Anda di halaman 1dari 30

Clinical Science Session

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A217098/Mei 2019


**Pembimbing/ dr. Sulistiyowati, Sp.An

NEUROMUSCULAR BLOCKING AGENTS

Anestesi Lokal

Oleh:

Annisa Puja Ikrima


G1A217098

Pembimbing:

dr. Sulistiyowati, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ANESTESI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Clinical Science Session

NEUROMUSCULAR BLOCKING AGENTS

Oleh:

Annisa Puja Ikrima


G1A217098

Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior

Bagian Anestesi RSUD Raden Mattaher

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Jambi

Jambi, Mei 2019

Pembimbing,

dr. Sulistiyowati, Sp.An

ii
NEUROMUSCULAR BLOCKING AGENTS
OBAT PENGHAMBAT NEUROMUSCULAR

Konsep utama
1. Penting untuk diketahui bahwa relaksasi otot tidak dapat memastikan
terjadinya ketidaksadaran, amnesia atau analgesi
2. Relaksan otot golongan depolarisasi bekerja sebagai acethylcholin (Ach)
reseptor agonist, sedangkan golongan non-depolarisasi bekerja sebagai
competitive antagonist.
3. Karena relaksan otot golongan depolarisasi tidak dimetabolisme oleh
acethylcholinesterase, maka akan berdifusi menjauhi neuromuscular
junction dan terhidrolisa didalam plasma dan hepar oleh enzim lain,
pseudocholinesterase (nonspesifik cholinesterase, plasma cholinesterase)
4. Relaksan otot memiliki efek paralitik menyerupai Ach. Sebagai contoh
suksinilkolin memiliki 2 buah molekul Ach.
5. Dibandingkan dengan pasien yang memiliki level enzyme yang rendah
atau enzyme atypical heterozygous dimana memiliki masa blockade 2
sampai 3 kali, pasien dengan enzyme atipikal homozygous memiliki
blockade yang sangat lama (4-8 jam) setelah pemberian suksinilkolin.
6. Suksinilkolin merupakan kontraindikasi pada pemberian rutin untuk anak
dan remaja karena risiko hiperkalemia, rhabdomyolisis, dan cardiac arrest
pada anak tanpa diagnosa myopati.
7. Pemberian suksinilkolin memberikan kenaikan kalium 0,5 mEq/L.
Peningkatan kalium yang dapat membahayakan nyawa pada pasien dengan
luka bakar, trauma massif, gangguan neurologist, dan kondisi-kondisi lain.
8. Pancuronium dan vecuronium sebagian dieksresi di ginjal, dan lama
kerjanya semakin lama pada pasien dengan gagal ginjal.
9. Pada penyakit sirosis hepatis dan gagal ginjal kronis membutuhkan dosis
initial yang lebih besar, tetapi lebih kecil dosis maintenance.
10. Atracurium dan cisatracurium terdegradasi pada plasma pada pH fisiologis
dan temperature dengan Hofman eliminasi.

3
11. Hipertensi dan takikardi dapat terjadi pada pasien setelah pemberian
pancuronium. Terjadi karena blockade vagal dan pelepasan katekolamin
dari akhir saraf adrenergic.
12. Pemberian jangka panjang vecuronium pada pasien di intensif care unit
memberikan hasil blockade neuromuscular (sampai beberapa hari),
kemungkinan karena akumulasi dari metabolit aktifnya, perubahan kliren
obat, dan peningkatan polyneuropathy.
13. Rocuronium (0,9 – 1,2 mg/kg) memiliki onset yang hampir menyerupai
suksinilkolin (60-90 s) biasa digunakan untuk rapid sequence induksi.

Relaksasi otot rangka dapat terjadi oleh anestesi inhalasi mendalam, blok
saraf regional, atau agen blokade neuromuskuler (biasa disebut relaksan otot).
Pada tahun 1942, Harold Griffith mempublikasikan hasil penelitian menggunakan
ekstrak kurare (racun panah Amerika Selatan) selama anestesi. Setalah itu
relaksan otot menjadi hal rutin, tapi tidak menyebabkan anesthesia. Dengan kata
lain, relaksasi otot tidak membuat tidak sadar, amnesia atau analgesia. Bab ini
mengulas prinsip-prinsip transmisi neuromuskuler dan mekanisme aksi, struktur
fisik, rute eliminasi, dosis obat yang direkomendasikan, dan efek samping dari
beberapa relaksan otot.

Transmisi Neuromuskular
Hubungan antara neuron motorik dan sel otot terjadi di neuromuscular
junction (Gambar 1). Membran sel neuron dan serabut otot dipisahkan oleh celah
sempit (20 nm) disebut celah sinaps. Sebagai potensial aksi saraf mendepolarisasi
terminalnya, masuknya ion kalsium melalui kanal kalsium ke sitoplasma saraf
memungkinkan penyimpanan vesikel menyatu dengan membran plasma terminal
dan melepaskan isinya (acetylcholine [ACh]). Molekul ACh berdifusi melintasi
celah sinaptik berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik pada bagian khusus
membran otot, ujung saraf motorik. Setiap sambungan neuromuskuler berisi
sekitar 5 juta reseptor, tetapi hanya sekitar 500.000 reseptor yang teraktivasi untuk
kontraksi otot normal.

4
Gambar 1. Neuromuscular Junction

Struktur reseptor ACh bervariasi pada jaringan yang berbeda dan pada waktu
pengembangan yang berbeda. Setiap reseptor ACh di neuromuscular junction
biasanya terdiri dari lima subunit protein: dua subunit α, dan β tunggal, subunit δ,
dan subunit ε. Hanya dua subunit α identik yang mampu mengikat molekul ACh.
Jika kedua situs mengikat, maka akan ditempati oleh ACh, perubahan konformasi
dalam subunit cepat (1 ms) membuka saluran ion di inti reseptor (Gambar).
Saluran tidak akan terbuka jika ACh mengikat hanya satu situs. Berbeda dengan
reseptor ACh fungsional normal (atau matang), isoform lain yang mengandung
subunit γ bukan subunit ε. Isoform ini disebut sebagai fetal atau reseptor imatur
karena dalam bentuk awalnya dinyatakan dalam otot fetal. Sering disebut sebagai
extrajunctional karena, tidak seperti yang isoform matang, mungkin terletak di
mana saja di membran otot, di dalam atau di luar neuromuscular junction saat
diekspresikan pada orang dewasa.

5
Gambar 2. A: Struktur Ach. B: Pengikatan ACh ke reseptor pada ujung neruon
motorik menyebabkan pembukaan kanal dan pertukaran ion.

Kation mengalir melalui kanal reseptor ACh yang terbuka (natrium dan
kalsium masuk; kalium keluar ), menghasilkan potensial end-plate. Isi satu
Vesikel, satu kuantum ACh (104 molekul per kuantum), menghasilkan miniatur
potensial end-plate. Jumlah kuanta yang dilepaskan oleh masing-masing serabut
saraf yang terdepolarisasi, biasanya minimal 200, yang sangat sensitif terhadap
konsentrasi kalsium yang terionisasi di ekstraseluler; meningkatkan konsentrasi
kalsium dan meningkatkan jumlah kuanta yang dilepaskan. Ketika reseptor cukup
ditempati oleh ACh, potensial end-plate akan cukup kuat untuk mendepolarisasi
membran peri-junctional. Kanal natrium dalam bagian membran otot ini terbuka
ketika ambang tegangan dikembangkan pada reseptor, seperti halnya untuk kanal
natrium di saraf atau jantung (Gambar 3). Area membran otot yang fungsional
memiliki kepadatan lebih tinggi dari saluran natrium ini daripada bagian lain dari
membran. Potensi aksi yang dihasilkan merambat di sepanjang membran otot dan

6
sistem tubulus-T, membuka kanal natrium dan melepaskan kalsium dari retikulum
sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini memungkinkan protein aktin kontraktil dan
miosin berinteraksi, menghasilkan kontraksi otot. Sejumlah ACh dilepaskan dan
sejumlah reseptor selanjutnya diaktifkan dengan depolarisasi saraf eferen biasanya
akan jauh melebihi minimum yang diperlukan untuk inisiasi potensi aksi di otot.
Margin keselamatan yang hampir sepuluh kali lipat berkurang di Eaton-Lambert
sindrom myasthenic (penurunan pelepasan ACh) dan myasthenia gravis (Jumlah
reseptor menurun).

Gambar 3. Skematik kanal natrium. Kanal natrium adalah protein transmembran


yang dapat dikonseptualisasikan memiliki dua gerbang. Ion natrium
hanya lewat ketika kedua gerbang terbuka. Pembukaan gerbang
tergantung waktu dan tergantung tegangan. Kanalini memiliki tiga
keadaan fungsional. Saat istirahat, gerbang bawah terbuka tetapi
gerbang atas ditutup (A). Saat otot membran mencapai depolarisasi
tegangan ambang batas, gerbang atas terbuka dan natrium dapat
masuk (B). Tak lama setelah gerbang atas terbuka tergantung waktu
penutup gerbang bawah (C). Ketika membran melakukan repolarisasi
terhadap tegangan istirahatnya, maka gerbang atas ditutup dan
gerbang bawah terbuka (A).

7
ACh cepat terhidrolisis menjadi asetat dan kolin oleh substrat-spesifik enzim
asetilkolinesterase. Enzim ini tertanam di dalam membran ujung saraf motorik
yang berbatasan langsung dengan reseptor ACh. Setelah tidak mengikat ACh,
saluran ion reseptor ditutup, memungkinkan end-plate untuk melakukan
repolarisasi. Kalsium masuk ke dalam retikulum sarkoplasma, dan sel otot
relaksasi.

Perbedaan antara Blokade depolarisasi dan non-depolarisasi


Obat penghambat neuromuskular dibagi menjadi dua golongan, yaitu
depolarisasi dan non-depolarisasi (Tabel 1). Berikut tabel perbedaan berdasarkan
mekanisme aksi, respon stimulasi saraf perifer, dan reverse blok.

Tabel 1. Relaksan otot golongan Depolarisasi dan Nondepolarisasi

Depolarisasi Nondepolarisasi

Short-acting Short-acting

Succinylcholine Mivacurium

Gantacurium

Intermediate-acting

Atracurium

Cisatracurium

Vecuronium

Rocuronium

Long-acting

Pancuronium

Mekanisme Aksi
Mirip dengan ACh, semua agen penghambat neuromuskuler adalah
senyawa amonium kuaterner yang nitrogennya bermuatan positif menanamkan
afinitas untuk reseptor nikotinik ACh. Sedangkan sebagian besar agen memiliki

8
dua atom amonium kuaterner, hanya sedikit yang memiliki satu kation amonium
kuaterner dan satu amina tersier terprotonasi pada pH fisiologis.
Depolarisasi relaksan otot sangat mirip dengan ACh dan siap untuk diikat
reseptor ACh, menghasilkan potensi aksi otot. Tidak seperti ACh, obat ini tidak
dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, dan konsentrasinya di celah sinaps tidak
berkurang dengan cepat, menghasilkan perpanjangan depolarisasi otot end-plate.
Depolarisasi end-plate yang terus-menerus menyebabkan relaksasi otot
pembukaan kanal natrium perijunctional terbatas waktu (saluran natrium dengan
cepat "menonaktifkan" dengan cara depolarisasi terus-menerus; Gambar 3).
Setelah eksitasi dan pembukaan awal (Gambar 3B), kanal natrium ini tidak aktif
(Gambar 3C) dan tidak dapat dibuka kembali sampai end-plate repolarisasi. End-
Plate tidak dapat melakukan repolarisasi selama relaksan otot depolarisasi terus
mengikat reseptor ACh; ini disebut blok fase I. Depolarisasi end-plate lebih
panjang dapat menyebabkan perubahan yang kurang dipahami pada reseptor ACh
menghasilkan blok fase II, yang secara klinis menyerupai nondepolarisasi
relaksan otot.
Relaksan otot nondepolarisasi mengikat reseptor ACh tetapi tidak mampu
menginduksi perubahan konformasi yang diperlukan untuk pembukaan kanal ion.
Karena menghambat Ach berikatan dengan reseptornya, tidak ada potensi end-
plate yang berkembang. Blokade neuromuskuler terjadi walaupun hanya satu
subunit α yang terhambat. Dengan demikian, relaksan otot depolarisasi bertindak
sebagai agonis reseptor ACh, sedangkan relaksan otot nondepolarisasi berfungsi
sebagai antagonis kompetitif. Dasar perbedaan mekanisme aksi menjelaskan
efeknya secara pasti pada berbagai kondisi penyakit. Misalnya, kondisi yang
terkait dengan penurunan kronis pada pelepasan ACh (misalnya, cedera denervasi
otot) merangsang kompensasi dalam peningkatan jumlah reseptor ACh dalam
membran otot. Keadaan ini juga mempromosikan ekspresi isoform yang belum
matang (ekstrajunctional) dari reseptor ACh, yang menampilkan sifat konduktansi
saluran rendah dan berkepanjangan waktu saluran terbuka. Peningkatan regulasi
ini menyebabkan respon yang berlebihan pada relaksan otot depolarisasi (dengan
lebih banyak reseptor yang didepolarisasi), tetapi resistensi terhadap relaksan

9
yang tidak berpolarisasi (lebih banyak reseptor yang harus diblokir). Sebaliknya,
kondisi yang terkait dengan lebih sedikit reseptor ACh (misalnya, downregulation
pada myasthenia gravis) menunjukkan resistensi terhadap relaksan depolarisasi
dan peningkatan sensitivitas terhadap relaksan yang tidak mempolarisasi.

Mekanisme lain dari blokade neuromuskuler


Beberapa obat dapat mengganggu fungsi reseptor ACh tanpa bertindak
sebagai agonis atau antagonis. Mereka mengganggu fungsi normal ACh pada situs
pengikatan reseptor atau dengan pembukaan dan penutupan kanal reseptor. Obat
dengan mekanisme tersebut adalah agen anestesi inhalasi, anestesi lokal, dan
ketamin. Permukaan membran reseptor ACh-lipid merupakan tempat mekanisme
aksi yang penting.
Obat-obatan juga dapat menyebabkan blokade kanal tertutup atau terbuka.
Selama blokade kanal tertutup, obat secara fisik menghubungkan kanal, mencegah
lewatnya kation pada reseptor ACh yang telah diaktifkan atau tidak. Blokade
kanal terbuka "tergantung penggunaan", karena obat memasuki dan menghalangi
kanal reseptor Ach hanya setelah dibuka oleh pengikatan ACh. Relevansi klinis
blokade kanal terbuka tidak diketahui. Berdasarkan percobaan laboratorium,
orang akan melakukannya berharap bahwa peningkatan konsentrasi ACh dengan
inhibitor cholinesterase tidak akan mengatasi bentuk blokade neuromuskuler ini.
Obat-obatan yang mungkin menyebabkan blok kanal dalam kondisi laboratorium
termasuk neostigmin, beberapa antibiotik, kokain dan anestesi lokal lainnya, dan
quinidine. Obat lain dapat merusak pelepasan presinaptik ACh. Reseptor
prejunctional berperan dalam mobilisasi ACh untuk menjaga kontraksi otot.
Memblokir reseptor ini dapat menyebabkan memudarnya respons train-of-four.

Pembalikan Blockade Neuromuscular


Karena suksinilkolin tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, ia tidak
mengikat reseptor dan berdifusi menjauh dari persimpangan neuromuskuler
menjadi terhidrolisis dalam plasma dan hati oleh enzim lain, pseudocholinesterase
(cholinesterase nonspesifik, cholinesterase plasma, atau butyrylcholinesterase).

10
Untungnya, ini biasanya adalah proses yang cukup cepat, karena tidak ada agen
khusus yang tersedia untuk membalikkan blokade depolarisasi.
Dengan pengecualian mivakurium, agen nondepolarisasi tidak dimetabolisme
oleh asetilkolinesterase tau pseudocholinesterase. Pembalikan blokade tergantung
pada pengikatan reseptor, redistribusi, metabolisme, dan ekskresi relaksan oleh
tubuh, atau pemberian agen pembalikan spesifik (misalnya, inhibitor
cholinesterase) yang menghambat aktivitas enzim asetilkolinesterase. Karena
penghambatan ini meningkatkan jumlah ACh yang tersedia di neuromuscular
junction dan dapat bersaing dengan agen nondepolarisasi, agen pembalikan jelas
tidak bermanfaat dalam membalikkan depolarisasi blok fase I. Bahkan, dengan
meningkatkan konsentrasi ACh dan neuromuscular junction menghambat
metabolisme pseudocholinesterase yang diinduksi dari suksinilkolin, inhibitor
kolinesterase dapat memperpanjang blokade neuromuskuler yang dihasilkan oleh
suksinilkolin. Satu-satunya waktu setelah neostigmine membalikkan blok
neuromuskuler suksinilkolin adalah ketika ada blok fase II (respon train-of-four
memudar) dan waktu yang cukup telah berlalu untuk konsentrasi suksinilkolin
yang beredar diabaikan.
Sugammadex, sebuah siklodekstrin, adalah agen pengikat relaksan selektif
pertama; memberikan efek pembalikan dengan membentuk kompleks ketat dalam
perbandingan 1: 1 dengan steroid agen nondepolarisasi (vecuronium,
rocuronium). Investigasi agen penghambat neuromuskuler, seperti gantacurium,
menunjukkan janji sebagai agen nondepolarisasi kerja ultrashort.

Respon stimulasi Saraf Peripheral


Penggunaan stimulator saraf perifer untuk monitor fungsi neuromuskular.
Empat pola dari stimulasi elektrik dengan supramaksimal square wave pulse :
1. Tetany : sustaines stimulus 50 -100 Hz, selama 5 detik
2. Twich : denyut tunggal 0,2 ms lamanya
3. Train of four : 4 denyutan selama 2 detik, masing-masing selama 0,2 ms

11
4. Double burst stimulation (DBS) : (0,2 ms) stimulasi frekuensi tinggi
dipisahkan oleh interval 20 ms dan diikuti 750ms berikutnya oleh 2 atau 3
impuls tambahan.

Berkurangnya secara bertahap respons yang ditimbulkan selama stimulasi


saraf yang berkepanjangan atau berulang, merupakan indikasi dari blok
nondepolarisasi (Gambar 4), atau blok fase II jika hanya suksinilkolin yang telah
dikelola. Berkurangnya respon mungkin disebabkan oleh efek prejunctional dari
relaksan nondepolarisasi yang mengurangi jumlah ACh di terminal saraf yang
tersedia untuk dilepaskan selama stimulasi (blokade mobilisasi ACh). Pemulihan
klinis yang adekuat berkorelasi baik dengan tidak adanya penurunan respon.
Karena penurunan respon lebih jelas selama stimulasi tetanik berkelanjutan atau
stimulasi double-burst daripada mengikuti pola train-of-four atau berkedut
berulang, dua pola pertama adalah metode lebih disukai untuk menentukan
kecukupan pemulihan dari blok nondepolarisasi.

Gambar 4. Respon yang timbul selama depolarisasi (fase I dan fase II) dan blok
nondepolarisasi.

12
Kemampuan stimulasi tetanik selama blok nondepolarisasi parsial untuk
meningkatkan respons yang ditimbulkan untuk kedutan berikutnya disebut
potensiasi posttetanic. Fenomena ini mungkin berhubungan dengan peningkatan
sementara dalam mobilisasi ACh setelah stimulasi tetanik.
Sebaliknya, blok depolarisasi fase I dari suksinilkolin tidak memudar selama
tetanus atau train-of-four; juga tidak menunjukkan potensiasi posttetanic. Namun,
dengan paparan suksinilkolin yang berkepanjangan, kualitas blok kadang-kadang
akan berubah menyerupai nondepolarisasi blok (blok fase II).
Metode kuantitatif baru penilaian blokade neuromuskuler, seperti sebagai
acceleromyography, memungkinkan penentuan rasio train-of-four yang tepat,
seperti menentang interpretasi subjektif. Acceleromyography dapat mengurangi
kejadian blokade neuromuskuler residual yang tak terduga pasca operasi.

Relaksan Otot Depolarisasi


Suksinilkolin
Merupakan satu-satunya relaksan otot depolarisasi dalam penggunaan klinis
saat ini.
Struktur Fisik
Suksinilkolin — juga disebut suxamethonium — terdiri dari dua molekul
yang bergabung dengan ACh. Struktur ini mendasari mekanisme aksi
Suksinilkolin, efek samping, dan metabolisme.
Metabolisme & Ekskresi
Suksinilkolin tetap populer karena onset kerjanya yang cepat (30-60 detik)
dan durasi aksi pendek (biasanya kurang dari 10 menit). Permulaannya yang
relatif cepat terhadap blocker neuromuskuler lainnya sebagian besar disebabkan
oleh overdosis relatif yang biasanya diberikan. Suksinilkolin, seperti semua
penghambat neuromuskuler, memiliki volume distribusi yang kecil karena
kelarutan lemaknya sangat rendah, dan ini juga mendasari onset aksi yang cepat.
Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme dengan
cepat menjadi pseudocholinesterase succinylmonocholine. Proses ini sangat
efisien sehingga hanya sebagian kecil dari dosis yang disuntikkan mencapai

13
neuromuscular junction. Ketika kadar obat turun dalam darah, molekul
suksinilkolin berdifusi menjauh dari neuromuscular junction, membatasi durasi
tindakan. Namun, durasi aksi ini bisa terjadi diperpanjang dengan dosis tinggi,
infus suksinilkolin, atau metabolisme abnormal. Yang terakhir dapat terjadi akibat
hipotermia, penurunan kadar pseudocholinesterase, atau enzim yang secara
genetis menyimpang. Hipotermia menurunkan laju hidrolisis. Mengurangi kadar
pseudocholinesterase yang menyertai kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal, dan
terapi obat tertentu (Tabel 2). Berkurangnya kadar pseudocholinesterase
umumnya hanya menghasilkan perpanjangan sedikit aksi suksinilkolin (2-20
menit).

Tabel 2. Obat-obat yang mengurangi aktivitas pseudocholinesterase.

Pasien heterozigot dengan satu normal dan satu abnormal (atipikal) gen
pseudocholinesterase mungkin memiliki blok yang agak lama (20-30 menit)
setelah pemberian suksinilkolin. Jauh lebih sedikit (1 dari 3000) pasien dua
salinan gen abnormal paling lazim (homozigot atipikal) menghasilkan enzim
dengan sedikit atau tanpa afinitas untuk suksinilkolin. Berlawanan dengan dua
kali lipat atau tiga kali lipat durasi blokade terlihat pada pasien dengan kadar
enzim rendah atau enzim atipikal heterozigot, pasien dengan atipikal homozigot

14
enzim akan memiliki blokade yang sangat panjang (misalnya, 4-8 jam) setelah
pemberian suksinilkolin. Dari gen pseudocholinesterase abnormal yang diakui,
gen alel dibucaine-resistant (varian), yang menghasilkan enzim dengan 1/100 dari
afinitas normal untuk suksinilkolin, adalah yang paling umum. Varian lain
termasuk alel yang resisten terhadap fluor (tidak ada aktivitas).
Dibucaine, anestesi lokal, menghambat aktivitas pseudocholinesterase normal
sebesar 80% tetapi menghambat aktivitas enzim atipikal hanya 20%. Serum dari
individu yang heterozigot untuk enzim atipikal ditandai oleh penghambatan antara
40% hingga 60%. Persentase penghambatan aktivitas pseudocholinesterase
disebut angka dibucaine. Seorang pasien dengan pseudocholinesterase normal
memiliki jumlah dibucaine 80; sebuah homozigot untuk alel abnormal paling
umum akan memiliki jumlah dibucaine 20. Jumlah dibucaine mengukur fungsi
pseudocholinesterase, bukan jumlah enzim. Oleh karena itu, kecukupan
pseudocholinesterase dapat ditentukan dalam laboratorium secara kuantitatif
dalam satuan per liter (faktor kecil) dan secara kualitatif oleh angka dibucaine
(faktor utama). Kelumpuhan berkepanjangan dari suksinilkolin yang disebabkan
oleh pseudocholinesterase abnormal (atipikal cholinesterase) harus dirawat
dengan ventilasi mekanik lanjutan dan sedasi sampai fungsi otot kembali normal
dengan tanda-tanda klinis.

Interaksi obat
Efek relaksan otot dapat dimodifikasi dengan terapi obat bersamaan (Tabel
3). Interaksi obat. Suksinilkolin terlibat dalam dua interaksi yang layak mendapat
komentar khusus.

15
Tabel 3. Potensiasi (+) dan resistensi (-) dari obat neuromuskuler blocking
dengan obat lain.

A. Inhibitor Cholinesterase
Meskipun inhibitor kolinesterase membalikkan kelumpuhan nondepolarisasi,
secara nyata memperpanjang blok depolarisasi fase I dengan dua mekanisme.
Dengan menghambat asetilkolinesterase, menyebabkan konsentrasi ACh lebih
tinggi pada terminal saraf, yang meningkatkan depolarisasi. Inhibitor
kolinesterase juga mengurangi hidrolisis dari suksinilkolin dengan menghambat
pseudocholinesterase. Organofosfat pestisida, misalnya, menyebabkan
penghambatan asetilkolinesterase yang ireversibel dan dapat memperpanjang aksi
suksinilkolin pada 20 hingga 30 menit. Echothiophate obat tetes mata, digunakan
di masa lalu untuk glaukoma, dapat memperpanjang succinylcholine dengan
mekanisme ini.

B. Relaksan Nondepolarisasi
Secara umum, dosis kecil relaksan otot golongan nondepolarisasi
menyebabkan depolarisasi blok fase I. Karena obat menempati beberapa reseptor
ACh, depolarisasi oleh suksinilkolin sebagian dicegah. Pada blok fase II,
nondepolarisasi akan mempotensiasi kelumpuhan suksinilkolin.

16
Dosis
Karena onset yang cepat, durasi yang singkat, dan biaya yang murah untuk
suksinilkolin, orang banyak yang menggunakan untuk intubasi pada orang
dewasa. Dosis suksinilkolin dewasa untuk intubasi adalah 1 hingga 1,5 mg / kg
intravena. Dosis 0,5 mg / kg masih dapat digunakan jika tidak digunakan
nondepolarisasi untuk defasikulasi. Bolus dosis kecil ulangan (5-10 mg) atau drip
suksinilkolin 1 g dalam 500 atau 1000 mL dapat digunakan selama prosedur
bedah yang membutuhkan kerja singkat tetapi kelumpuhan yang hebat (misalnya
endoskopi otolaringologis). Fungsi neuromuskuler harus sering dimonitor dengan
stimulator saraf untuk mencegah overdosis dan untuk melihat blok fase II.
Ketersediaan relaksan otot nondepolarisasi aksi sedang telah mengurangi
popularitas infus suksinilkolin.
Karena suksinilkolin tidak larut dalam lemak, distribusinya terbatas ke
ekstaseluler. Anak-anak memiliki ruangan ekstraseluler yang lebih besar.
Sehingga dosis yang diperlukan untuk anak anak lebih besar. Jika pada anak
diberikan suksinil kolin dengan dosis 4-5 mg /kg secara IM tidak selalu terjadi
paralysis komplit.
Suksinilkolin harus disimpan dalam lemari es (2-8 ° C), dan harus digunakan
dalam 14 hari setelah dikeluarkan dari lemari es atau terkena paparan suhu
ruangan.
Efek samping dan manifestasi klinis
Suksinilkolin merupakan obat yang relative aman bila kita memahami
komplikasi yang mungkin terjadi dan dapat mencegahnya. Karena risiko
terjadinya hiperkalemia, rhabdomyolisis dan henti jantung pada anak-anak, jadi
suksinilkolin merupakan kontraindikasi dari pemberian rutin pada anak-anak dan
remaja. Beberapa dokter juga telah meninggalkan penggunaan suksinilkolin
secara rutin untuk orang dewasa. Tetapi suksinilkolin masih tetap digunakan
untuk induksi cepat dan untuk kelumpuhan intens jangka pendek karena tidak
adanya obat nondepolarisasi yang memiliki masa kerja seperti suksinilkolin.

17
A. Kardiovaskular
Tidak hanya menstimulasi reseptor nicotinic kolinergik tapi juga
menstimulasi seluruh reseptor asetilkolin. Dapat menyebabkan peningkatan
atau penurunan tekanan darah dan denyut nadi. Dosis kecil menurunkan
sedangkan dosis besar meningkatkan tekanan darah dan nadi. Dapat terjadi
bradikardi pada anak kecil, orang dewasa bradikardi terjadi apabila bolus
kedua setelah 3 – 8 menit bolus pertama. Atropin intravena (0,02 mg / kg
untuk anak-anak, dan 0,4 mg untuk orang dewasa) biasanya diberikan sebagai
profilaksis untuk bradikardi.
B. Fasikulasi
Kontraksi otot yang terlihat dapat dicegah dengan pemberian golongan
nondepolarisasi. Pemberian suksinilkolin 1,4 mg/kg. Fasikulasi tidak terlihat
pada anak kecil dan orang tua.
C. Hiperkalemia
Setiap pemberian suksinilkolin meningkatkan kalium serum 0,5 mEq/L.
Dapat berbahaya pada luka bakar, trauma masif, gangguan neurologik. Dapat
menyebabkan henti jantung.
D. Nyeri Otot
Terutama pada wanita. Pemberian rocuronium 0,06-0,1 mg/kg sebelum
pemberian suksinilkolin dilaporkan efektif dalam mencegah fasikulasi dan
menurunkan nyeri otot postoperatif. Pemberian NSAID dapat juga
mengurangi kejadian dan keparahan dari nyeri otot.
E. Peningkatan Tekanan Intragaster
Fasikulasi dari dinding perut meningkatkan tekanan didalam gaster dimana
terjadi peningkatan tonus spingter esofagus bagian bawah.
F. Peningkatan Tekanan Intraokuler
Depolarisasi otot yang panjang dan kontraksi dari otot extraoculer setelah
pemberian suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokuler dan dapat
menyebabkan cedera pada mata.

18
G. Kekakuan Otot Masseter
Suksinilkolin dapat menyebabkan sulitnya membuka rahang. Dan juga
dapat menyebabkan terjadinya malignant hipertemi.
H. Malignant Hypertemi
Merupakan trigger untuk terjadinya malignant hipertemi
I. Kontraksi Otot
Dapat menyebabkan myoklonus setelah pemberian suksinilkolin
J. Prolong Paralisis
Pasien dengan jumlah pseudocolinesterase yang rendah memiliki durasi
yang lebih lama, dimana pasien dengan atipikal pseusocolinesterase juga
paralisis akan panjang.
K. Tekanan Intrakranial
Terjadi peningkatan aliran darah ke otak dan tekanan intrakranial.
Peningkatan ini dapat diatasi dengan penanganan airway yang baik dan
hiperventilasi. Dapat dikurangi dengan pemberian relaksan otot
nondepolarisasi dan lidokain IV (1,5 – 2,0 mg/kg) 2-3 menit sebelum
intubasi.
L. Histamin Release
Sedikit pelepasan histamin.

Relaksan Otot Non-depolarisasi


Berdasarkan struktur kimiawi, relaksan otot non-depolarisasi terdiri dari
benzylisoquinolines, steroid, atau senyawa lainnya. Steroid dapat menyebabkan
vagolitik sedangkan benzylisoquinolines menyebabkan pelepasan histamin.

19
Tabel 4. Ringkasan farmakologi relaksan otot nondepolarisasi

A. Kenyamanan untuk Intubasi


Tidak ada relaksan otot nondepolarisasi yang tersedia saat ini yang sama
dengan onset aksi suksinilkolin yang cepat atau durasi yang singkat. Namun,
timbulnya relaksan nondepolarisasi dapat dipercepat dengan menggunakan
dosis yang lebih besar. ED95 obat apa pun adalah dosis efektif pada 95%
individu. Untuk blocker neuromuskuler, seseorang sering menentukan dosis
yang menghasilkan 95% depresi berkedut pada 50% individu. Satu atau dua
kali lipat ED95 atau dua kali dosis yang menghasilkan depresi berkedut 95%
biasanya digunakan intubasi. Meskipun dosis intubasi yang lebih besar
timbul, obat ini memperpanjang durasi blokade. Ketersediaan sugammadex
sebagian besar telah menghilangkan kekhawatiran ini sehubungan dengan
relaksan otot steroid nondepolarisasi, rocuronium.
Penting untuk diingat bahwa masing-masing otot memiliki sensitivitas
yang berbeda terhadap relaksan otot. Sebagai contoh, otot laring pulih lebih
cepat dibandingkan otot adduktor policis, yang biasanya dimonitor oleh
stimulator saraf.
B. Kecocokan Untuk Intubasi
Untuk mencegah fasikulasi dan mialgia, 10%-15% dari dosis relaksan otot
nondepolarisasi dapat diberikan 5 menit sebelum suksinilkolin. Demikian
pula, pemberian primer dengan dosis kecil obat relaksan otot nondepolarisasi
(10% dari dosis total) beberapa menit sebelum intubasi dapat mempercepat

20
timbulnya kondisi intubasi yang dapat diterima bila diikuti oleh sisa 90% obat
yang akan diberikan. Disfagia, diplopia, dan tekanan pasien kadang-kadang
akan timbul setelah pemberian dosis primer atau defasikulasi dari relaksan
otot nondepolarisasi.
C. Rumatan Relaksasi
Diperlukan untuk memfasilitasi operasi, terutama operasi abdomen, atau
memerlukan kontrol ventilasi, monitoring dengan stimulator saraf membantu
mencegah berlebih atau kurangnya relaksan otot, adanya sisa relaksan otot
pada ruang perawaatan setelah operasi. Dosis rumatan dengan drip atau IV
harus sesuai dengan stimulator saraf atau keadaan klinis. Ketika
menggunakan relaksan untuk rumatan, maka kecepatan harus lebih cepat dari
rata-rata untuk dapat mengembalikan transmisi neuromuskuler.

Tabel 5. Karakteristik klinis relaksan otot nondepolarisasi

D. Potensiasi Dengan Anestesi Inhalasi


Volatile mengurangi kebutuhan relaksan sampai 15 %. Untuk postsinaptik
augmentasi tergantung dari anestetik inhalasi (desfluran>sevofluran
>isofluran> enfluran> halotan> N2O/O2/narkotik>total anestesi IV).
E. Potensiasi Dengan relaksan Otot Nondepolarisasi Lainnya
Beberapa kombinasi dari berbagai kelas nondepolarisasi (misalnya, steroid
dan benzylisoquinolinium) menghasilkan blokade neuromuskuler aditif yang
lebih besar daripada sinergis.

21
F. Efek Samping Otonom
Dosis secara klinis, nondepolarisasi dapat dibedakan dari efeknya terhadap
nikotinik atau muscarinik kolinergik reseptor. Obat lama (tubokuronium dan
metokurine) memblok ganglia otonom, menyebabkan peningkatan
kontraktilitas jantung, dan respon dari hipotensi dan stress didalam operasi.
Berbeda dengan pacuronium yang menghambat reseptor vagal muskarinik
sehingga menyebabkan takikardi. Semua relaksan otot nondepolarisasi yang
terbaru, atrakurium, cisatrakurium, mivakurium, vecuronium dan rocuronium
memberikan efek otonom yang signifikan pada dosis yang direkomendasikan.
G. Pelepasan Histamin
Menyebabkan spasme bronkus, kulit kemerahan dan hipotensi karena
vasodilatasi perifer. Baik atrakurium maupun mivakurium dapat
menyebabkan pelepasan histamin, terutama pada dosis yang besar.
Penyuntikan yang lambat dan antihistamin H1 dan H2 sebelumnya
menghilangkan efek ini.
H. Hepatic Clearance
Hanya pankuronium, vecuronium, dan rocuronium yang dimetabolisme di
hepar. Vecuronium dan rocuronium sangat bergantung pada ekskresi empedu.
Secara klinis, gagal hati memperpanjang blokade. Atracurium, cisatracurium,
dan mivacurium, meskipun dimetabolisme secara ekstensif, tergantung pada
mekanisme ekstrahepatik. Penyakit hati yang berat tidak secara signifikan
mempengaruhi pembersihan atracurium atau cisatracurium, tetapi penurunan
terkait kadar pseudocholinesterase akan memperlambat metabolisme
mivacurium.
I. Eksresi Ginjal
Pancuronium, vecuronium, dan rocuronium sebagian diekskresikan oleh
ginjal diekresi di ginjal, sehingga kerusakan ginjal memperlama kerjanya.
Sedangkan atrakurium, cisatrakurium dan mivakurium dan rocuronium tidak
tergantung dari fungsi ginjal.

22
Karekteristik Farmakologik Secara Umum
Beberapa hal yang mempengaruhi kerja dari pelemas otot nondepolarisaso
A. Temperatur
Hipotermi memperlambat kerja dengan menurunkan metabolisme
(mivacurium, atrakurium dan cisatrakurium) dan memperlambat pengeluaran
(pancuronium dan vecuronium).
B. Keseimbangan Asam Basa
Asidosis respiratorik mempotensiasi blockade dari relaksan otot dan
antagonis terhadap reversenya. Efeknya tergantung juga dari pH ekstraseluler,
pH intraseluler, konsentrasi elektrolit dan perbedaan struktur antara masing-
masing obat.
C. Abnormal Elektrolit
Hipokalemia dan hipokalsemi meningkatkan kerja relaksan otot
nondepolarisasi. Hiperkalemia belum diketahui. Hipermagnesia potensiasi
blokade non depolarisasi dengan kompetisi dengan kalsium pada ujung saraf
motortik.
D. Umur
Neonatus meningkat sensitivitasnya. Peningkatan sensitivitas ini tidak
berhubungan langsung dengan kebutuhan dosisnya. Karena besarnya area
extraseluler pada neonatus.
E. Interaksi Obat
Banyak obat yang mempotensiasi relaksan otot, interaksi pada beberapa
tempat : struktur prejunctional, postjunctional reseptor kolinergik, dan
membran otot.
F. Penyakit Penyerta
Gangguan neurologis dan otot mempengaruhi kerja relaksan otot.
Gangguan hati dan gangguan ginjal terjadi peningkatan volume distribusi dan
penurunan konsentrasi didalam plasma. Sehingga memerlukan dosis awal
yang besar tetapi dosis rumatan yang kecil.

23
G. Kelompok Otot
Onset masing-masing berbeda tergantung aliran darah, jarak dengan
sirkulasi sentral dan perbedaan tipe serabut. Diafragma, rahang, laring dan
otot wajah (orbikularis oris) respon dan kembali lebih cepat dibandingkan
jempol. ED95 untuk otot laring hampir 2 x lipat daripada otot adduktor
pollicis. Intubasi yang baik berhubungan dengan hilangnya respon orbicularis
oculi respon.
Karena banyak faktor yang mempengaruhi lamanya kerja dari relaksan
otot, maka tiap individu memberikan respon yang berbeda. Rekomendasi
dosis harus dimonitor untuk masing-masing individu. Perbedaan yang besar
pada pelemas nondepol terjadi pada praktik klinis.

ATRACURIUM
Struktr fisik
Memiliki quaternary group, struktur benzylisoquinoline mempengaruhi
terhadap degradasinya. Obat ini campuran 10 steroisomer.
Metabolisme Dan Eksresi
Tidak tergantung fungsi ginjal dan hati. Kurang dari 10% dieksresi tidak
berubah dengan jalur ginjal dan hepar. Proses yang mempengaruhi :
A. Ester Hydrolisis
Dikatalisasi oleh nonspesifik esterase, bukan oleh asetilkolinesterase atau
pseudokolinesterase.
B. Hofmann Elimination
Spontan nonenzim tergantung pH fisiologis dan suhu.
Dosis
Dosis IV : 0,5 mg/kg, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative
0,25 mg/kg initial, lalu 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infus drip 5-10
mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.
Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa.

24
Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8OC,
potensinya hilang 5 -10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan.
Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.
Efek Samping Dan Pertimbangan Klinis
Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg
 Hipotensi dan Takikardi
Tidak memberikan efek terhadap jantung apabila dosis kurang dari 0,5
mg/kg dapat menyebabkan hilangnya resistensi vaskuler dan peningkatan
cardiac index karena pelepasan histamin. Dicegah dengan pemberian yang
pelan-pelan.
 Spasme Bronkhus
Dihindarkan pada pasien asma
 Toksisitas Laudanosine
Laudanosine, tertier amin produk dari hoffman eliminasi dan dihubungkan
dengan eksitasi sistem saraf sentral, peningkatan mac dan presipitasi kejang.
Terjadi bila diberikan pada dosis besar atau adanya gangguan fungsi hepar.
Dimetabolisme di hepar dan dieksresi melalui urin dan empedu.
 Suhu dan Sensitivitas Terhadap Ph
Durasi meningkat pada hipotermi dan pH asidosis.
 Inkompatibilitas kimia
Menjadi asam yang bebas bila disatukan dengan obat yang alkali seperti
thiopental
 Reaksi Alergi
Jarang terjadi. Mekaisme karena imunogenitas dan acrylate mediated
reaksi imun. Berhubungan dengan Ig-E. Reaksi terhadap acrylate terjadi pada
saat hemodialisa.

CISATRAKURIUM
Struktr fisik
Steroisimer atrakurium 4 x lebih poten. Atracurium mengandung 15%
cisatrakurium.

25
Metabolisme dan eksresi
Degradasi di plasma tergantung pH fisiologis dan suhu oleh Hofmann
Eliminasi. Hasil metabolitnya(monoadequaternary acrylate dan laudanosine) tidak
memiliki efek pelmas otot. Metabolisme dan eliminasi tidak tergantung fungsi
hati dan ginjal. Usia tidak mempengaruhi kerja.
Dosis
Dosis IV : 0,1 – 0,15 mg/kg selama 2 menit untuk intubasi. Infus drip rata-
rata 1,0–2,0 mcg/kg/menit. Equipoten dengan vecuronium dan lebih poten dari
atracurium. Harus disimpan didalam kulkas (2-8OC) dan harus digunakan paling
lambat 21 hari setelah terpapar suhu ruangan.
Efek Samping dan pertimbangan klinis
Berbeda dengan atrakurium, tidak ada histamin dalam plasma. Tidak
mempengaruhi denyut jantung atau tekanan darah, atau efek otonom, walaupun
dosisnya 8 kali ED95.

MIVACURIUM
Mivacurium adalah short-acting, benzylisoquinoline, relaksan otot
nondepolarisasi.
Metabolisme dan Ekskresi
Mivacurium dimetabolisme oleh pseudokolinesterase. Dapat terjadi efek yang
memanjang pada pasien dengan level pseudokolinesterase yang sedikit. Karena
atipikal homozigot tidak dapat memetabolisme mivacurium maka blokade dapat
bertahan 3-4 hari. Edrophonium lebih efektif dalam mereverse mivacurium
dibandingkan neostigmin. Walaupun mivakurium metabolismenya dan eksresinya
tidak tergantung ginjal dan hati tapi pada pasien dengan kelainan hati dan ginjal
pada pasien hamil dapat memperlama kerja mivakurium.
Dosis
Dosis intubasi 0,15-0,2 mg/kg. dosis infus dapat ditingkatkan menjadi 4- 10
mcg/kg/menit. Anak- anak memerlukan dosis yang lebih besar dibandingkan
dewasa. Mivakuranium memiliki shelf-life 18 bulan bila disimpan pada suhu
ruangan.

26
Efek samping dan pertimbangan klinis
Mivacurium melepaskan histamin dengan tingkat yang hampir sama dengan
atracurium. Waktu awal mivacurium adalah sekitar 2 hingga 3 menit. Keuntungan
utama mivacurium dibandingkan dengan atracurium adalah durasinya yang relatif
singkat (20-30 menit).

PANCURONIUM
Struktur fisik
Pancuronium memiliki cincin Steroid dari 2 molekul Ach (relaksasi
bisquaternary).
Metabolisme dan eksresi
Pancuronium dimetabolisme oleh hepar. Eksresi terutama pada ginjal 40%,
sebagian oleh empedu (10%). Eliminasi pancuronium melambat bila ada gagal
ginjal. Pasien dengan sirosis membutuhkan dosis awal yang besar tapi dosis
rumatan yang kecil karena penurunan plasma clearance.
Dosis
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg pancuronium memberikan relaksasi adekuat
untuk intubasi 2 – 3 menit. Selama operasi dosis awal 0,04 mg/kg diikuti setiap 20
– 40 menit dengan 0,01 mg/kg.
Anak-anak membutuhkan dosis lebih besar. Sediaan cairan 1-2 mg/cc
disimpan dalam suhu 2 – 8 0C dan stabil selama 6 bulan pada suhu ruangan.
Efek samping dan pertimbangan klinis
 Hipertensi dan Takikardi
Terjadi karena vagal refleks dan stimulasi simpatis. Perhatian bila
memberikan pancuronium pada pasien dengan peningkatan denyut jantung. (
penyakit jantung koroner, stenosis subaortik hipertropic idiopathic)
 Aritmia
Peningkatan konduksi atrioventikuler dan pelepasan katekolamin
menyebabkan disritmia. Kombinasi pancuronium, trisiclic antidepressant dan
halotan dapat menyebabkan aritmogenik.

27
 Reaksi Alergi
Hipersensitif pada bromida dapat menyebabkan reaksi alergi pada
pancuronium

VECURONIUM
Struktur fisik
Vecuronium adalah pankuronium minus kelompok metyl quaterner (relaksan
monoteuaterner). Perubahan struktural kecil ini bermanfaat mengubah efek
samping tanpa mempengaruhi potensi.
Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat
memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit 3-hidroksi,
perunbahan klirens obat atau terjadi polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama dan sepsis.
Efek pelemas otot memanjang pada pasien AIDS . Toleransi dengan pelemas otot
memperpanjang penggunaan.
Dosis
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap
15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit dosis rumatan relaksasi.
Umur tidak mempengaruhi dosis . Dapat memanjang durasi pada pasien post
partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow. Wanita 30% lebih sensitif
daripada pria terhadap vecuronium, sebagaimana dibuktikan oleh tingkat blokade
yang lebih besar dan durasi aksi yang lebih lama (ini juga terlihat dengan
pancuronium dan rocuronium). Penyebab sensitivitas ini kemungkinan besar
terkait dengan perbedaan gender dalam lemak dan massa otot dan volume
distribusi. Durasi kerja vecuronium dapat diperpanjang lebih lanjut dalam pasien
postpartum karena perubahan aliran darah hati atau pengambilan hati.
Efek samping dan manifestasi klinis
 Cardiovaskular
Dosis sampai 0.28 mg/kg tidak berefek pada kardiovaskular. Potensiasi
bradikardia yang diinduksi opioid dapat diamati pada beberapa pasien.

28
 Gangguan hati
Tidak terpengaruh pada pasien sirosis kecuali dosis sampai 0,15 mg/kg
dapat memperpanjang durasi.

ROCURONIUM
Struktur Fisik
Analog steroid monoquaternary seperti vecuronium, tapi onsetnya lebih cepat.
Metabolisme dan eksresi
Rocuronium tidak mengalami metabolisme dan dieliminasi terutama oleh hati
dan sedikit oleh ginjal. Durasi kerjanya tidak secara signifikan dipengaruhi oleh
penyakit ginjal, tetapi sedikit diperpanjang oleh kelainan hati yang berat dan
kehamilan. Karena rocuronium tidak memiliki metabolit aktif, merupakan pilihan
yang lebih baik daripada vecuronium pada pasien yang membutuhkan infus
berkepanjangan dalam pengaturan unit perawatan intensif. Pasien usia lanjut dapat
mengalami durasi tindakan yang lama karena penurunan massa hati.
Dosis
Rocuronium memiliki potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid
lainnya. Dosis 0,45 – 0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk
rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi. Rocuronium
IM (1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) menjaga adekuat pita suara
dan paralisis diafragma untuk intubasi,tapi tidak sampai 3 – 6 menit dapat kembali
sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang pada pasien
orang tua.
Efek samping dan manifestasi klinis
Rocuronium (dengan dosis 0,9-1,2 mg / kg) memiliki onset aksi yang
mendekati suksinilkolin (60-90 s), menjadikannya alternatif yang cocok untuk
induksi dengan cepat, tetapi dengan biaya durasi tindakan yang jauh lebih lama.
Durasi kerja menengah ini sebanding dengan vecuronium atau atracurium.
Sugammadex memungkinkan pembalikan cepat blokade neuromuskuler yang
diinduksi rocuronium.

29
Rocuronium (0,1 mg / kg) telah terbukti sebagai agen cepat (90 detik) dan
efektif (penurunan fasikulasi dan mialgia pasca operasi) untuk prekurarisasi
sebelum pemberian suksinilkolin. Ia memiliki tendensi vagolitik ringan

Relaksan Otot terbaru


Gantacurium termasuk dalam kelas baru dari penghambat neuromuskuler
nondepolarisasi yang disebut chlorofumarates. Dalam uji praklinis, gantacurium
menunjukkan durasi kerja yang sangat singkat, mirip dengan suksinilkolin. Profil
farmakokinetiknya dijelaskan oleh fakta bahwa ia mengalami degradasi
nonenzimatik oleh dua mekanisme kimia: pembentukan cepat produk adduksi
sistein tidak aktif dan hidrolisis ester. Dengan dosis 0,2 mg / kg (ED95), onset
tindakan diperkirakan 1-2 menit, dengan durasi blokade mirip dengan
suksinilkolin. Durasi tindakan klinisnya berkisar antara 5-10 menit. Pemulihan
dapat dipercepat dengan edrophonium, serta dengan pemberian sistein eksogen.
Efek kardiovaskular yang menunjukkan pelepasan histamin diamati setelah
penggunaan tiga kali dosis ED95.
CW002 adalah agen nondepolarisasi investigasi lainnya. Ini adalah sebuah
senyawa berbasis ester benzylisoquinolinium fumarate dengan durasi kerja
menengah yang mengalami metabolisme dan eliminasi yang mirip dengan
gantacurium.

30

Anda mungkin juga menyukai