Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

KEJANG PADA NEONATUS

Disusun oleh :

Ni Made Rai Wahyuni Setiawati

030.09.170

Pembimbing :

Dr. Tjahaya Bangun Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak

Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih

Periode 5 Januari 2015 – 14 Maret 2015

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta


LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Ni Made Rai Wahyuni Setiawati


NIM : 030.09.170
Judul Referat : Kejang Pada Neonatus

Referat ini telah disetujui oleh dokter pembimbing untuk dijadikan salah satu syarat
mengikuti kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak periode 5 Januari 2015 sampai dengan
14 Maret 2015 di RSUD Budhi Asih.

Yang bertanda tangan di bawah ini,


Dokter Pembimbing

Dr. Tjahaya Bangun, Sp.A


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya sampaikan kepada Allah yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat kasih sayang, kenikmatan, dan kemudahan yang begitu besar sehingga
saya dapat menyelesaikan referat dengan judul “Kejang Pada Neonatus”. Penulisan makalah
kasus ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan Ilmu Kesehatan
Anak di RSUD Budhi Asih, Periode 5 Januari 2015 – 14 Maret 2015.

Penulis menyadari dengan adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak
sehingga referat ini dapat terselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada Dr. Tjahaya Bangun, Sp.A selaku pembimbing yang telah membantu dan
memberikan bimbingan dalam penyusunan referat ini, dan kepada semua pihak yang turut
serta membantu penyusunan referat ini.

Akhir kata dengan segala kekurangan yang penulis miliki, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun akan penulis terima untuk perbaikan selanjutnya. Semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang mempergunakan terutama untuk proses
kemajuan pendidikan selanjutnya.

Jakarta, 17 Februari 2015

Penulis
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan 1
Kata Pengantar 2

Daftar Isi 3
Abstrak 4
BAB I Pendahuluan
BAB II Tinjauan Pustaka
II.1 Definisi Nutrisi Parenteral (NP) 6
II.2 Indikasi Nutrisi Parenteral 6
II.3 Kontraindikasi Nutrisi Parenteral 7
II.4 Jenis Nutrisi Parenteral 7
II.5 Langkah-langkah Pada Tatalaksana NP 8
II.5.1 Penentuan Tujuan NP 8
II.5.2 Penentuan Status Nutrisi 8
II.5.3 Penentuan kebutuhan Nutrisi 11
II.5.4 Akses Pemberian Nutrisi Parenteral Total (NPT) 20
II.5.5 Pelaksanaan Dan Cara Pemberian NPT 22
II.6 Pemantauan 23

II.7 Komplikasi Nutrisi Parenteral 24


II.8 Penghentian Nutrisi Parenteral 25

BAB III Kesimpulan 26


BAB IV Daftar Pustaka 27
BAB I

PENDAHULUAN

Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit metabolik, toksik,
struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu ini daripada pada
periode kehidupan lain kapanpun. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau
orang dewasa karena konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan
pertama. Proses pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit juga mielinisasi tidak sempurna
pada otak neonatus. Discharge kejang karenanya tidak dapat dengan mudah dijalarkan ke
seluruh otak neonatus untuk menimbulkan kejang menyeluruh. Ada setidaknya empat tipe
kejang yang dapat dikenali pada bayi baru lahir.1

Berdasarkan data ruang perinatologi RSUD Budhi Asih dari total jumlah bayi yang di rawat
sebanyak ...% didapatkan gejala kejang saat perawatan. Sembilan puluh persen dari jumlah
bayi yang kejang merupakan bayi dengan hipoglikemia.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

KEJANG PADA NEONATUS

II.1. Definisi Kejang Neonatus

Kejang pada BBL secara klinis adalah perubahan paroksismal dari fungsi neurologik
(misalnya perilaku, sendorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf) yang terjadi pada
bayi berumur sampai dengan 28 hari.2

II.2. Etiologi

Etiologi kejang pada neonatus adalah sebagai berikut :


A. Ensefalopati iskemik hipoksik
Merupakan penyebab tersering (60-65%) kejang pada BBL, biasanya terjadi dalam
waktu 24 jam pertama, dapat terjadi pada BCB maupun BKB terutama bayi dengan
asfiksia. Bentuk kejang subtle atau multifokal klonik serta fokal klonik. Kasus
iskemik hipoksik disertai kejang, 20 % akan mengalami infark serebral. Manifestasi
klinis ensefalopati hipoksik – iskemik dapat dibagi dalam 3 stadium,yaitu : ringan,
sedang dan berat. Manifestasi kejang terjadi pada stadium sedang dan berat.2

B. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan matriks germinal atau intraventrikel adalah penyebab kejang tersering
pada bayi preterm. Scher menentukan 45 % bayi preterm dengan kejang mengalami
perdarahan matriks germinal atau intraventrikel (GMH-IVH). Perdarahan intrakranial
sering sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang, biasanya berhubungan dengan
penyebab lain, yaitu :
1. Perdarahan sub arachnoid
Perdarahan yang sering dijumpai pada BBL, kemungkinan karena robekan
vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik, tiba-
tiba dapat terjadi kejang pada hari pertama atau hari kedua. Pungsi lumbal
harus dikerjakan untuk mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan
serebrospinal. Pemeriksaan CT-Scan sangat berguna untuk menentukan
letak dan luasnya perdarahan. Pemeriksaan perdarahan perlu dikerjakan
untuk menyingkirkan kemungkinan koagulopati. 2
2. Perdarahan subdural
Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks
serebri. Keadaan ini akibat molase kepala yang berlebihan pada letak
verteks , letak muka dan partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior
dan dapat menekan batang otak. Manifestasi klinis hamper sama dengan
ensefalopati hipoksik-iskemik ringan sampai sedang. Bila terjadi
penekanan pada batang otak terdapat pernapasan yang tidak teratur,
kesadaran menurun, tangus melengking, ubun-ubun besar menonjol dan
kejang. Perdarahan pada parenkim otak kadang-kadang dapat menyertai
perdarahan subdural. Deteksi kelainan ini dengan pemeriksaan USG atau
CT-Scan. Perdarahan yang kecil tidak membutuhkan pengobatan, tetapi
pada perdarahan yang besar dan menekan batang otak perlu dilakukan
tindakan bedah untuk mengeluarkan darah. Mortilitas tinggi, dan pada bayi
yang hidup biasanya terdapat gejala sisa neurologis. 2
3. Perdarahan periventrikuler/ intraventrikuler
Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada beratnya
penyakit dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi yang mengalami
trauma atau asfiksia biasanya kelainan timbul pada hari pertama atau
kedua setelah lahir. Pada BKB dapat mengalami perdarahan hebat, gejala
timbul dalam waktu beberapa menit sampai beberapa jam berupa
gangguan napas, kejang tonik umum, pupil terfiksasi, kuadriparesis
flaksid, deserebrasi dan stupor atau koma yang dalam. Pada perdarahan
sedikit, gejala timbul dalam beberapa jam sampai beberapa hari sampai
penurunan kesadaran, kurang aktif, hipotonia, kelainan posisi dan
pergerakan bola mata seperti deviasi, fiksasi vertical dan horizontal
disertai dengan gangguan respirasi. Bila keadaan memburuk akan timbul
kejang. BCB biasanya disertai riwayat intrapartum misalnya trauma,
pasca-pemberian cairan hipertonik secara cepat terutama natrium
bikarbonat dan asfiksia. Manifesasi klinis yang timbul bervariasi mulai
dari asimtomatik sampai gejala yang hebat. Gejala neurologis yang paling
umum dijumpai adalah kejang yang dapat bersifat fokal, multifokal atau
umum. Di samping itu terdapat manifestasi berupa apnu, sianosis, letargi,
jitteriness, muntah, ubun-ubun besar menonjol, tangis melengking dan
perubahan tonus otot. Untuk menegakan diagnosis perdarahan
intraventrikular yang pasti dilakukan pungsi lumbal, pemeriksaan darah
misalnya Hb, Ht dan trombosit, pemeriksaan EEG dan USG. Pemeriksaan
USG mempunyai nilai diagnostik yang tinggi, tidak invasif, aman bagi
bayi dan relatif murah. USG digunakan untuk menentukan saat timbulnya
perdarahan, memantau perubahan yang terjadi dan meramalkan akibat
perdarahan pada masa akut.2

C. Metabolik
Penyebab paling sering kejang metabolik adalah :
Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut hipoglikemia. Kadang
asimtomatis. Hipoglikemia yang berkepanjangan dan berulang dapat
mengakibatkan dampak yang menetap pada SSP. BBL yang mempunyai resiko
tinggi untuk terjadinya hipoglikemia adalah : Bayi Kecil untuk masa kehamilan,
Bayi Besar untuk masa kehamilan dan bayi dari Ibu dengan Diabetes Mellitus.
Hipoglikemi dapat menjadi penyebab dasar pada kejang BBL dan gejala
neurologis lainnya seperti apnu, letargi dan jiterness. Kejang seperti hipoglikemia
ini sering dihibungkan dengan penyebab kejang yang lain. Hanya sekitar 3%
yang benar disebabkan Karena hipoglikemia. Tidak ada keraguan pemberian
terapi dextrose intravena jika ditemukan kadar glukosa rendah pada bayi kejang,
untuk mengembalikan kadar gula darah kembali secepatrnya.
Hipokalsemia/ hipomagnesemia
Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan kedua. Lebih
sering didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan dengan keadaan asfiksia
serta bayi dari ibu dengan diabetes mellitus. Hipokalsemia didefinisikan kadar
kalsium < 7,5 mg/dL (<1,87 mmol/L), biasanya disertai kadar fosfat > 3 mg/dL (>
0,95mmol/L), seperti hipoglikemia kadang asimtomatis. Sering berhubungan
dengan prematuritas atau kesulitan persalinan dan asfiksia. Kadar magnesium
yang rendah sering terjadi bersama dengan hipokalsemi dan perlu diterapi agar
memberikan respon yang baik untuk menghentikan kejang. Mekanisme terjadinya
hipokalsemia bersamaan dengan hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada
bayi berat lahir rendah yang disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium
glukonat kejang masih belum berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia.2
Hiponatremia dan hipernatremia
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang mengalami
perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti
Syndrome of Inappropreiate Anti-Diuretic Hormone (SIADH), sindroma Bartter
atau dehidrasi berat dapat menyebabkan kejang. SIADH berhubungan dengan
keadaan sekunder dari meningitis atau perdarahan intracranial, terapi diuretika,
kehilangan garam yang berlebihan atau asupan cairan yang mengandung kadar
natrium yang rendah, hiponatremia dapat terjadi akibat minum air, pemberian
infus intravena yang berlebihan atau akibat pengeluaran natrium yang berlebihan
lewat kencing dan feses. Hipernatremia terjadi akibat dehidrasi berat atau
iatrogenik atau sekunder akibat asupan natrium yang berlebihan. Dapat juga
terjadi akibat pemberian natrium yang berlebihan secara oral maupun parenteral.3,6

D. Infeksi
Infeksi terjadi sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang BBL, bakteri,
nonbakteri maupun kongenital dapat menyebabkan kejang BBL, biasanya terjadi
setelah minggu pertama kehidupan.
Infeksi digolongkan menjadi :
1. Infeksi akut
Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis dapat
mengakibatkan kejang, biasanya sering berhubungan dengan meningitis.
Kuman gram negative sering mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik
pada BBL. Bakteri yang sering ditemukan adalah group B streptococcus,
Eschericia coli, Listeria sp, Staphylococcus dan Pseudomonas species.
2. Infeksi kronik
Infeksi intrauterin yang berlangsung lama: toxoplasmosis, rubella,
cytomegalovirus, herpes (TORCH), treponema pallidum .7

E. Kernikterus/ensefalopati bilirubin
Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai
meningkatkan kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek menyebabkan
kerusakan otak pada BCB apabila melebihi 20mg/dl. Pada bayi prematur yang
sakit, kadar 10mg/dl sudah berbahaya. Kemungkinan kerusakan otak yang terjadi
tidak hanya disebabkan oleh kadar bilirubin yang tinggi tetapi tergantung kepada
lamanya hiperbilirubinemia. BKB yang sakit dengan sindrom distress
pernapasan, asidosis mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya kernikterus.
Manifestasi klinis kernikterus terdiri dari hipotonia, letargi dan refleks menghisap
lemah. Pada hari kedua terdapat gejala demam, regiditas dan posisi dalam
opistotonus. Selanjutnya gambaran klinis bulan pertama menunjukkan tonus otot
meningkatkan progresif. Sindrom klinis yang tampak sesudah tahun pertama
meliputi : 1) disfungsi ekstra piramidal biasanya berbentuk atetosis dan kora;
2)gangguan gerak bola mata vertikal, ke atas lebih dari pada ke bawah, terdapat
90% kasus; 3) kehilangan pendengaran frekuensi tinggi terdapat pada 60% kasus;
4) retardasi mental terdapat pada 25% kasus.

F. Kejang yang berhubungan dengan obat


1. Pengaruh pemberhentian obat (Drug withdrawl)
Kecanduan metadon pada ibu hamil sering dikaitkan dengan kejang BBL
karena efek putus obat dari kecanduan heroin. Ibu yang ketagihan dengan obat
narkotik selama hamil, bayi yang dilahirkan dalam 24 jam pertama terdapat
gejala gelisah, jitteriness dan kadang-kadang terdapat kejang. Kejang akibat
putus obat (withdrawl) terjadi pertama kali pada usia 3 hari pertama dengan
onset rata-rata 10 hari. Kejang tersebut dapat menetap untuk beberapa bulan.
Tremor dialami oleh bayi yang mendapatkan infus narkotik jangka panjang
untuk mengurangi rasa sakit dan telah diperhatikan pula efek serupa dari
midazolam untuk sedasi pada BKB.
2. Intoksikasi anestesi local
Kejang akibat intoksikasi anestesi lokal/anestesi blok pada ibu yang masuk ke
dalam sirkulasi janin. Ini dapat terjadi akibat anestesi blok paraservikal,
pudendal atau epidural serta anestesi local pada episiotomi yang tidak tepat.
Curiga intoksikasi bila didapatkan pupil tetap dilatasi pada pemeriksaan reflek
pupil dan gerakan mata terfiksasi pada reflek okulosefalik (refle doll’s eye
menghilang). Bayi lahir menunjukkan Apgar skor yang rendah, hipotonia dan
hipoventilasi. Kejang terjadi dalam waktu 6 jam pertama
kelahiran.Prognosisnya baik, bila diberikan pengobatan suportif yang
memadai akan membaik setelah 24-48 jam.

Penyebab kejang lainnya yang jarang terjadi


G. Gangguan Perkembangan Otak
Kelainan disebabkan karena terganggunya perkebangan otak. Beberapa kelainan
susunan saraf pusat dapat menimbulkan kejang pada hari pertama kehidupan.
Penyebab yang sering ditemukan adalah disgenesis korteks serebri, dapat disertai
keadaan : dismorfi, hidrosefalus, mikrosefalus. Kelainan migrasi sel saraf seperti
lisensefali atau schizensefali dapat terjadi pada kejang BBL.

H. Kelainan yang diturunkan


1. Gangguan metabolisme asam amino
Kejang biasanya terjadi antara 5-14 hari setelah bayi lahir. Termasuk kelainan
ini adalah: maple syrup urine disease, isovaleric academia, glycine
encephalopathy, arginosuccsinic aciduria dan phenyketonuria
2. Ketergantungan dan kekurangan piridoksin
Kasus pertama kejang tak terkontrol yang berespon pada piridoksin dilaporkan
oleh Hunt dkk pada tahun 1954. Ketergantungan piridoksin terjadi akibat
gangguan metabolisme piridoksin. Dasar dari kelainan ini kemungkinan
karena kekurangan dalam pengikatan koenzim piridoksal fosfat pada glutamik
dekarboksilase, yaitu enzim yang terlibat dalam pembentukan gama-
aminobutyric acid (GABA). Kekurangan atau menghilangnya GABA, yaitu
suatu zat transmitter inhibisi yang dapat menimbulkan kejang . Kejang sering
terjadi pada jam pertama kehidupan, bahkan sejak dalam kandungan. Kejang
ini bersifat resisten terhadap antikonvulsan. Pada BBL dengan kejang yang
diduga karena gangguan metabolik, tidak membaik dengan pemberian
glucose, kalsium, antikonvulsan dan sebagainya dapat diberikan piridoksin
intravena sebaiknya dengan monitoring EEG. Sebelum pengobatan EEG
menjadi normal. Bila gambaran EEG normal dan serangan kejang berhenti,
diagnosis ketergantungan piridoksin dapat ditegakkan.

I. Idiopatik
Kejang pada BBL yang tidak diketahui penyebabnya, secara relatif sering
menunjukkan hasil yang baik. Tetapi pada kejang beulang yang lama, resisten
terhadap pengobatan atau kejang terulang sesudah pengobatan dihentikan
menunjukkan kemungkinan adanya kerusakan di otak. Pada golongan idiopatik
terdapat 2 hal yang perlu mendapat perhatian yaitu, kejang BBL familial jinak dan
kejang hari kelima
1. Kejang BBL familial jinak (Benign familial Neonatal seizures)
Kejang ini diturunkan secara autosomal dominan, pertama diketahui tahun
1964. Penanda genetik menunjukkan adanya mutasi pada kromosom 29q13.3
dan 8q.24. Kejang terjadi antara hari kedua dan hari kelima belas sesudah
lahir, dan kebanyakan (80%) dimulai pada hari kedua dan ketiga setelah lahir.
Jenis kejang biasanya klonik, sering berulang sampai beberapa puluh kali per
hari tetapi berhenti secara spontan setelah beberapa lama, biasanya serangan
kejang berhenti pada usia 6 bulan. Pada keadaan antara kejang bayi tampak
normal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat keluarga ada yang pernah
mengalami kejang. Kelainan elektrografis yang spesifik berupa gelombang
datar diikuti gelombang bilateral spike dan slow. Kejang dapat dihentikan
dengan obat-obatan biasa dan prognosis untuk perkembangan anak baik.
2. Kejang hari kelima (The Fifth day fits)
Kejang ini adalah kejang berulang antara hari ketiga dan ketujuh kehidupan,
paling sering terjadi pada hari ke 4 dan 5 (80-90%) berlangsung hingga 2
minggu pada BCB dengan riwayat kelahiran normal dan tidak terdapat
kelainan neurologis pada beberapa hari pertama kehidupan. Serangan kejang
yang terjadi dapat berbentuk klonik fokal atau multifokal dan serangan apneu.
Penyebabnya masih merupakan misteri, meskipun kadar zinc pada cairan
serebrospinal yang rendah ditemukan pada beberapa kasus.
3. Bangkitan klonus pada BBL tidur (Benign Neonatal Sleep Mioklonus)
Kejang mioklonik hanya terjadi saat BBL tidur, dan EEG nya normal.
Mioklonus terjadi pada semua fase tidur meskipun frekuensinya tergantung
fase tidurnya dan paling sering saat BBL tidur tenang. Kejang menghilang saat
usia 6 bulan. Tidak diperlukan terapi, dan orang tua harus diyakinkan jika
kejang ini pada akhirnya akan berhenti sendiri.
II.3. Awitan Kejang
Kebanyakan dimulai antara 12 hingga 48 jam setelah lahir. Penelitian pada binatang
menunjukkan bahwa kejang muncul 3-13 jam setelah terjadi keadaan hipoksik
iskemik dan sesuai dengan yang kita ketahui tentang pelepasan dan penghancuran
glutamate selama fase reperfusi sekunder. Keadaan yang sama dapat terjadi pada bayi.
Kejang onset lanjut member kesan meningitis, kejang familial benigna atau
hipokalsemia. Awitan kejang pada setiap etiologi dapat berbeda, perbedaan tersebut
dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab kejang.

Etiologi Onset (hari)

0-3 >3 Kurang bulan Cukup bulan

Ensefalopati + +++ +++


Iskemik
hipoksik
Perdarahan + + ++ +
intracranial
J.Infeksi + + ++ ++

Gangguan + + ++ ++
perkembangan
otak
Hipoglikemia + + +

Hipokalsemi + + + +

Sindrom + + +
epileptic

Keterangan : +++ sering terjadi; ++jarang terjadi; + sangat jarang terjadi


Tabel 1. Awitan kejang berdasarkan etiologi11
A. Epidemiologi

Angka kejadian kejang pada neonatus umumnya berkisar antara 1,5-14 per 100
kelahiran hidup. Kejadiannya lebih tinggi pada bayi kurang bulan (3,9%) yaitu pada
bayi dengan usia kehamilan < 30 minggu. Di Amerika Serikat, angka kejadian kejang
pada neonatus belum jelas terdeteksi, diperkirakan sekitar 80-120 per 100.000
neonatus per tahun. Perbandingannya antara 1-5:1000 angka kelahiran. Menurut
menurut SDKI 2002-2003 angka kematian pada neonatus di Indonesia menduduki
angka 57% dari angka kematian bayi (AKB) sedangkan kematian neonatus yang
diakibatkan oleh kejang sekitar 10%. 3,7
Di India angka insiden 5 per 1000 kelahiran hidup antara 1959 dan 1962. Nasional
Neonatal Perinatal Database (NNPD) dari India yang dikumpulkan informasi dari 18
pusat dari di seluruh negeri pada tahun 2002-03 telah melaporkan insiden 1.0%. 9

B. Klasifikasi

Klasifikasi kejang pada neonatal dibagi menjadi 2 yaitu clinical seizure dan
electroenchepalographic seizure. 9

-Clinical seizure : -subtle

-tonik

-klonik

-myoklonik

-Electroenchephalographic seizure : -Epileptic

-Non Epileptic 9

C. Patogenesis
Kejang pada neonatus berbeda dengan kejang pada bayi atau anak yang lebih
besar. Karena perkembangan otak neonatus yang belum sempurna. Korteks pada
neonatus belum matur dibandingkan batang otaknya. Myelinisasi dan sinaps
aksodendrit (sinaptogenesis) yang belum sempurna pada daerah korteka menyebabkan
penyebaran rangsang ke seluruh korteks (sinkronisasi bilateral suatu rangsang) tidak
terjadi. Rangsang dapat menyebar perlahan-lahan ke hemisfer kontralateral dan tidak
berlangsung sekaligus bersama-sama. Inilah yang menyebabkan kejang pada neonatus
tidak pernah bersifat kejang tonik klonik umum. 11

Mekanisme dasar terjadinya kejang akibat loncatan muatan listrik yang


berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan gerakan
yang berulang. Terjadinya depolarisasi pada syaraf akibat masuknya Natrium dan
repolarisasi terjadi karena keluarnya Kalium melalui membrane sel. Untuk
mempertahankan potensial membrane memerlukan energi yang berasal dari ATP dan
tergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya Natrium dan masuknya Kalium.
Depolarisasi yang berlebihan dapat terjadi paling tidak akibat beberapa hal :

1. Gangguan produksi energi dapat mengakibatkan gangguan mekanisme pompa


Natrium dan Klaium. Hipoksemia dan Hipoglikemia dapt mengakibatkan penurunan
yang tajam produksi energi

2. Peningkatan eksitasi dibanding inhibisi neurotransmiter dapat mengakibatkan


kecepatan depolarisasi yang berlebihan

3. Penurunan relatif inhibisi dibanding eksitasi neurotransmitter dapat mengakibatkan


kecepatan depolarisasi yang berlebihan.

Perubahan fisiologis selama kejang berupa penurunan yang tajam kadar


glukosa otak dibanding kadar glukosa darah yang tetap normal atau meningkat
disertai peningkatan laktat. Keadaan ini menunjukkan mekanisme transportasi pada
otak tidak dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan yang ada. Kebutuhan oksigen
dan aliran darah otak juga meningkat untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan
glukosa. Laktat terakumulasi selama terjadi kejang, dan pH arteri sangat menurun.
Tekanan darah sistemik meningkat dan aliran darah otak naik. Efek dramatis jangka
pendek ini diikuti oleh perubahan struktur sel dan hubungan sinaptik. 4

Fenomena kejang pada BBL dijelaskan oleh Volpe karena keadaan anatomi
dan fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut 12:

Keadaan Anatomi susunan syaraf pusat perinatal :

- Susunan dendrit dan remifikasi axonal yang masih dalam proses pertumbuhan
- Sinaptogenesis belum
- Mielinisasi pada system efferent di cortical belum lengkap

Keadaan fisiologis perinatal

- Sinaps exsitatori berkembang mendahului inhibisi


- Neuron kortikal dan hipocampal masih imatur
- Inhibisi kejang oleh system substansia nigra belum berkembang

Mekanisme penyebab kejang pada BBL


Kemungkinan penyebab Kelainan

Kegagalan mekanisme pompa Natrium Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia


dan Kalium akibat penurunan ATP

Eksitasi neurotransmitter yang berlebihan Hipoksemi-iskemik, Hipoglikemia

Penurunan inhibisi neurotransmitter Ketergantungan piridoksin

Kelainan membrane sel yang Hipokalsemia dan hipomagnesemia


mengakibatkan kenaikan permiabilitas
Natrium

Tabel 2. Mekanisme Penyebab kejang pada BBL 10

D. Gejala klinis

Gejala dan tanda kejang yang sering ditemui pada neonatus adalah:

• Kejang Tonik (Kejang tonik dapat berbentuk umum atau fokal) 2,9

-Kejang tonik umum: Terutama bermanifestasi pada neonatus kurang bulan (< 2500
gram). Fleksi atau ekstensi tonik pada ekstremitas bagian atas, leher atau batang tubuh
dan berkaitan dengan ekstensi tonus pada ekstremitas bagian bawah. Pada 85% kasus
kejang tonik tidak berkaitan dengan perubahan otonomis apapun seperti
meningkatnya detak jantung atau tekanan darah, atau kulit memerah.

-Kejang tonik fokal: Terlihat dari postur asimetris dari salah satu ekstremitas atau
batang tubuh atau deviasi tonik kepala atau mata kepala atau mata. Sebagian besar
kejang tonik terjadi bersamaan dengan penyakit sistem syaraf pusat yang difus dan
perdarahan intraventrikular.

• Kejang Klonik

Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan & berirama (1-3 /menit),
2
penyebabnya mungkin fokal/multi-fokal. Setiap gerakan terdiri dari satu fase
gerakan yang cepat dan diikuti oleh fase yang lambat diikuti oleh fase yang lambat.
Perubahan posisi atau memegang ekstremitas yang bergerak tidak akan menghambat
gerakan tersebut. Biasanya terjadi pada neonatus cukup bulan. Tidak terjadi hilang
kesadaran. Berkaitan dengan trauma fokal,infarks atau gangguan metabolik.

Dikenal 2 bentuk :
a. Fokal : terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi
unilateral dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik
dengan atau tanpa gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan ritmik dengan frekuensi 1-4
kali perdetik.
b. Multifokal : Kejang klonik pada BBL dapat mempunyai lebih dari satu focus atau
migrasi terdiri dari gerakan dari satu ekstremitas yang kemudian secara acak pindah
ke ekstremitas lainnya. Bentuk kejang merupakan gerakan klonik salah satu atau lebih
anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang
klonik lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kadang-kadang
karena kejang yang satu dengan kejang yang lain sering bersinambungan, seolah-olah
member kesan sebagai kejang umum. Bentuk kejang ini biasanya terdapat pada
gangguan metabolik. Kejang ini lebih sering dijumpai pada BCB dengan berat lebih
2500 gram. 2,9

• Kejang Mioklonik

Terdiri dari : Kejang mioklonik fokal, multi-fokal atau umum.

-Kejang mioklonik fokal biasanya melibatkan otot fleksor pada ekstremitas. Kejang
mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan.

-Kejang mioklonik multi-fokal terlihat sebagai gerakan kejutan yg tidak sinkron pd


beberapa bagian tubuh.

-Kejang mioklonik umum terlihat sangat jelas berupa fleksi masif pada kepala dan
batang tubuh dengan ekstensi atau fleksi pada ekstremitas. Kejang ini berkaitan
dengan patologi SSP yang difus 1

• Kejang “subtle”

Bentuk kejang ini lebih sering terjadi disbanding tipe kejang yang lain, hampir
50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun cukup bulan. Manifestasi klinis berupa
orofasial, termasuk deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis (lebih sering pada BKB)
yang bergetar berulang-ulang, mata yang tiba-tiba terbuka dengan bola mata terfiksasi
ke satu arah (lebih sering pada BKB) gerakan seperti menghisap, mengunyah,
mengeluarkan air liur, menjulurkan lidah, mendayung, bertinju, atau bersepeda.
Episode apneu dapat disebabkan oleh kejang, diagnosis ini dipertimbangkan jika
terdapat respon yang lambat terhadap ventilasi dengan balon dan sungkup khususnya
pada neonates preterm dengan lesi intrakranial. 2

Gerakan yang menyerupai kejang pada BBL


1. Apneu
Pada BBLR biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi dengan berhentinya
pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selam 10-50 detik. Bentuk
pernapasan ini disebabkan belum sempurnanya pernapasan di batang otak dan
berhubungan denagn derajat prematuritas.
Serangan apneu yang termasuk gejala kejang apabila disertai dengan bentuk serangan
kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia. Serangan apne tiba-tiba disertai
kesadaran menurun pada bayi berat lahir rendah perlu dicurigai adanya perdarahan
intrakranial dengan penekanan pada batang otak. Pada keadaan ini USG perlu segera
dikerjakan.2
2. Jitterness
Jitterness adalah fenomena yang sering terjadi pada BBL normal dan harus
dibedakan dengan kejang. Jitterness lebih sering pada bayi yang lahir dari ibu yang
menggunakan mariyuana, dapat menjadi tanda dari sindroma abstinensia BBL.
Bentuk gerakan adalah tremor simetris dengan frekuensi yang cepat 5-6 kali per detik.
Jitterness tidak termasuk wajah (tidak seperti kejang subtle) merupakan akibat dari
sensitifitas terhadap stimulus dan akan mereda jika anggota gerak ditahan.

Manifestasi klinis Jitterness Kejang

a. Gerakan abnormal mata - +

b. Peka terhadap rangsang + -

c. Bentuk gerakan dominan Tremor Klonik

d. Gerakan dapat + _
dihentikan dengan fleksi
pasif
e. Perubahan fungsi - +
autonom
f. Perubahan pada tanda + _
vital dan penurunan
saturasi oksigen

Tabel 3. Perbedaan jitterness dan kejang2

3.Hiperekpleksia
Merupakan kelainan yang ditandai dengan hioertoni. Respon kejut ini dapat
terlihat seperti kejang mioklonik dan keluarnya suara dengan nada tinggi.
Hiperekpleksia kemungkinan sama dengan kondisi yang sebelumnya disebut dengan
sindroma stiff – baby herediter. Meslkipun gambaran EEG normal, spasme tonik
dapat berbahaya dan terapi sangat diperlukan 7
4. Spasme
Spasme pada tetanus neonatorum hampir mirip dengan kejang, tetapi kedua
hal tersebut harus dibedakan karena manajemen keduanya yang berbeda.

E. Diagnosis
Diagnosis kejang pada BBL didasarkan pada anamnesis yang lengkap, riwayat yang
berhubungan dengan penyebab penyakitnya, manifestasi klinis kejang, pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Faktor resiko :
- Riwayat kejang dalam keluarga
Riwayat yang menyatakan adanya kejang pada masa BBL pada anak terdahulu atau
bayi meninggal pada masa BBL tanpa diketahui penyebabnya.
- Riwayat kehamilan/ prenatal
 Infeksi TORCH atau infeksi lain saat ibu hamil
 Preeklamsia, gawat janin
 Pemakaian obat golongan narkotika, metadon
 Imunisasi anti tetanus, Rubela
- Riwayat persalinan
 Asfiksia, episode hipoksik
 Trauma persalinan
 KPD (Ketuban Pecah Dini)
 Anestesi lokal/ blok
- Riwayat pascanatal
 Infeksi BBL, keadaan bayi yang tiba-tiba memburuk
 Bayi dengan pewarnaan kuning dan timbulnya dini
 Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, infeksi tali pusat
 Kejang oleh suara bising atau karena prosedur perawatan
 Waktu atau awitan kejang mungkin berhubungan dengan etiologi
 Bentuk gerakan abnormal yang terjadi 1,2,13

2. Pemeriksaan fisik
 Inspeksi dan palpasi kepala : depresi, fraktur, moulase yang terlalu hebat
 Transluminasi membantu diagnosis penimbunan cairan di subdural setempat, atau
adanya kelainan kongenital seperti porensefali atau hidransefali. Bila ubun-ubun
menonjol tanpa tanda-tanda infeksi selaput otak dilakukan tap subdural secara
hati-hati.11
 Funduskopi sangat penting : perdarahan retina menunjukan kemungkinan
perdarahn intrakranial, koriorenitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi
cytomegalo virus atau rubella. Adanya stasis vaskuler dengan pelebaran vena
dengan bentuk berkelok-kelok ditemukan pada sindrom hiperviskositas. 9
 Pemeriksaan jantung dan paru
 Pemeriksaan kulit : petekie, sianosis, ikterus, dsb
 Pemeriksaan abdomen : hepatosplenomegali
 Pemeriksaan neurologis : bentuk kejang, hemysnydrome, hilangnya reflex moro,
dsb

3. Pemeriksaan Laborat: Glukosa darah, Kalsium dan magnesium darah,


Pemeriksaan darah lengkap, diferensiasi leukosit dan trombosit, Elektrolit, Analisis
Gas Darah, Analisis dan kultur cairan serebrospinalis, Kultur darah.
4. Pemeriksaan lainnya
Titer TORCH
kadar amonia
USG kepala dan asam amino dalam urine.
EEG: Normal pada sekitar 1/3 kasus
USG kepala: Untuk perdarahan dan luka parut
CT Scan: Untuk mendiagnosis malformasi dan perdarahan otak 11

F. Diagnosis Banding
- Hipoglikemia
- Tetanus neonatorum
- Meningitis
- Asfiksia neonatorum
- Perdarahan intraventrikuler 2

G. Komplikasi
- Malformasi otak (15-20%)
- Retardasi mental
- Serebral palsy

H. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam manajemen kejang adalah Pertahankan homeostasis sistemik
(pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi). O2 harus mulai, IV akses harus
diamankan, dan darah harus dikumpulkan untuk gula dan penyelidikan lain. Sejarah
relevan harus diperoleh dan cepat klinis pemeriksaan harus dilakukan. Semua ini
seharusnya tidak membutuhkan lebih dari 2-5 menit.
Terapi etiologi spesifik :
- Dekstrose 10% 2 ml/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
- Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 ml/kg BB) diencerkan
akuades sama banyak diberikan secara intra vena dalam 5 menit (bila diduga
hipokalsemia)
- Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
- Piridoksin 50 mg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang
akan berhenti dalam beberapa menit 10,12
Terapi anti kejang :
- Fenobarbital : Loading dose 10-20 mg/kg BB intramuskuler dalam 5 menit, jika
tidak berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB sebanyak 2 kali dengan
selang waktu 30 menit.
- Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 15-20 mg/kg BB intra vena
dalam 30 menit.
- Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kgBB/hari dapat diberikan secara
intramuskuler atau peroral dalam dosis terbagi tiap 12 jam, dimulai 12 jam setelah
loading dose.
- Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena atau peroral dalam dosis
terbagi tiap 12 jam. Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu
setelah bebas kejang dan penghentian obat anti kejang sebaiknya dilakukan
sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan
kepala atau adanya tanda neurologi abnormal saat akan pulang. 1,3,5
Obat lain :
Golongan Benzodiazepin
- Kelompok ini obat mungkin diperlukan dalam 15% dari neonatal kejang.
Benzodiazepines umum digunakan adalah diazepam, lorazepam, midazolam, dan
clonazepam. Diazepam umumnya dihindari karena untuk durasi pendek tindakan,
indeks terapeutik yang sempit, dan karena kehadiran natrium benzoate sebagai
pengawet. Lorazepam pilihan di atas diazepam karena memiliki durasi yang lebih
lama dari tindakan dan hasil dalam kurang efek (sedation dan efek
kardiovaskular). Midazolam adalah bertindak lebih cepat daripada lorazepam dan
dapat dikelola sebagai sebuah infusi. Hal ini membutuhkan ketat pemantauan
untuk depresi pernapasan, apnea dan bradycardia. Dosis obat ini diberikan di
bawah ini:
- � Diazepam: bolus 0,25 mg/kg IV (0.5 mg/kg dubur); mungkin diulang 1 - 2 kali.
- � Lorazepam: 0,05 mg/kg IV bolus lebih dari 2-5 menit; mungkin diulang
- � Midazolam: 0,15 mg/kg IV bolus diikuti oleh infus 0.1 s.d. 0,4 mg/kg/jam.
- � Clonazepam: 0.1%u20130.2 mg/kg IV bolus diikuti oleh infusi 10-30
mg/kg/hr. 2,13

I. Pencegahan
Pencegahan pra konsepsi, ante natal, masa neonatal

J. Prognosis

Ini terutama tergantung pada penyebab primer gangguan ini atau beratnya
serangan. Pada kasus bayi hipoglikemia dari ibu diabetes atau hipokalsemia akubat
makan fosfat berlebihan, prognosisnya sangat baik. Sebaliknya, anak dengan kejang
yang bandel karena ensefalopati hipoksik-iskemik atau kelainan sitoarkitektural otak
biasanya tidak akan berespon dengan anti konvulsan dan rentan terhadap status
epileptikus dan kematian awal. Tantangan pada dokter adalah untuk mengenali
penderita yang akan sembuh dengan pengpbatan segera dan mengjindari penundaan
diagnosis yang dapat menyebabkan cidera neurologis berat irreversibel. 8

a. Prognosisnya tergantung penyebab primer dan beratnya serangan.

b. Akhir-akhir ini prognosis bayi kejang lebih baik.

c. Prognosisnya buruk bila :


1. Nilai apgar menit ke 5 dibawah 6
2. Resusitasi yang tidak berhasil baik
3. Kejang yang berkepanjangan (prolonged seizures)
4. Kejang yang timbul <12 jam setelah lahir
5. Bayi berat badan lahir rendah
6. Adanya kelainan neurologik sampai bayi berumur 10 hari
7. Adanya problematika minum yang terus berlanjut
d. Best prognosis : hipocalcemia, defisiensi piridoksin, dan perdarahan subarachnoid
e. Worse prognosis : hipoglikemia, anoxia, brain malformation. 8,11
I. KESIMPULAN

1. Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri dan
terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak.

2. Kejang ini merupakan penyebab yang paling lazim untuk rujukan pada praktek
neurologi anak.

3. Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit metabolik,


toksik, struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu selama waktu
ini daripada pada periode kehidupan lain kapanpun.

4. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau orang dewasa karena
konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama. Proses
pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit juga mielinisasi tidak sempurna pada otak
neonatus. Discharge kejang karenanya tidak dapat dengan mudah dijalarkan ke seluruh
otak neonatus untuk menimbulkan kejang menyeluruh. Dengan perawatan yang baik dan
benar diharapkan akan memperkecil angka kejadian kejang pada neonatus.
BAB III
KESIMPULAN
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. ABSTRAK

2. Stoll BJ, Kliegman RM. Neonatal Seizure. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, editors. Nelson Textbook Of Pediatrics. 17th Ed. USA: Saunders An Imprint Of
Elsevier Science, 2004:2064.
3.

Anda mungkin juga menyukai