Anda di halaman 1dari 25

CASE REPORT

BRONKIEKTASIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Paru
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :

dr. Riana Sari, Sp.P.

Diajukan Oleh :

Najmarani Devi Firdaus, S.Ked J510181030

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

1
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Penatalaksanaan
 O2 2-3 lpm
 Nebul Velutin plus + Pulmicort 0,5/8jam
 Inj RL 15 tpm
 Inj Cefoperazone 1gr/12jam
 Inj Metilprednisolon 62,5mg/24jam
 Inj Ranitidin 1amp/12jam
 Digoxin 1*1
 Miniaspi 1*1

2
Follow Up

Tgl SOA P
13 Juli S/ pasien datang ke IGD BBKPM - O2 2 lpm
2018 Surakarta dengan keluhan batuk (+) - Nebul
4 HSMRS, sesak napas (+) sejak 3 Combivent/Velutin
(IGD) HSMRS, Dahak putih kehijauan, plus + Pulmicort 0,5
demam (+), nyeri dada (+) sebelah 1:1/8jam
kiri, sakit kepala (-), pusing (-), mual - Inj RL 15 tpm
(-), muntah (-). - Inj Cefoperazone
O/ 1gr/12jam
KU : sedang - Inj Metilprednisolon
KS : CM 62,5mg/24jam
TD : 122/70 mmHg - Inj Ranitidin
1amp/12jam
N : 40 x/mnt,
- Digoxin 1*1
T : 36,4 - Miniaspi 1*1
RR : 30 x/mnt
SpO2 : 96%
K/L : normocephal, JVP normal,
KGB (-)
Thorax : Paru :
I : tidak ada ketinggalan gerak, dada
kanan=kiri
P :fremitus kanan=kiri normal,
P : suara perkusi sonor / sonor
A: SDV (+/+), rokhi (-/-), wheezing
(-/-), crackles (-/-)
Cor : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn
Advice: Px lab

A/
Dispneau e.c Pneumonia dd
Bronkiektasis terinfeksi

3
13 Juli S/ batuk (+), sesak berkurang, P/
2018 Dahak putih kehijauan, demam (+), - O2 2-3 lpm
nyeri dada (+) sebelah kiri, sakit - Nebul Velutin plus +
(17.00) kepala (-), pusing (-), mual (-), Pulmicort 0,5/8jam
muntah (-). BAK sedikit. Saat batuk - Inj RL 15 tpm
ada benjolan bersifat nyeri di bagian - Inj Cefoperazone
inguinal sebelah kanan, keringat 1gr/12jam
dingin di malam hari (+) - Inj Metilprednisolon
62,5mg/24jam
O/ - Inj Ranitidin
KU : baik 1amp/12jam
KS : CM - Digoxin 1*1
TD : 119/77 mmHg - Miniaspi 1*1
N : 68 x/mnt,
T : 37,9
RR : 23 x/mnt
SpO2 : 98%
K/L : normocephal, JVP normal,
KGB (-)
Thorax : Paru :
I : tidak ada ketinggalan gerak, dada
kanan=kiri
P :fremitus kanan=kiri normal,
P : suara perkusi sonor / sonor
A: SDV (+/+), rokhi (-/-), wheezing
(-/-), crackles (-/-)
Cor : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn
Px lab:
AST: 17,3
ALT: 11
Ureum: 27,8
Glukosa: 114,34
Cr PAB: 0,96
A/
Dispneau e.c Pneumonia dd
Bronkiektasis terinfeksi

4
14 Juli S/ batuk (++), kualitas tidur rendah P/
2018 (hanya pukul 23.00-01.0), sesak - O2 2-3 lpm
berkurang, ampek (+), keringat - Nebul Velutin plus +
(05.00) malam (+), dahak putih kehijauan, Pulmicort 0,5/8jam
nyeri dada (+) sebelah kiri menjalar, - Inj RL 15 tpm
sakit kepala (-), pusing (-), mual (-), - Inj Cefoperazone
muntah (-). BAK sedikit. Saat batuk 1gr/12jam
ada benjolan bersifat nyeri di bagian - Inj Metilprednisolon
inguinal sebelah kanan, keringat 62,5mg/24jam
dingin di malam hari (+), penurunan - Inj Ranitidin
BB sejak 2 bulan terakhir 1amp/12jam
- Digoxin 1*1
O/ - Miniaspi 1*1
KU : baik
KS : CM Advice:
TD : 152/80 mmHg - Spironolacton 25mg
1x1 (1-0-0)
N : 84 x/mnt,
- Nabu NAC 1/3 amp
T : 36,6 (ditambahkan tiap
RR : 28 x/mnt nebu)
SpO2 : 94% - Px thorax
K/L : normocephal, JVP normal,
KGB (-)
Thorax : Paru :
I : tidak ada ketinggalan gerak, dada
kanan=kiri
P :fremitus kanan=kiri normal,
P : suara perkusi sonor / sonor
A: SDV (+/+), rokhi (-/-), wheezing
(-/-), crackles (-/-)
Cor : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn
Px lab:
AST: 17,3
ALT: 11
Ureum: 27,8
Glukosa: 114,34
Cr PAB: 0,96
A/
Dispneau e.c Pneumonia dd
Bronkiektasis terinfeksi, Hernia
inguinalis dextra reponibilis

5
15 Juli S/ batuk (++), keringat malam (+), P/
2018 dahak putih kehijauan, nyeri dada - O2 2-3 lpm
(+) sebelah kiri menjalar, sakit - Nebul Velutin plus +
(05.00) kepala (-), pusing (-), mual (-), Pulmicort 0,5/8jam
muntah (-). BAK sedikit. Saat batuk - Inj RL 15 tpm
ada benjolan bersifat nyeri di bagian - Inj Cefoperazone
inguinal sebelah kanan, keringat 1gr/12jam
dingin di malam hari (+), penurunan - Inj Metilprednisolon
BB sejak 2 bulan terakhir 62,5mg/24jam
- Inj Ranitidin
O/ 1amp/12jam
KU : baik - Digoxin 1*1
KS : CM - Miniaspi 1*1
TD : 118/67 mmHg - Spironolacton 25mg
1x1 (1-0-0)
N : 77 x/mnt,
- Nabu NAC 1/3 amp
T : 36,4 (ditambahkan tiap
RR : 20 x/mnt nebu)
SpO2 : 99% - Px thorax
K/L : normocephal, JVP normal,
KGB (-) Advice:
Thorax : Paru : Tx lanjut
I : tidak ada ketinggalan gerak, dada
kanan=kiri
P :fremitus kanan=kiri normal,
P : suara perkusi sonor / sonor
A: SDV (+/+), rokhi (-/-), wheezing
(-/-), crackles (-/-)
Cor : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn
Px lab:
AST: 17,3
ALT: 11
Ureum: 27,8
Glukosa: 114,34
Cr PAB: 0,96
A/
Dispneau e.c Pneumonia dd
Bronkiektasis terinfeksi, Hernia
inguinalis dextra reponibilis

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

7
A. Tatalaksana (Bronkiektasis)
a. Non farmakologis
- Secara keseluruhan, tujuan terapi adalah mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan mencegah eksaserbasi.1 Perbaikan bersihan saluran
napas adalah penatalaksanaan yang utama pada bronkiektasis7 karena dapat
memotong lingkaran setan inflamasi dan infeksi. Bersihan saluran napas
dapat dilakukan dengan obat inhalasi (misalnya salin hipertonik 7%)
dipadukan dengan fisioterapi dada, seperti alat oscillatory positive
expiratory pressure (PEP), high-frequency chest wall oscillation (HFCWO),
autogenic drainage, bernapas aktif dengan batuk yang efektif, atau perkusi
dada manual1.
- Rehabilitasi paru bermanfaat pada pasien dengan keluhan sesak saat
aktifitas. Tujuan latihan fisik adalah untuk bersihan saluran napas.
Penelitian pada 111 pasien dengan bronkiektasis non fibrosis kistik dan
sesak saat aktifitas dengan latihan fisik berjalan kaki 2 kali seminggu,
bersepeda, dan latihan penguatan, menunjukkan perbaikan yang signifikan
pada tes jalan 6 menit dan skor kualitas hidup. Pada penelitian lain
menunjukkan juga penurunan kunjungan ke instalasi gawat darurat dan poli
rawat jalan serta menurunkan kebutuhan bronkodilator kerja cepat.1

b. Farmakologis
- Mukolitik digunakan untuk mengurangi kekentalan sputum8. Bronkodilator
menunjukkan perbaikan yang signifikan terhadap FEV1 beberapa pasien
dengan bronkiektasis. Namun, secara keseluruhan tidak banyak data yang
mendukung rekomendasi bronkodilator kerja cepat pada bronkiektasis.1
Beta adrenergic agonis dan methylxanthine10, selain mempunyai efek
bronkodilator, juga dapat merangsang bersihan mukosilier pada pasien
dengan penyakit saluran napas kronis, dengan cara meningkatkan frekuensi
gerakan silia, mengubah sekresi saluran napas, atau keduanya.4
- Anti inflamasi yang sering digunakan adalah kortikosteroid dan makrolid.
Kortikosteroid sistemik tidak mengubah penurunan FEV1 pada

8
bronkiektasis non fibrosis kistik dan menyebabkan efek samping lebih besar
dibandingkan manfaatnya. Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi (misalnya
fluticasone 1000 µg/ hari) menurunkan volume sputum dan petanda
inflamasi dalam sputum, namun tidak memperbaiki faal paru dan tidak
menurunkan frekuensi eksaserbasi bronkiektasis serta lebih sering
menyebabkan efek samping seperti katarak dan osteoporosis. Budesonide
dosis medium (640 µg/hari) dan formoterol dibandingkan dengan
budesonide dosis tinggi (1600 µg) pada pasien dengan bronkiektasis non
fibrosis kistik menurunkan keluhan sesak, menurunkan kebutuhan inhalasi
beta agonis kerja cepat, meningkatkan jumlah hari bebas batuk, dan
memperbaiki skor kualitas hidup.1
- Macrolide mempunyai efek anti inflamasi dan imunomodulator pada
inflamasi saluran napas dan stres oksidatif, antara lain dengan memodifikasi
produksi mukus, menghambat produksi biofilm, supresi mediator inflamasi,
menurunkan rekruitmen dan fungsi lekosit, serta menghambat produksi
superoxide dan nitric oxide.1,7 Penelitian EMBRACE (Effectiveness of
Macrolides in patients with Bronchiectasis using Azithroymycin to Control
Exacerbations) menunjukkan bahwa azitromisin 500 mg 3 kali seminggu
selama 6 bulan menurunkan eksaserbasi, meningkatkan kualitas hidup, serta
menurunkan petanda inflamasi seperti C-reactive protein dan lekosit.
Penelitian BAT (Bronchiectasis and long-term Azythromycin Treatment)
menunjukkan bahwa azitromisin 250 mg setiap hari selama 12 bulan
menurunkan eksaserbasi, meningkatkan kualitas hidup, dan memperbaiki
FEV1. Penelitian BLESS (Bronchiectasis and Low dose Erythromycin
Study) menunjukkan bahwa eritromisin etilsuksinat 400 mg (erythromycin
base 250 mg) menurunkan eksaserbasi, menurunkan volume sputum, dan
memperbaiki FEV1.1

9
10
11
- Antibiotik digunakan untuk eradikasi Pseudomonas dan/atau MRSA,
supresi kolonisasi bakteri kronis, atau untuk penatalaksanaan eksaser-basi.
Pedoman British Thoracic Society (BTS) merekomen- dasikan eradikasi
Pseudomonas dan MRSA dengan antibiotik saat pertama kali
teridentifikasi, dengan tujuan memotong lingkaran setan infeksi, inflamasi,
dan kerusakan saluran napas. White dkk melakukan penelitian dengan
memberikan terapi eradikasi yang awal dan agresif pada pasien
bronkiektasis non fibrosis kistik dengan infeksi Pseudomonas. Pasien
menerima siprofloksasin oral 500 mg 2 kali sehari selama 3 bulan atau
kombinasi ceftazidim dan aminoglikosida iv selama 2 minggu. Kedua
kelompok kemudian menerima nebul colistin selama 3 bulan setelah terapi
sistemik. Pseudomonas awalnya mengalami eradikasi sebanyak 80%
pasien. Pada pemantauan terakhir (median 14,3 bulan), 50% pasien tetap
bebas Pseudomonas8.

12
13
14
- Tujuan terapi antibiotik supresi adalah untuk menurunkan beban bakteri
pada pasien dengan eradikasi yang gagal, memperbaiki gejala, dan
menurunkan frekuensi eksaserbasi. Antibiotik inhalasi aman dan efektif
dalam menurunkan muatan bakteri sputum untuk jangka panjang. Beberapa
penelitian pada bronkiektasis non fibrosis kistik menunjukkan bahwa
antibiotik inhalasi seperti tobramycin, gentamycin, aztreonam, atau
ciprofloxacin menurunkan kepadatan Pseudomonas, eksaserbasi, dan rawat
inap.1 Penelitian oleh Kiran dkk9 menunjukkan bahwa aminoglikosida,
cephalosporin, dan fluroquinolone merupakan antibiotik yang paling sering
digunakan untuk bronkiektasis akibat tuberkulosis.

15
16
- Pembedahan pada bronkiektasis dilakukan pada kasus yang gagal dengan
pengobatan medis,8 penyakit lokal dengan gejala yang berat, penyakit yang
dapat dibedah dengan batuk darah masif yang berasal dari satu segmen atau
lobus, penyakit yang dapat dibedah yang menyebabkan episode infeksi akut
yang berulang.4 Prosedur bedah antara lain lobektomi, segmentektomi, atau
pneumektomi. Penelitian menunjukkan bahwa 75% pasien asimtomatik
setelah pembedahan, 21% terdapat perbaikan gejala, dan 4% tidak ada
perubahan atau memburuk.8 Pada batuk darah yang membahayakan jiwa
dapat dilakukan embolisasi arteri bronkus.4,8 Transplantasi paru yang
dilakukan pada pasien bronkiektasis difus (terutama fibrosis kistik) pada
dekade terakhir menunjukkan perbaikan ketahanan hidup yang signifikan.
Kandidat transplantasi adalah pasien dengan risiko meninggal dalam 2
tahun terakhir jika tidak dilakukan transplantasi.4
B.

17
C. Tata Laksana (Penumonia)
Penatalaksanaan pneumionia komuniti menurut (PDPI, 2014) dibagi
menjadi:
a. Penderita rawat jalan
- Pengobatan suportif / simptomatik, meliputi:
 Istirahat di tempat tidur
 Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
 Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
 Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
- Pemberian antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
- Pengobatan suportif / simptomatik, meliputi:
 Pemberian terapi oksigen
 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
 Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
- Pengobatan suportif / simptomatik
 Pemberian terapi oksigen
 Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
 Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
- Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
- Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
- Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di
ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat
di Ruang Rawat Intensif. Bila dengan pengobatan secara empiris tidak
ada perbaikan / memburuk maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri
penyebab dan uji sensitiviti.

18
Tabel 2. Tatalaksana Pneumonia menurut PDPI.

19
D. Tata Laksana (Hernia ingulinalis dextra reponible)
Terapi pililihan untuk hernia inguinalis lateralis adalah operasi, karena
hernia inguinalis lateralis tidak bisa sembuh secara spontan. Operasi ini
harus segera dilakukan secera elektif setelah diagnosis di tentukan,
karena akan beresiko tinggi terjadinya inkarserata di kemudian hari
setelah terutama selama tahun pertama kehidupan. Perbaikan elektif
hernia inguinalis lateralis dapat dilakukan pada penderita rawat jalan12.
Terdapat kontroversi tentang kapan dilakukan eksplorasi pangkal paha
kontralateral pada bayi dan anak dengan hernia inguinalis lateralis
unilateral. Insiden prosesus vaginalis yang terbuka sekitar 60% pada bayi
2 bulan dan sekitar 40% pada umur 2 tahun. Prosesus vaginalis yang
terbuka di temukan pada 30% populasi umum. Setelah perbaikan hernia
unilateral pada anak, hernia kontralateral menjadi 30% kasus. Jika
perbaikan unilateral pada sisi kiri, peluang terjadinya hernia sisi kanan
40%, kemungkinan karena penurunan testis pada sisi kanan lebih lambat.
Resiko terjadinya inkarserata lebih tinggi pada anak umur 1 tahun tahun,
biasanya terjadi pada umur 6 bulan12. Berdasarkan data ini, kebanyakan
ahli bedah anak menganjurkan eksplorasi inguinal bilateral pada semua
anak laki-laki kurang dari 1 tahun, anak wanita dengan umur kurang dari
2 tahun. Anak laki-laki dan wanita yang datang dengan hernia inguinalis
sisi kiri beresiko terjadi hernia kontralateral dan harus dilakukan
eksplorasi sisi kanan12. Berdasarkan hasil penelitian di RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado, penanganan hernia inguinalis lateralis yang
paling sering dilakukan ialah herniotomi disertai penggunaan mesh
(73,3%)13.

20
E. Follow up

21
F. Komplikasi
Komplikasi bronkiektasis antara lain:
- pneumonia berulang,
- abses paru,
- empiema,
- batuk darah,
- pneumothoraks,
- gagal napas,
- kor pulmonal,
- dan infeksi intrakranial (abses serebral atau ventrikulitis).
- Bronkiektasis yang lama dan luas dapat menyebabkan amiloidosis.
- Infeksi pada eksaserbasi bronkiektasis dapat berlanjut menjadi sepsis.

G. Prognosis
Prognosis pada pasien bronkiektasis beragam tergantung penyebab spesifik
dari penyakit tersebut. Namun dengan terapi yang tepat, kebanyakan pasien
dapat hidup normal kembali tanpa disabilitas yang berarti11.

H. Edukasi dan Konseling


• Pola hidup sehat
• Tidak merokok dan menghindari asap rokok
• Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)
• Istirahat yang cukup untuk meningkatkan imunitas tubuh
• Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.

22
BAB III
KESIMPULAN

1. Bronkiektasis adalah diagnosis radiologis atau patologis yang ditandai


dengan dilatasi bronkus yang abnormal dan ireversibel akibat inflamasi
bronkus kronis. Bronkus yang mengalami dilatasi adalah bronkus dengan
diameter > 2 mm.
2. Gejala klinik pada bronkiektasis adalah batuk produktif, dyspneau, dan
hemoptysis.
3. Foto toraks (PA/lateral) berguna sebagai alat skrining awal dan saat
eksaserbasi, namun mempunyai keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas.
Gambaran bronkiektasis pada foto toraks antara lain parallel linear
densities, tram-track opacities, honey comb appearance atau ring shadows
yang menggambarkan dinding bronkus yang tebal dan dilatasi abnormal.2,9
4. Gold standart pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis bronkiektasis serta
menilai keparahan dan luasnya penyakit HRCT (High Resonance CT)
karena lebih sensitive yang dapat menunjukkan bronkus yang tidak
meruncing ke arah perifer, bronkus terlihat pada jarak 1 cm dari perifer
paruPada umumnya prognosis adalah baik.
5. Penatalaksanaan bronkiektasis termasuk tatalaksana non famakologi dan
famakologis.
6. Pencegahan dengan cara atur pola hidup termasuk dengan tidak merokok,
istirahat yang cukup untuk meningkatkan imunitas tubuh, mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan, hindari merokok dan menghirup asap rokok.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Fatmawati, F., & Rasmin, M. 2017. Bronkiektasis dengan Sepsis dan Gagal
Napas. Jurnal Respirologi Indonesia, 3 (2).

2. Fjaellegaard, K., Sin, M.D., Browatzki, A. and Ulrik, C.S., 2017. Antibiotic
therapy for stable non-CF bronchiectasis in adults–A systematic review.
Chronic respiratory disease, 14(2), pp.174-186.

3. Rademacher, J. and Welte, T., 2011. Bronchiectasis—diagnosis and


treatment. Deutsches Ärzteblatt International, 108(48), p.809.

4. Koser U and Hill A. 2017. What’s new in the management of adult


bronchiectasis? [version 1; referees: 2 approved]. F1000Research 2017, 6
(F1000 Faculty Rev):527 (doi: 10.12688/f1000research.10613.1)

5. Olveira G, Olveira C, Dorado A, Fuentes EG, Rubio E, Tinahones F, et al.


Cellular and plasma oxidative stress biomarkers are raised in adults with
bronchiectasis. Clinical Nutrition. 2013;32:112-117.

6. Khoo, J.K., Venning, V., Wong, C. and Jayaram, L., 2016. Bronchiectasis
in the last five years: new developments. Journal of clinical medicine, 5(12),
p.115.

7. Lohani S. Review paper on bronchiectasis. JAIM. 2012;1:39-42.

8. McShane, P.J., Naureckas, E.T., Tino, G. and Strek, M.E., 2013. Non–cystic
fibrosis bronchiectasis. American journal of respiratory and critical care
medicine, 188(6), pp.647-656.

9. Kiran S, Sridhar N, Rudrapal M. Prescribing pattern of antibiotics for post-


tuberculous bronchiectasis treated in a tertiary care hospital. Journal of
Applied Pharmaceutical Science. 2013;3:82-4

10. Wilkinson, M., Sugumar, K., Milan, S.J., Hart, A., Crockett, A. and
Crossingham, I., 2014. Mucolytics for bronchiectasis (Doctoral dissertation,
John Wiley & Sons).

11. Organtzis, I., Papakosta, D., Foyka, E., Lampaki, S., Lagoudi, K., Moumtzi,
D., Kostanta, S., Sourla, E. and Papadaki, E., 2015. 035. Bronchiectasis
diagnosis and treatment. Journal of thoracic disease, 7(Suppl 1).

12. Shochat Stephen. Hernia Inguinalis. Dalam : Behrman, Kliegman, Arvin


(ed). Ilmu Kesehatan Anak Nelson vol. 2 ed.15. Jakarta: 2000. Halaman:
1372-1375.

24
13. Rawis, C.G., Limpeleh, H.P. and Wowiling, P.A., 2015. POLA HERNIA
INGUINALIS LATERALIS DI RSUP PROF. DR. RD KANDOU
MANADO PERIODE AGUSTUS 2012–JULI 2014. e-CliniC, 3(2).

25

Anda mungkin juga menyukai