Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus

TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS

DISUSUN OLEH :

dr. Theresia Murniwati Situmorang

PEMBIMBING :

dr. Lysa Mariam, SpKK

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


ANGKATAN IV PERIODE NOVEMBER 2018
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. R. SOEDJONO
SELONG
2019
1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini yang berjudul “Toxic
Epidermal Necrolysis”. Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Lysa Mariam, SpKK selaku pembimbing yang telah memberikan arahan dalam
penyelesaian laporan kasus ini. Dengan demikian diharapkan laporan kasus ini
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.

Selong, Juli 2019

Penulis
2

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................1
1.2. Tujuan ................................................................................................2
1.3. Manfaat ..............................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................3


2.1. Definisi...............................................................................................3
2.2. Epidemiologi......................................................................................4
2.3. Etiologi dan Faktor Resiko.................................................................6
2.4. Patofisiologi dan Patogenesis.............................................................7
2.5. Diagnosis............................................................................................10
2.6. Diagnosis Banding..............................................................................13
2.7. Penatalaksanaan..................................................................................14

BAB 3 STATUS ORANG SAKIT....................................................................21

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Nekrolisis epidermal toksik (NET) adalah reaksi akut dari suatu pengobatan
yang ditandai dengan kematian dan pengelupasan kulit di bagian epidermis. NET
umumnya merupakan penyakit yang berat, lebih berat daripada Sindrom Stevens-
Johnson (SSJ) sehingga jika pengobatannya tidak cepat dan tepat sering
menyebabkan kematian.1,2
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Allan Lyell pada tahun 1956
sebanyak empat kasus, sehingga penyakit ini disebut juga Sindrom Lyell’s.
Nekrolisis epidermal toksik (NET) ditemukan oleh Allan Lyell dengan gambaran
berupa erupsi yang menyerupai luka bakar pada kulit akibat terkena cairan panas
(scalding).1
Penyakit nekrolisis epidermal toksik (NET) ini bisa terjadi pada segala
kelompok umur. Tingkat kematian rata-rata pada NET adalah 20-25%. Di seluruh
dunia, insidensi NET mencapai 0,4-1,3 kasus per 1 juta populasi. Di Perancis,
survei yang dilakukan oleh dermatologis melaporkan insidensi NET mencapai 1
kasus per 1 juta penduduk. Di Amerika Serikat, kejadian NET dilaporkan sekitar
0,22-1,23 kasus per 100.000 populasi. Menurut Djuanda dkk. dalam bukunya
dikatakan jika dibandingkan dengan SSJ, penyakit NET lebih jarang, hanya ada 2-
3 kasus setiap tahun.2
Insidensinya juga makin meningkat karena penyebab utamanya alergi obat
dan hampir semua obat dapat dibeli bebas. Penyebab utama alergi obat berjumlah
80-95% dari semua pasien. Menurut Djuanda dkk. dalam penelitian selama 5
tahun (1998-2002) penyebab utama ialah derivat penisilin (24%), disusul oleh
parasetamol (17%) dan karbamazepin (14%), penyebab yang lain adalah analgetik
/ antipiretik yang lain, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, jamu, dan
aditif.2
2

Pada kasus ini dilaporkan satu kasus nekrolisis epidermal toksik (NET) pada
seorang pria 26 tahun yang dirujuk ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. R.
Soedjono Selong.

1.2. Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk menguraikan teori-
teori dan memperdalam kasus mengenai Toxic Epidermal Necrolysis, dimulai dari
pembahasan definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, dan penatalaksanaannya.
Penyusunan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan kegiatan
Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI) di RSUD Dr. R. Soedjono Selong.

1.3. Manfaat
Laporan kasus ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penulis
maupun pembaca khususnya peserta PIDI untuk lebih memahami tentang
penyakit kulit dan kelamin, serta mampu melaksanakan diagnosis dan pengobatan
terhadap penyakit-penyakit tersebut sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter
Indonesia.
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Nekrolisis Epidermal Toksis (NET) dan Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)
ialah reaksi mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan
epidermis luas, disertai rasa sakit dan dapat menyebabkan kematian. Makula
eritem, terutama pada badan dan tungkai atas, berkembang progresif menjadi
lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis. Karena kesamaan dalam
temuan klinis dan histopatologis, etiologi obat, dan mekanisme terjadinya
penyakit, SSJ dan NET mewakili keparahan varian dari proses identik yang
berbeda hanya dalam persentasi luas permukaan tubuh yang terlibat, maka kedua
penyakit dikelompokkan sebagai nekrolisis epidermal (NE).3
Pertama kali ditemukan pada tahun 1922 oleh dokter anak A.M. Stevens dan
F.C. Johnson setelah mendiagnosa seorang anak dengan keterlibatan okular dan
oral akibat reaksi obat. Hampir seluruh obat-obatan dapat menyebabkan SSJ,
seperti ibuprofen. Pada umumnya obat tersebut adalah obat anti konvulsan,
antibiotik (seperti sulfa, penicillin dan sefalosporin), dan antiinflamasi.1,3,4
Baik SSJ maupun NET ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran
mukosa. Karena kemiripan penemuan klinis dan histopatologi, etiologi obat, serta
mekanisme, SJS dan NET ini dianggap variasi dan kontinu penyakit yang
dibedakan dengan melihat tingkat keparahan serta persentase permukaan tubuh
yang terlibat lecet dan erosi kulit. Beberapa kepustakaan menggunakan istilah
eritema multiform mayor untuk SSJ dan NET.1

 SJS menampilkan kondisi yang kurang parah, yang mana pelepasan kulit
< 10% dari permukaan tubuh

 NET melibatkan perluasan > 30% dari luas permukaan tubuh


 SJS/NET menampilkan pasien dengan perluasan kulit 10-30% dari luas
permukaan tubuh.3,4,14
4

Tabel 2.1. Klasifikasi SSJ dan NET 3

Gambar 2.1. Gambaran luas permukaan pelepasan epidermis pada SSJ, NET, dan
SSJ overlap NET3

2.2. Epidemiologi
Insiden SSJ dan NET jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SSJ dan NET
diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. SSJ dan NET dapat
5

terjadi pada semua usia tapi insidensinya bertambah di atas dekade ke-4 dan
sering terjadi pada wanita, menunjukkan rasio jenis kelamin 0,6.1,14
Penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN,
yaitu pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi
umum, dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV
positif. Perbedaan regional pada peresepan obat, latar belakang genetik dari pasien
(HLA, enzim metabolism), koeksistensi kanker, atau bersama dengan radioterapi
dapat berdampak pada insidensi SSJ dan NET. Mortalitas penyakit tersebut 10%
untuk SJS, 30% untuk SJS / NET, dan lebih dari 30% untuk NET. Dalam analisa
kelangsungan hidup SJS / NET dengan angka mortalitas secara keseluruhan
adalah 23% pada enam minggu, 28% pada tiga bulan dan 34% pada satu tahun.
Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan, yang luasnya permukaan tubuh
yang terlibat berkaitan dengan prognosis yang buruk. Di Amerika Serikat,
evaluasi dari kematian menunjukkan resiko tujuh kali lebih tinggi pada orang kulit
hitam dibandingkan dengan kulit putih.1,3,6,7,14
Sebuah skor prognosis (SCORTEN) telah disusun untuk SSJ dan NET, dan
kegunaannya sudah dibuktikan pada banyak tim.

Tabel 2.2. Sebuah sistem skor untuk menilai prognosis pada pasien NET1

SSJ dan NET merupakan salah satu penyakit yang dianggap sebagai kasus
kegawatdaruratan dan mengancam jiwa, sehingga membutuhkan pertolongan
6

yang cepat. Selain itu, penanganan SSJ/NET juga melibatkan multidisiplin


ilmu.1,3,4

2.3. Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi SSJ/NET masih belum diketahui secara pasti, namun sekarang
diketahui obat-obatan adalah etiologi utama yang dapat terjadi pada orang dewasa
atau anak-anak. Terdapat lebih dari 100 obat yang dikenal sebagai penyebab
SSJ/NET. Sebuah penelitian case control mengevaluasi resiko SSJ dan NET yang
berhubungan dengan pengobatan. Antibiotik sulfonamide (khususnya
sulfametoksazol kombinasi dengan trimetoprim), karbamazepin, fenitoin,
fenobarbital, obat-obat antiinflamasi nonsteroid tipe oksikam, allopurinol,
klormezanon, aminopenisillin, sefalosporin, lamotrigin, nevirapin, kuinolon, dan
antibiotik siklik dihubungkan dengan resiko relatif tertinggi.3,4,6,14

Tabel 2.3. Obat-obatan yang beresiko menyebabkan SSJ dan NET1

Pasien dengan SSJ dan NET juga harus dievaluasi kemungkinan penyakit
dasarnya yang memungkinkan sebagai penyebab timbulnya reaksi. Infeksi
Mycoplasma pneumonia (Sontheiner dkk, 1978) dan herpes simplek (Orthon,
1984) merupakan infeksi tersering yang menyebabkan SSJ dan NET. Infeksi
adalah penyebab SSJ pada anak-anak yang tersering dimana seringkali
7

diimplikasikan dengan Mycoplasma pneumonia. Infeksi penyebab lainnya yaitu


virus herpes simpleks, Mycobacterium tuberculosis, streptokokus grup A, virus
hepatitis B, dan virus Eipstein-Barr. Dalam sebuah ulasan sistemik dari literatur
Jepang yang dipublikasikan, hampir 70% kasus SSJ dianggap disebabkan oleh
obat-obatan dan 10% oleh M.pneumonia atau kombinasi M.pneumonia dan/atau
obat-obatan. Seluruh kasus NET dicurigai disebabkan terutama obat-obatan.4
Faktor resiko nonmedikasi yang telah dihipotesiskan dapat meningkatkan
resiko NET termasuk HIV, radioterapi, dan lupus eritematosus. Sebagai contoh
radioterapi dapat memicu atau memperburuk NET dimana djumpai lesi kulit yang
maksimal pada tempat yang terpapar. Infeksi herpes yang baru dapat berperan
dalam perkembangan SSJ akan tetapi tidak pada kasus SSJ/NET overlap atau
NET. Pada pasien HIV telah dilaporkan memiliki 100x lipat lebih tinggi terkena
SJS /NET. NET telah dilaporkan pada pasien lupus eritematosus sistemik, pasien-
pasien ini dapat mengalami NET walaupun tidak mengkonsumsi obat-obatan
resiko tinggi atau telah menggunakan obat-obat tersebut untuk waktu yang lama.
Insufisiensi renal dapat menjadi faktor resiko efek samping kulit yang serius yang
diinduksi allopurinol. Kasus SSJ/NET pernah dilaporkan terjadi setelah
transplantasi sumsum tulang, beberapa dapat berat menjadi graft versus host
disease. Radioterapi bersama terapi anti epilepsi juga pernah dilaporkan
menyebabkan NE pada tempat radiasi tersebut.4,14

2.4. Patofisiologi dan Patogenesis


Patogenesis NE belum diketahui secara jelas. Penerapan teknik
farmakogenomik dan biologi molekular pada studi sebelumnya lebih lanjut
mengungkapkan bahwa disposisi genetik sebagaimana mediator imun adalah hal
yang penting dalam perkembangan SSJ dan NET. Walaupun interaksi Fas-FasL
sudah dipertimbangkan sebagai efektor utama yang menyebabkan apoptosis
keratinosit.
Terdapat beberapa penelitian yang menduga terjadinya reaksi sitotoksik
yang diperantarai sel melawan keratinosit dan menyebabkan apoptosis yang
masif. Reaksi ini dicetuskan sel T CD4+ dan CD 8+ yang menghasilkan mediator
8

sitotoksik yang berakibat apoptosis keratinosit. Penelitian imunopatologis


dijumpai adanya CD8+ killer lymphocytes (sel NK) pada epidermis dan CD4+
pada dermis pada reaksi bulosa yang berat, dijumpai sel CD8+ pada epidermis.
Jumlah sel CD4+ ini dijumpai meninggi pada darah perifer penderita SSJ ataupun
NET. Sel sitotoksik CD8+ mengekspresikan reseptor α, ᵦ yang dapat membunuh
melalui perforin dan granzyme B, tidak melalui Fas atau Trail. Jadi ikatan obat
dan protein akan diproses, kemudian akan dipresentasikan oleh sel penyaji antigen
(APC) ke sel naive yang akan menghasilkan reaksi toleran atau reaksi efektor
seperti gejala hipersensitivitas. Ekspansi dari CD8+ ini spesifik terhadap obat,
MHC (major histocompatibility complex - restricted cytotoxic reactions) melawan
keratinosit.6,8
Sekarang telah diterima dengan baik bahwa ekspansi oligoklonal CD 8+
bereaksi terhadap obat-obatan tertentu, memiliki kecocokan mayor dengan
jaringan sitotoksik yang rumit dan terbatas berlawanan dengan keratinosit.
Selanjutnya, regulasi CD4+ CD 25+ sel T telah menunjukkan pentingnya
pencegahan kerusakan epidermal hebat yang diinduksi limfosit T sitotoksik
reaktif. Sitokin penting seperti IL-6, Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), dan Fas
ligand (Fas-L) juga ada pada lesi kulit SSJ/NET.3,4,6,8
Peran dari FasL pada SSJ dan NET masih kontroversial. Fas dikatakan
menyebabkan kematian sel melalui ikatannya. Tampaknya makin jelas saat ini
bahwa peningkatan level FasL dapat ditemukan pada serum pasien dengan SSJ
dan NET, dan levelnya meningkat secara konsisten ketika sebelumnya terdapat
pelepasan kulit.3,8
Viard et al. mengatakan bahwa aktivasi Fas menyebabkan apoptosis
keratinosit. Ketika limfosit T sitotoksik kontak dengan sel target, terjadi aktivasi
kaskade enzim intraseluler yang disebut kaspase yang kemudian menyebabkan
kematian sel. Limfosit T sitotoksik dapat menginduksi kaskade kaspase melalui
perforin/granzyme atau jalur Fas-Fas-L. Fas-L akan menginduksi perubahan pada
Fas yang menyebabkan pengambilan FADD (Fassociated Death Domain
Protein). FADD merupakan molekul yang melekat pada Fas dan prokaspase 8,
yang fungsinya membawa bersama-sama cetakan-cetakan prokaspase 8. Cetakan
9

ini kemudian mengalami autoaktivasi membentuk kaspase 8 yang selanjutnya


mengaktifkan kaskade kaspase yang berujung pada apoptosis keratinosit.3,4,8
Jalur lainnya yaitu melalui perforin/granzyme. Ketika sel target dikenali, sel
T sitotoksik mengeluarkan perforin yang akan membuat saluran 16 nm pada
membran sel target. Kemudian granzyme B melewati saluran ini dan
mengaktifkan kaskade kaspase. Obat-obatan dapat mengaktifkan sel T dengan
bertindak sebagai hapten, prohapten atau dengan interkasi farmakologi langsung
antar obat, molekul MHC dan reseptor sel T.8
Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa alel Human Leukocyte
Antigen (HLA-B*1502) berhubungan kuat pada subyek etnik Cina/Asia dengan
SSJ dan NET yang diinduksi karbamazepin tetapi tidak dengan erupsi
eksantematosa diinduksi karbamazepin atau sindroma hipersensitivitas obat (juga
dikenal sebagai reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala sistemik atau DRESS).
Satu dari laporan pertama menunjukkan bahwa HLA-B*1502 dijumpai pada
100% pasien SSJ yang diinduksi karbamazepin tetapi hanya sebesar 3% dari
pasien yang mentoleransi karbamazepin dan pada 9% populasi umum. HLA-
B*1502 terjadi pada 10-15% individu dari Cina selatan, Thailand, Malaysia,
Indonesia, Filipina, Taiwan, dan mempunyai angka prevalensi 2-4% lebih tinggi
di kelompok Asia selatan lainnya termasuk India.4,8
10

Gambar 2.2. Apoptosis keratinosit yang diinduksi sinaps imun dari


interaksi obat8

2.5. Diagnosis
SSJ dan NET biasanya dimulai dalam 8 hari stelah pemberian obat
(biasanya setelah 4-30 hari). Hanya beberapa kasus yang memberikan reaksi yang
cepat dalam beberapa jam. Biasanya terpapar oleh obat yang sama.6,7
Spektrum efek samping kutaneus berat yang dapat menunjukkan varian
proses penyakit yang sama termasuk SSJ dan NET. Eritema multiform (EM), EM
mayor, dan EM mayor atipikal adalah reaksi kutaneus yang biasanya tampak
setelah infeksi daripada setelah pengobatan. Kasus-kasus berat EM mayor dan EM
mayor atipikal dapat dibingungkan dengan SSJ. Kebanyakan peneliti
mempercayai bahwa SSJ dan NET berada dalam satu spektrum keparahan dan
berbeda dengan penyakit-penyakit EM.1,4 Diferensiasi antara SSJ dan NET
tergantung pada riwayat lesi kulit dan luasnya area permukaan tubuh yang terlibat.
Secara klinis setiap pola reaksi tersebut ditandai dengan adanya trias erosi
membran mukosa, lesi target, dan nekrosis epidermal dengan pengelupasan kulit.4
Gejala Prodromal
Gejala non spesifik (prodromal) seperti demam, dengan temperatur melebihi
39°C (102,2°F), sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1-3 hari sebelum
timbul kelainan pada kulit. Timbul rasa nyeri menelan, konjungtiva terasa gatal
dan panas disertai silau bila terkena cahaya. Hal ini menandakan gejala awal
keterlibatan mukosa. Sepertiga pasien dimulai dengan adanya gejala non spesifik,
sepertiganya dengan gejala terlibatnya mukosa dan sepertiga lainnya dengan
keluhan eksantema. Fase prodromal atauu demam, batuk, dan malaise dapat
mendahului perkembangan lesi kulit selama 2 minggu.1,3,14
Lesi pada Kulit
Lesi kulit yang nyeri sering pertama kali tampak ada badan dan kemudian
menyebar cepat ke muka, leher, dan ekstremitas dengan keterlibatan maksimal
setelah 4 hari. Erupsi biasanya simetris, terdistribusi pada wajah, tubuh bagian
atas dan proksimal ekstremitas, namun bisa sampai seluruh badan. Lesi kulit awal
11

dikarakteristikkan dengan makula eritematosa, merah kehitaman bentuk ireguler


yang bersatu secara progresif. Lesi target atipikal dengan warna gelap di tengah
sering terlihat. Lesi nekrotik yang berkonfluensi menimbulkan eritema yang
meluas dan difus. Epidermis nekrotik mudah terlepas karena trauma gesekan,
meninggalkan daerah yang merah dan erosi. Bula SSJ/NET kendur dan dapat
dijumpai Nikolsky’s sign.1,4 Bila terkena sentuhan lesi ini terasa sakit.
Pasien dapat diklasifikasikan berdasarkan total permukaan tubuh yang
terkena, yaitu SSJ apabila total permukaan tubuh yang terkena adalah < 10%.
NET apabila total permukaan tubuh yang terkena >30% dan SSJ/NET
overlapping dengan NET bila mengenai total permukaan tubuh yang terkena
adalah antara 10-30%.1,3,4,6,14
Lesi Pada Mukosa
Keterlibatan membran mukosa (hampir selalu sedikitnya 2 tempat) diamati
pada 90% kasus dan mendahului atau diikuti erupsi pada kulit. Dimulai dengan
eritema yang diikuti oleh erosi mukosa bukal, mata, dan genital yang terasa nyeri.
Biasanya diikuti dengan gangguan pencernaan, fotofobia, sinekia konjungtiva dan
nyeri saat BAK. Kavitas oral dan batas bibir lebih banyak terkena dan gambaran
erosi hemoragik yang nyeri tertutup grayish white pseudomembrane dan krusta
pada bibir. Stomatitis dan mucositis menyebabkan gangguan asupan oral sehingga
mengakibatkan malnutrisi dan dehidrasi.1,3,4,6,14
Pada 85% pasien terdapat lesi konjungtiva, umumnya bermanifestasi
hiperemia, erosi, edema pada konjungtiva, fotofobia dan lakrimasi. Dapat
memungkinkan terjadi shedding of eyelashes. Bentuk yang berat dapat
menyebabkan ulserasi kornea, uveitis anterior, pan opthalmitis dan konjungtivitis
purulen. Sinekia antara eyelid dan konjungtiva sering terjadi.1,14
Keterlibatan membran mukosa dapat mengakibatkan komplikasi jangka
pendek maupun jangka panjang yang disebabkan oleh fibrosis dan striktur. Dalam
sebuah analisis retrospektif, 60% pasien SSJ/NET mengalami manifestasi okular
selama stadium akut dari sindroma. Keterlibatan kornea dapat mengakibatkan
ulserasi kornea, perforasi, dan perubahan kornea sklerotik yang permanen.4
12

Urogenital sering terlibat pada penderita SJS/NET terutama wanita. Uretritis


terjadi sekitar 2/3 pasien, hal ini dapat menyebabkan retensi urin serta erosi
genital. Keterlibatan ini ditandai dengan ulseratif vaginitis, bula vulva dan sinekia
vagina. Dalam jangka panjang dapat terjadi adhesi vagina dan stenosis, terhambat
aliran kemih serta retensi urin, cystitis berulang, hematocolpos. Adenosis
vulvovaginal terkait adanya metaplasti serviks atau kelenjar epitel endometrium
pernah dilaporkan pada penderita SJS/NET.14
Gejala Ekstra Kutan
SSJ/NET dapat melibatkan organ visceral terutama komplikasi pada paru-
paru dan gastrointestinal. Komplikasi pada paru dijumpai 25% kasus yang
ditandai dengan sesak nafas, hipersekresi bronkus, hipoksia, hemoptoe, dan edema
paru. Keterlibatan bronkus pada SSJ/NET tidak berhubungan dengan beratnya lesi
pada kulit. Pada beberapa kasus yang dilaporkan, apabila terjadi gagal nafas akut
segera setelah munculnya kelainan kulit, maka prognosisnya lebih jelek. Kelainan
pada gastro dari SSJ intestinal jarang ditemukan. Kelainan gastrointestinal
biasanya berupa nekrosis epithelial esofagus, diare, perdarahan gastrointestinal,
melena, dan perforasi kolon. Kelainan pada ginjal biasanya berupa proteinuria,
mikroalbuminuria, hematuria dan azotemia. Dapat pula ditemukan adanya akut
tubular nekrosis, glomerulonefritis.1

LABORATORIUM
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang dapat
menegakkan diagnosa SSJ. Pada pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan
anemia, limfopenia, dan jumlah leukosit yang normal atau leukositosis
nonspesifik, eosinophilia jarang dan neutropenia dapat terjadi pada 1/3 pasien.
Peningkatan leukositosis yang berat mengindikasikan adanya infeksi bakteri yang
lainnya. Kultur darah dan kulit sangat dianjurkan karena adanya insidensi infeksi
bakteri yang serius dan sepsis yang berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas.5,14
Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah langkah
pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala perubahan
13

harus diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran level gas darah arteri.
Tingkat serum bikarbonat di bawah 20 μm mengindikasikan prognosis yang
buruk. Pada umumnya disebabkan oleh alkalosis pernafasan yang terkait dengan
keterlibatan spesifik bronkus serta sedikit pengaruh asidosis metabolik.1
Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SSJ/NET
adalah gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia,
insufisiensi ginjal, azotemia prerenal, leukositosis ringan, anemia, neutropenia,
sedikit peningkatan enzim hepar dan amilase, hiperglikemia. Serum urea nitrogen
>10mmol/L dan glukosa >14mmol/L dianggap penanda keparahan penyakit.1,14

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Seluruh kasus yang disangkakan SSJ dan NET harus dikonfirmasi melalui
pemeriksaan biopsi kulit untuk histopatologi dan pemeriksaan
immunofluoresence. Lesi awal menunjukkan apoptosis keratinosit pada lapisan
suprabasal. Lesi akhirnya akan memperlihatkan nekrosis epidermal yang tebal dan
pelepasan epidermis dari dermis. Infiltrasi sel mononuklear dengan kepadatan
sedang pada papilla dermis dapat terlihat, sebagian besar diwakili oleh limfosit
dan makrofag.10,13,14

2.6. Diagnosis Banding


Tidak adanya lesi pada membran mukosa atau hanya terbatas pada satu
bagian harus selalu meningkatkan kecurigaan terhadap diagnosis alternatif:
staphylococcal scalded skin syndrome pada bayi, purpura fulminans pada anak-
anak dan dewasa muda, acute generalized, exanthematous pusstulosis, thermal
burns, phototoxicity, atau tekanan bulla pada orang dewasa. Penyakit bullous
Linear immunoglobulin A dan pemphigus paraneoplastik muncul dengan hanya
sedikit perkembangan akut. Penemuan patologis dan hasil positif pada tes direct
immunofluorescence penting diagnosis ini.2,9
14
15

Tabel 2.4. Diagnosis banding SSJ dan NET13

2.7. Penatalaksanaan
Manajemen pasien harus dikerjakan dengan cepat dan tepat. Hal penting
yang harus dilakukan mendiagnosis dengan cepat, perawatan khusus dan
multidisiplin tim pada intensive care unit (ICU) atau unit luka bakar. Perawatan
suportif termasuk menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah
komplikasi yang mengancam jiwa. Tujuan pada dasarnya sama dengan tujuan
luka bakar yang luas.3,4
Penatalaksanaan Umum
Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti pada
luka bakar . Selain menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan
luka, manajemen cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata,
manajemen suhu, kontrol nyeri dan pemantauan pengobatan infeksi.15
Penghentian Obat Penyebab
Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala
obat-obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir.
Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi penyebab
terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk melakukan penelitian untuk menentukan
apakah waktu penghentian obat berhubungan dengan prognosis pasien NET atau
SSJ. Hasil penelitian menunujukkan bahwa angka kematian lebih rendah apabila
obat penyebab dengan waktu paruh eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih
dari 1 hari ketika bula atau erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat
16

penyebab dengan waktu paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih
tinggi.4
Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi
SSJ/NET dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan
dikarenakan erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan
elektrolit. Penggantian ulang cairan harus dimulai secepat mungkin dan
disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus biasanya kurang dari luka bakar pada
tingkat keparahan yang sama, karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran
vena perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran
sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain yang
perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28˚C
hingga 30˚C-32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan karena
kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur meningkatan rasa
nyaman pasien.1,15
Pasien SSJ dan NET mengalami status katabolik yang tinggi sehingga
memerlukan tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan
luas area tubuh yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral
karena dapat ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan
kalori lebih banyak. Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena sentral
dan meningkatkan resiko sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila
terdapat lesi mukosa mulut.1
Antibiotik
Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat
menyebabkan resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan
antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara
lain perubahan status mental, mengigil, hipotermia, menurunnya pengeluaran urin
dan penurunan kondisi klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri pada
kultur kulit. Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat
disarankan. Penyebab utama dari sepsis pada pasien SSJ/NET adalah
Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Spesies Staphylococus yang
dikultur dari darah biasanya sama dengan yang dikultur dari kulit.6,10,15
17

Perawatan Luka
Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan
agresif tidak direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan
bukanlah halangan untuk reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat proliferasi
sel-sel stem berkenaan dengan sitokin peradangan.1
Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan,
elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan dengan
pemberian analgetik dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan
antiseptik yang ringan dan solusio antibiotik seperti sabun povidone iodine,
chlorhexidine, silver nitrate untuk mengurangi pertumbuhan bakteri.1,15
Perawatan Mata dan Mulut
Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap
SSJ/NET. Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi okular
akut yang sama pada SSJ maupun NET dengan keterlibatan berat sebesar 25%.
Gejala sisa kronis terjadi pada sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar
konjungtiva. Permasalahan residual pada mata yang paling sering dilaporkan
adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien
penyakit okular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata,
inflamasi episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif yang
menyerupai pemfigoid membran mukosa. Perawatan mata meliputi pembersihan
kelopak mata dan memberi pelumas setiap hari dengan obat tetes atau salep
mata.4,15
Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga
kebersihan rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan
mengoleskan topikal anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum makan
sehingga dapat mengurangi sakit waktu menelan. Tindakan ini hanya
direkomendasikan bila penderita tidak mengalami pharyngealdysphagia. Hindari
makanan yang terlalu panas atau dingin, makanan yang asam dan kasar.
Sebaiknya makanan yang halus dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi pada
mulut. Kadang-kadang diberikan obat anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-
18

kumur soda bikarbonat, hydrogen peroksida dengan konsentrasi ringan.


Pemberian topikal pada bibir seperti vaselin, lanolin.6
Perawatan vulvovaginal
Pencegahan pada vulvovaginal dengan memeriksakan ginekologi dini harus
dilakukan pada semua pasien wanita penderita SJS/NET. Tujuan dari pengobatan
ini untuk mencegah keterlibatan vagina yang membentuk adhesi dan aglutinasi
labial serta mencegah adenosis vagina (bila dijumpai keterlibatan metaplastik
serviks / endometrium, epitel kelenjar divulva atau vagina). Pencegahan dengan
memberikan kortikosteroid intravaginal diterapkan dua kali sehari pada pasien
dengan lesi ulseratif sampai resolusi fase akut penyakit. Pemberian kortikosteroid
topikal ini disertai dengan krim antijamur topikal untuk mencegah kandidiasis
vagina.15

Penatalaksanaan Spesifik
Kortikosteroid Sistemik
Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi
menemukan bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit
bila diberikan pada fase awal. Studi lain menyebutkan bahwa steroid tidak
menghentikan perkembangan penyakit dan bahkan dihubungkan dengan kenaikan
mortalitas dan efek samping, khususnya sepsis. Selanjutnya, banyak kasus telah
dilaporkan yang telah diobati dengan kortikosteroid, akan meningkatkan resiko
SSJ/NET. Jadi, kortikosteroid sistemik tidak dapat direkomendasikan sebagai
pedoman utama pengobatan SSJ/NET.
Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk
mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5 hari diikuti
penurunan secara bertahap (tapering off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-
40 mg sehari. Dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis
permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena pada
umumnya penyebab SSJ/NET adalah eksogen (alergi). Pada SSJ/NET,
kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis.
19

Kortikosteroid juga mempunyai efek anti-apoptosis pada banyak jaringan


termasuk kulit dengan menghambat aktivitas Fas-FasL.6,11,12,15
Immunoglobulin Intravena (IVIG)
Anjuran pemakaian immunoglobulin intravena dosis tinggi didasarkan pada
demonstrasi bahwa kematian sel yang diperantarai Fas dapat dibatalkan oleh
aktivitas anti-Fas yang ada dalam sejumlah immunoglobulin manusia normal.
Keuntungan telah ditegaskan oleh beberapa studi dan laporan kasus tetapi
disangkal oleh beberapa yang lainnya.13,15
IVIG mengandung antibodi imun yang mengganggu jalur apoptosis yang
diperantarai oleh Fas-L dan reseptor. Secara teoritis, yang paling baik pemberian
IVIG pada awal (24-72 jam setelah munculnya bulla pertama), sebelum Fas-L dan
reseptor berikatan, walaupun masih efektif jika bulla yang baru muncul. Pasien
dengan defisiensi IgA akan terjadi anafilaksis akibat IVIG. Sangat baik dilakukan
pemeriksaan tingkat IgA sebelum pemberian namun menunggu hasilnya dapat
menyebabkan keterlambatan pengobatan. Hasil studi dari IVIG pada SSJ dan NET
masih diperdebatkan, dan IVIG tidak disarankan sebagai pengobatan rutin.
Namun jika diputuskan untuk menggunakan IVIG dengan penyakit berat
diberikan dosis 1 gr/kgBB perhari selama 3 hari berturut – turut pada fase awal
penyakit yaitu dalam waktu 24-48 jam dari onset gejala. 13,15 Efek samping IVIG
termasuk ginjal, hematologi, dan komplikasi trombotik. Resiko komplikasi yang
serius meningkat pada pasien usia tua yang menerima dosis tinggi IVIG serta pada
penderita gangguan ginjal dan jantung. Telah dilaporkan hemolisis berat dan
nefropati pada pasien SJS/NET yang diobati dengan IVIG.15
Siklosporin A
Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang penuh kekuatan
dihubungkan dengan efek biologik yang secara teoritis berguna dalam pengobatan
SSJ/NET. Dalam sebuah serial kasus retrospektif, 11 pasien NET diterapi dengan
siklosporin A (3 mg/kg/hari), terapi siklosporin A menyebabkan reepitelisasi yang
cepat dan angka mortalitas yang rendah bila dibandingkan dengan siklofosfamid
dan kortikosteroid (0% vs 50%). Berbagai laporan kasus individual yang
menggunakan dosis 3 hingga 5 mg/kg/hari secara intravena atau oral juga telah
20

dipublikasikan memperlambat perkembangan SJS/NET tanpa toksisitas yang


signifikan. Durasi pengobatan bervariasi mulai dari 8 hingga 24 hari, biasanya
hingga pasien mengalami reepitelisasi. Efek samping termasuk peningkatan
ringan dari serum kreatinin, hipertensi, dan infeksi. Siklofosfamid sebagai bahan
tunggal telah digunakan meskipun saat ini tidak digunakan di kebanyakan
sentra.4,15
Agen TNF-α
Dalam beberapa laporan kasus dengan pemberian infus tunggal 5 mg/kgbb
TNF- α menghentikan perluasan dan perkembangan dari SJS/NET dan memicu
epitelisasi. Pemberian etanercept 50 mg inj subkutan telah berhasil digunakan
dalam sejumlah kecil pasien.15
Plasmafaresis atau Hemodialisis
Dasar pemikiran untuk memakai plasmafaresis atau hemodialisis adalah
mendorong perpindahan obat yang salah, metabolitnya, atau mediator peradangan
seperti sitokin. Sebuah laporan kasus kecil melaporkan efikasi dan keamanannya
dalam penatalaksanaan SSJ/NET. Bagaimanapun, mempertimbangkan tidak
adanya dasar dan adanya resiko yang dihubungkan dengan pemasangan kateter
intravaskular, penatalaksanaan ini tidak direkomendasikan.
21

Algoritma Penatalaksanaan

Riwayat menggunakan obat secara


sistemik atau kontak pada kulit terbuka

Gejala prodromal: Kelainan kulit: Kelainan Laboratorium :


mukosa : mata,
1-14 hari (demam, Eritema, vesikel, darah lengkap,
orifisium,
malaise, sakit kepala) papul, erosi, elektrolit,
mulut,
ekskoriasi, albumin,
anogenital
purpura fungsi hati

BSA (Body Surface Area)

< 10% 10-30% > 30%

SSJ SSJ / NET NET

SCORTEN

0 atau 1 >1

Ruang perawatan non intensif Ruang perawatan intensif

Langkah suportif :
Identifikasi & Terapi aktif :
eliminasi obat Kulit: erosi ditutup dengan gauze
Kortikosteroid & hidrokolid dressing; Mata:
penyebab:
sistemik, IVIG, lubrikan, steroid, antibiotik tetes
hentikan obat yang
antibiotik, mata, melepaskan adhesive
diduga sebagai
keseimbangan lidglobe secara perlahan; Sal.
penyebab dan
hemodinamik, protein nafas: postural drainage; Sal.
kontrol infeksi
& elektrolit cerna: tinggi kalori, protein, IVFD
22

BAB 3

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Lalu Heri Purnama


Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 26 tahun
Alamat : Bagik Anjar, Wanasaba, Lombok Timur
Agama : Islam
Status pernikahan : Belum menikah
Pekerjaan : Mahasiswa
Pendidikan : SMA
No Rekam Medis : 44.23.07
Tanggal Pemeriksaan : 09 April 2019

B. Anamnesis
Keluhan Utama
Kulit kemerahan di seluruh tubuh

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan utama kulit di seluruh tubuh muncul ruam-
ruam kemerahan, melepuh, dan terasa panas sejak tanggal 26/03/2019 (2
minggu sebelum masuk RS) seperti dibakar. Mulut pasien terasa sangat nyeri
apabila dibuka. Keluhan diawali dengan badan terasa demam (+) naik turun.
Pasien sebelumnya berobat di RSI Namira karena terdiagnosis B20 / HIV.
Pasien mendapat regimen pengobatan ARV berupa: Tenovofir, Lamivudine,
Efavirenz, Nevirapine, dan Cotrimoxazole sejak 1 bulan sebelum masuk RS.
Karena muncul keluhan kulit kemerahan, maka Cotrimoxazole dihentikan
sejak 2 minggu sebelum masuk RS oleh dokter yang merawat pasien
sebelumnya. Namun, keluhan pasien belum juga membaik.
23

Riwayat Penyakit Terdahulu


B20 / HIV

Riwayat Alergi
Tidak ditemukan riwayat alergi sebelumnya, baik obat maupun makanan

Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang mahasiswa yang juga bekerja menjadi tukang pijat di
hotel

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
TTV : TD : 110 / 70 mmHg
HR : 120 x/menit
RR : 20 x/menit
Temp : 380C
SpO2 : 98% (room air)

Status Generalisata
Kepala : normosefali
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil
bulat isokor, diameter 3mm / 3mm , refleks cahaya
langsung dan tidak langsung +/+
Mulut : oral trush (+)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : Cor : S1S2 (+) tunggal, reguler, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : datar, soepel, bising usus (+) normal,
24

nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba


Genitalia : dalam batas normal
Ekstremitas : CRT < 2 detik, hangat +/+, edema -/-

Status Dermatologis
Lokasi : generalisata (seluruh tubuh)
Efloresensi : plak eritematosa generalisata ± >40% dengan
skuama, terdapat bulla pada beberapa regio tubuh
dengan ukuran yang bervariasi, kemudian
memecah berisi cairan sehingga timbul erosi yang
luas. Epidermolisis (+). Tanda nikolsky positif.
Lesi pada bibir berupa erosi dengan krusta warna
merah kehitaman.

D. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (11/04/2019):
Hb : 10,1 g/dL Kreatinin : 0,57 mg/dL
MCV : 93,4 fL
Leukosit : 3.220
MCH : 31,7 pg
Trombosit : 162.000
MCHC : 33,9 g/dL
Ht : 29,8 %
SGOT : 21,5 U/L
Ureum : 23,5 mg/dL
SGPT : 32,3 U/L
Foto Thorax PA (08/04/2019) :
Tidak tampak pembesaran pada jantung
Paru : tidak tampak infiltrat
Peningkatan corakan bronkovaskuler
Sudut-sudut kostofrenikus lancip
Tulang-tulang intak

E. Diagnosis Kerja
 Toxic Epidermal Necrolysis ec Susp. Cotrimoxazole dan/atau Nevirapine
 B20

F. Diagnosis Banding
 Sindrom Stevens-Johnson (SSJ)
 Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S)

G. Penatalaksanaan dan Follow up


(09/04/2019)
Rawat bersama Dept. Kulit dan Kelamin dengan Dept. Ilmu Penyakit Dalam
-. Rawat ruangan isolasi (B20)
24

-. Stop ARV dan Cotrimoxazole sementara, evaluasi ARV


-. Diet TKTP
-. IVFD NS 1000 cc / 24 jam
-. Inj. Ceftriaxone 2 x 2 gr/iv (ST)
-. Inj. Dexametason 20 mg – 0 – 15 mg
-. Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
-. Cetirizine tab 0 – 0 – 10 mg
-. Paracetamol tab 3 x 500 mg

(10-11/04/2019)
-. Terapi lanjut
-. IVFD NS 1500 cc / 24 jam
-. Desoximethasone cream 2 x dd ue
-. Nistatin drop 3 x gtt II

(12/04/2019)
-. Terapi lanjut
-. Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv
-. Betamethasone + as. fusidat 2 x dd ue
-. ARV mulai bertahap → Tenofovir 1x1

(13-14/04/2019)
-. Terapi lanjut
-. ARV mulai bertahap → Tenofovir 1x1, Lamivudine 1x1

(15/04/2019)
-. Terapi lanjut
-. Inj. Dexamethasone tapp off → 15 mg – 0 – 10 mg
-. ARV mulai bertahap → Tenofovir 1x1, Lamivudine 1x1, Nevirapine 1x1
-. Betamethasone + as. fusidat 2 x dd ue
-. Emolient olive oil 2 x dd ue (sebelum salep)
25

(16-19/04/2019), keluhan gatal (+)


-. Terapi lanjut
-. IVFD NS 1000 cc / 24 jam
-. Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr/iv
-. Inj. Dexamethasone tapp off → 10 mg – 0 – 5 mg
-. ARV mulai bertahap → Tenofovir 1x1, Lamivudine 1x1, Efavirenz 1x1,
Nevirapine stop
-. Paracetamol tab 3 x 500 mg (k/p)

(20/04/2019)
-. Tenofovir 1x1, Lamivudine 1x1, Efavirenz 1x1
-. Methylprednisolon tab 3 x 8 mg
-. Betamethasone + as. fusidat 2 x dd ue
-. Emolient olive oil 2 x dd ue (sebelum salep)

H. Resume
Pasien a/n LHP , laki-laki usia 26 tahun dirujuk ke Instalasi Gawat Darurat
RSUD Dr. R. Soedjono Selong dengan keluhan kulit kemerahan, melepuh, dan
terasa panas seperti dibakar sejak 2 minggu yang lalu. Keluhan diawali dengan
badan terasa demam yang naik turun. Pasien sebelumnya telah terdiagnosis
B20/HIV dan mendapat pengobatan ARV dan Cotrimoxazole sejak 1 bulan yang
lalu. Pada pemeriksaan fisik dijumpai tanda vital dalam batas normal. Dijumpai
plak eritematosa generalisata ± >40% dengan skuama, terdapat bulla pada
beberapa regio tubuh dengan ukuran yang bervariasi, kemudian memecah berisi
cairan sehingga timbul erosi yang luas. Epidermolisis dijumpai. Tanda nikolsky
positif. Lesi pada bibir berupa erosi dengan krusta warna merah kehitaman. Pasien
ditatalaksana dengan pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat, perawatan luka,
kontrol infeksi, dan nyeri dengan pemberian kortikosteroid, antibiotik, dan terapi
suportif lainnya.
26
27

DAFTAR PUSTAKA

1. Valeyrie Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven Johnsosns


Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology
in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw;2008;349-55
2. Hamzah M. Nekrolisis Epidermal Toksik. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2007;166-68
3. Harr Thomas, French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson
syndrome. Dalam: Orphanet Journal of rare disease 2010:1-11
4. Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson syndrome,
toxic epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451
5. Tyagi S, Kumar S, Kumar A, Singla M, Singh A. Stevens Johnson Syndrome-A
life threatening disorder: A review. Dalam: J Chem Pharm Res 2010,2(2):618-
26
6. Mahadi IDR. Sindroma Stevens Johnson. Dalam: Simposium dan Pelatihan
“What’s new in Dermatology”. Banda Aceh, 10 Juli 2010; 1-5
7. Torres MJ, Mayorga C, Blanca M. Nonimmediate Allergic Reactions Induced
by Drugs: Pathogenesis and Diagnostic Test. Dalam: J Investing Allergol Clind
Immunol 2009;19:80-90
8. Chung WH, Hung SI. Genetic markers and danger signals in stevens Johnson
syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Allergology International,
2010;59:325-32
9. Hamzah M. Sindrom Stevens Johnson. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi keenam, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2007;163-65
10. Yim H, Park JM, Suk Kong, Kim D, Hur J, Chun W, et all. A clinical study of
stevens Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: Efficacy of
treatment in Burn Intensive care unit. Dalam: J.Korean Surg Soc:
2010(78):133-39
28

11. Michaels B, Q James. The role of systemic corticosteroid therapy in erythema


multiforme major and stevens Johnson syndrome. Dalam: Clinical Aesthetic
Dermatology;2009;2:51-55
12. Widgerow DA. Toxic epidermal necrolysis-management issues and treatment
options. Dalam: Int J Burn Trauma; 2011;1(1);42-50
13. Ho, H. Diagnosis and management of stevens johnsosn syndrome and toxic
epidermal necrolysis. Dalam: Hongkong Medical Bulletin;2010 Vol.13 No 10.
14. Milton H. Nirken et all. Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis : Pathogenesis, Clinical manifestations and diagnosis, MD
Employee of UpToDate Inc , Feb 2015
15. Whitney A High, MD et all. Steven Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis : Management, Prognosis and Long term sequelae. MD Employee
of UpToDate Inc, March 2015
16. Maja Mockenhaupt, MD, PhD. The Current Understanding of Steven Johnsos
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. Expert Rev Clin Immunol 7 (6),
803 – 815 ( 2011 )
17. Perdoski. Kedaruratan Kulit. Dalam: Panduan pelayanan medis dokter
spesialis kulit dan kelamin, Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK
UI/RSCM:2011:263-7
29

LAMPIRAN

Hari ke – 2 perawatan (10/04)

Hari ke – 4 perawatan (12/04)


30

Hari ke – 12 perawatan (20/04)


31
32

HALAMAN PERSETUJUAN

Nama Peserta : dr. Theresia Murniwati Situmorang

Judul/Topik : Toxic Epidermal Necrolysis

Nama Wahana : RSUD Dr. R. Soedjono Selong, Lombok Timur, NTB

Laporan kasus ini telah diterima sebagai salah satu tugas pada masa
internsip di RSUD Dr. R. Soedjono Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Selong, 11 Juli 2019

Pembimbing Kasus Pendamping

dr. Lysa Mariam, Sp.KK dr. Yoseph Bharata


NIP: 19800718 201001 2 007 NIP: 19751220 201001 1 006
33

BERITA ACARA PRESENTASI KASUS

Pada hari ini, tanggal 11 Juli 2019 telah dipresentasikan laporan kasus oleh :

Nama Peserta : dr. Theresia Murniwati Situmorang

Judul/Topik : Toxic Epidermal Necrolysis

Nama Pembimbing : dr. Lysa Mariam, Sp.KK

Nama Pendamping : dr. Yoseph Bharata

dr. Syamsul Rodja

N NAMA TTD N NAMA TTD


O O

Pembimbing :

dr. Lysa Mariam, Sp.KK

Pendamping Pendamping
34

dr. Yoseph Bharata dr. Syamsul Rodja

Anda mungkin juga menyukai