DISUSUN OLEH :
PEMBIMBING :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul “Toxic
Epidermal Necrolysis”. Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Lysa Mariam, SpKK selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam
penyelesaian laporan kasus ini. Dengan demikian diharapkan laporan kasus ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................1
1.2. Tujuan ................................................................................................2
1.3. Manfaat ..............................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
Nekrolisis epidermal toksik (NET) adalah reaksi akut dari suatu pengobatan
yang ditandai dengan kematian dan pengelupasan kulit di bagian epidermis. NET
umumnya merupakan penyakit yang berat, lebih berat daripada Sindrom Stevens-
Johnson (SSJ) sehingga jika pengobatannya tidak cepat dan tepat sering
menyebabkan kematian.1,2
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Allan Lyell pada tahun 1956
sebanyak empat kasus, sehingga penyakit ini disebut juga Sindrom Lyell’s.
Nekrolisis epidermal toksik (NET) ditemukan oleh Allan Lyell dengan gambaran
berupa erupsi yang menyerupai luka bakar pada kulit akibat terkena cairan panas
(scalding).1
Penyakit nekrolisis epidermal toksik (NET) ini bisa terjadi pada segala
kelompok umur. Tingkat kematian rata-rata pada NET adalah 20-25%. Di seluruh
dunia, insidensi NET mencapai 0,4-1,3 kasus per 1 juta populasi. Di Perancis,
survei yang dilakukan oleh dermatologis melaporkan insidensi NET mencapai 1
kasus per 1 juta penduduk. Di Amerika Serikat, kejadian NET dilaporkan sekitar
0,22-1,23 kasus per 100.000 populasi. Menurut Djuanda dkk. dalam bukunya
dikatakan jika dibandingkan dengan SSJ, penyakit NET lebih jarang, hanya ada 2-
3 kasus setiap tahun.2
Insidensinya juga makin meningkat karena penyebab utamanya alergi obat
dan hampir semua obat dapat dibeli bebas. Penyebab utama alergi obat berjumlah
80-95% dari semua pasien. Menurut Djuanda dkk. dalam penelitian selama 5
tahun (1998-2002) penyebab utama ialah derivat penisilin (24%), disusul oleh
parasetamol (17%) dan karbamazepin (14%), penyebab yang lain adalah analgetik
/ antipiretik yang lain, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, jamu, dan
aditif.2
2
Pada kasus ini dilaporkan satu kasus nekrolisis epidermal toksik (NET) pada
seorang pria 26 tahun yang dirujuk ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. R.
Soedjono Selong.
1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk menguraikan teori-
teori dan memperdalam kasus mengenai Toxic Epidermal Necrolysis, dimulai dari
pembahasan definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, dan penatalaksanaannya.
Penyusunan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan
Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) di RSUD Dr. R. Soedjono Selong.
1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penulis
maupun pembaca khususnya peserta PIDI untuk lebih memahami tentang
penyakit kulit dan kelamin, serta mampu melaksanakan diagnosis dan pengobatan
terhadap penyakit-penyakit tersebut sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter
Indonesia.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Nekrolisis Epidermal Toksis (NET) dan Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)
ialah reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan
epidermis luas, disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Makula
eritem, terutama pada badan dan tungkai atas, berkembang progresif menjadi
lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis. Karena kesamaan dalam
temuan klinis dan histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme terjadinya
penyakit, SSJ dan NET mewakili keparahan varian dari proses identik yang
berbeda hanya dalam persentasi luas permukaan tubuh yang terlibat, maka kedua
penyakit dikelompokkan sebagai nekrolisis epidermal (NE).3
Pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh dokter anak A.M. Stevens dan
F.C. Johnson setelah mendiagnosa seorang anak dengan keterlibatan okular dan
oral akibat reaksi obat. Hampir seluruh obat-obatan dapat menyebabkan SSJ,
seperti ibuprofen. Pada umumnya obat tersebut adalah obat anti konvulsan,
antibiotik (seperti sulfa, penicillin dan sefalosporin), dan antiinflamasi.1,3,4
Baik SSJ maupun NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran
mukosa. Karena kemiripan penemuan klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta
mekanisme, SJS dan NET ini dianggap variasi dan kontinu penyakit yang
dibedakan dengan melihat tingkat keparahan serta persentase permukaan tubuh
yang terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan menggunakan istilah
eritema multiform mayor untuk SSJ dan NET.1
SJS menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana pelepasan kulit
< 10% dari permukaan tubuh
Gambar 2.1. Gambaran luas permukaan pelepasan epidermis pada SSJ, NET, dan
SSJ overlap NET3
2.2. Epidemiologi
Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan NET
diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET dapat
5
terjadi pada semua usia tapi insidensinya bertambah di atas dekade ke-4 dan
sering terjadi pada wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6.1,14
Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN,
yaitu pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi
umum, dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV
positif. Perbedaan regional pada peresepan obat, latar belakang genetik dari pasien
(HLA, enzim metabolism), koeksistensi kanker, atau bersama dengan radioterapi
dapat berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit tersebut 10%
untuk SJS, 30% untuk SJS / NET, dan lebih dari 30% untuk NET. Dalam analisa
kelangsungan hidup SJS / NET dengan angka mortalitas secara keseluruhan
adalah 23% pada enam minggu, 28% pada tiga bulan dan 34% pada satu tahun.
Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan, yang luasnya permukaan tubuh
yang terlibat berkaitan dengan prognosis yang buruk. Di Amerika Serikat,
evaluasi dari kematian menunjukkan resiko tujuh kali lebih tinggi pada orang kulit
hitam dibandingkan dengan kulit putih.1,3,6,7,14
Sebuah skor prognosis (SCORTEN) telah disusun untuk SSJ dan NET, dan
kegunaannya sudah dibuktikan pada banyak tim.
Tabel 2.2. Sebuah sistem skor untuk menilai prognosis pada pasien NET1
SSJ dan NET merupakan salah satu penyakit yang dianggap sebagai kasus
kegawatdaruratan dan mengancam jiwa, sehingga membutuhkan pertolongan
6
Pasien dengan SSJ dan NET juga harus dievaluasi kemungkinan penyakit
dasarnya yang memungkinkan sebagai penyebab timbulnya reaksi. Infeksi
Mycoplasma pneumonia (Sontheiner dkk, 1978) dan herpes simplek (Orthon,
1984) merupakan infeksi tersering yang menyebabkan SSJ dan NET. Infeksi
adalah penyebab SSJ pada anak-anak yang tersering dimana seringkali
7
2.5. Diagnosis
SSJ dan NET biasanya dimulai dalam 8 hari stelah pemberian obat
(biasanya setelah 4-30 hari). Hanya beberapa kasus yang memberikan reaksi yang
cepat dalam beberapa jam. Biasanya terpapar oleh obat yang sama.6,7
Spektrum efek samping kutaneus berat yang dapat menunjukkan varian
proses penyakit yang sama termasuk SSJ dan NET. Eritema multiform (EM), EM
mayor, dan EM mayor atipikal adalah reaksi kutaneus yang biasanya tampak
setelah infeksi daripada setelah pengobatan. Kasus-kasus berat EM mayor dan EM
mayor atipikal dapat dibingungkan dengan SSJ. Kebanyakan peneliti
mempercayai bahwa SSJ dan NET berada dalam satu spektrum keparahan dan
berbeda dengan penyakit-penyakit EM.1,4 Diferensiasi antara SSJ dan NET
tergantung pada riwayat lesi kulit dan luasnya area permukaan tubuh yang terlibat.
Secara klinis setiap pola reaksi tersebut ditandai dengan adanya trias erosi
membran mukosa, lesi target, dan nekrosis epidermal dengan pengelupasan kulit.4
Gejala Prodromal
Gejala non spesifik (prodromal) seperti demam, dengan temperatur melebihi
39°C (102,2°F), sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1-3 hari sebelum
timbul kelainan pada kulit. Timbul rasa nyeri menelan, konjungtiva terasa gatal
dan panas disertai silau bila terkena cahaya. Hal ini menandakan gejala awal
keterlibatan mukosa. Sepertiga pasien dimulai dengan adanya gejala non spesifik,
sepertiganya dengan gejala terlibatnya mukosa dan sepertiga lainnya dengan
keluhan eksantema. Fase prodromal atauu demam, batuk, dan malaise dapat
mendahului perkembangan lesi kulit selama 2 minggu.1,3,14
Lesi pada Kulit
Lesi kulit yang nyeri sering pertama kali tampak ada badan dan kemudian
menyebar cepat ke muka, leher, dan ekstremitas dengan keterlibatan maksimal
setelah 4 hari. Erupsi biasanya simetris, terdistribusi pada wajah, tubuh bagian
atas dan proksimal ekstremitas, namun bisa sampai seluruh badan. Lesi kulit awal
11
LABORATORIUM
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang dapat
menegakkan diagnosa SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan
anemia, limfopenia, dan jumlah leukosit yang normal atau leukositosis
nonspesifik, eosinophilia jarang dan neutropenia dapat terjadi pada 1/3 pasien.
Peningkatan leukositosis yang berat mengindikasikan adanya infeksi bakteri yang
lainnya. Kultur darah dan kulit sangat dianjurkan karena adanya insidensi infeksi
bakteri yang serius dan sepsis yang berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas.5,14
Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah langkah
pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala perubahan
13
harus diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran level gas darah arteri.
Tingkat serum bikarbonat di bawah 20 μm mengindikasikan prognosis yang
buruk. Pada umumnya disebabkan oleh alkalosis pernafasan yang terkait dengan
keterlibatan spesifik bronkus serta sedikit pengaruh asidosis metabolik.1
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SSJ/NET
adalah gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia,
insufisiensi ginjal, azotemia prerenal, leukositosis ringan, anemia, neutropenia,
sedikit peningkatan enzim hepar dan amilase, hiperglikemia. Serum urea nitrogen
>10mmol/L dan glukosa >14mmol/L dianggap penanda keparahan penyakit.1,14
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Seluruh kasus yang disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui
pemeriksaan biopsi kulit untuk histopatologi dan pemeriksaan
immunofluoresence. Lesi awal menunjukkan apoptosis keratinosit pada lapisan
suprabasal. Lesi akhirnya akan memperlihatkan nekrosis epidermal yang tebal dan
pelepasan epidermis dari dermis. Infiltrasi sel mononuklear dengan kepadatan
sedang pada papilla dermis dapat terlihat, sebagian besar diwakili oleh limfosit
dan makrofag.10,13,14
2.7. Penatalaksanaan
Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting
yang harus dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan
multidisiplin tim pada intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan
suportif termasuk menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa. Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan
luka bakar yang luas.3,4
Penatalaksanaan Umum
Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti pada
luka bakar . Selain menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan
luka, manajemen cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata,
manajemen suhu, kontrol nyeri dan pemantauan pengobatan infeksi.15
Penghentian Obat Penyebab
Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala
obat-obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir.
Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi penyebab
terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk melakukan penelitian untuk menentukan
apakah waktu penghentian obat berhubungan dengan prognosis pasien NET atau
SSJ. Hasil penelitian menunujukkan bahwa angka kematian lebih rendah apabila
obat penyebab dengan waktu paruh eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih
dari 1 hari ketika bula atau erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat
16
penyebab dengan waktu paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih
tinggi.4
Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi
SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan
dikarenakan erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan
elektrolit. Penggantian ulang cairan harus dimulai secepat mungkin dan
disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus biasanya kurang dari luka bakar pada
tingkat keparahan yang sama, karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran
vena perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran
sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain yang
perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C
hingga 30˚C-32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan karena
kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur meningkatan rasa
nyaman pasien.1,15
Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga
memerlukan tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan
luas area tubuh yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral
karena dapat ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan
kalori lebih banyak. Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena sentral
dan meningkatkan resiko sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila
terdapat lesi mukosa mulut.1
Antibiotik
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat
menyebabkan resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan
antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara
lain perubahan status mental, mengigil, hipotermia, menurunnya pengeluaran urin
dan penurunan kondisi klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri pada
kultur kulit. Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat
disarankan. Penyebab utama dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah
Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Spesies Staphylococus yang
dikultur dari darah biasanya sama dengan yang dikultur dari kulit.6,10,15
17
Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan
agresif tidak direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan
bukanlah halangan untuk reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat proliferasi
sel-sel stem berkenaan dengan sitokin peradangan.1
Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan,
elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan dengan
pemberian analgetik dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan
antiseptik yang ringan dan solusio antibiotik seperti sabun povidone iodine,
chlorhexidine, silver nitrate untuk mengurangi pertumbuhan bakteri.1,15
Perawatan Mata dan Mulut
Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap
SSJ/NET. Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi okular
akut yang sama pada SSJ maupun NET dengan keterlibatan berat sebesar 25%.
Gejala sisa kronis terjadi pada sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar
konjungtiva. Permasalahan residual pada mata yang paling sering dilaporkan
adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien
penyakit okular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata,
inflamasi episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif yang
menyerupai pemfigoid membran mukosa. Perawatan mata meliputi pembersihan
kelopak mata dan memberi pelumas setiap hari dengan obat tetes atau salep
mata.4,15
Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga
kebersihan rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan
mengoleskan topikal anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan
sehingga dapat mengurangi sakit waktu menelan. Tindakan ini hanya
direkomendasikan bila penderita tidak mengalami pharyngealdysphagia. Hindari
makanan yang terlalu panas atau dingin, makanan yang asam dan kasar.
Sebaiknya makanan yang halus dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi pada
mulut. Kadang-kadang diberikan obat anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-
18
Penatalaksanaan Spesifik
Kortikosteroid Sistemik
Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi
menemukan bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit
bila diberikan pada fase awal. Studi lain menyebutkan bahwa steroid tidak
menghentikan perkembangan penyakit dan bahkan dihubungkan dengan kenaikan
mortalitas dan efek samping, khususnya sepsis. Selanjutnya, banyak kasus telah
dilaporkan yang telah diobati dengan kortikosteroid, akan meningkatkan resiko
SSJ/NET. Jadi, kortikosteroid sistemik tidak dapat direkomendasikan sebagai
pedoman utama pengobatan SSJ/NET.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk
mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti
penurunan secara bertahap (tapering off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-
40 mg sehari. Dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena pada
umumnya penyebab SSJ/NET adalah eksogen (alergi). Pada SSJ/NET,
kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis.
19
Algoritma Penatalaksanaan
SCORTEN
0 atau 1 >1
Langkah suportif :
Identifikasi & Terapi aktif :
eliminasi obat Kulit: erosi ditutup dengan gauze
Kortikosteroid & hidrokolid dressing; Mata:
penyebab:
sistemik, IVIG, lubrikan, steroid, antibiotik tetes
hentikan obat yang
antibiotik, mata, melepaskan adhesive
diduga sebagai
keseimbangan lidglobe secara perlahan; Sal.
penyebab dan
hemodinamik, protein nafas: postural drainage; Sal.
kontrol infeksi
& elektrolit cerna: tinggi kalori, protein, IVFD
22
BAB 3
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
B. Anamnesis
Keluhan Utama
Kulit kemerahan di seluruh tubuh
Riwayat Alergi
Tidak ditemukan riwayat alergi sebelumnya, baik obat maupun makanan
Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang mahasiswa yang juga bekerja menjadi tukang pijat di
hotel
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
TTV : TD : 110 / 70 mmHg
HR : 120 x/menit
RR : 20 x/menit
Temp : 380C
SpO2 : 98% (room air)
Status Generalisata
Kepala : normosefali
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil
bulat isokor, diameter 3mm / 3mm , refleks cahaya
langsung dan tidak langsung +/+
Mulut : oral trush (+)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Cor : S1S2 (+) tunggal, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : datar, soepel, bising usus (+) normal,
24
Status Dermatologis
Lokasi : generalisata (seluruh tubuh)
Efloresensi : plak eritematosa generalisata ± >40% dengan
skuama, terdapat bulla pada beberapa regio tubuh
dengan ukuran yang bervariasi, kemudian
memecah berisi cairan sehingga timbul erosi yang
luas. Epidermolisis (+). Tanda nikolsky positif.
Lesi pada bibir berupa erosi dengan krusta warna
merah kehitaman.
D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (11/04/2019):
Hb : 10,1 g/dL Kreatinin : 0,57 mg/dL
MCV : 93,4 fL
Leukosit : 3.220
MCH : 31,7 pg
Trombosit : 162.000
MCHC : 33,9 g/dL
Ht : 29,8 %
SGOT : 21,5 U/L
Ureum : 23,5 mg/dL
SGPT : 32,3 U/L
Foto Thorax PA (08/04/2019) :
Tidak tampak pembesaran pada jantung
Paru : tidak tampak infiltrat
Peningkatan corakan bronkovaskuler
Sudut-sudut kostofrenikus lancip
Tulang-tulang intak
E. Diagnosis Kerja
Toxic Epidermal Necrolysis ec Susp. Cotrimoxazole dan/atau Nevirapine
B20
F. Diagnosis Banding
Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S)
(10-11/04/2019)
-. Terapi lanjut
-. IVFD NS 1500 cc / 24 jam
-. Desoximethasone cream 2 x dd ue
-. Nistatin drop 3 x gtt II
(12/04/2019)
-. Terapi lanjut
-. Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv
-. Betamethasone + as. fusidat 2 x dd ue
-. ARV mulai bertahap → Tenofovir 1x1
(13-14/04/2019)
-. Terapi lanjut
-. ARV mulai bertahap → Tenofovir 1x1, Lamivudine 1x1
(15/04/2019)
-. Terapi lanjut
-. Inj. Dexamethasone tapp off → 15 mg – 0 – 10 mg
-. ARV mulai bertahap → Tenofovir 1x1, Lamivudine 1x1, Nevirapine 1x1
-. Betamethasone + as. fusidat 2 x dd ue
-. Emolient olive oil 2 x dd ue (sebelum salep)
25
(20/04/2019)
-. Tenofovir 1x1, Lamivudine 1x1, Efavirenz 1x1
-. Methylprednisolon tab 3 x 8 mg
-. Betamethasone + as. fusidat 2 x dd ue
-. Emolient olive oil 2 x dd ue (sebelum salep)
H. Resume
Pasien a/n LHP , laki-laki usia 26 tahun dirujuk ke Instalasi Gawat Darurat
RSUD Dr. R. Soedjono Selong dengan keluhan kulit kemerahan, melepuh, dan
terasa panas seperti dibakar sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan diawali dengan
badan terasa demam yang naik turun. Pasien sebelumnya telah terdiagnosis
B20/HIV dan mendapat pengobatan ARV dan Cotrimoxazole sejak 1 bulan yang
lalu. Pada pemeriksaan fisik dijumpai tanda vital dalam batas normal. Dijumpai
plak eritematosa generalisata ± >40% dengan skuama, terdapat bulla pada
beberapa regio tubuh dengan ukuran yang bervariasi, kemudian memecah berisi
cairan sehingga timbul erosi yang luas. Epidermolisis dijumpai. Tanda nikolsky
positif. Lesi pada bibir berupa erosi dengan krusta warna merah kehitaman. Pasien
ditatalaksana dengan pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat, perawatan luka,
kontrol infeksi, dan nyeri dengan pemberian kortikosteroid, antibiotik, dan terapi
suportif lainnya.
26
27
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
HALAMAN PERSETUJUAN
Laporan kasus ini telah diterima sebagai salah satu tugas pada masa
internsip di RSUD Dr. R. Soedjono Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Pada hari ini, tanggal 11 Juli 2019 telah dipresentasikan laporan kasus oleh :
Pembimbing :
Pendamping Pendamping
34