Anda di halaman 1dari 29

Case Report Session

STEVEN-JHONSON SYINDROME OVERLAP NECROLYSIS EPIDERMAL


TOXIC (SJS NET)

Oleh:
Kaharudin 1840312770
Fetriza Helfia Sari 1840312774
Resti Yuliana Putri 1940312151

Preseptor:
Dr. dr. Qaira Anum, SpKK(K) FINSDV, FAADV
dr. Rina Gustia, SpKK, FINSDV, FAADV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2020

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat dan karunia Allah Yang Maha Kuasa, karena
atas kehendak- Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Steven-
Jhonson Syindrome Overlap Necrolysis Epidermal Toxic (Sjs Net)”. Case Report
ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik
dibagian Kulit dan Kelamin RSUP DR. M. Djamil Padang. Selain itu, besar
harapan penulis dengan adanya case report ini mampu menambah pengetahuan
para pembaca mengenai Dermatitis KontakAlergi mulai dari definisi hingga
penatalaksananya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Dr. dr. Qaira Anum, SpKK(K) FINSDV, FAADV dan dr. Rina Gustia, SpKK,
FINSDV, FAADV selaku preseptor, yang telah memberikan masukan yang
berguna dalam proses penyusunan makalah ini. Tidak lupa penulis mengucapkan
terima kasih kepada rekan-rekan yang juga turut membantu dalam upaya
penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi isi, susunan
Bahasa maupun sistematika penulisan case report ini. Kritik dan saran pembaca
sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis berharap kiranya case report ini dapat
menjadi masukan yang berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan
profesi lain yang terkait dengan masalah kesehatan khususnya mengenai Dermatitis
Kontak Alergi dan Dermatitis Numularis.

Padang, Juni 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB 1 PENDAHULUAN 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi 6
2.2 Epidemiologi 6
2.3 Etiologi 6
2.4 Patofisiologi 7
2.5 Manifestasi Klinis 8
2.6 Diagnosis 9
2.7 Tata Laksana 10
2.8 Prognosis 11
BAB 3 LAPORAN KASUS 12
BAB 4 DISKUSI 23
BAB 5 PENUTUP 26
DAFTAR PUSTAKA 27
LAMPIRAN 29

3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET)
merupakan reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan
nekrosis epidermis yang luas sehingga terlepas. Kedua penyakit ini mirip dalam
gejala klinis dan histopatologis, faktor resiko, penyebab dan patogenesisnya,
sehingga saat ini digolongkan pada proses yang identik, hanya dibedakan
berdasarkan keparahan saja. Pada SSJ, terdapat epidermolisis <10% luas
permukaan badan (LPB), sedangkan pada NET >30%. Bila keterlibatan 10-3-%

LPB disebut sebagai overlap SSJ-NET.1

SSJ-NET merupakan penyakit yang jarang terjadi, secara umum insiden


SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insiden NET 0,4-1,2 kasus/juta
penduduk/tahun. Angka kematian NET adalah 25-35%, sedangkan angka
kematian SSJ adalah 5-12%. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia dan terjadi
peningkatan resiko pada usia diatas 40 tahun. Perempuan cenderung lebih tinggi

daripada laki-laki dengan perbandingan 1,5:1.1 Ada beberapa faktor predisposisi


yang meningkatkan angka kejadian penyakit ini seperti faktor komorbiditas,
meminum banyak obat-obatan, faktor genetik, imunosupresi (pada HIV kejadian
meningkat 1000 kali dibandingkan populasi umum, dengan kejadian 1 per 1000
kasus per tahun), keganasan, penggunaan bersamaan radioterapi dan

antikonvulsan.2

1.2. Batasan Masalah


Penulisan case report session ini membahas tentang definisi,
epidemiologi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis,
penatatalaksanaan, komplikasi dan prognosis SSJ-NET.

4
1.3. Tujuan Penulisan

Penulisan case report session ini bertujuan untuk mengetahui dan


memahami mengenai SSJ-NET.

1.4. Metode Penulisan


Penulisan case report session ini disusun berdasarkan laporan kasus dan
studi kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan nekrolisis epidermal toksik (NET)


merupakan reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis
epidermis yang luas sehingga terkelupas. Kedua penyakit ini mirip dalam gejala
klinis dan histopatologi, faktor risiko, penyebab dan patogenesisnya, sehingga saat ini
digolongkan dalam proses yang identik, hanya dibedakan berdasarkan keparahannat saja.
Pada SSJ, terdapat epidermiolisis sebesar <10% luas permukaan badan (LPB), sedangkan

pada NET >30%. Keterlibatan 10%-30% LPB disebut sebagai overlap SSJ-NET.3

2.2. Epidemiologi

Angka kejadian SSJ di dunia diperkirakan sebanyak 1,2–6 kasus/juta


penduduk/tahun dan NET 0,4–1,2 kasus/ juta penduduk/tahun. SSJ dan NET dapat terjadi
pada berbagai usia, tetapi lebih sering terjadi pada usia di atas 40 tahun. Perempuan lebih
sering terkena daripada laki-laki dengan perbandingan 1,5:1. Angka mortalitas lebih dari
30% pada kasus NET dan pada SSJ sebesar 5–12% dari seluruh kasus. Terdapat 5000 kasus
rawat inap di Amerika Serikat dengan diagnosis utama eritema multiform, sindrom
Stevens-Johnson dan NET, dan 35% dari kejadian ini berhubungan dengan penggunaan

obat.4

2.3. Etiologi

Penyebab SSJ-NET adalah respon imun terhadap paparan obat atau metabolit
yang dimediasi oleh limfosit. Beberapa kasus dideskripsikan terjadi setelah vaksinasi
terhadap measles-mumps-rubella (MMR), infeksi Mycoplasma pneumoniae, dan virus
dengue, setelah reaktivasi infeksi cytomegalovirus, dan setelah pemberian kontras. Namun,
sebagian besar kasus terkait dengan hipersensitivitas obat. Namun penyebab juga bisa
idiopatik, dipicu oleh racun, atau yang berkembang sebagai manifestasi graft-versus-

host disease.5 Etiologi SSJ/NET masih belum diketahui secara pasti, namun sekarang

6
diketahui obat-obatan adalah etiologi utama yang dapat terjadi pada orang dewasa atau
anak- anak. Terdapat lebih dari 100 obat yang dikenal sebagai penyebab SSJ/NET. Sebuah
penelitian case control mengevaluasi resiko SSJ dan NET yang berhubungan dengan
pengobatan. Antibiotik sulfonamide (khususnya sulfametoksazol kombinasi dengan
trimetoprim), karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, obat-obat anti-inflamasi nonsteroid
tipe oksikam, allopurinol, klormezanon, aminopenisillin, sefalosporin, lamotrigin,
nevirapin, kuinolon, dan antibiotik siklik dihubungkan dengan resiko relatif tertinggi.
6,7,8,9

2.4. Patofisiologi

Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada


lesi SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksik terhadap keratinosit sehingga mengakibatkan
apoptosis luas. Reaksi yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang
spesifik terhadap obat penyebab. Berbagai sitokin terlibat dalam pathogenesis penyakit

ini, yaitu: IL-6, TNF-α, IFN-γ, IL-18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-B.3 Baru-baru
ini, reactive oxygen species (ROS) yang terbentuk dalam keratinosit juga terlibat. Diyakini
bahwa kerusakan intraseluler oleh ROS mendahului aktivasi dari sistem pro-apoptosis.
Sindrom Stevens-Johnson dan NET memiliki komponen genetik. Fenotip antigen HLA-
B12 dikaitkan dengan insiden NET yang lebih tinggi. Reaksi terhadap sulfonamid
dikaitkan dengan A29, B12, dan DR7, sedangkan reaksi terhadap turunan oksikam
dikaitkan dengan A2 dan B2. Telah dikemukakan bahwa keratinosit secara abnormal
memetabolisme agen yang bertanggung jawab menghasilkan metabolit yang berikatan
dengan molekul HLA pada permukaan sel dan dikenali oleh limfosit sitotoksik. Limfosit
ini bermigrasi ke epidermis, bereaksi dengan keratinosit, dan menyebabkan nekrolisis

epidermal.5

Infiltrat epidermal dan dermoepidermal berhubungan dengan limfosit T CD8+,


dan infiltrat dermal ke limfosit T CD4. Telah diamati sel limfoid dendritik yang ditemukan
pada makrofag yang rusak dan keratinosit nekrotik. Pada titik akhir kontak dengan
membran plasma tidak ada. Ekspresi penyimpangan HLA-DR dalam keratinosit juga

7
telah dicatat sebagai sebuah fenomena yang juga diamati pada penyakit inflamasi

kulit lainnya.5

2.5. Manifestasi Klinis

a. Periode prodromal

Manifestasi sistemik yang mencakup demam, batuk, pilek, konjungtivitis,


kehilangan nafsu makan, dan malaise umum. Durasi fase ini biasanya 48-72 jam, namun
juga bias berlangsung selama berminggu-minggu. Biasanya terjadi 1-3 minggu setelah
konsumsi obat penyebab. Tanda pada membrane mukosa (mata, mulut, hidung, dan alat
kelamin) dimulai setelah masa prodormal di 90% kasus.

b. Periode Nekrolisis

Sebuah makula eritematosa atau purpurik muncul dengan sensasi rasa sakit dan
terbakar. Awalnya distribusi lesi secara simetris pada wajah, badan dan bagian proksimal
ekstremitas, umumnya menghindari kulit kepala. Lesi menyebar dengan cepat dan
mencapai maksimum dalam 4 hari, meskipun terkadang dapat muncul dalam hitungan
jam. Lesi kulit meluas dan berkembang menjadi nekrotik, sehingga terjadi bula kendur

dengan tanda Nikolsky positif.3,5

c. Keterlibatan mukosal

Lesi mukosa muncul pada 90-95% pasien. Lesi mukosa menetap dapat
ditemukan pada orofaring, mata, alat kelamin, dan anus. Lesi lebih jarang pada hidung,
kerongkongan, trakea, dan bronkus. Keterlibatan dari mukosa yang berbeda mengarah
pada pembentukan sinekia, dengan disfungsi dan nyeri, yang harus dicegah. Pasien dapat
terkena konjungtivitis purulen, mucositis dari mulut dan area genital, dan denudasi
lengkap dari gastrointestinal, pernapasan, dan mukosa genitourinari. Keterlibatan
Vulvovaginal atau balanoposthitis dapat menyebabkan retensi urin dan vagina atau stenosis
saluran vagina. Keterlibatan okular terjadi dengan fotofobia, nyeri, dan kehilangan

penglihatan; termasuk keratitis, infeksi, dan kehilangan penglihatan permanen.5

8
2.6. Diagnosis

SJS dicirikan oleh keterlibatan area permukaan tubuh < 10%; overlap SJS-
NET menandakan 10% – 30% keterlibatan dan bentuk spektrum yang paling parah,
NET ditandai dengan keterlibatan > 30% luas permukaan tubuh. Peradangan mukosa
(oral, okular, dan genitourinary) hampir menyeluruh. Pseudo-Nikolsky dan Asboe

Hansen sign dapat timbul dalam sebagian besar kasus.10 Tidak ada pemeriksaan
laboratorium yang spesifik kecuali biopsi yang dapat menegakkan diagnose SSJ. Pada
pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan anemia, limfopenia dan jumlah
leukosit yang normal atau leukositosis nonspesifik, eosinophilia jarang dan neutropenia
dapat terjadi pada 1/3 pasien. Peningkatan leukositosis yang berat mengindikasikan adanya
infeksi bakteri yang lainnya. Kultur darah dan kulit sangat dianjurkan karena adanya
insidensi infeksi bakteri yang serius dan sepsis yang berhubungan dengan

morbiditas dan mortalitas.9,11

Evaluasi terhadap frekuensi pernafasan dan oksigenasi darah adalah langkah


pertama untuk dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Segala perubahan harus
diperiksa secara menyeluruh melalui pengukuran level gas darah arteri. Tingkat serum
bikarbonat dibawah 20 µm mengindikasikan prognosis yang buruk. Pada umumnya
disebabkan oleh alkalosis pernafasan yang terkait dengan keterlibatan spesifik bronkus

serta sedikit pengaruh asidosis metabolik.12 Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium


yang ditemukan pada SSJ/NET adalah gangguan keseimbangan elektrolit,
hipoalbuminemia, hipoproteinemia, insufisiensi ginjal, azotemia prerenal, leukositosis
ringan, anemia, neutropenia, sedikit peningkatan enzim hepar dan amilase,
hiperglikemia.Serum urea nitrogen > 10mmol/L dan glukosa > 14mmol/L dianggap

penanda keparahan penyakit.9,12

Diagnosis Banding:

- Staphylococcal scaled skin syndrome

- Generalized bullous fixed drug eruption

9
- Acute generalized exanthematous pustulosis

- Graft versus host disease

- Lupus eritematosus bulosa

- Eritema multiformis mayor3

2.7. Tatalaksana

a. Tindakan umum3,10

- Segera menghentikan semua dugaan obat adalah kunci untuk pengelolaan SJS-
TEN.
- Pengaturan suhu sekitar (28°c – 30°c), keseimbangan cairan-elektrolit yang tepat,
dan pemeliharaan lingkungan aseptik yang ketat sangat penting. Penggantian perban
dan tanpa debridement luka, nutrisi sesuai kebutuhan dan kemampuan asupan
makanan.
- Perawatan mukosa mulut dan mata yang baik, rujukan awal ke dokter mata
mencegah komplikasi seperti jaringan parut dan formasi sinekia.

b. Medikamentosa10

- Steroid, Dexamethason 8-16 mg/hari dianjurkan, tetapi dosis dapat lebih tinggi jika
dianggap perlu. Dalam kasus, pemulihan yang tidak memadai, dosis kortikosteroid
dapat ditingkatkan dengan deksametason 4 mg pada hari berikutnya dan evaluasi
diulang pada hari selanjutnya.
- Siklosporin adalah obat kedua yang paling sering digunakan sebagai
imunomodulator dalam pengobatan penyakit ini. Siklosporin diberikan dengan dosis
3 mg/kg/hari selama 10 hari
- IVIgs adalah imunomodulator paling umum di seluruh dunia, digunakan dalam
pengobatan SJS-TEN menurut survei baru-baru ini. IVIg digunakan dengan dosis 2
g/kg. IVIg dosis rendah tampaknya menjadi pengobatan yang aman dan juga efektif
untuk NET pada anak.

10
- Siklofosfamid, karena menghambat CD8, pada dosis 300 mg/hari, tapering off
100 mg/hari hingga 6 hari.
- Plasmapheresis adalah modalitas alternatif yang menjanjikan. Namun,
prosedur ini memerlukan pelatihan intensif dan faktor biaya juga membatasi
penggunaan Plasmaperesis.

2.8. Prognosis

Prognosis penyakit ditentukan dengan menggunakan Skor TEN (SCORTEN).4

Tabel 2.1 SCORTEN

Dalam perjalanan penyakitnya, SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang


mengancam nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure. Pada pasien yang mengalami
penyembuhan, re-epitelisasi terjadi dalam waktu rata-rata 3 minggu. Ggejala sisa yang
sering terjadi adalah skar pada mata dan gangguan penglihatan. Kadang-kadang terjadi
skar pada kulit, gangguan pigmentasi dan gangguan pertumbuhan

11
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Tn. R
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Jl. Jati V No.25 Padang
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan terakhir : S1
Agama : Islam
Suku : Minang Chaniago
Tanggal Pemeriksaan : 16 Juni 2020

3.2 Anamnesis
Pasien laki-laki berusia 25 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil, dengan:

3.2.1 Keluhan Utama


Bercak-bercak merah disertai gelembung-gelembung berisi cairan yang terasa nyeri pada kedua
kelopak mata, pipi, hidung, badan, punggung, kedua lengan dan kedua tungkai yang bertambah
parah sejak 4 hari yang lalu.

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


 10 hari yang lalu, pasien mengeluhkan sakit maag kambuh dan mengkonsumsi Ranitidin yang
dibeli sendiri sebanyak 2 x sehari selama 2 hari. Ranitidin ini baru pertama kali dikonsumsi
dan tidak ada timbul kelainan pada kulit. Pasien juga mulai mengkonsumsi minuman klorofil
bermerk “k­link” sejak 10 hari yang lalu.
 7 hari yang lalu, pasien merasakan sakit kepala dan radang tenggorokan lalu pergi berobat ke
klinik dan mendapat 3 macam obat yaitu Cefadroxil 2 x 500 mg, Ibuprofen 2 x 200 mg, dan
Vitamin B Komplek 3 x sehari. Ketiga macam obat tersebut diminum sampai habis selama 7
hari. Untuk obat cefadroxil dan ibuprofen baru pertama kali dikonsumsi, sedangkan vitamin B
komplek sudah pernah dikonsumsi sebelumnya.
12
 5 hari yang lalu, keluhan sakit kepala dan radang tenggorokan pasien menghilang, namun
pasien mengeluhkan demam, badan lemas, dan letih.
 4 hari yang lalu, muncul bercak-bercak merah disertai gelembung berisi cairan di daerah dada
 2 hari yang lalu, bercak-bercak merah disertai gelembung berisi cairan dirasa semakin
bertambah banyak hingga ke kedua kelopak mata, hidung, dada, perut, punggung, kedua
lengan, dan kedua tungkai. Pasien juga mengeluhkan tenggorokan semakin nyeri dan muncul
keropeng merah kehitaman dan kekuningan yang menyebabkan pasien sulit makan dan minum
 1 hari yang lalu, pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman dan perih di mata, mata merah, mata
berair, dan nyeri saat BAK.
 Penglihatan kabur dan silau, sesak nafas, batuk semakin parah, nyeri perut, diare
terus-menerus, BAB kehitaman, BAK warna kemerahan dan berbuih tidak ada
 Riwayat mengkonsumsi jamu dan suntik vaksin dalam 1 bulan terakhir disangkal
 Pasien tidak merokok dan tidak memiliki hewan peliharaan

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

 Pasien belum pernah mengalami gejala serupa sebelumnya


 Pasien memiliki riwayat alergi sea food dengan gejala muncul bentol merah yang gatal di badan
 Riwayat sering bersin-bersin di pagi hari atau terkena debu, riwayat asma, dan riwayat
gatal-gatal pada kulit dari masa anak-anak disangkal

 Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dan keganasan disangkal

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga/ Riwayat Atopi

 Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami gejala serupa sebelumnya

 Orang tua laki-laki dan adik pasien ada riwayat asma

 Riwayat keganasan pada keluarga disangkal

3.2.5 Riwayat Pengobatan

Pasien belum ada riwayat pengobatan untuk keluhan yang terjadi pada kulit nya.
13
3.3 Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
KeadaanUmum : tampak sakit sedang
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Denyut nadi : 124 x/min
Frekuensi nafas : 20 x/min
Suhu : 36,7 0C
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 50 kg
BMI : 20,8 kg/m2 (normoweight)

3.3.1 Status Generalisata


Kepala : Normocephal, dalam batas normal

Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, alopesia tidak ada.

Mata : Konjungtiva anemis +/+, sekret +/+


THT : Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis

Gigi dan Mulut : oedem eritem, ekskoriasi, krusta merah kehitaman dan kekuningan

Leher : JVP 5-2 cmH2O


Pemeriksaan thorax :
Jantung
Inspeksi : tidak tampak iktus kordis
Palpasi : teraba iktus kordis 1 jari medial LMCS
Perkusi : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : irama jantung reguler, bising (-)


Paru
Dalam Batas Normal

14
Pemeriksaan abdomen:
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas : akral hangat, perfusi baik, oedem tidak ada
KGB : tidak ada pembesaran KGB regional

3.3.2 Status Dermatologikus


 Lokasi : Wajah, dada dan perut, punggung, kedua lengan, kedua tungkai, dan genitalia.
 Distribusi : Simetris, generalisata
 Bentuk : Tidak khas
 Susunan : Diskret - Konfluens
 Batas : Tegas
 Ukuran : Miliar – Plakat
 Tanda Nikolsky : Positif ( + )
 Diaskopi : Positif ( + )
 Efloresensi : Plak eritema disertai makula eritema, disertai vesikel dan bula diatasnya,
sebagian sudah mengalami erosi, ekskoriasi dan menjadi krusta merah
kehitaman.
 Epidermiolisis : 23 %
Dengan rincian:
Wajah 1 %
Dada dan Perut 12 %
Lengan Kanan dan Kiri 1 %
Punggung 6 %
Tungkai 2%
Genitalia 1%

15
3.3.3. Status Venereologikus
 Erosi pada orificium externa dan edema eritema disertai dengan erosi, ekskoriasi
dan krusta pada skrotum.

3.3.4 Foto Pasien

16
17
Pemeriksaan Diaskopi

18
Pemeriksaan Nikolsky Sign

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Laboratorium:

- Hb : 12,6 gr/dl (N : 12-16)


- Leukosit : 4710 /mm3 (N : 5000-10.000)
- Trombosit : 254.000 /mm3 (N : 150.000-400.000)
- Hematokrit : 36 % (N : 35-43)
- Diffcount : 0/0/1/70/24/5
- GDS : 110 mg/dl (N : <200)
- Ureum : 30 mg/dl (N : 10-50)
- Kreatinin : 0,5 mg/dl (N : 0,8-1,3)
- Na+ : 136 mmol/L (N : 136 -145)
- K+ : 4,5mmol/L (N : 3,5 – 5,1)
- Cl- : 100 mmol/L (N : 97-111)
- Total protein : 5,8 g/dl (N : 6,6- 8,7)
- Albumin : 3,0 g/dl (N : 3,8- 5,0 )
- Globulin : 2,8 g/dl (N : 1,3 – 2,7)
Hasil Analisa Gas Darah
- pH : 7,45 (N : 7,35-7,45)
- pCO2 : 30 mmHg (N : 35 – 45)

19
- pO2 : 72 mmHg (N: 80-100)
- HCO3- : 23.0 mmol/L (N : 22-26 mmol/L)

3.5 Diagnosis Kerja


Sindroma Steven-Johnson overlap Nekrolisis Epidermal Toksik ec suspek
Cefadroxil

3.6 Diagnosis Banding


- Sindroma Steven-Johnson overlap Nekrolisis Epidermal Toksik ec suspek
Ranitidin
- SSSS (Staphylococcus Scalded Skin Syndrome)
- Generalized Bullous Fixed Drug Eruption

3.7 Pemeriksaan Anjuran


Pemeriksaan Foto Rontgen Thorax PA
3.8 Resume
Seorang laki-laki usia 25 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang pada
tanggal 16 Juni 2020, dengan keluhan utama bercak-bercak merah disertai gelembung-
gelembung berisi cairan yang terasa nyeri pada kedua kelopak mata, pipi, hidung,
badan, punggung, kedua lengan dan kedua tungkai yang bertambah parah sejak 4 hari
yang lalu.
Awalnya 10 hari yang lalu, pasien mengeluhkan sakit maag kambuh dan
mengkonsumsi Ranitidin yang dibeli sendiri sebanyak 2 x sehari selama 2 hari.
Ranitidin ini baru pertama kali dikonsumsi dan tidak ada timbul kelainan pada kulit.
Pasien juga mulai mengkonsumsi minuman klorofil bermerk “k­link” sejak 10 hari
yang lalu. Kemudian 7 hari yang lalu, pasien merasakan sakit kepala dan radang
tenggorokan lalu pergi berobat ke klinik dan mendapat 3 macam obat yaitu Cefadroxil
2 x 500 mg, Ibuprofen 2 x 200 mg, dan Vitamin B Komplek 3 x sehari. Ketiga macam
obat tersebut diminum sampai habis selama 7 hari. Untuk obat cefadroxil dan ibuprofen
baru pertama kali dikonsumsi, sedangkan vitamin B komplek sudah pernah dikonsumsi
sebelumnya. Kemudian 5 hari yang lalu, keluhan sakit kepala dan radang tenggorokan
pasien menghilang, namun pasien mengeluhkan demam, badan lemas, dan letih.

20
Selanjutnya 4 hari yang lalu, muncul bercak-bercak merah disertai gelembung berisi
cairan di daerah dada. Kemudian 2 hari yang lalu, bercak-bercak merah disertai
gelembung berisi cairan dirasa semakin bertambah banyak hingga ke kedua kelopak
mata, hidung, dada, perut, punggung, kedua lengan, dan kedua tungkai. Pasien juga
mengeluhkan tenggorokan semakin nyeri dan muncul keropeng merah kehitaman dan
kekuningan yang menyebabkan pasien sulit makan dan minum. Kemudian 1 hari yang
lalu, pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman dan perih di mata, mata merah, mata berair,
dan nyeri saat BAK.

Pada pemeriksaan fisik status generalisata dalam batas normal, dan untuk status
dermatologikus ditemukan lokasi lesi hampir seluruh tubuh (wajah, mulut, dada, perut,
punggung, kedua lengan, kedua tungkai, genitalia), distrisbusi simetris - generalisata,
bentuk tidak khas, susunan tidak khas, batas tegas, ukuran miliar – plakat, effloresensi
pada kulit ditemukan plak eritema disertai makula eritema, disertai vesikel dan bula
diatasnya, sebagian sudah mengalami erosi, ekskoriasi dan menjadi krusta merah
kehitaman, tanda Nickolsky (+), diaskopi (+) dengan epidermolisis 23 %. Effloresensi
pada bibir ditemukan erosi dan ekskoriasi, krusta merah kehitaman dan kekuningan.
Pada status venereologikus ditemukan pada erosi pada orificium externa dan edema
eritema disertai dengan erosi, ekskoriasi dan krusta pada skrotum.
3.9 Tatalaksana
Umum:
 Hentikan minum obat tersangka
 Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
 Pemberian nutrisi
 Konsul THT, Mata dan Paru untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Khusus:
 Infus DS 5% : NaCl = 3:1
 Deksametason injeksi 6x5 mg IV
 Inj gentamisin 2x80 mg IV

21
 Inj ranitidin 2x50 mg IV
 Hidrokortison krim 2,5 % 2x1 pada bercak merah
 Kompres NaCl 0,9% untuk krusta di bibir dan genitalia 3x15 menit
 Krim fusilic acid 2% 2x1 untuk luka lecet yang mengering
 Tatalaksana tambahan sesuai TS Mata,THT, Paru

3.10 Prognosis
Faktor Prognosis Poin
Umur >40 tahun -
Takikardi >120/menit 1
Ada Keganasan -
Body surface area of skin 1
detachment >10%
Serum urea >28 mg/dl 1
Bicarbonate <20 mMol/L -
Glukosa Darah > 252 mg/dl -
SCORTEN 3 (mortality
35,3%)

 Quo ad Vitam : dubia ad bonam


 Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
 Quo ad Functionam : dubia ad bonam
 Quo ad Kosmetikum : dubia ad malam

22
BAB 4 DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien Tn. R, laki-laki berusia 25 tahun datang ke


klinik pada tanggal 16 Juni 2020 dengan Sindroma Steven-Johnson overlapping
Nekrolisis Epidermal Toksik ec suspek Cefradoxil. SSJ-NET merupakan reaksi
mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang
luas sehingga terlepas. Penegakan SSJ-NET didasari dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik pada pasien. Pada SSJ terdapat epidermolisis sebesar <10% luas penampang
badan (LPB), sedangkan pada NET ditemukan epidemolisis >30% LPB. Pada
keterlibatan 10-30% LPB disebut sebagai overlap SSJ-NET.
Keluhan utama pasien adalah bercak-bercak merah disertai gelembung-
gelembung berisi cairan yang terasa gatal dan perih pada kedua kelopak mata, pipi,
hidung, badan, punggung, kedua lengan dan kedua tungkai sejak 4 hari yang lalu,
kemudian keluhan bertambah parah dirasakan pasien sejak 2 hari yang lalu.

Awalnya 10 hari yang lalu, pasien yang memiliki riwayat sakit maag,
mengalami kekambuhan dan meminum obat Ranitidin 2 x 150 mg per hari, obat
tersebut baru pertama kali dikonsumsi oleh pasien tetapi tidak menimbulkan bercak-
bercak merah setelah minum obat. Pasien juga 10 hari yang lalu itu mulai mengonsumsi
klorofilyang dibeli dari k-link.Kemudian 7 hari yang lalu, pasien mengeluhkan sakit
kepala dan radang tenggorokan lalu berobat ke klinik dan diberikan Cefradoxil 2x500
mg, Ibuprofen 2x200 mg dan vitamin B Komplek yang diminum 3x sehari. Pasien
mengatakan bahwa baru pertama kali mengonsumsi Cefradoxil dan Ibuprofen, tetapi
sudah pernah mengonsumsi Vitamin B kompleks sebelumnya. Setelah 2 hari
mengonsumsi obat-obatan tersebut pasien mengeluhkan demam, badan lemas dan letih.
Sehari setelahnya barulah pasien mengeluhkan mulai muncul bercak merah dan
gelembung berisi cairan dimulai dari daerah dadanya kemudian menyebar ke area lain
seperti punggung, lengan, tungkai, kelopak mata, hidung, serta pipi.

Dua hari setelah keluhan berawal muncul, bercak merah dan gelembung berisi
cairan bertambah banyak. Pasien juga mulai mengeluhkan adanya nyeri tenggorokan
sehingga pasien tidak bisamenelan makanan. Kemudian juga mulai muncul keropeng

23
merah kehitaman dan kekuningan di pinggirnya. Satu hari ini, mulai muncul mata
merah, perih dan berair. Pasien juga mengaku mengalami nyeri saat BAK sejak satu
hari ini.

Klinis di atas sesuai dengan gambaran klinis SSJ-NET yang telah dijelaskan
pada tinjauan pustaka. Manifestasi klinis SSJ-NET umumnya timbul dalam waktu 8
minggu setelah awal pajanan obat. Sebelum terjadi lesi kulit, dapat timbul beberapa
gejala non-spesifik, misalnya demam, sakit kepala, batuk pilek dan malaise selama 13
hari. Lesi kulit tersebar secara simetris pada wajah, badan dan bagian proksimal
ekstremitas, berupa makula eritematosa atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi target.
Dengan bertambahnya waktu, lesi kulit meluas dan berkembang menjadi nekrotik,
hingga terjadi bula kendur dengan tanda Nikolsky positif. Keparahan dan diagnosis
bergantung pada luasnya permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. Lesi pada
mukosa berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai minimal pada 2 lokasi, yaitu mulut
dan konjungtiva, dapat juga ditemukan erosi di mukosa genital.1 Pada pasien ini
terdapat lesi di daerah mulut, konjungtiva serta mukosa genital. Riwayat infeksi
pneumonia, riwayat transplantasi, riwayat radioterapi, riwayat penyakit SLE, dan
riwayat penyakit keganasan perlu ditanyakan kepada pasien. Hal ini dikarenakan pada
kasus SSJ-NET dapat disebabkan oleh hal-hal tersebut
Mekanisme pasti terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada lesi
SSJ-NET terjadi reaksi sitotoksisk terhadap keratinosit hingga mengakibatkan
apoptosis luas. Reaksi sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T
CD8+ yang spesifik terhadap obat penyebab. Sebagian besar SSJ-NET disebabkan
karena alergi obat. Berbagai obat dilaporkan merupakan penyebaba SSJ-NET. Obat
yang sering menyebabkan SSJ-NET adalah sulfonamida, antikonvulsan aromatik,
alopurinol, antiinflamasi non steroid dan nevirapin.1 Pada pasien obat yang dicurigai
sebagai tersangka adalah Cefradoxil sehingga harus dihentikan penggunaannya.
Tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah tatalaksana umum dan
tatalaksana khsusus. Pada tatalaksana umum diberikan penjelasan mengenai jenis
penyakit dan perjalanannya kepada keluarga pasien, termasuk kondisi pasien yang

24
cukup berat, dan dilakukan penghentian minum obat tersangka pada pasien. Jika masih
diperlukan, pasien bisa diberi obat alternative oleh dokter. Namun, harus dilakukan
pengontrolan ketat terhadap lesi. Perlu juga mengingatkan pasien supaya tidak
mengelupaskan kulit secara paksa. Akibat epidermolisis yang terjadi, fungsi proteksi
dan barrier kulit pasien sering terganggu. Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan
pengontrolan dan koreksi terhadap keseimbangan cairan, elektrolit dan nutrisi pasien.
Hal lain yang juga penting untuk diingatkan kepada pasien yakni membawa kartu alergi
obat setiap pasien ingin berobat. Hal ini supaya pasien tidak mengalami penyakit yang
sama lagi.
Tatalaksana khusus yang diberikan pada pasien adalah IVFD D5% : Nacl 0,9%
= 3:1, injeksi Deksametason 5x5 mg i.v, injeksi Gentamisin 2 x 80 mg i.v, injeksi
ranitidin 2 x 50 mg i.v. Pasien juga diberikan tata laksana khusus topikal yakni
Kompres NaCl 0,9% 3x15 menit pada luka lecet dan keropeng di badan, bibir dan
genitalia, Hidrokortison krim 2,5 % 2x1 pada bercak merah, Krim fussilic acid 2%
untuk luka lecet yang telah mengering, Kenalog orabase 3x1 untuk bibir,
Cloramfenikol eo 3x1 gtt ODS, cendolyteers ed 6 x 1 gtt ODS.
Prognosis pada pasien ini tergantung kepada SCORTEN. Scorten bagi pasien
ini adalah 3 yaitu area lesi > 10% luas permukaan tubuh, takikardi >120x/menit dan
serum urea >10mMol/L, di mana angka kematian adalah 35,3%. Dalam perjalanan
penyakit, SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang mengancam nyawa berupa sepsis
dan multiple organ failure. Pada pasien yang mengalami penyembuhan, reepitelisasi
terjadi dalam waktu rata-rata 3 minggu. Gejala sisa yang sering terjadi adalah skar pada
mata dan gangguan penglihatan. Kadang-kadang terjadi skar pada kulit, gangguan
pigmentasi dan gangguan pertumbuhan kuku.

25
BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan

- Telah dilaporkan kasus Sindroma Steven Jhonson-Overlapping Nekrolisis


Epidermal Toksik ec Suspect Cefradoxil pada Tn.R 20 tahun.
- Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang pada kasus ini.
- Diagnosis SJS overlap NET karena persentase kulit yang mengalami
epidermolysis adalah sekitar
- Terapi yang diberikan meliputi penghentian obat penyebab, suportif,
pemberian steroid, antibiotik profilaksis, serta perawatan lesi kulit, mukosa
mulut, dan mata.
5.2 Saran
- Kepada pasien disarankan menghentikan obat pencetus ( Cefradoxil) dan
diberikan kartu kuning obat ini agar penyakit tidak terulang kembali.
- Pada tatalaksan pasein dengan mertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit
- Pemberian nutrisi disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan dengan
mempertimbangkan kondisi penyakitnya.
- Kerena banyak organ terlibat pasien sebaiknya juga dikonsultasikan ke THT,
Mata dan Paru untuk pemeriksaan dan tatalaksanan lebih lanjut.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Effendi EH. Sindrom Steven-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik.


Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2017. pp:199-200.
2. Dewi CC. Tinjauan atas Stevens-Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal
Necrolysis. Dalam: CDK Edisi Suplemen 2019,46(2):55-9.
3. Linuwih S, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7 th ed.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2017. 199 p.
4. Mochtar M, Negara WP, Murasmita A. Angka kejadian sindrom steven-
johnson dan nekrolisis epidermal toksik di RS Dr. Moewardi Surakarta
periode Agustus 2011-Agustus 2013. Media Dermato-Venereologica
Indonesiana. 2015;42(2):65-9
5. Alonso AE, Aramburu JA, Ruiz MYG, et al. Toxic epidermal necrolysis: a
paradigm of critical illness. Revista Brasileira De Terapia Intensiva. 2017
Oct-Des; 29(4):499-508
6. Harr Thomas, French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson
syndrome. Dalam: Orphanet Journal of rare disease 2010:1-11.
7. Knowles S, Shear NH. Clinical risk management of stevens Johnson
syndrome, toxic epidermal necrolysis. Dalam: Spectrum; 2009;22:441-451
8. Mahadi IDR. Sindroma Stevens Johnson. Dalam: Simposium dan Pelatihan
“What’s new in Dermatology”. Banda Aceh, 10 Juli 2010; 1-5.
9. Milton H. Nirken et all. Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis: Pathogenesis, Clinical manifestations and diagnosis, MD
Employee of UpToDate Inc , Feb 2015.
10. Kumar R, Das A, Das S. Management of steven-johnson syndrome-toxic
epidermal necrolysis: Looking beyond guidelines. Indian Journal of
Dermatology. 2018;63(2):117-24.
11. Tyagi S, Kumar S, Kumar A, Singla M, Singh A. Stevens Johnson Syndrome-
A life threatening disorder: A review. Dalam: J Chem Pharm Res
2010,2(2):618-26.
12. Valeyrie Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven Johnsosns
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,

27
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw;2008;349-55.

LAMPIRAN

28
29

Anda mungkin juga menyukai