang lebih
jauh dilaksanakan, seperti staus hiperkoagulasi, gangguan genetik atau
metabolis, atau kondisi-kondisi inflamasi.
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan CT-Scan
otak tanpa kontras, bila dicurigai adanya stroke. Selain itu pemeriksaan CT-
Angiography dengan atau tanpa penilaian perfusi dapat dilakukan untuk
penilaian aliran darah bilamana terjadinya oklusi vaskular. Bagaiamanapun
juga, pemeriksaan tersebut menggunakan kontras, oleh karena itu perlu
dilakukan penilaian fungsi ginjal sebelum dilakukan pemriksaan tersebut.
Angiografi serebral mungkin juga dilaksanakan secara emergensi, bila perlu
dilakukannya intervensi vaskular. Pada beberapa tahun terakhir, MRI juga
merupakan salah satu alat yang berguna dalam penilaian stroke. MRI yang
lebih mutakhir dapat menilai difusi dari cairan, yang mana diketahui sebagai
diffusion-weighted imaging (DWI), yang dapat menilai stroke akut dengan
jarak sekitar beberapa jam sampai 1 minggu. Hal ini sangat membantu pada
pasien dengan onset 24 sampai 48 jam. MR Angigraphy juga merupakan
metode yang membantu dalam penilaian vaskulasi intra dan ekstrakrania,
walaupun derajat stenosis dari pembuluh darah terkadang dinilai berlebihan
bila dibandingkan dengan yang sebenarnya. Teknik lainnya yang dapat
dilakukan yang mana bersifat noninvasif adalah USG karotis dan USG doppler
transkranial .29
Di Indonesia tidak semua rumah sakit memiliki peralatan seperti Ct-Scan.
Tes diagnostik pengganti yang dapat digunakan adalah Algoritma Stroke
Gadjah Mada (ASGM) dan Siriraj Stroke Score (SSS).30
3.7 Penatalaksanaan
Tatalaksana yang komprehensif dibutuhkan dalam penanganan kasus
stroke iskemik maupun stroke hemoragik. Pentalaksanaan ini sendiri dapat
dibagi menjadi dua yaitu tatalaksana umum dan tatalaksana khusus pada stroke
iskemik menurut guideline stroke tahun 2011 oleh perdossi.31
A. Tatalaksana Umum di IGD dan Ruang rawat
1. Stablisasi jalan nafas dan pernafasan
2. Stabilisasi hemodinamik
3. Pengendalian peninggian tekanan intrakranial
4. Pengendalian kejang
5. Pengendalian suhu tubuh
6. Terapi cairan
7. Nutrisi

B. Tatalaksana khusus stroke iskemik


1. Pengobatan terhadap hipertensi pada stroke akut
2. Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak
direkomendasikan pada kebanyakan kasus stroke iskemik
3. Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut
4. Pemberian antikoagulan
a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke
ulang awal, menghentikan perburukan defisit neurologis, atau
memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut tidak
direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien dengan stroke
iskemik akut.
b. Antikoagulasi urgent tidak direkomendasikan pada penderita stroke
akut derajat sedang sampai berat karena meningkatnya risiko
komplikasi perdarah intrakranial
c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dalam jangka waktu 24 jam
bersamaan dengan pmeberian rtPA intravena tidak direkomendasikan
d. Secara umum pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah
stroke iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih
merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke
iskemik akut dengan risiko tinggi terjadinya reembolisasi, diseksi
aorta atau stenosis berat arteri karotis sebelum pembedahan.
Kontraindikasi nya adalah infark besa >50%, hipertensi yang tidak
dapat dikontrol, dan perubahan mikrovaskuler otak yang luas.

5. Pemberian antiplatelet
a. Pemberian aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 sampai 48
jam setelah awitan stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik
akut.
b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti intervensi akut pada
stroke seperti rtPA intravena.
c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan
d. Pemberian aspirin dalam 24 jam setelah pemberian trombolitik tidak
direkomendasikan
e. Pemberian klopidogrel saja atau tambahan dengan aspirin tidak
dianjurkan kecuali bila terdapat angina pektoris tak stabil, non q-
wave MI, pengobatan harus dilanjutkan sampai 9 bulan.
3.8 Komplikasi
Komplikasi stroke:32
- Infeksi: Infeksi sering terjadi pada pasien stroke dan sering berhubungan
dengan keparahan klinis stroke. Imunosupresi pasca stroke mungkin
menyebabkan aktivasi asympathico-adrenal yang dapat dijumpai setelah
stroke yang berat dan berkontribusi menyebabkan infeksi pada pasien
stroke. Infeksi yang paling sering adalah ISK dan Pneumonia.
- Tromboemboli vena (Deep venous thromboembolism and pulmonary
embolism): frekuensi dan penyebab DVT dilaporkan terjadi pada 10-15%
pasien dan emboli pulmonal pada 3-4% pasien setelah stroke. Sejumlah
faktor yang meningkatkan resiko tromboemboli vena adalah imobilisasi,
dan juga komorbiditas yang meningkatkan resiko termasuk kondisi
neoplastik serta predisposisi genetik untuk tromboemboli vena.
- Komplikasi pada jantung: Komplikasi jantung adalah komplikasi yang
paling umum terjadi setelah stroke, seperti aritmia, dalam bentuk atrial
fibrilasi, penyakit jantung iskemik dan gagal jantung kongestif.
- Resiko jatuh: pasien dengan stroke beresiko tinggi untuk jatuh. Usia tua,
infeksi, gangguan kognitif, depresi, gangguan penglihatan, gangguan
keseimbangan, tungkai yang lemah, gangguan sensorik dapat meningkatkan
resiko jatuh.
- Lower urinary symptoms
- Konstipasi
- Delirium
- Depresi: hilangnya harapan, hilangnya kesenangan, kesulitan tidur dan
merasa bersalah akan kondisi dirinya dan selalu menyendiri.

3.9 Prognosis
Prognosis setelah terjadinya stroke tergantung kepada usia, etiologi stroke
itu sendiri, derajat keparahan deifisit neurologis dan tingkat ketergantungan, dan
beban komorbiditas. pada penelitian kohort yang dilakukan di US terdapat 10.000
pasien yang dirawat dengan stroke iskemik, memiliki tingkat mortalitas pada tahun
pertama dan tahun keempat secara berturut-turut sebesar 24,5% dan 41.3 %, dan
dengan tingkat kekambuhan sebesar 8.0 % dan 18.1 % secara berurutan.
Kematian yang lebih awal biasanya terjadi dikarenakan komplikasi
neurologis seperti edema serebri, dan peningkatan tekanan intrakranial atau
komplikasi medis dari ketergantungan dan imobilisasi. Mortalitas jangka panjang
biasanya disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. 2/3 penderita stroke yang
bertahan mempunyai disabilitas kronik. Sebagai tambahan, pasien dengan stroke
meningkatkan risiko untuk terjadinya infark miokard, trombosis vena dalam,
infeksi traktus urinarius, fraktur pinggang, pneumonia. Komplikasi umum pada
stroke dalam jangka waktu yang lebih panjang adalah gangguan kognitif dan
demensia, depresi dan sindroma nyeri kronik.33

BAB IV
ANALISA KASUS

Telah diperiksa seorang perempuan berusia 42 tahun, status menikah,


pekerjaan IRT, MRS tanggal 19 Oktober 2020 dengan keluhan kelemahan anggota
gerak kiri sejak ± 2 bulan SMRS. Pada pasien ini didiagnosis berupa stroke non
hemoragik berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Seperti yang diketahui, stroke merupakan suatu penyakit yang disebabkan


oleh multifaktoral. Faktor resiko sendiri dibagi menjadi faktor resiko yang dapat
dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Faktor resiko yang pada pasien ini dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat meningkatkan resiko terjadinya stroke
berupa hipertensi. Berkaitan dengan hipertensi diketahui bahwa hipertensi dapat
menyebabkan terjadinya perubahan pada pembuluh darah berupa penebalan tunika
intima dan peningkatan permeabilitas endotel. Pada pasien ini hipertensi pasien
diketahui 1 tahun SMRS, dan dari anamnesis didapatkan bahwa pasien jarang
berobat untuk hipertensinya.Faktor resiko ini meningkatkan terjadinya stroke pada
pasien ini dengan cara meningkatkan kejadian arterosklerosis yang menjadi
patofisiologi terjadinya stroke.

Dari anamnesis didapatkan beberapa hal penting yang mengarah ke stroke


non hemoragik yaitu adanya kelemahan anggota gerak kiri yang terjadi secara
mendadak saat terbangun dari tidurnya, keluhan disertai mulut merot ke kiri, lipatan
senyum kiri tidak ada, lidah ke kiri. Keluhan tidak disertai dengan muntah(-),
demam (-), kejang (-), penurunan kesadaran (-), trauma (-), rasa kebas atau
kesemutan, gangguan BAK dan BAB (-). Kelemahan anggota gerak mendadak
hanya dapat berasal dari dua etiologi yaitu trauma atau vaskuler. Pada pasien ini
tidak ada riwayat trauma sehingga diagnosis banding teratas adalah stroke yang
disebabkan oleh gangguan vaskuler.

Kecurigaan stroke non hemoragik terlihat dari adanya defisit neurologis


fokal pada pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

1. Kesadaran : GCS 15, TD : 150/90 mmhg, RR : 20 x/menit, N : 80x/i, T :


36,6 ºC. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tidak ada penurunan
kesadaran pada pasien, tekanan darah 150/90 mmHg merupakan hipertensi
grade II, tidak ada demam yang dapat menyingkirkan diagnosa akibat
infeksi. Berdasarkan konsensus penatalaksanaan hipertensi 2019 oleh
PERKI, pasien ini didiagnosa hipertensi grade II. Tidak ada tanda-tanda
afasia pada pasien ini.
2. Dari pemeriksaan neurologis didapatkan adanya parase motorik N.VII tipe
sentral karena kerutan dahi masih ada dan hanya ada sudut kiri bibir yang
tertinggal, gigi kiri tidak terlihat, lipatan senyum kiri tidak terlihat yang
menandakan adanya lesi di UMN dan tidak ada gangguan pengecapan
maupun gangguan pada pemeriksaan sensorik
3. Dari pemeriksaan neurologi didapatkan adanya parase N.XII dilihat kaarena
saat menjulurkan lidah terdapat deviasi ke kiri dengan papil yang tidak
atrofi dan tidak ada fasciculasi.
4. Dari pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan motorik superior 5/4 et
inferior 5/4 dan tonus otot normal sehingga disebut hemiparesis sinistra.
Sesuai dengan teori dimana tampilan umum yang sering terjadi adalah
kelumpuhan yang lateral pada kaki atau lengan, kelemahan otot wajah,
kelainan berbicara (afasia atau disartria), kehilangan penglihatan
(kehilangan penglihatan monokular atau homonymous hemianopia),
penurunan kesadaran, ataksia, diplopia, vertigo, dan nyeri kepala.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat diperkirakan topis pada pasien
ini di hemisfer serebri dextra. Dapat terkena dilobus frontal/parietal/pons/medula
oblongata karena adanya hemiparesis yang dapat berasal dari lobus frontal/parietal
serta gangguan nervus VII dan XII yang dapat berasal dari batang otak. Sehingga
arteri yang diduga mengalami iskemik dapat berupa cabang sirkulasi anterior : a.
Serebri anterior/ media atau cabang sirkulasi posterior : a.pons/arteri yang
memperdarahi medula oblongata. Namun diagnosis lebih megarah pada hemisfer
cerebri dextra dan untuk membedakan lokasi lesi dan jenis stroke secara pasti harus
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa CT scan kepala, dimana CT scan
merupakan gold standar dari penegakan diagnosa stroke..

Penegakan diagnosis pasien ini merupakan stroke non hemoragik ec


trombus dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik berupa adanya
defisit neurologis fokal/global yang terjadi secara mendadak sesuai dengan daerah
yang terkena. Stroke non hemoragik berupa trombus karena terjadi saat pasien
beristirahat.
Tatalaksana pada pasien ini meliputi non farmakologi dan farmakologi. Non
farmakologi berupa Pemantuan kesadaran dan tanda vital, Pemantauan
perkembangan gejala defisit neurologis serta edukasi keluarga. Edukasi keluarga
terutama penting untuk mengontrol faktor resiko pada pasien ini berupa tekanan
darahnya.
Kemudian medikamentosa pada pasien ini diberikan aspirin sebagai anti
agregrasi trombosit sebagai pencegahan sekunder. Aspirin akan membantu
mencegah platelet membuat darah terlalu kental, sehingga mengurangi risiko
penggumpalan. Enzim cyclooxygenase (COX)-1, bertanggung jawab untuk
pembentukan prostaglandin (PG) H2, prekursor tromboksan (TXA2). Aspirin
bekerja menghambat COX-1, dimana terjadi inaktivasi platelet COX-1 dan
penghambatan fungsi platelet TXA sehingga tidak terbentuk platelet. Dengan dosis
30-325 mg per hari. Disarankan satu kali per hari sebanyak 325 mg kemudian untuk
hari selanjutnya dapat diberikan 160mg. Pemberian amlodipin pada pasien ini
bertujuan untuk mengontrol dari tekanan darah pasien. Amlodipin merupakan obat
anti hipertensi golongan calcium channel blocker. Berdasarkan alogaritma
penanganan hipertensi dari JNC 8 bahwa pasien hipertensi non DM dan non CKD
dengan usia < 60 tahun dapat diberikan terapi anti hipertensi dari golongan ACE
inhibitor, Angiotensin Reseptor Blocker (ARB), Calcium Channel Blocker (CCB)
diberikan secara tunggal maupun kombinasi. Pemberian Mecobalamin (vitamin
B12) yang memiliki peranan penting dalam mengurangi kadar homosistein.
Homosistein adalah asam amino alami, yang bila berada dalam kadar yang tinggi
dalam darah, dapat meningkatkan resiko penyumbatan pembuluh darah
(aterosclerosis). Kondisi ini dikenal dengan hiperhomosisteinemia. Seseorang
dengan kadar homosistein yang tinggi bisa saja mendapatkan aterosclerosis di
pembuluh darah vena (seperti trombosis vena bagian dalam dan emboli paru) atau
di arteri. Hal ini diketahui bahwa jumlah yang tinggi dari homosistein dapat
merusak lapisan pembuluh darah. Kerusakan inilah yang dapat menyebabkan
aterosclerosis. Salah satu penyakit yang disebabkan karena adanya gangguan
pembuluh darah yaitu hipertensi yang berdampak terhadap peningkatan resiko
penyakit jantung dan stroke Pemberian lansoprazole (Protont pump inhibitor)
untuk mencegah efek samping obat aspilet yang dapat menyebabkan stress ulcer
pada pasien ini. Prognosis pada pasien ini yaitu dubia ad bonam
BAB V

KESIMPULAN

Stroke adalah gangguan fungsi saraf akut karena gangguan sirkulasi darah
serebral yang dapat terjadi beberapa detik sampai beberapa jam sehingga
menimbulkan gejala defisit neurologi fokal atau global sesuai daerah yang terkena.
Pada kasus ini stroke yang terjadi adalah stroke non hemoragik. Stroke non
hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh menurunnya/ tidak adanya aliran
darah ke otak akibat obstruksi pada pembuluh darah pada suatu area otak sehingga
area tersebut terjadi penurunan reperfusi dan menyebabkan suatu infark. Stroke non
hemoragil dapat terjadi karena trombus atau emboli.

Banyak faktor resiko yang mengakibatkan seseorang terkena stroke yaitu :


Tidak dapat dimodifikasi (usia, jenis kelamin, gen, ras) dan dapat dimodifikasi
(riwayat stroke, penyakit jantung coroner, hipertensi, diabetes mellitus, TIA,
hiperdislipidemia, obesitas, merokok, asam urat). Pada pasien ini terdapat faktor
resiko berupa usia, jenis kelamin, hipertensi dan merokok.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda klinis serta


gambaran radiologis. Pencitraan dengan CT-Scan mendukung penegakan diagnosis
stroke non hemoragik. Pada pasien ini sudah memenuhi gejala dan tanda pada
stroke non hemoragik dan hasil pemeriksaan CT-Scan juga menunjang adanya
stroke non hemoragik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sacco RL, Kasner SE, Broderick JP, Caplan LR, Connors JJ, Elkind MSV, et
al, 2013. An updated definition of stroke for the 21st century. Stroke, 44:
2064-2089.
2. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP, 2014. Adam’s and victor’s principles of
neurology. New York: McGraw-Hill Education.
3. Hanchaiphiboolkul S, Puthkhao P, Towanabut S, Tantirittisak T,
Wangphonphatthanasiri K, Termglinchan T, et al, 2014. Factors predicting
high estimated 10-year stroke risk: thai epidemiologic stroke study. Journal of
Stroke & Cerebrovascular Disease, 27(3): 1969-1974.
4. Go AS, Mozaffarian D, Roger VL, Benjamin EJ, Berry JD, Blaha MJ, et al,
2014. Heart Disease and Stroke Statistics 2014 Update A Report From the
American Heart Association. Diunduh dari http://circ.ahajournals.org/ diakses
pada 8Juli 2018.
5. Dinata CA, Safrita Y, Sastri S, 2013. Gambaran faktor risiko dan tipe stroke
pada pasien rawat inap di bagian penyakit dalam RSUD Kabupaten Solok
Selatan periode 1 Januari 2010 - 31 Juni 2012. Jurnal Kesehatan Andalas: hal
57-67
6. Depkes RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Diakses pada 8 Juli 2018 diunduh
dari http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf.
7. Dinkes kota Padang, 2011. Profil Kesehatan Tahun 2012. Diakses pada 9 Juli
2018 diunduh dari https://dinkeskotapadang1.wordpress.com/profil-
kesehatan/profil-tahun-12-edisi-13/narasi-profil-12/.
8. Ferri FF, 2015. Ferri’s clinical advisor 2015: 5 books in 1. Philadelphia:
Elsevier.
9. Actylise. Epidemiology Stroke (online). 2018 (diakses 13 Juli 2018). Diunduh
dari: URL: http://actilyse.com/overview/epidemiology
10. Snell RS. Neuroanatomi klinik. Edisi kedua.Jakarta: EGC. 1996
11. Price, sylvia anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit.Ed.
4.jakarta : EGC, 1995.hal 1119-1122
12. PERDOSI. Standar Pelayanan Medis (SPM) dan Standar Prosedur
Operasional (SPO) Neurologi.2006.
13. Duus P Signs and síndromes of cerebral circulatory deficiencias. Dalam: Duus
P. Topical diagnosis in neurology: anatomy-physiology-signs-symptoms (2nd
revised.). New York: Thieme Medical Publishers, Inc. 1989.h. 298-300.
14. Biller J, Love BB, Schneck MJ, 2012. Vascular diseases of the nervous system
ischemic cerebrovascular disease. Dalam (Daroff RB, et al) Bradley’s
Neurology in Clinical Practice. Philadelphia: Elsevier, 1003-1053.
15. Hisham MS, Bayraktutan U, 2013. Epidemiology, pathophysiology, and
treatment of hypertension in ischaemic stroke patients. Journal of Stroke and
Cerebrovascular Disease, 22(7): e4-e14.
16. Luitse MJA, Biessels GJ, Rutten GEHM, Kappelle LJ, 2012. Diabetes,
hyperglycaemia, and acute ischaemic stroke. Diakses pada 10 Juli
2018.Diunduh dari http://search.proquest.com/docview/922571645?
accountid=50268.
17. Pollack A, Harrison C, Henderson J, Miller G, 2014. Stroke. Diakses pada 10
Juli 2018.Diunduh dari http://search.proquest.com/docview/1527703607?
accountid=50268.
18. UK Stroke Association, 2015. State of the Nation Stroke statistics. Diakses
pada 9 Juli 2018 diunduh dari http://stroke.org.uk.
19. Lindgren A, 2014. Risk factors. Dalam (Norrving B, eds) Oxford Textbook of
Stroke and Cerebrovascular Disease. Oxford: Oxford University Press, 9-18.
20. Hisham MS, Bayraktutan U, 2013. Epidemiology, pathophysiology, and
treatment of hypertension in ischaemic stroke patients. Journal of Stroke and
Cerebrovascular Disease, 22(7): e4-e14.
21. Hansson GK, Hamsten A, 2012. Atherosclerosis, thrombosis, and vascular
biology. Dalam (Goldman L, Schafer AI) Goldman-Cecil Medicine, 24th
edition. Philadelphia: Elsevier, 409-412.
22. Mardjono M, Sidharta P, 2012. Neurologi klinis dasar : Mekanisme Gangguan
Vaskular Susunan Saraf. Jakarta, hal 296-273.
23. Qureshi AI, Caplan LR, 2014. Intracranial atherosclerosis. The Lancet,
383(9921): 984-998.
24. Mitchell RN, Schoen FJ, 2010. Blood vessels. Dalam (Kumar V, Abbas AK,
Fausto N, Aster JC, eds) Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease, 8th
edition. Philadelphia: Elsevier, 496-506.
25. Brown CT, 2014. Penyakit aterosklerotik koroner. Dalam (Price SA, Wilson
LM, eds) Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6.
Penerjemah: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, dan Dewi
Asih Mahanani. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 576-580.
26. Tang XN, Zheng Z, Yenari MA, 2007. Pathogenesis of brain injury following
ischemic stroke. Dalam (Bhardwaj A, Alkayed NJ, Kirsch JR, Traystman RJ,
eds) Acute Stroke: Bench to Bedside. New York: Informa Healthcare USA,
187-193.
27. Greenberg DA, Aminoff MJ, Simon RP, 2012. Clinical neurology. New York:
McGraw Hill Lange.
28. Rockman CB, Maldonado TS, 2014. Cerebrovascular disease: general
considerations. Dalam (Cronenwett JL, Johnston KW, eds) Rutherford’s
Vascular Surgery, 8th Edition. Philadelphia: Elsevier, 1456-1472.
29. Moheet AM, Katzan I, 2010. Stroke, Disease management project 2010.
30. Singh H, Gupra JB, Gupta MS, Aggarwal R. Assesment of utility of Siriraj
Stroke Score (SSS) di BD Sharma PGIMS hospital, Rohtak, India. Med J
Indones.2001:10(3);164-8.
31. Pokdi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Guideline stroke
tahun 2011. 1-132.
32. Norrving, B0. Stroke and Cerebrovascular Disorders. United Kingdom: Oxford
University Press; 2014.
33. Mcgrath E, canavan L, O’donell M, Stroke. Dalam (Hoffman R, Benz EJ,
Silberstein LE, Heslop HE, Weitz JI, Anastasi J, et al ) Hematology: Basic
Practice and Principles. Philadephia : Elsevier. 2017; 2122-2141.
34. Li J, et al. Early Consciousness disorder in acut ischemic stroke: incidence,
risk factors and outcome. BMC Neuro. 2016(1):140

Anda mungkin juga menyukai