Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN INTRANATAL

ASUHAN KEPERAWATAN INTRANATAL PADA NY.M UMUR 25 TAHUN G1P0A0


UMUR KEHAMILAN 39 MINGGU DENGAN INPARTU FASE LATEN DIRUANG
GAYATRI RST WIJAYA KUSUMA PURWOKERTO

Disusun Oleh :

Muhammad Galang Pratama


(200104057)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA

2021
2.1. Definisi Perdarahan Uterus Abnormal

Pendarahan Uterus Abnormal (PUA) adalah istilah yang digunakan saat ini untuk

mengambarkan kondisi perubahan pola menstruasi akibat peningkatan volume, durasi,

atau frekuensi perdarahan yang terjadi pada wanita yang sedang tidak hamil. Istilah

seperti perdarahan uterus disfungsional atau menorrhagia sudah tidak dipakai lagi

sekarang. Pendarahan uterus yang abnormal memiliki efek negatif pada aspek fisik,

emosional dan seksual dari kehidupan perempuan, serta dapat memperburuk kualitas

hidup seoarang wanita.1,16

Tabel 2.1. Terminologi PUA.17


Siklus menstruasi yang teratur dikaitkan dengan ovulasi dan produksi progesteron dalam

fase luteal. Menstruasi normal didefinisikan sebagai perdarahan uterus dengan

frekuensi 24 – 38 hari, regularitas atau keteraturan siklus menstruasi dari siklus ke siklus

yaitu 2 – 20 hari, durasi 4-8 hari, dan volume ≤ 80 mL. Siklus anovulatori bisa sangat

bervariasi dalam pola perdarahannya. Sepertiga dari kunjungan pasien ke dokter

kandungan adalah karena PUA dan lebih dari 70% dari semua konsultasi ke bagian

ginekologi yaitu pada saat perimenopause dan pascamenopause. Evaluasi pasien secara

menyeluruh penting dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab perdarahan sehingga

terapi yang tepat dapat diberikan.18

Perdarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai perdarahan haid yang masif

dimana diperlukan penanganan segera untuk mencegah kehilangan banyak darah. PUA

akut dapat terjadi secara spontan ataupun pada PUA kronis (pendarahan uterus abnormal

yang terjadi dalam kurun waktu 6 bulan terakhir). Proses umum untuk mengevaluasi

pasien yang datang dengan PUA akut dapat dilakukan dalam tiga tahap yaitu 1) menilai

dengan cepat gambaran klinis yang muncul, 2) menentukan kemungkinan etiologi dari

pendarahan, dan 3) memilih pengobatan yang paling tepat.15,19


Tabel 2.2. Definisi istilah untuk perdarahan uterus.11

Karakteristik Terminologi Deskripsi

Volume Haid Banyak Kehilangan darah haid yang banyak


(Heavy Menstrual yang dapat mengganggu fisik,
(normal < 80 ml) Bleeding) emosional, sosial dan kualitas hidup
seorang perempuan dan dapat terjadi
secara tunggal atau kombinasi dengan
gejala lainnya
Regularitas Haid tidak teratur Kisaran rentang interval tidak haid
(Irregular menstrual dari siklus ke siklus yang berikutnya
(variasi normal bleeding) melebihi 20 hari dalam satu periode
apabila ± 2 sampai menstruasi 90 hari
20 hari)
Tidak mendapat haid dalam periode
Tidak mendapat 90 hari
haid (amenorea)

Frekuensi Haid jarang Jarak antar haid > 38 hari (1 atau 2


(Infrequent episode dalam periode 90 hari)
(normal apabila 24- menstrual bleeding)
38 hari) Jarak antar haid < 24 hari (lebih dari
Haid sering 4 episode dalam periode 90 hari)
(Frequent menstrual
bleeding)
Durasi Haid memanjang Haid dengan durasi lebih dari 8 hari
(Prolonged
(normal apabila 3 menstrual bleeding)
sampai 8 hari )
Haid memendek Haid dengan durasi kurang dari 3
(Shortened hari
menstrual bleeding)

Perdarahan non - Intermenstrual Perdarahan dengan episode yang


menstruasi, ireguler ireguler, sering ringan dan singkat,
muncul antara periode menstruasi
yang normal
Perdarahan paska koitus
Post-coital
Flek (spotting)
premenstrual dan Perdarahan yang terjadi satu hari
posmenstrual atau lebih sebelum atau setelah
menstruasi
Perdarahan di luar Perdarahan Perdarahan yang muncul lebih dari
usia reproduktif postmenopause satu tahun setelah diketahui
menopause
Perdarahan yang terjadi pada usia di
Menstruasi Prekoks bawah 9 tahun

PUA akut atau PUA Akut Sebuah episode perdarahan pada


kronik wanita usia reproduksi, yang tidak
hamil, yang mana secara kuantitas
membutuhkan penangan segera untuk
mencegah kehilangan darah lebih
banyak

PUA Kronis Perdarahan yang tidak normal


menurut durasi, volume dan/atau
frekuensi dan terlah terjadi setidanya
dalam 6 bulan terakhir

Definisi tradisional perdarahan menstruasi abnormal adalah : 20,21,22,23

- Menoragia yaitu perdarahan menstruasi dengan volume atau durasi yang

berlebihan, tetapi dengan interval teratur.

- Metrorrhagia yaitu perdarahan menstruasi dengan interval yang tidak teratur.

- Menometrorrhagia yaitu menstruasi dengan volume atau durasi yang

berlebihan dengan interval yang tidak teratur.

- Perdarahan intermenstruasi yaitu perdarahan yang bervariasi diantara periode

menstruasi normal yang normal.

- Polymenorrhea yaitu menstruasi dengan interval kurang dari 21 hari.

- Oligomenorrhea yaitu menstruasi dengan interval lebih dari 35 hari.

- Perdarahan menstruasi yang berat baik menorrhagia dan menometrorrhagia,

dan mengacu pada kehilangan darah menstruasi lebih tinggi dari 80 ml/siklus.
2.2. Faktor Risiko

Evaluasi lebih lanjut dari perdarahan uterus yang abnormal tergantung pada usia pasien

dan adanya faktor risiko untuk perdarahan uterus abnormal yang meliputi usia, siklus

anovulasi, obesitas, nulliparitas. Periode klimakterium menjadi salah satu faktor resiko

kejadian perdarahan uterus abnormal. Ketika wanita mendekati menopause, siklus

menstruasi menjadi memendek, dan sering terjadi anovulasi secara intermiten, karena

adanya penurunan jumlah folikel ovarium dan peningkatan resistensi terhadap stimulasi

gonadotropik yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar estradiol sehingga

endometrium tidak dapat mempertahankan pertumbuhan normalnya. Sebelum

menstruasi berhenti total dan menopause dimulai, seorang wanita melewati periode

yang disebut perimenopause. Selama perimenopause, siklus hormon normal mulai

berubah dan ovulasi menjadi tidak konsisten. Sementara sekresi estrogen terus

berlanjut, sekresi progesteron menjadi menurun. Hal ini menyebabkan endometrium

berproliferasi atau memproduksi jaringan yang berlebihan, dan meningkatkan

kemungkinan terbentuknya polip atau fibroid yang menyebabkan terjadinya PUA.26,37

Perdarahan uterus abnormal juga dikaitkan dengan parietas wanita. Dikatakan bahwa

multipara dapat mengurangi resiko PUA. Fase folikular pada wanita multipara satu hari

lebih lama daripada wanita nullipara dan kondisi dimana tidak adanya ovulasi selama

kehamilan. Estrogen berfungsi untuk proliferasi endometrium. Jika kadar estrogen

menurun, maka tidak terjadi proliferasi endometrium secara berlebihan yang dapat

menyebabkan terjadinya PUA. Setelah melahirkan akan terjadi penurunan fungsi

ovarium yang memanjang


yang berlangsung beberapa tahun atau lebih, dan paparan terhadap estradiol bebas akan

berkurang sehingga dapat menurunkan risiko kanker reproduksi yang dapat

menyebabkan terjadinya PUA. Kadar steroid ovarium meningkat seiring bertambahnya

waktu kelahiran terakhir. Sehingga suatu keadaan multipara dapat menurunkan resiko

insidensi PUA.38

Risiko terkena kanker endometrium juga meningkat seiring bertambahnya usia. Insiden

kanker ini secara keseluruhan adalah 10,2 kasus per 100.000 pada wanita berusia 19

hingga 39 tahun. Insiden lebih dari dua kali lipat dari 2,8 kasus per 100.000 pada

mereka yang berusia 30 hingga 34 tahun menjadi 6,1 kasus per

100.000 pada mereka yang berusia 35 hingga 39 tahun. Pada wanita berusia 40 hingga

49 tahun, kejadian karsinoma endometrium adalah 36,5 kasus per 100.000. Dengan

demikian, American College of Obstetricians dan Gynecologists merekomendasikan

evaluasi endometrium pada wanita berusia 35 tahun ke atas yang mengalami perdarahan

uterus abnormal.18

2.3. Klasifikasi

Gambar 2.1. Sistem klasifikasi dasar.24


Sistem klasifikasi FIGO memiliki 9 kategori utama, yang disusun menurut akronim

PALM-COEIN: polip; adenomiosis; leiomioma; keganasan dan hiperplasia;

koagulopati; disfungsi ovulasi; endometrium; iatrogenik; dan belum diklasifikasikan.

Secara umum, komponen dari kelompok PALM adalah kelainan struktural yang dapat

diukur secara visual dengan teknik pencitraan dan / atau histopatologi, sedangkan

kelompok COEIN terkait dengan kelainan non struktural atau yang tidak didefinisikan

oleh pencitraan atau histopatologi.24

Gambar 2.2.Klasifikasi perdarahan uterus abnormal menurut FIGO.15

Istilah "Dysfunction Uterine Bleeding / DUB," yang sebelumnya digunakan sebagai

diagnosis ketika tidak ada penyebab struktural sistemik atau lokal untuk PUA, tidak

termasuk dalam sistem dan sudah ditinggalkan.24


2.3.1. Polip (PUA-P)

Polip merupakan suatu proliferasi epitelial yang terdiri dari komponen vaskular,

kelenjar, dan fibromuskular dan jaringan konektif yang bervariasi dari endometrium

atau endocerviks yang dilapisi sel sel epitel. Terdapat pembuluh darah berdinding tebal

dan terhialinisasi di dekat permukaan epitel. Hal ini mengakibatkan terjadinya

perdarahan. Polip masih kontroversi dalam hal kategori sebagai penyebab PUA, karena

umumnya bersifat asimtomatik. Tetapi pada beberapa kasus, polip berkontribusi dalam

menyebabkan PUA. Klasfikasi polip dikategorikan sebagai ada atau tidak ada, yang

dinilai dengan pemeriksaan inspekulo, ultrasonografi dan atau pemeriksaan

histerokopis, dengan atau tanpa hasil histopatologis. Polip belum diberikan

subklasifikasi, namun setiap klinisi dapat menambahkan informasi ukuran, jumlah,

lokasi, morfologi, dan histologi. 24

2.3.2. Adenomiosis (PUA-A)

Adenomiosis yaitu keadaan dimana kelenjar endometrium ditemukan pada miometrium.

Hubungan adenomiosis menyebabkan PUA masih belum jelas. Pemeriksaan baku emas

berupa histopatologi, namun magnetic resonance imaging (MRI) atau ultrasonografi

dapat dijadikan pilihan dalam mendiagnosis adenomiosis. Perkiraan prevalensi

adenomiosis sangat bervariasi, mulai dari 5% hingga 70%. Kriteria ini didasarkan pada

kedalaman jaringan endometrial pada pemeriksaan histopatologi yang didaptkan melalui

histerektomi. 24

Terbatasnya fasilitas MRI membuat pencitraan USG cukup dalam hal mendiagnosis.

Pada pemeriksaan sonografi menunjukkan jaringan endometrium


heterotopik di miometrium dan sebagian berhubungan dengan hipertrofi miometrium.24

2.3.3. Leiomyoma (PUA-L)

Leiomyoma merupakan tumor jinak pada otot polos atau tumor fibromuskular jinak dari

myometrium. Tumor ini dikenal dengan beberapa nama, seperti mioma, dan fibroid.

Prevalensinya 70% pada ras Kaukasia hingga 80% pada wanita keturunan Afrika.

Seperti halnya polip dan adenomiosis, banyak juga leiomioma tidak bergejala.24

Beberapa hal diperhatian dalam sistem klasifikasi leiomyoma, antara lain hubungan

leiomyoma ke endometrium dan serosa, lokasi leiomyoma (segmen atas, segmen

bawah; serviks, anterior, posterior, lateral), ukuran, jumlahnya. Klasifikasi teridiri dari

primer, sekunder, dan tersier.24

Gambar 2.3. Sistem klasifikasi termasuk sistem subklasifikasi leiomioma.24


Klasifikasi primer yaitu menggambarkan ada atau tidaknya satu atau lebih leiomyoma

tanpa melihat lokasi dan ukuran. Dasar pemeriksaan yaitu ultrasonografi. Klasifikasi

sekunder yaitu klinisi membedakan lokasi leimomyoma antara submukosa atau lokasi

lain (other). Leimyoma pada submukosa didapatkan paling banyak menyebabkan PUA.

Penentuan lokasi sebaiknya dilakukan dengan histerosonografi atau histeroscopi.

Klasifikasi tersier yaitu pembagian jenis leiomyoma berdasarkan hubungan dengan

endometrium dan atau serosa. Kategori lain yaitu lesi parasitik yaitu tampak lepas

karena memiliki sumber perdarahan dari luar uterus.24

Sistem klasifikasi tersier pada mulanya diajukan oleh Wamsteker dkk, kemudian

diadopsi oleh Masyarakat Eropa untuk Reproduksi dan Embriologi Manusia (ESHRE).

Klasifikasi tersier ini akan berguna untuk klinisi yang melakukan miomektomi

resektoskopi.24

2.3.4. Keganasan dan hiperplasia (PUA-M)

Hiperplasia dan keganasan atipikal merupakan penyebab penting dari PUA dan harus

dipertimbangkan di hampir semua wanita usia reproduksi. Malignancy dapat

didiagnosis dengan melakukan pengambilan sampel endometrium transervikal.

Histolpatologi yang dapat ditemukan berupa gambaran sel atipik, atau endometrial

carcinoma. Pasien yang didapatkan hasil positif berdasarkan histopatologi dikategorikan

sebagai PUA-M, lalu ditambahkan klasifikasi kanker yang sesuai dengan sistem World

Health Organization (WHO) atau FIGO.3


Hiperplasia endometrium adalah diagnosis umum pada wanita perimenopause yang

menyebabkan gejala perdarahan tidak teratur atau berkepanjangan akibat siklus

anovulasi. Jika ovulasi tidak terjadi, progesteron tidak produksi, dan lapisan

endometrium tidak luruh. Hiperplasia endometrium paling sering disebabkan oleh

peningkatan sekresi estrogen tanpa peningkatan sekresi progesteron. Perdarahan berat

merupakan akibat sekunder dari kadar estrogen yang berlebihan yang menyebabkan

pertumbuhan berlebih yang tidak hanya mempengaruhi kelenjar dan stroma, tetapi juga

menyebabkan terjadinya vaskularisasi abnormal. Setelah ovulasi, korpus luteum

menghasilkan progesteron yang berfungsi untuk menghentikan penebalan endometrium

dan menstabilkan endometrium. Jika tidak terjadi ovulasi, estrogen akan melanjutkan

stimulasi endometrium dan proliferasi berlebihan pada lapisan endometrium.

Endometrium menjadi tidak stabil, tidak berdiferensiasi, dan luruh secara tidak terduga.

Pembuluh darah menjadi lebih besar, lebih berliku-liku, dan lebih mudah rapuh. Hal

inilah yang menyebabkan terjadinya perdarahan. Risiko hiperplasia endometrium untuk

progresi menjadi karsinoma endometrium bervariasi. Hiperplasia endometrium simpel

berisiko kurang dari 1%, hiperplasia endometrium simpel atipik berisiko 8%, hiperplasia

endometrium kompleks berisiko 3%, dan hiperplasia endometrium kompleks atipik

berisiko 20-25%.13

2.3.5. Koagulopati (PUA-C)

Istilah "koagulopati" dalam hal ini merupakan gangguan hemostasis sistemik yang

terkait dengan PUA. Sekitar 13 % wanita dengan perdarahan mestruasi yang banyak

memiliki gangguan sistemik hemostasis yang dapat dideteksi secara


biokimia, paling sering penyakit von Willebrand. Namun, tidak jelas seberapa sering

kelainan dapat berkontribusi menyebabkan terjadinya PUA dan seberapa sering

asimtomatik. Namun demikian, penting untuk mempertimbangkan gangguan tersebut

pada pasien pasien HMB.24

Pemakaian antikoagulan pada beberapa wanita usia reproduksi dapat mengakibatkan

efek yang tidak diinginkan yaitu PUA, paling sering Hypermenstrual Bleeding (HMB).

Meskipun PUA tersebut dianggap iatrogenik, tetapi diputuskan bahwa akan lebih tepat

untuk mengklasifikasikannya sebagai gangguan koagulopati (PUA / HMB-C).24

2.3.6. Disfungsi Ovulasi (PUA-O)

Gangguan ovulasi dapat muncul sebagai ketidaknormalan menstruasi mulai dari

amenore, sampai pendarahan yang sangat ringan dan jarang, hingga episode HMB yang

tidak dapat diprediksi dan ekstrem. Beberapa manifestasi ini berhubungan dengan tidak

adanya produksi progesteron siklik yang dapat diprediksi dari korpus luteum setiap 22-

35 hari, keadaan luteal-out-of-phase yaitu recruitment folikel yang matang terlalu dini,

menyebabkan peningkatan kadar estradiol, yang menyebabkan endometrium fase

proliferasi. Hal ini menyebabkan stimulasi estrogen berlebihan (unopposed estrogen)

pada endometrium. Endometrium mengalami proliferasi berlebih tanpa diikuti

pembentukan jaringan penyangga yang baik karena kadar progesteron rendah, sehingga

mengakibatkan terjadinya perdarahan. 24

Sebagian besar gangguan ovulasi tidak memiliki etiologi yang jelas, banyak yang

terjadi karena kasus endokrinopati (misalnya sindrom ovarium


polikistik, hipotiroidisme, hiperprolaktinemia, stres mental, obesitas, anoreksia,

penurunan berat badan, atau olahraga ekstrem seperti pelatihan atletik elit). Dalam

beberapa kasus dapat disebabkan oleh steroid gonad atau obat-obatan yang berdampak

pada metabolisme dopamin, seperti fenotiazin dan antidepresan trisiklik. Gangguan

ovulasi yang tidak dapat dijelaskan sering terjadi pada usia reproduksi ekstrim, yaitu

masa remaja dan transisi menopause.24

2.3.7. Endometrium (PUA-E)

Perdarahan menstruasi yang terjadi dapat diprediksi karena siklus haid pasien teratur,

dan ketika tidak ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi. Jika gejalanya adalah

HMB, mungkin ada gangguan utama mekanisme yang mengatur "hemostasis" pada

endometrium lokal itu sendiri. Beberapa penelitian telah menunjukkan kekurangan

dalam produksi lokal vasokonstriktor seperti endotelin- 1 dan prostaglandin F2α, dan /

atau percepatan lisis endometrium karena produksi berlebihan aktivator plasminogen, di

samping peningkatan produksi lokal zat yang mempromosikan vasodilatasi, seperti

prostaglandin E2 dan prostasiklin (I2), namun tes yang mengukur kelainan tersebut saat

ini belum tersedia.24

2.3.8. Iatrogenik (PUA-I)

Suatu kondisi dimana intervensi medis dapat menyebabkan perdarahan, termasuk

medicated atau insert intrauterine sistem dan agen farmakologis yang secara langsung

berdampak endometrium, mengganggu mekanisme pembekuan darah, atau

mempengaruhi kontrol sistemik ovulasi.24


Perdarahan endometrium tidak terjadwal yang terjadi selama penggunaan terapi

estrogen atau progestin disebut “Breakthrough Bleeding” (BTB)". 24

Pemberian tunggal atau kombinasi steroid gonad secara sistemik seperti estrogen,

progestin, dan androgen memengaruhi kontrol steroidogenesis ovarium melalui efek

pada hipotalamus, hipofisis, dan ovarium itu sendiri, dan juga memberi efek langsung

pada endometrium. Ketika preparat estrogen-progestin diberikan secara siklik,

pendarahan uterus umumnya terjadi bersamaan dengan penarikan periodik dari preparat

steroid. Namun, ketika perdarahan tak terjadwal terjadi, wanita tersebut dapat dianggap

memiliki Breakthrough Bleeding dan dikategorikan sebagai PUA-I.24

Sangat mungkin bahwa banyak episode perdarahan tak terjadwal / BTB terkait dengan

berkurangnya tingkat steroid gonad yang bersirkulasi akibat masalah kepatuhan seperti

penggunaan yang salah, tertunda, atau penggunaan tidak teratur. Dengan berkurangnya

supresi produksi FSH dan perkembangan folikel yang menghasilkan estradiol endogen,

stimulasi tambahan dan tidak teratur dari endometrium dapat menyebabkan BTB. Dalam

penelitian yang dikumpulkan dari 7 percobaan, 35% wanita dengan folikel besar

memiliki BTB. Penyebab potensial lain dari penurunan kadar estrogen yang bersirkulasi

dan progestin termasuk penggunaan agen seperti antikonvulsan dan antibiotik

(misalnya rifampisin dan griseofulvin).24

Banyak wanita mengalami pendarahan vagina yang tidak terjadwal pada penggunaan 3-

6 bulan pertama dari sistem intrauterin levonorgestrel-releasing (LNG-IUS). Dalam

penelitian di Inggris, 10% pengguna baru LNG-IUS berhenti digunakan pada akhir

tahun pertama karena keluhan perdarahan. Dalam sebuah


penelitian di Brasil, 25% wanita mengeluhkan bercak vagina dalam 6 bulan pertama

penggunaan LNG-IUS.24,25,26

Preparat sistemik yang mengganggu metabolisme dopamin berpotensi menyebabkan

PUA sekunder akibat gangguan ovulasi. Antidepresan trisiklik (mis. Amitriptyline dan

nortriptyline) dan fenotiazin berdampak pada metabolisme dopamin dengan

mengurangi serotonin. Diperkirakan bahwa pengurangan inhibisi prolaktin yang

dihasilkan menyebabkan gangguan prolaktin terkait di aksis hipotalamus-pituitari-

ovarium dan gangguan ovulasi, termasuk anovulasi. Akibatnya, setiap preparat yang

berdampak penyerapan serotonin adalah kandidat untuk menyebabkan disfungsi ovulasi

dan mengakibatkan

2.3.9. Belum diklasifikasikan (PUA-N).

Beberapa kelainan uterus mungkin berkontribusi menyebabkan PUA pada individu

tertentu. Namun, ini belum dibuktikan secara pasti. Kelainan seperti endometritis kronis,

malformasi arteriovenosa, dan hipertrofi myometrium. Selain itu, mungkin ada

gangguan lain, belum teridentifikasi. Secara kolektif, kelainan ini telah ditempatkan

dalam kategori yang disebut ”not yet classified”.24

2.4. Diagnosis

2.4.1. Anamnesis

Pendekatan klinis pada penegakan diagnosis PUA penting dilakukan secara cermat

untuk dapat menetukan jenis PUA berdasarkan PALM-COEIN. Tiga pertanyaan awal

yaitu adalah status kehamilan, status reproduksi, dan asal perdarahan.27


Pemeriksaan kehamilan merupakan dasar dalam mendiagnosis PUA. Pasien dengan usia

premenstrusasi atau posmenopause memiliki diagnosis banding yang berbeda dengan

PUA. Perlu diingat bahwa PUA adalah perdarahan yang berasal dari uterus. Anamnesis

dan pemeriksaan fisik yang terarah dapat menyingkirkan penyebab perdarahan yang

berasal dari extra-uterine.

Evaluasi lebih lanjut pada perempuan tidak hamil dalam usia reproduktif dapat

didasarkan dengan pertanyaan lanjutan berikut yaitu : 28

a. Bagaimana pola perdarahan?

b. Apakah perlu dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap?

c. Apakah perlu dilakukan pengambilan sampel endometrium?

d. Apakah perlu pemeriksaan faktor koagulasi?

e. Apakah perdarahan berhubungan dengan metode kontrasepsi?

Pola perdarahan ditanyakan dengan menanyakan hari pertama haid terakhir dan haid-

haid sebelumnya, durasi perdarahan, perdarahan antara menstruasi, dan berapa volume

darah yang keluar. Beberapa pola perdarahan yang tipikal pada PUA seperti

 Heavy Menstrual Bleeding dengan etiologi tersering adalah leiomyoma

(submucosa), adenomyosis (disertai dysmenorrhea atau nyeri panggul

kronis), defek bekas sectio cesarea, dan penyakit koagulasi. Etiologi lainnya

yaitu hiperplasia endometrium atau carcinoma, AKDR, polip endometrium,

endometritis, atau PID, malformasi arterivena, dan kelainan hemostasis.


 Intermenstrual Bleeding dengan etiologi polip endometrium, perdarahan tidak

terjadwal akibat kontrasepsi, keganasan, luka endometrium, atau

endometritis.

 Irregular Bleeding (ovulatory dysfunction) dengan penyebab akibat kelainan

hypothalamic-ptiutary axis primer, atau penyakit hormonal lainnya.27

2.4.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik mencakup tanda-tanda vital dengan pemeriksaan ginekologi

mencakup: lokasi perdarahan (vulva, vagina, serviks, uretra, anus, atau perineum), luka

pada traktus genitalia atau duh, ukuran dan kontur uterus , perdarahan uterus saat ini,

massa adnexa atau nyeri parametrium. Pemeriksaan umum yaitu : demam, ekimosis,

pembesaran tiroid, tanda hiperandrogenisme, acanthosis nigricans, dan galaktorrhea.

2.4.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu tes kehamilan dan darah perifer lengkap.

Pemeriksaan tambahan lainnya dilakukan sesuai dengan kecurigaan diagnosis seperti:

fungsi tiroid, kadar prolaktin, kadar androgen, kadar FSH atau LH, kadar esterogen, tes

koagulasi, IVA atau papsmear, gram staining duh vagina, dan pemeriksaan swab

endometrium. Pencitraan dilakukan sesuai dengan klinis pasien untuk menilai massa

pada uterus dan ekstrauterus.

Penilaian endometrium dilakukan untuk mendiagnosis keganasan atau kondisi pra-ganas

dan untuk mengevaluasi pengaruh hormonal endometrium. Spencer dkk., meninjau 142

penelitian untuk menentukan nilai metode evaluasi


endometrium pada wanita dengan PUA. Data tidak mendukung rekomendasi yang

seragam untuk evaluasi endometrium.27

Pengambilan sampel endometrium harus dipertimbangkan pada semua wanita yang

berusia di atas 40 tahun dengan pendarahan abnormal atau pada wanita yang berisiko

tinggi kanker endometrium, yaitu nulliparitas dengan riwayat infertilitas, onset

perdarahan berat yang tidak teratur, badan gemuk, ovarium polikistik, riwayat keluarga

kanker endometrium dan kolon, dan terapi tamoxifen.27 Pengambilan sampel yang

diarahkan secara histeroskopi mendeteksi persentase abnormalitas yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan dilatasi dan kuretase sebagai prosedur diagnostik. Bahkan jika

rongga uterus tampak normal pada histeroskopi, endometrium harus diambil sampelnya

karena histeroskopi saja tidak cukup untuk menyingkirkan neoplasia endometrium dan

karsinoma.27

2.4.3.1 Pemeriksaan USG

Sonografi transvaginal (TVS) menilai ketebalan endometrium dan mendeteksi polip dan

mioma dengan sensitivitas 80 persen dan spesifisitas 69 persen. Meskipun ada bukti

bahwa ketebalan endometrium dapat menjadi indikasi patologi pada wanita

pascamenopause, bukti seperti itu kurang bagi wanita dalam masa reproduksinya. Meta

analisis dari 35 penelitian menunjukkan bahwa pada wanita menopause, ketebalan

endometrium 5 mm pada USG memiliki sensitivitas

92 persen untuk mendeteksi penyakit endometrium dan 96 persen untuk mendeteksi

kanker.27
2.4.3.2 Histeroskopi

Histeroskopi sekarang ini mempunyai nilai lebih dalam penanganan perdarahan uterus

abnormal. Temuan yang didapat pada histeroskopi memberikan berbagai informasi

mengenai bermacam-macam keadaan klinis pasien. Temuan pada histeroskopi memiliki

korelasi yang akurat dengan hasil histopatologi kelainan yang diperoleh. Pada penelitian

pemakaian histeroskopi dengan dilatasi dan kuretase pada sampling endometrium

menunjukkan bahwa keduanya memiliki sensitivitas yang sama yaitu 100%, namun

spesivisitas histeroskopi lebih tinggi (98%) dibandingkan dengan kuretase (65%).30

Tabel 2.4. Pemeriksaan Laboratorium Pada Evaluasi Pasien PUA.31

Evaluasi Laboratorium Uji laboratorium spesifik

Uji laboratorium awal Darah lengkap

Tipe darah dan crossmatch

Tes kehamilan

Evaluasi laboratorium awal untuk Waktu thromboplastin parsial

kelainan hemostasis Waktu protrombin

Waktu tromboplastin parsial teraktivasi

Fibrinogen

Uji awal untuk von Willebrand Faktor antigen von willebrand

Pengujian kofaktor ristocetin

Faktor VIII

Pemeriksaan laboratorium lain yang dapat TSH – thyroid stimulating hormone

dipertimbangkan Serum besi, TIBC – Total Iron Biding

Capacity, dan Ferritin

Tes fungsi hati


2.5. Penatalaksanaan

Setelah dilakukan evaluasi etiologi penyebab PUA, maka penatalaksanaan disesuaikan

dengan jenis PUA. Etiologi primer seperti kelainan anatomi dapat ditanganin dengan

operasi. PUA yang dicurigai akibat infeksi dapat ditangani dengan antibiotik. PUA

akibat penyakit sistemik ditangani dengan mengobati penyakit dasarnya.32

Tatalaksana medikamentosa umumnya diterima oleh sebagian besar perempuan sebagai

tatalaksana awal. HMB dapat ditangani dengan pemberian kontrasepsi oral kombinasi

atau AKDR levonogestrel, pemilihan didasarkan dengan keinginan pasien dan jika tanpa

kontraindikasi.28 Obat lain seperti asam tranexamat dapat diberikan pada pasien dengan

kontraindikasi penggunaan kontrasepsi hormonal. Obat antiinflamasi non-steroid

(OAINS) juga ditemukan bermanfaat dalam mengurangi perdarahan pada HMB. AKDR

levonogestrel memiliki efikasi terbaik dengan penurunan 71-95% perdarahan menstruasi

jika dibandingkan dengan: progestin oral 87%, kontrasepsi esterogen-progestin 35-

69%, asam tranexamat 26-54%, dan OAINS 10-52%. PUA-O dapat ditangani dengan

pilihan serupa, namun data uji klinis masih sedikit.8


Tabel 2.5 Terapi Penatalaksanaan PUA32

Golongan Nama Dosis

AKDR- LNG52/5 20 mcg/hari

Levonogestrel

Oral Progestin Norethindrone acetate 5 mg 1-3x sehari

Medroxyprogesterone acetate 5-30 mg perhari

Esterogen-Progestin Estradiol valerat-Dienogest 2-3 mg

Asam Tranexamat Asam Tranexamat 3x 1000 mg

OAINS Asam Mefenamat 3x 500 mg

Ibuprofen 1x 600mg

Tatalaksana bedah dapat dipikirkan pada pasien yang tidak efektif dengan

medikamentosa atau pasien yang ingin mendapatkan penanganan definitive

(histerektomi). HMB akibat kelainan anatomi merupakan indikasi utama operasi.

Pemilihan tatalaksana dari PUA harus selalu disesuaikan dengan kondisi pasien. Tidak

ada baku emas dalam penatalaksanaan PUA, jumlah anak, usia reproduksi, penyakit

sistemik lain dapat menjadi bahan pertimbangan dari pilihan modalitas tatalaksana yang

sesuai pada pasien.32


Himpunan Endokrin dan Fertilitas Indonesia (HIFERI) mengeluarkan suatu panduan

penatalaksanaan PUA, dimana tatalaksana digolongkan sesuai etiologi yang ada, yaitu:
33

1. Polip (PUA-P)

Penanganan polip endometrium dapat dilakukan dengan reseksi secara histeroskopi,

dilatasi dan kuretase, kuret hisap. Hasil dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologi.

2. Adenomiosis (PUA-A)

Diagnosis adenomiosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG atau MRI. Dalam

prinsip penatalaksanaannya perlu ditanyakan apakah pasien masih menginginkan

kehamilan. Bila ya, dapat diberikan terapi analog GnRH dengan add-back therapy atau

LNG IUS selama 6 bulan. Adenomiomektomi dengan teknik Osada merupakan

alternatif pada pasien yang ingin hamil (terutama pada adenomiosis > 6 cm). Bila pasien

tidak ingin hamil, reseksi atau ablasi endometrium dapat dilakukan. Histerektomi

dilakukan pada kasus dengan gagal pengobatan.

3. Leiomioma uteri (PUA-L)

Diagnosis mioma uteri ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG. Keinginan pasien

untuk hamil tetap ditanyakan pada pasien dengan mioma uteri. Histeroskopi reseksi

mioma uteri submukosum dilakukan terutama bila pasien menginginkan kehamilan,

yang menjadi pilihan pertama untuk mioma uteri submukosum berukuran < 4 cm;

mioma uteri submukosum derajat 0 atau mioma uteri submukosum derajat 2. Bila

terdapat mioma uteri intramural atau


subserosum dapat dilakukan penanganan sesuai PUA-O/E. Pembedahan dilakukan bila

respon pengobatan tidak adekuat.

Bila pasien tidak menginginkan kehamilan dapat dilakukan pengobatan untuk

mengurangi perdarahan dan memperbaiki anemia, bila respon pengobatan tidak adekuat

dapat dilakukan pembedahan. Embolisasi arteri uterina merupakan alternatif tindakan

pembedahan.

4. Malignancy and hyperplasia (PUA-M)

Diagnosis hiperplasia endometrium atipik ditegakkan berdasarkan penilaian

histopatologi. Bila pasien tidak menginginkan kehamilan tindakan histerektomi

merupakan pilihan. Tetapi jika pasien menginginkan kehamilan dapat dilakukan dilatasi

dan kuretase (D & K) dilanjutkan pemberian progestin, analog GnRH atau LNG-IUS

selama 6 bulan. Biopsi endometrium diperlukan untuk pemeriksaan histologi pada akhir

bulan ke-6 pengobatan.

5. Coagulopathy (PUA-C)

Pengobatan dengan asam traneksamat, progestin, kombinasi pil estrogen- progestin dan

LNG-IUS pada kasus ini memberikan hasil yang sama bila dibandingkan dengan

kelompok tanpa kelainan koagulasi. Jika terdapat kontraindikasi terhadap asam

traneksamat atau PKK dapat diberikan LNG-IUS atau dilakukan pembedahan

bergantung pada umur pasien. Terapi spesifik seperti desmopressin dapat digunakan

pada penyakit von Willebrand.

6. Ovulatory dysfunction (PUA-O)

Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi klinik

perdarahan yang sulit diramalkan dan jumlah darah yang bervariasi. Pemeriksaan

hormon tiroid dan prolaktin perlu dilakukan terutama pada keadaan oligomenorea.
Bila dijumpai hiperprolaktinemia yang disebabkan oleh hipotiroid maka kondisi ini

harus diterapi. Pada perempuan umur > 45 tahun atau dengan risiko tinggi keganasan

endometrium perlu dilakukan pemeriksaan USG transvaginal dan pengambilan sampel

endometrium. Bila tidak dijumpai faktor risiko untuk keganasan endometrium lakukan

penilaian apakah pasien menginginkan kehamilan atau tidak. Bila menginginkan

kehamilan dapat langsung mengikuti prosedur tata laksana infertilitas. Bila pasien tidak

menginginkan kehamilan dapat diberikan terapi hormonal dengan menilai ada atau

tidaknya kontraindikasi terhadap PKK (Pil KB Kombinasi).

Bila tidak dijumpai kontra indikasi, dapat diberikan PKK selama 3 bulan. Bila dijumpai

kontraindikasi pemberian PKK dapat diberikan preparat progestin selama 14 hari,

kemudian stop 14 hari. Hal ini diulang sampai 3 bulan siklus. Setelah 3 bulan dilakukan

evaluasi untuk menilai hasil pengobatan. Bila keluhan berkurang pengobatan hormonal

dapat dilanjutkan atau dihentikan sesuai keinginan pasien. Bila keluhan tidak berkurang,

lakukan pemberian PKK atau progestin dosis tinggi (naikkan dosis setiap 2 hari sampai

perdarahan berhenti atau dosis maksimal).

Perhatian terhadap kemungkinan munculnya efek samping seperti sindrom prahaid.

Lakukan pemeriksaan ulang dengan USG TV atau SIS untuk menyingkirkan

kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma uteri. Pertimbangkan tindakan

kuretase untuk menyingkirkan keganasan endometrium. Bila pengobatan

medikamentosa gagal, dapat dilakukan ablasi endometrium, reseksi mioma dengan

histeroskopi atau histerektomi. Tindakan ablasi endometrium pada perdarahan uterus

yang banyak dapat ditawarkan setelah


memberikan informed consent yang jelas pada pasien. Pada uterus dengan ukuran

< 10 minggu tindakan ablasi endometrium merupakan pilihan yang lebih baik

dibandingkan histerektomi.

7. Endometrial (PUA-E)

Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid yang

teratur. Pemeriksaan fungsi tiroid dilakukan bila didapatkan gejala dan tanda hipotiroid

atau hipertiroid pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan USG transvaginal

atau SIS terutama dapat dilakukan untuk menilai kavum uteri. Jika pasien memerlukan

kontrasepsi, nilai apakah terdapat kontra indikasi pemberian PKK. PKK mampu

mengurangi jumlah perdarahan dengan menekan pertumbuhan endometrium. Dapat

dimulai pada hari apa saja, selanjutnya pada hari pertama siklus menstruasi. Jika pasien

tidak memerlukan kontrasepsi, berikan asam traneksamat 3 x 1 gr dan asam mefenamat

3 x 500 mg merupakan pilihan lini pertama dalam tata laksana menoragia. Lakukan

observasi selama 3 siklus menstruasi.

Jika pasien memiliki kontra indikasi terhadap PKK maka dapat diberikan preparat

progestin siklik selama 14 hari diikuti dengan 14 hari tanpa obat. Kemudian diulang

selama 3 siklus. Dapat ditawarkan penggunaan LNG-IUS.

Jika setelah 3 bulan, respons pengobatan tidak adekuat dapat dilakukan penilaian USG

transvaginal atau SIS untuk menilai kavum uteri. Jika dengan USG TV atau SIS

didapatkan polip atau mioma submukosum segera pertimbangkan untuk melakukan

reseksi dengan histeroskopi. Jika hasil USG TV atau SIS didapatkan ketebalan

endometrium > 10 mm, lakukan pengambilan sampel endometrium untuk

menyingkirkan hiperplasia.
Jika terdapat adenomiosis dapat dilakukan pemeriksaan MRI, terapi dengan progestin,

LNG IUS, GnRHa atau histerektomi. Jika hasil pemeriksaan USG TV dan SIS

menunjukkan hasil normal atau terdapat kelainan tetapi tidak dapat dilakukan terapi

konservatif maka dilakukan evaluasi terhadap fungsi reproduksinya. Jika pasien sudah

tidak menginginkan fungsi reproduksi dapat dilakukan ablasi endometrium atau

histerektomi. Jika pasien masih ingin mempertahankan fungsi reproduksi anjurkan

pasien untuk mencatat siklus haidnya dengan baik dan memantau kadar Hb.

8. Iatrogenik (PUA-I)

a. Perdarahan karena efek samping PKK

Perdarahan sela (breakthrough bleeding) dapat terjadi dalam 3 bulan pertama atau

setelah 3 bulan penggunaan PKK. Jika perdarahan sela terjadi dalam 3 bulan pertama

maka penggunaan PKK dilanjutkan dengan mencatat siklus haid. Jika pasien tidak ingin

melanjutkan PKK atau perdarahan menetap > 3 bulan lanjutkan lakukan pemeriksaan

Chlamydia dan Neisseria (endometritis), bila positif berikan doksisiklin 2 x 100 mg

selama 10 hari. Yakinkan pasien minum PKK secara teratur. Pertimbangkan untuk

menaikkan dosis estrogen. Jika usia pasien lebih dari 35 tahun dilakukan biopsi

endometrium. Jika perdarahan abnormal menetap lakukan TVS, SIS atau histeroskopi

untuk menyingkirkan kelainan saluran reproduksi. Jika efek samping berupa amenorea,

singkirkan kehamilan. Jika tidak hamil, naikkan dosis estrogen atau lanjutkan pil yang

sama.

b. Perdarahan karena efek samping kontrasepsi progestin

Jika terdapat amenorea atau perdarahan bercak lakukan konseling bahwa kelainan ini

merupakan hal biasa. Jika efek samping berupa PUA-O dan jika usia pasien
diatas 35 tahun dan memiliki risiko tinggi keganasan endometrium, dilakukan biopsi

endometrium. Jika usia pasien < 35 tahun dan perdarahan yang terjadi dalam 4-6 bulan

pertama pemakaian kontrasepsi, dierikan tiga alternatif yaitu

- Lanjutkan kontrasepsi progestin dengan dosis yang sama

- Ganti kontrasepsi dengan PKK (jika tidak ada kontra indikasi)

- Suntik DMPA setiap 2 bulan (khusus akseptor DMPA).

Jika usia pasien < 35 tahun dan perdarahan yang terjadi tidak dalam 4-6 bulan pertama

pemakaian kontrasepsi, berikan estrogen jangka pendek (Estrogen Ekuin Konjugasi atau

EEK 4x1.25 mg / hari selama 7 hari) yang dapat diulang jika perdarahan abnormal

terjadi kembali, pertimbangkan pemilihan metoda kontrasepsi lain.

c. Perdarahan karena efek samping penggunaan AKDR

Jika pada pemeriksaan pelvik dijumpai rasa nyeri, diberikan doksisiklin 2x100 mg

sehari selama 10 hari karena perdarahan pada pengguna AKDR dapat disebabkan oleh

endometritis. Jika tidak ada perbaikan, pertimbangkan untuk mengangkat AKDR. Jika

tidak dijumpai rasa nyeri dan AKDR digunakan dalam 4-6 bulan pertama, lanjutkan

penggunaan AKDR, jika perlu dapat ditambahkan AINS. Jika setelah 6 bulan

perdarahan tetap terjadi dan pasien ingin diobati, berikan PKK untuk 1 siklus.

Jika tidak dijumpai rasa nyeri dan AKDR digunakan tidak dalam 4-6 bulan pertama

diberikan PKK untuk 1 siklus. Jika perdarahan abnormal menetap lakukan

pengangkatan AKDR. Bila usia pasien > 35 tahun lakukan biopsi endometrium.
Penanganan perdarahan uterus abnormal akut

Pada prinsipnya penanganan perdarahan uterus abnormal akut mempertimbangkan

apakah perdarahan yang terjadi mengganggu hemodinamik pasien. Jika perdarahan aktif

dan banyak disertai dengan gangguan hemodinamik dan atau Hb < 10 g / dl perlu

dilakukan rawat inap. Tetapi jika hemodinamik stabil, cukup rawat jalan.

Pasien dengan hemodinamik tidak stabil diberikan infus cairan kristaloid, oksigen 2 liter

/ menit dan transfusi darah jika Hb < 7,5 g / dl, untuk perbaikan hemodinamik. Hentikan

perdarahan dengan EEK 2.5 mg per oral setiap 4-6 jam, ditambah prometasin 25 mg

peroral atau injeksi IM setiap 4-6 jam untuk mengatasi mual. Asam traneksamat 3 x 1

gram dan OAINS 3 x 500 mg diberikan bersama EEK.

Jika perdarahan tidak berhenti dalam 12-24 jam, lakukan dilatasi dan kuretase (D&K).

Tetapi jika perdarahan berhenti dalam 24 jam, lanjutkan dengan PKK 4 kali 1 tablet

perhari (4 hari), 3 kali 1 tablet perhari (3 hari), 2 kali 1 tablet

perhari (2 hari) dan 1 kali 1 tablet sehari (3 minggu), kemudian stop 1 minggu,

dilanjutkan PKK siklik sebanyak 3 siklus. Jika terdapat kontraindikasi PKK, berikan

progestin selama 14 hari kemudian stop 14 hari. Ulangi selama 3 bulan. Untuk riwayat

perdarahan berulang sebelumnya, injeksi gonadotropin-releasing hormone (GnRH)

agonis dapat diberikan bersamaan dengan pemberian PKK untuk stop perdarahan.

GnRH agonis diberikan 2-3 siklus dengan interval 4 minggu.

Ketika hemodinamik pasien stabil, perlu upaya diagnostik untuk mencari penyebab

perdarahan. Lakukan pemeriksaan USG transvaginal / transrektal,


periksa darah perifer lengkap (DPL) dan fungsi hemostasis (hitung trombosit, PT, aPTT

dan TSH). Tindakan SIS dapat dilakukan pada keadaan endometrium yang tebal, untuk

melihat adanya polip endometrium atau mioma submukosum. Jika perlu dapat dilakukan

pemeriksaan histeroskopi “office”.

Dapat diberikan suplemen hematinik 1 x 1 tablet dan anti oksidan. Jika terapi

medikamentosa tidak berhasil atau ada kelainan organik, maka dapat dilakukan terapi

pembedahan seperti ablasi endometrium, miomektomi, polipektomi atau histerektomi.

Gynae Endocrine Society of India (GESI) kolaborasi dengan Endocrine Committee of

Association of Obstetricians and Gynaecologists of Delhi mengeluarkan rekomendasi

penatalataksanaan PUA sesuai dengan etiologi yang ada yang mana dibuat

berdasarkan bukti-bukti klinis yang ada, dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.6 Tabel rekomendasi penatalaksanaan PUA berdasarkan etiologi 34

Etiologi Tatalaksana
Polip Operasi pengangkatan per Histeroskopik
Polip multipel atau endometrium polipoidal dan fertilitas tidak diinginkan- LNG IUS dapat
dikombinasi dengan operasi

Adenomiosis LNG-IUS, jika LNG IUS tidak dapat diterima  Pil KB, NSAID,
progesteron atau agonis GnRH dengan terapi add-back jika yang lainnya gagal

Leiomioma Myoma intramural atau subserosa (grade 2-6)  Asam traneksamat atau Pil
KK atau NSAID, LNG IUS, jika gagal miomektomi tergantung lokasi mioma Pada wanita > 40 tahun,
fertilitas tidak diinginkan, untuk mioma dengan ukuran kecil < 4 -5 cm  pengobatan medis kemudian
histerektomi Pengobatan jangka pendek (sampai 6 bulan)-agonis GnRH dengan terapi
add-back kemudian miomektomi Pengobatan jangka panjang-
LNG IUS
Pilihan pengobatan terbaru : asetat ulipristal atau dosis rendah mifepristone Mioma submukosum (grade
0-1)  histeroskopik (massa < 4 cm) atau abdomen (open atau laparoskopik untuk massa > 4 cm)
Malignancy Hiperplasia endometrium atipikal – operasi. Jika fertilitas tidak diinginkan-
histerektomi
Hiperplasia tanoa atipia – LNG-IUS diikuti dengan progestin oral atau Progesterone Receptor
Modulator

COEIN LNG IUS atau asam traneksamat , NSAID diikuti dengan Pil KK
atau progestin oral siklik
Pengobatan medis atau operasi yang gagal atau kontraindikasi: agonis GnRH dengan terapi add-back
Ketika semua pilihan dan steroid tidak membantu: Centchroman
2.6. Kerangka Teori

Stimulasi estrogen /
Unopposed Estrogen

Ovulasi Proliferasi endometrium Anovulasi

Progesteron Perubahan anatomi : Polip, Progesteron tidak adekuat


adekuat Adenomiosis, Fibroid,
Hiperplasia

Terganggu endotelin-1, Pembebasan Endometrium tidak mempunyai


prostaglandin F2a d prostaglandin jaringan penyangga yang baik
berlebih

Gangguan Endometrium menebal tetapi


hemostasis lokal Kontraksi rapuh, pembuluh darah besar dan
miometrium berliku-liku

Anti Koagulan,
VonWillebrand
Endometrium lepas tetapi tidak
bersamaan dan tikdak ada kolaps
Gangguan hemostasis jaringan
Sistemik

PUA
2.7. Kerangka Konsep

Usia

Paritas

Perdarahan Indeks Massa


Uterus Tubuh
Abnormal (PUA)
Suku

Pekerjaan

Terapi dan Jenis


Tindakan

Hasil
Histopatologi
DAFTAR PUSTAKA

1. Benetti-Pinto CL, De Sá Rosa-E-Silva ACJ, Yela DA, dkk. Abnormal

Uterine Bleeding. Rev Bras Ginecol e Obstet 2017; 39: 358–368.

2. Siregar MFG. Management of abnormal uterine bleeding in perimenarche :

diagnostic challenges. Int J Med Sci Public Heal 2016; 5: 597–600.

3. Whitaker L, Critchley HOD. Abnormal uterine bleeding. Best Pract Res

Clin Obstet Gynaecol 2016; 34: 54–65.

4. Zheng J, Yi C, Huang Q. A case of abnormal uterine bleeding of unknown

origin. Int J Case Reports Images 2017; 8: 77.

5. Nargis N, Karim I, Sarwar KB. Abnormal uterine bleeding in

perimenopausal age: Different causes and its relation with histopathology.

Bangladesh J Med Sci 2014; 13: 135–139.

6. Tendean GGE, Mewengkang M, Wantania JJE. Kejadian perdarahan uterus

abnormal di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado tahun 2015. e-CliniC

2016; 4: 2–5.

7. Agarwal P, Garg R, Rai N, dkk. Abnormal Uterine Bleeding. J South Asian

Fed Menopause Soc 2016; 4: 22–26.

8. Sudhamani S, Sunila, Sirmukaddam S, dkk. Clinicopathological study of

abnormal uterine bleeding in perimenopausal women. J Sci Soc 2015; 42:3.


9. Dahiya N, Prahbakar N, Sharma, dkk. Histopathological Study of

Endometrium in Abnormal Uterine Bleeding in Reference to Different Age

Group, Parity and Patterns of Bleeding. Indian Journal of Public Health

2018; Vol 9(3), p98-102

10. Nouri M, Tavakkolian A, Mousavi S. Association of Dysfunctional Uterine

Bleeding with High Body Mass Index and Obesity as a main predisposing

factor.Diabetes and \metabolic Syndrome: Clinical Research & Review 8

(2014) 1-2

11. Wise MR, Gill P, Lensen S, Thompson JM, Farquhar CM. Body Mass

Index Trumps Age In Decusion For Endometrial Biopsy: Cohort Study Of

Symptomatic Premenopausal Women. 2016. Vol 215(5); 598.e1-598.e8

12. Gianelli L, Paganelli S. Abnormal Uterine Bleeding in Premenopausal

Women and The Role of Body Mass Index. American Journal of

Obstetrics and Ginecology 2017, p533

13. Sajitha K, Shetty K P, Jayaprakash S K, Kishan P, Harish S P, Panna H.

Study of Histopathological Pattern of Endometrium in Abnormal Uterine

Bleeding. CHRISMED Journal of Health and Research. 2014, Vol 1(2).

p76-81

14. Faizal M. Resiko Keganasan Perdarahan Uterus Abnormal Berdasarkan

Karakteristik Histopatologi Sediaan Kuretase di RSUD Dr Moewardi

Surakarta. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah UNS. didownload dari:

https://eprints.uns.ac.id/34587/
15. ACOG. Management of Acute Abnormal Uterine Bleeding in Nonpregnant

Reproductive-Aged Women. Am Coll Obstet Gynecol 2013; 557: 475–477.

16. Sweet MG, Schmidt-Dalton TA, Weiss PM, dkk. Evaluation and

Management of Abnormal Uterine Bleeding in Premenopausal Women.

Am Fam Physician 2012; 85: 35–43.

17. Singh S, Best C, Dunn S, dkk. Abnormal uterine bleeding in pre-

menopausal women. J Obstet Gynaecol Canada 2013; 35: 473–9.

18. Goldstein SR, Lumsden MA. Abnormal uterine bleeding in perimenopause.

Climacteric 2017; 20: 414–420.

19. Bacon JL. Abnormal Uterine Bleeding: Current Classification and Clinical

Management. Obstet Gynecol Clin North Am 2017; 44: 179–193.

20. Corbacioglu A. The management of dysfunctional uterine bleeding.

Intechopen 2001; 72: 263–71.

21. Mohan S, Page LM, Higham JM. Diagnosis of abnormal uterine bleeding.

Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol 2007; 21: 891–903.

22. Ely JW, Kennedy CM, Clark EC, dkk. Abnormal Uterine Bleeding: A

Management Algorithm. J Am Board Fam Med 2006; 19: 590–602.

23. Broder MS, Gambone JC. Abnormal Uterine Bleeding During the

Reproductive Years— Terminology and Treatment. J Obstet Gynaecol

(Lahore) 2008; 2: 17–20.


24. Munro MG, Critchley HOD, Broder MS, dkk. FIGO classification system

(PALM-COEIN) for causes of abnormal uterine bleeding in nongravid

women of reproductive age. Int J Gynecol Obstet 2011; 113: 3–13.

25. Hartmann K, Jerome R, Lindegren ML, dkk. Primary Care Management of

Abnormal Uterine Bleeding. AHRQ Publ 2013; 528.

26. Livingstone M, Fraser IS. Mechanisms of abnormal uterine bleeding. Hum

Reprod Update 2006; 8: 60–7.

27. Vilos GA. Guidelines for the Management of Abnormal uterine bleeding.

SOGC Clin Pract Guidel 2001; 1–6.

28. Kaunitz AM. Approach to abnormal uterine bleeding in nonpregnant

reproductive-age women. In: Barbieri RL, Levine D, Falk SJ, editors.

UpToDate Inc; 2018. [updated 2017 Nov 17; cited 2018 Oct 29]. Available

from https://www.uptodate.com/contents/approach-to-abnormal-uterine-

bleeding-in-nonpregnant-reproductive-age-women

29. Hadibroto BR. Penggunaan Histeroskopi di Medan - Indonesia. Maj

Kedokt Nusant 2005; 38: 169–173.

30. Wantania JJE. Perdarahan uterus abnormal - menoragia pada masa remaja.

J Biomedik 2016; 8: 135–142.

31. Hadisaputra W. Perkembangan Laparoskopi Operatif di Indonesia.

Perkemb Laparoskopi Oper 2014; 2: 65–69.


32. Kaunitz AM. Management of abnormal uterine bleeding. In: Barbieri RL,

Falk SJ, editors. UpToDate Inc; 2018. [updated 2017 Jun 7; cited 2018 Oct

29]. Available from https://www.uptodate.com/contents/management-of-

abnormal-uterine-bleeding

33. Baziad A, Hestiantoro A, Wiweko B. Panduan Tata Laksana Perdarahan

Uterus Abnormal. Hasil Lokakarya Himpunan Endokrinologi - Reproduksi

dan Fertilitas Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Aceh, 29

April – 1 Mei 2011

34. Kriplani A, Agarwal N. Management of Abnormal Uterine Bleeding in

Reproductive Period Evidence-based Good Clinical Practice

Recommendations for Indian women A Gynae Endocrine Society of India

(GESI) initiative in collaboration with Endocrine Committee of Association

of Obstetricians and Gynaecologists of Delhi.

35. Kazemijaliseh H, Tehrani FR, Behboudi S, Khalili D, Hosseinpanah F,

Azizi F. A Population-Based Study of Prevalence of Abnormal Uterine

Bleeding and its Related Factors among Iranian Repreductive-Age Women:

An Update Data. Arch Iran Med 2017; 20(9): 558-563

36. Billow M R, El NAzhar S. Management of Abnormal Uterine Bleeding

with Emphasis on Alternative to Histerectomy. Obstet Gynecol Clin N Am

43(2016) 415-430

37. Mahapatra M, Mishra P. Clinicopathological Evaluation of Abnormal

Uterine Bleeding. J Health Res Rev. 2015 May;2(2):45-9


38. Barrett ES, Parlett LE, Windham GC, Swan SH. Differences in

Ovarian Hormones in Relation to Parity and Time since Last Birth.

Am Soc Reprod Med. 2014 Jun;101(6):1773-80.

39. Kristen A. Matteson, MD, MPH,1 Christina A. Raker,

ScD,1Melissa A. Clark, PhD,1,2 and Kevin D. Frick, PhD.

Abnormal Uterine Bleeding, Health Status,and Usual Source of

Medical Care:Analyses Using the Medical Expenditures Panel

Survey. JOURNAL OF WOMEN’S HEALTH. Volume 22,

Number 11, 2013. DOI: 10.1089/jwh.2013.4288

40. Yu Sun, MSca, Yuzhu Wang, MScb, Lele Mao, PhDc, Jiaying Wen, MScd,

Wenpei Bai, MDa. Prevalence of abnormal uterine bleeding according

to new International Federation of Gynecology and Obstetrics

classification in Chinese women of reproductive age A cross-

sectional study.

41. Anupamasuresh Y1, Suresh YV2, Prachi Jain. Abnormal uterine

bleeding: a clinicohistopathological analysis. International Journal

of Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology,

Anupamasuresh Y dkk. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol.

2014 Sep;3(3):656-661.

DOI: 10.5455/2320-1770.ijrcog20140954

Anda mungkin juga menyukai